PdTL 10

 



        Hewan-hewan malam semakin banyak yang berkeliaran setelah memasuki waktu wayah sepi bocah, dari Jangkrik, Laron, Bangkong, serta burung-burung malam mulai terlihat bermunculan. Karena di sepanjang waktu malam adalah dunia mereka, seakan merekalah penguasanya.

Selain suara hewan-hewan malam, alunan suara aliran air yang ajeg di sekitar sungai dan persawahan, menjadi sebuah contoh kecil tentang gambaran kehidupan betapa besarnya anugerah dari Yang Maha Agung bagi seluruh alam ini.

Sementara di kediaman Nyi Pandan Wangi di Tanah Perdikan Menoreh masih sesekali ada tamu setelah kepergian Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga, meskipun tidak banyak. Hanya orang-orang sekitar dan para bebahu saja selain keluarga dari Sangkal Putung dan Padepokan Orang Bercambuk yang belum pulang, serta tiga adik angkat Nyi Lurah Glagah Putih.

Para pengawal tetap menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya meskipun sebagian besar kawan mereka harus ikut melawat ke bang wetan bersama dengan pasukan Mataram untuk berperang melawan pasukan Wirasaba.

Para pengawal bertugas berjaga di gardu-gardu parondan yang telah tersedia, dan sebagian yang lain bertugas untuk nglanglang ke seluruh wilayah Tanah Perdikan Menoreh secara bergiliran, dan tidak lupa beberapa orang berjaga pula di gardu depan rumah Nyi Pandan Wangi.

Di pendapa rumah itu terlihat beberapa orang tamu dan keluarga tuan rumah sedang berkumpul dan berbincang-bincang dengan dikawani minuman hangat dan beberapa potong makanan seperti jenang alot, kacang rebus, dan pondoh jagung.

Sementara para tamu sepertinya dengan sengaja mulai berpamitan dengan alasan masing-masing, dengan maksud untuk memberikan waktu istirahat kepada tuan rumah lebih banyak.

Kemudian di pendapa hanya tinggal orang-orang yang masih termasuk keluarga Ki Agung Sedayu, yang masih tampak berbincang tentang apa saja yang menarik bagi mereka sembari berkelakar dengan penuh keakraban dan kekeluargaan.

Tiba-tiba hati Ki Agung Sedayu merasa ada yang kurang mapan, namun dia menyadari bahwa dia tidak akan dapat memusatkan nalar budinya untuk mengurai kegelisahannya, maka dengan terpaksa dia harus pamit lebih dulu kepada yang lain agar mendapat kesempatan tersebut dengan beralasan ingin beristirahat terlebih dahulu.

“Aku minta maaf kepada kalian semua, karena aku ingin beristirahat terlebih dahulu”.

“Silahkan, silahkan Ki Agung Sedayu, semoga kelakar kami tidak akan mengganggu istirahatmu”. sahut Ki Agahan.

Lalu ayah Bagus Sadewa itu pun segera bangkit untuk memasuki biliknya, namun Nyi Pandan Wangi yang merasa ada yang kurang wajar dengan suaminya ikut bangkit dan berniat untuk mengawaninya, mungkin dia butuh kawan untuk berbincang.

“Aku akan mengawani kakang”. berkata Nyi Pandan Wangi yang berusaha menyusul langkah kaki suaminya.

Ki Agung Sedayu yang mendengar suara itu pun menoleh ke belakang, lalu menganggukkan kepalanya sekali setelah melihat siapa yang bicara.

Sesampainya di bilik, ayah Bagus Sadewa segera merebahkan badannya di amben yang cukup luas, yang disusul Nyi Pandan Wangi duduk di bibir pembaringan setelah menyelarakkan pintu lebih dulu dari dalam.

“Sepertinya ada sesuatu yang membuat kakang gelisah, apakah kakang mau berbagi kegelisahan itu kepadaku?”.

Ki Agung Sedayu tidak segera menjawab pertanyaan tersebut, tapi dia lebih dulu melirik istrinya dengan sebuah senyuman, setelah itu baru dia menjawab.

“Rupanya kau sudah mampu menduganya”.

“Aku rasa orang lain pun sudah mampu menduganya, apalagi aku yang telah mengenal kakang sekian lama”.

“Aku sempat melupakan bahwa aku sedang berhadapan dengan seorang istri yang linuwih, baik secara kawruh kanuragan maupun secara kawruh kajiwan”. sahut ayah Bagus Sadewa sembari memandangi wajah istrinya dengan tersenyum.

“Apakah kakang keberatan jika berbagi kegelisahan itu?”.

Dengan diawali sebuah tarikan nafas dalam, Ki Agung Sedayu pun menjawab, “aku sedang digelisahkan dengan perang di Wirasaba, terutama dengan apa yang sekarang terjadi”.

“Bukankah sekarang sudah malam? dan sesuai dengan paugeran perang, mereka beristirahat? apakah ada yang sedang berperang tanding?”. pertanyaan bertubi-tubi keluar begitu saja dari mulut ibu Sekar Wangi yang merasa tidak sabar.

“Itulah yang sedang aku gelisahkan. Sekarang Glagah Putih lah yang sedang berperang tanding”.

“Glagah Putih?”.

“Ya.. Glagah Putih, dia sedang berperang tanding melawan orang yang sangat ngedap-ngedapi kemampuannya”.

“Siapakah lawannya, kakang?”.

“Ki Patih Rangga Permana”.

“He… ?”.

Bagaikan mendengar guntur yang meledak di hadapannya secara tiba-tiba, Nyi Pandan Wangi terkejut bukan kepalang. Namun tangan kirinya segera menutup mulutnya yang menyadari keterlanjurannya.

“Itulah yang membuatku menjadi gelisah dan tidak tenang”.

“Bagaimana ceritanya Glagah Putih bisa menghadapi Ki Patih Rangga Permana dalam sebuah perang tanding, kakang?”.

“Sebenarnya Ki Patih Rangga Permana menantang Panembahan Hanyakrakusuma. Namun menurut Pangeran Pringgalaya itu tidak sepadan, karena seharusnya pemimpin tertinggi melawan pemimpin tertinggi pula. jika Wirasaba harus diwakilkan, maka Mataram pun akan diwakilkan pula”.

“Lalu bagaimana ceritanya, justru Glagah Putih lah yang ditunjuk mewakili Mataram?”. sahut Nyi Pandan Wangi yang masih merasa heran dengan apa yang didengarnya.

“Itulah yang membuatku tidak habis pikir, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Glagah Putih yang diperintahkan untuk mewakili Mataram. Padahal Ki Patih Rangga Permana itu adalah termasuk orang yang berilmu sangat tinggi dari golongan tua. Bukankah dengan demikian kau sendiri sudah dapat menduga seberapa tinggi kemampuan lawan Glagah putih itu?”. sahut Ki Agung Sedayu, yang kemudian terdengar tarikan nafasnya yang berat.

“Apakah tidak ada yang bisa kakang lakukan untuk sedikit membantu Glagah Putih?”. sembari meraih salah satu tangan suaminya yang sedang berbaring.

“Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Pandan Wangi. Kecuali hanya bisa membantunya untuk nenuwun kepada Yang Maha Agung, agar dia tetap selalu dalam lindungan-Nya, karena mereka sudah terikat dalam sebuah perang tanding”.

Nyi Pandan Wangi sangat mengerti apa itu arti sebuah perang tanding, serta paugeran apa saja yang harus dipatuhi semua pihak, baik yang terikat secara langsung maupun orang lain yang hanya sekedar menjadi penonton di luar arena. 

Maka sekarang ibu Sekar Wangi lah yang menjadi gelisah setelah mengetahui apa yang digelisahkan oleh suaminya tersebut, namun dia sendiri merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengurangi kegelisahannya.

“Aku sudah menduga bahwa ini justru akan menjadi beban pikiranmu setelah kau mengetahuinya”.

“Meskipun aku tidak mampu berbuat sesuatu untuk masalah ini, tapi paling tidak aku sudah berusaha menjadi pendengar yang baik. Karena biar bagaimanapun aku akan selalu belajar untuk menjadi istri yang baik bagi kakang, dalam keadaan apapun sejauh kemampuanku”. sahut Nyi Pandan Wangi dalam kegelisahannya.

Sejenak suasana menjadi sunyi, tanpa sengaja kedua pasang mata itu pun saling beradu. Sebuah tatapan mata yang penuh ketabahan dan keteduhan bagi yang melihatnya, masih terpancar sama seperti beberapa puluh warsa yang lampau, bahkan hampir tidak pernah berubah sama sekali meskipun telah melewati berbagai lika-liku kehidupan yang tidak mudah dan penuh dengan gejolak.

Sama sekali tidak terdengar suara dari bibir mereka berdua, tapi seakan hati keduanya lah yang berbicara lewat sorot mata yang saling beradu beberapa saat.

“Kakang jangan menatapku seperti itu”. berkata Nyi Pandan Wangi pada akhirnya yang merasa tersipu.

“Kau tidak hanya cantik secara wadagmu, tapi juga hatimu”.

“Ah.. kakang terlalu memuji. Apakah kakang lupa bahwa aku sudah semakin tua? dengan ditandai rambutku yang mulai memutih dan wajahku secara perlahan mulai keriput?”. sahut ibu Sekar Wangi sembari menundukkan wajahnya karena merasa malu.

“Aku berkata sebenarnya”.

“Bukankah lebih cantik Anjani jika dibandingkan dengan aku? apalagi Anjani masih jauh lebih muda, serta tubuhnya selalu semerbak bau wangi”.

“Bagiku, kalian itu tidak bisa diperbandingkan satu sama lain. Karena kau, Sekar Mirah, dan Anjani memiliki pancaran kecantikannya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan tidak ada yang paling cantik dan paling jelek”.

“Sekarang aku ingin bertanya kepada kakang, tapi harus kakang jawab jujur”.

“Apakah selama itu aku tidak jujur?”.

“Bukan itu maksudku, tapi aku hanya ingin mempertegas saja sebelum aku mengucapkan pertanyaan ini”.

“Baiklah”.

“Di antara kami bertiga, aku, Sekar Mirah, dan Anjani. Siapa yang paling kakang kasihi?”.

Ki Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan tersebut sempat terdiam sejenak, karena tidak pernah menduga sebelumnya.

“Apakah tidak ada pertanyaan yang lain?”.

“Ada, tapi setelah kakang jawab pertanyaan ini lebih dulu”.

“Bukankah secara tidak langsung kau hanya ingin membuat perbandingan?”.

“Bukan itu maksudku, nanti akan aku jelaskan tapi setelah kakang menjawab pertanyaanku”.

Ki Agung Sedayu pun hanya bisa menarik nafas panjang untuk dapat sedikit melonggarkan kepepatan hatinya karena desakan pertanyaan dari istrinya yang datang tiba-tiba.

“Aku berusaha mencintai dan mengasihi kalian seadil mungkin sejauh kemampuanku”.

“Bukan usaha kakang untuk mencintai kami bertiga yang aku maksud. Tapi sejauh mana yang kakang rasakan dari lubuk hati yang paling dalam tentang kami bertiga? aku tidak akan pernah marah apa pun jawaban kakang, bahkan aku tidak pernah ada sebiji sawi pun di hatiku tumbuh rasa iri ataupun dengki kepada mereka jika kakang memang memilih salah satu di antara mereka”.

“Kenapa kau tiba-tiba mempertanyakannya?”.

“Kakang jawab saja pertanyaanku”.

“Apakah harus aku jawab sekarang?”.

“Iya”.

Ki Agung Sedayu kini merasa dipojokkan dengan pertanyaan sulit untuk dijawabnya, apalagi jika dia salah berucap maka akan besar sekali akibatnya.

“Sejak awal sebenarnya aku tidak pernah bermimpi bahwa akan menjalani hidup yang seperti sekarang ini, namun Yang Maha Agung lah yang telah menuntunku ke jalan hidup ini”.

Ki Agung Sedayu berhenti sejenak untuk berusaha merangkai kata yang tepat lebih dulu untuk diucapkan, sembari menarik nafas dalam beberapa kali.

“Aku mencintai kalian semua dengan sepenuh hatiku, di dalam hatiku kalian mempunyai tempat yang sama, tidak pernah ada sedikitpun perbedaan secara timbangan, siapakah yang lebih aku cintai dari kalian bertiga”.

“Kakang berkata sebenarnya, atau hanya berusaha mencari jawaban aman?”. desak Nyi Pandan Wangi.

“Aku tidak berusaha mencari jawaban aman, tapi aku berkata yang sebenarnya sesuai yang aku rasakan sendiri, bukankah ini jawaban yang kau minta?”.

“Apakah kakang menikahiku karena hanya ingin melaksanakan wasiat dari Swargi kakang Swandaru? apakah sebelumnya kakang tidak pernah memiliki perasaan kepadaku?”.

Ki Agung Sedayu yang masih merebahkan tubuhnya di amben yang cukup luas menjadi sangat terkejut dengan pertanyaan itu, secara naluriah dia segera memandang wajah istrinya dengan sorot mata yang tajam.

“Maafkan aku yang telah berani deksura dengan pertanyaan ini, kakang”. ucap Nyi Pandan Wangi cepat-cepat setelah menyadari keterlanjurannya.

Terdengar suara nafas Ki Agung Sedayu yang berat setelah mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari istrinya yang masih duduk di bibir pembaringan.

“Apakah kau ingin tahu yang sebenar-benarnya, Pandan Wangi?”.

Kali ini justru putri tunggal Swargi Ki Gede Menoreh lah yang menjadi sangat terkejut dengan ucapan suaminya tersebut. Secara naluriah dia mengangkat wajahnya menatap suaminya, namun segera ditundukkannya kembali karena pada saat yang sama Ki Agung Sedayu menatapnya pula dengan sorot mata yang tajam.

“Jika kakang tidak keberatan, aku akan senang sekali dapat mendengarnya langsung dari kakang”.

“Dengan demikian, secara tidak langsung kau akan mengusik kembali kejadian di masa-masa yang lampau”.

Nyi Pandan Wangi hanya bisa terdiam dengan jantung yang semakin berdebar-debar mendengar ucapan suaminya sembari kepalanya masih tertunduk.

Tapi sebelum mereka melanjutkan pembicaraan tersebut, dari luar terdengar suara langkah kaki yang halus dan berhenti tepat di depan pintu bilik. Tapi sepertinya menjadi ragu-ragu untuk mengetuk karena dari dalam bilik terdengar sepi.

Namun Ki Agung Sedayu yang memiliki panggrahita yang sangat tajam dapat menduga bahwa orang itu tidak akan berani mengganggunya ketika dia sudah memasuki bilik, jika tidak ada keperluan yang sangat penting.

“Siapa di luar?”. bertanya ayah Bagus Sadewa dari dalam bilik.

“Aku kakang. Maaf jika aku telah deksura dengan berani mengganggu waktu istirahat kakang, aku diperintahkan mbokayu Sekar Mirah untuk menyampaikan kepada mbokayu Pandan Wangi bahwa ada tamu yang baru saja datang mencarinya”. sahut suara yang sangat lembut dari luar serta mulai tercium bau wangi.

“Siapakah tamunya?”. kali ini Nyi Pandan Wangi yang bertanya.

“Aku tidak tahu, tapi tadi mbokayu Sekar Mirah mengatakan bahwa tamu itu datang untuk mencari mbokayu Pandan Wangi”.

“Baiklah, aku akan segera datang”. sahut ibu Sekar Wangi dengan dahi berkerut-kerut menduga siapakah tamunya yang datang mencarinya setelah gelap.

***

Sementara itu orang-orang yang sedang menyaksikan perang tanding menjadi semakin tegang dengan jantung mereka berdebar-debar semakin kencang, terutama bagi orang Mataram yang harus melihat kenyataan bahwa kawan mereka sedang mengalami kesulitan.

“Sepertinya mulai terjadi keanehan dalam arena, tiba-tiba Ki Lurah Glagah Putih sekarang lebih mudah ditembus pertahanannya dan seperti menyusut kemampuannya”. desis Pangeran Pringgalaya dengan dahi berkerut.

“Aku mulai khawatir jika Ki Lurah Glagah Putih tidak mampu bertahan lebih lama lagi, Paman”. sahut  Kanjeng Sinuhun Mataram dengan penuh ketegangan.

“Apakah angger Panembahan mulai meragukan keputusanku?”.

Panembahan Hanyakrakusuma yang mendapat pertanyaan itu seketika terdiam karena kebingungan harus menjawab apa, sembari kedua matanya hampir tidak pernah berpaling dari arena perang tanding yang semakin garang.

“Angger Panembahan, maafkan ucapanku, bukan maksudku untuk merasa paling benar sendiri. Berdasarkan pertimbanganku dari berbagai sisi akupun tidak akan berani mengusulkan seorang lurah prajurit untuk melawan Ki Patih Rangga Permana yang mempunyai kemampuan sangat tinggi jika itu bukan Ki Lurah Glagah Putih”.

“Aku mengerti maksud Paman, pada awalnya pun aku merasa setuju dengan keputusan Paman, namun kemudian aku baru ingat bahwa Ki Patih Rangga Permana adalah termasuk orang yang pilih tanding dari golongan tua, sedangkan Ki Lurah Glagah Putih termasuk dari golongan muda. Secara penalaran wajar tentu ada perbedaan tataran kemampuanya, apakah itu tidak akan membahayakan jiwanya?”.

“Ternyata tadi aku sempat melupakan akan hal itu pada saat membuat keputusan, namun kita sudah terlanjur, Ngger. Tapi sekarang sudah tidak ada jalan untuk kembali lagi, sebaiknya mari kita sama-sama nenuwun untuk keselamatan Ki Lurah Glagah Putih, semoga Yang Maha Welas Asih selalu mengasihinya”.

Sementara di pihak Wirasaba merasa semakin berbesar hati dengan keadaan medan, karena mereka menyaksikan sendiri lawan Ki Patih Rangga Permana sedang mulai mengalami kesulitan untuk melawan kemampuan pepundennya.

“Orang-orang Mataram sebentar lagi pasti akan menyesali kesombongan dan kegilaan mereka, karena telah berani menghina pepunden kebanggaan kita”. ucap salah satu prajurit Wirasaba dengan penuh keyakinan.

“Kau benar, setinggi-tingginya kemampuan seorang lurah prajurit pasti tidak akan mampu melawan Ki Patih Rangga Permana yang memiliki kemampuan sangat tinggi”. sahut kawannya yang berdiri di sebelahnya.

“Tapi biar bagaimanapun kita tidak dapat ingkar bahwa lurah prajurit itu hanya sekedar menjalankan perintah pepundennya, sama seperti kita jika mendapat perintah dari pepunden kita sendiri. Apapun alasannya kita tidak dapat menolaknya”.

“Apapun alasannya, bagiku lurah prajurit itu sama saja membunuh diri jika berani menghadapi Ki Patih Rangga Permana, apalagi berani menghadapi dalam arena perang tanding. Kita hanya perlu menunggu waktu saja, cepat atau lambat”.

Sementara dalam arena perang tanding, Ki Patih Rangga Permana yang merasa tersinggung oleh sikap lawannya yang tidak menyambut dengan baik niat baiknya menjadi sangat marah.

Maka segeralah dia meningkatkan kemampuan salah satu ilmu simpanannya yang sejak tadi sudah mulai diterapkannya, yaitu sebuah ilmu yang sangat nggegirisi yang menimbulkan bau wangi seperti wangi bunga, dan jika lawannya menghirup bau itu akan dapat mempengaruhi penalarannya bahkan dapat melemahkan kemampuan lawan pada tataran tinggi.

Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari keadaannya, segera meningkatkan kemampuan daya tahan tubuhnya dan ilmu kebalnya, serta berusaha menutup indra penciumannya dengan kemampuan ilmunya yang sangat tinggi untuk mengurangi pengaruh ilmu lawannya tersebut.

Selain menerapkan kemampuan untuk mempertahankan diri dari serangan lawan, Ki Lurah Glagah Putih mulai mengungkapkan salah satu ilmunya pula yang bersumber dari ilmu perguruan Widhujati, yang dipelajari dari kakak sepupunya.

Ki Patih Rangga Permana yang sudah bersiap akan menyerang lawannya menjadi sangat terkejut bukan kepalang, seakan tidak percaya dengan bau yang disambar oleh hidungnya, dan akibat kemudian yang mampu ditimbulkan.

Bahkan sebuah bau wangi itu semakin lama semakin kuat pengaruhnya pada tubuhnya. Sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi dirinya pun segera tanggap bahwa itu adalah serangan dari lawannya, maka segeralah ditutupnya indra penciumannya.

“Setan Alas, Genderuwo, tetekan”. umpat Patih Wirasaba.

Ki Patih Rangga Permana mengumpat sejadi-jadinya dengan umpatan yang sangat kotor setelah mendapatkan serangan lawannya melalui indra penciumannya yang tiba-tiba dan membuatnya menjadi sangat terkejut.

Serangan dari patih Wirasaba yang tadi sudah siap meluncur pun segera diurungkannya kembali karena tidak mau menanggung akibat serangan lawan.

Sekarang justru orang-orang yang menyaksikan pertempuran antara dua orang yang berilmu sangat tinggi itu yang menjadi heran dengan apa yang terjadi di arena perang tanding setelah mendengar umpatan Ki Patih Rangga Permana yang sangat kotor.

“Apa yang terjadi, Paman Pangeran?”. bertanya Kanjeng Sinuhun Mataram yang menjadi heran pula.

“Sepertinya Ki Lurah Glagah Putih mulai berusaha mengimbangi kemampuan lawannya”. gumam Pangeran Demang Tanpa Nangkil yang belum lama ikut menyusul untuk menyaksikan perang tanding bersama Pangeran Puger setelah menyelesaikan tugasnya.

Panembahan Hanyakrakusuma yang menjadi semakin tegang seperti tidak dapat meninggalkan perhatiannya pada arena perang tanding barang sekejap pun, bahkan dia tidak memalingkan muka saat bertanya maupun mendengar jawaban.

“Jangan menjadi garang begitu, Ki Patih Rangga Permana”. ucap ayah Arya Nakula setelah mendengar umpatan lawannya.

“Aku hanya menjadi sangat terkejut dengan kemampuanmu yang mampu mengimbangi ilmuku yang sudah sangat langka ini. Aku tidak tahu kau telah mempelajari ilmu itu dari mana? namun aku rasa sepertinya ada kemiripan sumbernya dengan ilmuku.”.

“Mungkin iya mungkin pula tidak. Aku hanya berusaha mengimbangi ilmu Ki Patih Rangga Permana yang sangat nggegirisi itu, sejauh kemampuanku”.

“Meskipun kau tidak lebih dari seorang lurah prajurit, namun aku salut padamu karena sejauh ini kau masih mampu bertahan dari serangan-serangan ilmuku. Tapi kau jangan senang dulu dengan kemenangan kecilmu ini, Ki Lurah”.

Ki Lurah Glagah Putih sangat menyadari lawannya dan sejauh mana tataran ilmunya, maka setiap apa yang akan dia lakukan dalam perang tanding harus dipikirkan masak-masak, bahkan jangan sampai membuat kesalahan sekecil apapun.

Ki Patih Rangga Permana yang meskipun belum terlalu lama terkena serangan ilmu lawannya, namun sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi sudah dapat menduga sejauh mana tataran kemampuan lawannya. menyadari hal tersebut, maka dia segera membuat pertimbangan lain.

Karena hanya akan menjadi sia-sia saja jika lawannya mampu mengetrapkan jenis ilmu yang sama. Sehingga dia berpikir untuk mencoba merambah pada ilmu simpanannya yang lain.

Dengan berdiam diri dan bertolak pinggang di depan lawannya, Ki Patih Rangga Permana mulai memusatkan nalar budinya.

Tiba-tiba patih kebanggaan seluruh kawula Wirasaba itu tertawa berkepanjangan, namun tertawanya bukan sekedar tertawa yang sewajarnya, namun dilambari dengan kemampuannya yang sangat nggegirisi.

Seketika orang-orang yang berada di sekitarnya merasakan telinga mereka bagai ditusuk-tusuk duri kemarung serta dada mereka seakan dihentak-hentakkan oleh kekuatan tidak kasat mata sehingga merasakan nyeri yang luar biasa.

Bagi orang-orang yang berilmu tinggi segera mengerahkan kemampuan yang ada pada diri mereka untuk melindungi diri, namun bagi orang-orang yang belum mencapai tataran tersebut seperti menjadi sebuah bencana yang tak mampu mereka lawan.

Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang berjarak paling dekat dengan sumber suara itu segera meningkatkan kemampuannya untuk melindungi dirinya dari kedahsyatan ilmu lawan yang menyerang melalui indra pendengaran.

“Hahaha… marilah Ki Lurah, lawanlah aku sekarang”. ucap Ki Patih Rangga Permana dengan suara yang menghentak-hentak, seakan seluruh isi di dalam dada menjadi rontok karenanya.

Tapi bagi Ki Lurah Glagah Putih serangan lawannya itu tidak banyak berpengaruh atas dirinya, karena lurah prajurit Mataram tersebut mampu melindungi dirinya dengan kemampuannya yang sangat tinggi.

Ki Patih Rangga Permana yang menyadari jika lawannya tidak begitu terpengaruh dengan serangannya, tapi justru orang-orang sekitarnya yang mengalami kesulitan, terutama bagi orang-orang yang memiliki tataran kemampuan belum tinggi. Maka segeralah ditingkatkan kemampuannya, bahkan hingga ke tataran puncak.

Suara Ki Patih Rangga Permana semakin membahana dan menggaung-gaung di sekitar tempat itu dengan lambaran ilmu yang sangat ngedap-ngedapi dan nggegirisi.

Para saksi perang tanding yang berada di sekitar arena tersebut merasakan kesakitan yang sangat pada kedua telinganya dan dada yang membuat tubuh mereka sangat kesakitan hingga banyak orang yang terjatuh pada kedua lututnya, sementara kedua tangan mereka gunakan untuk sebisa mungkin menutup kedua telinga yang sangat kesakitan, baik dari pihak Mataram maupun Wirasaba.

Terutama orang-orang yang berada di hadapan Ki Patih Rangga Permana, karena jika berada di belakangnya akibatnya tidak separah yang berada di hadapan orang yang sedang mengetrapkan  ilmunya.

Sejenak suasana perang tanding itu menjadi aneh, karena serangan Ki Patih Rangga Permana yang ditujukan kepada Ki Lurah Glagah Putih menjadi melebar dan justru lebih menyakiti orang-orang di sekitarnya daripada kepada lawannya sendiri.

Gejolak kemarahan yang disebabkan oleh laporan tentang beberapa orang kepercayaannya telah gugur, membuat patih Wirasaba itu menjadi kalap, sehingga dia tidak lagi memperdulikan keadaan orang sekitarnya.

“Hahaha… kemarilah Ki Lurah! jika kau ingin membunuh diri di tanganku”. ucap Ki Patih Rangga Permana dengan suara yang semakin menggelegar.

Sementara ada dua sosok yang secara sembunyi-sembunyi sedang mengawasi perang tanding di tempat berbeda yang saling berjauhan itu memiliki tanggapan yang berbeda pula dengan keadaan medan.

“Benar-benar lawan yang sangat nggegirisi, seharusnya bukan dia yang menghadapinya”. ucap salah satu sosok yang mengawasi dengan penuh ketegangan dan kegelisahan.

“Penghinaan orang Mataram harus segera dibayar mahal, cepat atau lambat mereka akan menyesalinya”. ucap sosok yang lain yang sedari tadi berdiam diri di tempat yang sangat tersembunyi sembari mengawasi jalannya perang tanding.

Meskipun Ki Lurah Glagah Putih masih mampu melindungi dirinya, namun ternyata tidak mampu sepenuhnya, karena suara itu masih mampu menyakiti dirinya meskipun tidak banyak.

Ayah Arya Nakula yang menyadari keadaan sepenuhnya menjadi tidak sampai hati membiarkan orang-orang disekitarnya merasa kesulitan dan kesakitan yang hampir tidak tertahankan yang kebanyakan tertuju kepada orang-orang Mataram, kecuali orang-orang yang berilmu tinggi atau orang-orang khusus saja yang tahu cara menangkal serangan tersebut.

Sejenak kemudian Ki Lurah Glagah Putih meraih sesuatu dari balik bajunya, ternyata sebuah benda kecil yang terlihat aneh apalagi jika itu berada di sebuah arena perang tanding, karena benda itu seperti tidak lebih dari sebuah mainan anak-anak.

“Apakah kau menjadi putus asa dengan apa yang terjadi, Ki Lurah? sehingga kau harus mengeluarkan mainan anak-anak untuk menghibur diri?”. ucap Ki Patih Rangga Permana dengan nada penuh ejekan.

Tanpa memperdulikan lagi apa yang diucapkan lawannya, Ki Lurah Glagah Putih memasukkan benda itu ke dalam mulutnya, lalu mulai meniupnya.

Diawali dengan suara yang sangat perlahan dengan nada yang mulai mendayu-dayu, suara benda itu mulai berkumandang di sekitar tempat itu.

Tapi pengaruh suara benda yang berada di mulut Ki Lurah Glagah Putih ternyata sangat luar biasa, karena dengan perlahan namun pasti suara rinding itu seakan mulai menghisap segala pengaruh ilmu lawan yang sejenis ilmu Gelap Ngampar yang pernah menggetarkan orang-orang kanuragan pada masanya.

Ki Patih Rangga Permana yang seakan tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh lawannya segera meningkatkan kembali tataran kemampuannya hingga ke batas puncak. Dia ingin membuktikan bahwa kemampuannya masih di atas kemampuan orang yang seperti sedang memainkan sebuah permainan anak-anak tersebut.

“Kau semakin membuatku marah saja, Ki Lurah Glagah Putih”. ucap Ki Patih Rangga Permana dengan suara yang semakin menggelegar di seantero padang perdu.

Namun suara yang dilambari dengan kemampuan yang sangat tinggi dan bisa berarti petaka bagi siapa saja yang mendengarnya, kecuali bagi orang-orang yang berilmu sangat tinggi saja yang akan mampu menyelamatkan dirinya, seakan terserap secara perlahan pengaruhnya oleh suara rinding yang semakin mendayu-dayu.

Kemampuan Ki Lurah Glagah Putih bermain rinding yang diwarisi dari ayah angkatnya yang bernama Ki Citra Jati ternyata sudah semakin tinggi dan matang.

Semua itu dapat dilihat dari kemampuannya yang sudah mampu menyerap pengaruh ilmu sejenis Gelap Ngampar yang sangat tinggi dan nggegirisi bagi siapapun yang terkena pengaruh ilmu tersebut dengan permainan rindingnya.

Melihat kenyataan ini orang-orang Mataram menjadi dapat sedikit bernafas lega, meskipun masih dalam ketegangan dan kesakitan yang sangat karena mereka menyadari bahwa semua ini belum berakhir.

“Selama ini aku hanya bisa mendengar kemampuannya yang sangat tinggi, namun baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk menyaksikannya secara langsung kemampuan Ki Lurah Glagah Putih yang sejauh ini memang telah dibuktikannya”. ucap salah satu senopati Mataram yang menyaksikan dari kejauhan bersama beberapa orang kawannya.

“Tentu saja Ki Tumenggung Alap-Alap hanya dapat mendengar kemampuannya dari mulut ke mulut, karena selama ini lebih banyak bertugas jauh dari Kotaraja Mataram”. sahut kawan di sebelahnya.

“Ki Rangga Sabungsari benar. Aku memang lebih banyak menghabiskan waktuku jauh dari hiruk-pikuknya Kotaraja Mataram karena tugas-tugasku”.

“Tapi aku sudah mengenalnya sejak lama, bahkan sebelum dia memulai hidup bebrayan bersama istrinya”. sahut Ki Rangga Sabungsari.

Meskipun tubuhnya masih nampak lemah setelah tadi siang harus bertempur hingga saling mengadu puncak ilmu dengan salah satu pemimpin padepokan yang berpihak kepada Wirasaba, namun dia memerlukan hadir untuk menyaksikan perang tanding kawannya yang sudah seperti saudara sendiri.

“Tapi jika memang dia mempunyai kelebihan dari prajurit kebanyakan, dan mendapat kepercayaan yang begitu tinggi dari pepunden para petinggi Mataram, kenapa hingga sekarang dia masih saja berpangkat lurah?”. gumam Ki Tumenggung Alap-Alap tanpa sadarnya.

“Aku tidak tahu menahu tentang hal itu, Ki Tumenggung Alap-Alap. Yang aku tahu bahwa, Ki Lurah Glagah Putih hanya menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya atas dasar pengabdian semata tanpa  pamrih yang berlebihan sehingga gelar kepangkatan yang bagaimanapun bentuknya tidak pernah menyilaukan dan mengusik hatinya karena dia sendiri sudah mempunyai sikap hidup yang kuat”. sahut suami Nyi Raras tersebut.

“Beda kepala memang beda isinya, Ki Rangga Sabungsari”.

“Demikianlah Ki Tumenggung Alap-Alap”.

Sementara dalam arena perang tanding semakin lama menjadi semakin menegangkan, baik bagi yang terlibat dalam pertempuran secara langsung maupun bagi orang-orang yang hanya sekedar menjadi penonton saja. Karena mereka sama-sama merasa berkepentingan dengan hasil akhirnya.

Ki Patih Rangga Permana yang menyadari serangannya mulai dapat dipatahkan oleh lawannya, segera membuat pertimbangan lain. Karena jika tidak, maka serangannya hanya akan berakhir sia-sia saja terhadap orang yang berdiri di hadapannya.

“Sejauh ini aku harus mengakui kemampuanmu, Ki Lurah. Tapi sekarang bersiaplah, karena aku akan merambah pada ilmu simpananku yang lain. Aku tidak akan lagi bermain-main dengan permainan anak-anak”. ucap Ki Patih Rangga Permana yang sudah menggunakan suara dengan sewajarnya.

Ucapan itu membuat Ki Lurah Glagah Putih menjadi semakin berhati-hati dan waspada, karena apapun yang akan terjadi dia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun bukan berarti ayah Arya Nakula itu menjadi gentar dengan kemampuan lawan yang sangat tinggi dan nggegirisi. Dengan tatapan mata yang tajam dan sikap yang mantap Ki Lurah Glagah Putih menunggu apa yang akan dilakukan oleh lawannya.

Rinding yang dianggap sudah tidak diperlukannya lagi segera disimpannya kembali di balik bajunya, dengan pandangan matanya tidak pernah lepas dari lawannya.

“Semoga saja aku tidak mengecewakanmu, Ki Patih. Karena aku yakin bahwa kau memiliki kemampuan yang sangat tinggi dan mempunyai segudang ilmu simpanan yang masih belum kau tunjukkan kepadaku”.

“Kau tidak perlu banyak sesorah lagi, Ki Lurah. Karena lebih baik kau persiapkan dirimu dengan sebaik-baiknya”.

“Baiklah”.

Kemudian dua orang yang mendapat kesempatan untuk mewakili masing-masing pihak itu pun kembali mempersiapkan diri untuk melanjutkan pertempuran yang tadi sempat berhenti.

Ki Patih Rangga Permana segera memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan salah satu ilmu simpanannya yang jarang sekali dikeluarkan.

Ki Lurah Glagah Putih yang melihat apa yang dilakukan oleh lawannya tidak mau ketinggalan barang sekejap pun, dia pun segera mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan, tidak lupa diterapkannya kembali ilmu kebalnya hingga tataran puncak untuk melindungi diri dari segala kemungkinan buruk.

Ki Patih Rangga Permana mengangkat tangan kanannya setinggi wajah, lalu di ayunkanlah tangan itu. Tiba-tiba sesuatu yang sangat luar biasa terjadi.

Dari telapak tangan yang terayun itu seakan meluncur seleret sinar yang menyerang lawannya dengan sangat deras dan cepat seperti kilat di angkasa.

“Dduuaarr…”.

Terdengar ledakan yang sangat keras ketika seleret sinar itu menghantam tempat dimana Ki Lurah Glagah Putih berdiri. Hampir semua orang yang menyaksikan kejadian itu nafasnya seakan tertahan karena tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.

Ki Lurah Glagah Putih yang memiliki kemampuan meringankan tubuh hingga seperti tidak berbobot lagi ternyata masih mampu menghindari serangan tersebut pada saat-saat terakhir. Sehingga hanya gundukan tanah bekas dia berdiri saja yang meledak seperti disambar petir dengan dahsyatnya.

“Ternyata kau masih mampu menghindar, Ki Lurah. Tapi aku ingin melihat, itu hanya sebuah kebetulan saja atau karena kau memang memiliki kemampuan untuk itu”. ucap Ki Patih Rangga Permana setelah menyadari bahwa serangannya tidak menemukan sasarannya.

Baru selesai berkata demikian, Ki Patih Rangga Permana segera menyerang lawannya dengan serangan yang serupa tapi dengan serangan yang bertubi-tubi.

Dengan demikian ledakan-ledakan keras di padang perdu, menjadi lebih sering terjadi karena terkena sambaran ilmu yang tidak mengenai sasaran tapi sangat nggegirisi tersebut.

Lurah prajurit sandi Mataram yang tidak mau menjadi sasaran serangan yang sangat berbahaya itu pun berusaha menghindar dengan melompat kesana kemari. Karena dengan keadaan demikian dirinya masih merasa kesulitan untuk mencari kesempatan balas menyerang lawannya yang telah mapan.

“Apakah kau adalah anak-anak yang sedang belajar kanuragan? sehingga hanya bisa berloncat-loncatan saja, Ki Lurah?”. ucap Ki Patih Rangga Permana dengan nada ejekan, melihat apa yang dilakukan lawannya.

Tapi beruntunglah setiap serangan patih Wirasaba itu masih dapat dihindari, meskipun dengan susah payah. Beberapa kali tadi hampir saja tubuh ayah Arya Nakula tersambar ilmu lawan karena serangan itu demikian cepatnya.

“Aku belum menemukan cara yang lebih baik untuk mengatasi seranganmu yang sangat berbahaya ini, Ki Patih”. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari setengah berteriak karena masih harus berloncatan kesana kemari untuk menghindari serangan lawan.

“Omong kosong. Keluarkanlah semua kemampuanmu sebelum kau menyesal seumur hidupmu”.

“Aku sudah berusaha sejauh kemampuanku, Ki Patih”.

“Setan Alas. Kau masih saja berani berkelakar di hadapanku. Tapi baiklah, itu adalah urusanmu jika nanti kau menyesalinya”.

Kali ini Ki Patih Rangga Permana tidak lagi mengumbar ilmunya, tapi lebih memperhitungkan lagi setiap serangannya yang sejak tadi tidak dapat mengenai sasaran yang berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

Meskipun Ki Lurah Glagah Putih telah terlindungi oleh ilmu kebal, namun dia tidak mau gegabah mengambil keputusan dengan mempercayakan sepenuhnya pada ilmu yang diwarisi dari kakak sepupunya tersebut, sebab lawannya sekarang adalah orang pilih tanding dan sangat mungkin mampu menembus ilmu kebalnya.

Kini sedang terjadi pertempuran jarak jauh, tapi patih Wirasaba lah yang lebih banyak menyerang dan lawannya hanya berusaha mengelak dengan berloncatan kesana kemari.

Namun setelah beberapa saat, sepertinya Ki Lurah Glagah Putih memiliki kesempatan untuk mengungkapkan salah satu ilmu simpanannya, setelah lawannya sedikit mengendorkan serangannya.

Meskipun hanya dalam waktu sekejap, namun itu sangat berarti sekali bagi menantu Ki Purbarumeksa untuk dapat mengungkapkan salah satu ilmu simpanannya yang dilambari tenaga cadangan.

Ki Patih Rangga Permana sebagai seorang yang berilmu tinggi segera tanggap dengan apa yang dilakukan lawannya meskipun belum bisa menduga sejenis ilmu apa yang akan diterapkannya, berniat ingin mendahului menyerang dengan kilatan cahaya yang berasal dari telapak tangannya.

Namun apa yang terjadi kemudian justru sangat mengejutkan dirinya dan orang-orang yang sedang menyaksikan perang tanding di sekitar arena.

“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan”. umpatan dan sumpah serapah keluar dari mulut patih Wirasaba karena saking terkejutnya.

Dengan tatapan mata yang sangat tajam, Ki Patih Rangga Permana melihat bekas tanah yang tiba-tiba meledak seperti puncak gunung yang meletus dan menyemburkan tanah panas dari perut bumi tanpa ampun, bekas tempatnya berdiri sebelum melompat menghindar beberapa langkah ke samping kanan.

Tapi patih Wirasaba itu tidak mau terlarut dalam keterkejutannya terlalu lama, sebab masih menyadari bahwa dia masih berada dalam arena perang tanding yang sangat berbahaya.

Dengan cepat pula dia memandangi lawannya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala hampir tanpa berkedip dalam keremangan malam yang hanya dibantu penerangan beberapa oncor dari biji jarak yang dipasang di sekitar arena.

Ternyata bukan saja Ki Patih Rangga Permana yang menjadi terkejut, namun hampir semua orang yang menyaksikan perang tanding, kecuali orang-orang yang sudah mengenal lama Ki Lurah Glagah Putih.

“Apakah penglihatanku masih sehat?”. bertanya salah satu prajurit Wirasaba tanpa sadarnya karena saking tidak percayanya dengan apa yang dilihatnya.

“Kenapa kau berkata demikian?”. sahut salah satu kawannya yang berdiri di sebelahnya.

“Apakah kau tidak melihat apa yang telah dilakukan lurah prajurit Mataram itu?”.

“Ya.. aku melihatnya, lalu?”.

“Bukankah apa yang telah dilakukannya adalah aneh dan tidak sewajarnya jika menilik bahwa dia tidak lebih hanyalah seorang lurah prajurit?”.

“Mungkin saja dia belum lama memasuki dunia keprajuritan, tapi pada saat dia mulai menjadi prajurit dia sudah memiliki bekal kanuragan yang mumpuni. Sehingga tidaklah mustahil bahwa sekarang dia masih saja berpangkat lurah”.

“Atau mungkin saja dia pernah membuat kesalahan sehingga berakibat memperlambat anugerah kenaikan pangkatnya”. sahut kawannya yang lain lagi.

“Ya.. ya.. kalian benar”.

Pembicaraan itu kemudian tidak berlanjut lagi karena mereka lebih sibuk memperhatikan arena perang tanding yang semakin garang dan mendebarkan.

Keremangan malam ternyata tidak pernah menjadi penghalang bagi orang-orang yang memiliki kemampuan sangat tinggi. Karena dengan kemampuan yang mereka kuasai, pandangan mata mereka bahkan bisa lebih tajam dari mata burung-burung malam sekalipun.

“Maafkan aku jika telah membuatmu terkejut, Ki Patih”.

“Aku bukan terkejut karena ilmu itu, tapi yang membuatku terkejut adalah karena aku tidak pernah menduga sebelumnya jika kau menguasai ilmu itu”.

“Tapi aku sudah menduga, jika kau pasti akan memiliki penalaran yang demikian terhadapku”.

“Aku baru menyadari bahwa aku telah salah menilaimu. Pantas saja kau mendapat kepercayaan untuk memasuki perang tanding melawanku. Tapi kau jangan senang dulu dengan kemenangan kecilmu, karena sekarang aku sudah mulai mengukur sejauh mana kemampuanmu”.

“Tidak ada kelebihan apapun dalam diriku, Ki Patih Rangga Permana. Aku hanya menjalankan tugasku dengan sebaik-baiknya”.

“Menarik sekali sikapmu, dengan demikian justru itu membuatku harus berhati-hati menghadapimu”. sahut Ki Patih Rangga Permana yang menjadi mulai tanggap dengan lawannya.

Meskipun sebelumnya mereka belum pernah saling mengenal secara pribadi, namun sebagai seorang yang berilmu tinggi dan berpengalaman sangat luas, patih Wirasaba tersebut segera tanggap bahwa sekarang dia tidak dapat menganggap remeh lawannya.

Karena biasanya orang yang berilmu tinggi itu tidak pernah berkata bahwa dia adalah orang yang berilmu tinggi, berbeda sekali dengan orang yang merasa dirinya berilmu tinggi malah biasanya justru kebalikannya.

“Mengapa Ki Patih menjadi bersikap demikian? bukankah tidak ada yang perlu kau khawatirkan dariku”.

“Kau jangan salah menanggapi kewaspadaanku, sehingga membuatmu besar kepala, Ki Lurah”.

“Bukankah aku tidak merasa besar kepala?”.

“Sudahlah. Kita memasuki arena perang tanding ini bukan untuk berperang mulut, tapi untuk mengadu liatnya kulit kerasnya tulang kita masing-masing. Bersiaplah!”. sahut Ki Patih Rangga Permana yang tidak mau lebih lama lagi bicara.

“Marilah Ki Patih, aku sudah siapa”.

Kemudian dengan lompatan panjang patih Wirasaba itu kembali menyerang Ki Lurah Glagah Putih yang berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

Serangan dengan tangan kanan yang mengarah ke dada itu adalah  serangan yang sangat mematikan karena sudah dilambari dengan tenaga cadangan yang sangat tinggi.

Menantu Ki Purbarumeksa yang sudah memperhitungkan serangan yang sangat berbahaya tersebut segera menepisnya sembari bergerak ke samping, tapi dengan cepat lawan memutar tubuhnya dan menyerangnya dengan kaki mengarah ke punggung, dengan cepat di rendahkanlah tubuhnya untuk menghindari bahaya yang datang beruntun.

Pertempuran jarak pendek kini telah berkobar kembali, namun dengan tataran ilmu yang sudah semakin tinggi. Mereka saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya meskipun sesekali lawan masih bisa menembusnya.

Namun pertahanan yang sempat tertembus itu hampir tidak memberikan akibat yang berarti bagi keduanya. Karena mereka sama-sama berlindung dibalik ilmu kebal, meskipun dengan sumber yang berbeda.

Semakin lama pergerakan dua orang itu semakin cepat bergerak kesana kemari, bahkan karena saking cepatnya mereka kadang terlihat hanya seperti bayang-bayang liar.

Ki Patih Rangga Permana yang kemudian merasa terdesak segera mengambil jarak, dalam waktu yang sekejap dia seperti melakukan sedikit gerakan aneh dan sangat cepat, lalu menyerang kembali.

Kali ini serangan Ki Patih Rangga Permana menjadi semakin cepat seperti banjir bandang dalam melibat lawannya yang terpaksa harus lebih banyak bertahan.

Tapi Ki Lurah Glagah Putih menjadi sangat terkejut ketika dia merasa hanya mengenai tempat kosong pada saat tangannya mampu menyambar lengan kiri lawannya, tapi penalarannya tidak mau gegabah dalam menyimpulkan keadaan.

Untuk menyakinkan apa yang telah dialaminya, dia segera meningkatkan tataran kemampuannya selapis lebih tinggi dalam menghadapi lawannya.

Usahanya berhasil dalam menembus pertahanan lawannya, namun ternyata apa yang terjadi beberapa saat tadi telah dialaminya kembali untuk kedua kalinya.

Ki Lurah Glagah Putih pun segera menyadari bahwa dirinya telah menghadapi sejenis ilmu semu. Tapi belum sempat dia membuat pertimbangan lain, dirinya telah terlempar beberapa langkah ke samping oleh kekuatan yang sangat besar.

Lurah prajurit Mataram itu pun berguling beberapa kali di atas tanah yang keras dan berdebu setelah terlempar. Pada bagian lambung sebelah kirinya terasa ada perasaan nyeri meskipun tidak seberapa ketika dia berusaha bangkit.

Ternyata kekuatan besar yang tadi telah melemparkan tubuhnya mampu menembus ilmu kebalnya, jika saja dia tidak terlindung dengan ilmu kebalnya yang tinggi pasti tulangnya sudah remuk dan berpatahan terkena serangan tersebut.

Kini dirinya baru menyadari seberapa bergunanya ilmu kebal dalam pertempuran yang sebenarnya. Karena dalam sebuah arena segalanya bisa terjadi, dan bekal seseorang menjadi bagian yang sangat menentukan, selain pertolongan dari Yang Maha Agung. Apalagi dalam sebuah perang tanding.

Setelah bangkit, Ki Lurah Glagah Putih memandang tajam ke arah lawannya yang berdiri tegak dengan bibir tersungging di bibirnya karena kemenangan kecilnya.

Tapi rupanya lawannya tidak memberinya kesempatan lebih lama untuk berpikir, karena baru saja dia bangkit langsung dilanda kembali dengan serangan yang sangat cepat.

Tidak berapa lama kemudian ayah Arya Nakula kembali terlempar beberapa langkah ke samping. Namun kali ini dia tidak segera berusaha bangkit.

Apa yang terjadi di arena perang tanding membuat orang-orang yang menyaksikan kembali menegang dan jantung semakin berdebaran, terutama bagi yang berada di pihak Mataram.

“Ki Patih Rangga Permana telah menunjukkan kepada kita sebuah ilmu yang sangat nggegirisi, yang sudah lama dianggap punah dari dunia persilatan”. gumam Pangeran Pringgalaya setelah melihat apa yang terjadi di arena.

“Aku pun sepertinya baru kali ini mendapat kesempatan melihat jenis ilmu ini, Paman”.

“Tidak mustahil jika Angger Panembahan baru melihatnya, karena sejauh pengetahuanku ilmu ini adalah termasuk ilmu tua”.

“Jika aku lihat ilmu itu sejenis ilmu semu, Paman?”.

“Angger Panembahan benar, ilmu dari Ki Patih Rangga Permana itu sejenis ilmu semu dan hampir mirip jenisnya dengan Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari atau Aji Kakang Pembarep Adi Wuragil, tapi dalam perkembangannya kemudian menjadi berbeda”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

“Ya.. aku melihat perbedaan itu, Paman. Tapi aku belum dapat membuat penilaian secara terperinci karena keterbatasan kawruh dan pengalamanku”.

“Jika ilmu Ki Patih Rangga Permana itu sama yang pernah aku dengar, sejauh pengetahuanku ilmu semu itu jika diterapkan, maka akan dapat membentuk dua bayangan semu pemiliknya, namun justru wujud aslinya yang menjadi seakan menghilang dari pandangan mata kita, dan dia pasti punya alasannya sendiri mengapa baru memunculkan satu saja wujud semunya”.

“Sepertinya Ki Lurah Glagah Putih mulai dalam bahaya, Paman”. gumam Panembahan Hanyakrakusuma sembari pandangan matanya hampir tidak pernah terlepas dari arena.

“Mari kita sama-sama nenuwun untuk keselamatan Ki Lurah Glagah Putih, semoga Yang Maha Agung selalu melindunginya”. sahut Pangeran Pringgalaya.

Sementara Ki Rangga Sabungsari yang masih dalam keadaan sangat lemah menjadi semakin berdebar-debar melihat apa yang terjadi di arena perang tanding.

Mulutnya semakin tertutup rapat dengan gigi yang gemeretakan karena saking tegangnya dan pandangan matanya yang tak bisa lepas dari kawannya yang sedang menyabung nyawa.

“Aji Kalanetra”. desis Ki Tumenggung Alap-Alap tanpa sadarnya.

“Aku justru baru tahu ilmu yang diterapkan Ki Patih Rangga Permana ini, baik namanya ataupun kemampuannya”. sahut Ki Rangga Sabungsari.

“Aku pernah mendengar ilmu Ki Rangga Permana yang satu ini, tapi baru kali ini aku mendapatkan kesempatan menyaksikan secara langsung kedahsyatannya”. desis Ki Tumenggung Alap-Alap.

Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang tidak segera bangkit setelah dirinya terlempar untuk kedua kalinya, merasakan keanehan pada lawannya. Dia seperti hanya melawan sosok bayangan semu, namun ketika bertempur dengan bayangan semu tersebut dirinya mendapatkan serangan dari arah lain dengan kekuatan yang luar biasa hingga mampu melempar tubuhnya.

Dengan perlahan-lahan Ki Lurah Glagah Putih bangkit dan dengan segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Selain dia kembali menerapkan ilmu kebalnya hingga ke puncak, ayah Arya Nakula mulai mengetrapkan Aji Sapta Pandulu dan Aji Sapta Panggraita untuk meraba keberadaan lawan yang sebenarnya.

Baru saja Ki Lurah Glagah Putih mengungkapkan ilmunya, lawannya tiba-tiba membelah diri lagi menjadi dua. Butuh waktu barang sekejap untuk membedakan bahwa kedua sosok yang berdiri di hadapannya adalah bayangan semu atau tidak.

Namun dalam pertempuran yang sebenarnya, waktu yang sekejap itu sangat berarti sekali, apalagi dalam pertempuran orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Karena jika terlena sekejap saja bisa berarti petaka baginya.

“Jika keduanya hanyalah bayangan semu, lalu kemanakah wujud Ki Patih Rangga Permana yang sebenarnya?”. membatin Ki Lurah Glagah Putih yang masih kebingungan.

“Mengapa sekarang kau menjadi kebingungan seperti orang dungu, Ki Lurah?”. berkata salah satu wujud semu tersebut.

“Kau memang orang yang luar biasa, Ki Patih. Kemampuanmu sudah di luar nalar”.

“Ucapanmu seperti kidung yang memabukkan, tapi justru itu telah menunjukkan ketakutanmu di hadapanku”.

“Apakah salah jika aku mengagumimu, Ki Patih?”.

“Kau pandai bicara rupanya”.

“Terima kasih atas pujian Ki Patih”.

“Setan Alas. Kau sudah terlalu banyak bicara, bersiaplah!”. berkata salah satu wujud semu Ki Patih Rangga Permana yang mulai terpancing kembali kemarahannya.

Ki Lurah Glagah Putih memang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, namun dirinya masih belum mampu menemukan wujud asli lawan yang sebenarnya sejak tadi dia berusaha mengulur waktu sembari berusaha meraba.

“Ilmu semu Ki Patih Rangga Permana ini ada kemiripan dengan ilmu yang dimiliki kakang Agung Sedayu, namun yang membedakan adalah wujud aslinya seakan menghilang dan tidak”.

Namun Ki Lurah Glagah Putih tidak mendapat kesempatan lebih lama lagi untuk merenung dan membuat pertimbangan, karena serangan lawannya yang sangat berbahaya sudah datang kembali.

Mau tidak mau ayah Arya Nakula itu untuk sementara harus menunda lebih dahulu untuk memecahkan teka-teki kelemahan ilmu lawan yang sangat nggegirisi tersebut.

Meskipun kakak sepupu sekaligus gurunya menguasai ilmu semu yang hampir serupa, namun ternyata tidak mudah baginya untuk menemukan kelemahan ilmu lawan yang sedang dihadapinya.

Tapi sebagai orang yang berilmu tinggi, Ki Lurah Glagah Putih tidak menjadi gugup dalam menghadapi dua wujud semu yang menyerangnya secara bersama-sama tanpa ampun, meskipun kini dirinya lebih banyak bertahan.

Orang-orang yang menyaksikan perang tanding tersebut mempunyai penilaian yang berbeda sesuai dengan pihaknya masing-masing. Bagi kubu Wirasaba ini adalah sebuah pertanda baik, namun bagi kubu Mataram ini adalah pertanda buruk.

Apalagi semakin lama terlihat Ki Lurah Glagah Putih mulai terdesak dan kerepotan, justru yang paling merepotkan adalah wujud aslinya yang seakan menghilang dari pandangan mata karena dapat menyerang dengan tiba-tiba.

Lagipula Ki Lurah Glagah Putih masih belum dapat meraba keberadaannya lawannya dengan pasti dengan segala ilmu yang dimiliki, keadaan ini semakin membuatnya dalam kesulitan.

Menantu Ki Purbarumeksa itu menyadari kenyataan bahwa dirinya menjadi lebih mudah ditembus pertahanannya dan sesekali terlempar oleh serangan lawan.

Beruntunglah ilmu kebalnya masih mampu melindungi tubuhnya meskipun tidak seutuhnya, karena beberapa kali dia harus merasakan sakit karena ilmu kebalnya mampu ditembus.

Namun jika saja tubuhnya tidak terlindung oleh ilmu kebal, maka nasib buruk tentu sudah menghampirinya, karena tubuhnya pasti sudah lumat oleh ilmu lawan yang sangat nggegirisi.

“Sepertinya lurah prajurit Mataram itu tidak lama lagi akan mencapai batasnya”. gumam salah satu prajurit Wirasaba yang menyaksikan perang tanding.

“Semoga saja Ki Patih Rangga Permana segera membungkam kesombongan orang-orang Mataram itu”. sahut kawannya.

“Sejauh pengetahuanku, jika Ki Patih Rangga Permana sudah mengetrapkan ilmunya yang satu ini, belum pernah ada lawannya yang mampu bertahan”.

“Aku sependapat”.

***

Sementara di Tanah Perdikan Menoreh, Nyi Pandan Wangi yang merasa penasaran dengan orang yang datang pada waktu seperti ini segera bersiap untuk menemui tamunya tersebut bersama suaminya setelah membenahi pakaiannya lebih dahulu.

“Siapakah kira-kira menurut kakang, tamu yang datang malam-malam begini?”.

“Aku tidak tahu, bukankah aku bukan seorang dukun atau orang pintar yang mampu menerawang keadaan?”. jawab suami Nyi Pandan Wangi sekenanya.

“Aduh..”.

Terdengar suara Ki Agung Sedayu mengaduh tertahan karena tiba-tiba mendapat sebuah cubitan dari istrinya yang merasa tidak puas dengan jawaban tersebut.

“Bukankah benar jika aku memang bukan orang pintar?”.

“Kakang jangan membuatku ingin mencubit kakang lebih banyak lagi”. sahut Nyi Pandan Wangi dengan wajah bersungut-sungut.

“Sebaiknya kita segera menemuinya, agar kita segera mengetahui siapakah yang datang mencarimu. Lagipula alangkah deksuranya kita jika membuat tamu lebih lama menunggu”. sahut Ki Agung Sedayu yang kemudian mencium kening istrinya tersebut untuk meredakan wajahnya yang masih bersungut-sungut.

“Baiklah, memanng sebaiknya kita segera menemui mereka”.

Setelah mereka memperbaiki pakaiannya, mereka segera beranjak dari amben tempat pembaringan untuk kemudian bergegas keluar dari bilik.

Dengan berjalan lebih dahulu, Nyi Pandan Wangi membuka pintu yang diselarak dari dalam. Setelah suaminya keluar lebih dahulu, dia menutupnya kembali. Lalu mengikuti langkah kaki suaminya dari belakang.

Setelah pintu bangunan utama yang menghbungkan dengan pendapa terbuka, betapa Nyi Pandan Wangi sangat terkejut setelah menyadari siapakah tamunya yang sudah menunggunya.

Tapi tamu itu belum menyadari kedatangan Nyi Pandan Wangi bersama suaminya karena masih terhanyut dengan pembicaraan dengan orang-orang yang masih berada di pendapa sebelumnya.

Dengan langkah perlahan-lahan, Nyi Pandan Wangi mendekati pendapa dan menggabungkan diri dengan orang-orang yang masih termasuk keluarga dan tamu yang baru saja datang.

“Apakah aku tidak salah lihat?”. berkata ibu Sekar Wangi setelah sudah berada di belakang tamunya.

“Mbokayu”. seru tamu itu setelah menyadari kehadiran tuan rumah yang baru saja datang dari arah belakangnya duduk.

“Ratri”. seru Nyi Pandan Wangi kepada seorang perempuan yang masih cukup muda memakai pakaian khusus dengan sepasang pedang yang menyilang di punggung.

Seketika kedua perempuan itu pun saling berpelukan. Mereka saling memeluk dengan eratnya satu sama lain. Keduanya seperti ingin melepaskan kerinduan yang tidak tertahankan karena sudah sekian lama tidak bertemu.

Tidak ada kata yang terucap dari bibir keduanya, tapi tanpa terasa pipi mereka menjadi mulai basah. Bukan sekedar air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan dan haru yang seakan selama ini terpendam.

Orang-orang yang berada di pendapa sengaja membiarkan dua perempuan perkasa itu saling melepaskan rindu untuk beberapa saat dengan cara yang mereka kehendaki.

Setelah mereka merasa puas melepaskan rindu, barulah mereka menyadari keadaan sekitar. Maka cepat-cepat mereka mengusap pipi yang basah itu dengan kedua tangan masing-masing.

“Kau datang bersama siapa, Ratri?”.

“Aku datang bersama Ayah dan beberapa pengawal, mbokayu”.

“Kenapa kau tidak mengajak suamimu serta?”.

“Sebenarnya dia juga ingin ikut serta, mbokayu. Namun kami tidak dapat pergi bersama-sama karena Tanah Perdikan Matesih tentu tidak dapat ditinggalkan semua pemimpinnya”.

“Bukankah untuk sementara kepemimpinan Tanah Perdikan Matesih bisa dititipkan kepada para Bebahu?”.

“Benar mbokayu, namun sepertinya membuat kami kurang mapan, karena nanti jika tiba-tiba ada persoalan yang mendesak dan membutuhkan keputusan segera, para Bebahu biasanya belum berani mengambil keputusan sendiri”.

Kemudian Nyi Pandan Wangi segera menyambut kedatangan Ki Gede Matesih yang terlihat sudah semakin sepuh itu dengan sambutan yang sangat hangat dan ramah, itu terlihat dari wajahnya semakin banyak ada kerutan.

“Selamat datang di Tanah Perdikan Menoreh kembali, Ki Gede Matesih”. sapa ibu Sekar Wangi.

“Terima kasih, Nyi Pandan Wangi. Maafkanlah kami jika kedatangan kami telah mengejutkan seisi rumah ini, apalagi pada waktu yang kurang tepat untuk bertamu dan dengan deksuranya telah berani mengganggu waktu istrahat kalian”.

“Tidak apa-apa Ki Gede, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian kapan pun, bahkan tengah malam sekalipun. Bukahkah kita sudah merasa seperti sebuah keluarga?”. sahut ibu Sekar Wangi sembari tersenyum ramah.

“Nah.. justru itu yang membuat aku kecewa”. sahut Ki Gede Matesih dengan wajah yang tiba-tiba murung.

“Apakah yang telah membuat kecewa Ki Gede Matesih?”. bertanya Nyi Pandan Wangi dengan dahi berkerut.

“Bukankah katanya kita adalah sebuah keluarga?”.

“Benar”.

“Tapi mengapa waktu kemarin Ki Gede Menoreh wafat tidak ada utusan satu orang pun dari sini yang datang ke Matesih? meskipun seandainya kami tahu pun, tidak ada yang dapat kami perbuat. Namun paling tidak kami bisa mengucapkan selamat jalan kepada Ki Gede Menoreh”.

“Aku minta maaf Ki Gede, bukan maksudku untuk melupakan keluarga yang jauh, namun karena aku sangat terkejut dengan kejadian itu, sehingga penalaranku tidak bekerja dengan baik”.

Wajah Ki Gede Matesih masih nampak murung setelah mendengar penjelasan dari Nyi Pandan Wangi, seperti ada yang masih berkecamuk di dalam hatinya.

“Aku tidak dapat mengendalikan goncangan dalam tubuhku karena kejadian itu, setelah aku dapat menguasai diriku. Barulah aku ingat dengan keluarga dari Tanah Perdikan Matesih. Tapi sayangnya itu sudah beberapa hari setelah kepergian Ayah”.

“Sudahlah, Ayah. Kita harus mengerti alasan mbokayu Pandan Wangi. Jangan Ayah tambah lagi bebannya setelah kepergian Ki Gede Menoreh”. sahut Ratri yang berusaha menengahi.

“Aku hanya kecewa karena tidak dapat memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang telah sangat berjasa kepada keluarga kita, Nduk”.

“Mungkin Yang Maha Agung memang telah berkehendak demikian, Ayah. Kita semua tidak dapat mengubahnya”.

“Sekali lagi aku atas nama seluruh Keluarga Besar Tanah Perdikan Menoreh minta maaf atas semua itu kepada Ki Gede Matesih dan keluarga”. sahut Nyi Pandan Wangi dengan penuh ketulusan hati.

***

Sementara dari kubu Mataram semakin lama menjadi semakin gelisah dengan apa yang terjadi, terutama bagi Pangeran Pringgalaya yang telah mengusulkan Ki Lurah Glagah Putih untuk menghadapi patih Wirasaba.

“Benar-benar pameran ilmu yang sangat luar biasa dari Ki Patih Rangga Permana”.

“Bukankah kita sama-sama mengetahui bahwa Ki Patih Rangga Permana adalah orang linuwih yang termasuk dari golongan tua? jadi tidak mustahil jika dia memiliki kemampuan yang sangat langka dan ngedap-ngedapi, Kangmas Pringgalaya”.

“Adimas Kedawung benar, aku saja yang salah berhitung”.

“Tidak juga Kangmas. Karena kita belum melihat hasil akhir dari perang tanding ini, sehingga masih ada kemungkinan bahwa Ki Lurah Glagah Putih masih mampu memberikan perlawanan yang berarti bagi lawannya, atau bahkan masih ada kemungkinan untuk membalikkan keadaan”.

“Semoga saja, karena tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain hanya bisa menyaksikan sembari nenuwun kepada Yang Maha Agung untuk keselamatan Ki Lurah Glagah Putih, Paman”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma.

Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang sekarang lebih sering menjadi bulan-bulanan lawannya berusaha untuk mencari kesempatan untuk meningkatkan Aji Sapta Panggraita hingga ke puncak agar dapat meraba keberadaan lawannya dengan pasti.

“Luar biasa”. membatin Ki Lurah Glagah Putih yang meskipun sudah mengetrapkan ilmunya hingga ke puncak, namun dirinya masih belum dapat mengetahui secara pasti, masih sekedar samar-samar.

Ilmu semu Ki Patih Rangga Permana itu memang luar biasa, bahkan sudah hampir mendekati sempurna. Maka dari itu tidak mudah bagi siapapun lawannya untuk mengetahui keberadaan wujud aslinya jika tidak benar-benar memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Kenyataan tersebut membuat Ki Lurah Glagah Putih harus berpikir keras untuk dapat segera mengatasi kesulitan yang dialaminya. Karena jika keadaan itu semakin berlarut-larut akan membuatnya mengalami nasib buruk.

Apalagi dirinya merasa tidak memiliki kemampuan seperti kakak sepupunya yang menguasai sejenis ilmu semu pula untuk membuat perimbangan ilmu.

Ki Lurah Glagah Putih pun kembali terlempar dari arena ketika salah perhitungan dalam menahan serangan lawan.

Wujud asli Ki Patih Rangga Permana masih bisa begitu leluasa menyerang lawannya karena ternyata lawannya masih belum mampu memecahkan kelemahan ilmu tersebut.

Sebenarnya Ki Lurah Glagah Putih sudah mulai dapat meraba keberadaan wujud asli lawannya tapi masih samar-samar, namun dirinya masih sering terlambat barang sekejap untuk menilai keadaan karena keraguannya.

Agar tubuhnya tidak menjadi semakin lumat oleh serangan lawan yang sangat nggegirisi, Ki Lurah Glagah Putih berusaha untuk tidak membenturkan kekuatan, namun dirinya mengikuti arus serangan yang datang kepadanya. Meskipun harus terlempar kesana kemari, namun itu sedikit lebih baik.

Ki Patih Rangga Permana yang sudah menyadari bahwa lawannya menguasai ilmu kebal, maka dia tidak segan-segan untuk menyerang lawannya dengan kemampuannya yang sangat tinggi, bahkan memang berniat untuk menembus ilmu kebal tersebut.

“Harus aku akui bahwa kemampuanmu memang sudah tinggi, Ki Lurah. Namun jangan harap kau dapat dengan mudah memecahkan kelemahan ilmuku yang satu ini”.

Ki Lurah Glagah Putih yang masih tersungkur di atas tanah yang berdebu hanya terdiam mendengar ucapan lawannya. Meskipun dalam beberapa lama dirinya telah menjadi bulan-bulanan lawannya dan telah terlempar beberapa kali, namun penalarannya masih dapat bekerja dengan baik.

“Benar-benar ilmu yang hampir sempurna, sehingga aku masih belum dapat meraba keberadaannya dengan pasti, karena itu aku menjadi sering terlambat untuk menangkis serangannya”. membatin Ki Lurah Glagah Putih.

“Apakah kau sudah tidak mampu untuk melawanku?”. bertanya Ki Patih Rangga Permana yang melihat lawannya tidak segera bangkit setelah terlempar pada saat terakhir.

“Sebaiknya aku mencoba ilmu itu untuk menghadapi ilmu semu Ki Patih Rangga Permana, paling tidak bisa mengurangi pergerakannya yang sangat cepat, semoga Yang Maha Agung selalu melindungiku”. membatin Ki Lurah Glagah Putih dalam keadaan penuh kepasrahan.

Sementara para Priyagung Mataram pun semakin menjadi gelisah menyaksikan perang tanding tersebut, lagipula mereka yang berada di luar arena dapat menilai dengan pasti apa yang terjadi.

“Benar-benar ilmu semu yang luar biasa, seperti gabungan ilmu semu dengan Aji Panglimunan. Bahkan wujud aslinya sangat sulit untuk diraba keberadaannya”. desis Pangeran Pringgalaya.

“Kangmas Pringgalaya benar, benar-benar ilmu yang sangat nggegirisi. Apalagi jika ilmu itu masih dapat dikembangkan lagi, maka pemiliknya akan menjadi orang yang sangat sulit dicari bandingnya di tanah ini”.

“Seharusnya memang bukan Ki Lurah Glagah Putih yang menghadapinya, tapi aku sendiri”.

“Jika bukan Ki Lurah Glagah Putih yang turun ke medan, maka bukan kakangmas Pringgalaya yang harus turun, tapi aku”.

Pangeran Pringgalaya yang mendengar ucapan adiknya tersebut memalingkan wajahnya sesaat, tapi tidak terucap satu patah kata pun untuk menanggapi selain hanya sebuah senyum yang tersungging di bibirnya.

“Bukan maksudku untuk deksura kepada Kangmas Pringgalaya, namun tidak sepantasnya jika yang lebih muda seperti aku hanya menjadi penonton saja”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

“Tapi kini semuanya telah terlambat Adimas, karena pada kenyataannya Ki Lurah Glagah Putih lah yang sudah kita perintahkan untuk menghadapi Patih Wirasaba itu”. sahut Pangeran Pringgalaya dengan wajah sedikit murung.

Seperti ada sedikit penyesalan dalam hatinya mengapa dia telah membuat keputusan yang demikian tanpa didasari pertimbangan yang lebih matang, rasanya seperti menyuruh seorang anak untuk memasuki kandang macan yang sangat garang.

“Kita tidak perlu meratapi akibat dari keputusan yang sudah kita buat, Paman. Lagipula kita sebagai kepercayaan seluruh kawula Mataram, tidak sepantasnya jika kita berbuat demikian. Kita harus siap menerima akibat apapun dari keputusan yang kita buat, meskipun akibat yang paling buruk sekalipun”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma perlahan namun tegas.

Meskipun di antara keempat Priyagung Mataram itu dirinya adalah yang paling muda, namun sebagai pemimpin tertinggi Mataram terasa sekali wibawa Panembahan Hanyakrakusuma.

Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang sedang mengalami keadaan sulit, mulai berusaha bangkit berdiri. Kemudian dengan cepat dia memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan salah satu ilmunya.

“Apakah kau yakin masih akan mampu menghadapi ilmu semuku ini, Ki Lurah?”. bertanya Ki Patih Rangga Permana yang menyadari apa yang sedang dilakukan lawannya dengan nada ejekan.

Namun Ki Lurah Glagah Putih yang tidak mau terganggu pemusatan nalar budinya tidak menanggapi ucapan lawannya yang memang sengaja memecah penalarannya.

Ki Patih Rangga Permana merasa seperti dibohongi oleh lawannya, karena ternyata tidak terjadi apa-apa setelah lawannya selesai memusatkan nalar budinya.

“Hahaha… ternyata kau sudah kehilangan penalaran yang bening dalam menghadapi ilmu semuku, Ki Lurah. Sehingga kau masih merasa memiliki ilmu simpanan yang akan mampu mengatasi ilmuku, tapi ternyata tidak pernah terjadi apa-apa”. ucap salah satu wujud semu Ki Patih Rangga Permana dengan congkaknya.

Setelah berkata demikian kedua wujud semu Patih Wirasaba itu pun segera menyerang kembali lawannya dengan garang, bahkan seperti sudah tidak memberi ampun lagi kepada lawannya yang masih cukup muda tersebut.

Meskipun Ki Lurah Glagah Putih beberapa saat tadi sudah terlempar beberapa kali dari arena, namun tidak membuat kemampuannya menyusut.

Sebagai seorang berilmu tinggi yang ditempa dengan berbagai latihan berat dan bermacam laku prihatin yang sangat berat dalam waktu yang sangat lama oleh guru-gurunya, serta pengembaraannya yang sangat luas, sehingga membuatnya menjadi seorang yang tangguh dan tanggon seperti sekarang.

Namun kali ini yang dihadapi oleh Ki Lurah Glagah Putih adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan termasuk orang linuwih dari golongan tua, yang secara penalaran wajar tidak perlu diragukan lagi kemampuannya.

Ki Lurah Glagah Putih yang tidak henti-hentinya selalu nenuwun kepada Yang Maha Agung, sesekali mulai dapat meraba dengan pasti keberadaan lawannya.

Dalam kegarangan perang tanding yang sedang berlangsung, mulai terjadi keanehan di sekitar arena tersebut. Tapi bagi Ki Patih Rangga Permana yang perhatiannya terpusat untuk menyerang lawannya, tidak memperhatikan keanehan yang terjadi. Dalam keremangan malam semua itu memang tidak menarik perhatian banyak orang, apalagi yang sedang berada dalam arena.

Pada awalnya memang hampir semua orang tidak menyadari apa yang terjadi, karena mereka masih menganggap bahwa itu semua masih dalam tahap kewajaran.

Sementara dalam pertempuran, Ki Lurah Glagah Putih yang sebenarnya sudah mulai dapat meraba pergerakan lawannya tidak dengan serta merta menunjukkan kepada lawannya.

Dia masih saja berpura-pura terlambat dalam menanggapi keadaan, bahkan dia berusaha menjatuhkan diri pada saat kaki kanan lawan menerjang dadanya.

Apa yang dilakukannya itu bukan tanpa maksud, karena sebenarnya dengan berbuat demikian dia dapat lebih memusatkan pengetrapan ilmunya pada saat tersungkur di tanah yang masih belum disadari oleh lawannya.

“Semakin lama kau hanya menjengkelkanku saja, Ki Lurah. Jika kau memang sudah tidak berdaya untuk melawanku, sebaiknya kau menyerah saja! daripada kau harus menyerahkan nyawamu yang hanya selembar itu”.

Setelah berkata demikian, tanpa sadar Ki Patih Rangga Permana memperhatikan keadaan sekitarnya. Dalam keremangan malam, dia mulai menangkap ketidak wajaran.

“Kabut?”. katanya dalam hati.

Pada awalnya dia menganggap semua itu wajar karena waktu memang sudah semakin malam, namun lambat laun kabut itu menjadi semakin tebal, semakin tebal, hingga menutupi seluruh pandangan matanya pada keadaan di sekitar.

“Siapakah yang telah mengganggu perang tandingku?”. teriak Ki Patih Rangga Permana dengan penuh kemarahan. Lanjutnya, “jika ada yang telah berbuat licik, aku tidak segan-segan untuk membunuhnya”.

Tapi teriakan itu seperti hanya tertelan oleh kepekatan kabut yang menyelimuti dirinya dalam kegelapan malam tanpa ada sebuah jawaban yang menanggapinya.

“Aku tidak pernah main-main dengan ancamanku, maka dari itu jangan coba-coba mempermainkan aku. Lagipula aku sangat mengenal sumber ilmu ini dengan baik, jadi tidak ada gunanya kau berusaha melindungi kawanmu di dalam kabut ini”. teriak i Patih Rangga Permana yang kini berada di dalam kabut.

Masih tidak ada jawaban dari orang-orang sekitar tempat itu yang terdengar, kecuali hanya suara-suara hewan malam sajalah yang terdengar dari kejauhan.

“Setan Alas, Genderuwo, tetekan. Ternyata ada seseorang yang mau bermain-main denganku. Baiklah, jangan salahkan aku jika nanti kau akan mengalami buruk karena sudah berani berbuat licik dan deksura kepada Patih Wirasaba”.

Ki Patih Rangga Permana mengumpat sejadi-jadinya dengan umpatan yang sangat kotor penuh kemarahan, karena merasa telah dicurangi oleh seseorang.

“Ki Patih Rangga Permana. Ketahuilah, aku pastikan bahwa yang sedang kau alami itu tidak ada campur tangan dari orang lain, selain orang yang berkepentingan dengan perang tanding”. sebuah jawaban yang entah darimana datangnya telah menggema di sekitar arena menjawab pertanyaan Patih Wirasaba tersebut.

“He..?”.

Ki Patih Rangga Permana bagaikan disengat ribuan kalajengking karena saking terkejutnya dengan apa yang telah didengarnya dari suara yang entah darimana datangnya baru saja.

“Kau siapa? He.. jawab pertanyaanku?”.

Tapi sudah tidak ada suara lagi yang menjawab. Kini Patih Wirasaba tersebut hanya bisa melihat pemandangan yang serba putih di hadapannya karena terselimuti kabut.

“Apakah hubunganmu dengan jalur Perguruan Windhujati, Ki Lurah? karena sejauh pengetahuanku, tidak ada lagi perguruan yang memiliki jenis ilmu ini selain Perguruan Windhujati”.

“Aku adalah salah satu cantriknya”.

“Kau pasti salah satu murid dari cucu Empu Windhujati? atau yang lebih dikenal dengan nama Orang Bercambuk”.

“Aku adalah cucu muridnya”.

“Pantas saja kau mendapat kepercayaan yang begitu tinggi dari pepundenmu untuk menghadapiku meskipun secara gelar kepangkatan kau tidak lebih hanya seorang lurah prajurit”.

“Mungkin hanya kebetulan saja aku mendapat kepercayaan ini”.

“Kebetulan sekali aku bertemu dengan cucu muridnya, sekarang aku dapat pengganti untuk melampiaskan dendamku karena perbuatan kakek gurumu. Utang wirang dibalas wirang, utang pati harus dibayar pati”.

“Apa yang telah diperbuat kakek guruku terhadapmu, sehingga membuatmu sangat mendendam kepadanya?”.

“Ketahuilah, Ki Lurah Glagah Putih. Dulu kakek gurumu telah membunuh salah satu anggota keluarga kami, keluarga besar perguruan kami”.

“Kenapa kau tidak lampiaskan dendammu itu kepada kakek guruku? kenapa harus kepadaku? bukankah kita belum saling mengenal sebelumnya?”.

“Pada waktu itu bekal yang kumiliki belum cukup. Tapi setelah aku merasa cukup, kakek gurumu sudah tiada”.

“Mengapa kau tidak mencari murid-muridnya?”.

“Aku sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk mengenal tanah ini dari ujung ke ujung dan mencari murid-murid kakek gurumu yang dapat aku pastikan bahwa salah satunya adalah gurumu karena kesibukan tugas-tugasku”.

“Sehingga dendam itu hanya dapat kau pendam sendiri dalam hati hingga sekarang ini kita telah dipertemukan oleh Yang Maha Agung disini?”.

“Tidak ada yang dapat aku lakukan selain aku hanya dapat berbuat demikian”.

“Aku mengerti sekarang”.

“Meskipun kita berasal dari keluarga perguruan yang berbeda, namun sumber kita berasal dari tempat yang sama. Meskipun pada akhirnya sumber itu tidak murni lagi karena sudah bercampur dengan berbagai sumber yang lain, namun kita tidak dapat ingkar bahwa darah kita tetaplah sama”.

“Dari tadi kau hanya bicara sumber yang sama. Sekarang coba kau sebutkan dari manakah sumbermu berasal? mungkin saja aku mengenalnya pula”.

“Kau tidak perlu tahu dari manakah sumberku berasal, Karena sebentar lagi aku akan membunuhmu. Bersiaplah! kita sudah terlalu banyak bicara dari tadi”.

Sementara orang-orang yang menyaksikan di sekitar arena tampak kebingungan dengan apa yang terjadi dalam arena karena tertutup kabut putih yang tebal. Selain itu mereka tidak mampu mendengar suaranya pula.

Begitu pula yang dirasakan Kanjeng Adipati Wirasaba, yang menyaksikan perang tanding dengan selalu mendapat pengawalan khusus dari beberapa prajurit pilihan dan pamomongnya.

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi?”. bertanya Kanjeng Adipati Wirasaba penuh ketegangan dan kegelisahan.

Meskipun Kanjeng Adipati Wirasaba sangat percaya terhadap paman sekaligus patihnya itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, namun melihat apa yang terjadi di depan matanya membuatnya tidak dapat ingkar bahwa ada kekhawatiran dan kecemasan dalam hatinya.

“Pertempuran yang aneh dari orang-orang pilih tanding”. sahut salah satu pengawal khususnya.

“Kita tidak dapat tahu dengan pasti apa yang terjadi, dan kita hanya dapat menyaksikan dari kejauhan tanpa dapat berbuat sesuatu selain hanya dapat menunggu hasil akhirnya, Kanjeng Adipati”. sahut Pengawal Khusus yang lain.

“Aku baru tahu jika ada jenis ilmu yang mampu mengeluarkan kabut”. sahut Kanjeng Adipati dengan polosnya.

“Kami juga baru mengetahuinya sekarang, Kanjeng Adipati”. 

“Ilmu itu memang termasuk ilmu tua, sehingga sangat wajar jika pada masa sekarang sudah langka sekali pemiliknya, sehingga sudah hampir tidak dikenali lagi”. sahut seorang prajurit sekaligus pamomong Kanjeng Adipati sejak kecil.

Orang-orang yang berada dalam rombongan Kanjeng Adipati Wirasaba serentak memandang ke arah orang yang baru saja bicara. Pamomong Kanjeng Adipati yang menyadari menjadi pusat perhatian segera melanjutkan ucapannya.

“Kebetulan aku mengetahui ilmu itu pada waktu masih muda, meskipun aku juga mengetahuinya tidak secara langsung, hanya pernah mendengarnya dari Swargi Kanjeng Adipati Sepuh”.

Mereka yang mendengarnya hanya mengangguk, kemudian perhatian mereka kembali tersita dengan perang tanding yang mencapai tataran yang semakin tinggi.

Ternyata dugaan mereka salah. Karena sejak awal mereka menduga bahwa Ki Patih Rangga Permana tidak akan mengalami kesulitan berarti jika berperang tanding melawan seseorang yang hanya berpangkat lurah prajurit.

Tapi apa yang mereka saksikan sekarang adalah sebuah perbandingan ilmu yang terlihat hampir berimbang meskipun sudah mencapai tataran yang sangat tinggi, bahkan sepertinya keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk keluar sebagai pemenang.

Sementara di kubu orang-orang Mataram tidak kalah gelisahnya pula, bahkan rasa-rasanya jantung mereka seakan mau meledak karena harus menahan ketegangan yang sangat.

“Aku tidak pernah menduga jika kemampuan Ki Lurah Glagah Putih sudah sejauh ini, bahkan sudah mampu menguasai ilmu yang sangat sulit dan langka dari jalur Perguruan Windhujati”. desis Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

“Kemampuan Ki Lurah Glagah Putih memang sudah jauh meninggalkan tataran seorang lurah Prajurit, bahkan seandainya aku berperang tanding melawannya belum tentu bisa menang”.

“Ah.. Kakangmas Pringgalaya suka berkelakar rupanya”.

“Aku berkata yang sebenarnya, Adimas Kedawung. Seandainya aku dapat memenangkannya pun pasti dengan susah payah”.

“Begitu pula dengan aku, Paman”. sahut Kanjeng Sinuhun Mataram tidak mau ketinggalan, tapi perhatiannya tidak lepas dari arena perang tanding.

“Apalagi dulu pada masa mudanya, Ki Lurah Glagah Putih adalah sahabat baiknya Swargi Kakangmas Pangeran Rangga, yang mempunyai kemampuan di luar nalar. Pasti ada pengaruhnya pula meski betapapun kecilnya pada kemampuannya”.

“Adimas Pringgalaya benar. Apalagi kita semua tahu bahwa Swargi Kakangmas Pangeran Rangga itu tidak mungkin dapat bersahabat baik dengan sembarangan orang, pasti dia mempunyai penilaiannya tersendiri terhadap seseorang, salah satunya kepada Ki Lurah Glagah Putih”. sahut Pangeran Puger yang sedari tadi lebih banyak berdiam diri.

“Sedikit banyak dulu aku pernah mendengar pula tentang kisah Ki Lurah Glagah Putih dari Swargi Eyang Buyut Mandaraka sewaktu beliau masih sehat”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma.

“Ki Lurah Glagah Putih memang salah satu prajurit kepercayaan Swargi Eyang Mandaraka selain kedua kakak sepupunya. Bahkan Beliau dengan senang hati memberikan sebuah hadiah senjata yang sangat nggegirisi yang masih dipergunakannya hingga seperti yang kita lihat sekarang”.

Sementara di arena perang tanding, sekarang menjadi sebuah pertempuran yang aneh dan tidak dapat dilihat dari luar arena karena berselimut kabut tebal.

Bahkan bagi orang-orang yang berilmu tinggi sekalipun sangat sulit untuk dapat menembus tebalnya kabut putih tersebut, hanya sesekali saja terlihat bayang-bayang yang bergerak samar.

Ki Patih Rangga Permana yang beberapa saat yang lalu merasa sudah di atas angin dengan Aji Kalanetra, kini harus menghadapi sebuah kenyataan baru setelah lawan mampu mengetrapkan ilmu kabut putih yang sangat tebal. Sehingga membuatnya kebingungan untuk dapat menyerang lawan.

Patih Wirasaba yang sudah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu dan Aji Sapta Panggraita saja masih merasa kesulitan untuk menembus kepekatan kabut tersebut.

Dengan demikian, Ki Patih Rangga Permana menjadi sangat kesulitan untuk menyerang lawannya karena pandangan matanya menjadi terganggu dan masih belum dapat mengetahui dengan pasti keberadaan lawannya.

“Kau pikir sekarang kau dapat bersembunyi dibalik kabutmu ini, Ki Lurah?”.

“Aku tidak berusaha untuk bersembunyi, Ki Patih Rangga Permana. Aku hanya berusaha mengurangi tekanan dari ilmumu yang sangat nggegirisi itu. Karena aku tidak menemukan cara lain lagi untuk mengatasinya”.

“Dengan cara seperti ini, sama saja artinya kau seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet, menunggu kelengahan lawanmu lalu dapat dengan mudah kau julung tungkul?”.

“Bukankan ilmu semu yang kau terapkan tadi hampir sama wataknya, seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet. Karena membuat bayangan semu dan mengaburkan pandangan lawan pada wujud yang sebenarnya?”.

“Ternyata kemampuanmu tidak hanya terletak pada tataran ilmu kanuraganmu, namun kau pandai pula dalam memutar balikkan kata-kata untuk pembenaranmu sendiri”.

“Bukankah aku tidak sekedar mencari pembenaran? namun memang demikianlah kenyataannya?”.

“Cukup.. cukup.. aku tidak mau banyak bicara lagi. Bersiaplah, Ki Lurah Glagah Putih! jangan salahkan aku, jika aku sudah tidak akan menahan diri lagi”.

Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu, orang-orang yang berada disekitar arena perang tanding sepertinya sedang tidak memperhatikan malam yang sudah menjadi semakin malam, bahkan sudah akan mendekati puncaknya.

Kini suasana menjadi sepi di sekitar arena perang tanding, karena kabut yang sangat tebal itu selain mampu menghalangi pandangan mata, mampu menampung suara pula yang ada di dalamnya hingga tidak terdengar dari luar.

Sehingga suara segaduh apapun di arena yang berselimutkan kabut, tidak akan mampu didengar oleh orang-orang yang berada di luar dan sekitarnya kecuali hanya orang yang benar-benar berilmu sangat tinggi saja.

Justru kejadian ini membuat kawan-kawan mereka yang sedang berperang tanding menjadi semakin tegang dan gelisah, seakan jantung mereka seakan mau meledak karena menahan gejolak di dalam dada sedari tadi, apalagi kini mereka tidak mampu melihat ataupun mendengar apa yang sedang terjadi.

Sementara dari kejauhan tanpa di sadari oleh orang-orang Mataram dan Wirasaba ada sepasang mata yang selalu mengawasi mereka, merasa hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari raut wajahnya terlihat penuh ketegangan dan sesekali keningnya tampak berkerut.

Jika melihat ciri-cirinya, dia adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Karena selain dia mampu menjaga posisi persembunyiannya, dia mampu menyamarkan segala bentuk bunyi, bahkan suara pernafasannya pun nyaris tidak terdengar.

Maka pantas saja orang-orang tidak menyadari kehadirannya, selain itu orang tersebut terbantu dengan keremangan kegelapan malam yang menyelimuti.

“Aku tidak pernah menduga bahwa dalam perang ini akan ada seseorang yang masih cukup muda sudah mampu menguasai ilmu dari jalur Windhujati sedemikian tinggi, meskipun jika aku lihat jalur ilmunya sudah tidak murni lagi”. katanya dalam hati.

Orang tersebut hampir tidak pernah bergeming dari tempat persembunyiannya, hanya matanya saja yang tampak bergerak kesana kemari mengawasi garangnya perang tanding dan keadaan di sekitarnya.

Sementara Ki Patih Rangga Permana yang ingin segera memecahkan ilmu kabut lawan, segera memusatkan nalar budi untuk mengungkapkan salah satu ilmu simpanannya yang menurut pertimbangannya akan mampu melawan ilmu lawan tapi tetap dengan melepaskan Aji Kalanetra.

Sejenak kemudian dari kedua sosok semu Ki Patih Rangga Permana yang berdiri agak berjauhan tampak gumpalan api yang menyala-nyala, semakin lama semakin menjadi besar hingga sebesar kepala kerbau pada masing-masing tangannya.

Dengan api di tangan, Ki Patih Rangga Permana kemudian mencoba untuk membakar kabut tebal yang menyelimuti dirinya dibarengi dengan angin prahara.

Seketika kabut yang tadinya berwarna seputih kapas menjadi tampak kemerah-merahan karena pancaran ilmu api disertai angin prahara dari Patih Wirasaba untuk memecahkan ilmu kabut sekaligus untuk menyerang pemiliknya.

Namun ternyata serangannya tidak mampu menguak apalagi mengusir kabut tebal yang menyelimuti, api prahara itu seperti hanya menghantam angin dan tempat kosong saja, tanpa mampu memberikan pengaruh apa-apa.

Serangan demi serangan Ki Patih Rangga Permana tidak dapat menemui sasarannya dengan tepat, karena Ki Lurah Glagah Putih mampu bergerak lebih cepat dari serangan tersebut.

Sementara wujud asli Ki Patih Rangga Permana masih berdiam diri sembari mengendalikan Aji Kalanetra sembari terus meraba keberadaan lurah prajurit Mataram yang menjadi lawannya.

“Gila.. aku benar-benar kesulitan untuk menembus kabut ini dengan pandangan mataku”. membatin Patih Wirasaba sembari masih menyerang lawan dengan api praharanya.

Tapi serangan tersebut hampir semuanya menemui tempat yang kosong, meskipun tadi Ki Lurah Glagah Putih hampir saja terkena serangan tersebut karena datang beruntun tanpa ampun. 

Namun beruntunglah dirinya telah menguasai ilmu yang mampu meringankan berat tubuhnya, bahkan hampir tidak berbobot. Yang diwarisi dari kakak sepupunya sekaligus gurunya. Sehingga mampu bergerak seperti kecepatan burung sikatan yang sedang memburu mangsa di alam liar.

Ki Patih Rangga Permana sekarang baru menyadari kelemahan ilmunya Aji Kalanetra yang sangat nggegirisi itu. Kedua wujud semunya tidak mampu melihat lawannya sendiri jika wujud aslinya tidak dapat melihatnya.

Hal ini ternyata mulai disadari oleh Ki Lurah Glagah Putih sejak lawannya menyerang dengan membabi buta tanpa sasaran yang jelas meskipun tadi sempat beberapa kali salah satu wujud semu itu tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Meskipun ayah Arya Nakula itu adalah termasuk orang yang menguasai ilmu tersebut, tanpa sadar dia pun ikut mengagumi kedahsyatan ilmu yang bersumber dari jalur perguruan Windhujati, serta tidak lupa hatinya mengucapkan rasa syukur kepada Yang Maha Welas Asih atas segala anugrah yang sudah diterimanya.

“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan. Kau jangan hanya bisa  bersembunyi saja seperti anak-anak yang menjadi ketakutan karena melihat hantu yang bergentayangan, Ki Lurah”. teriak Ki Patih Rangga Permana sembari mengumpat dengan umpatan yang sangat kotor seperti orang yang sedang waringuten.

“Bukankah kita sama-sama telah bersembunyi dari balik ilmu kita masing-masing, Ki Patih?”.

“Oh.. sekarang kau ingin membalas rupanya, karena tadi kau tidak mampu memecahkan Aji Kalanetraku? baiklah, tapi jangan senang dulu dengan kemenangan kecilmu ini, Ki Lurah”.

“Bukankah kita mempunyai cara masing-masing dalam menghadapi lawan? selama itu tidak melanggar paugeran perang tanding, aku rasa sah-sah saja kita menggunakan cara yang bagaimanapun sesuai kemampuan kita masing-masing”.

“Baiklah, aku setuju pendapatmu. Aku hargai sifat kejantananmu, bersiaplah! aku sudah tidak akan bermain-main lagi sekarang”.

Selesai berkata demikian, Ki Patih Rangga Permana tampak melepaskan Aji Kalanetranya, karena secara perlahan kedua wujud semu itu mulai memudar, lalu menghilang sama sekali dalam kabut. Kemudian dia mulai memusatkan nalar budinya untuk merambah ilmunya yang lain.

Kedua tangannya mulai menyilang di depan dada dengan jari-jari terbuka dan dua sisi telapak tangannya menempel pada dada. Sejenak kedua matanya pun terpejam sembari bibirnya terlihat bergerak-gerak seperti membaca sebuah rapalan mantra.

Secara perlahan-lahan tubuhnya mulai terlihat seperti mengeluarkan asap, namun tidak terlalu kelihatan karena dirinya berselimutkan kabut tebal.

Perlahan namun pasti, tubuh itu mulai membara. Semakin lama menjadi semakin membesar dan mengelilingi hampir sekujur tubuhnya yang sedang berdiri.

Tapi ada yang tidak pernah diduga oleh Ki Lurah Glagah Putih bahwa ternyata Patih Wirasaba itu mencoba membakar seluruh kabut yang telah menyelimutinya.

Kabut yang tadinya berwarna seputih kapas, kini semakin lama menjadi semakin merah membara akibat pancaran api dari tubuh Ki Patih Rangga Permana.

“Aku tidak pernah menduga sebelumnya, bahwa lurah prajurit dari Mataram itu mampu memaksa Ki Patih Rangga Permana harus mengeluarkan kemampuannya hingga tataran setinggi ini”. gumam pamomong Kanjeng Adipati tanpa sadar.

“Aku pun juga berpikir demikian, Ki Jembar Maja. Apalagi jika melihat pangkatnya yang hanya seorang lurah prajurit“. sahut Kanjeng Adipati dengan tetap memperhatikan arena.

Sementara di pihak Mataram pun tidak kalah gelisahnya dengan apa yang terjadi. Apalagi sekarang mereka tidak mampu melihat apa yang terjadi dalam arena karena tertutup kabut yang sangat tebal. Mereka hanya mampu melihat kabut itu mulai berwarna kemerah-merahan di hampir seluruhnya.

“Benar-benar pameran ilmu yang sangat ngedap-ngedapi”.

“Ki Tumenggung Alap-Alap benar. Akupun yang sudah mengenal cukup lama Ki Lurah Glagah Putih, masih merasa terkejut dengan apa yang telah diperlihatkannya kepada kita semua sekarang”. sahut Ki Rangga Sabungsari yang wajahnya masih terlihat pucat.

“Aku rasa kita tidak akan pernah melihat ataupun mendengar, dari ujung hingga ke ujung tanah ini seorang lurah prajurit yang memiliki kemampuan yang setara dengan kemampuan Ki Lurah Glagah Putih. Bahkan aku yang sudah berpangkat tumenggung saja, merasa belum tentu mampu mengimbanginya”.

“Aku rasa Ki Lurah Glagah Putih memang sebuah pengecualian dari prajurit kebanyakan, Ki Tumenggung Alap-Alap”.

“Ya.. ya.. aku sependapat denganmu, Ki Rangga Sabungsari. Lurah prajurit satu ini memang sebuah pengecualian dari lurah-lurah prajurit kebanyakan”. sahut Ki Tumenggung Alap-Alap sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari lawannya telah berusaha memecahkan ilmu kabutnya dengan pancaran ilmu api yang sangat ngedap-ngedapi, tidak dapat membiarkan semua itu terjadi. Karena biar bagaimanapun dirinya mulai terkena pengaruh hawa panas tersebut.

“Jika aku tidak segera berbuat sesuatu, maka akulah yang akan menjadi kerbau panggang oleh ilmu api Ki Patih Rangga Permana yang sangat nggegirisi”. membatin Ki Lurah Glagah Putih.

Dalam balutan kabut tebal yang semakin lama menjadi berwarna kemerah-merahan, Ki Lurah Glagah Putih segera memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan sebuah ilmu yang bersumber dari air yang diwarisi dari salah satu gurunya, yaitu Ki Jayaraga.

Kabut yang sudah berwarna kemerah-merahan itu mulai berubah warna lagi menjadi agak abu-abu secara perlahan. Pada awalnya Ki Patih Rangga Permana belum menyadari akan hal itu karena kedua matanya masih terpejam.

Hingga pada akhirnya Patih Wirasaba itu menjadi sangat terkejut bagaikan disengat ribuan lebah, ketika sesuatu mulai menetes pada tubuhnya, semakin lama semakin banyak.

Secara naluriah, Ki Patih Rangga Permana membuka matanya. Pada tubuhnya yang terbalut api yang sangat besar dan  membara, ternyata terdapat tetesan-tetesan air yang sangat dingin dari kabut yang menyelimuti sekitar arena.

“Gila.. benar-benar gila”.

Ki Patih Rangga Permana hanya bisa mengumpat sejadi-jadinya dalam hati karena saking tidak percayanya dengan apa yang telah dialaminya sendiri melawan seorang lurah prajurit.

Sebuah pameran ilmu yang benar-benar di luar nalar, terutama bagi orang-orang yang belum mencapai tataran tersebut hanya bisa kebingungan, heran, dan kagum karena mendapatkan kesempatan yang sangat jarang sekali untuk dapat melihat semua itu secara langsung dengan mata kepala sendiri.

Patih Wirasaba yang mulai mengendap gejolak jantungnya, sempat terlintas dalam pikirannya bahwa apa yang mereka lakukan lebih banyak sia-sia. Karena semua itu tidak memberikan akibat secara langsung kepada lawannya masing-masing.

“Ki Lurah Glagah Putih. Apa kau menyadari bahwa apa yang kita lakukan ini hanya membuang-buang tenaga saja. Karena apa yang kita lakukan sekarang ini tidak akan pernah mampu membunuh salah satu di antara kita?”.

“Lalu apa maumu, Ki Patih?”.

“Kita sudah terlalu lama bertempur, tapi belum ada tanda-tanda hasil akhir dari apa yang kita lakukan. Sebaiknya kita segera akhiri saja semua ini dengan ilmu pamungkas kita masing-masing”.

“Baiklah, aku setuju dengan pendapatmu”.

“Marilah kita sama-sama lepaskan ilmu ini untuk kemudian mempersiapkan diri mengetrapkan ilmu puncak kita masing-masing sebagai seorang yang jantan”. seru Patih Wirasaba.

Sepertinya dua orang yang berdiri di pihak yang berseberangan tersebut saling sepakat untuk segera mengakhiri perang tanding yang berlangsung sudah cukup lama, bahkan kini sudah melewati waktu tengah malam.

Kemudian mereka pun segera melepas ilmu masing-masing tanpa ada sedikitpun rasa curiga kepada lawan untuk berbuat licik. Ternyata keduanya memang adalah orang-orang jantan yang selalu menjunjung paugeran perang tanding.

Perlahan-lahan kabut itu terlihat mulai menipis dibarengi dengan pancaran api di tubuh Patih Wirasaba juga mulai mereda. Justru orang yang menyaksikan menjadi penuh dengan tanda tanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”.

Pertanyaan hampir serupa muncul dari orang-orang yang menjadi saksi kedua belah pihak. Ada pula yang beranggapan bahwa salah satunya telah kalah atau menyerah, karena yang berada di dalam arena masih berdiri tegak.

“Tidak lama lagi sepertinya kita akan segera mengetahui hasil akhir perang tanding ini”. ucap Pangeran Pringgalaya.

“Sepertinya demikian, Paman”.

“Sepertinya mereka telah sepakat untuk segera mengakhirinya dengan saling membenturkan ilmu puncak masing-masing”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

Dalam keremangan malam di bawah cahaya rembulan yang hampir utuh dan penerangan dari beberapa ocor biji jarak, arena perang tanding itu mulai terlihat kembali dengan jelas tanpa terhalangi apapun juga.

Ternyata Ki Lurah Glagah Putih berdiri di belakang agak ke samping dari tempat Ki Patih Rangga Permana berdiri pada saat kabut tebal itu mulai menguap terbawa angin malam.

Patih Wirasaba itu pun segera memutar tubuhnya menghadap lawannya yang berasal dari kesatuan prajurit Mataram, setelah menyadari keberadaan lawannya berdiri.

Kemudian kedua orang itu saling beradu pandang dengan tajamnya, tapi belum terdengar ada suara yang terucap dari bibir masing-masing.

“Bersiaplah, Ki Lurah!”.

“Baiklah, Ki Patih aku akan bersiap”.

“Ingat Ki Lurah, aku tidak akan menahan diri. Jadi pikirkanlah segala akibat yang mungkin akan terjadi. Dan jangan salahkan aku, jika nanti suatu kemungkinan paling buruk sekalipun terjadi atas dirimu”.

“Aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi, Ki Patih. Bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Karena seluruh hidup dan matiku selalu aku pasrahkan kepada Yang Maha Agung dan Maha Welas Asih”.

“Semoga kau tidak akan menyesal nantinya karena pernah berperang tanding melawanku, apapun yang terjadi”.

“Segala yang ada di dunia ini sudah menjadi kehendak dan ketetapan dari Yang Maha Agung, termasuk hidup dan matinya seseorang. Kita hanya tinggal menjalani saja, dan berusaha sejauh yang kita mampu, Ki Patih”.

“Sesorahmu cukup menggelitik, Ki Lurah. Namun kita akan sama-sama lihat apakah sesorahmu itu mampu menolongmu di saat-saat yang buruk atau tidak”.

“Aku sudah pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Agung, karena tidak ada yang lebih baik lagi selain kepada-Nya lah tempatku nenuwun dan berlindung”. sahut Ki Lurah Glagah Putih dengan penuh keyakinan.

“Bersiaplah, Ki Lurah!”.

Ki Lurah Glagah Putih hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kepala, kemudian mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan ilmu puncaknya.

Sembari mempersiapkan diri, ayah Arya Nakula itu tidak henti-hentinya untuk nenuwun dan menyerahkan dirinya dalam kepasrahan utuh kepada Yang Maha Agung atas apapun yang akan terjadi nanti kepada dirinya.

Sejenak kemudian keduanya sama-sama memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu puncak yang dilambari dengan tenaga cadangan pada tataran tertinggi.

Orang-orang yang berada di sekitar arena nafasnya seperti tertahan dan seakan jantung mereka sudah lepas dari tempatnya karena melihat saat-saat yang paling menentukan pada akhir perang tanding antara dua orang yang berilmu sangat tinggi namun berbeda jauh secara gelar kepangkatan.

Terutama bagi para pepunden masing-masing pihak, baik dari Mataram maupun dari Wirasaba yang merasa paling berkepentingan dengan hasil akhir perang tanding tersebut.

Karena jika nanti sudah diketahui kejelasan hasil akhirnya, maka mereka baru bisa mengambil sikap untuk langkah-langkah berikutnya sehubungan dengan perang yang masih berlangsung secara keseluruhan.

Sementara Ki Lurah Glagah Putih sudah mulai merenggangkan kedua kakinya dan merendahkan tubuhnya untuk mengungkapkan ilmu puncaknya dengan lambaran tenaga cadangan pada tataran tertinggi kemampuannya.

Tidak lupa dia mengetrapkan ilmu kebalnya dahulu untuk melindungi dirinya jika nanti terjadi benturan ilmu, agar tidak terjadi goncangan pada tubuhnya, atau paling tidak bisa mengurangi segala akibat benturan ilmu pada tataran tertinggi.

Ilmu puncak Ki Lurah Glagah Putih adalah sebuah ilmu puncak yang sudah tidak murni lagi dari sebuah sumber, karena dalam tubuhnya telah mengalir ilmu dari beberapa sumber yang kemudian diramu sedemikian rupa sehingga terbentuklah ilmu puncak dengan diberi nama Aji Namaskara.

Sementara Ki Patih Rangga Permana memusatkan nalar budinya dengan berdiri tegak dan kedua tangannya yang terbuka menempel di depan dada sembari memejamkan mata.

Tidak lupa Patih Wirasaba itu melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya pula seperti lawannya sebelum melepaskan ilmu puncak yang diwarisi dari gurunya.

Sejenak suasana menjadi hening dalam cahaya keremangan malam yang sudah semakin melewati puncaknya. Tanpa sadar dari kejauhan masih terdengar suara burung Gagak dan burung Kedasih yang seakan memberikan pertanda kurang baik nantinya.

Tapi mungkin pertanda tetaplah hanya sebuah pertanda, karena pada akhirnya kita tidak dapat menghindari pepesthen dari Yang Maha Agung atas segala yang bakal terjadi, baik yang sengaja kita lakukan maupun yang berupa sekedar nasib buruk.

Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari sepenuhnya siapa lawannya dan seberapa tinggi tataran ilmunya tidak pernah ragu untuk mengungkapkan ilmunya hingga ke tataran tertinggi, bahkan jika dilihat secara seksama, sepertinya dia memaksakan diri untuk melewati batas kemampuannya yang tertinggi.

Sementara Ki Patih Rangga Permana yang telah selesai memusatkan nalar budinya, segera membuka matanya dan melihat ke arah sasaran dengan pandangan yang sangat tajam.

Pancaran tataran ilmu tertinggi dari dua orang yang berilmu sangat tinggi sudah siap untuk saling berbenturan. Keduanya hanya memusatkan diri kepada lawan dan pelepasan ilmu puncak yang pasti akan sangat nggegirisi.

Ki Patih Rangga Permana yang sangat yakin dengan tataran kemampuannya merasa, bahwa setinggi apapun lawannya pasti dirinya masih memiliki kelebihan betapapun kecilnya. Maka dengan keyakinan penuh, dia melepaskan ilmu puncaknya.

Ilmu puncak Patih Wirasaba yang berasal dari inti api itu terlihat berwarna kuning kemerah-merahan ketika masih berada di kedua tangan pemiliknya.

Pada saat yang hampir bersamaan, senopati-senopati pilihan dari Mataram dan Wirasaba itu pun benar-benar melepaskan ilmu puncak mereka hingga tuntas tanpa sisa.

Namun di luar dugaan semua orang, bahwa pada saat-saat terakhir ada sebuah kejanggalan pada Ki Lurah Glagah Putih yang sedang berusaha melepaskan ilmu puncaknya.

Tubuh menantu Ki Purbarumeksa itu terlihat sempat bergejolak sejenak pada saat-saat terakhir dia melepaskan ilmu puncaknya, yang diberi nama Aji Namaskara.

Meluncurlah seleret sinar berwarna biru keputih-putihan dari kedua tangan menantu Ki Purbarumeksa dengan sangat cepatnya menyambut ilmu puncak dari lawannya.

Sejenak kemudian terjadilah benturan ilmu yang sangat ngedap-ngedapi dan nggegirisi bagi siapapun yang memiliki kesempatan secara langsung untuk dapat menyaksikannya.

Bagaikan suara guntur yang paling keras dan paling dahsyat di angkasa menggelegar di arena perang tanding, bersamaan dengan itu terpancar cahaya yang sangat menyilaukan bagi siapapun yang dapat melihatnya.

Bersamaan dengan benturan dua ilmu puncak itu, terjadilah goncangan yang sangat luar biasa di arena perang tanding dan tempat sekitarnya.

Tiba-tiba tanah menjadi meledak dan berhamburan di udara akibat saking tidak kuatnya menahan kekuatan yang sangat besar tersebut. Bahkan pohon-pohon dan tanaman di padang perdu yang berada di sekitar arena tersebut pun seketika menjadi hangus seperti dibakar dengan api dan kemudian seperti dihentakkan oleh kekuatan yang sangat besar.

Sejenak kemudian menjadi terang benderang menyelimuti tempat itu karena benturan dua ilmu raksasa, Tapi setelah cahaya yang menyilaukan itu lewat, sesaat kemudian menjadi gelap gulita bagaikan di dalam sebuah goa yang tanpa penerangan sama sekali.

Selain kegelapan yang memang bersumber dari waktu yang masih malam, kegelapan tempat itu karena debu-debu dan apa saja masih berhamburan tidak beraturan di udara, terutama pada sekitar arena perang tanding.

Bahkan orang-orang yang tadi menyaksikan perbandingan ilmu itu harus menyingkir menjauh agar tidak terkena akibat dari benturan yang terjadi, atau paling tidak bisa menjauhi debu-debu atau apa saja yang berhamburan di udara.

Sejenak suasana menjadi sunyi, tidak terdengar membuka suara baik dari pihak Mataram maupun Wirasaba pada saat suasana menjadi semakin gelap. Mereka masih sama-sama terpaku di tempat masing-masing sembari menunggu keadaan.

Secara perlahan-lahan tapi pasti, kegelapan itu menjadi mulai terang karena apa saja yang tadi berterbangan di udara mulai jatuh kembali ke tanah yang sudah berubah bentuknya.

Di bawah cahaya bulan yang tidak penuh dan beberapa penerangan dari oncor yang terbuat dari biji jarak, tempat itu mulai dapat dilihat dengan pandangan mata secara wajar.

Pangeran Pringgalaya yang sudah tidak dapat menahan diri untuk melihat apa yang terjadi, segera berlari menghampiri bekas arena perang tanding antara Ki Lurah Glagah Putih melawan senopati pilihan dari Wirasaba, yaitu Ki Patih Rangga Permana.

Ternyata apa yang dilakukan oleh Pangeran Pringgalaya itu secara tidak langsung telah memancing yang lain untuk melakukan hal yang sama. Karena mereka sudah tidak dapat menahan diri pula untuk segera mengetahui apa yang telah terjadi dengan pasti.

Orang-orang Wirasaba dan Mataram dengan langkah tergopoh-gopoh dan seperti berpacu, segera mendekati bekas arena perang tanding yang sekarang sudah menjadi sunyi.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara burung gagak yang menjadi semakin sering terdengar. Mungkin jika dia dapat berbicara layaknya manusia, dia ingin menyampaikan sebuah pesan kepada dua pihak yang sedang saling berseteru.

Tapi setelah mereka berada di bekas arena perang tanding itu betapa terkejutnya. Bahkan karena saking terkejutnya, mereka bagaikan disengat ribuan lebah yang sedang mengamuk.

“He.. kemanakah Ki Lurah Glagah Putih?”. bertanya Pangeran Pringgalaya yang kebetulan sampai di tempat itu paling pertama sembari memandang berkeliling.

Orang-orang yang berada di belakangnya pun menjadi ikut sangat terkejut dan dengan raut wajah seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

“Segera kerahkan prajurit yang sedang bertugas untuk mencari Ki Lurah Glagah Putih di sekitar tempat ini! bahkan di sekitar pinggir hutan sekalipun”. seru Pangeran Demang Tanpa Nangkil kepada Ki Tumenggung Alap-Alap yang kebetulan berdiri di dekatnya.

“Sendika dawuh, Pangeran”. sahut senopati Mataram tersebut lalu segera bergegas meninggalkan tempat itu.

Ternyata bukan hanya Ki LUrah Glagah Putih saja yang tiba-tiba menghilang secara misterius. Tapi lawannya pun mengalami hal yang sama, yang membuat orang-orang Wirasaba pun menjadi kalang kabut karena kebingungan.

“Kemana Ki Patih Rangga Permana?”. bertanya Ki Jembar Maja setengah berteriak, karena tidak dapat menemukan pepundennya pula di bekas arena perang tanding.

“Perintahkan kepada para prajurit yang bertugas untuk mencarinya”. berkata Kanjeng Adipati Wirasaba kepada salah satu pengawal yang berdiri di belakangnya.

Seketika suasana menjadi riuh di malam yang sudah semakin jauh meninggalkan puncaknya. Riuh bukan karena sebuah peperangan, namun karena kebingungan mencari seseorang yang sangat berharga bagi masing-masing pihak.

Para prajurit yang sudah sangat terlatih menghadapi segala medan dalam segala keadaan itu segera bergerak cepat untuk mencari orang yang mereka maksud sesuai dengan perintah pepunden masing-masing.

Terlihat sekali perbedaan suasana pada waktu siang hari dengan malam hari seperti sekarang yang terjadi. Ketika siang mereka saling bertempur dan menyabung nyawa, tapi kini seperti tidak ada rasa permusuhan sama sekali.

Bahkan beberapa kali para prajurit dari Wirasaba dan Mataram saling mengangguk hormat saat saling berpapasan, ketika sama-sama sibuk dalam pencarian.

Dengan membawa oncor di tangan, para prajurit yang mendapat perintah dengan sigap memeriksa tempat mana saja yang mungkin dapat mereka jangkau, kecuali tempat-tempat perkemahan lawan dan sekitarnya.

Karena dalam keadaan demikian, pihak lawan tentu akan memberitahukan apa yang mereka cari jika memang benar seandainya pun ada.

Mereka pun menjadi semakin gelisah setelah beberapa mencari namun belum ada tanda-tanda akan ditemukan juga apa yang sedang mereka cari, meskipun sudah mencari ke segala penjuru di sekitar tempat itu, bahkan sampai di pinggir-pinggir hutan sekalipun yang tidak jauh dari bekas arena perang tanding.

“Benar-benar aneh. Keduanya bisa menghilang tanpa jejak begitu saja bagaikan ditelan bumi. Padahal disini berkumpul orang-orang linuwih dan memiliki kemampuan yang sangat tinggi”. gumam Panembahan Hanyakrakusuma tidak habis pikir.

“Angger Panembahan benar. Kita seperti anak kemarin sore yang baru belajar kanuragan karena kejadian ini”. sahut Pangeran Puger.

Tidak lama kemudian, terlihat Ki Tumenggung Alap-Alap datang menghadap kepada Kanjeng Sinuhun Mataram untuk melaporkan hasil pencariannya.

“Ampun Kanjeng Panembahan. Setelah kami menelusuri setiap sudut tempat di sekitar tempat ini, hamba pastikan bahwa Ki Lurah Glagah Putih tidak dapat ditemukan”. berkata Ki Tumenggung Alap-Alap sembari menghaturkan sembah.

Panembahan Hanyakrakusuma hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan beberapa kali karena tidak habis mengerti dengan apa yang terjadi.

“Kita benar-benar kehilangan jejaknya”.

“Ampun Kanjeng Panembahan, hamba menunggu perintah selanjutnya”. sahut Ki Tumenggung Alap-Alap yang masih berdiri termangu-mangu.

Kanjeng Sinuhun Mataram tidak segera menjawab, tapi terdengar suara nafasnya yang berat karena merasa hatinya begitu pepat.

“Sebaiknya kita segera kembali ke perkemahan untuk segera melaksanakan penyelenggaraan pemakaman bagi mereka yang telah gugur, sembari kita membicarakan langkah-langkah berikutnya yang akan kita ambil besok setelah apa yang terjadi hari ini”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma.

Tapi baru saja mereka mulai melangkahkan kaki, tiba-tiba mereka di kejutkan oleh suara yang menghentak-hentak jantung karena suara yang menggulung-gulung di udara. Terdengar sebuah suara yang bukan sewajarnya.

“Kalian tidak perlu mencarinya, karena kalian pasti tidak akan dapat menemukannya. Tapi satu hal yang perlu kalian ingat, kalian harus membayar semua ini di kemudian hari”.

Suara yang begitu menggelegar karena dilambari dengan ajian sejenis Aji Gelap Ngampar yang membuat semua orang yang berada di tempat itu menjadi sangat terkejut.

Selain mereka sangat terkejut karena suara itu sendiri, mereka juga terkejut karena mereka tidak tahu pasti entah dari manakah suara itu berasal.

Beberapa orang yang berilmu tinggi segera memusatkan nalar budinya untuk berusaha melacak keberadaan sumber suara itu dengan kemampuan mereka masing-masing.

Namun setelah sejenak memusatkan nalar budinya, hanya terlihat raut-raut wajah kecewa karena tidak dapat menemukan apa yang mereka cari melalui pemusatan nalar budi.

“Benar-benar luar biasa. Dia mampu menghilangkan jejaknya dengan sangat cepat sebelum dapat diketahui keberadaannya. Bahkan getaran suaranya pun tidak dapat dilacak”. berkata Pangeran Pringgalaya.

“Apakah ada yang dapat menduga siapakah dia sebenarnya, dan apa kepentingannya?”.

“Aku belum mempunyai gambaran yang dapat dijadikan pedoman untuk menebak siapakah dia, namun jika dari ucapannya dia adalah orang yang memihak kepada Wirasaba”.

“Sebaiknya kita memang harus semakin lebih berhati-hati ke depannya. Karena dari ucapannya memang menyiratkan sebuah peringatan kepada kita, orang-orang Mataram”. ucap Panembahan Hanyakrakusuma.

“Angger Panembahan benar. Selain itu, sepertinya untuk sementara waktu kita juga harus melupakan tentang Ki Lurah Glagah Putih yang sekarang entah dimana keberadaannya. Meskipun kita juga harus tetap mencarinya”.

“Paman Pringgalaya benar. Meskipun dengan berat hati, memang tidak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang ini. Nanti aku akan mencari orang yang tepat untuk dapat mengemban tugas ini”.

“Baiklah Ngger. Sebaiknya sekarang kita segera kembali ke perkemahan, karena waktu juga sudah semakin sempit untuk istirahat kita sebelum matahari muncul dari balik gunung”.

“Marilah semuanya, kita kembali ke perkemahan. Semoga kita masih mempunyai waktu barang sekejap untuk sekedar memejamkan mata”. sahut Kanjeng Sinuhun Mataram mengajak semua orang yang masih berada di tempat itu.

Kemudian mereka segera bergegas meninggalkan tempat itu. Ternyata orang-orang Wirasaba sudah lebih dahulu meninggalkan tempat itu setelah mereka tidak dapat menemukan apa yang sedang mereka cari.

Ketika rombongan tersebut tiba di perkemahan, Panembahan Hanyakrakusuma segera memanggil prajurit yang bertugas memimpin penyelenggaraan pemakaman bagi seluruh prajurit yang telah gugur di hari kedua perang.

“Ampun Kanjeng, semua sudah siapa sesuai perintah dan tinggal menunggu kehadiran Kanjeng Panembahan”.

“Baiklah, kita segera selesaikan tugas kita hari ini agar cepat selesai dan semakin cepat pula kita untuk dapat beristirahat”.

Kemudian mereka pun segera bergegas menuju tempat penyelenggaraan pemakaman yang berada di sebelah pemakaman para prajurit Mataram yang kemarin lebih dulu di makamkan.

Untuk menyingkat waktu, maka Panembahan Hanyakrakusuma tidak banyak memberikan sesorahnya sebagai penghormatan terakhir bagi para pahlawan Mataram yang telah gugur.

“Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh pahlawan-pahlawan Mataram atas segala pengabdian dan pengorbanan yang tidak dapat dinilai dengan apapun juga. Dan marilah kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Agung untuk segala perjuangan kita, agar gegayuhan kita semua mendapatkan restu-Nya”.

“Semua ini bukan sekedar gegayuhanku pribadi tapi ini adalah gegayuhan para pepunden kita yang terdahulu dan gegayuhan seluruh kawula Mataram yang harus kita wujudkan dengan segala kerja keras, pengabdian dan pengorbanan tanpa batas. Jika kita memiliki gegayuhan pasti ada jalan jika kita tetap bersatu dan melangkah bersama apapun yang terjadi”.

Tidak alam kemudian Panembahan Hanyakrakusuma pun segera menutup sesorahnya. Maka para prajurit yang bertugas pun segera melaksanakan penyelenggaraan pemakaman.

Perasaan sedih, prihatin, dan bangga bercampur aduk menjadi satu mengiringi kepergian untuk selamanya para pahlawan Mataram yang sebenarnya.

Tidak banyak suara dalam penyelenggaraan pemakaman, kecuali hanya pembicaraan yang seperlunya saja. Rasa keprihatinan dan kesedihan masih begitu membekas di dada hampir setiap prajurit, terutama bagi para prajurit yang mempunyai hubungan dekat dengan para prajurit yang telah gugur.

Para Priyagung Mataram pun tidak banyak bicara setelah kembali ke perkemahan. Mereka masih sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan sehubungan dengan apa yang telah terjadi hari ini secara keseluruhan.

Karena menurut mereka, setelah hilangnya Ki Patih Rangga Permana sepertinya tidak ada lagi kekuatan di Wirasaba yang patut diperhitungkan, meskipun masih banyak pula terdapat orang-orang berilmu tinggi namun belum bisa disetarakan dengan Patih Wirasaba tersebut.

Karena selain kemampuannya secara pribadi yang sangat tinggi, Ki Patih Rangga Permana juga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kepemimpinan di Kadipaten Wirasaba secara keseluruhan sejak Kanjeng Adipati Sepuh wafat.

Meskipun secara kepangkatan dirinya tidak lebih hanya seorang patih, namun sejak kepergian Kanjeng Adipati Sepuh dia merangkap tugas seorang Adipati, karena Kanjeng Adipati yang sekarang masih belum mampu menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya karena segala keterbatasannya.

Jika seandainya Kadipaten Wirasaba telah kehilangan Ki Patih Rangga Permana, maka bisa diibaratkan Wirasaba telah kehilangan separuh kekuatannya. Maka dengan adanya kabar menghilangnya Patih Wirasaba tersebut secara misterius, benar-benar telah mengguncang pasukan. Sudah tidak ada lagi semangat perjuangan yang seperti mereka gembar-gemborkan.

Semangat perjuangan  seluruh pasukan Wirasaba tiba-tiba hilang seperti tertiup angin laut yang sangat kencang. Sekarang hanya terlihat wajah-wajah murung dan lesu.

Maka kini Wirasaba lah yang sedang dalam keadaan paling sulit. Apalagi selain Wirasaba telah kehilangan patih kebanggannya, mereka juga telah kehilangan senopati-senopati pilihan, seperti Ki Alap-Alap Jati Ombo, Kyai Cangkring Giri, Ki Tumenggung Ganggasura, Ki Tumenggung Randuwana, dan masih banyak lagi karena harus gugur lebih dahulu selama pecah perang.

Memang benar Wirasaba masih memiliki Kanjeng Adipati, namun untuk urusan ini dirinya belum bisa dimasukkan dalam jajaran orang-orang yang berilmu tinggi, karena kemampuannya yang masih sangat terbatas, apalagi disejajarkan dengan para raksasa kanuragan.

Sementara hampir semua para prajurit Wirasaba yang kembali ke perkemahan dengan kepala tertunduk lesu. Kini tidak ada lagi kata-kata pembakar semangat perjuangan dari para senopati seperti selama beberapa waktu yang lalu.

Tapi berbeda sekali dengan apa yang sedang dirasakan oleh Kanjeng Adipati. Semangat perjuangannya tidak pernah padam sedikitpun meski dirinya harus kehilangan seorang paman sekaligus patihnya yang sangat dibanggakan.

Selain itu Wirasaba juga sudah kehilangan orang-orang penting dalam pasukan, orang-orang yang sejak awal sangat diharapkan sepak terjangnya untuk membantu perjuangan Wirasaba dalam membendung kekuatan kraman dari Mataram.

Kini pasukan tersebut tidak lebih dari hanyalah sebuah pasukan segelar sepapan yang sedang terluka, bahkan terluka cukup parah. Karena sekarang Wirasaba sudah tidak dapat mengharapkan lagi sebuah kemenangan bagi perjuangan mereka sendiri. Meski pada akhirnya mereka harus mengalami nasib yang begitu pahit, namun mereka sudah berjuang sejauh yang mereka mampu.

Sebuah perjuangan memang tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan yang berkobar di dada setiap orang-orang yang telah berusaha memperjuangkannya.

Apalagi sebuah perjuangan untuk menggapai sebuah gegayuhan yang melibatkan dua pihak atau lebih, pasti akan ada yang menang dan pasti pula akan ada yang kalah.

Karena alangkah mustahilnya jika semua kalah atau semuanya menang, karena garis hidup dari Yang Maha Agung adalah harus ada yang menang dan harus pula ada yang kalah. Tinggal bagaimanakah cara kita dalam menyikapi kekalahan atau kemenangan tersebut.

Kenyataan ini semakin membuat hatinya semakin keras sekeras batu hitam untuk menolak tunduk kepada Mataram apapun yang bakal terjadi atas dirinya.

Meskipun dia masih sangat muda, namun harga dirinya sudah sedemikian tinggi. Sehingga membuat hatinya semakin menolak keras jika harus tunduk kepada Mataram.

Sebuah keinginan tanpa dilandasi dengan penalaran yang wajar memang sering terjadi kepada orang-orang seusianya, karena apa yang dia inginkan tidak dibarengi dengan landasan penalaran tentang segala akibat yang bakal timbul kemudian.

Dan kebanyakan dalam usia yang masih sangat muda, mereka merasa sudah paling benar sendiri dengan apa yang dilakukannya tanpa pertimbangan yang matang.

“Sekarang bagaimana menurut Ki Jembar Maja? apa yang sebaiknya harus kita lakukan?”. bertanya Kanjeng Adipati Wirasaba setelah tiba di perkemahan.

Suara nafas yang berat terdengar dari sela-sela hidung prajurit sekaligus pamomong Kanjeng Adipati yang selama ini lebih banyak berada di belakang layar pemerintahan Wirasaba.

“Hamba rasa sudah tidak ada lagi yang dapat kita lakukan setelah kita kehilangan Ki Patih Rangga Permana, Kanjeng Adipati. Apalagi kita sudah banyak kehilangan senopati-senopati pilihan pula”.

“Bukankah kita masih memiliki prajurit yang masih sangat besar dan mampu berjuang? dan masih banyak pula dari kita orang-orang yang berilmu tinggi?”.

“Kanjeng Adipati benar. Namun kita harus mengukur kekuatan lawan pula. Perlu kita ingat bahwa Mataram masih memiliki kekuatan yang sangat besar, selain itu mereka masih memiliki paling tidak Panembahan Hanyakrakusuma itu sendiri dan tiga pangeran yang menyertainya dan berilmu sangat tinggi. Siapakah yang akan mampu menahan mereka semua dari pihak kita?”.

Seketika pemimpin tertinggi Wirasaba itu menjadi terdiam mendengar jawaban tersebut. Namun hatinya tetap tidak dapat menerima jika harus tunduk kepada lawan. Kepalanya mencoba untuk berpikir keras untuk dapat menemukan jalan keluar yang terbaik bagi pasukan Wirasaba.

“Bukankah kita dapat membuat pasukan kecil untuk menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi dari Mataram, Ki Jembar Maja?”.

“Bisa saja kita membuat pasukan kecil untuk menahan orang-orang berilmu tinggi Mataram, namun dengan demikian kita akan membuat masalah baru, Kanjeng Adipati. Karena dengan dibentuknya pasukan kecil itu, maka akan membuat lubang baru yang semakin lebar pada pasukan kita yang sudah semakin terkoyak. Justru kelemahan ini yang akan dimanfaatkan oleh Mataram untuk semakin cepat mengalahkan kita”.

“Mungkin Ki Jembar Maja memiliki sebuah gagasan untuk bagaimana caranya kita akan melawan Mataram, nanti setelah matahari terbit?”.

Ki Jembar Maja yang menyadari maksud dari pertanyaan pepundennya tersebut hanya bisa menarik nafas dalam, bahkan dalam sekali untuk sekedar ingin melonggarkan segala kepepatan yang telah menyumbat hatinya.

“Kita masih bisa melawan Mataram dengan seluruh kekuatan pasukan kita, Kanjeng Adipati. Namun menurut penalaranku, kemungkinannya sangat kecil sekali untuk dapat mengimbangi atau bahkan untuk mengalahkan Mataram. Dan apa yang kita lakukan itu tidak lebih hanya untuk membunuh diri”.

“Bukankah itu lebih baik, Ki Jembar Maja? daripada kita hanya berpangku tangan dan menunggu tubuh kita untuk diikat sebagai tawanan, kemudian menunggu hukuman di tiang penggantungan tanpa pernah ada perlawanan sama sekali?”.

“Jika kita bicara tentang diri kita sendiri, aku tidak pernah keberatan jika harus berjuang hingga tetes darah penghabisan atau bela pati. Namun Kanjeng Adipati lupa bahwa kita membawa pasukan yang sangat besar, kita jangan hanya memikirkan diri kita sendiri tapi kita juga harus memikirkan nasib mereka pula”.

Kanjeng Adipati Wirasaba menjadi semakin kebingungan setelah mendengar ucapan pamomongnya tersebut. Penalarannya dapat membenarkan, namun hatinya masih belum dapat menerima jika nanti dirinya harus menyerah, apapun alasannya.

Jiwa muda pemimpin tertinggi Kadipaten Wirasaba yang belum mampu mengambil sikap berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dengan penalaran wajar itu semakin bergejolak, karena antara hati dan penalarannya tidak dapat sejalan dalam menghadapi kenyataan yang terjadi.

Dalam keadaan yang genting seperti sekarang ini mulai terlihatlah kelemahan Kanjeng Adipati Wirasaba yang sebenarnya memang belum siap secara lahir dan batin untuk menjadi seorang pemimpin, apalagi menjadi pemimpin besar seperti menjadi seorang Adipati di suatu wilayah. Karena pada kenyataannya, ternyata umur tidak dapat dibohongi.

“Terima kasih atas peringatan, Paman Jembar Maja”. ucap Kanjeng Adipati dengan nada suara yang mulai mereda di tempat duduknya sembari dengan kepala tertunduk.

Tanpa terasa hati Ki Jembar Maja sempat tergetar pula mendengar ucapan momongannya tersebut. Sebagai orang tua, dirinya dapat merasakan pula apa yang sedang bergejolak di dalam hati pepundennya tersebut.

Beban yang sangat besar telah disandangnya dalam usia yang masih cukup muda. Selain dia harus sudah kehilangan ayahnya lebih cepat, dirinya harus memikul tanggung jawab pula menggantikan kedudukan ayahnya untuk memimpin seluruh kawula Wirasaba dengan segala akibatnya.

“Bukan maksudku untuk melemahkan semangat perjuangan Kanjeng Adipati, namun apa yang aku sampaikan ini adalah semata-mata karena aku ingin berusaha menyelamatkan orang-orang yang tersisa dalam pasukan kita. Sebab nyawa mereka masih sangat berharga, tidak hanya berharga untuk diri mereka sendiri, namun sangat berharga pula untuk keluarga yang selalu menunggu kepulangan mereka”.

Kanjeng Adipati hanya bisa membisu seribu bahasa.

“Dalam keadaan seperti ini tidak ada yang bisa kita lakukan selain kita hanya bisa menyerah dan menyerahkan nasib kita kepada Mataram. Semoga saja Panembahan Hanyakrakusuma memiliki kebijaksanaan untuk kita semua, sehingga kita tidak mengalami nasib yang paling buruk”.

“Bagaimana jika nanti kita menyerah dan menjadi tawanan, kita hanya akan menjadi pengewan-ewan di Alun-alun Wirasaba, Ki Jembar Maja?”.

“Aku rasa Panembahan Hanyakrakusuma bukanlah orang yang tidak berjantung sehingga akan memperlakukan kita sedemikian kejamnya setelah kita menyerah”.

“Apakah Ki Jembar Maja yakin?”.

“Jika nanti memang terjadi seperti yang Kanjeng Adipati katakan, maka aku akan memilih jalan terakhir, yaitu tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain bela pati. Aku sudah tidak akan memikirkan nasibku lagi, bahkan nasib paling buruk sekalipun”.

“Apakah itu tidak terlambat?”.

“Semuanya masih dalam tahap kemungkinan. Dan yang aku katakan tadi adalah sudah pada kemungkinan terakhir. Tapi sejauh pengetahuanku tentang Panembahan Hanyakrakusuma, aku belum pernah mendengar bahwa orang yang menyerah padanya dalam usahanya menaklukkan wilayah-wilayah diluar Mataram menjadi pengewan-ewan”.

Tidak ada lagi yang bisa diucapkan Kanjeng Adipati Wirasaba untuk membuat pembelaan atas pendapatnya sendiri di hadapan pamomongnya yang terus berusaha meyakinkannya untuk menyerah kepada Mataram, serta menguraikan pertimbangan yang mungkin dapat terjadi.

Ki Jembar Maja sengaja memberikan waktu kepada pepundennya untuk merenung dan memikirkan apa yang sebaiknya harus dilakukan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi bagi kepentingan seluruh pasukan Wirasaba yang masih tersisa.

“Sebaiknya Kanjeng Adipati segera beristirahat! meskipun hanya tersisa waktu hanya sekejap sebelum ayam berkokok, namun itu akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Sebab nanti kita masih membutuhkan tenaga yang harus tetap segar meski apapun yang bakal terjadi”. berkata Ki Jembar Maja yang berusaha mengurangi ketegangan pada pepundennya yang masih sangat muda itu.

“Baiklah.. sebaiknya Ki Jembar Maja segera beristirahat pula!”.

“Ya.. aku akan segera beristirahat pula”.

Lalu pamomong Kanjeng Adipati Wirasaba itu pun segera meninggalkan perkemahan khusus Adipati untuk kemudian kembali ke tempatnya beristirahat melepas lelah dan ketegangan.

Sementara di perkemahan pasukan Mataram, khususnya tempat perawatan para prajurit yang terluka. Ternyata banyak pula dari para prajurit yang terluka, baik dari yang terluka ringan hingga terluka yang paling parah.

Setelah Ki Rangga Sabungsari selesai menyaksikan perang tanding beberapa saat tadi, sebelum pergi untuk beristirahat dirinya masih menyempatkan diri untuk menjenguk kembali keadaan Umbara yang sedang terluka parah.

“Bagaimana perkembangannya, Kyai?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari kepada seorang Tabib yang merawatnya, setelah tiba di tempat Umbara dirawat.

Tabib itu memandang sekilas kepada orang yang bertanya, lalu kembali disibukkan untuk merawat anak Ki Untara.

“Masih dalam masa-masa sulit, Ki Rangga. Luka dalamnya benar-benar berat, beruntunglah dia memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa pada umurnya yang masih muda. Sehingga mampu membantunya untuk bertahan”.

Seketika hati Ki Rangga Sabungsari tergetar mendengar keterangan Tabib yang merawat Umbara yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri karena kedekatannya dengan ayah anak itu dalam jangka waktu yang lama.

Kecemasan dan kegelisahan sangat terlihat pada raut wajah menantu Ki Wibawa tersebut. Meski tubuhnya sendiri masih sangat lemah setelah bertempur melawan Kyai Cangkring Giri dan harus lebih banyak untuk beristirahat, namun dirinya merasa tidak sampai hati jika harus meninggalkan Umbara yang belum mampu sadarkan diri karena luka dalam yang berat.

“Maaf Kyai, apakah Umbara belum sempat sadarkan diri sejak dibawa kemari?”.

“Belum Ki Rangga. Berdasarkan bekal kawruh yang aku pelajari, luka dalamnya memang belum memungkinkan dirinya untuk sadarkan diri dalam beberapa lama”.

“Menurut Kyai, butuh berapa lama untuk merawatnya hingga Umbara dapat dikatakan sembuh?”.

“Maaf Ki Rangga Sabungsari, aku hanya bisa berusaha merawatnya dengan bekal kawruh pengobatan yang pernah aku pelajari, tapi aku tidak dapat menentukan apapun juga. Semuanya tergantung atas kemurahan Yang Maha Welas Asih”.

“Maaf atas keterlanjuranku, Kyai”.

“Aku dapat memakluminya, Ki Rangga. Adalah sebuah kewajaran jika kita menjadi sangat khawatir saat melihat keluarga atau orang-orang terdekat kita terluka, bahkan terluka berat. Sehingga terkadang membuat kita kehilangan penalaran yang wening”.

“Ya.. demikianlah, Kyai”.

“Sebaiknya kau pun segera beristirahat, Ki Rangga. Tubuhmu masih sangat lemah dan harus banyak-banyak istirahat agar tubuhmu bisa segera sehat kembali”.

“Terima kasih atas peringatan, Kyai. Aku akan segera beristirahat pula setelah melihat keadaan Umbara”.

Tanpa sadar Ki Rangga Sabungsari sempat memandang berkeliling, melihat sekumpulan orang-orang yang terluka sebelum dia akan meninggalkan tempat itu untuk segera dapat beristirahat.

Kebetulan tempat itu memang diperuntukkan bagi yang terluka parah. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan masuk, atau hanya orang yang berkepentingan saja, itupun jika mendapatkan izin dari para prajurit yang bertugas.

Ada yang menarik perhatian Ki Rangga Sabungsari setelah mengedarkan pandangan matanya. Pada tempat pembaringan kedua dari ujung, sepertinya dia mengenali ciri-ciri orang yang terbaring diam tersebut, namun dia masih ragu.

“Maaf Kyai, siapakah yang terbaring diam kedua dari ujung?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari sembari menunjuk dengan jari tangan kanannya.

Tabib yang ditanya pun secara naluriah memalingkan mukanya ke arah yang ditunjuk. Kemudian dia berusaha mengingat siapakah orang yang terbaring tersebut.

“Jika aku tidak salah, dia adalah Ki Prastawa”.

“Ki Prastawa?’. sahut Ki Rangga Sabungsari terkejut. Lanjutnya, “Ki Prastawa dari Tanah Perdikan Menoreh, maksud Kyai?”.

“Benar Ki Rangga Sabungsari”.

“Apakah lukanya cukup parah?”.

“Cukup parah, hampir sama dengan yang dialami Umbara”.

“Pasti dia mendapatkan lawan yang memiliki kemampuan sangat tinggi, karena mampu membuatnya hingga terluka dalam yang cukup parah”.

“Demikianlah, Ki Rangga”.

“Aku yang tidak memiliki bekal kawruh pengobatan, hanya bisa membantu nenuwun untuk kesembuhan mereka. Maaf Kyai, jika  aku yang beristirahat lebih dulu”.

“Silahkan.. silahkan.. Ki Rangga”.

Sementara di dalam perkemahan khusus Kanjeng Sinuhun Mataram, masih berkumpul keempat Priyagung Mataram guna membicarakan langkah-langkah apa yang harus dilakukan setelah apa yang terjadi hari ini di medan secara keseluruhan.

“Bagaimana menurut Paman Pangeran bertiga sekarang? apa yang sebaiknya kita lakukan?”. bertanya pepunden Mataram mulai membuka pembicaraan.

Ketiga Pangeran Mataram itu tidak segera menjawab, tapi mereka saling melempar pandangan mata sebagai isyarat saling memberikan kesempatan lebih dulu yang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“Aku rasa perang kali ini bisa dikatakan sudah selesai, meski belum benar-benar selesai secara keseluruhan. Bukan maksudku untuk meremehkan, tapi jika berdasarkan keterangan dari para prajurit sandi sepertinya tidak ada lagi kekuatan yang akan mampu menahan Mataram. Kecuali jika tiba-tiba ada kejadian luar biasa”.

“Adimas Pangeran Pringgalaya benar, sepertinya kita tinggal perang pembersihan menghadapi laskar pasukan Wirasaba yang masih tersisa”.

“Aku rasa Wirasaba telah menyadari keadaannya pula, sehingga jika masih akan ada peperangan, sudah tidak akan sedahsyat pada hari pertama dan kedua saat pecah perang”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

“Tapi kita juga jangan pernah meremehkan sisa kekuatan Wirasaba, karena bisa saja mereka menjadi waringuten menghadapi kenyataan yang ada sehingga ada kemungkinan mereka akan bela pati hingga tetes darah penghabisan, justru itu sangat berbahaya. Bahaya bagi kita, bahaya pula bagi mereka sendiri”. sahut Pangeran Pringgalaya.

“Biar bagaimanapun kita masih harus selalu waspada dengan perkembangan yang ada di medan. Semua kemungkinan masih bisa terjadi, tapi yang pasti kita harus berusaha mengurangi korban sejauh mungkin yang dapat kita lakukan. Baik dari pihak Mataram maupun dari pihak Wirasaba”.

“Kakangmas Pangeran Puger benar, dan kita akan usahakan bertindak keras hanya kepada orang-orang yang keras kepala atau bahkan yang masih tetap membangkang saja”.

“Aku sependapat dengan Paman Pangeran bertiga. Karena niat kita untuk memperluas wilayah Mataram itu bukan bermaksud untuk dapat berbuat sewenang-wenang terhadap wilayah yang kita taklukkan, kita memperluas bumi Mataram adalah bermaksud untuk memperluas keluarga besar Mataram dengan segala paugerannya yang berlaku”.

“Yang Maha Agung menciptakan kita semua sebagai manusia dengan dibekali rasa, cipta, karsa, dan karya sebagai pembeda kita dengan makhluk ciptaan yang lain. Sehingga semua itu membuat kita bisa hidup berdampingan dengan segala paugeran yang ada, baik yang secara tertulis maupun yang hanya tersirat”. sahut Pangeran Pringgalaya.

“Kita pasti dapat membayangkan, bagaimana jika seandainya kita hidup di dunia ini tanpa segala paugeran yang berlaku? bukankah hidup ini akan menjadi sangat kacau karena tidak ada pengekang kendali sama sekali?”.

“Benar sekali apa yang dikatakan Kakangmas Pangeran Puger. jika sudah demikian maka akan terjadi kejahatan dimana-mana, yang kuat merasa semakin berkuasa dan yang lemah menjadi semakin tertindas karena keterbatasannya”.

Sementara dari kejauhan sesekali masih terdengar hewan malam pada waktu yang semakin mendekati matahari terbit dengan suasana sunyi berselimutkan kabut. Kabut yang sewajarnya dan bukanlah kabut sebab pancaran sebuah ilmu.

“Sebaiknya kita segera beristirahat! meskipun hanya tersisa barang sekejap, tapi cukup menyegarkan tubuh kita yang lelah. Lagi pula nanti tenaga kita masih dibutuhkan”. berkata Panembahan Hanyakrakusuma mengalihkan pembicaraan.

Kemudian mereka berempat segera bergegas ke tempat peristirahatannya masing-masing meskipun mereka pun menyadari bahwa waktu semakin menipis untuk beristirahat.

Terlihat para prajurit yang sedang bertugas tidak pernah melalaikan tugas yang mereka emban. Dengan secara bergiliran mereka bahu-membahu melaksanakan tugas dari pepunden mereka dengan penuh tanggung jawab.

Perasaan lelah secara lahir dan batin tidak menjadi alasan bagi para prajurit yang masih bertugas untuk bermalas-malasan dalam menjalankan tugas.

“Sepertinya perjuangan kita sudah mulai terlihat tanda-tanda hasilnya”. celetuk salah satu prajurit Mataram yang sedang bertugas bersama kawannya.

“Ya.. jika kita melihat perkembangan terakhir, sepertinya memang demikian. Namun segala kemungkinan masih bisa saja terjadi”. sahut kawannya.

“Jika kita saling berhitung kekuatan masing-masing, sepertinya Mataram masih dapat membusungkan dada. Karena keberadaan Panembahan Hanyakrakusuma dan tiga Pangeran yang menyertainya masih dalam keadaan segar”.

“Tapi kita belum tahu seluruh kekuatan Wirasaba, siapa tahu mereka masih menyimpan kekuatan yang sangat nggegirisi dan baru mereka tampilkan nanti”.

“Tapi menurutku kemungkinan itu sangat kecil sekali, mengingat Ki Patih Rangga Permana sendiri sudah turun ke medan. Jika benar apa yang kau katakan, tentu kekuatan itu tampil sebelum Patih Wirasaba menjadi Senopati Agung”.

“Benar juga apa yang kau katakan, meski semua yang kita bicarakan ini masih sebatas kemungkinan menurut kita”.

“Bukankah secara penalaran wajar memang demikian?”.

“Ya.. ya.. “.

“Semoga saja nanti sudah tidak ada lagi korban setelah apa yang terjadi hari ini”.

“Aku harap juga demikian, aku lelah jika harus melihat korban yang bergelimpangan di medan. Aku merasa manusia itu seperti sudah tidak berharga lagi dalam kehidupan bebrayan ini jika sudah dalam keadaan demikian”.

“Sebuah gegayuhan yang harus dibayar dengan pengorbanan yang mahal, bahkan terlalu mahal menurutku. Karena gegayuhan itu berpijak di atas banyaknya nyawa yang harus melayang”.

“Tapi kita tidak dapat berbuat lain selain apa yang kita lakukan sekarang. Karena prajurit seperti kita ini hanya bisa menjalankan perintah dari pepunden, tanpa bisa mempertimbangkan apalagi sampai menolak perintah”.

“Sebuah dilema dalam sebuah pengabdian yang utuh”.



–o-0-O-0-o– 


Bersambung ke

Djilid

11




Padepokan Tanah Leluhur


Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar