PdTL 04

 



    Kadipaten Wirasaba adalah sebuah daerah yang sudah sangat  berkembang dan ramai serta tata kehidupan yang gemah ripah loh jinawi.

Kawula Kadipaten Wirasaba selain banyak yang mengabdikan diri sebagai prajurit di kadipaten mereka juga bekerja di sawah dan pategalan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi banyak pula yang bekerja sebagai pembuat kerajinan tangan seperti membuat keranjang, tampah, caping, tikar yang dianyam dari daun pandan, gerabah, pandai besi, dan masih banyak lagi. Dan pekerjaan setiap kawula Kadipaten Wirasaba itu saling melengkapi satu sama lainnya.

Kini Kadipaten Wirasaba dipimpin oleh seorang Adipati yang masih sangat muda karena menggantikan ayahnya yang telah wafat. bahkan lebih muda saat Panembahan Hanyakrakusuma diangkat menjadi pemimpin tertinggi di Mataram.

Meskipun masih sangat muda tapi Adipati Wirasaba yang baru itu adalah seorang yang cakap dan memiliki penalaran yang sangat cerdas jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya.

Sebenarnya pada umurnya yang sekarang dirinya memang seharusnya belum waktunya untuk menjadi pemimpin, apalagi sebagai seorang Adipati dengan wilayah yang cukup luas, tapi karena keadaan yang memaksa apa boleh buat.

Beruntunglah pada saat ayahnya masih ada, dia mendapat gemblengan yang sangat keras bahkan lebih keras dari saudara-saudaranya yang lain, sehingga Raden Arya atau yang sering disebut Pangeran Arya sedikit banyak sudah mempunyai bekal sebagai pemimpin baik secara lahir dan juga batin.

Karena dia memang sudah dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya suatu saat nanti. Tapi tidak ada yang pernah menduga jika Kanjeng Adipati sepuh akan pergi untuk selamanya secepat itu.

Kanjeng Adipati Wirasaba yang sebelumnya wafat karena sakit, meskipun sudah dikerahkan seluruh tabib dan ahli pengobatan yang terbaik dari seluruh tlatah Wirasaba tapi pada akhirnya tetap tidak bisa melawan garis dari Gusti Yang Maha Agung.

Pada akhirnya kita sebagai manusia memang tidak pernah bisa meminta apalagi menolak pepesthen dari Yang Maha Agung, meskipun seseorang ibarat memiliki ilmu hingga sundul langit sekalipun hanya bisa pasrah.

Kadipaten Wirasaba memang dipimpin oleh seorang Adipati yang masih sangat muda tapi dia dibantu oleh pamannya yang sangat setia pada pemimpinnya.

Ki Patih Rangga Permana selain orang yang sangat setia kepada junjungannya dia juga adalah orang yang berilmu sangat tinggi, bahkan hanya berselisih sangat tipis dengan Kanjeng Adipati Wirasaba sepuh yang telah wafat.

Kebetulan Ki Patih Rangga Permana adalah saudara kandung juga saudara seperguruan, meskipun keduanya tidak pernah berguru di sebuah padepokan, tapi keduanya pada waktu masih muda diangkat murid oleh seseorang yang pilih tanding yang sebenarnya sudah lama mengasingkan diri. Tapi karena orang tersebut adalah sahabat baik ayahnya, maka orang itu bersedia mengangkat keduanya menjadi murid.

Malam itu pada waktu wayah sepi bocah di dalam Istana Kadipaten Wirasaba, Ki Patih Rangga Permana sedang berbincang dengan Raden Arya atau Kanjeng Adipati muda.

“Angger Adipati, berdasarkan laporan dari para prajurit sandi yang aku terima, Kadipaten Wirasaba akan mendapat serangan dari Mataram”. berkata Ki Patih Rangga Permana membuka pembicaraan.

“Aku juga sudah mendapatkan laporan itu Paman, bagaimana menurut Paman langkah yang paling baik yang harus kita ambil untuk menghadapi keadaan ini?”. ucap Kanjeng Adipati.

“Aku rasa kekuatan Wirasaba memang sangat kuat, tapi kita jangan mengabaikan kemungkinan sekecil apapun yang justru kemungkinan yang sangat kecil itu bisa saja sangat menentukan akhir dalam sebuah peperangan”.

“Aku tahu Paman, dan aku sangat percaya kepada Paman yang sudah mempunyai pengalaman yang sangat luas, dan aku sangat menyadari jika aku harus banyak belajar dari Paman”.

“Berdasarkan laporan, kali ini Mataram telah mengerahkan pasukan yang sangat besar untuk dapat menaklukkan Wirasaba, mungkin ini disebabkan karena dari pengalaman mereka yang sudah mengalami beberapa kali kegagalan ketika akan menaklukkan Kadipaten Surabaya”.

“Apakah menurut Paman, kita akan bisa mengatasi mereka dengan kekuatan kita yang ada?”.

“Aku rasa bisa, tapi tidak ada salahnya jika kita meminta bantuan Surabaya”.

Kanjeng Adipati yang mendapat jawaban seperti itu lalu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “apakah Paman yakin jika Surabaya akan mengirimkan bantuannya?”.

“Aku rasa Surabaya akan bersedia membantu, karena Wirasaba adalah bagian dari Kadipaten Surabaya”.

“Beberapa waktu yang lalu Paman pernah berbicara tentang hubungan Surabaya dengan Tuban yang sedang dinaungi awan gelap. Apakah itu tidak akan menimbulkan pengaruh?”.

“Kemungkinan itu pasti ada, tapi sepertinya kemungkinan itu tidak dalam waktu dekat ini karena kedua belah pihak belum menunjukkan adanya tanda-tanda perang secara langsung, tapi masih dalam tahap berdiri di atas kebenarannya masing-masing”.

“Syukurlah kalau begitu, jadi sebaiknya Paman segera mengirimkan utusan ke Surabaya untuk meminta bantuan sehubungan dengan penyerangan Mataram dengan pasukan segelar sepapannya”.

“Sendika dawuh Angger Adipati”. jawab Ki Patih Rangga Permana.

“Selain itu perintahkan pula untuk memperketat penjagaan dan sebar para prajurit sandi untuk lebih memusatkan perhatiannya pada gerakan pasukan Mataram”.

“Sendika dawuh. Tapi ampun Angger Adipati, jika aku boleh mengusulkan sebuah gagasan”.

“Apa itu Paman?”. tanya Kanjeng Adipati sembari mengerutkan keningnya.

“Sebaiknya kekuatan Wirasaba dipusatkan di Kotaraja saja, untuk mengatasi serangan Mataram yang sangat cepat ini agar pasukan Wirasaba tidak bergerak sendiri-sendiri yang justru nantinya akan merugikan kita sendiri”.

“Baiklah, aku setuju Paman. Dan segera perintahkan pula kepada seluruh kawula Wirasaba untuk segera mengungsi ke tempat yang aman, karena aku tidak ingin kawulaku yang menjadi korban”.

“Apakah masih ada yang lain ngger?”. tanya Ki Patih Rangga Permana.

“Besok perintahkan kepada para senopati utama untuk menghadap di ruang paseban”.

“Pagi atau siang ngger?”.

“Karena keadaan yang sangat mendesak, menjelang waktu pasar temawon, Paman”.

Pembicaraan kedua orang paling berpengaruh di Kadipaten Wirasaba itu masih berlangsung beberapa lama sehubungan dengan akan adanya penyerangan Mataram.

Segala persiapan telah mereka buat dengan sebaik-baiknya, baik secara keprajuritan maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan perang itu sendiri.

Sejak malam itu, orang-orang Wirasaba seakan-akan mulai merasakan udara yang mulai memanas hingga ke seantero Kadipaten Wirasaba.

Keesokan paginya beberapa prajurit diperintahkan untuk menyampaikan woro-woro kepada seluruh kawula Wirasaba yang tidak mampu mengangkat senjata untuk sementara mengungsi ke tempat yang aman, karena Kadipaten Wirasaba akan menghadapi  perang besar melawan Mataram.

Bagi orang-orang yang masih mampu mengangkat senjata diperintahkan untuk bergabung dengan para prajurit tanpa paksaan untuk bergabung dengan prajurit Wiratani lainnya.

Tapi di antara kawula Wirasaba banyak pula dari mereka yang tergabung dalam pasukan Wiratani, selain daerah yang memang sudah terlatih oleh pemimpin mereka sendiri. Karena sebelum akan terjadi perang pun mereka sudah rutin mendapatkan latihan-latihan layaknya para prajurit paling tidak sepekan sekali atau bahkan sepekan bisa sampai dua kali.

Jadi meskipun mereka bukan dari kalangan prajurit tapi sedikit banyak mereka sudah mempunyai bekal jika terjadi perang.

Jika nanti keadaan di Wirasaba sudah membaik setelah perang berakhir, para kawula alit dipersilahkan untuk kembali lagi ke rumahnya masing-masing.

Bagi para kawula Wirasaba yang tidak mempunyai bekal kanuragan sama sekali ketika mendengar woro-woro tersebut hanya bisa pasrah dengan nasib mereka sendiri tanpa bisa berbuat sesuatu.

Berbagai tanggapan yang berbeda-beda dari setiap orang yang mendengar woro-woro tersebut, tapi tanpa pernah berani mereka ucapkan pada para prajurit yang bertugas kecuali kepada sanak kadang sendiri.

Pada akhirnya para kawula alit yang tidak tahu menahu persoalannya pun ikut merasakan akibat perang itu sendiri, meskipun secara tidak langsung.

Mereka yang ketakutan setelah mendengar woro-woro bahwa akan terjadi perang, segera mengungsi ke tempat yang aman bersama sanak-kadang mereka. Karena saking takutnya, mereka sudah tidak memikirkan harta benda yang mereka miliki dan mereka hanya membawa harta benda yang bisa mereka bawa saja, bahkan sawah dan pategalan yang tidak lama lagi akan panen pun mereka tinggalkan begitu saja.

Pada hari pertama woro-woro itu disampaikan, sudah banyak pula rumah-rumah yang sudah mulai ditinggalkan oleh para penghuninya.

Ada yang mengungsi ke tempat kawannya yang jauh, ada pula yang mengungsi ke tempat sanak kadangnya, tapi banyak pula yang pergi dari rumah mereka tanpa arah tujuan yang jelas, yang ada di pikiran mereka yang penting bisa menyelamatkan diri.

Hari itu di ruang paseban di Istana Kadipaten wirasaba selepas waktu pasar temawon sudah berkumpul orang-orang penting kadipaten.

“Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian semua yang telah hadir memenuhi perintahku. Pertemuan yang mendadak ini tidak lepas akan keadaan Wirasaba yang terancam oleh rencana penyerangan Mataram”. berkata Kanjeng Adipati memulai pembicaraan.

Setelah berhenti sejenak, Kanjeng Adipati Arya melanjutkan kata-katanya, “Meskipun aku adalah orang yang paling muda dalam pertemuan ini, tapi akulah yang paling bertanggung jawab atas semua yang terjadi di seluruh Kadipaten Wirasaba”.

“Tidak Kanjeng Adipati, tapi ini adalah tanggung jawab seluruh kawula Wirasaba, termasuk hamba salah satunya”. berkata Ki Patih Rangga Permana menimpali.

“Aku sangat menyadari kemampuanku, maka dari itu aku meminta kepada semua yang hadir untuk bisa saling bahu-membahu mempertahankan wilayah kita yang tercinta ini dari serangan Mataram. Apakah kalian siap menghadapi segala kemungkinan?”.

“Sendika dawuh Kanjeng Adipati”. jawab orang-orang yang hadir hampir bersamaan.

“Karena aku menyadari keterbatasanku, maka dalam menyambut peperangan melawan Mataram aku serahkan jabatan Senopati Agung kepada Paman Patih Rangga Permana”.

Orang-orang yang hadir tidak ada yang berani bersuara, dan dalam hati mereka pun menyadari bahwa junjungan mereka memang masih sangat muda waktu dinobatkan menjadi Adipati dua warsa yang lalu menggantikan ayahnya yang telah wafat.

Junjungan mereka yang sekarang memang masih sangat muda tapi sudah menunjukkan wibawanya sebagai seorang pemimpin, apalagi dia selalu mendapatkan bimbingan dari pamannya yang selalu sabar dan telaten mendampinginya.

Ki Patih Rangga Permana adalah orang yang berilmu sangat tinggi tapi dia tidak pernah rakus akan jabatan. Meskipun dengan kemampuan dan pengalamannya sangat mudah baginya untuk merebut tahta yang sekarang diduduki keponakannya itu, tapi tak pernah terbesit sebiji sawi pun dia berbuat demikian.

“Atas nama kawula Wirasaba, silahkan Paman Patih memberikan perintah”. berkata Kanjeng Adipati.

“Terima Kasih Kanjeng Adipati”. ucap Ki Patih Rangga Permana sembari menghaturkan sembah dari tempat duduknya.

“Sebelum aku menjatuhkan perintah, aku ingin mendengar lebih dulu laporan Ki Tumenggung Randuwana berdasarkan keterangan para prajurit sandi yang telah disebar”.

Orang yang disebut namanya segera tanggap, dengan menghaturkan sembah lebih dahulu dia pun menjawab, “ampun Kanjeng Adipati, berdasarkan laporan prajurit sandi yang hamba terima tadi pagi, pasukan Mataram segelar sepapan yang sangat besar sudah mulai bergerak menuju kemari dan sekarang sudah sampai di daerah Pajang”.

“Kira-kira berapa lama lagi pasukan Mataram itu akan sampai di Wirasaba, Ki Tumenggung Randuwana?”. tanya Ki Patih Rangga Permana.

“Menurut hamba, pasukan Mataram itu akan tiba di Wirasaba paling cepat adalah sepuluh hari atau paling lambat dua pekan”.

“Ki Tumenggung Ganggasura, bagaimana dengan persiapan pasukan Wirasaba?”. tanya Ki Patih Rangga Permana kepada senopati yang memimpin seluruh kesatuan prajurit Wirasaba kecuali pasukan khusus pengawal keluarga Adipati.

“Ampun Ki Patih”. ucap Ki Tumenggung Ganggasura sembari menghaturkan sembah. Lalu, “sesuai dengan perintah Kanjeng Adipati, seluruh pasukan Wirasaba segera dipusatkan di Kotaraja, paling lama dalam waktu tiga hari seluruh pasukan sudah akan berkumpul seluruhnya”.

“Ki Tumenggung Dandangmaja, bagaimana dengan persiapan perbekalan yang ada? apakah akan mencukupi kebutuhan seluruh pasukan Wirasaba selama pecah perang?”. tanya Ki Patih Rangga Permana kepada penanggung jawab perbekalan yang berbadan agak pendek dan gemuk serta kumisnya yang tebal melintang.

“Ampun Ki Patih, menurut hamba jika beras yang berada di lumbung perbekalan akan digunakan untuk menanggung seluruh pasukan, kemungkinan hanya akan mampu bertahan tiga pekan saja”.

Ki Patih Rangga Permana sejenak terdiam setelah mendengarkan keterangan dari bawahannya, berbagai pertimbangan hilir mudik di kepalanya.

“Terima kasih atas semua keterangan kalian, selanjutnya aku akan membuat hubungan dengan beberapa padepokan yang berhubungan baik dengan Kadipaten Wirasaba untuk meminta bantuan”.

“Semakin banyak kawan maka akan semakin baik Ki Patih”. ucap Ki Tumenggung Ganggasura.

“Aku mengenal beberapa nama pemimpin padepokan, seperti Kyai Maruta, Ki Cangkring Giri, Ki Alap-alap Jati Ombo dan beberapa nama lagi pemimpin padepokan yang lain. Semoga mereka bersedia membantu Wirasaba”. ucap Ki Patih Rangga Permana sembari mengingat-ingat.

“Semoga saja selaras dengan harapan kita semua Paman”. berkata Kanjeng Adipati yang sedari tadi lebih banyak diam.

“Nanti aku akan memerintahkan prajurit penghubung untuk menyampaikan permintaan itu kepada semua pemimpin padepokan yang ada”.

*  *  *

Sementara itu di tempat lain ketika malam sudah memasuki wayah sepi bocah, Ki Wiguna yang bertugas sebagai prajurit sandi Mataram sedang berkumpul dengan prajurit sandi lain di rumah yang kemarin.

Mereka sedang membicarakan hasil pengamatan masing-masing untuk kemudian diambil kesimpulan sebagai bahan pertimbangan untuk langkah selanjutnya.

“Tadi pagi aku lihat Wirasaba sudah memberikan woro-woro untuk kawulanya sehubungan dengan adanya pecah perang”. ucap Ki Wiguna memulai.

“Benar Ki Wiguna, sepertinya prajurit sandi dari Wirasaba pun tidak kalah cepat pergerakannya dengan prajurit Mataram”. Ki Jalasara menimpali.

“Aku rasa dengan adanya woro-woro tadi pagi Wirasaba akan semakin memperketat penjagaan apalagi pada orang-orang asing, dan sebaiknya kita sejauh mungkin untuk menghindari pengamatan mereka apalagi benturan”.

“Mulai besok keramain di Wirasaba akan mulai terasa menyusut, dengan mulai banyaknya orang yang akan mengungsi mencari keselamatan diri”. ucap Ki Lurah Jatisrana.

“Benar, tadi sore waktu perjalanan kita pulang, kita sudah menjumpai beberapa orang yang akan bepergian jauh”.

“Sebenarnya aku merasa kasihan kepada mereka yang tidak tahu apa-apa tapi merasakan secara langsung akibat perang, tapi jika pihaknya berdiri memenangkan perang belum tentu mereka ikut merasakan kemenangan tersebut”. ucap Ki Wiguna yang kemudian menarik nafas dalam beberapa kali.

“Apa boleh buat Ki Wiguna, kita hanya sebagai prajurit yang sekedar menjalankan tugas”. Ki Jalasara menimpali.

“Ya..kita hanya menjalankan tugas”. desis Ki Wiguna yang kemudian memejamkan mata dalam duduknya bersila di atas amben bambu.

Suasana di rumah itu kemudian menjadi hening, hanya suara hewan-hewan malam saja yang terdengar dari sekitar tempat mereka tinggal dan sesekali terdengar suara burung kedasih dari kejauhan.

“Baiklah, besok pagi Ki Jalasara sampaikan kepada prajurit penghubung sesuai hasil pengamatan kita, jika tidak ada yang penting lagi untuk dibicarakan aku minta diri untuk beristirahat”. berkata Ki Wiguna kemudian.

“Silahkan Ki Wiguna, sepertinya memang sudah tidak ada yang penting lagi”. jawab Ki Jalasara.

Kemudian Ki Wiguna mulai bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju bilik yang telah disediakan untuknya selama dia bertugas di Wirasaba, Sedangkan yang lain sudah mendapatkan tempatnya masing-masing.

Ki Wiguna yang sebenarnya belum mengantuk, tapi entah mengapa malam itu dia ingin segera beristirahat. Dibaringkanlah tubuhnya pada amben bambu yang tidak begitu besar setelah menyelarakkan pintu dari dalam.

Dalam pembaringan dengan mata terpejam justru membuat pikirannya kemana-mana karena dia belum merasa mengantuk. Berbagai bayangan hilir mudik di pikirannya.

Tapi setelah beberapa lama akhirnya Ki Wiguna tertidur pula, hingga saat pagi menjelang dirinya terbangun oleh suara panggilan kewajiban kepada Yang Maha Agung.

Setelah matahari terbit mereka berkumpul di ruang dalam bersama satu orang yang baru saja tiba sembari menikmati minuman hangat yaitu wedang jahe.

“Ki Wiguna, perkenalkanlah kawan kita ini yang mungkin kalian baru bertemu disini, dia adalah Ki Surata salah satu lurah prajurit sandi yang akan membantu segala tugas kita selama disini”.

“Senang bisa bertemu denganmu Ki Surata. Terima kasih atas segala bantuanmu”. ucap Ki Wiguna.

“Sama-sama Ki Wiguna, kau tidak perlu berterima kasih kepadaku karena ini memang menjadi tugasku”. jawab Ki Surata.

Orang-orang yang mendengar jawaban Ki Surata hanya tersenyum.

“Apakah Ki Surata sudah membawa keterangan dengan datang sepagi ini?”. bertanya Ki Wiguna mencairkan suasana.

“Ternyata aku tidak bisa menyembunyikan pikiranku dari orang linuwih yang mempunyai panggraita yang sangat tajam”.

Ki Wiguna yang merasa namanya disindir wajahnya sekejap sedikit memerah. Lalu katanya, “ah..Ki Surata terlalu berlebihan, aku hanya sekedar mencairkan suasana saja”.

“Ki Wiguna tidak perlu merasa sungkan, karena kita semua yang bertugas disini sudah tahu pasti siapa Ki Wiguna sebenarnya”. jawab Ki Surata yang kemudian membuat Ki Lurah Glagah Putih sedikit salah tingkah.

“Aku sama seperti kalian, seorang prajurit sandi yang sedang bertugas”.

“Ki Wiguna benar, kita memang sama-sama prajurit sandi yang  sedang menjalankan tugas, tapi bobotnya saja yang berbeda. Meskipun umurku jauh di atasmu, tapi aku tidak bisa ingkar”. Ki Lurah Jatisrana menambahkan.

“Aku tidak pernah merasa lebih baik dari kalian, tapi aku hanya berusaha menjalankan tugasku dengan sebaik-baiknya”. ucap Ki Wiguna yang merasa menjadi perhatian kawan-kawannya.

“Memang beda jika padi sudah semakin berisi”. celetuk Ki Jalasara yang kemudian disambut tawa pendek orang-orang yang mendengarnya.

“Ki Surata, keterangan apa yang kau bawa sepagi ini?”. tanya Ki Wiguna setelah tawa mereka berhenti.

“Dalam waktu satu sampai tiga hari kedepan, Wirasaba akan menarik semua pasukannya dan akan dipusatkan di Kotaraja. Selain itu, mereka juga akan meminta bantuan dari beberapa padepokan di seluruh tlatah Wirasaba”.

Ki Wiguna mengangguk-anggukkan kepalanya setelah mendengar penjelasan dari Ki Surata. Lalu, “sepertinya Wirasaba telah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menyambut pasukan Mataram”.

“Semoga pasukan Mataram tidak mengalami kegagalan seperti saat berusaha menaklukkan Kadipaten Surabaya beberapa waktu yang lalu”. ucap Ki Jalasara.

“Pasukan Mataram yang mengalami kegagalan saat menyerang Surabaya adalah karena adanya campur tangan orang-orang asing dengan senjata mereka yang aneh”. Ki Surata menimpali.

“Aku baru ingat, bagaimana kedudukan orang-orang asing di Wirasaba? apakah sama seperti kedudukan mereka di Surabaya?”. bertanya Ki Wiguna.

“Berdasarkan laporan yang aku terima hingga waktu terakhir, orang-orang asing itu kemungkinan sangat kecil untuk ikut campur karena jumlah mereka yang terbatas, tapi senjata-senjata mereka yang aneh itu mulai memasuki wilayah Wirasaba, sehingga jika pecah perang sangat mungkin sekali pasukan Wirasaba sudah menggunakannya”. Ki Surata menjelaskan.

“Benar-benar senjata yang nggegirisi dan sangat mematikan bahkan bisa digunakan oleh siapa saja tanpa harus menjalani laku terlebih dahulu”.

“Kau benar Ki Wiguna, senjata yang dibuat dari besi panjang dan mereka sebut bedil itu bisa memuntahkan potongan besi kecil yang sangat mematikan, dan senjata yang satu lagi juga lebih mengerikan lagi akibatnya, bentuknya yang seperti besi gelondongan yang dalamnya sengaja dibuat berongga dan menyerupai mercon bumbung layaknya permainan anak-anak dan disebut meriam itu justru bisa meledakkan pintu regol sekalipun dalam sekali serangan”. ucap Ki Surata yang ikut merasa ngeri membayangkan akibat dari kedua senjata tersebut.

“Pasukan Mataram yang mengalami beberapa kali kegagalan saat menaklukkan Surabaya salah satu sebabnya adalah pengaruh kedua senjata aneh itu, dengan begitu kita tidak bisa mendekati lawan dalam jarak dekat, bahkan pasukan Mataram sudah jatuh banyak korban sebelum perang benar-benar pecah dari kedua belah pihak”. ucap Ki Lurah Jatisrana yang pada waktu itu ikut berada di medan.

“Kau benar Ki Lurah Jatisrana, waktu itu meskipun pada awalnya Kanjeng Sinuhun Mataram tidak bisa menerima kekalahan tersebut, tapi setelah mendapat laporan beberapa kali dan berhasil meyakinkan tentang keadaan pasukan Mataram yang sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan perang karena banyak jatuh korban dan banyak pula yang tertawan. Akhirnya pasukan tersebut diterima kembali ke Mataram dengan syarat”. Ki Jalasara ikut menimpali.

“Kanjeng Sinuhun Mataram yang sekarang adalah orang yang berhati keras dalam meraih gegayuhan”. desis Ki Wiguna perlahan lalu menarik nafas dalam beberapa kali untuk melonggarkan isi dadanya yang terasa pepat.

Suasana tampak hening untuk beberapa saat lamanya, mereka sibuk dengan angan-angan sendiri di kepala mereka.

“Bagaimana menurut pendapat kalian tentang kemampuan pasukan Mataram dan Wirasaba? apakah kali ini Mataram akan dapat menaklukkan Wirasaba?”. bertanya Ki Wiguna pada orang-orang yang hadir.

“Aku belum mempunyai gambaran tentang akhir perang itu karena menurut penglihatanku kedua pasukan ini sama-sama kuat dan sama-sama pasukan segelar sepapan yang besar, tapi pasukan yang lebih kuat pun belum tentu keluar sebagai pemenang perang karena segala kemungkinan masih bisa terjadi di medan perang yang garang”. jawab Ki Jalasara.

Mereka yang mendengar ucapan Ki Jalasara hanya mengangguk-angguk membenarkan tanpa menanggapi dengan sepatah katapun.

“Baiklah, tugas kita hari ini adalah mengamati segala perkembangan yang terjadi di Wirasaba”. berkata Ki Wiguna

“Kemungkinan Wirasaba akan semakin ramai dengan adanya penarikan seluruh pasukan yang dipusatkan di Kotaraja”. ucap Ki Surata.

“Selain kedatangan pasukan prajurit mereka akan kedatangan pula orang-orang dari beberapa padepokan, sehingga kita hanya bisa mengamati mereka dari kejauhan”. ucap Ki Jalasara.

“Kau benar Ki Jalasara, karena dengan keadaan ini membuat kawula alit Wirasaba mengungsi untuk sementara waktu. Sehingga hal ini mempersempit pergerakan kita untuk mencari keterangan yang kita butuhkan, karena kita tidak mungkin bisa menyadap keterangan diantara sekelompok prajurit. Tapi bukan berarti kita hanya berpangku tangan”. berkata Ki Wiguna menanggapi.

“Kami mengerti Ki Wiguna, tapi kita harus menjadi lebih berhati-hati karenanya”. Ki Surata menimpali.

“Baiklah, hari ini kita tetap menjalankan tugas masing-masing. Tapi Ingat,  jangan memaksakan diri dan jika terjadi goncangan pada kelompok kita segera sampaikan kepada yang lain lewat para penghubung agar kelompok yang lain bisa segera menyesuaikan diri”.

“Baiklah Ki Wiguna”. jawab mereka yang hadir hampir bersamaan.

Meskipun Ki Wiguna adalah prajurit yang berpangkat tidak lebih dari seorang lurah prajurit, tapi wawasan serta kemampuannya secara pribadi melebihi kemampuan seorang lurah prajurit itu sendiri.

*  *  *

Sementara itu di Padepokan Orang Bercambuk, Bayu Swandana sudah mulai sehat kembali setelah mengalami serangan racun yang sangat mematikan.

Ki Untara yang beberapa hari yang lalu juga terluka sudah mulai sembuh sepenuhnya. Dia sudah tidak lagi harus memejamkan matanya sepanjang waktu di pembaringan.

Pagi itu Nyi Pandan Wangi bersama rombongan dari Tanah Perdikan Menoreh telah bersiap untuk kembali sehubungan dengan sembuhnya Bayu Swandana dari lukanya.

Setelah makan pagi, mereka masih sempat berbincang di pendapa sebelum Nyi Pandan Wangi dan rombongan benar-benar pulang.

“Sepertinya kali ini sudah tidak ada lagi yang bisa menahanku untuk segera kembali, lagipula aku sudah terlalu lama meninggalkan Ayah dan Sekar Wangi di rumah. Meskipun Sekar Wangi bukanlah anak yang manja dan cengeng tapi aku tidak sampai hati jika meninggalkannya terlalu lama”.

“Kami dapat mengerti Pandan Wangi, semoga perjalananmu tidak menemukan hambatan”. ucap Ki Untara.

“Terima kasih kakang Untara”.

“Sekar Mirah, apakah kau juga akan pulang?”.

“Iya kakang Untara, aku juga merasa sudah terlalu lama meninggalkan kademanganku”.

“Apakah Ki Jayaraga tidak berkenan tinggal lebih lama disini?” bertanya Ki Agahan.

“Terima kasih Ki Agahan, tapi sebaiknya aku ikut kembali. Karena tanaman padiku pasti merindukanku, meskipun aku hanya sesekali saja menunggui mereka karena sudah ada tetangga yang mengerjakan sawah tersebut”. jawab Ki Jayaraga.

“Bayu Swandana”. ucap Nyi Pandan Wangi, “setelah Ibu pulang kau jangan lupa untuk selalu mendengarkan petunjuk Ki Agahan, Paman Untara dan sesepuh padepokan yang lain, kau jangan menuruti kebenaranmu sendiri”.

“Iya Ibu”.

“Setelah Ibu pulang, Ibu tidak tahu kapan lagi waktunya bisa mengunjungimu, karena di rumah pun Ibu mempunyai tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan sewaktu-waktu”.

“Aku mengerti Ibu”.

Ketika mereka yang berada di pendapa masih berbincang, beberapa cantrik terlihat menuntun kuda yang akan mengantar Nyi Pandan Wangi dan rombongan kembali.

“Sepertinya sudah waktunya kami harus kembali”.

“Nyi Pandan Wangi, tolong sampaikan salam hormat kami seisi padepokan kepada Ki Gede Menoreh”.

“Terima kasih Ki Agahan, nanti akan aku sampaikan kepada Ayah”.

Sejenak kemudian mereka yang berada di pendapa mulai turun ke halaman tempat kuda-kuda mereka ditambatkan oleh para cantrik.

Nyi Pandan Wangi, Nyi Sekar Mirah, Nyi Lurah Glagah Putih, Arya Nakula, Ki Jayaraga serta dua pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menyertai mereka segera bersiap.

Wajah-wajah mereka nampak cerah kecuali Arya Nakula yang sepertinya merasa berat akan meninggalkan padepokan tersebut, tapi dia tidak dapat menolak.

Arya Nakula memang belum diizinkan kedua orang tuanya untuk tetap tinggal di padepokan itu karena berbagai pertimbangan.

Mereka pun mulai menaiki kuda masing-masing, lalu perlahan-lahan mulai meninggalkan padepokan itu dengan dibagi menjadi dua kelompok.

Rombongan itu dibagi seperti saat keberangkatan mereka, hanya bedanya sekarang tidak ada Ki Lurah Glagah Putih yang mendapat tugas mendadak.

Mereka tidak dapat melajukan kudanya dengan sekencang-kencangnya karena mereka menyadari bukan mereka saja yang mempergunakan jalan tersebut lagipula mereka tidak ingin menarik perhatian orang yang melihatnya.

Apalagi dalam rombongan itu terdapat Arya Nakula yang masih sangat muda dan belum lama bisa menunggangi kuda, selain itu Ki Jayaraga yang sudah sangat sepuh.

Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang berada dalam barisan paling depan sesekali berbincang di atas kuda mereka yang berjalan.

“Sekar Mirah, kapan kau akan berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh?”.

“Aku belum tahu kapan waktunya mbokayu, tapi suatu saat aku pasti akan menyempatkan”.

“Jika kau menunggu waktumu sempat, maka sepertinya tidak akan pernah sempat”.

Nyi Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam mendengar ucapan istri mendiang kakaknya tersebut.

“Baiklah, nanti aku akan mengatur waktunya sembari menunggu kepulangan kakang Agung Sedayu”.

Nyi Pandan Wangi tersenyum mendengar jawaban ibu Bagus Sadewa tersebut, tapi dia tidak berkata lagi.

Rombongan itu mulai memasuki Kademangan Sangkal Putung setelah matahari melewati puncaknya.

Mereka langsung menuju rumah Nyi Sekar Mirah, rumah yang juga pernah ditinggali oleh Nyi Pandan Wangi untuk beberapa waktu sewaktu suaminya masih ada.

Pengawal yang sedang bertugas segera menyambut rombongan yang baru saja datang ketika mereka mengenal orang-orang tersebut. Beberapa orang telah menyambut tali kekang kuda untuk kemudian ditambatkan di tempat yang telah disediakan.

“Bagaimana keadaan kademangan selama aku pergi?”. bertanya Nyi Sekar Mirah pada salah satu pengawal yang menyambutnya.

“Sejauh pengetahuan kami, tidak ada gangguan Nyi, tapi untuk lebih jelasnya kau tanyakan langsung kepada pemimpin pengawal yang bertugas, karena Ki Soka ikut bertugas melawat ke bang wetan yang bergabung dengan prajurit yang berkedudukan di Jati Anom”.

“Terima kasih atas keteranganmu”.

Kemudian rombongan itu menaiki pendapa untuk beristirahat kecuali Nyi Sekar Mirah yang langsung menuju dapur untuk mencari pembatunya agar segera melayani tamu.

Tidak berapa lama Nyi Sekar Mirah pun telah kembali lagi ke pendapa untuk mengawani tamu-tamunya.

“Aku lihat rumah ini nampak lebih asri daripada waktu aku tinggal disini”.

“Ah..mbokayu suka melebih-lebihkan saja, hanya beberapa tanaman bunga yang tidak berarti, itu pun para pembantu di rumah ini yang menanamnya. Kata mereka lumayanlah buat pepak-pepak”.

“Aku lihat ada beberapa jenis tanaman bunga yang sangat indah di halaman rumah dan di sekitarnya. Ada anggrek, mawar merah, mawar putih, kantong semar dan masih beberapa jenis tanaman lagi”.

Pembicaraan mereka terputus ketika dua orang pembantu menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Silahkan minumannya mumpung masih hangat. Arya Nakula bukankah kau haus setelah menempuh perjalanan yang jauh?”. tanya Nyi Sekar Mirah kepada anak Nyi Rara Wulan.

“Iya Bibi, tapi aku lebih senang jika langsung meneguk air kendi”. jawab Arya Nakula polos.

Yang mendengar jawaban anak itu tersenyum.

“Mbok..tolong bawakan air kendi kemari”. ucap Nyi Sekar Mirah kepada pembantunya yang akan beranjak pergi.

“Baik Nyi”.

“Ah..kau jangan nakal ngger”.

“Tidak apa-apa Rara Wulan, namanya juga anak-anak”. Nyi Sekar Mirah menimpali.

Arya Nakula yang mendengar ucapan ibunya lalu menyembunyikan wajahnya di balik punggung ibunya. Tidak lama air kendi yang di inginkan Arya Nakula pun tiba.

“Pesananmu sudah datang ngger”. ucap Nyi Lurah Glagah Putih.

Tapi karena perasaan malu dan segan, anak itu tidak meminumnya dan masih saja bersembunyi di balik punggung ibunya serta memainkan ujung bajunya.

“Minumlah ngger, jika kau mampu habiskan nanti bibi ambilkan lagi pakai gentong”. berkata Nyi Sekar Mirah lalu tertawa.

Perlahan-lahan Arya Nakula pun mulai meraih kendi yang berisi air minum tersebut. Ternyata anak itu benar-benar haus rupanya karena minum cukup banyak.

“Apakah kurang ngger?”. bertanya Nyi Pandan Wangi kali ini.

“Tidak Bibi”.

Kemudian pembicaraan mereka mulai bergeser ke hal-hal yang menarik bagi mereka, sembari melepas lelah setelah perjalanan yang tidak begitu panjang.

Malam itu setelah Nyi Sekar Mirah dan tamunya selesai makan malam, mereka berkumpul di pendapa sembari menikmati suasana malam di bawah sinar bulan sabit.

“Besok pagi-pagi sekali aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh”. ucap Nyi Pandan Wangi setelah mereka duduk di atas tikar daun pandan yang nampak bersih.

“Sebenarnya aku menjadi kecewa karena kepulangan kalian, tapi apa boleh buat”.

“Rara Wulan, apakah kau tidak berniat untuk mengawaniku lebih lama disini? bukankah kau mempunyai waktu yang longgar tidak seperti mbokayu Pandan Wangi”.

Orang yang namanya disebut menjadi termangu-mangu.

“Sebenarnya ada pula keinginan seperti itu mbokayu, tapi alangkah deksuranya aku jika berangkat bersama mbokayu Pandan Wangi tapi kami kami pulang sendiri-sendiri”.

“Terserah kau saja Rara Wulan, aku tidak apa-apa jika kau memang berniat untuk tinggal lebih lama disini”.

“Ah..tidak mbokayu Pandan Wangi, kita berangkat sama-sama pulang pun harus sama-sama pula”.

Sejenak suasana pendapa menjadi hening karena tidak ada yang bersuara sama sekali. Tiba-tiba dalam keheningan itu hati Nyi Pandan Wangi terasa berdesir, seperti ada yang kurang mapan di dalam hatinya.

“Sebaiknya sekarang kita beristirahat, waktu sudah mau menjelang tengah malam”.

“Maafkan aku yang terlalu gembira dengan kehadiran kalian sehingga lupa mempersilahkan kalian beristirahat”.

Arya Nakula ternyata sudah mulai mengantuk pula, karena sesekali dia tampak menguap.

Kemudian Mereka pun mulai bergegas menuju bilik masing-masing, kecuali Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang lebih suka tidur dalam satu bilik.

“Mbokayu kenapa, aku lihat tiba-tiba saja memikirkan sesuatu?”. tanya Nyi Sekar Mirah setelah mereka sama-sama merebahkan diri di amben yang terbuat dari kayu jati dengan ukirannya di beberapa bagian.

“Aku juga tidak tahu, tapi rasanya hati ini tiba-tiba merasa ada yang kurang mapan”.

“Apakah ada hubungannya dengan kakang Agung Sedayu?”.

“Aku rasa tidak”.

“Semoga keluarga di Menoreh dalam keadaan baik-baik saja”.

“Mari kita sama-sama nenuwun agar kita semua selalu mendapat perlindungan dari Gusti Yang Maha Agung”.

“Iya..marilah kita segera tidur agar mbokayu tidak menjadi semakin gelisah”.

Nyi Pandan Wangi yang masih gelisah tidak dapat segera tidur meskipun matanya sudah terpejam untuk beberapa lama. Ketika terdengar suara ayam berkokok untuk kedua kalinya barulah dia baru bisa benar-benar tidur.

Pagi-pagi sekali mereka pun sudah terbangun. Ketika Nyi Sekar Mirah akan pergi ke pakiwan yang harus melewati dapur terlebih dahulu sudah melihat pembantunya sibuk dengan pekerjaan di dapur.

Para pembantu itu memang kemarin sudah mendapatkan pesan agar memasak lebih pagi dari biasanya karena para tamu akan berangkat pagi-pagi sekali.

Setelah mereka selesai membersihkan diri di pakiwan, tidak lama kemudian mereka pun segera makan pagi menjelang matahari terbit di ufuk timur.

Nasi putih yang masih mengepul, mangut lele, sayur daun lembayung serta sambal terasi benar-benar menggugah selera makan pada pagi itu.

“Kau tidak perlu sungkan jika ingin nambah lagi ngger”. ucap Nyi Sekar Mirah ketika melihat Arya Nakula lebih dulu selesai makannya.

“Sudah kenyang Bibi”. jawab Arya Nakula sembari meletakkan alat makannya di atas meja.

“Kau harus makan yang banyak biar cepat besar ngger”.

“Ibu..apakah benar yang dikatakan Bibi Pandan Wangi jika aku makannya banyak cepat menjadi besar?”.

Nyi Lurah Glagah Putih yang mendapat pertanyaan itu hanya bisa tersenyum sembari menatap wajah anak semata wayangnya tersebut.

Setelah selesai makan dan beristirahat beberapa saat, Nyi Pandan Wangi dan rombongan dari Tanah Perdikan Menoreh segera bersiap-siap untuk menempuh perjalanan panjang.

“Semoga perjalanan kalian tidak ada hambatan, tolong sampaikan salam hormatku kepada Ki Gede Menoreh dan seluruh keluarga di Menoreh”.

“Terima kasih Sekar Mirah, nanti akan aku sampaikan kepada Ayah. Tapi tolong sempatkan waktumu untuk mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh, karena Ayah juga merindukanmu”.

Nyi Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.

“Baiklah mbokayu, nanti aku berusaha untuk menyempatkan”. kata Nyi Sekar Mirah sembari berjalan sampai di depan regol untuk melepas tamunya yang akan menaiki kuda mereka.

Sementara di Tanah Perdikan Menoreh menjelang matahari terbenam.

Tiga orang perempuan yang mengenakan pakaian khususnya berjalan menyusuri jalan padukuhan induk. Mereka berjalan dengan santainya karena memang tidak ada keperluan yang mendesak.

“Mbokayu, apakah kita akan langsung menuju ke rumah kakang Glagah Putih?”. bertanya salah satu perempuan yang lebih muda.

“Aku kira lebih baik kita ke rumah Ki Gede Menoreh terlebih dahulu, supaya nantinya kita tidak bolak-balik untuk membuat laporan”.

“Baiklah”.

Rupanya ingatan mereka masih cukup baik meskipun sudah lama sekali tidak berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh, mereka masih dapat mengingat dimanakah letak rumah Ki Gede Menoreh berada, sehingga mereka tidak menemui kesulitan.

Akhirnya mereka sampai juga di depan rumah Ki Gede Menoreh yang pintu regolnya di jaga oleh para pengawal. Ketiganya pun berhenti.

“Maaf Ki Sanak, apakah kami diperkenankan untuk menghadap Ki Gede Menoreh?”. bertanya salah satu perempuan tersebut.

Pengawal yang masih merasa asing dengan orang yang berada di hadapannya pun mengamati dengan seksama ketiganya secara bergantian.

“Maaf Nyi Sanak, kalian siapa dan darimana serta ada keperluan apa?”. bertanya salah satu pengawal yang bertugas dengan ramah.

“Aku Padmini dan ini adalah adik-adikku, kami berasal dari sebelah selatan Gunung Kendeng. Keperluan kami datang kemari adalah untuk meminta izin mengunjungi saudara kami yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ini”.

“Maaf Nyi Sanak, jika boleh aku tahu siapakah saudara Nyi Sanak itu? barangkali aku dapat membantu”. tanya pengawal yang nampaknya masih berhati-hati.

“Kakang Glagah Putih”.

“Maksudmu Ki Lurah Glagah Putih?”. tanya pengawal terkejut.

“Oh iya..Ki Lurah Glagah Putih”.

“Silahkan tunggu sebentar Nyi Sanak, akan aku sampaikan kepada Ki Gede Menoreh”.

“Terima kasih”.

Sejenak kemudian salah satu pengawal itu memasuki bangunan induk untuk melaporkan kepada Ki Gede Menoreh, tidak butuh waktu lama pengawal itu telah kembali lagi.

“Nyi Sanak semua dipersilahkan masuk oleh Ki Gede”.

Pengawal itu lalu mengantarkan tamunya untuk bertemu dengan Ki Argapati yang sudah lebih dulu duduk di ruang dalam.

Tidak lupa mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing setelah bertemu berhadapan.

“Maafkan aku Nyi Sanak, jika dalam menyambut kedatangan kalian tidak seperti yang seharusnya, itu semua karena keterbatasanku”.

“Tidak apa-apa Ki Gede, justru kami yang minta maaf karena telah mengganggu istirahat Ki Gede Menoreh”.

“Tidak mengganggu Nyi Sanak, karena setiap hari kerjaku hanya beristirahat”.

“Kami mengucapkan terima kasih karena sudah diperkenankan menghadap Ki Gede”.

“Maafkan aku, sekarang kesehatan wadagku sudah jauh menurun, penglihatanku pun sudah tidak begitu jelas jika terlalu jauh”.

“Tidak apa-apa Ki Gede, kami dapat mengerti”.

“Kedatangan kalian hanya sekedar untuk mengunjungiku atau ada keperluan lain?”.

“Pertama-tama kedatangan kami kemari adalah memang karena ingin mengunjungi Ki Gede. Kedua, keperluan kami adalah ingin meminta izin kepada Ki Gede karena kami ingin mengunjungi saudara kami yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ini”.

“Siapakah saudara kalian itu?”.

“Kakang Glagah Putih”.

“Kalian dari mana?”.

“Kami berasal dari daerah yang berada di selatan Gunung Kendeng”.

“Jauh sekali rupanya, tapi seingatku yang sudah pikun ini Ki Lurah Glagah Putih tidak mempunyai saudara perempuan”.

“Kami adalah saudara angkat”.

“Ya..aku memang sudah pikun”.

Pembicaraan mereka terputus ketika pembantu Ki Gede menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Di sela-sela mereka menikmati makanan yang disuguhkan, mereka melanjutkan pembicaraan.

“Tapi sayang sekali Nyi Sanak, Ki Lurah Glagah Putih sedang tidak berada di rumahnya, dia pergi bersama anak istrinya dan anakku pula ke Jati Anom”.

Ketiga perempuan itu saling pandang dengan perasaan penuh kekecewaan setelah mendengar keterangan Ki Gede Menoreh.

Ki Gede Menoreh yang mempunyai panggrahita sangat tajam tidak ingin membuat tamunya semakin gelisah.

“Tapi aku rasa mereka tidak lama lagi pasti akan pulang, karena mereka pergi sudah hampir dua pekan”.

Ki Gede yang masih menangkap kegelisahan tamunya lalu berkata, “tunggulah satu atau dua hari lagi disini, aku rasa mereka sudah akan kembali. Kalian tidak perlu khawatir untuk tidur selama menunggu, disini banyak bilik kosong”.

“Kalian tidak perlu sungkan, Ki Lurah Glagah Putih sudah aku anggap seperti anak sendiri. Jadi anggap saja rumah ini rumahnya pula”.

“Kami hanya bisa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kebaikan Ki Gede”. jawab perempuan yang tertua.

“Silahkan kalian membersihkan diri dulu ke pakiwan, setelah itu kita makan malam bersama-sama. Biarlah kalian diantar pembantu rumah ini”.

“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih”.

Setelah ketiga perempuan itu selesai membersihkan diri di pakiwan, mereka segera diajak makan malam oleh Ki Argapati di ruang dalam.

Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu memang sudah sangat sepuh dan kesehatannya sudah jauh menurun, bahkan untuk makan dia harus dibantu orang lain.

Pada saat mereka masih menyelesaikan makan malam, dari kejauhan terdengar derap kaki kuda, sepertinya lebih dari satu ekor.

Ki Gede Menoreh yang dulunya adalah orang linuwih baru bisa mendengar suara itu setelah sudah mendekati rumah.

Ketiga perempuan yang sedang makan itu wajahnya datar saja dan tidak menanggapi meskipun mendengarnya pula. Mereka menduga yang datang adalah tamu-tamu Ki Gede Menoreh.

Setelah beberapa lama suara kuda-kuda itu berhenti di depan rumah.

“Ayah”. suara Nyi Pandan Wangi yang mencari ayahnya ke ruang dalam.

“Kau rupanya nduk”.

“Oh..Ayah sedang makan rupanya”. kata Nyi Pandan Wangi setelah menemukan ayahnya.

“Apakah kau akan ikut makan sekalian?”.

“Aku mau ke pakiwan dulu. Mereka siapa Ayah?”.

Kemudian Ki Gede Menoreh memperkenalkan orang yang berada di depan kepada anaknya, yang baru saja menyelesaikan makannya.

“Tapi sayang sekali, orang yang kalian cari tidak datang bersama kami”.

Ketiga perempuan itu saling pandang dengan rasa kekecewaan setelah mendengar orang yang mereka cari tidak dapat mereka temui.

“Tapi kami datang bersama anak dan istrinya”. ucap Nyi Pandan Wangi yang mengejutkan ketiga orang tamunya.

“Benarkah Nyi, dimanakah sekarang mbokayu Rara Wulan?”. tanya perempuan yang paling muda tidak sabar.

“Sabarlah Baruni, kau harus tetap ingat unggah-ungguh”.

“Maafkan aku mbokayu Padmini, aku sudah rindu sekali kepada mbokayu Rara Wulan”.

“Aku mengerti Baruni, tapi kita adalah tamu disini”.

Nyi Pandan Wangi yang tidak sampai hati melihat tamu-tamunya dalam kegelisahan berkata, “Rara Wulan berada di pendapa. Jika makan malam kalian sudah selesai temuilah dia”.

“Terima kasih Nyi Pandan Wangi”.

Ketiga perempuan itu pun segera beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju pendapa untuk menemui Nyi Rara Wulan.

“Mbokayu Rara Wulan”. ucap Baruni setengah berteriak ketika mendekati pendapa.

Ibu Arya Nakula itu tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat siapa yang memanggil namanya.

“Padmini, Setiti, Baruni. kapan kalian datang? kalian datang bersama siapa saja?”. pertanyaan bertubi-tubi keluar dari mulut Nyi Lurah Glagah Putih.

Nyi Rara Wulan tidak segera mendapat jawaban, tapi tubuhnya sudah mendapat pelukan yang sangat erat di sekeliling tubuhnya. Tanpa terasa pada pelupuk mata mereka melelehkan cairan hangat.

“Kami rindu sekali mbokayu”. ucap Baruni dalam pelukan mbokayu angkatnya tersebut.

“Aku juga sangat merindukan kalian”. jawab Nyi Rara Wulan yang masih terhanyut dalam suasana yang mengharukan itu.

Setelah puas meluapkan kerinduan, mereka segera mencari tempat duduk masing-masing, lalu menyalami Ki Jayaraga dan Arya Nakula.

“Bukankah selama ini kalian dalam keadaan baik-baik saja?”.

“Berkat doa mbokayu sekeluarga, kami semua dalam keadaan baik. Bagaimana dengan mbokayu sendiri”.

“Kami sekeluarga disini juga dalam keadaan baik”.

“Jika aku tidak salah ingat, bukankah kalian sudah beberapa kali kemari?”.

“Benar Ki Jayaraga, tapi terakhir kemari sudah lama sekali waktu kami menjenguk kelahiran Arya Nakula”.

Sebelum mereka melanjutkan pembicaraan, terlihat Nyi Pandan Wangi muncul dari pintu pringgitan sembari menggendong Sekar Wangi bersama dua pembantunya yang membawakan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Aku menyampaikan permintaan maaf Ayah, karena tidak bisa menemani kalian lebih lama”. berkata Nyi Pandan Wangi setelah bergabung bersama tamu-tamunya di pendapa.

“Tidak apa-apa mbokayu, kami dapat mengerti”. jawab Nyi Rara Wulan.

“Tapi bukankah Ki Gede dalam keadaan baik-baik saja Nyi Pandan Wangi?”. tanya Ki Jayaraga.

“Ayah baik-baik saja Ki Jayaraga, hanya butuh lebih banyak istirahat”.

“Adakalanya aku juga seperti itu jika hanya berdiam diri di rumah, makanya aku lebih senang bergerak kesana kemari agar terhibur dan sejenak bisa melupakan kelemahanku”.

“Kami mengerti Ki Jayaraga, setelah kita melewati titik puncak hidup, maka dengan semakin umur kita bertambah maka semakin dikurangi pula kemampuan wadag kita oleh Gusti Yang Maha Agung”.

“Nyi Pandan Wangi benar”.

“Kedatangan kalian hanya ingin mengunjungiku atau ada pula keperluan lain?”.

Ketiga perempuan yang mendapat pertanyaan itu saling memberikan isyarat untuk bicara, tapi akhirnya Padmini lah yang menjawab.

“Kami hanya ingin mengembara saja untuk menambah pengalaman. Karena sejak Ayah dan Ibu meninggal kami di titipkan di Padepokan Cengkalsewu hampir tidak pernah keluar untuk waktu beberapa lama”.

“Daripada kalian tidak mempunyai tujuan yang jelas, sebaiknya kalian tinggal bersamaku”.

“Rara Wulan, bukankah kau masih ingat yang kita bicarakan kemarin dengan mbokayumu Sekar Mirah?”. ucap Nyi Pandan Wangi menyela pembicaraan.

Nyi Rara Wulan sejenak terdiam dan mengingat-ingat apa yang dimaksudkan ibu Sekar Wangi tersebut.

“Aku ingat mbokayu. Jika kalian berminat kami ada pekerjaan untuk kalian”. kata Nyi Rara Wulan kepada ketiga adik angkatnya.

“Pekerjaan apa mbokayu? tapi aku tidak bisa jika harus bekerja menjadi juru blandong”. jawab Padmini yang kemudian tertawa, dan yang lain pun ikut tertawa.

“Bukankah kalian sudah terbiasa pekerjaan kasar?”. jawab Nyi Rara Wulan yang kembali tertawa.

“Kalian suka berkelakar pula rupanya”. kata Nyi Pandan Wangi setelah tertawa mereka reda.

“Kami hanya berani pada orang tertentu saja Nyi, yang pasti hanya dengan orang yang dekat saja”. jawab Padmini.

“Ya..aku mengerti”.

“Tadi mbokayu Rara Wulan akan menawari pekerjaan kami apa?”. kali ini Setiti yang bertanya.

Kemudian Nyi Rara Wulan menjelaskan sehubungan dengan adanya nawala dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma secara rinci beserta tugas apa saja yang mungkin akan mereka pikul jika menerima tugas tersebut.

“Menarik sekali mbokayu”. jawab Baruni.

“Kau jangan tergesa-gesa Baruni”. potong Padmini cepat. Lalu, “kita juga harus memikirkan bagaimana kemampuan kita karena itu adalah sebuah tanggung jawab yang sangat besar, kita tidak bisa semau kita sendiri”.

“Maafkan aku mbokayu, mungkin karena aku terlalu bersemangat, sehingga melupakan pertimbangan-pertimbangan yang wajar”.

“Kalian tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, masih ada cukup waktu untuk memikirkannya”.

“Terima kasih Nyi Pandan Wangi, kami akan memikirkan ini dengan sebaik-baiknya”.

 *  *  *

Sementara itu malam yang semakin larut di tempat yang sangat jauh dari keramaian, karena terletak di salah satu puncak Gunung Kendalisada.

Pada sebuah bilik di dalam rumah yang tidak begitu besar disinari sebuah lampu minyak yang diletakkan pada ajuk-ajuk sudut ruangan, ada dua orang yang nampaknya belum tidur meskipun sudah berada di pembaringan.

“Kakang..aku ingin bertanya kepadamu tapi tolong kau jawab dengan jujur”.

Orang yang dipanggil kakang oleh perempuan yang sangat cantik dalam dekapannya tersebut tidak langsung menjawab tapi hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah kau keberatan?”.

“Tidak. Katakanlah”.

“Apakah kau bahagia setelah kita dapat melaksanakan janji suci?”. bertanya perempuan cantik itu dengan suara perlahan.

“Mengapa kau masih bertanya demikian?”.

“Aku ingin mengetahui isi hatimu yang paling dalam kakang. Apakah itu salah?”.

“Kau tidak salah, tapi pertanyaan itu terasa aneh di telingaku”.

“Apakah aneh jika aku ingin mengetahui isi hati pasanganku seutuhnya?”.

Orang yang mendapat pertanyaan itu semakin merasa bingung untuk menjawabnya, hanya tarikan nafasnya dalam-dalam saja yang terdengar untuk beberapa saat.

“Mengapa kau diam Kakang?”.

“Tidak ada yang salah dengan pertanyaanmu, hanya saja aku belum menemukan jawabannya untuk bicara”.

Karena tidak sabar menunggu jawaban, perempuan cantik itu mencubit dada sebelah kanan orang yang mendekapnya yang memang tidak mengenakan baju.

“Ah…” desis orang yang dicubit.

“Aku akan mencubitmu lebih banyak lagi jika tidak segera menjawab pertanyaanku”.

“Ha..ha.. bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu jika justru kau malah menggangguku yang sedang berusaha mencari jawaban”.

Justru perempuan cantik itu mencubit beberapa kali lagi mendengar jawaban itu.

“Aku tidak peduli meski Kakang mengetrapkan ilmu kebal”.

“Baiklah, aku akan menjawabnya”. jawabnya sembari mengusap-usap kepala perempuan yang sangat cantik itu dalam dekapannya.

“Aku bahagia. Tapi apakah kau bahagia pula? sedangkan kau tahu sendiri bagaimana keadaanku”.

“Aku tahu keadaan Kakang, tapi aku  tetap merasa bahagia meskipun aku tahu aku harus berbagi”.

“Kau memang aneh, padahal diluar sana masih banyak sekali orang yang lebih baik dari aku dan masih sendiri, tapi kau tetap menjatuhkan pilihanmu padaku”.

“Memang masih banyak orang diluar sana yang lebih baik dan masih sendiri, tapi hanya kau yang mampu mengetuk kelamnya hatiku pada waktu itu sejak pertama saat kita bertemu. Kau banyak memberikan pelajaran dalam hidupku, baik secara langsung maupun tidak langsung”.

“Aku juga tidak tahu, meskipun dulu aku pernah merasa terhormat dengan diangkat derajatku oleh Pangeran Anom, tapi aku tetap tidak bisa membohongi diriku sendiri. Karena semakin lama aku berusaha melupakanmu maka semakin kuat pula bayanganmu dalam pikiranku”.

“Aku sangat menghargai kejujuranmu, dan aku mengerti jalan pikiranmu serta apa yang kau rasakan”.

“Dulu sebelum aku bertemu dengan kakang, aku berpikir jika semua laki-laki sama saja, tapi sejak aku bertemu denganmu penalaranku menjadi berubah”.

“Aku mengerti, mungkin itu karena kau telah dikungkung oleh kedua gurumu yang berhati kelam sekian lama sehingga membuat penalaranmu menjadi buram, tapi kau tidak perlu lagi menyesali masa lalumu yang pahit itu karena Yang Maha Agung pasti lebih tahu apa yang terbaik bagi kita”.

“Dulu aku merasa menjadi manusia yang paling kotor di dunia ini, bahkan aku sendiri merasa sudah tidak punya hak untuk bermimpi lagi tentang hidup bebrayan yang penuh kebahagiaan bersama orang yang paling aku cintai. Tapi setelah aku berpasrah diri kepada Yang Maha Agung seutuhnya jalan itu mulai terbuka”.

Tanpa terasa air mata meleleh dari pelupuk mata perempuan cantik itu dalam dekapan suaminya.

“Sudahlah Anjani...tak perlu kau tangisi lagi masa lalumu itu, mulai sekarang aku akan berusaha membahagiakanmu dengan segala keterbatasanku”.

“Terima kasih Kakang”. ucap Anjani sembari mengusap air mata dengan tangan kirinya.

“Sudah larut malam, sebaiknya kita segera beristirahat”.

Anjani tidak menjawab hanya menganggukkan kepala beberapa kali, lalu memejamkan matanya.

Dalam hati Anjani mengucapkan syukur yang tak terhingga kepada Yang Maha Agung, karena pada akhirnya dia sudah bisa menatap hari-hari yang cerah kedepannya bersama orang yang sangat dicintainya.

Tidak lama kemudian keduanya pun segera tertidur pulas dengan penuh kebahagiaan dan kedamaian di hati masing-masing.

Pagi itu Anjani terbangun di amben tempat tidurnya merasa ada sesuatu yang kurang mapan, lalu dibukalah kedua matanya.

Ternyata suaminya sudah tidak berada di tempatnya. Setelah membenahi pakaiannya lalu dia pergi menuju ke pakiwan untuk membersihkan diri.

Setelah selesai membersihkan diri Anjani keluar dari rumahnya yang sangat sederhana itu untuk mencari suaminya yang ternyata sedang berdiri di salah satu puncak Gunung Kendalisada dan menatap ke arah matahari terbit.

Anjani memeluk suaminya tersebut dari belakang.

“Rupanya kau sudah bangun Anjani?”. bertanya suaminya yang tetap berdiri tak bergeming di tempatnya.

“Sudah Kakang”.

“Aku merasa jika kakang sedang memikirkan sesuatu?”.

“Ya…aku sedang memikirkan bagaimana nasib pasukan Mataram yang sedang melawat ke bang wetan”.

“Apakah yang kakang khawatirkan?”.

“Kanjeng Sinuhun Mataram yang sekarang adalah orang yang berhati keras dalam meraih gegayuhannya, aku khawatir pada nasib pasukan prajurit Mataram jika mereka mengalami kegagalan. Karena Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma pasti tidak dapat dengan mudah untuk menerima kekalahan tersebut”.

“Jadi apa yang akan kakang lakukan?”.

“Mungkin aku perlu mengawasi mereka tanpa harus menampakkan diri. Hanya dalam keadaan yang benar-benar terpaksa sajalah aku akan melibatkan diri”.

“Terserah saja pada kakang, jika memang itu baik aku akan selalu mendukung. Apakah aku diizinkan jika ikut menyertai kakang?”.

Suami Anjani itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan.

“Jika kau meminta untuk ikut serta, rasanya aku kurang mapan jika tidak mengajak pula kedua mbokayumu”.

“Bukankah itu akan menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan?”.

“Tapi perjalanan kita kali ini bukanlah perjalanan untuk bersenang-senang tapi sebuah perjalanan yang sangat berbahaya”.

“Aku mengerti kakang”.

“Terima kasih atas pengertianmu”.

“Kakang tidak perlu berterima kasih, lagipula aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berusaha berbakti pada kakang sebagai suamiku sejauh kemampuanku”. ucap Anjani yang kemudian melepaskan pelukannya dari belakang suaminya dan bergeser ke samping suaminya berdiri.

“Sebaiknya kita segera menemui kedua mbokayumu”.

Dalam pada itu di Kotaraja Mataram, tepatnya di dalam Istana, Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sedang menerima Ki Patih Singaranu yang menghadap.

Karena bukanlah pertemuan resmi, Kanjeng Sinuhun Mataram menerima Ki Patih Singaranu di serambi kanan.

“Ampun Kanjeng Sinuhun, hamba ingin menyampaikan laporan prajurit sandi yang bertugas ke bang wetan”.

“Katakanlah Ki Patih”.

“Pasukan Mataram yang terdiri dari segelar sepapan sudah melintasi daerah Madiun, kemungkinan sepekan lagi pasukan itu akan tiba di Wirasaba”.

“Dan laporan dari di Wirasaba menyampaikan bahwa Kadipaten Wirasaba mulai menarik seluruh pasukannya dan dipusatkan di Kotaraja. Selain itu mereka terlihat mengangkut senjata dari orang-orang asing yang aneh”.

“Apakah maksud Ki Patih adalah senjata bedil dan meriam?”.

“Benar sekali Kanjeng Sinuhun”.

Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma terdiam sesaat mendengar laporan tersebut.

“Senjata yang masih asing bagi kita itu memang sangat nggegirisi dan mematikan, tapi kita harus bisa menyiasatinya. Bagaimanapun juga jika kita tidak bisa mengatasinya maka orang-orang kita sendiri yang akan menjadi bebanten”.

“Benar sekali Kanjeng, seperti yang sudah terjadi pada saat kita berusaha menaklukkan Kadipaten Surabaya, pada akhirnya akan jatuh korban dalam kesia-siaan”.

“Aku mengerti Ki Patih, maka dari itu aku tidak mau lagi itu terjadi pada pasukanku yang akan menaklukkan Kadipaten Wirasaba kali ini”.

Sejenak  suasana menjadi hening.

“Ki Patih, perintahkan kepada pasukan khusus Pengawal Raja dan para Pangeran untuk menghadiri paseban besok”.

“Sendika dawuh Kanjeng”.

“Besok pada waktu menjelang pasar temawon”.

Setelah Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma merasa cukup mendengarkan laporan dan memberikan perintah, lalu bergegas pergi meninggalkan Ki Patih Singaranu sendiri.

Sementara itu keesokan harinya pada waktu menjelang wayah pasar temawon di paseban semua orang yang diperintahkan Kanjeng Sinuhun Mataram telah berkumpul, tanpa kecuali.

Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma menyampaikan sedikit sesorahnya terlebih dahulu ketika akan memulai acara pertemuan di paseban.

Orang-orang yang berada di peseban hanya menundukkan kepalanya saja tanpa berani menatap orang yang menyampaikan sesorah.

Meskipun Kanjeng Sinuhun Mataram adalah orang yang masih muda umurnya tapi wibawanya sangat besar.

“Pasukan Mataram saat ini telah melintasi Madiun, dan kurang lebih sepekan lagi mereka akan sampai di Kadipaten Wirasaba”. ucap orang yang waktu mudanya bernama Raden Mas Rangsang.

“Seperti yang pernah aku sampaikan pada kalian sebelum pasukan segelar sepapan itu berangkat melaksanakan tugas, aku sendiri yang akan memimpin pasukan. Tapi karena beberapa pertimbangan aku tidak bisa berangkat bersama-sama dengan mereka, aku akan menyusul kemudian”.

“Sehubungan dengan keberangkatanku ke Wirasaba aku akan membentuk pasukan kecil yang akan menyertaiku. Aku minta dari beberapa pangeran dan beberapa orang pilihan dari Pasukan Khusus Pengawal Raja, tapi Mataram tidak boleh kosong karena itu akan sangat berbahaya”.

“Kami akan berusaha menjunjung tinggi segala titah dari Kanjeng Sinuhun”. ucap Ki Patih Singaranu sembari menghaturkan sembah.

“Ki Patih Singaranu dan Eyang Pangeran Singasari aku minta untuk tetap berada di Kotaraja selama aku pergi untuk mewakili aku dan bertindak atas namaku”.

“Sendika dawuh Kanjeng Sinuhun”. jawab Ki Patih Singaranu di tempat duduknya.

“Paman Pangeran Puger, Paman Pangeran Pringgalaya, dan Paman Pangeran Demang Tanpa Nangkil aku minta untuk ikut bersamaku melawat ke Wirasaba sebagai senopati pengapit sekaligus penasehatku”.

“Sendika angger Sinuhun”. jawab ketiga pangeran itu hampir bersamaan.

“Besok lusa saat matahari terbit kita berangkat. Dan untuk menghindari perhatian orang di sepanjang perjalanan lebih baik kita mengenakan pakaian biasa saja layaknya para pengembara tanpa pakaian kebesaran atau pertanda apapun juga”.

“Apakah ada yang ingin kalian sampaikan?”. bertanya Kanjeng Sinuhun Mataram.

Sejenak ruangan menjadi hening setelah mendapat pertanyaan, mereka hanya saling memberi isyarat satu dengan yang lain.

Setelah beberapa saat tidak ada yang membuka suara.

“Hamba rasa sudah jelas Kanjeng Sinuhun, kita tinggal mempersiapkan diri sebaik-baiknya, baik yang akan berangkat dan yang tidak”. ucap Ki Patih singaranu setelah melihat tidak ada yang membuka suara.

“Jika sudah tidak ada lagi yang kita bicarakan, pertemuan aku akhiri sampai disini, dan aku mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah hadir. Semoga gegayuhan kita ini mendapat izin dari Gusti Yang Maha Agung”.

Setelah menutup pertemuan itu, Kanjeng Sinuhun Mataram bergegas meninggalkan ruangan paseban tanpa menunggu yang lain, karena ada beberapa orang diantara mereka memerlukan untuk sedikit berbincang.

*  *  *

Dalam pada itu, di Kadipaten Wirasaba semakin hari terlihat menjadi semakin sibuk dengan segala persiapan perang untuk berusaha menggagalkan usaha Mataram menguasai tanah kelahiran mereka yang sudah mereka tempati secara turun-temurun.

Hampir setiap orang di Wirasaba mulai dicekam oleh ketegangan, bahkan tidak hanya dirasakan oleh para prajurit, tapi hingga kawula alit yang berada jauh dari Kotaraja.

Kawula alit Wirasaba yang menyadari tidak bisa berbuat apa-apa jika pecah perang, sudah mulai meninggalkan tempat tinggalnya. Meskipun banyak pula yang tidak tahu harus pergi kemana, tapi yang paling penting adalah keselamatan mereka.

Beberapa padukuhan dan kademangan sudah mulai banyak ditinggalkan penghuninya sehubungan dengan semakin dekat waktu yang telah diperkirakan kapan perang itu terjadi.

Ada pula yang sedang mempersiapkan diri untuk mengungsi dan merasa tidak ingin meninggalkan harta bendanya begitu saja mengingat bagaimana jerih payahnya untuk mendapatkan semua itu, sehingga menyiapkan pedati untuk membawanya.

“Kau lihat Ki Panut, kang?”. berkata seorang perempuan paruh baya kepada suaminya.

“Iya aku melihatnya, ada apa?”.

“Ki Panut yang terkenal kaya di kademangan kita itu sepertinya tidak rela meninggalkan harta benda untuk sementara, akan membawanya dengan menggunakan tiga pedati”.

“Ah…biarkan saja Nyi, apa peduli kita?”.

“Bukankah dengan begitu dia akan menyusahkan dirinya sendiri di perjalanan, apalagi ada kemungkinan kita akan kembali lagi setelah perang berakhir”.

“Mungkin mereka tidak akan kembali lagi”.

“Benarkah demikian?”.

“Hanya dugaanku saja”.

Tapi kedua suami istri itu tidak melanjutkan lagi pembicaraan itu karena mereka juga disibukkan oleh pekerjaan sendiri.

Akhir-akhir ini orang-orang di Wirasaba lebih banyak disibukkan oleh pekerjaan mempersiapkan diri untuk mengungsi sementara waktu, dibandingkan dengan pekerjaan mereka sehari-hari.

Tempat-tempat yang sering dikunjungi banyak orang pun sudah mulai menyusut keramaiannya, dari pasar, alun-alun, dan sawah yang biasanya banyak orang bekerja.

Sangat berbeda dengan para prajurit yang justru semakin hari menjadi semakin sibuk menjelang perang pecah. Banyak pekerjaan para prajurit sehubungan dengan persiapan menyambut perang.

Prajurit Wirasaba menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, seperti membuat panggungan di balik dinding sepanjang Kotaraja, menyiapkan senjata seperti anak panah beserta busurnya, bandil, dan masih banyak lagi.

Beberapa Perwira prajurit selalu mengawasi pekerjaan anak buahnya, untuk memastikan bahwa hasil kerja mereka sesuai seperti yang diharapkan.

Di sela-sela kesibukan para prajurit yang bekerja, Kanjeng Adipati Arya yang berada di dalam Istana Kadipaten sedang mengadakan pembicaraan dengan Ki Patih Rangga Permana untuk langkah-langkah selanjutnya.

“Bagaimana persiapan kita dalam menyambut perang melawan Mataram Paman?”. bertanya Kanjeng Adipati.

“Berdasarkan laporan yang aku terima, para prajurit sudah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai perintah Angger Adipati”.

“Apakah menurut Paman, kita akan mampu membendung kekuatan Mataram?”.

“Meskipun pasukan Mataram terkenal sangat kuat, tapi aku rasa kita akan mampu menahannya jika pasukan kita menjalankan perintah sesuai rencana”.

“Maafkan aku Paman, aku telah membebankan tanggung jawab yang seharusnya aku pikul kepada Paman”.

“Kau tidak perlu minta maaf ngger, karena ini adalah tanggung jawab kita bersama”.

“Tapi tetap saja aku merasa bersalah Paman, karena semua ini adalah tanggung jawabku, tapi malah aku limpahkan pada orang lain tanggung jawab itu”. ucap Kanjeng Adipati dengan penuh kesedihan.

Ki Patih Rangga Permana hanya bisa terdiam mendengarnya.

“Beruntunglah Kadipaten Wirasaba mempunyai Paman Patih Rangga Permana”.

“Sudahlah ngger, kita tidak perlu terlarut dalam suasana seperti ini, kita adalah prajurit yang membawahi seluruh prajurit di Kadipaten Wirasaba yang akan menghadapi perang, tidak sepantasnya kita hanya meratapi nasib”.

Kanjeng Adipati Wirasaba yang masih sangat muda itu terdiam mendengar ucapan paman sekaligus patihnya tersebut, dia berusaha meresapi semua kata-kata tersebut.

“Apapun yang terjadi nantinya, kita harus tetap menghadapi semua ini dengan kepala tegak”. ucap Ki Patih Rangga Permana.

“Terima kasih Paman. Aku akan berusaha dengan sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk Paman”.

“Sudahlah ngger, kita harus segera bisa melupakan segala perasaan yang tidak ada ujung pangkalnya itu, sudah saatnya kita harus memikirkan langkah-langkah selanjutnya untuk membendung kekuatan Mataram karena kita harus mempertaruhkan nyawa seluruh prajurit Wirasaba”.

“Baiklah Paman, aku mengerti”.

“Berdasarkan laporan, bantuan dari beberapa padepokan sudah ada yang tiba di Kotaraja, ada yang sedang dalam perjalanan menuju kemari, tapi selambat-lambatnya sepekan lagi mereka sudah datang semua”.

“Bagaimana dengan prajurit kita sendiri Paman?”.

“Sebagian besar pasukan Wirasaba sudah memasuki Kotaraja, hanya kesatuan yang jaraknya jauh dari Kotaraja saja yang belum tiba, tapi dalam satu atau dua hari kedepan kemungkinan sudah tiba pula”.

“Jika nanti semua prajurit Wirasaba sudah datang, kita segera adakan pertemuan dengan para senopati dari setiap kesatuan dan para pemimpin padepokan yang sudah datang Paman”.

“Baiklah ngger, dengan demikian kita akan segera mengetahui seberapa besar kekuatan pasukan kita, sehingga akan mempermudah dalam mengambil keputusan”.

“Bagaimana dengan para kawula alit Wirasaba?”.

“Berdasarkan laporan terakhir yang aku terima, banyak padukuhan dan kademangan yang sudah mulai ditinggalkan para penghuninya”.

“Syukurlah jika mereka sudah mulai menyadari keadaan, karena aku tidak ingin mereka menjadi korban. Meskipun sejauh pengetahuanku Mataram bukanlah pasukan yang bengis dan sangat menjunjung tinggi paugeran perang, tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi”.

“Benar sekali ngger, mungkin saja jika Mataram tidak mampu menaklukkan Wirasaba sehingga menjadi waringuten dan melupakan segala paugeran perang yang berlaku dengan melampiaskannya kepada para kawula alit”.

“Dan itu yang aku tidak ingin terjadi pada kawula Wirasaba Paman”.

“Aku juga berpikir demikian ngger, karena mereka tidak pantas untuk dikorbankan”.

*  *  *

Sementara itu, pasukan Mataram segelar sepapan yang sangat besar seperti ular raksasa yang sedang berjalan, semakin hari semakin mendekati Kadipaten Wirasaba.

Ketika sinar matahari sudah terlihat kemerah-merahan di ufuk barat, pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Suratani itu memutuskan untuk beristirahat dan mendirikan perkemahan sementara di padang perdu sebelah hutan yang mereka lewati.

Kemudian Ki Tumenggung Suratani memanggil prajurit penghubung untuk memberitahukan kepada seluruh pasukan agar berhenti dan segera mendirikan tempat peristirahatan sementara.

Para prajurit kemudian disibukkan dengan pekerjaan sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Sebagian prajurit bekerja untuk mendirikan perkemahan sementara, prajurit yang menjadi Juru Dang sudah mulai menyibukkan diri di dapur, sebagian prajurit yang lain berusaha mencari sumber air bersih ke tempat terdekat, dan sebagian prajurit yang lain bertugas mencari kayu bakar dan ranting-ranting yang kering untuk memasak.

Beberapa dandang besar yang terbuat dari tembaga pun segera disiapkan oleh Juru Masak di perapian bersamaan dengan wajan-wajan besar untuk memasak lauk setelah datangnya kayu bakar untuk memasak.

“Hari ini kau akan masak apa kang?”. bertanya salah satu kawannya yang membatu di dapur.

“Karena Gudeg yang tadi pagi masih mencukupi, aku rasa kita tinggal menanak nasi dan memasak ikan kering ini”.

“Apakah kau tidak membuat sambal, kang? karena aku kurang bersemangat makan jika tanpa sambal”. prajurit yang tadi bertugas mencari kayu bakar ikut menimpali.

“Kau tidak perlu khawatir, aku membawa banyak persediaan sambal kering”.

Prajurit yang suka makan pedas itu pun tersenyum, lalu meninggalkan tempat itu.

Ketika malam memasuki wayah sepi bocah, semua prajurit telah selesai makan malam setelah mendapat nasi ransum yang berisi sayur Gudeg, ikan kering dan sambal yang dikeringkan.

Setelah selesai makan, sebagian dari mereka berbincang serta berkelakar bersama kawan-kawan kelompoknya, ada pula yang langsung merebahkan diri pada ketepe yang mereka buat dari daun kelapa.

Sementara di ruang perkemahan Ki Tumenggung Suratani sebagai senopati tertinggi Mataram pada pasukan tersebut sedang berkumpul beberapa orang penting dari pasukan tersebut.

“Tidak lama lagi kita akan memasuki Kadipaten Wirasaba, semoga kita bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya”. ucap Ki Tumenggung dari kesatuan Pasukan Khusus itu.

“Benar Ki Tumenggung, semoga perjuangan kita seperti yang kita harapkan”.

“Semoga saja, karena berdasarkan laporan yang aku terima pasukan Wirasaba telah melengkapi persenjataan mereka dari orang-orang asing yang sangat nggegirisi dan mematikan, kita harus bisa menyiasatinya”.

“Benar Ki Tumenggung, kita jangan sampai membiarkan senjata itu memporak-porandakan pasukan kita, jika itu dibiarkan kita hanya akan menjadi bebanten dalam perang”. ucap Ki Tumenggung Prayabuana menimpali.

“Aku mempunyai gagasan, bagaimana jika kita membentuk kelompok kecil untuk menguasai senjata-senjata tersebut?”.

“Gagasan yang sangat baik Ki Tumenggung Suratani, tapi siapa yang akan kau tunjuk untuk melaksanakan tugas ini?”.

“Itu yang perlu kita pikirkan bersama, karena ini adalah tugas yang sangat berat dan berbahaya, maka harus orang-orang pilihan”. jawab Ki Tumenggung Suratani sembari memandangi orang-orang di sekitarnya.

“Ki Rangga Sabungsari, aku perintahkan kau untuk melaksanakan tugas ini dan aku persilahkan kau memilih orang-orang yang akan kau bawa”.

“Baik Ki Tumenggung, aku akan berusaha menjunjung tinggi segala titah”.  jawab Ki Rangga Sabungsari yang sedari tadi lebih banyak diam”.

“Tapi kita nanti lihat dulu dimana pecahnya perang, karena berdasarkan laporan para prajurit sandi, seluruh prajurit Wirasaba di tarik semua ke Kotaraja Wirasaba. Jika ini terjadi maka akan semakin menyulitkan tugas kita, karena dengan begitu kita harus menjebol dinding Kotaraja terlebih dahulu”.

“Pekerjaan beratnya adalah bukan bagaimana kita menjebol dinding Kotaraja, tapi bagaimana kita melindungi diri dari serangan lawan saat berusaha mendobrak dinding itu. Karena lawan pasti akan menghujani kita dengan anak panah, bandil, dan senjata pelontar lainnya”. ucap Ki Rangga Sabungsari menimpali.

“Ki Rangga Sabungsari benar, kita harus memikirkan keselamatan kita pula, jika hanya anak panah dan bandil kita bisa mengatasinya dengan perisai, tapi akan beda cerita jika mereka menggunakan senjata bedil atau bahkan meriam, kita tidak mungkin akan mampu bertahan”. ucap Ki Tumenggung Suratani.

Sejenak ruangan itu menjadi hening karena mereka kebingungan memikirkan bagaimana harus menghadapi senjata lawan yang sangat berbahaya tersebut.

“Bukankah Kanjeng Sinuhun akan menyusul kita?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari.

“Benar Ki Rangga, dan mungkin saja dia justru sudah lebih dahulu sampai di Wirasaba dibandingkan kita meskipun kita berangkat lebih dulu beberapa hari”. jawab Ki Tumenggung Prayabuana.

“Ya..itu sangat mungkin sekali Ki Tumenggung Prayabuana, karena Kanjeng Sinuhun Mataram pasti menggunakan kuda yang paling baik dan paling tegar yang ada di Mataram, serta mereka dapat melewati jalan pintas bersama prajurit penghubung pilihan”. jawab Ki Rangga Sabungsari.

“Marilah kita sama-sama nenuwun, semoga Yang Maha Agung selalu menuntun kita untuk menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya”. ucap Ki Tumenggung Suratani pada akhirnya.

Tidak lama kemudian pembicaraan mereka pun harus berakhir karena mereka harus segera beristirahat dengan sebaik-baiknya, kecuali prajurit yang sedang mendapat tugas.

Para prajurit yang bertugas dibagi dalam beberapa kelompok, dan ada yang bertugas pula sebagai penghubung untuk memastikan bahwa pasukan segelar sepapan itu tetap dalam keadaan aman.

Mereka bertugas secara bergiliran, jika sudah pada waktu kelompok lain yang bertugas, maka kelompok yang lain membagunkan kelompok yang mendapat jatah giliran.

Hingga menjelang pagi, sepertinya pasukan segelar sepapan dari Mataram tersebut tidak mendapat gangguan apapun.

Semua prajurit telah terbangun pada saat menjelang matahari terbit. Mereka segera mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan yang sudah lebih dari separuh jalan.

Beberapa kelompok prajurit mencari sumber air, yang kebetulan tidak jauh dari tempat mereka berkemah sementara ada aliran sungai kecil yang mengalir, tapi airnya sangat jernih.

“Apakah kau hanya mencuci mukamu saja?”. bertanya salah satu prajurit kepada kawannya, yang masih berada di pinggir sungai.

“Ini sudah cukup bagiku”.

“Ah..kau memang pemalas, malas mandi”.

Prajurit yang dibilang malas mandi itu hanya tertawa. Lalu, “sebaiknya kita segera kembali ke pasukan, karena sebentar lagi pasti akan dibagikan nasi ransum untuk makan pagi”.

“Kau ingat saja jika itu menguntungkan dirimu”. jawab kawannya yang lain.

Prajurit itu tidak menjawab, tapi segera melangkahkan kakinya bergegas kembali ke pasukan masing-masing, agar tidak terlambat untuk makan pagi.

Kawannya yang lain pun kemudian berjalan mengikutinya dari belakang sembari menyibak padang perdu yang mereka lewati. Tapi masih ada pula beberapa kelompok prajurit yang masih sibuk membersihkan diri di sungai tersebut.

Setelah semua selesai membersihkan diri, para prajurit yang bertugas di dapur mulai membagikan nasi ransum agar bisa segera dinikmati sebelum mereka mulai melanjutkan perjalanan yang panjang.

“Waktu kemarin aku berangkat bertugas, aku tidak sempat berpamitan dengan anakku yang masih kecil karena dia sedang mengunjungi nenek dari ibunya”. berkata salah satu prajurit kepada kawannya.

“Mengapa kau tidak menyusulnya?”. kawannya menimpali.

“Bukankah kau tahu waktu kita sangat sempit, lagipula rumah neneknya jauh di sebelah selatan Rawa Pening”.

“Oh iya, aku baru ingat jika mertuamu tempat tinggalnya sangat jauh”.

“Semoga saja aku bisa bertemu dengan anakku itu”.

“Kau jangan berkata yang aneh-aneh”.

“Aku tidak bicara aneh-aneh, bukankah wajar jika seorang prajurit berkata demikian ketika akan memasuki perang?”.

“Tapi sebaiknya kita sama-sama nenuwun agar kita tetap diberi umur panjang meskipun harus memasuki perang yang garang”. kawannya yang lain menimpali.

Pembicaraan mereka terputus karena para pemimpin prajurit memerintahkan mereka agar segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

Sejenak kemudian para pemimpin prajurit memeriksa pasukan mereka masing-masing serta memerintahkan untuk membersihkan bekas mereka istirahat sebelum melanjutkan perjalanan.

Setelah membersihkan tempat yang mereka gunakan untuk beristirahat sementara itu, mereka segera bersiap untuk berangkat bersama pasukan segelar sepapan sesuai barisan.

Pasukan prajurit yang sangat besar seperti ular raksasa berjalan itu pun mulai melangkahkan kaki mereka ke arah matahari terbit.

*  *  *

Dalam pada itu, Ki Wiguna masih menikmati minuman hangat di rumah yang dia tempati sejak pertama datang di Kadipaten Wirasaba bersama kawan-kawannya sesama prajurit sandi.

Betapa nikmatnya minum wedang jahe dengan gula kelapa pada waktu setelah matahari muncul di ufuk timur.

“Berdasarkan laporan terakhir yang aku terima, pasukan Mataram sudah melintasi Nganjuk. Kemungkinan paling lambat sepekan lagi mereka akan tiba di Wirasaba”. ucap Ki Surata.

“Semakin pasukan itu mendekati Wirasaba, maka suasananya menjadi semakin menegangkan”. Ki Jalasara menimpali.

“Kau benar Ki Jalasara. Tapi kita harus bisa mengendalikan perasaan agar kita tetap dapat membuat penalaran yang wajar”. Ki Wiguna menimpali.

“Meskipun aku sendiri sudah beberapa kali ikut merasakan perang yang garang, tapi hatiku tetap saja menjadi berdebar-debar pada saat-saat seperti ini”.

“Aku mengerti Ki Jalasara, kita sama-sama tahu bahwa biar bagaimanapun perang itu tetaplah garang bagi semua orang. Aku jadi ingat sebuah pesan dari orang tua, perang adalah cara terburuk untuk menyelesaikan masalah”.

“Ya..aku setuju Ki Wiguna, perang adalah cara terburuk untuk menyelesaikan masalah”.

“Kita sering mendengarkan nasehat orang-orang tua, tapi kita sendiri sering mengabaikannya”. ucap Ki Wiguna yang kemudian menarik nafas dalam-dalam beberapa kali.

“Itulah kenyataan yang tidak bisa kita hindari, kita menjadi yang paling penurut ketika kita mendengarkan nasehat orang tua pada saat masih kanak-kanak, tapi sekarang bisa menjadi orang yang paling garang saat memasuki perang”. Ki Jalasara menimpali.

Sejenak suasana menjadi hening karena sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Sekarang apa yang sebaiknya kita lakukan? semakin hari kita semakin kesulitan jika harus menyusup di antara penduduk Wirasaba untuk mencari keterangan. Para penduduk sudah semakin sepi karena harus mengungsi, yang paling memungkinkan adalah kita mengawasi dari jarak jauh”.

“Kita lakukan saja sejauh kemampuan kita Ki Surata, tidak perlu memaksakan diri. buat apa kita memaksakan diri jika nanti malah bisa menyeret kita pada kesulitan?”.

“Ki Wiguna benar, kita jangan sampai terjebak dengan keadaan yang bisa menyulitkan diri kita sendiri”.

“Yang pasti kita jangan melewatkan jalur-jalur utama untuk mengawasi setiap gerak gerik mereka dan kita jangan lengah sedikitpun, karena keterangan sekecil apapun akan sangat berarti bagi kita”.

“Jangan lupakan pula jalur-jalur kecil yang mempunyai kemungkinan bisa di lewati orang untuk memasuki Kotaraja, sebar kawan-kawan kita pada posisi itu serta siapkan penghubung jika terjadi sesuatu pada salah satu kelompok kita, bisa segera memberitahukan kepada yang lain”. ucap Ki Wiguna.

“Baiklah, kita laksanakan tugas sesuai petunjuk Ki Wiguna”. ucap Ki Surata yang ditujukan kepada kawan-kawannya.

“Aku minta disini harus selalu ada orang sebagai penghubung, dan aku sendiri akan berusaha menyusup pada malam hari, semoga gelapnya malam dapat membantuku untuk menyembunyikan diri dari pengawasan mereka”.

“Apakah Ki Wiguna memerlukan kawan?”. bertanya Ki Lurah Jatisrana.

“Aku kira cukup satu orang saja untuk kawan berbincang”.

“Siapa yang bersedia mengawani Ki Wiguna?”. bertanya Ki Jalasara.

“Ah..bagiku sama saja siapapun yang bersedia”. ucap Ki Wiguna sembari tersenyum.

“Bukan begitu Ki Wiguna, kami hanya khawatir jika nanti ada apa-apa kami hanya akan menjadi bebanmu saja”.

“Ah..kalian jangan merasa diri kalian kecil, aku dan kalian sama saja. Kalian jangan membuat kepalaku semakin besar saja dengan selalu menyanjungku”.

“Kami tidak berniat untuk sekedar menyanjung tapi kami berkata sebenarnya, dengan demikian kami tidak kehilangan penalaran yang wajar sehingga bisa menempatkan diri”.

“Baiklah”. ucap Ki Wiguna yang kemudian menarik nafas dalam-dalam.

 *  *  *

Sementara itu, pada sebuah daerah yang sangat luas yaitu Kadipaten Surabaya di bawah pemerintahan Kanjeng Adipati Jayalengkara adalah daerah yang sangat kuat karena mendapat dukungan dari daerah sekitarnya dan beberapa padepokan kanuragan yang sangat membantu sekali dalam meningkatkan tataran para prajuritnya.

Tetapi dalam beberapa warsa terakhir ini telah mendapat serangan dari Mataram yang ingin menguasai wilayah tersebut. Meskipun sudah beberapa kali mengalami kegagalan tapi justru membuat pemimpin tertinggi Mataram semakin berambisi untuk menaklukkannya.

Keadaan ini membuat para pemimpin di Kadipaten Surabaya merasa gelisah, apalagi jika Mataram terus menerus melancarkan serangan mereka, yang paling merasakan akibat perang adalah kawula alit.

Pada hari itu, ketika matahari sudah melewati puncaknya, di dalam istana kadipaten sedang ada pertemuan orang-orang penting tapi bukan sebuah acara pertemuan resmi layaknya sebuah paseban agung.

“Ki Tumenggung Wisabaya, ada laporan apa hari ini?” bertanya Kanjeng Adipati Jayalengkara pada pemimpin yang membawahi semua prajurit sandi di Kadipaten Surabaya.

Sebelum menjawab, orang yang mendapat pertanyaan itu menghaturkan sembah terlebih dahulu. Lalu katanya, “Ampun Kanjeng Adipati, berdasarkan prajurit sandi pasukan Mataram sudah mulai bergerak menuju Kotaraja Kadipaten Wirasaba dengan pasukan segelar sepapan”.

“Apakah mereka akan menyerang Wirasaba?”

“Benar Kanjeng Adipati, berdasarkan laporan, pasukan Mataram akan menyerang Wirasaba”

“Wirasaba? apa itu artinya mereka akan menyerang Wirasaba lebih dahulu sebelum menyerang Kadipaten Surabaya lagi?”

“Benar Kanjeng Adipati, pasukan Mataram akan menyerang Wirasaba sebagai batu pancadan sebelum menyerang Surabaya lagi. Mungkin karena kegagalan mereka sehingga mereka berpikir untuk memangkas kekuatan Surabaya sedikit demi sedikit”. Ki Tumenggung Wisabaya menjelaskan.

“Bagaimana pendapat Ki Ageng Jalatunda dengan keadaan Kadipaten Surabaya yang sudah beberapa lama ada ontran-ontran yang masih belum terselesaikan?”. bertanya Adipati Jayalengkara yang duduk di dampar kencana.

“Ampun Kanjeng Adipati, jika hamba diizinkan menghaturkan gagasan, sebaiknya pusat kekuatan Kadipaten Surabaya dipusatkan saja di dalam kotaraja, karena dengan begitu Mataram akan sedikit terhambat karena kotaraja kita banyak dikelilingi rawa-rawa dan aliran sungai brantas.”. jawab pemimpin Padepokan Jalatunda sembari menghaturkan sembah.

Kanjeng Adipati yang mendengar jawaban itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan tampak mengerutkan keningnya, lalu menoleh ke arah putra sulungnya.

“Apa pendapatmu ngger?”

“Ampun Ayahanda, menurut hamba apa yang dikatakan Ki Ageng Jalatunda itu ada benarnya, karena dengan begitu kita bisa mengurangi korban yang berjatuhan”. jawab Pangeran Anom itu.

“Ki Tumenggung Wisabaya, bagaimana hasil laporan prajurit sandi tentang pasukan Mataram secara keseluruhan?”.

Orang yang ditanya segera menghaturkan sembah, “ampun Kanjeng Adipati, berdasarkan laporan yang hamba terima pasukan Mataram segelar sepapan yang beberapa waktu terakhir mengepung Surabaya mulai bergerak menuju Wirasaba”.

“Jika menurut penalaranku, itu adalah wujud dari keputusasaan pasukan Mataram yang tidak mampu menembus kadipaten ini, dan mereka tahu jika daerah Wirasaba adalah bagian penting dari wilayah Kadipaten Surabaya, sehingga mereka berpikir untuk memangkas dahan-dahannya dulu”.

“Kau benar ngger, lalu apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi mereka? apakah kita akan mengirim bantuan ke Wirasaba?”. bertanya Kanjeng Adipati kepada orang-orang yang hadir.

“Sebenarnya itu gagasan yang sangat baik Ayahanda, tapi kita juga harus memikirkan pula ancaman dari Tuban”.

“Jika mengirimkan bantuan ke Wirasaba, apakah akan mengganggu keseimbangan kekuatan pasukan kita?”.

“Meskipun Kadipaten Surabaya memiliki pasukan prajurit yang sangat kuat, tapi kita jangan meremehkan kekuatan Kadipaten Tuban”.

“Kau benar ngger, kita harus membuat penilaian yang wajar agar kita tidak terjerumus pada kebodohan kita sendiri”.

“Bagaimana menurut pendapat kalian?”. bertanya Kanjeng Adipati Jayalengkara kepada orang-orang yang hadir.

“Hamba setuju dengan apa yang dikatakan Pangeran Pekik, kita harus membuat penilaian yang matang jika ingin mengirimkan bantuan ke Wirasaba karena keadaan Surabaya sendiri bisa dikatakan tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja”. jawab Ki Ageng Jalatunda.

“Menurut pendapatku, Wirasaba adalah wilayah yang sangat kuat apalagi kemarin aku telah mengirimkan bantuan berupa beberapa senjata bedil dan meriam yang akan mampu membungkam pasukan Mataram”.

“Jika demikian hamba rasa pasukan Wirasaba akan mampu mengatasi pasukan Mataram”. Ki Ageng Jalatunda menimpali.

Sejenak suasana di ruangan itu menjadi hening karena tidak ada yang membuka suara. Mereka sibuk dengan angan-angan mereka sendiri.

Pada dasarnya Kadipaten Surabaya memang terkenal dengan pasukannya yang sangat kuat, sehingga sulit untuk ditaklukkan, untuk itu Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma mengalihkan serangannya ke wilayah sekitarnya untuk mengurangi kekuatan.

Wirasaba adalah salah satu wilayah yang harus bisa ditaklukkan Mataram jika ingin menaklukkan Surabaya. Mataram berpikir, jika ingin menebang sebuah pohon besar maka harus dipangkas dulu dahan-dahannya.

Jika Mataram mampu memangkas dahan–dahan kekuatan dari Surabaya, maka akan semakin mempermudah kerja mereka menaklukkan Kadipaten Surabaya yang sebenarnya.

Dengan keadaan Kanjeng Adipati Jayalengkara yang semakin sepuh dan mulai sakit-sakitan, tapi tidak pernah menyurutkan kekuatan Surabaya secara keseluruhan.

Putra Kanjeng Adipati Jayalengkara yang tertua yaitu Pangeran Pekik selalu setia mendampingi ayahandanya, apalagi dia adalah Pangeran Anom yang telah disiapkan untuk menggantikan ayahnya suatu hari nanti jika harus mundur.

Pertemuan itu ternyata tidak bisa berlangsung lebih lama lagi karena Kanjeng Adipati merasa badannya harus segera diistirahatkan karena kesehatannya.

“Aku minta maaf kepada semua yang hadir, ternyata umur memang tidak bisa kita bohongi, jika ada apa-apa kalian bisa sampaikan kepada Pekik”. ucap Kanjeng Adipati Surabaya pada akhir pertemuan, lalu bergegas meninggalkan tempat itu.

“Sendika dawuh Kanjeng Adipati”.

Setelah Kanjeng Adipati meninggalkan paseban, tidak lama kemudian orang-orang yang hadir membubarkan diri karena memang sudah tidak ada yang sangat penting lagi untuk dibicarakan.

 *  *  *

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, pada waktu menjelang makan malam, Nyi Pandan Wangi memasuki bilik Ki Gede Menoreh yang terlihat sedang berbaring di amben kayu.

“Marilah Ayah, kita makan malam bersama-sama”.

“Aku belum lapar, kau dulu saja”. berkata Ki Gede dengan suara yang sangat lemah.

“Apakah Ayah baik-baik saja?”.

“Aku hanya perlu istirahat saja”. ucap Ki Gede Menoreh dengan suara yang masih perlahan.

Nyi Pandan Wangi yang merasa ada yang tidak wajar, segera meraba urat nadi di pergelangan tangan kanan ayahnya.

“Sangat lemah”. kata ibu Sekar Wangi dalam hati, lalu memeriksa detak jantung, “sedikit melemah pula”

“Baiklah Ayah beristirahat saja”. ucap Nyi Pandan Wangi lalu meninggalkan bilik ayahnya.

Tapi sebelum makan malam diam-diam Nyi Pandan Wangi telah mencari seorang pengawal agar memanggilkan seorang tabib yang paling baik di Tanah Perdikan Menoreh untuk memeriksa Ki Gede Menoreh.

Tidak beberapa lama setelah Nyi Pandan Wangi selesai makan tabib yang tadi dipanggil telah datang, segera saja langsung dipersilahkan untuk memeriksa keadaan Ki Gede Menoreh di biliknya.

Ki Argapati terbaring lemah di biliknya sendiri hanya dengan diterangi lampu minyak yang diletakkan di ajug-ajug sudut bilik ketika tabib datang.

Setelah beberapa saat tabib tersebut memeriksa keadaan Ki Gede Menoreh, dia hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

“Bagaimana keadaan Ayah?”. bertanya Nyi Pandan Wangi mulai gelisah.

“Jika menurut ilmu pengobatan yang pernah aku pelajari, Ki Gede harus lebih banyak beristirahat Nyi”.

“Ayahku sakit apa?”. desak Nyi Pandan Wangi yang penasaran dengan keadaan ayahnya tersebut.

“Maaf Nyi Pandan Wangi, sebenarnya Ki Gede tidak sakit, tapi beberapa kemampuan urat syarafnya sudah mulai menurun”.

Tanpa disadari pelupuk mata Nyi Pandan Wangi mengeluarkan cairan.

“Aku akan memberinya obat penguat daya tahan tubuh dan obat perangsang kerja syaraf agar bisa menjadi baik kembali”.

“Tolong Nyi Pandan Wangi awasi perkembangan Ki Gede, jika ada apa-apa silahkan panggil saja aku kapan pun”. ucap tabib setelah selesai, lalu sekalian mohon diri.

“Terima Kasih”. ucap Nyi Pandan Wangi perlahan.

Setelah tabib itu pergi, air mata masih meleleh dari pelupuk mata ibu Bayu Swandana tapi tanpa terdengar suara isak tangis, kedua tanganya menutup seluruh wajah.

Entah berapa lama Nyi Pandan Wangi menangis, hingga dikejutkan oleh sesuatu.

“Ibu mengapa menangis?”. suara anak yang masih lucu-lucunya membuyarkan tangis.

Dengan gagap Nyi Pandan wangi segera mengusap air mata di depan anak perempuannya.

“Tidak apa-apa, Ibu tidak menangis nduk”.

Nyi Pandan Wangi kemudian meraih anak perempuannya lalu menggendongnya, sembari diciuminya pipi yang menggemaskan itu dengan penuh kasih sayang.

“Marilah nduk, kita buatkan bubur halus untuk makan kakek”. ucap Nyi Pandan Wangi yang tetap masih menggendong Sekar Wangi lalu bergegas menuju dapur.

“Mbok..tolong buatkan bubur halus, tapi sedikit saja untuk makan Ayah”. ucap Nyi Pandan Wangi kepada pembantunya.

“Apakah hanya bubur halus saja?”.

“Iya mbok”.

“Jika demikian, bagaimana jika Ki Gede dibuatkan jenang baning sekalian juruhnya saja?”.

“Terserah simbok saja”.

“Iya Nyi, nanti jika sudah matang akan langsung aku antarkan ke bilik Ki Gede”.

Nyi Pandan Wangi hanya mengangguk sembari tersenyum mendengar ucapan pembantunya, lalu kembali ke bilik Ki Gede Menoreh yang masih terbaring lemah sendiri di kamarnya.

Ki Argapati terlihat sedikit menggeliat saat mendengar anak semata wayangnya itu memasuki biliknya yang tidak di selarak, tapi tidak berkata apa-apa.

Nyi Pandan Wangi sangat sedih melihat keadaan ayahnya yang begitu lemah di pembaringan, dengan demikian membuat hatinya mempunyai firasatnya ke hal-hal yang kurang baik, tapi dia tetap berusaha menepis firasat buruk tersebut.

Kenangan masa lampau bersama ayahnya tiba-tiba terlintas di kepalanya, dari masa kecil, mulai beranjak remaja hingga dewasa. Hampir seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari campur tangan ayahnya.

Apalagi dari kecil Nyi Pandan Wangi memang sudah ditinggalkan oleh ibunya, jadi ayahnya seperti menjadi orang tua tunggal. Sehingga mau tidak mau mempengaruhi jiwanya juga.

Pada waktu beranjak remaja, kawan-kawan seumurannya lebih suka menghabiskan waktunya di dapur atau hanya bermain dengan dakon. Tapi sangat berbeda dengan Nyi Pandan Wangi yang justru lebih senang menghabiskan waktunya untuk ngangsu kawruh kanuragan, jika mempunyai waktu senggang justru lebih suka untuk berburu apa saja ke hutan daripada harus bermain dakon bersama kawan-kawan perempuannya.

Tok..tok..tok…

Seketika lamunan Nyi Pandan Wangi menjadi buyar setelah pembantunya datang untuk mengantarkan jenang baning yang telah matang.

“Maafkan aku jika telah mengejutkan Nyi Pandan Wangi”.

“Tidak apa-apa mbok”.

Setelah menyerahkan jenang baning serta juruhnya sesuai pesanan, pembantu Ki Gede Menoreh tersebut segera bergegas keluar dari bilik.

“Terima kasih mbok”.

“Kau duduk di dingklik dulu ya nduk? Ibu mau menyuapi kakek dulu”.

“Mengapa Kakek disuapi Ibu? bukankah Kakek sudah besar?”. tanya Sekar Wangi polos.

Nyi Pandan Wangi tersenyum mendengar pertanyaan anak perempuannya tersebut. Lalu, “Kakek sedang sakit nduk”.

“Kakek sakit apa Ibu?”.

“Masuk angin”.

“Kata mbok Pariyem, jika masuk angin harus dikerokin badannya agar cepat sembuh”.

“Iya nduk, nanti Ibu kerokin badan Kakek agar cepat sembuh dari masuk angin ya. Sekarang Kakek biar makan dulu”.

Nyi Pandan Wangi lalu mendekati ayahnya yang terlihat seperti orang tidur, tapi tidak. 

“Ayah makan dulu ya?”. ucap Nyi Pandan Wangi perlahan di dekat telinga ayahnya.

Ki Gede Menoreh membuka matanya perlahan-lahan, lalu sedikit menganggukkan kepalanya, kemudian dibantu duduk di ujung amben yang diganjal dua bantal bertumpuk.

Dengan sabar Nyi Pandan Wangi menyuapi ayahnya, namun baru habis setengah Ki Argapati memberikan isyarat jika makannya sudah cukup.

“Baiklah, sebentar lagi Ayah harus minum obat lalu beristirahat agar cepat sembuh”.

Ki Gede Menoreh hanya sedikit menganggukkan kepala untuk mengiyakan ucapan anak semata wayangnya tersebut.

Setelah meminumkan obat untuk ayahnya, Nyi Pandan Wangi segera kembali ke biliknya untuk menidurkan Sekar Wangi, tapi tidak lupa dia lebih dahulu meminta pembantunya untuk menunggui Ki Gede Menoreh, agar jika ada apa-apa bisa dimintai tolong segera.

*  *  *

Dalam pada itu, di Gunung Kendalisada malam itu tampak terang oleh sinar bulan menjelang waktu bulan purnama. Anjani dan suaminya sedang duduk di pringgitan.

“Aku lihat beberapa hari ini Eyang Mayangkara tidak berada di Kendalisada?”.

“Beberapa hari yang lalu Eyang sempat berkata padaku jika dirinya sedang gelisah karena merasa seperti dihantui oleh mimpi-mimpinya sendiri dalam beberapa waktu terakhir”.

“Dihantui mimpi-mimpi?”.

“Benar kakang”.

“Jika yang mendapat mimpi itu adalah Eyang Mayangkara, pasti itu bukanlah mimpi seperti orang kebanyakan. Apalagi hingga membuatnya gelisah”.

“Aku kurang begitu mengerti kakang, Eyang Mayangkara memang orang yang aneh dan sangat sulit ditebak. Tapi seingatku dia ingin menemui seseorang untuk membantu mengurai mimpi yang belum dapat diurainya sendiri”.

“Jika demikian, orang yang akan ditemui Eyang Mayangkara adalah orang yang sangat linuwih”.

“Sepertinya demikian kakang”.

“Meskipun aku kurang mengenalnya dengan baik  secara pribadi dan kebanyakan hanya mendengar cerita dari orang lain, tapi aku rasa Eyang Mayangkara adalah orang yang baik. Orang yang mau direpotkan orang lain tapi sebisa mungkin dia tidak mau merepotkan orang lain kecuali terpaksa”.

“Kakang benar, semenjak aku mengenal Eyang Mayangkara sejauh pengetahuanku hidupnya hanya diperuntukkan untuk membantu sesama tanpa pernah mengharapkan pamrih pribadi, dan aku salah satu orang yang paling besar menerima jasanya adalah aku sendiri”.

Suami Anjani hanya memandang dan mengerutkan keningnya saja ketika mendengar hal itu.

“Aku merasa berhutang budi yang sangat besar kepada Eyang Mayangkara, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada diriku jika tidak mendapat bantuan darinya pada waktu itu, selain itu juga secara tidak langsung dia telah mengangkatku menjadi muridnya karena telah menurunkan ilmu kepadaku”.

“Menurunkan ilmu katamu?”.

“Benar kakang. Perlu kakang tahu bahwa ilmu ajian Seribu Bunga yang aku kuasai itu adalah ilmu yang langsung aku dapatkan dari Eyang Mayangkara”.

“Oh..begitu rupanya”. berkata suami Anjani sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tiba-tiba suami Anjani merasa hatinya berdesir, dia merasa ada yang kurang mapan di hatinya.

Anjani yang melihat perubahan pada wajah suaminya mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “kakang kenapa?”.

“Tiba-tiba saja hatiku merasa kurang mapan, tapi aku tidak tahu mengapa”.

“Cobalah kakang untuk memusatkan nalar budi, mungkin saja kakang bisa mendapatkan petunjuk lebih jelas”.

“Baiklah akan aku coba”.

Kemudian suami Anjani tersebut memperbaiki duduknya dengan bersila dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada untuk memusatkan nalar budinya.

Setelah beberapa saat, lalu diurai kembali pemusatan nalar budinya dengan wajah seperti kecewa.

“Apakah kakang tidak berhasil?”.

“Tidak ada isyarat yang bisa aku urai, karena hanya ada kabut yang sangat tebal yang menghalanginya dan tidak bisa aku singkirkan meskipun aku sudah mencoba”.

“Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita semua kakang”.

“Iya..mari kita sama-sama nenuwun”.

Sejenak kemudian suasana menjadi hening kembali karena keduanya tidak ada yang membuka suara, hingga akhirnya.

“Tiba-tiba saja aku ingin ke Tanah Perdikan Menoreh”.

“Jika kakang ingin kesana, pergilah”.

“Ucapanmu itu secara tidak langsung menyiratkan bahwa kau tidak mau pergi bersamaku”.

“Bukankah kakang tahu sendiri jika mbokayu belum bisa menerima kehadiranku?”.

“Kau salah mengerti rupanya. Mbokayumu Pandan Wangi tidak pernah menolak kehadiranmu, tapi mbokayumu Sekar Mirah lah yang bersikap demikian”.

“Bukankah keduanya bersikap demikian kepadaku kakang”. bertanya Anjani kepada suaminya dengan tatapan mata yang tajam.

“Tidak. Pandan Wangi sudah menerima sepenuhnya tapi Sekar Mirah yang masih meminta waktu untuk bisa menerima kehadiranmu. Sebab kehadiranmu sangat mengejutkan hatinya, tapi di sisi lain dia tidak mungkin bisa menolaknya”.

“Aku juga perempuan kakang, aku bisa mengerti perasaan mbokayu Sekar Mirah, dan aku tidak keberatan jika nantinya dia akan membenciku seumur hidupnya”.

“Ah..kau jangan mempunyai pikiran yang berlebihan, Semoga saja secepatnya Sekar Mirah bisa menerimamu seutuhnya”.

“Semoga saja kakang, tapi bukankah penalaranku ini adalah wajar mengingat keadaannya seperti ini?”.

Ki Agung Sedayu hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, rasanya ingin sekali melonggarkan isi dadanya yang terasa pepat.

“Kakang tidak perlu menutup-nutupinya, aku ingin kakang bisa terbuka dan bisa berbuat adil secara lahir dan batin kepadaku dan mbokayu berdua”.

“Aku sudah berusaha sejauh kemampuanku”.

“Agar tidak ada lagi saling berprasangka buruk satu dengan yang lainnya, aku ingin kakang mempertemukan kita semua secara bersama-sama dalam satu tempat”.

“Apakah itu harus?”. tanya Ki Agung Sedayu sedikit ragu.

“Harus kakang, karena jika kita seperti ini terus menerus, aku adalah orang yang merasa paling bersalah”.

“Mengapa kau justru yang merasa paling bersalah?”.

“Karena aku adalah orang yang terakhir hadir dalam kehidupan kakang, tapi aku pula yang menimbulkan gejolak dalam rumah tangga kakang”.

“Mari kita sama-sama nenuwun agar kita bisa segera menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya”.

“Selain kita memang harus selalu nenuwun, tapi kita juga harus pula berusaha kakang”.

“Ya..seharusnya memang demikian”. ucap Ki Agung Sedayu yang disambut oleh Anjani dengan menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya tersebut.

“Sejak aku kecil hingga dewasa aku telah mengalami pahitnya hidup ini kakang, dan sekarang aku sangat bersyukur bisa menemukan kebahagiaanku, tapi aku tidak ingin kebahagiaanku ini membuat orang lain menjadi terluka. Aku ingin kebahagiaanku ini membawa kebahagiaan pula untuk orang lain”.

“Aku mengerti Anjani. Marilah kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Agung dan berusaha untuk kebahagiaan kita dan kebahagiaan keluarga kita dan keluarga besar kita”.

 *  *  *

Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh masih terbaring lemah di pembaringan di bilik pribadinya, yang ditunggui oleh pembantunya secara bergiliran.

Meskipun pembantu Ki Gede dengan setia menunggui di depan pintu bilik yang sengaja tidak diselarak tapi Nyi Pandan wangi tetap saja selalu mondar-mandir menjenguknya, semua itu dilakukannya karena tidak sampai hati pula meninggalkan Sekar Wangi tidur sendiri di biliknya.

Hingga waktu memasuki dini hari, kedua pembantu itu mulai terlihat duduk dengan terkantuk-kantuk.

Nyi Pandan Wangi lalu mendekati kedua pembantunya yang duduk beralaskan tikar pandan itu.

“Mbok...kalian panggilkan saja dua orang pengawal yang bertugas, lalu kalian silahkan istirahat saja di bilik”. ucap Nyi Pandan Wangi perlahan.

Kedua pembantu Ki Gede Menoreh yang terkantuk-kantuk itu sedikit terkejut mendengar suara Nyi Pandan Wangi. Dengan tergagap mereka menjawab.

“Maaf Nyi..maafkan kami yang melalaikan tugas”.

“Tidak mbok, tidak apa-apa, memang ini bukan tugas kalian. Kalian tolong panggilkan dua orang pengawal yang sedang bertugas saja untuk datang kemari, setelah itu silahkan kalian beristirahat”.

“Baik Nyi, akan segera aku panggilkan”. jawab salah satu pembantunya itu.

Lalu pembantu itu beranjak berdiri kemudian bergegas keluar untuk memanggil pengawal yang sedang bertugas di gardu depan rumah Ki Gede.

Tidak berapa lama pembantu itu kembali bersama dua orang pengawal.

“Sebelum kalian istirahat tolong bawakan minuman hangat bagi mereka mbok”.

“Baik Nyi”.

Kedua pengawal itu kemudian duduk beralaskan daun pandan yang di depan pintu bilik Ki Argapati, tidak beberapa lama salah satu pembantu yang menunggui Ki Gede tadi datang membawakan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Disini udara lebih hangat daripada di luar, apalagi jika suguhannya sudah keluar maka akan semakin hangat rasanya”.

“Alasan kau saja tadi mau mengawaniku disini”. gerutu salah satu pengawal yang membuat kawannya tertawa mendengar ucapan itu.

“Ssstt…jangan keras-keras, Ki Gede sedang sakit”.

“Maaf kang, aku lupa”. jawab kawannya yang masih menikmati sepotong jadah goreng di mulutnya.

“Apakah kau tahu Ki Gede sakit apa?”. mulai dengan suara perlahan-lahan.

“Aku tidak tahu kang, kemarin malam aku lihat Ki Gede tidak berapa lama duduk di pringgitan sendiri, dan aku kira kemarin masih sehat-sehat saja”.

“Aku sempat melihatnya pula”.

“Tapi jika menurutku Ki Gede memang karena sudah sangat sepuh. Jika dia seperti orang kebanyakan, mungkin di umurnya yang sekarang sudah lama waktunya hanya di pembaringan”.

“Benar juga ucapanmu, jika saja Ki Gede Menoreh adalah orang yang tidak mempunyai kelebihan pada waktu mudanya”.

Kemudian mereka membicarakan hal-hal yang menarik bagi mereka dengan suara perlahan-lahan, agar tidak mengganggu Ki  Gede Menoreh yang sedang beristirahat dalam keadaan sakit.

Menjelang waktu tengah malam Ki Gede tampak menggeliat, Nyi Pandan Wangi yang berada di samping pembaringan segera mendekatkan wajahnya.

Ki Argapati sepertinya akan menyampaikan sesuatu tapi tidak terucap sepatah kata pun dari mulutnya, untuk membuka matanya pun terasa berat.

Nyi Pandan Wangi yang menyadari keadaan ayahnya berusaha lebih mendekat lagi agar bisa menerima pesan yang ingin disampaikan dengan lebih jelas.

Tapi tetap saja Nyi Pandan Wangi tidak mendengar suara apapun dari mulut ayahnya. Tanpa terasa air mata meleleh dari pelupuk matanya karena melihat keadaan Ki Gede Menoreh.

Kemudian Nyi Pandan Wangi berjalan ke arah pintu bilik menghampiri dua orang pengawal.

“Tolong panggilkan tabib”.

“Baik Nyi, akan segera aku panggilkan”.

Salah satu pengawal itu lalu bergegas meninggalkan rumah Ki Gede, untuk memanggil tabib yang rumahnya berada di ujung jalan sebelah tikungan.

Nyi Pandan Wangi kembali berada di samping pembaringan ayahnya yang kini terlihat menutup matanya dengan perasaan semakin gelisah.

Setelah beberapa saat, pintu bilik itu terdengar diketuk perlahan-lahan.

“Silahkan masuk Ki, tolong periksa kembali keadaan Ayah”. ucap Nyi Pandan Wangi setelah menyadari siapa yang datang.

“Baik Nyi, aku akan memeriksanya”.

Dengan penuh kehati-hatian, tabib itu memeriksa keadaan Ki Gede Menoreh.

Tabib itu memeriksa tubuh Ki Argapati secara menyeluruh, dari urat nadi di pergelangan tangan, detak jantung, hembusan nafas, hingga urat-urat nadi di telapak kaki.

“Maaf Nyi, apakah obat yang tadi aku serahkan sudah kau minumkan kepada Ki Gede?”.

“Sudah Ki”.

Tabib itu hanya menarik nafas dalam-dalam setelah mendengar jawaban dari Nyi Pandan Wangi.

“Apa yang terjadi Ki? katakan saja apa adanya agar aku bisa mengambil sikap”. ucap Nyi Pandan Wangi yang masih meneteskan air matanya.

“Aku minta maaf Nyi, aku sudah berusaha dengan sebaik-baiknya tapi mari sama-sama nenuwun untuk kesembuhan Ki Gede”.

“Katakan  saja berterus terang Ki, aku akan berusaha  menerima apapun yang terjadi”.

Tabib yang sebenarnya tidak sampai hati untuk menyampaikan keadaan sebenarnya Ki Gede kepada Nyi Pandan Wangi mencoba menguatkan dirinya untuk dapat mengatakan keadaan Ki Gede Menoreh yang sebenarnya tanpa ada yang ditutupi.

“Nyi Pandan Wangi, aku minta maaf karena berdasarkan kawruhku pada pengobatan yang sangat terbatas ini menyimpulkan bahwa sebenarnya keadaan Ki Gede sudah semakin lemah, tubuhnya bagian dalam sudah tidak bisa bekerja dengan baik dan seharusnya. Jika melihat keadaannya hanya keajaiban dari Yang Maha Agung lah yang bisa menyembuhkannya”.

Nyi Pandan Wangi yang mendengar keterangan tabib itu tidak bisa berkata apa-apa kecuali hanya bisa menangis dengan wajahnya  ditutupi kedua telapak tangannya.

Tabib dan dua orang pengawal yang melihat Nyi Pandan Wangi menangis hanya bisa terdiam serta ikut merasakan kesedihan yang sangat dalam tersebut meskipun mereka tidak mengeluarkan air mata.

Setelah beberapa lama mereka terhanyut dalam kesedihan, Nyi Pandan Wangi segera mengusap air matanya yang entah berapa banyak telah mengalir.

“Terima kasih Ki”. ucap Nyi Pandan Wangi kepada tabib dengan suara tersendat.

“Aku hanya menjalankan kewajiban bagi sesama Nyi”. ucap tabib itu sembari sedikit membungkuk.

“Aku mengerti jika pada suatu saat kita pasti akan dihadapkan pada segala keterbatasan kita dan kita hanya bisa berpasrah diri seutuhnya kepada Gusti Yang Maha Agung meskipun kita menguasai ilmu hingga sundul langit sekalipun”.

“Tadi aku sempat khawatir jika Nyi Pandan Wangi belum siap jika harus menerima semua ini”.

Ibu Sekar Wangi itu tersenyum mendengar ucapan tabib dengan sisa-sisa air mata di pipinya.

“Mengingat keadaan Ki Gede sekarang, jika diizinkan aku ingin menginap dan mengawani Ki Gede, Nyi”.

“Justru aku yang sangat berterima kasih sekali, jika kau bersedia untuk menginap disini”.

“Silahkan Nyi Pandan Wangi beristirahat saja, biarlah aku dan pengawal yang akan mengawani Ki Gede, semoga kehadiranku disini ada artinya”.

“Baiklah, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada kalian”.

Kemudian Nyi Pandan Wangi kembali menghampiri ayahnya yang terbaring lemah sebelum meninggalkannya. Tapi ketika melewati salah satu pengawal yang berdiri di depan pintu bilik dia ingat akan sesuatu.

“Tolong besok pagi-pagi sekali siapkan dua orang pengawal pilihan untuk aku utus ke Kademangan Sangkal Putung dan Jati Anom”

“Baik Nyi, besok sebelum matahari terbit mereka sudah siap”.

“Terima kasih”. ucap Nyi Pandan Wangi kemudian bergegas menuju biliknya.

Ketika dia memasuki bilik, dilihatnya Sekar Wangi yang tertidur pulas meskipun kain panjang tidak lagi menyelimutinya lagi.

Sembari tersenyum Nyi Pandan Wangi menyelimutkan kembali kain panjang tersebut, lalu mendekap dan mencium anak tersebut setelah berbaring di sebelahnya.

Pagi-pagi sekali Nyi Pandan Wangi sudah terbangun, setelah berbenah diri dia menghampiri kamar ayahnya.

“Bagaimana keadaan Ayah Ki?”. bertanya Nyi Pandan Wangi setelah berhadapan dengan tabib yang merawat ayahnya.

“Masih sama Nyi. Tapi dini hari tadi sempat seperti orang mengigau, Ki Gede menyebut sebuah nama beberapa kali dengan suara yang sangat perlahan”.

“Nama siapa Ki ?”.

“Nama suami Nyi Pandan Wangi”.

Ibu Bayu Swandana itu terdiam setelah mendengar keterangan tabib, hatinya tiba-tiba berdesir dan pikirannya melayang entah kemana setelah nama suaminya disebut. Tapi itu hanya berlangsung sekejap saja.

Sebelum Nyi Pandan Wangi akan menanggapi, terdengar pintu bilik diketuk dari luar perlahan.

“Tok..tok..tok…”

“Maafkan aku jika mengganggu, orang yang diminta Nyi Pandan Wangi tadi malam sudah siap di depan”.

Kemudian Nyi Pandan Wangi bergegas keluar untuk menemui dua orang pengawal yang akan diberinya tugas di pringgitan.

“Kalian pergilah ke Kademangan Sangkal Putung, kabarkan kepada Sekar Mirah bahwa Ki Gede Menoreh sedang sakit keras, jika tidak ada halangan aku memintanya untuk bisa datang ke Tanah Perdikan Menoreh segera”.

“Baik Nyi”. ucap salah satu pengawal dengan sedikit membungkukkan badannya.

“Setelah itu kalian pergilah ke Padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom, temuilah pemimpin padepokan itu yaitu Ki Agahan dan Ki Untara, sampaikan salam hormatku padanya dan katakan bahwa Ki Gede Menoreh sedang sakit keras. Aku memintakan izin Bayu Swandana untuk bisa  pulang segera karena keadaan kakeknya”.

“Baik Nyi. Apakah masih ada lagi pesan yang lain?”.

“Oh..aku hampir lupa. Tolong bilang ke pengawal yang bertugas di depan, pergilah ke rumah Ki Lurah Glagah Putih dan temuilah istrinya dan sampaikanlah keadaan Ayah yang sedang sakit keras”.

“Sendika dawuh Nyi”.

Sementara itu Nyi Lurah Glagah Putih yang sudah bangun bersama dengan adik-adik angkatnya sudah mulai menyibukkan diri di dapur, sedangkan Ki Jayaraga menyapu halaman dan Arya Nakula sibuk dengan timba senggotnya untuk mengisi jambangan.

Ketika Ki Jayaraga baru dapat menyapu separuh halaman, ada seseorang yang datang menyapanya dari pintu regol.

“Selamat pagi Ki Jayaraga, maaf jika aku mengganggu pekerjaan Ki Jayaraga”. ucap pengawal yang terlihat masih sangat muda ketika  baru saja datang.

“Selamat pagi ngger, kedatanganmu pagi-pagi sekali  membuat hatiku berdebar-debar saja”.

“Ah..Ki Jayaraga membuat aku merasa bersalah saja”.

Ki Jayaraga yang mendengar jawaban pengawal itu justru menjadi tertawa.

“Kedatanganmu mempunyai keperluan denganku atau Glagah Putih ngger?”.

“Sama saja Ki Jayaraga”.

“Kalau begitu marilah kita duduk di pringgitan”. ucap Ki Jayaraga yang kemudian mengajak tamunya itu untuk duduk di pringgitan.

“Begini Ki Jayaraga, aku mendapat tugas dari Nyi Pandan Wangi untuk menyampaikan kabar bahwa Ki Gede Menoreh sedang sakit keras”. ucap pengawal itu setelah mereka berdua duduk.

“Ki Gede Menoreh sedang sakit keras katamu?”. berkata Ki Jayaraga terkejut.

“Benar Ki Jayaraga. Berdasarkan kabar yang aku terima sejak kemarin Ki Gede mulai jatuh sakit”.

“Mengapa kau baru mengabarkan kepadaku sekarang?”. bertanya Ki Jayaraga dengan suara agak meninggi yang membuat pengawal sedikit ketakutan.

“Maaf Ki Jayaraga aku tidak tahu, karena aku baru mendapat giliran tugas tadi pagi”.

“Maafkan aku ngger”. ucap Ki Jayaraga yang menyadari kesalahannya.

“Tidak apa-apa Ki, aku bisa mengerti. Baiklah Ki Jayaraga berhubung aku sudah melaksanakan tugasku, aku langsung mohon diri”.

“Apakah kau tidak minum-minum dulu ngger?”.

“Terima kasih Ki Jayaraga, aku langsung mohon diri saja karena tugasku sudah menunggu”.

“Baiklah ngger, kami akan segera menyusul”.

Pengawal itu kemudian bergegas meninggalkan rumah Ki Lurah Glagah Putih dengan berjalan kaki, karena jaraknya memang tidak jauh dan pengawal itu menghilang setelah melewati tikungan.

Setelah pengawal itu pergi, Ki Jayaraga segera menemui Nyi Rara Wulan yang sedang berada di dapur bersama Padmini, Setiti dan Baruni untuk menyiapkan makan pagi.

“Rara Wulan, sepagi ini kita telah mendapat kabar yang kurang baik”.

“Ada apa Ki Jayaraga?”. bertanya Nyi Lurah Glagah Putih yang penasaran.

“Baru saja ada pengawal yang menyampaikan kabar bahwa Ki Gede Menoreh sedang sakit keras”.

“Ki Gede Menoreh sedang sakit keras?”. bertanya ibu Arya Nakula terkejut.

“Benar Rara Wulan”.

“Jika demikian kita harus segera kesana Ki Jayaraga”.

“Benar Rara Wulan, tapi kau jangan tinggalkan begitu saja masakanmu yang sudah hampir matang”. ucap Ki Jayaraga mengingatkan.

“Maaf Ki Jayaraga, aku hampir saja melupakannya. Kalau begitu setelah kita selesai makan pagi, kita harus segera kesana”.

“Seharusnya memang demikian”. ucap Ki Jayaraga yang kemudian meninggalkan ke empat perempuan itu di dapur.

Baru saja Ki Jayaraga beranjak keluar dari pintu ruang tengah, Arya Nakula muncul dari pintu butulan samping.

“Ada apa Ibu”.

“Setelah selesai makan pagi, kita pergi ke rumah Ki Gede Menoreh ngger”.

“Apakah Kakek Jayaraga ikut pula?”.

“Iya ngger, Ibu serta bibi-bibimu ini semua akan pergi”.

“Jika kakek ikut, aku ikut pula Ibu”. ucap Arya Nakula yang memang sangat dekat dengan guru ayahnya yang sudah dianggap seperti kakek sendiri tersebut.

Apalagi sejak kecil Arya Nakula sering ditinggalkan oleh ayahnya untuk mengemban tugas keprajuritan, maka dari itu waktunya lebih banyak dihabiskan bersama Ki Jayaraga, bahkan pada saat dulu bermain dengan lumpur di sawah.

Dulu waktu Arya Nakula masih kecil, Nyi Lurah Glagah Putih hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saja saat melihat anaknya pulang, karena setiap pulang dari sawah bersama Ki Jayaraga sudah hampir pasti tubuh dan bajunya akan berlumuran lumpur.

Arya Nakula pada saat masih kecil memang dikenal sebagai anak yang tidak bisa anteng, ada saja yang dilakukan serta menarik baginya untuk berbuat sesuatu.

Tapi Ki Jayaraga sangat sabar sekali pada saat momong Arya Nakula yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri, berbeda dengan Nyi Rara Wulan yang sering memarahinya ketika anak itu melakukan kesalahan. Maka dari itu Arya Nakula lebih dekat dengan Ki Jayaraga.

Tidak lama kemudian makan pagi pun sudah siap di ruang tengah. Mereka makan pagi bersama-sama sebelum berangkat ke rumah Ki Gede Menoreh.

Setelah makan pagi mereka selesai dan sejenak beristirahat setelah mengisi perut, mereka pun segera bersiap-siap menuju rumah Nyi Pandan Wangi untuk dapat segera menjenguk Ki Gede Menoreh yang sedang sakit keras.






–o-0-o–

Bersambung ke jilid

5





Padepokan Tanah Leluhur


Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar