PdTL 21

 



PRAHARA

di

TANAH LELUHUR


Djilid

21

MD  Prastiyo

cover :

M   Faruk



Editing dan profreading Adiwaswarna & Putut Risang

Padepokan Gagakseta  2


KATA  PENGANTAR


Cerita ini disusun bukan bermaksud untuk menyamai atau bahkan mensejajarkan diri dengan sang maestro pujangga. Karena penulis yang sedang belajar sangat menyadari jika masih jauh dari semua itu

Karya ini murni dibuat, atas dasar kekaguman penulis kepada sang maestro pujangga yang telah mendahului kita menghadap Yang Maha Agung.

  Penulis menyadari sepenuhnya jika penulis masih sedang belajar dan perlu bimbingan dari Ki dan Nyi sanak semua. Penulis sangat berterima kasih jika Ki dan Nyi sanak semua berkenan memberikan pencerahan kepada penulis, agar tulisan semakin berkembang lebih baik.

Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin tidak bisa memenuhi keinginan semua pembaca. Hal ini semata karena kurangnya referensi dan pengalaman menulis. Jika di dalam cerita silat ini masih banyak kejanggalan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.


TERIMA  KASIH



Padepokan Tanah Leluhur


Januari,  2025


* * * * *

“Kau benar, Glagah Putih. Sebagai seorang prajurit kau harus selalu siap dengan tugas apapun yang bakal kau emban dari pepundenmu tanpa dapat memilih apalagi menolak, dan itu sudah kau sadari sejak kau pertama menjadi seorang prajurit”. berkata Ki Agung Sedayu.

“Iya Kakang”.

“Apakah masih ada yang ingin kau katakan?”.

“Sepertinya tidak ada, Kakang. Sebab aku rasa semuanya sudah jelas, dan aku hanya tinggal menunggu perintah dan petunjuk selanjutnya”.

“Baiklah, jika demikian sebaiknya kau segera mempersiapkan diri untuk menjalani Laku Kungkum. Sebab sekarang waktu sudah semakin malam”.

Selesai berkata demikian, Ki Agung Sedayu meraih salah satu bumbung kecil yang terselip di ikat pinggangnya, lalu segera mengeluarkan isinya.

“Sembari aku menunggu kau mempersiapkan diri, aku akan memusatkan nalar budi guna mempercepat memperbaiki keadaanku yang masih sangat lemah ini”.

“Sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu aku persiapkan, Kakang”. sahut Ki Lurah Glagah Putih dengan penuh keyakinan.

“Baiklah, kalau begitu aku minta waktu sebentar untuk pemusatan nalar budi”.

Tanpa menunggu jawaban, Ki  Agung Sedayu segera menelan sebutir obat yang masih di tangannya, lalu memperbaiki letak duduknya dan dilanjutkan dengan memusatkan nalar budinya hingga ke tataran puncak.

Orang-orang yang berada di pendapa itu segera tanggap apa yang sedang dilakukan ayah Bagus Sadewa itu membutuhkan suasana yang tenang, sehingga untuk sementara mereka harus menunda pembicaraan dulu untuk beberapa saat.

Sebagai  orang yang berilmu tinggi, Ki Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk dapat segera mencapai tataran puncak pemusatan nalar budi.

Sejenak kemudian mulai tampak perubahan pada tubuhnya, meskipun dari raut wajahnya terlihat tenang. Namun semakin lama tubuh itu nampak bergetar dan mulai mengeluarkan peluh di sekitar wajahnya yang mulai menegang pula.

Getaran pada tubuhnya itu semakin lama semakin kuat, namun tidak pernah terlihat tanda-tanda bahwa pemusatan nalar budinya akan terganggu.

Sementara keringat mulai bercucuran dari wajahnya meski pada malam tersebut udara dingin seakan sudah semakin menusuk kulit bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

Namun itu tidak berlangsung lama, sebab beberapa saat kemudian tubuh yang bergejolak itu semakin mereda disertai keringat yang mulai berkurang.

Tidak lama kemudian ayah Bagus Sadewa itu mulai mengurai pemusatan nalar budinya, dengan wajah yang mulai cerah setelah tadi sempat menegang beberapa lama.

Semua orang yang hadir di tempat itu hanya dapat menyaksikan dan pada akhirnya ikut merasa lega, sebab mereka tahu bahwa pemusatan nalar budi yang mereka lihat itu berhasil.

“Sepertinya Kakang berhasil dengan baik?”.

“Atas segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, pemusatan nalar budiku akhirnya dapat aku selesaikan dengan baik, Sekar Mirah”. sahut suaminya dengan suara perlahan.

“Apakah Kakang jadi ikut mengantar, Glagah Putih?”.

“Keadaanku sekarang sudah jauh lebih baik, Pandan Wangi. Jadi akan terkesan sangat deksura jika aku membiarkan Begawan Mayangkara mengantar Glagah Putih sendiri”.

“Ah… jangan merasa sungkan begitu kepadaku, Ki Agung Sedayu. Jika keadaanmu memang belum memungkinkan, sebaiknya kau jangan memaksakan diri”. sahut Begawan Mayangkara sembari senyum tersungging di bibirnya.

“Sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik, Begawan”.

“Syukurlah kalau begitu, jangan sampai rasa sungkanmu kepadaku itu berakibat kurang baik pada tubuhmu yang memang masih sangat lemah”.

“Semoga saja tidak”.

“Jika tidak ada lagi yang perlu kita lakukan lagi disini, aku rasa sebaiknya kita segera berangkat, agar kita tidak kemalaman tiba di  Rawa Pening”.

“Apakah kau sudah siap, Glagah Putih?”. sahut Ki Agung Sedayu sembari menoleh ke arah adik sepupunya itu.

“Sudah Kakang, aku sudah siap sejak tadi”. sahut ayah Arya Nakula dengan penuh keyakinan.

“Jika demikian, marilah kita segera berangkat”.

Kemudian ketiga orang itu berpamitan kepada ketiga perempuan yang hadir di tempat itu, karena mereka tidak diajak serta ke Rawa Pening guna mengantar Ki Lurah Glagah Putih menjalani sebuah laku prihatin.

Sebuah laku prihatin yang diharapkan akan mampu membantu mempercepat memperbaiki keadaannya yang masih sangat lemah dan tenaganya yang belum pulih, setelah beberapa waktu yang lalu harus berperang tanding.

Segala usaha patut diupayakan meski segalanya masih tergantung atas segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih atas setiap hamba-Nya yang hidup di dunia ini.

Setelah selesai berpamitan, maka kedua orang kepercayaan Mataram itu segera meletakkan salah satu tangannya di pundak kanan dan kiri Begawan Mayangkara.

Sebab dengan bantuan kemampuan Begawan aneh itu yang akan membawa mereka pergi ke Rawa Pening yang letaknya sangat jauh dari tempat tersebut.

Tidak lama kemudian, ketiga sosok itu secara perlahan mulai menghilang dari pandangan mata tiga sosok perempuan yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan tersebut.

“Prahara di tanah leluhur ini seakan tidak pernah ada habisnya”. desis ibu Bagus Sadewa, setelah suaminya hilang dari pandangan matanya.

“Kau benar, Sekar Mirah. Tetapi biar bagaimanapun kita tidak dapat membiarkan ketidakadilan terjadi di hadapan kita”.

“Aku sependapat dengan, Mbokayu. Tetapi ada kalanya apa yang kita lakukan itu adalah bagian dari gegayuhan para pepunden kita yang tamak akan kamukten”.

“Apa maksudmu?’. sahut ibu Bayu Swandana cepat, sembari mengerutkan keningnya.

“Aku tidak pernah keberatan jika kita harus menegakkan keadilan di atas tanah ini, tetapi bukankah Mbokayu dan kita semua tahu? bahwa di atas luasnya tanah ini terdapat para pemimpin yang memiliki wilayah masing-masing, tetapi mereka masih saling ingin menunjukkan pengaruhnya? bahkan mereka tidak memikirkan bahwa gegayuhan yang mereka perjuangkan itu nerak pacak nrajang tatanan”.

“Itulah kenyataan yang terjadi”.

“Para kawulanya hanya dapat sendika dawuh, tanpa dapat menolak apapun alasannya. Sebab bagi yang tidak sependapat dan tidak mau mendukung apa yang menjadi gegayuhan pepundennya, maka akan dianggap sebagai pembangkang atau bahkan lebih buruknya dapat dianggap sebagai pengkhianat”.

“Mbokayu Sekar Mirah benar, tapi begitulah nasib kawula alit seperti kita ini. Meskipun ada kalanya apa yang kita lakukan itu bertentangan dengan hati nurani kita, tetapi tetap saja kita harus melaksanakan titah dari pepunden kita itu dengan sebaik-baiknya”.

“Sempat pula terlintas di kepalaku tentang hal itu, kenapa para pemimpin besar di sepanjang luasnya tanah ini saling berseteru? padahal mereka telah memiliki wilayahnya masing-masing”.

“Memang tidak dapat digebyah uyah, Mbokayu Pandan Wangi. Tetapi kebanyakan manusia memang tempatnya tamak dan kurang bersyukur atas apa yang telah dimilikinya, meski apa yang dimilikinya itu sudah jauh lebih dari cukup”.

“Dan dari ketamakan itu menjadi pemicu gejolak prahara yang sering kita lihat dan kita dengan di sekitar kita”.

“Aku sependapat dengan Mbokayu berdua, karena berdasarkan yang aku tahu memang demikian. Prahara di sepanjang luasnya tanah ini adalah akibat dari ketamakan manusianya sendiri, terutama dari orang-orang yang memiliki pengaruh”.

“Entah sampai kapan prahara di tanah ini akan berakhir? sebab selalu saja ada orang-orang baru yang mengawali semua itu dengan alasannya masing-masing, dan begitu seterusnya”.

“Sepertinya kita sebagai manusia yang penuh dengan keterbatasan, pada akhirnya hanya dapat nenuwun. Semoga saja Yang Maha Welas Asih melindungi kita semua”.

“Mbokayu Pandan Wangi benar, kita tidak akan mampu untuk menghentikan semua itu, kecuali semua atas kehendak dari Yang Maha Agung”. sahut ibu Bagus Sadewa sembari menunduk.

Dari kejauhan samar-samar terdengar suara sekumpulan hewan malam yang berkeliaran di sekitaran tempat itu di malam yang sudah semakin larut.

“Jika Mbokayu berdua ingin beristirahat, beristirahatlah! kalian jangan merasa sungkan. Bukankah kalian lelah?”. berkata Nyi Anjani yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Aku memang merasa sedikit lelah, tetapi aku belum ingin beristirahat. Lagipula aku masih ingin menikmati udara malam di tempat ini”.

“Akupun demikian, Mbokayu. Jika kau ingin beristirahat lebih dulu, silahkan, Anjani”.

“Akupun belum merasa mengantuk, apalagi aku masih senang berbincang dengan Mbokayu berdua, sebab jarang sekali aku mendapatkan kesempatan seperti ini. Meskipun aku tidak lebih hanya dapat menjadi mendengar yang baik”.

Ternyata dinginnya malam tidak menghalangi ketiga perempuan perkasa itu untuk tetap duduk di pendapa yang tidak begitu besar, guna melanjutkan pembicaraan tentang apa saja yang menarik bagi mereka semua.

Begitulah kira-kira jika para perempuan sudah berkumpul menjadi satu, maka ada saja yang menjadi bahan pembicaraan yang dapat diungkapkan.

Pembicaraan itu terkadang membuat mereka mengerutkan kening sembari menahan nafas, tetapi di lain waktu dapat membuat mereka tersenyum dan bahkan hingga tertawa lepas hingga terpingkal-pingkal karena kelakar dari salah satu dari mereka.

Suasana pada malam itu benar-benar sangat cair, karena untuk sesaat mereka dapat melupakan segala beban yang ada di pundak mereka masing-masing. Apalagi kini sedang berada di tempat yang jauh dari padukuhan terdekat, sehingga tidak bakal mengganggu ketenangan para tetangga yang beristirahat.

*****

Sementara itu di salah satu sudut Kotaraja Mataram, malam itu Nyi Rara Wulan tampak masih berbincang pula dengan ketiga adik angkatnya yang mengawani. Sebab kedua orang tuanya, belum lama telah memasuki biliknya.

Rumah yang terlihat lebih besar dari rumah sekitarnya itu memang terlihat lebih hidup ketika malam tiba, sebab rumah itu terdapat beberapa orang yang bertugas berjaga secara bergiliran siang dan malam.

“Maaf Mbokayu, jika aku perhatikan. Mbokayu Rara Wulan masih tampak bersedih sejak kepergian Kakek Branjangan, apakah Mbokayu masih belum dapat merelakan kepergiannya?”. berkata Padmini membuka suara setelah beberapa saat mereka hanya saling berdiam diri.

Anak Ki Purbarumeksa itu menoleh ke arah orang yang bertanya dengan perlahan dan wajah masih tampak lesu, namun dirinya tidak sampai hati jika pertanyaan itu tidak dijawabnya.

“Aku memang merasa sangat kehilangan kakek, bahkan hingga saat ini aku belum mampu melupakannya begitu saja. Tetapi bukan berarti aku tidak merelakan kepergiannya”.

“Jika Mbokayu memang sudah merelakan kepergiannya, lalu kenapa Mbokayu masih saja tampak bersedih?”.

“Selain kepergian kakek memang telah mengguncang jiwaku, tetapi ada hal lain yang membuat hatiku hingga saat ini merasa kurang mapan”.

“Apakah karena kehadiran kami bertiga disini, yang membuat hati Mbokayu Rara Wulan merasa kurang mapan?”. sahut Padmini, mencoba memberanikan diri.

“Kau bicara apa, Padmini? kau jangan berpikir terlalu ngayawara seperti itu”. sahut Nyi Rara Wulan dengan suara meninggi.

“Maaf atas keterlanjuranku, Mbokayu”. sahut Padmini perlahan sembari menundukkan kepalanya, setelah menyadari bahwa apa yang telah dikatakannya ternyata salah.

“Aku tidak ingin mendengar semacam itu lagi, tidak hanya dari kau Padmini, tetapi juga dari Setiti dan Baruni”.

Ketiga perempuan itu hanya terdiam sembari menunduk dan tidak berani menyahut sepatah katapun ucapan dari mbokayu angkatnya tersebut.

“Meskipun kita tidak memiliki hubungan darah, tetapi atas jasa Ayah dan Ibu Citra Jati, kita semua dipersatukan. Meski secara lahir kita tidak lebih dari saudara angkat, tapi aku harap kita benar-benar dapat menjadi saudara yang seutuhnya. Maka dari itu, aku pun berusaha memperlakukan kalian sebagai adik-adikku”.

“Mbokayu… sekali lagi aku minta maaf, jika ucapanku tadi sangat menyinggung perasaan Mbokayu Rara Wulan”. sahut Padmini dengan raut wajah ketakutan.

“Kalian masih harus banyak belajar banyak hal, tentang apa dan bagaimana kehidupan bebrayan itu tetap dapat terjaga dengan baik. Di dalam hidup ini tidak cukup hanya ngangsu kawruh kanuragan saja, sebab banyak hal yang perlu pelajari pula agar kita dapat menjadi manusia yang seutuhnya”.

“Terima kasih Mbokayu sudah mau mengingatkan kami, semoga kami akan dapat selalu mengingat pesan-pesan itu dengan sebaik-baiknya”.

“Maaf Mbokayu Rara Wulan, jika kami boleh tahu. Apakah yang membuat Mbokayu masih bersedih dan merasa kurang mapan?”. sahut Setiti yang sejak tadi lebih banyak diam.

Ibu Arya Nakula itu tidak segera menjawab, sekilas dipandangnya adik angkatnya tersebut, lalu terdengar suara tarikan nafas panjang dari hidungnya. Sejenak kemudian menoleh ke arah lain dengan pandangan mata yang tampak sayu menghiasi wajahnya.

“Jika Mbokayu merasa keberatan untuk bercerita, Mbokayu tidak perlu menjawab pertanyaanku”. ucap Setiti lagi cepat, setelah melihat sikap kakak angkatnya tersebut.

Sejenak suasana memang menjadi hening, namun kemudian.

“Entah kenapa beberapa hari ini hatiku merasa kurang mapan jika teringat kakang Glagah Putih”.

“Oh… begitu rupanya”.

“Demikianlah Setiti”.

“Sebaiknya kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Agung agar kakang Glagah Putih selalu mendapatkan perlindungan-Nya dalam keadaan yang bagaimanapun, selain itu agar hati kita dapat menjadi lebih tenang pula, Mbokayu”.

“Tidak henti-hentinya aku telah panjatkan panuwunan dan aku pasrahkan semua ini kepada Yang Maha Welas Asih, namun tetap saja hatiku belum dapat merasa tenang. Mungkinkah…?”.

Tetapi ucapan Nyi Rara Wulan segera terputus, karena tiba-tiba perasaannya berusaha menepis jauh-jauh tentang prasangka yang kurang baik tentang suaminya yang sedang mengemban tugas berat sebagai seorang prajurit.

“”Sekarang aku mengerti apa yang membuat Mbokayu resah dan gelisah, tetapi Mbokayu jangan berprasangka dulu. Sebaiknya kita panjatkan panuwun dan meminta kawelasan kepada Yang Maha Welas Asih agar kakang Glagah Putih dan kita semua selalu mendapatkan perlindungan-Nya”.

“Mbokayu Padmini benar, agar kita tidak dibayangi kegelisahan yang tidak ujung pangkalnya. Sebaiknya kita perbanyak nenuwun, agar dapat membantu hati kita lebih tenang dalam menghadapi semua ini”. sahut Baruni, memberanikan diri ikut bersuara.

“Terima kasih, kalian telah membantuku mengusir belenggu kegelisahan yang tidak berdasar ini”.

Tiba-tiba Padmini yang duduk di sebelahnya berusaha memeluk mbokayu angkatnya yang masih bersedih menghadapi kenyataan yang masih belum ada kejelasan sama sekali.

Nyi Rara Wulan yang tanggap segera menyambut pelukan itu, dan kemudian diikuti oleh Setiti dan Baruni yang tidak mau ketinggalan untuk ikut berpelukan bersama.

Mungkin dengan cara itu akan mampu sedikit mengurangi kegelisahan mbokayu angkatnya yang menjadi merasa terharu akan sikap ketiga adiknya tersebut.

Tanpa terasa mata mereka tampak berkaca-kaca ketika mereka saling melepaskan pelukan itu, namun tak sepatah katapun terucap dari salah satunya.

*****

Sementara itu Ki Lurah Glagah Putih pada akhirnya telah tiba di Rawa Pening dengan diantar Begawan Mayangkara dan kakak sepupunya yang tubuhnya masih terlihat lemah.

Malam yang semakin mendekati puncaknya di bawah pancaran sinar bulan sabit yang tidak mampu menembus gelapnya malam di tepian Rawa Pening dan sekitarnya.

Namun keadaan tersebut bukan sebuah hambatan bagi ketiganya yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, karena pandangan mata mereka tak ubahnya seperti pada siang hari meski dalam belenggu kegelapan yang bagaimanapun gelapnya.

Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan, mereka lebih dulu mengetrapkan kemampuannya guna memeriksa keadaan sekitar dan ingin lebih memastikan bahwa tidak ada orang lain lagi di tempat itu selain mereka bertiga.

Setelah merasa yakin, maka ketiganya mulai mendekati tepian Rawa Pening dengan langkah wajar dan tenang. Sembari melangkah tiba-tiba Begawan Mayangkara mendongakkan kepalanya.

“Sepertinya kita tidak perlu tergesa-gesa”.

Tanpa sadar keduanya ikut mendongakkan kepalanya ke atas.

“Begawan benar, kita masih memiliki sedikit waktu untuk menunggu saatnya tiba Glagah Putih memulai menjalani laku”. sahut Ki Agung Sedayu.

“Aku sengaja mengajak kalian ke sisi selatan ini, sebab aku rasa disini airnya lebih dalam dan tidak banyak gangguan tumbuhan air yang tumbuh liar”.

“Terima kasih atas gagasan, Begawan. Dan aku percaya bahwa, tentu Begawan akan mencarikan tempat yang paling baik bagi Glagah Putih untuk menjalani laku, sebab Begawan sendiri sudah terbiasa menjalani laku prihatin yang bagaimanapun beratnya”.

“Kebetulan memang demikian”.

“Sudah lama aku hanya mendengar kawentarnya tempat ini, tapi baru kali ini aku mendapat kesempatan datang kemari. Meskipun kita datang pada malam gelap seperti sekarang ini, tetapi tidak mengurangi keindahan tempat ini”.

“Selain tempat ini memang sangat luas dan indah, Rawa Pening ini juga dapat memberikan kehidupan bagi penduduk sekitarnya. Sebab airnya dapat mengairi area persawahan di sekitarnya dan ikan yang berbagai jenis dapat dimanfaatkan menjadi bahan makanan”.

“Begawan benar, aku pun dapat melihatnya”.

“Selain itu, tumbuhan air seperti enceng gondok yang tadinya dianggap mengganggu, tetapi ternyata setelah tahu cara mengolahnya justru dapat dimanfaatkan menjadi barang-barang kerajinan, seperti keranjang dengan berbagai bentuk dan ukuran, caping, dan masih banyak lagi”.

“Luar biasa… dan ini adalah pengetahuan baru bagiku, karena ternyata tumbuhan air yang tumbuh liar itu dapat kita manfaatkan menjadi barang-barang yang sangat berguna”.

“Demikianlah Ki Agung Sedayu, banyak hasil alam ini yang sangat berguna bagi kita. Mungkin hanya kita saja yang belum tahu cara mengolahnya dengan sebaik-baiknya”.

“Begawan benar, alam ini sudah menyediakan segala apa yang kita butuhkan. Hanya tinggal kita saja yang dapat memanfaatkan dengan sebaik-baiknya atau tidak”.

“Tetapi ada pula yang memanfaatkannya secara berlebihan atau bahkan menyalahgunakan hasil alam hanya untuk memenuhi keinginan seseorang atau sekelompok orang”. sahut Ki Lurah Glagah Putih yang ikut menanggapi.

“Kau benar, Glagah Putih. Sebab beda orang, tentu beda pula isi kepala dan penalarannya, yang kemudian diwujudkan menjadi sebuah tindakan”.

“Ya… isi kepala setiap orang memang berbeda-beda”.

“Mungkin itu semua sudah menjadi pepesthen dari Yang Maha Welas Asih, siang malam, baik buruk, kaya miskin, laki-laki dan perempuan. Menurut penalaranku, semua itu tidak lain adalah untuk membuat keseimbangan dunia ini”.

“Aku sependapat, Begawan. Di dalam hidup ini memang butuh keseimbangan dengan saling terkait dan tidak dapat berdiri sendiri. Sebagai contoh kecilnya saja, kita tentu tidak akan dapat memiliki keturunan jika hanya ada laki-laki atau perempuan saja”.

“Ya… begitulah kira-kira”.

“Ada lapar, agar kita lebih menghargai rasanya kenyang. Ada sakit, agar kita lebih menghargai ketika sehat. Ada sedih, agar kita lebih menghargai ketika mengalami bahagia dan masih banyak lagi contoh yang lain”.

“Sebenarnya segala peringatan sudah ada di sekitar kita, tinggal bagaimana cara kita menyikapinya saja. Apakah kita masih sekedar menuruti perasaan atau berdasarkan penalaran yang wening”.

“Begawan benar, kita memang masih sering menuruti perasaan dalam setiap langkah laku kita, tanpa memikirkan segala akibat yang dapat terjadi di kemudian hari atas apa yang kita lakukan”.

“Semua itu kita kembalikan saja ke diri kita masing-masing, sebab yang bakal menuai apa yang kita tanam pada akhirnya adalah diri kita sendiri, bukan orang lain”.

Sejenak kemudian hanya terdengar sekumpulan hewan malam yang berada di tempat itu, sebab ketiga orang itu berdiam diri dalam penalarannya masing-masing.

Kemudian Begawan Mayangkara mendongakkan kepalanya guna melihat pertanda waktu saat itu dari tanda-tanda alam yang berada di luasnya hamparan langit gelap, namun berhiaskan bulan sabit dan bintang-bintang yang bersinar indah.

“Sepertinya sudah waktunya Ki Lurah Glagah Putih untuk bersiap menjalani Laku Kungkum”.

“Kau dengar itu, Glagah Putih?”.

“Iya Kakang, aku mengerti”.

“Apakah keadaanmu sudah lebih baik, Ki Agung Sedayu?”.

“Atas segala kemurahan Yang Maha Welas Asih, keadaanku sudah berangsur membaik, Begawan”.

“Syukurlah kalau begitu, tetapi jika keadaanmu memang belum memungkinkan, aku akan mencoba membantu Ki Lurah Glagah Putih dalam menjalani Laku Kungkum itu”.

“Aku sangat berterima kasih sekali atas kesediaan Begawan Mayangkara untuk membantu Glagah Putih, tetapi mungkin di lain kesempatan saja. Sebab jika aku terlalu memanjakan tubuhku ini, mungkin tenagaku akan pulih lebih lama lagi”.

“Baiklah jika itu kemauanmu, kalau begitu aku hanya akan menunggui kalian saja, sembari mengawasi keadaan di sekitar tempat ini, dan semoga apa yang kita lakukan ini tidak ada hambatan dan gangguan yang bagaimanapun bentuknya”.

“Terima kasih, Begawan Mayangkara”.

“Jika tenagaku tidak dibutuhkan, untuk sementara aku akan menyingkir dulu sembari mengawasi keadaan sekitar, dan aku akan kembali jika kalian sudah selesai”.

“Baiklah, terserah Begawan saja”.

Begawan yang terkenal aneh itu pun segera menyingkir dari tepian Rawa Pening, kemudian menghilang dari pandangan mata di kegelapan malam.

“Glagah Putih?’.

“Iya Kakang”.

“Bersiaplah dan mulailah Laku Kungkummu!”. ucap Ki Agung Sedayu memperingatkan adik sepupunya tersebut.

“Apakah ada hal khusus yang harus aku lakukan dalam Laku Kungkumku kali ini, Kakang?”.

“Tidak Glagah Putih, kau lakukan saja Laku Kungkum kali ini sebagaimana yang biasa kau lakukan, karena bagian lain biarlah menjadi urusanku”.

“Baik Kakang, aku mengerti”.

“Yang perlu kau ingat hanyalah, pusatkan saja nalar budimu hingga ke tataran puncak selama melakukan Laku Kungkum ini dan kau jangan terpengaruh apalagi terganggu dengan apa yang terjadi di sekitarmu”.

“Baik Kakang”.

“Jika nanti air di sekitarmu bergejolak atau bahkan hingga menggulung dan menyeretmu, kau ikuti saja dan jangan berusaha melawannya, tetap pusatkan saja pengetrapan nalar budimu”.

“Baik kakang”.

“Jika nanti kau tergulung dan berada di dalam air, maka tutup saja semua indramu yang mungkin akan dimasuki air Rawa Pening ini, tetapi yang paling penting adalah pemusatan nalar budimu jangan sampai terganggu sedikitpun”.

“Baik Kakang, aku mengerti”.

“Jika pada kebanyakan Laku Kungkum itu dilakukan dengan duduk, tetapi kali ini kau tidak perlu duduk. Kau berdiri saja selama berada di dalam air.

Anak semata wayang mendiang Ki Widura itu tidak menyahut, namun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja untuk menanggapi petunjuk yang sedang disampaikan.

“Jika kau sudah mengerti apa yang harus kau lakukan, bersiaplah untuk memulainya sekarang agar kita tidak kehilangan waktu yang sangat berharga ini”.

Ki Lurah Glagah Putih tidak menjawab, namun segera melakukan apa yang telah dikatakan kakak sepupunya tersebut di bawah kegelapan malam disertai hawa dingin yang semakin menusuk kulit dan tulang.

Pada malam yang sudah hampir mendekati puncaknya dan hawa dingin yang semakin mencekam, namun tidak dapat menyurutkan tekad ayah Arya Nakula itu sedikitpun guna menjalani laku prihatin di dalam air yang tentu sangat dingin pula.

Ki Lurah Glagah Putih mulai memasuki air Rawa Pening dengan langkah perlahan, dan rasa dinginnya air itu semakin kuat menjalar ke setiap bagian tubuhnya yang kini mulai basah.

Semakin lama tubuh itu semakin terbenam di dalam air, hingga akhirnya sampai pada tempat yang dirasa tepat ketika air Rawa Pening telah menenggelamkan seluruh tubuhnya, kecuali kepalanya saja yang masih terlihat.

Andai saja yang akan menjalani laku itu bukanlah orang yang memiliki tekad kuat, tentu akan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan laku prihatin itu karena hawa dingin yang semakin menggigit, karena tubuh sudah terendam air.

Setelah dirasa sudah menemukan tempat yang tepat, Ki Lurah Glagah Putih segera mulai dengan pemusatan nalar budinya dengan tubuh tetap berdiri dan hampir seluruh tubuhnya terendam air kecuali bagian kepalanya saja.

Sementara Ki  Agung Sedayu pun segera mencari tempat bagi dirinya sendiri, yang dianggap tepat untuk duduk di sekitar tepian, dan agar tetap dapat memantau muridnya.

Kemudian dia duduk di sebuah rumput kering dan pandangan matanya tidak lepas untuk selalu memperhatikan segala gerak-gerik Ki Lurah Glagah Putih.

Sebab dirinya pun harus segera bersiap pula untuk memusatkan nalar budinya, sebagai sebuah upaya untuk membantu mempercepat kesembuhan dan pemulihan kembali tenaga seperti sedia kala dari adik sepupunya tersebut.

Kini justru suara bangkong dan beberapa hewan malam lainnya yang terdengar begitu ramai karena seakan saling bersahutan satu sama lain di sekitaran Rawa Pening pada malam yang sudah hampir mendekati puncaknya.

Ki Lurah Glagah Putih sudah memulai pemusatan nalar budinya dengan sikap berdiri di dalam air dan merapatkan kedua tangannya di depan dada dalam keadaan mata terpejam.

Hawa dingin yang semakin menggigit dan menjalar ke seluruh bagian tubuhnya, suara-suara yang berasal dari luar mulai diabaikan dan dalam hatinya hanya berpusat pada bagaimana memusatkan nalar budinya hingga ke puncak.

Memang hal itu tidak dengan serta merta mudah dilakukan meskipun dirinya adalah orang yang sudah berpengalaman dalam menjalani laku prihatin yang bagaimanapun bentuknya, sebab banyak hal yang dapat mempengaruhinya.

Dari keadaan tubuh, kebulatan tekad, keadaan lingkungan sekitar dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat mendukung atau bahkan menggagalkan sebuah laku prihatin.

Ki Agung Sedayu kini sudah duduk bersila dengan tenangnya di atas rerumputan kering sembari kedua tangannya sedakep, tetapi pandangan matanya tidak pernah lepas dari tempat muridnya yang berada di hadapannya.

Dengan keadaan tubuh yang masih sangat lemah dan ditambah hawa dingin yang seakan semakin menusuk-nusuk seluruh bagian tubuhnya hingga Ki Lurah Glagah Putih mendapat kesulitan untuk tetap menjaga tubuhnya dalam keadaan tenang dalam pengetrapan nalar budinya.

Tanpa sadarnya tubuh ayah Arya Nakula itu terus bergejolak menggigil karena menahan hawa dingin di sekujur tubuhnya yang semakin tak tertahankan.

Namun sikap pantang menyerah yang sudah tertanam sejak dirinya kecil lah, yang membuatnya bertekad untuk terus bertahan hingga batas kemampuannya, apapun yang terjadi.

Meskipun dirinya mengalami kesulitan dalam memusatkan nalar budinya dalam keadaan tersebut, namun setelah bersusah payah beberapa lama pada akhirnya berhasil pula.

Sebagai orang yang berilmu sangat tinggi, Ki Agung Sedayu dapat melihat dengan pasti apa yang terjadi terhadap muridnya tersebut. Maka dirinya pun segera bersiap dengan rencananya.

Murid tertua di antara murid-murid utama Swargi Kyai Gringsing itu pun mulai bersiap memusatkan nalar budinya, sebagai sebuah upaya untuk membantu muridnya. Membantu untuk mempercepat kesembuhan dan pemulihan tenaga seperti sedia kala, baik secara lahir maupun batin.

Rawa Pening yang tampak tenang itu tiba-tiba turun kabut, yang semakin lama semakin tebal. Namun setelah beberapa saat kabut itu hanya terpusat dimana Ki Lurah Glagah Putih berada.

Kabut itu kemudian membentuk seperti bulatan sebesar gardu perondan, dan seakan kabut itu membungkus keberadaan Ki Lurah Glagah Putih yang sudah mencapai tataran puncak dalam pemusatan nalar budinya.

Kabut itu mulai berputar, pada awalnya hanya perlahan, namun semakin lama semakin kencang bersama air Rawa Pening yang berada di sekitarnya.

Tiba-tiba terdengar ada suara dari balik kabut.

“Kau ambilah sikap duduk bersila, dalam pemusatan nalar budimu, dan untuk sementara tutuplah pernafasanmu agar tidak kemasukan air”.

Ki Lurah Glagah Putih tidak menjawab, meski tidak mudah untuk melakukannya. Namun dirinya berusaha segera melakukan apa yang didengarnya tersebut.

Setelah dirinya berhasil, kabut itu berputar semakin kencang sehingga membuat air di sekitarnya membentuk pusaran yang sangat dahsyat sekali.

“Tetaplah dalam pemusatan nalar budimu, apapun yang terjadi”. kembali terdengar suara, yang tidak lain adalah suara yang berasal dari Ki Agung Sedayu yang berada di tepian.

Sementara Ki Lurah Glagah Putih dengan sikap duduk bersila di dalam air dan di dalam belenggu kabut yang sangat tebal tetap berusaha memusatkan nalar budinya hingga tataran puncak dan berusaha mengabaikan segala apa yang terjadi di sekitarnya.

Tiba-tiba air yang seakan terbungkus kabut tebal itu mulai terangkat dan terus berputar dengan kencang dan dahsyatnya, namun anehnya tidak menimbulkan suara sama sekali.

Sejenak kemudian, bulatan kabut yang terangkat sekitar satu tombak dari permukaan air itu mulai memutar balikkan isi di dalamnya dengan putaran yang sangat kencang dan dahsyat.

Bahkan tidak cukup sampai disitu, dari kabut itu terlihat seperti memancarkan kekuatan yang tak kasat mata dari setiap sudutnya dan seakan menyerang Ki Lurah Glagah Putih yang masih tetap berdiam diri.

Ayah Arya Nakula sendiri dapat merasakan tekanan kekuatan yang sangat besar terhadap dirinya. Selain itu, sekujur tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung rambut seakan sedang ditusuki ribuan duri kemarung yang sangat tajam secara bersamaan.

Jika saja dirinya lupa bahwa sedang menjalani sebuah laku, maka tentu dirinya ingin berteriak sekuat tenaga karena rasa sakit yang begitu hebatnya.

Bahkan karena rasa sakit yang saking menderanya, menantu Ki Purbarumeksa itu hampir saja lupa pesan gurunya untuk tetap memusatkan nalar budinya.

Kejadian ini berlangsung cukup lama, meskipun sejak kecil dirinya sudah sering bermain dengan air, namun tetap saja membuatnya merasa kesulitan jika terlalu lama untuk tetap menutup jalur pernafasannya.

Ternyata kesulitan yang sedang dialami oleh Ki Lurah Glagah Putih ini tidak luput dari perhatian anak Swargi Ki Sadewa, sehingga pada akhirnya dia pun berkata melalui pancaran ilmunya yang berupa kabut tebal.

“Bernafaslah secara wajar, sebab aku sudah menyediakan ruang bagimu untuk dapat bernafas selama kau menjalani laku ini. Karena laku ini memerlukan waktu tidak sebentar”.

Dalam hati anak Swargi Ki Widura itu merasa lega karena dapat melewati kesulitannya yang pertama, meski kesulitan yang lain masih tetap saja sama dan tidak berkurang sama sekali.

Entah sudah berapa lama Ki Lurah Glagah Putih berada di dalam kabut yang berisi penuh air, dirinya hanya dapat pasrah dengan apa yang terjadi atas dirinya.

Keyakinan dirinya atas apa yang sedang dan bakal dilakukan gurunya itu telah membantunya untuk tetap tenang dalam menghadapi kesulitan dan kesakitan yang sedang dialaminya.

Apalagi ini adalah sebuah pengalaman baru baginya, sehingga tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya jika sekarang dirinya harus mengalami ini.

Setelah beberapa lama hal itu terjadi, rasa sakit itu masih saja sama dan tidak berkurang sama sekali. Hingga membuat tubuhnya justru mulai melemah.

Sebelum memulai laku itupun  tubuhnya masih sangat lemah, ditambah lagi harus menjalani laku yang sangat berat itu, maka membuat tubuhnya semakin melemah.

Jika saja dirinya tidak memiliki tekad yang kuat dalam menjalani laku, maka tentu dirinya sudah menyerah sejak tadi. Karena laku ini benar-benar berat bagi siapapun yang menjalaninya.

Meskipun sudah memiliki bekal kawruh kanuragan yang tinggi sekalipun, tidak dapat menjamin seseorang akan berhasil menjalani laku yang sedang dijalani oleh ayah Arya Nakula tersebut, karena memang sangat berat.

Namun setelah beberapa lama, gumpalan kabut yang berisi air sebesar gardu perondan itu mulai turun secara perlahan ke permukaan air Rawa Pening.

Hingga akhirnya benar-benar turun seperti semula, namun masih tetap dalam keadaan berputar dengan kencang, sehingga membuat air di sekitarnya membentuk pusaran.

Sejenak kemudian, kabut itu mulai memudar dengan perlahan pula, hingga akhirnya hilang tak berbekas sama sekali.

Kini dapat terlihat jelas sosok Ki Lurah Glagah Putih yang masih memusatkan nalar budinya dengan keadaan mata terpejam sembari kedua tangannya saling merapat di depan dada, sementara air di sekitarnya masih berputar membentuk pusaran.

Sejenak kemudian, terdengarlah suara kakak sepupunya.

“Kau sudah selesai, Glagah Putih”.

Namun tidak terdengar tanggapan ataupun jawaban dari mulut salah satu senopati kebanggaan Mataram tersebut, sehingga membuat kening Ki Agung Sedayu berkerut.

“Cukup Glagah Putih”. ucap ayah Sekar Wangi dengan suara yang jauh lebih keras dari sebelumnya.

Sebenarnyalah keadaan tubuh Ki Lurah Glagah Putih yang sudah sangat lemah itu sudah hampir tidak dapat mendengar suara, jika saja suara itu tidak lantang.

“Glagah Putih, sudah cukup lelakumu”. teriak Ki Agung Sedayu.

Sayup-sayup suami Nyi Rara Wulan itu dapat mendengar suara peringatan itu, namun tubuhnya yang sudah sangat lemah tidak memiliki tenaga lagi untuk menjawab.

Yang dapat dilakukannya hanyalah mengurai pemusatan nalar budinya dengan sangat perlahan, namun ternyata tubuhnya tidak memiliki tenaga lagi hanya sekedar untuk beranjak dari tempatnya menjalani laku.

Dalam keadaan demikian, tubuh yang sudah tidak berdaya itu mulai tenggelam ke dalam air yang sebenarnya hanya setinggi leher orang dewasa.

Ki Agung Sedayu yang tanggap akan keadaan muridnya, dengan tergopoh-gopoh segera menghampiri untuk menyelamatkannya dari air yang menenggelamkannya.

“Glagah Putih”. serunya, lalu segera berlari.

Kemudian Agul-Agulnya Mataram itu segera membawa muridnya tersebut ke tepian agar segera mendapat pertolongan sebagaimana seharusnya.

Kini tidak hanya seorang yang basah kuyup, tetapi dua orang. Namun itu tidak menjadi soal bagi Ki Agung Sedayu yang harus menyelamatkan muridnya.

Setelah berada di tepian, suami Nyi Pandan Wangi itu segera memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya hingga akhirnya adik sepupunya itu mampu sadarkan diri.

Sejenak kemudian, Ki Agung Sedayu meraih bumbung kecil yang ditutup dengan gabus, terselip di balik ikat pinggangnya. Berisi obat yang hampir selalu dibawanya kemanapun.

“Telanlah ini”. ucapnya, sembari membantu mengangkat kepala adik sepupunya yang terbaring di atas rerumputan.

“Atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, kau telah berhasil menjalani lakumu dengan baik”.

Ki Lurah Glagah Putih sudah dapat mendengar suara gurunya itu dengan baik, namun masih belum memiliki cukup tenaga hanya untuk sekedar menjawabnya.

“Aku tahu jika sekarang tentu tubuhmu sangat lemah, tetapi tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Sebab kau hanya memerlukan waktu yang cukup untuk pemulihan”.

Ki Lurah Glagah Putih yang masih kesulitan untuk membuka mulutnya, apalagi untuk bersuara. Hanya dapat menjawab ucapan gurunya dengan kedipan matanya yang masih sayu.

“Obat yang baru saja kau telah itu, akan membantu mempercepat pemulihan daya tahan tubuhmu”.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang sepertinya mencoba mendekati tempat keduanya berada, sebagai orang yang selalu berhati-hati terhadap keadaan, segera melihat ke arah sumber suara.

Hatinya langsung merasa lega setelah menyadari siapakah yang datang, keluar dari kegelapan di antara pepohonan dan semak belukar yang ada di sekitar tepian.

“Begawan Mayangkara, rupanya”.

Orang yang disebut namanya hanya tersenyum, menanggapi ucapan ayah Bagus Sadewa yang masih berjongkok di sebelah adik sepupunya yang terbaring lemah.

“Apakah kalian sudah selesai?”.

“Sudah, Begawan”.

“Apa kita kembali sekarang?”.

“Aku kira demikian, Begawan. Sebab kami berdua sudah basah kuyup, lagipula Glagah Putih perlu segera beristirahat agar tubuhnya cepat membaik”.

“Baiklah kalau begitu, marilah”.

Selesai berkata demikian, Begawan Mayangkara pun segera mendekati keduanya. Kemudian membantu mengantarkan mereka kembali ke Kendalisada.

*****

Sementara itu ketiga istri Ki Agung Sedayu rupanya masih belum pergi ke biliknya untuk beristirahat meski malam sudah semakin larut dan telah melewati puncaknya, mereka bertiga masih tampak gayeng berbincang tentang apa saja yang menarik bagi mereka.

Meski hawa dingin semakin menusuk kulit, namun tidak mampu menghalangi mereka untuk menikmati malam di salah satu puncak Gunung Kendalisada.

Hingga tanpa sadarnya, bahwa ketiga perempuan yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan itu, telah melewatkan waktu yang begitu panjang hanya untuk berbincang-bincang ngalor-ngidul.

“Apakah Mbokayu berdua tidak ingin beristirahat?”. berkata Nyi Anjani bertanya sekaligus mengingatkan.

“Apakah Glagah Putih memerlukan waktu sepanjang malam untuk menjalani Laku Kungkumnya?”. sahut Nyi  Pandan Wangi, yang justru balik bertanya.

“Aku kira tidak, Mbokayu. Sebab Laku Kungkum yang kali ini Glagah Putih jalani bukanlah Laku Kungkum yang seperti biasanya dilakukan oleh orang kebanyakan. Jadi kemungkinan, justru lebih cepat dari biasanya”.

“Ya… kau benar, Sekar Mirah. Aku hampir saja melupakannya, bahwa laku yang kali ini Glagah Putih jalani bukanlah laku seperti Laku Kungkum yang biasa dilakukan”.

“Apakah Mbokayu Pandan Wangi sudah mulai dihinggapi penyakit pikun?”. sahut Nyi Sekar Mirah lalu tertawa, yang kemudian disambut tawa pula oleh yang lain.

“Apakah karena alasan itu Mbokayu berdua tidak ingin beristirahat sekarang? dan berniat menunggui kedatangan Glagah Putih dan yang lain?”. ucap Nyi Anjani, setelah tawa mereka reda.

“Jika sesuai perkiraan, tentu tidak lama lagi mereka akan segera kembali. Kasihan jika pada saat mereka datang, tidak ada orang yang menyambut kedatangan mereka”.

“Mbokayu berdua tidak perlu khawatir, aku yang akan menunggu kedatangan mereka”.

“Kedatangan mereka tidak hanya memerlukan sambutan saja, Anjani. Tetapi tentu mereka membutuhkan sesuatu untuk dihidangkan, terutama bagi Glagah Putih”.

“Bukankah kita sudah mempersiapkannya sejak tadi? sehingga jika mereka kembali, aku tidak menjadi sibuk karenanya, sebab hanya tinggal memanasinya saja”.

“Apakah kau yakin akan menunggu mereka sendiri?”.

“Kenapa harus ragu? apakah Mbokayu Pandan Wangi  meragukan kemampuanku untuk melayani mereka dengan sebaik-baiknya?”.

“Tidak… bukan maksudku meragukanmu, Anjani. Tapi mungkin perasaanku saja yang merasa kurang mapan dan tidak sampai hati jika meninggalkanmu seorang diri”. sahut Nyi Pandan Wangi, yang memang memiliki watak keibuan yang kuat.

“Ah… aku jadi merasa seperti anak kecil, jika Mbokayu Pandan Wangi berkata demikian”. sahut Nyi Anjani dengan raut wajah sedikit memerah.

Sontak saja jawaban itu membuat ibu Bayu Swandana tidak dapat menahan tawanya, namun hal itu justru membuat Nyi Anjani merasa kebingungan.

“Apakah ada yang aneh pada diriku, Mbokayu?”. bertanya Nyi Anjani dengan kening berkerut.

“Tidak Anjani, tidak. Aku justru menertawakan diriku sendiri, mungkin ada benarnya pula, seperti apa yang telah kau katakan itu. Bahwa aku sempat menganggapmu seperti anak kecil”.

“Oh… begitu rupanya. Tapi aku dapat mengerti, sebab di antara kita, aku memang yang paling muda”. sahut Nyi Anjani yang kebingungan harus bagaimana bersikap.

Namun seketika pembicaraan itu harus terhenti, karena tiba-tiba panggrahita mereka yang sangat tajam menangkap sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.

Sehingga mereka pun segera terdiam, lalu mengetrapkan ilmu Aji Sapta Pangrungu dan Aji Sapta Panggrahita untuk memperjelas apa yang sebenarnya telah mereka tangkap.

Tidak lupa mereka pun meningkatkan kewaspadaan hingga tataran tertinggi terhadap segala kemungkinan yang bakal terjadi, namun hati tetap berusaha tenang dalam menyikapinya.

Tiga perempuan yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan itu sempat mengalami ketegangan sesaat, namun pada akhirnya mereka dapat bernafas lega setelah menyadari siapakah yang datang, pada waktu yang tidak sewajarnya tersebut.

Baru saja mereka dapat bernafas lega, tiba-tiba hati mereka kembali dibuat menegang. Namun kali ini penyebabnya berbeda dari yang sebelumnya.

Sebenarnyalah yang datang ke Kendalisada adalah orang-orang yang memang sedang mereka tunggu kedatangannya, namun sepertinya telah terjadi sesuatu.

Karena yang kini yang mereka lihat adalah suami mereka terlihat harus membopong adik sepupunya yang tampak terkulai lemah dan dalam keadaan basah kuyup.

“Glagah Putih?”. pekik Nyi Sekar Mirah yang tidak kuasa menahan diri lagi, melihat apa yang terjadi di depan matanya.

Semakin lama langkah kaki Begawan Mayangkara dan Ki Agung Sedayu semakin mendekati pendapa, tempat ketiga perempuan yang menunggu.

“Apa yang telah terjadi, Kakang?”. bertanya Nyi Sekar Mirah, setelah suaminya sudah berada di hadapannya.

“Nanti saja aku ceritakan”. sahut ayah Bagus Sadewa singkat, lalu menoleh ke arah istrinya yang paling muda.

Mendapat jawaban tersebut, Nyi Sekar Mirah hanya dapat terdiam dan tidak berani membantah lagi.

“Anjani? bukankah disini ada dua potong pakaian ganti?”.

“Iya Kakang, ada”.

“Tolong segera siapkan! aku akan membawa Glagah Putih ke gandok itu”. sahut Ki Agung Sedayu, yang segera melangkahkan kakinya dan tidak menunggu jawaban.

Seketika para penghuni rumah itu menjadi sibuk karena kedatangan Ki Lurah Glagah Putih yang dalam keadaan lemah dan tidak berdaya.

Dan tanpa disuruh, ketiga perempuan itu seakan sudah mengerti tugas apa yang harus mereka lakukan masing-masing. Nyi Anjani menyiapkan pakaian ganti yang diminta suaminya, sementara dua perempuan yang lain segera pergi ke dapur.

Meskipun mereka adalah para perempuan perkasa ketika berada di medan pertempuran, namun tidak pernah ada rasa canggung sedikitpun ketika harus menjalankan tugas di dapur sesuai kodratnya sebagai perempuan seutuhnya.

Tidak lama kemudian, Nyi Anjani pun segera menyusul ke gandok tempat suaminya membaringkan adik sepupunya, sembari membawa dua potong pakaian ganti.

“Aku akan menyiapkan minuman hangat dulu, Kakang”. berkata Nyi Anjani yang tanggap akan keadaan.

Lalu segera keluar kembali, guna memberikan kesempatan bagi suaminya untuk menggantikan pakaian adik sepupunya, yang entah masih dalam keadaan sadar atau pingsan.

Tidak lama kemudian, minuman hangat pun telah siap dihidangkan, Nyi Sekar Mirah membawa semangkuk ke gandok sembari ingin segera melihat keadaan ayah Arya Nakula.

Sementara yang lain membawa mangkuk-mangkuk minuman hangat itu beserta beberapa potong makanan ke pendapa, dimana Begawan Mayangkara telah duduk menunggu.

Ketika Nyi Sekar Mirah memasuki gandok, suaminya sudah selesai mengganti pakaian adik sepupunya dan dirinya sendiri yang juga basah kuyup.

“Aku hanya membawakan minuman hangat bagi Glagah Putih, minuman Kakang mau aku bawakan kemari atau di pendapa saja?”. bertanya ibu Bagus Sadewa, sembari meletakkan nampan yang dibawanya di atas sebuah dingklik sebelah pembaringan.

“Ya sudah, di pendapa saja tidak apa-apa. Lagipula tidak lama lagi aku selesai”. sahut Ki Agung Sedayu tanpa menoleh ke arah istrinya yang baru saja datang.

Kemudian ayah Bagus Sadewa mengangkat tubuh adik sepupunya itu agar terduduk, lalu menyandarkannya ke dinding agar tetap dalam keadaan duduk.

Nyi Sekar Mirah yang tanggap segera membantu kesulitan adik sepupu suaminya itu untuk menahan agar tetap dalam keadaan duduk, supaya dapat minum dengan baik. Sementara suaminya yang menyodorkan mangkuknya.

Sebab Ki Lurah Glagah Putih harus minum, minuman hangat itu meski hanya beberapa teguk, agar tubuhnya segera menjadi lebih segar, setelah selesai menjalani laku yang sangat berat.

Meskipun harus sedikit bersabar dan dengan cara perlahan-lahan untuk meneguknya, namun pada akhirnya semangkuk minuman hangat itu habis juga tak bersisa.

“Apakah Glagah Putih akan makan bubur halus sekarang, Kakang?”.

Mendapat pertanyaan itu Ki Agung Sedayu tidak segera menjawab, namun melihat dulu ke arah adik sepupunya yang sudah dibaringkan kembali.

“Aku rasa nanti saja, setelah dia bangun dengan sendirinya. Sebab jika melihat keadaannya sekarang, tentu Glagah Putih akan kesulitan untuk memakannya”.

“Baiklah kalau begitu”.

“Sebaiknya kita tinggalkan saja dia sendiri disini, agar dia dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya. Karena hal itu akan sangat membantu mempercepat pemulihannya”.

“Baiklah Kakang, marilah”. sahut Nyi Sekar Mirah sembari beranjak dari duduknya di bibir pembaringan.

Kemudian keduanya pun segera keluar dari gandok dan menuju pendapa, untuk bergabung bersama dengan yang lain, yang telah menunggu dengan dikawani minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Glagah Putih, Kakang? hingga dia benar-benar lemah tak berdaya? dan apakah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang sudah tidak dapat menahan diri lagi.

“Sebenarnya akupun ingin segera mengetahui keadaan Glagah Putih, tetapi kau sabarlah sedikit, Sekar Mirah. Biarkan Kakang Agung Sedayu minum dulu barang seteguk”.

Ki Agung Sedayu hanya dapat tersenyum mendengar ucapan kedua istrinya itu, lalu mengangkat mangkuk yang berisi minuman hangat itu untuk diteguknya.

“Ah…”. hanya itu yang keluar dari mulut dari anak Swargi Ki Demang Sangkal Putung, dengan wajah yang sedikit memerah.

“Silahkan Begawan Mayangkara, mari kita nikmati minuman hangat ini”. berkata ayah Sekar Wangi mempersilahkan.

“Silahkan Ki Agung Sedayu, silahkan. Aku justru sudah meminumnya sejak tadi”.

Setelah meneguk minuman hangatnya, Ki Agung Sedayu merasa tidak sampai hati jika harus menunda ceritanya tentang keadaan adik sepupunya tersebut, maka mulailah dia bercerita.

“Sebenarnya tidak ada yang perlu kita khawatirkan lagi akan keadaan Glagah Putih”.

“Bagaimana aku tidak khawatir? jika sekarang aku melihat keadaan Glagah Putih yang sangat lemah dan seakan tidak bertulang sama sekali, Kakang?”. sahut Nyi Sekar Mirah heran.

“Keadaannya sekarang memang sangat lemah, tapi ketahuilah, bahwa Glagah Putih hanya tinggal membutuhkan istirahat yang cukup untuk memulihkan tenaganya kembali seperti sedia kala”.

“Syukurlah kalau begitu, tadi aku sudah sangat tegang ketika melihat kalian kembali dengan Kakang membopong Glagah Putih dalam keadaan lemah tak berdaya”.

“Aku dapat mengerti jalan pikiranmu, Sekar Mirah. Apa yang dialami oleh Glagah Putih itu adalah akibat yang wajar dari sebuah laku yang sangat berat. Tapi percayalah, bahwa dalam keadaanya sekarang tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, dia hanya butuh istirahat yang cukup agar dapat segera pulih”.

“Apakah sekarang Glagah Putih sudah tidak memerlukan pengobatan lagi, Kakang?”.

“Berdasarkan bekal kawruh dan pengalamanku tentang pengobatan, aku kira tidak perlu lagi. Tetapi entah dengan pendapat Begawan Mayangkara, yang jauh lebih mengerti tentang kawruh pengobatan”.

“Aku kira pendapatku juga sama, Ki Agung Sedayu”.

“Syukurlah kalau begitu”. sahut Nyi Sekar Mirah.

“Jika kalian tidak memerlukan tenagaku lagi, aku pamit ingin pergi dulu karena ada keperluan”.

“He…? apakah Begawan Mayangkara tidak ingin beristirahat dulu barang sejenak? mumpung masih ada waktu sebelum ayam berkokok dan matahari terbit di sisi timur?”.

“Aku dapat melakukannya di tempat lain”.

“Baiklah jika demikian, aku mewakili seluruh keluargaku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala pertolongan Begawan Mayangkara terhadap kami semua”.

“Aku hanya sekedar menjalankan kewajiban terhadap sesama”.

“Kami mengerti, Begawan. Tapi biar bagaimanapun kami tetap wajib berterima kasih atas segala kebaikan dan pertolongan Begawan terhadap kami sekeluarga”.

“Baiklah… sama-sama, Ki Agung Sedayu. Sepertinya sudah waktunya aku pergi sekarang”.

“Silahkan Begawan Mayangkara, semoga Yang Maha Welas Asih senantiasa melindungi perjalanan Begawan”.

“Hati-hati Eyang”.

“Terima kasih Anjani dan semuanya”.

Selesai berkata demikian, Begawan Mayangkara yang sedang duduk bersila di pendapa itu pun segera merapatkan kedua tangannya di depan dada guna memusatkan nalar budinya.

Sejenak kemudian, Begawan yang terkenal sangat aneh dan berilmu sangat tinggi tersebut secara perlahan mulai kabur dari pandangan mata dari orang-orang yang ada di hadapannya, hingga akhirnya benar-benar menghilang tak berbekas sama sekali dari tempat duduknya.

Beberapa saat mereka masih sempat tertegun melihat pemandangan yang tidak biasa tersebut, sebagai sebuah bentuk kekaguman mereka atas kemampuan seseorang yang sulit dicari bandingnya di jagad padang ini.

“Kita sangat beruntung”. desis Ki Agung Sedayu tanpa sadarnya.

“Maksud Kakang?”. sahut Nyi Pandan Wangi yang kebetulan duduk di sebelah kanannya.

“Ya… kita sangat beruntung, dapat bertemu dengan Begawan Mayangkara yang telah banyak berjasa bagi keluarga kita”. sahut ayah Sekar Wangi sembari menoleh ke arah istrinya yang kedua.

“Kakang benar, Yang Maha Welas Asih telah mengirimkan Begawan Mayangkara sebagai lantaran untuk membantu kesulitan yang harus kita hadapi, terutama yang baru saja terjadi pada Glagah Putih yang membuat kita sampai kehilangan akal untuk mengatasi semua itu”.

“Meski Eyang Mayangkara banyak dibicarakan orang sebagai seorang Begawan yang sangat aneh, tapi pada kenyataannya dia adalah sosok yang sangat baik dan peduli terhadap sesama bagi orang yang sudah benar-benar mengenalnya”.

“Meski aku baru saja mendapat kesempatan untuk mengenalnya secara pribadi, tetapi aku kira aku sependapat denganmu, Anjani. Begawan Mayangkara adalah seorang yang memiliki kepribadian yang sangat baik”. sahut ibu Bagus Sadewa.

“Orang yang berilmu sangat tinggi memang kebanyakan sering terkesan aneh bagi orang lain, sebab langkah lakunya sering tidak terduga. Apalagi bagi orang yang belum benar-benar mengenalnya secara pribadi”.

“Aku sependapat dengan Kakang, memang begitulah penilaian orang-orang di sekitar kita terhadap orang yang berilmu sangat tinggi. Seperti dulu contohnya adalah Swargi Kyai Gringsing”.

“Mbokayu Pandan Wangi benar, dulu  semasa hidupnya Swargi Kyai Gringsing senang sekali berganti nama dan keadaan dalam penyamarannya, karena tujuan tertentu”.

“Kalian benar, guru memang adalah salah satu orang yang berilmu sangat tinggi dengan segala keanehannya, bahkan mungkin orang yang paling aneh yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Tetapi dibalik semua itu, dia adalah pribadi yang sangat baik”.

“Apakah kalian tidak ingin beristirahat? dan akan menghabiskan sisa waktu sebelum fajar dengan berbincang-bincang saja?”. berkata Nyi Anjani mengingatkan.

“Apakah kita dapat beristirahat semua, atau perlu berbagi tugas untuk berjaga, Kakang? sebab nanti mungkin saja Glagah Putih terbangun dan memerlukan sesuatu”.

Sebelum menjawab, ayah Bagus Sadewa itu melihat ke arah kejauhan, ke arah luasnya langit yang terhampar untuk mengetahui waktu pada saat itu.

“Jika melihat keadaannya, aku rasa Glagah Putih tidak akan terbangun sebelum fajar menyingsing, sebab tidak lama lagi matahari akan terbit. Jadi sebaiknya kita beristirahat saja, meski hanya tinggal sejenak”.

“Baiklah kalau begitu, marilah Mbokayu”. sahut Nyi Sekar Mirah, sembari menarik tangan ibu Bayu Swandana agar segera bangkit.

“Kenapa tiba-tiba Mbokayu berdua menjadi tergesa-gesa untuk beristirahat?”. sahut Nyi Anjani dengan raut wajah heran ketika melihat kedua mbokayunya sudah berdiri.

“Bukankah kami harus menghormati tuan rumah?”. sahut ibu Bagus Sadewa dengan mimik wajah menggoda.

“Ah… Mbokayu Sekar Mirah mulai menggangguku”.

“Bukankah alangkah deksuranya jika aku dan Mbokayu Pandan Wangi yang sebagai tamu, merebut hak tuan rumah yang justru sedang garang-garangnya?”.

“Kalian bukan tamu disini, kalian tuan rumah pula di rumah ini”.

“Sudahlah Anjani, kau tidak perlu khawatir. Kami berdua tidak akan mengganggu kesenangan kalian malam ini, meski jika nanti akan melewati matahari terbit”.

“Ah… Mbokayu Sekar Mirah”. desah Nyi Anjani dengan rauh wajah yang sedikit memerah.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Nyi Sekar Mirah segera menarik ibu Sekar Wangi untuk mengawaninya beristirahat di sisa malam yang sudah hampir tinggal ujungnya, di gandok kanan yang kosong tak berpenghuni.

“Marilah Kakang”. ucap Nyi Anjani setelah hanya tinggal berdua.

*****

Sementara itu di waktu yang masih pagi-pagi sekali, di Jati Anom tepatnya di Padepokan Orang Bercambuk. Pagi itu para cantrik dan hampir seluruh penghuninya sudah tampak bangun dari tidurnya, kecuali yang mendapat tugas bagian jaga.

Mereka memulai hari baru dengan semangat baru meski harus melakukan tugas yang hampir sama seperti tugas di hari-hari sebelumnya yang dilakukan.

Bagus Sadewa pun sudah terbangun pula dari pembaringannya dan tampak sudah selesai mandi sekaligus mencuci bajunya di perigi, sebelum ramai oleh cantrik lain berdatangan.

Kemudian anak yang masih sangat muda itu menjalankan kewajibannya sebagai hamba-Nya terhadap Yang Maha Welas Asih bersama-sama kawannya yang sudah terbangun.

Meskipun dirinya adalah cantrik termuda di antara cantrik yang ada di padepokan itu, namun tidak membuatnya canggung untuk berbaur dengan yang lain secara wajar.

Tidak lama kemudian, dirinya pun segera bergegas mencari sapu lidi yang biasa dipergunakannya, lalu pergi menuju halaman yang sudah tampak kotor oleh dedauan kering yang berguguran dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.

Hampir bersamaan ketika anak yang masih sangat muda itu mulai menyapu halaman dengan langkah mundur, seperti yang dilakukannya selama ini.

Bayu Swandana tampak baru keluar dari biliknya sembari menguap lebar-lebar sembari meregangkan tubuhnya yang masih terasa kaku setelah bangun dari tidur.

Tanpa sadar cucu Swargi Ki Gede Menoreh itu sempat melihat Bagus Sadewa dari kejauhan ketika dirinya melangkahkan kakinya dengan perasaan malas menuju perigi.

“Apakah hanya sebuah kebetulan saja, dia sudah bangun sepagi ini? dan jika aku tidak salah lihat sepertinya dia sudah mandi pula?”. berkata Bayu Swandana dalam hatinya.

Namun sejenak kemudian dia tidak memperhatikan lagi saudara sambungnya itu, karena dirinya melanjutkan langkah kakinya meski sebenarnya rasa malas masih mengganggunya.

Tidak lama kemudian, tampak menyusul beberapa cantrik yang membawa sapu lidi pula untuk membantu menyapu halaman padepokan yang cukup luas jika hanya disapu seorang diri.

Para cantrik padepokan yang pada awalnya menyapu dengan berjalan maju, kini mencoba menyesuaikan diri dengan menyapu sembari berjalan mundur seperti apa yang dilakukan oleh cantrik paling muda itu.

Meski pada awalnya mereka merasa canggung dengan kebiasaan barunya, namun setelah beberapa hari mencoba akhirnya mereka mulai terbiasa dengan cara baru tersebut.

“Apakah kalian tidak mendapat tugas yang lain? sehingga membantuku menyapu halaman ini?”.

“Justru sebenarnya inilah tugas kami, dan bukan tugasmu, adi Bagus Sadewa”. sahut seorang cantrik yang terlihat jauh lebih tua dari Umbara.

“Benarkah?”.

“Kau membuatku malu saja, kau yang tidak mendapat tugas malah mengerjakannya lebih dulu. Sedangkan kami yang mendapat tugas, justru datangnya belakangan”.

“Kenapa Kakang harus malu kepadaku? bukankah ini bukan sebuah kesalahan yang memalukan?”.

“Kami ini sudah jauh lebih lama nyantrik disini, selain itu umur kami pun lebih jauh lebih tua darimu. Tetapi kami seperti sedang baru belajar nyantrik saja di tempat ini”.

“Ah… Kakang terlalu berlebihan”.

“Bukankah apa yang aku katakan ini sama dengan apa yang sebenarnya terjadi?”.

“Sudahlah Kakang, marilah kita kerjakan bersama-sama agar pekerjaan ini lebih cepat selesai. Karena jika kita masih terus bicara maka hanya akan menunda pekerjaan kita”.

Kemudian pembicaraan itu pun harus terhenti karena mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga pada akhirnya dapat mereka selesaikan dengan baik.

“Setelah makan pagi, hari ini kalian mendapat tugas apa?”. bertanya Bagus Sadewa ingin tahu.

“Hari ini kami mendapat tugas ke sawah”.

“Apakah aku boleh ikut?”.

Dua cantrik yang paling tua di hadapan cantrik paling muda itu seketika menjadi saling pandang dan penuh tanda tanya di kepala mereka berdua.

“Kenapa Kakang berdua terdiam dan bersikap seperti itu? apakah ada yang salah dengan pertanyaanku?”.

“Tidak, Adi Bagus Sadewa, tidak”. sahut cantrik yang paling tua dengan suara terbata-bata.

“Lalu kenapa kalian bersikap seperti itu?”.

“Tidak apa-apa Adi Bagus Sadewa, tetapi sebaiknya kau minta izin dulu kepada Ki Agahan dan Ki Untara. Dan jika mereka mengizinkan kami pun akan merasa senang sekali”.

“Kakang berdua tidak perlu khawatir, tentu saja aku akan meminta izin dulu kepada paman Agahan dan paman Untara sebelum berangkat”.

“Syukurlah… kalau begitu”.

“Jika aku diizinkan, kapan kita akan berangkat?”.

“Kau nanti kami tunggu di dinding belakang bagian luar bersama kawan-kawan yang lain, setelah kita selesai makan pagi”.

“Baiklah… nanti aku akan menyusul kalian ke tempat itu setelah makan pagi dan meminta izin kepada paman Agahan dan paman Untara lebih dulu”.

“Baiklah Adi Bagus Sadewa, nanti kami tunggu”.

Sementara di tempat itu sudah mulai tampak terang karena sang fajar telah menyingsing di sisi sebelah timur sebagai pertanda bahwa hari baru telah dimulai.

Karena merasa pekerjaannya sudah selesai, maka bergabung dengan Ki Agahan dan Ki Untara dan beberapa cantrik utama Padepokan Orang Bercambuk, yang sudah berada di pendapa sejak beberapa saat tadi.

Meskipun dirinya adalah termasuk cantrik yang baru, tetapi karena pengaruh ayahnya, dirinya masuk dalam jajaran orang-orang utama di padepokan.

Bahkan para cantrik utama yang sudah nyantrik dalam waktu lama di padepokan itu akan merasa sungkan jika menyuruhnya untuk melakukan suatu pekerjaan.

Meski sebenarnya, dari keluarganya dan Bagus Sadewa sendiri tidak pernah ingin diperlakukan khusus oleh para penghuni Padepokan Orang Bercambuk.

“Apakah Anakmas Bagus Sadewa merasa kerasan tinggal di tempat ini?”. bertanya Ki Agahan setelah melihat anak yang masih sangat muda itu duduk di antara mereka.

“Iya Paman Agahan, aku kerasan. Apalagi aku merasa banyak kawan dan banyak yang dapat aku lakukan jika tinggal disini, sangat berbeda sekali jika aku tinggal di rumah”.

“Bukankah di Kademangan Sangkal Putung banyak pula kawan yang sebaya denganmu?”.

“Tidak banyak, Paman. Tetapi ada beberapa”.

“Apakah kau jarang bermain dengan kawan-kawanmu itu?”. bertanya Ki Agahan penasaran.

“Mungkin karena kami tinggal di rumah masing-masing jadi tidak banyak waktu untuk kami dapat bertemu dan bermain bersama, sehingga waktuku justru lebih banyak aku habiskan bersama para pengawal, sebab ibu pun sering keluar rumah”.

“Tentu akan berbeda sekali jika kau bermain dengan para pengawal atau bahkan dengan ibumu, jika dibandingkan kau bermain denga kawan-kawan sebayamu, Bagus Sadewa”. sahut ayah Bagaskara ikut menimpali.

“Paman Untara benar, tetapi tidak ada hal lain yang dapat aku kerjakan selain hanya itulah yang dapat aku lakukan selama di rumah. Dan itulah salah satu penyebabnya yang membuatku sering merasa kesepian jika berada di rumah”.

“Aku dapat mengerti perasaanmu, Bagus Sadewa. Itu adalah salah satu akibat wajar yang harus diterima oleh seorang anak yang memiliki orang tua yang memiliki kemampuan sangat tinggi dan memiliki tanggung jawab atas sebuah jabatan”.

Bagus Sadewa hanya terdiam mendengar ucapan kakak dari ayahnya tersebut karena tidak tahu harus menjawab apa untuk menimpalinya.

Sementara tiba-tiba datang Bayu Swandana yang tampak baru saja selesai membersihkan diri, lalu bergabung bersama dengan orang-orang yang sudah lebih dulu di pendapa.

“Sembari menunggu makan pagi siap, marilah kita nikamti dulu minuman hangat ini sembari membicarakan sesuatu hal, yang barangkali menarik”. berkata Ki Untara mempersilahkan.

Sejenak kemudian suasana di pendapa pun menjadi hening, karena mereka yang hadir sedang menikmati minuman hangat di tangan masing-masing.

“Maaf Paman Untara dan Paman Agahan, ada yang ingin ku sampaikan”. ucap anak Nyi Sekar Mirah itu tiba-tiba.

“Katakan saja, Anakmas Bagus Sadewa. Barangkali ada sesuatu yang dapat aku bantu”. sahut Ki Agahan, setelah meletakkkan mangkuk minumannya sembari tersenyum.

“Begini Paman, nanti setelah selesai makan pagi. Aku ingin meminta izin untuk ikut pergi bersama beberapa cantrik yang akan bekerja di sawah”.

“Apakah Anakmas Bagus Sadewa senang bermain dengan kotor-kotoran? sehingga ingin bermain-main dengan lumpur persawahan yang kotor?”. sahut Ki Agahan, lalu tertawa.

“Aku ingin belajar menjadi petani yang baik, Paman Agahan”.

“Apakah Ki Untara keberatan dengan permintaannya?”. bertanya Ki Agahan sembari menoleh ke arah ayah Bagaskara.

“Terserah kau saja jika itu memang maumu, Bagus Sadewa. Lagipula kau dapat mulai belajar bagaimana menjadi seorang petani yang baik, jika semua itu kau lakukan dengan penuh semangat, kesabaran, dan juga ketekunan”.

“Terima kasih Paman Untara dan Paman Agahan”.

“Sebagai seorang laki-laki, apakah dia tidak memiliki pilihan lain yang dapat dilakukan? selain bermain-main dengan kotornya lumpur persawahan?”. ucap Bayu Swandana dalam hati, mendengar pembicaraan itu.

“Apakah Anakmas Bayu Swandana tidak berminat pula? untuk ikut bermain kotor-kotoran dengan lumpur persawahan?”. bertanya Ki Agahan, sembari pandangan matanya ditujukan ke arah anak Nyi Pandan Wangi tersebut.

“Maaf Paman Agahan, aku kurang tertarik untuk ikut bekerja di sawah. Bagiku itu adalah pekerjaan yang kurang menantang”. sahut Bayu Swandana dengan suara perlahan, namun memancarkan keyakinan penuh.

Terdengar suara tarikan nafas panjang dari kedua sesepuh Padepokan Orang Bercambuk, lalu keduanya saling pandang dengan tatapan penuh arti.

“Lalu apa yang ingin kau kerjakan hari ini, Bayu Swandana?”.

“Jika aku diizinkan, aku ingin berburu, Paman. Sebab aku sudah cukup lama tidak melakukannya, apalagi disini, aku justru belum pernah berburu sama sekali. Bukankah masih ada hutan yang tidak jauh dari sini, Paman Untara?”.

“Ya… memang ada sebuah hutan tidak jauh dari tempat ini, meski bukanlah sebuah hutan yang besar, tetapi aku rasa masih banyak hewan buruan yang dapat kau cari”.

“Apakah Anakmas Bayu Swandana sudah sering melakukannya ketika masih berada di Tanah Perdikan Menoreh?”.

“Cukup sering, Paman. Meski tidak terlalu sering”.

“Aku persilahkan kau berburu, Bayu Swandana. Tapi sebelum kau berangkat, kau harus ingat pesanku”.

“Apa itu, Paman Untara?”.

“Berburulah hanya pada hewan-hewan yang memang pantas diburu, berburulah secukupnya dan jangan berlebihan, dan yang paling penting adalah jangan sampai dalam perburuanmu itu merusak alam di sekitarnya”.

“Baik Paman Untara, aku mengerti. Apakah di hutan itu masih terdapat binatang buas atau binatang berbisa?”.

“Aku kira masih ada, tetapi tidak banyak. Meski tidak banyak, tetapi sebaiknya kau harus tetap berhati-hati”.

“Baik Paman Untara, aku mengerti”.

“Justru Anakmas Bayu Swandana harus lebih berhati-hati terhadap ular berbisa, terutama pada ular pohon atau ular tanah. Sebab mereka sangat pandai menyamarkan keberadaannya, bahkan seakan seperti warna pohon dan warna dedaunan kering itu sendiri, sehingga kita sering terlambat menyadarinya”.

“Kau dengar itu, Bayu Swandana?”.

“Iya Paman Untara, aku mendengarnya”.

“Lalu kau akan pergi berburu dengan siapa?”.

“Karena rencana ini mendadak, aku belum tahu, Paman. Tetapi nanti siapa saja yang mau ikut, aku persilahkan”.

“Bukankah kau belum pernah memasuki hutan itu sama sekali?”,

“Memang aku belum pernah memasukinya, Paman Untara”.

“Kalau begitu, kau memerlukan kawan yang sudah mengenal hutan itu dengan baik. Agar membantu memudahkanmu pula dalam menjelajahinya”.

“Meski aku belum pernah memasukinya, tetapi aku rasa aku tidak akan menemukan kesulitan, meski langkahku belum segesit jika aku sudah mengenal seisi hutan itu dengan baik”.

Kembali lagi terdengar suara tarikan nafas yang dalam dari kedua orang tua itu, tetapi pada akhirnya mereka menyadari bahwa, buah tentu jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

“Tetapi dengan kau mengajak kawan yang telah mengenal seisi hutan itu dengan baik, akan lebih memudahkanmu untuk menjelajahi tempat-tempat rungkut dan sempit, yang mungkin disitu terdapat binatang buruan yang kau cari. Atau mungkin dapat pula memperingatkanmu, akan tempat-tempat yang berbahaya”.

“Baiklah Paman Untara”.

Tiba-tiba Ki Untara menoleh ke arah anak keduanya, yang duduk di samping kiri belakanngnya. Namun sejak tadi hampir tidak membuka suara.

“Bagaskara… bukankah kau sudah mengenal hutan kecil yang tidak jauh dari sini itu dengan baik?”.

“Iya Ayah”.

“Apa tugasmu hari ini?”.

“Membantu memperbaiki beberapa kandang ternak, yang berada di belakang itu, Ayah”.

“Aku rasa tugasmu itu dapat dilimpahkan kepada orang lain, dan sebagai gantinya kau kawanilah Bayu Swandana berburu ke hutan kecil itu, bukankah begitu, Ki Agahan?”.

“Ki Untara benar, memang sebaiknya jika Anakmas Bayu Swandana dikawani oleh orang yang sebaya dengannya, sebab jika dengan kawan yang jauh lebih tua dari umurnya, tentu dia akan merasa kurang mapan ketika berburu nanti”.

“Memang itulah maksudku, Ki Agahan”.

Namun pembicaraan itu akhirnya harus terputus, ketika datang seorang cantrik yang memberitahukan bahwa makan pagi sudah siap dihidangkan bagi para orang-orang penting dari Padepokan Orang Bercambuk yang sejak beberapa saat tadi sudah menunggu.

*****

Sementara pagi itu terlihat nampak cerah disertai udara yang masih sangat mmenyegarkan bagi tubuh siapapun yang sudah terbangun dari tidurnya.

Burung-burung pagi masih berkicau dengan riangnya di sekitaran tempat itu, sehingga membuat suasana menjadi ramai namun indah di telinga siapapun yang mendengarnya, meski hanya dapat mendengarnya samar-samar dari kejauhan.

Pagi itu Ki Patih Singaranu yang sedang berada di serambi sebelah kiri sembari menikmati minuman hangat telah dikejutkan oleh Pelayan Dalam yang datang menghadap.

Karena jika tidak ada sesuatu yang benar-benar penting, tentu tidak akan menghadap sepagi itu. Sebab waktu sepagi itu bukan waktu yang sewajarnya untuk datang menghadap Priyagung Mataram tersebut.

“Ada apa?”. bertanya Ki Patih Singaranu, ketika seorang Pelayan Dalam sudah berada di hadapannya.

“Ampun Ki Patih, jika hamba telah berani bersikap deksura dengan mengganggu ketenangan Ki Patih Singaranu. Hamba hanya melaksanakan tugas, hamba hanya ingin menyampaikan permohonan dari Ki Agung Sedayu untuk menghadap”.

“Ki Agung Sedayu katamu?”. desis Patih Mataram itu terkejut.

“Demikianlah, Ki Patih”.

“Baiklah… tolong sampaikan kepadanya bahwa aku menerima kedatangannya, dan aku tunggu disini”.

“Sendika dawuh, Ki Patih Singaranu”. sahut Pelayan Dalam itu sembari menghaturkan sembahnya, lalu beranjak dari tempatnya dan bergegas melaksanakan tugasnya.

Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang berumur sekitar paruh baya di serambi kiri Istana Kepatihan Mataram untuk menghadap pepundennya.

“Ampun Ki Patih Singaranu, jika hamba telah bersikap deksura dengan mengganggu ketenangan Ki Patih sepagi ini”. ucap orang itu sembari menghaturkan sembahnya ketika sudah berada di hadapan Priyagung Mataram itu.

“Kau tidak perlu bersikap berlebihan kepadaku, Ki Agung Sedayu. Tidak ada orang lain disini, selain hanya kita berdua”. sahut Ki Patih Singaranu mengingatkan.

“Terima kasih, Ki Patih”.

“Aku tahu bahwa kedatanganmu yang sepagi ini pasti membawa  sesuatu yang sangat penting yang akan kau laporkan, jika tidak kau tentu akan menunggu waktu menghadap yang sewajarnya”.

“Demikianlah, Ki Patih Singaranu”.

“Katakanlah, laporan apa yang kau bawa itu?”.

“Pertama aku ingin melaporkan, bahwa atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, kini keadaan Glagah Putih sudah semakin membaik. Dan secepatnya sudah dapat mengemban tugas berikutnya”.

“Syukurlah… aku ikut senang mendengarnya”.

“Sementara baru itu yang dapat aku laporkan, Ki Patih Singaranu. Tetapi selain itu, kedatanganku kemari adalah bermaksud ingin mendengar keterangan tentang perkembangan yang terjadi, agar nanti aku tidak salah dalam bersikap”.

“Kebetulan sekali, akupun sudah menunggu kedatanganmu, Ki Agung Sedayu. Karena memang ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, terkait lawatan Pasukan Mataram ke Wirasaba”.

“Ada apa, Ki Patih?”.

“Berdasarkan laporan dari para prajurit sandi, ternyata Pasukan Surabaya yang berusaha menyerang Pasukan Mataram ternyata lebih banyak dari laporan yang sebelumnya. Hal ini membuat kita harus berhitung ulang, agar Pasukan Mataram jangan sampai menjadi bebanten dan  ndeg pengamun-amun”.

“Jika demikian yang terjadi, kita memang harus berhitung ulang, Ki Patih Singaranu”. sahut ayah Sekar Wangi dengan suara perlahan dan kening berkerut.

“Itulah yang harus kita pikirkan bersama-sama, sebab aku merasa tidak mampu jika harus memikirkannya sendiri”.

Sejenak kemudian keduanya menjadi terdiam karena sibuk dengan penalaran masing-masing guna mencari cara yang paling baik untuk menghadapi masalah yang sedang dan bakal mereka hadapi bersama.

“Pasukan Mataram yang berada di Kotaraja sudah tidak memungkinkan lagi untuk dikurangi, begitu pula Pasukan Mataram lain yang berada di kesatuan-kesatuan di bawahnya. Sebab tidak mungkin jika prajurit yang tersisa harus diberangkatkan, karena itu akan menimbulkan kekosongan”.

“Aku mengerti, Ki Patih Singaranu. Cara yang paling baik adalah kita harus mencari cara lain untuk mengatasi hal itu, dan hal itu harus dapat kita lakukan dengan segera. Karena jika terlambat, maka semua itu hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan saja”.

“Begitulah, Ki Agung Sedayu”.

“Memang sebuah pilihan yang sulit, tetapi kita harus segera menemukan jalan keluarnya”. sahut ayah Sekar Wangi, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan.

“Dan kita harus mengupayakan pasukan yang benar-benar memiliki kelebihan, maaf bukan maksudku untuk merendahkan, tetapi pasukan yang kita cari bukanlah sekedar pasukan yang tataran kemampuannya sepadan dengan para pasukan Pengawal Kademangan”.

“Aku mengerti, Ki Patih Singaranu. Akupun juga tidak ingin jika pasukan yang akan kita berangkatkan kemudian ini hanya akan menjadi bebanten peperangan saja. Mereka harus dapat berbuat sesuatu ketika pecah perang”.

“Syukurlah jika kau mengerti”.

“Mungkin cara yang dapat kita tempuh adalah dengan mengumpulkan orang-orang yang memiliki kelebihan, tetapi yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah kemanakah kita akan mencari mereka dalam waktu yang sangat singkat ini?”.

“Itulah kesulitan yang harus kita hadapi sekarang”.

“Maaf Ki Patih, lalu kapan pasukan itu akan diberangkatkan?”.

“Berhubung kita sedang dikejar waktu, jika pasukan itu memang sudah ada, maka harus secepatnya kita berangkatkan. Agar tidak terlambat untuk bergabung dengan pasukan yang sudah ada”.

Keduanya kembali terdiam beberapa saat, karena keduanya masih nampak kebingungan dengan apa yang harus dikatakan selanjutnya, namun tiba-tiba.

“Mungkin kita dapat menggerakkan para cantrik dari Padepokan Orang Bercambuk”.

“Padepokan Orang Bercambuk?”. desis Ki Patih Singaranu sembari menimbang-nimbang.

“Benar Ki Patih”. 

“Aku justru hampir melupakan keberadaan padepokan itu di bumi Mataram ini”.

“Lalu ada berapakah orang yang mungkin dapat diberangkatkan dari Padepokan Orang Bercambuk? menurut perkiraanmu?”.

“Tentu saja tidak seluruh cantrik padepokan, Ki Patih Singaranu, hanya para cantrik pilihan saja yang dapat kita berangkatkan untuk mengemban tugas yang sangat berat ini”.

“Aku mengerti, Ki Agung Sedayu. Sudah barang tentu kita tidak dapat memerintahkan seluruh penghuni padepokan itu. Lalu ada berapakah orang yang kira-kira dapat diberangkatkan? menurut sejauh yang kau tahu? ”.

“Aku belum tahu pasti, Ki Patih. Berdasarkan perhitungan awamku sementara, kemungkinan ada dua puluh orang yang layak diberangkatkan. Tetapi akan lebih jelas dan pastinya, setelah aku mengunjungi padepokan itu dan bertanya langsung kepada Ki Agahan selaku pemimpin Padepokan Orang Bercambuk”.

“Meski itu sudah termasuk banyak jika dilihat bahwa mereka itu berasal dari sebuah padepokan. Tapi untuk menghadapi sebuah perang, aku rasa kita masih kekurangan jumlah. Apakah kau masih dapat mencari tambahan lagi, Ki Agung Sedayu?”.

“Jika keadaannya memang memaksa, dan Ki Patih tidak merasa keberatan. Bagaimana jika kita menyertakan pula perempuan dalam perang kali ini?”.

“Perempuan?”.

“Benar Ki Patih Singaranu”.

“Aku baru ingat, bahwa ketiga istrimu itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi”.

“Dan aku akan mengajak pula Rara Wulan, yang kebetulan sekarang masih berada di Mataram, di rumah orang tuanya. Sehingga kita tidak akan kesulitan dan kehilangan banyak waktu untuk menghubunginya”.

“Kalau begitu aku percayakan semuanya padamu, Ki Agung Sedayu. Atas namaku, kau aturlah pasukan cadangan yang akan diberangkatkan secepatnya itu. Bukankah masih kau simpan lencana khusus itu?”.

“Aku menyimpan lencana itu dengan sebaik-baiknya, Ki Patih. Lencana itu bagiku sudah seperti bagian tubuhku yang tidak dapat terpisahkan sampai nafas terakhirku”.

“Syukurlah jika kau masih menyimpannya dengan baik”.

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kepercayaan Ki Patih Singaranu dan Mataram kepadaku serta keluargaku”.

“Seharusnya bukan kau yang berterima kasih, tetapi Mataram lah yang seharusnya berterima kasih kepadamu. Dan sekali lagi Mataram telah berhutang budi padamu dan keluarga besarmu, Ki Agung Sedayu”.

“Aku merasa bahwa Mataram tidak pernah berhutang budi kepadaku apalagi kepada keluargaku, Ki Patih. Sebab kami semua hanya menjalankan kewajiban”.

“Sikap itulah yang membedakanmu dengan orang lain”.

“Maaf Ki Patih Singaranu, hampir saja ada yang terlewatkan untuk aku tanyakan?”.

“Apa itu? katakanlah!”.

“Menurut perhitungan, kira-kira butuh berapa lama pasukan yang akan menyusul ini untuk dapat sampai ke tempat yang telah kita sepakati bersama?”.

“Jika aku tidak salah hitung, aku kira tiga hari dengan berjalan kaki sudah akan sampai ke tempat tujuan yang telah kita sepakati dengan Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Apakah dalam waktu yang tiga hari itu pasukan cadangan yang akan kita berangkatkan segera ini baru tiba, kita tidak mengalami keterlambatan?”.

“Jika berdasarkan laporan dari para prajurit sandi, bahwa Pasukan Surabaya yang baru akan memasuki Wirasaba malam ini. Aku kira kita tidak akan terlambat, sebab jarak yang harus ditempuh masih lebih jauh mereka dibandingkan dengan kita”.

“Baiklah kalau begitu, apakah masih ada yang ingin Ki Patih Singaranu sampaikan kepadaku?”.

“Aku rasa, sementara itu dulu. Tapi nanti kau sering-seringlah datang kemari meski tidak ada yang perlu kau laporkan, karena mungkin saja ada perkembangan yang perlu aku sampaikan kepadamu sesegera mungkin”.

“Baiklah Ki Patih Singaranu, jika demikian sebaiknya aku segera pamit undur diri dulu. Agar akupun dapat segera melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya, tanpa harus kehilangan banyak waktu yang terbuang sia-sia”.

“Apakah kau akan langsung menghubungi Nyi Rara Wulan dan Padepokan Orang Bercambuk sekarang juga?”.

“Demikianlah, Ki Patih Singaranu”.

“Apakah kau datang kemari mengajak istrimu pula?”.

“Iya Ki Patih, aku mengajak Pandan Wangi dan Sekar Mirah”.

“Dimana mereka sekarang?”.

“Di bilik kepatihan yang Ki Patih Singaranu peruntukkan kepada kami sejak kemarin”.

“Agar perjalananmu lebih cepat, aku akan menyiapkan kuda bagi kalian bertiga. Sebab aku tahu, jika kau tidak akan mungkin pergi kesana dengan mengetrapkan Aji Pangrupak Jagad”. berkata Ki Patih Singaranu dengan senyum menggoda.

“Ah…”. hanya itu suara yang dapat keluar dari mulut ayah Sekar Wangi, yang entah tiba-tiba tenggorokannya seakan tercekat, sembari dengan wajah sedikit memerah.

Kemudian Priyagung Mataram itu segera memberikan isyarat kepada Pelayan dalam untuk mendekat, lalu memberikannya perintah agar segera menyiapkan tiga kuda bagi Agul-Agulnya Mataram dan kedua istrinya.

“Tolong segera siapkan tiga kuda kepatihan bagi Ki Agung Sedayu dan kedua istrinya, kami tunggu di halaman kepatihan sekarang juga”. berkata Ki Patih Singaranu, ketika Abdi Kepatihan itu sudah berada di hadapannya.

“Sendika dawuh, Ki Patih. Apakah masih ada perintah yang lain?”. sahut Pelayan Dalam itu sembari tak lupa menghaturkan sembah kepada pepundennya tersebut.

“Tidak, sementara itu saja”.

“Sendika dawuh, Ki Patih”. sahut Abdi Kepatihan.

Lalu tanpa menunggu lagi, Pelayan Dalam itu pun kemudian segera bergegas pergi dari tempat itu untuk segera melaksanakan perintah pepundennya.

Sejenak kemudian, tiba-tiba ada seorang Abdi Kepatihan lain yang mendekati keduanya, sembari membawa semuah nampan yang berisi sebuah kantong kain yang terbungkus rapat.

Setelah Ki Patih Singaranu mengambil bungkusan kain tersebut, lalu memberikan isyarat kepada Pelayan Dalam untuk segera meninggalkan tempat.

“Ki Agung Sedayu?”. ucap Ki Patih Singaranu, setelah mereka hanya berdua, sembari menimang-nimang bungkusan kain itu di tangan kanannya.

“Ada apa Ki Patih?”.

“Terimalah uang yang tidak seberapa ini untuk membantu membiayai persiapanmu dalam membentuk pasukan cadangan yang harus secepatnya diberangkatkan”.

“Maaf Ki Patih, bukan aku menolak kebaikan Ki Patih Singaranu. Tetapi uang yang aku terima beberapa waktu yang lalu itu masih cukup banyak”.

“Uang yang kau terima beberapa waktu yang lalu itu memang khusus diperuntukkan untukmu, sedangkan ini untuk kelangsungan pasukanmu. Jangan sampai dengan sikap pemenolakanmu atas pemberian ini, akan berakibat kau menelantarkan pasukanmu”.

Ki Agung Sedayu terdiam mendengar hal itu, hanya suara tarikan nafasnya yang berat saja yang terdengar dari lubang hidungnya, sembari mengangkat kedua pundaknya.

“Memang ini tidak seberapa. Tetapi semoga saja dengan uang yang tidak seberapa ini akan dapat sedikit membantu kebutuhan pasukan cadangan selama bertugas”.

“Baiklah”. sahut Ki Agung Sedayu dengan perasaan ragu.

Meski dengan perasaan segan, akhirnya ayah Sekar Wangi pun menerima uang yang dibungkus kain tersebut dari pepundennya yang duduk di atas kursi kayu dengan ukuran yang sangat rumit. Kemudian disimpan dibalik bajunya.

“Maaf Ki Patih, apakah pasukan cadangan ini harus menghadap Ki Patih Singaranu lebih dulu sebelum diberangkatkan untuk mengemban tugas?”.

Priyagung Mataram itu terdiam sejenak.

“Aku rasa tidak perlu, untuk sementara kita lupakan dulu segala bentuk subashita, sebab kita sedang dikejar waktu. Selain itu jika pasukan itu harus datang menghadap kemari lebih dulu, maka akan dapat kehilangan waktu yang sangat berharga. Jika pasukan itu memang sudah siap, kau langsung berangkatkan saja atas namaku”.

“Baiklah Ki Patih, apakah masih ada yang ingin Ki Patih Singaranu sampaikan? sebelum aku berangkat?”.

“Aku rasa sementara itu dulu, untuk lain-lain akan menyusul kemudian. Berdasarkan laporan perkembangan yang ada”.

“Baiklah… kalau begitu aku pamit undur diri dulu, Ki Patih. Dan tidak lupa aku minta tambahan pangestu”.

“Kita sama-sama nenuwun”.

Sejenak kemudian, ayah Sekar Wangi itu pun segera beranjak dari duduknya dan bergegas keluar Istana Kepatihan. Namun sebelumnya dia menghampiri kedua istrinya lebih dulu di bilik, untuk kemudian mengemban tugas baru secara bersama-sama.

Ki Patih Singaranu pun melepas anak buahnya itu di halaman Kepatihan, sebagai seorang pepunden juga sebagai seorang kawan mengabdi di Mataram.

“Tolong sampaikan saja salamku kepada Ki Purbarumeksa sekeluarga dan Ki Agahan dan Ki Untara beserta keluarga besar Padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom”.

“Baik Ki Patih, nanti jika aku bertemu dengan mereka, akan aku sampaikan salam dari Ki Patih Singaranu ini. Dan pasti mereka akan senang sekali mendengarnya”. sahut Ki Agung Sedayu, lalu meloncat ke punggung kudanya.

Kuda-kuda Kepatihan yang dipinjamkan itu memang termasuk jenis kuda pilihan, dan terlihat berbeda dari kuda kebanyakan, karena terlihat lebih tegar. Namun tetap saja kuda itu tidak akan setegar yang digunakan oleh para Priyagung Mataram itu sendiri.

“Berhati-hatilah kalian”. ucap Ki Patih Singaranu sembari melambaikan tangannya.

“Terima kasih, Ki Patih. Kami akan selalu berhati-hati”. sahut Ki Agung Sedayu sembari membalas lambaian tangan Priyagung Mataram yang sangat rendah hati itu.

Sejenak kemudian, Ki Agung Sedayu dan kedua istrinya pun segera menarik tali kekang kudanya untuk menginggalkan tempat itu setelah mendapat pinjaman tiga kuda pilihan.

“Kita akan ke rumah Ki Purbarumeksa lebih dulu”. ucap Ki Agung Sedayu dari atas punggung kudanya.

“Apakah Kakang ada keperluan dengan Ki Purbarumeksa?”. sahut ibu Bagus Sadewa.

“Nanti saja aku ceritakan sekalian, jika kita sudah tiba disana”.

Meski penarasan, namun Nyi Sekar Mirah tidak dapat memaksa kepada suaminya untuk memberitakan keterangan serba sedikit atas apa yang akan dilakukan.

Pada dasarnya Ki Agung Sedayu memang belum memberikan keterangan apa-apa kepada kedua istrinya tentang pembentukan pasukan cadangan baru yang akan diperbantukan Pasukan Mataram yang kemungkinan besar akan diserang oleh Pasukan Surabaya.

Dalam perjalanan yang tidak begitu panjang itu, mereka lebih banyak diam di atas pungung kuda masing-masing. Sebab memang kurang mapan jika harus berbincang di atas punggung kuda yang berjalan, kecuali ada yang sangat penting untuk dibicarakan.

Jarak yang ditempuh memang tidak panjang, sehingga tidak lama kemudian ketiganya pun sampai di depan rumah Ki Purbarumeksa yang terdapat petugas yang berjaga.

Ketiganya kemudian pun turun dari punggung kuda masing-masing, lalu menuntun dan mendekati penjaga yang berada di regol rumah yang cukup besar itu.

“Maaf Ki Sanak, apakah Ki Purbarumeksa ada?”. ucap Ki Agung Sedayu semabri dengan senyum ramah.

“Maaf Ki Sanak, jika aku tidak salah lihat, bukankah kau adalah Ki Agung Sedayu? kakak sepupunya Ki Lurah Glagah Putih?”. sahut petugas yang sudah tidak muda lagi itu.

“Benar Ki Sanak, aku adalah Agung Sedayu”.

“Bagaimana aku dapat dengan mudah melupakanmu? tentu saja aku masih mengingat wajahmu dengan baik, bukankah belum lama ini kau telah mengunjungi rumah ini?”.

“Terima kasih kau sudah mengenalku dengan baik, meski aku tidak mengenalmu dengan baik”.

“Ah… lagipula siapa aku, Ki Agung Sedayu? aku bukanlah orang penting yang perlu diingat oleh banyak orang”. sahut petugas itu lalu tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri.

“Ah… kau bisa saja, Ki Sanak”.

“Bukankah aku berkata sebenarnya?”. sahut petugas itu, lalu kembali tertawa.

“Maaf Ki Sanak, Apakah Ki Purbarumeksa ada di rumah?”. ucap Ki Agung Sedayu, mengingatkan kembali maksud kedatangannya.

“Ah… maafkan aku Ki Agung Sedayu, aku sudah banyak bicara”.

“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku mengerti”.

“Kalian tunggulah di pendapa, aku akan menyampaikan kedatangan kalian kepada Ki Purbarumeksa, yang kebetulan sekarang berada di rumah”.

Namun baru saja petugas itu membalikkan badannya, seseorang telah keluar dari  rumah itu dengan penuh kegirangan menyambut kedatangan mereka.

“Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah, Mbokayu Pandan Wangi”. serunya setengah berteriak, karena saking girangnya.

Perempuan yang baru saja berteriak itu segera menghambur keluar untuk menyambut ketiga tamunya yang baru saja datang, dengan tanpa meninggalkan subashita.

“Kedatangan kalian bertiga benar-benar mengejutkanku”. ucap Nyi Rara Wulan sembari memeluk kedua mbokayunya secara bergantian.

Namun pelukan itu lebih lama ketika dengan Nyi Sekar Mirah, selain kini mereka menjadi saudara tetapi perempuan itu sekaligus menjadi gurunya.

Pengenalannya dalam waktu yang lama telah membuat ikatan batin keduanya menjadi sangat erat satu sama lain, bahkan sudah melebihi seperti keluarga sendiri.

“Apakah ayah dan ibumu ada di rumah, Rara Wulan?”. bertanya Ki Agung Sedayu yang berusaha mengalihkan perhatian.

“Ah… maaf Kakang, karena kegembiraanku yang berlebihan karena kedatangan kalian, sehingga aku lupa untuk mempersilahkan kalian semua duduk dan memanggilkan ayah dan ibu”.

“Aku dapat mengerti dan memakluminya”.

“Marilah kita ke pendapa, sembari menunggu kedatangan ayah, ibu, dan yang lain”.

Kemudian ibu Arya Nakula itu memberikan isyarat kepada salah satu petugas di rumahnya untuk memberitahukan kedatangan tamu mereka kepada ayahnya dan yang lain.

Setelah mengikat kudanya di tempat yang sudah disediakan, ketiga orang itu pun segera naik ke pendapa bersama-sama. Dan tak lupa mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing.

“Kedatangan Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu berdua memang sengaja untuk mengunjungi keluarga disini, atau memang ada keperluan khusus dengan ayah?”.

“Pertama memang kami ingin mengunjungi keluarga disini, tapi selain itu aku ada keperluan lain”. sahut Ki Agung Sedayu.

Namun belum sempat pembicaraan itu berlanjut ke arah yang lebih serius, Ki Purbarumeksa dan yang lain datang menyambut kedatangan mereka. Sehingga kembali terjadi pembicaraan penyambutan dan pertanyaan saling menanyakan keselamatan masing-masing.

“Kedatangan kalian benar-benar mengejutkan kami sekeluarga, Ki Agung Sedayu. Meski begitu, tetapi kami sangat senang dengan kedatangan kalian”. berkata Ki Purbarumeksa, setelah menyambut kedatangan tamu-tamunya.

“Kami minta maaf kepada Ki Purbarumeksa dan keluarga jika kedatangan kami telah mengejutkan kalian semua, sebenarnya bukan maksud kami untuk berbuat demikian”.

“Ki Agung Sedayu tidak perlu minta maaf”.

“Pertama-tama, kedatanganku kemari adalah karena memang ingin mengunjungi keluarga ini. Tetapi selain itu, akupun memiliki keperluan lain”.

“Nah… keperluan Ki Agung Sedayu itulah yang membuat hatiku berdebar-debar lebih kencang. Lagipula aku sudah menduganya sejak awal, bahwa tidak mungkin jika kedatanganmu itu hanya sekedar ingin menjenguk keluarga disini dan tidak memiliki suatu keperluan khusus”.

Namun pembicaraan itu harus kembali tertunda ketika datang dua orang pembantu yang membawa nampan berisikan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Silahkan… silahkan… kepada semuanya saja. Mari kita nikmati dulu hidangan yang hanya ala kadarnya ini sebelum dilanjutkan lagi pembicaraannya”. berkata Nyi Purbarumeksa dengan penuh keramahan.

Kemudian mereka pun menikmati hidangan itu bersama-sama, termasuk Arya Nakula dan ketiga adik perempuan angkat Nyi Rara Wulan yang masih tinggal di rumah itu.

Setelah dirasa cukup membasahi tenggorokan dengan minuman hangat dan beberapa potong makanan, maka kembali lagi terjadi pembicaraan yang serius.

“Maaf Ki Purbarumeksa, aku tidak dapat menunda lagi untuk menyampaikan keperluanku ini. Sebab aku sedang berkejaran dengan waktu yang semakin sempit”.

“Silahkan Ki Agung Sedayu, katakanlah apa yang menjadi keperluanmu. Semoga jantungku tidak meledak karena terkejut setelah mengetahui keperluan yang kau bawa kemari”. sahut Ki Purbarumeksa dengan wajah mulai menegang.

“Ah… jawaban Ki Purbarumeksa justru membuatku gugup”. sahut ayah Sekar Wangi dengan wajah sedikit memerah.

“Baiklah Ki Agung Sedayu, aku akan mencoba bersikap wajar”. sahut orang yang sudah semakin sepuh tersebut.

Kemudian ayah Bagus Sadewa pun menyampaikan keperluannya datang ke tempat itu, dengan diawali cerita tentang keadaan Pasukan Mataram yang melawat ke Wirasaba membutuhkan bantuan secepatnya karena keadaannya.

Hingga jatuh perintah dari Ki Patih Singaranu untuk membentuk pasukan cadangan yang akan dikirimkan untuk membantu kesulitan Pasukan Mataram yang kemungkinan besar akan mendapat serangan dari Pasukan Surabaya.

Yang jadi permasalahannya sekarang adalah, berdasarkan perhitungan pasukan cadangan yang ada masih belum cukup dan masih membutuhkan tambahan orang.

“Lalu maksud kedatangan Ki Agung Sedayu kemari?”. sahut Ki Purbarumeksa dengan penuh tanda tanya.

“Jika Ki Purbarumeksa tidak keberatan, aku ingin melibatkan Rara Wulan dalam perang kali ini”.

“He…?”. sahut Nyi Purbarumeksa terpekik.

Namun perempuan yang sudah semakin berumur itu tidak dapat berkata apa-apa lagi untuk menanggapi, selain hanya kedua tangannya di angkat untuk menutupi wajahnya.

Meski Ki Purbarumeksa sendiri adalah bekas prajurit, namun dirinya pun tidak dapat menyembunyikan keterkejutanya setelah mendengar permintaan tersebut. Lalu tanpa sadar, dia pun menoleh ke arah anak perempuannya.

“Apakah Ki Purbarumeksa dan istri merasa keberatan?”. ucap ayah Sekar Wangi dengan perasaan iba, namun mau tidak mau dirinya harus menyampaikan semua itu.

“Jelek-jelek begini aku pernah menjadi seorang prajurit, Ki Agung Sedayu. Jadi aku tahu bagaimana harus bersikap, jika Mataram sudah memanggil”.

“Syukurlah kalau begitu”.

“Meski seandainya aku merasa keberatan sekalipun, tetapi aku tahu jika aku tidak memiliki cukup kemampuan untuk menolak perintah itu. Aku dan kami sekeluarga hanya dapat sendika dawuh kapanpun perintah itu datang”.

“Ki Purbarumeksa benar, kita memang hanya dapat sendika dawuh jika Mataram sudah memanggil. Karena biar bagaimanapun itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai kawulanya”.

Meski Nyi Rara Wulan bukanlah seorang prajurit, namun memasuki medan perang bukanlah hal yang baru baginya. Pengalamannya tidak perlu diragukan lagi, apalagi dirinya pun pernah menjadi bagian prajurit Mataram.

Sehingga jika ada panggilan kembali untuk memasuki medan  perang tidak membuatnya gentar, meski dirinya sudah cukup lama tidak bersinggungan dengan medan perang yang garang.

“Bagaimana, Rara Wulan? apakah kau siap?”. bertanya Ki Agung Sedayu meminta jawaban.

“Seperti yang Ayah katakan, Kakang. Siap tidak siap aku harus siap kapanpun titah itu datang kepadaku, meski aku sendiri bukanlah prajurit. Tetapi sebagai kawula Mataram aku turut berkewajiban menegakkan panji-panji Mataram”.

“Syukurlah kalau begitu, lagipula kau tidak akan sendirian, Rara Wulan. Kedua mbokayumu ini ikut turun pula ke medan”.

Meskipun kedua perempuan yang merasa disebut namanya itu terkejut karena baru saja mengetahui akan hal itu, namun keduanya tidak memberikan tanggapan apapun.

Karena mereka sadar bahwa mereka pun tidak dapat ingkar dari kewajiban yang harus mereka sandang, dan yang dapat mereka lakukan adalah melaksanakan perintah itu dengan sebaik-baiknya.

“Sebelumnya aku minta maaf jika aku ikut bersuara pada pembicaraan kali ini”. berkata Padmini menyela.

“Ada apa Padmini?”. sahut mbokayu angkatnya.

“Bukankah dengan demikian, sama artinya bahwa Mbokayu Rara Wulan akan meninggalkan kami bertiga disini? dengan waktu yang tidak dapat ditentukan?”.

“Begitulah kira-kira, Padmini”.

“Maaf jika aku berani bersikap deksura, Mbokayu Rara Wulan. Jika diperkenankan, bolehkah kami ikut bersama Mbokayu?”.

“Aku bukan akan pergi untuk bersenang-senang Padmini”.

“Aku tahu, Mbokayu Rara Wulan. Dan aku sadar sepenuhnya dengan apa yang aku katakan ini”. sahut Padmini sembari menundukkan kepala.

“Di medan perang itu kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi, dan banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Dan di dalam sebuah medan pertempuran tidak ada yang dapat menjamin nasibnya akan seperti apa nantinya”.

“Aku mengerti, Mbokayu. Dan semua itu sudah aku pikirkan matang-matang dengan segala akibatnya”.

“Bukankah lebih baik jika kalian mengawani Ayah, Ibu, dan Arya Nakula disini selama aku tinggal pergi”.

“Ibu akan pergi kemana?”. sahut Arya Nakula, setelah mendengar bahwa ibunya akan pergi.

“Ibu ada keperluan, Ngger”.

“Aku ikut Ibu”.

“Tidak ngger, tidak. Akan sangat berbahaya jika kau ikut bersama ibu, lebih baik kau mengawani Kakek dan Nenekmu disini”.

Seketika wajah anak yang masih sangat muda itu menjadi murung dan bersungut-sungut setelah kemauannya untuk ikut, dilarang oleh ibunya.

“Arya Nakula… kau harus mengerti, Ngger. Bahwa kepergian Ibu kali ini bukanlah pergi untuk bersenang-senang, tetapi untuk menjalankan kewajiban”.

Tidak terdengar jawaban apapun dari anak muda itu.

“Kau disini saja bersama Kakek dan Nenek, Ngger”. berkata Ki Purbarumeksa yang mencoba menghibur cucunya tersebut, sembari mengusap-usap kepalanya.

Namun tetap saja anak muda itu diam seribu bahasa dengan wajah murungnya yang tidak dapat disembunyikannya dari orang yang berada di sekitarnya.

Beberapa saat kemudian.

“Maaf Mbokayu, bukankah kita sudah menjadi keluarga? jika kita memang sudah menjadi sebuah keluarga, mana mungkin kami membiarkan Mbokayu turun ke medan sementara kami hanya berpangku tangan saja disini”. berkata Setiti ikut menyampaikan uneg-uneg di dalam hatinya.

“Kami sadar bahwa kemampuan kami belum seberapa jika dibandingkan dengan kalian semua. Meski kemampuan kami masih belum seberapa, tetapi semoga saja kemampuan kami yang tidak seberapa ini masih ada manfaatnya”. sahut Padmini.

“Bagaimana Kakang Agung Sedayu?”. bertanya Nyi Rawa Wulan, meminta pendapat kepada kakak sepupu suaminya.

Nyi Rara Wulan merasa sudah kehabisan kata-kata untuk melarang kemauan adik-adik angkatnya tersebut, meski sudah berusaha sebisa mungkin untuk menahannya agar tetap berada di rumah untuk mengawani ayah, ibu, dan anaknya.

“Jika memang sudah kalian pikirkan segala akibatnya, kalian jangan pernah menyesal, jika nantinya akan memasuki medan yang bagaimanapun garangnya”.

“Jadi kami boleh ikut?”. sahut Padmini dengan wajah sumringah.

“Ya… kalian boleh ikut, tapi dengan syarat”.

“Syarat? syarat apa itu?”. sahut Padmini dengan kening berkerut dan penuh tanda tanya, sebagai orang yang mewakili kedua adik angkatnya untuk bicara.

“Kalian harus patuh kepadaku atau orang-orang yang mewakiliku, termasuk Mbokayu kalian. Dan jangan sekali-kali kalian berbuat menurut kemauan sendiri, jika ada apa-apa segera laporkan kepadaku atau orang-orang yang mewakiliku sesegera mungkin”. ucap ayah Sekar Wangi memberikan penjelasan.

“Baik Ki Agung Sedayu, kami akan berusaha melaksanakan perintah itu dengan sebaik-baiknya”.

“Jika demikian, sebaiknya kalian segera bersiap untuk berangkat sekarang juga. Marilah, kita tidak memiliki banyak waktu, dan kita akan berangkat bersama-sama ke Padepokan Orang Bercambuk”.

“Baik Kakang, kami akan segera bersiap”.

Namun belum juga Nyi Rara Wulan beranjak dari tempat duduknya, ada yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk segera bangkit.

“Bibi Sekar Mirah?”.

“Ada apa, Arya Nakula?”.

“Dimana Kakang Bagus Sadewa sekarang? apakah dia berada di Padepokan Orang Bercambuk?”. bertanya Arya Nakula yang mencoba memberanikan diri, meski dengan kepala tetap tertunduk.

“Bagus Sadewa berada di Padepokan Orang Bercambuk, kenapa Ngger?”. sahut Nyi Sekar Mirah ramah, sembari tersenyum.

“Ibu… jika aku tidak diperbolehkan ikut, aku ingin tinggal di padepokan saja”.

“Jika semuanya pergi, kasihan Kakek dan Nenekmu, Ngger. Mereka tidak ada yang mengawani”.

“Bukankah di rumah ini banyak orang, Ibu?”.

“Di rumah ini memang banyak orang, tetapi tentu berbeda jika ada kau di rumah ini. Tentu Kakek dan nenekmu akan merasa kesepian jika kau ikut pergi pula”. sahut Nyi Rara Wulan yang mencoba membujuk anak semata wayangnya tersebut.

“Benar apa yang dikatakan oleh Ibumu itu, Ngger. Tentu Kakek dan Nenek akan merasa kesepian jika kau ikut pergi pula”. sahut Ki Purbarumeska yang ikut membujuk cucunya tersebut, sembari mengusap-usap kepalanya sebagai tanda kasih sayang.

“Tapi aku jenuh jika di rumah ini hanya bermain dengan Kakek dan Nenek saja, tentu akan lebih menyenangkan jika aku tinggal di padepokan yang banyak kawan, terutama jika ada Kakang Bagus Sadewa disana”.

“Ya sudah… terserah kau saja, Ngger”. sahut Ki Purbarumeksa yang tidak dapat menghalangi kemauan cucunya tersebut.

Sementara dari arah belakang tiba-tiba Nyi Purbarumeska memeluk cucu kesayangannya tersebut. Meski berat baginya untuk melepasnya, namun dirinya pun tidak ingin melihat cucunya dalam kemurungan.

“Baiklah… kau boleh tinggal di padepokan, tetapi kau jangan kemana-mana jika tidak Ayah atau Ibu yang menjemputmu”. berkata Nyi Rara Wulan yang tidak dapat menolak lagi permintaan anaknya tersebut.

“Benarkah Ibu? aku boleh tinggal di padepokan selama Ibu tinggal pergi?”. sahut anak muda itu dengan penuh kegirangan, sembari mengangkat wajahnya.

“Iya Ngger, kau boleh tinggal di padepokan selama Ibu tinggal pergi. Tapi ingat, selama kau disana kau harus mematuhi segala paugeran disana dan harus selalu mendengarkan pesan-pesan dari Paman Untara dan Paman Agahan”.

“Baik Ibu, terima kasih Ibu”.

Wajah yang tadi sempat murung, kini wajah anak muda itu begitu cerah setelah permintaannya dikabulkan oleh ibunya.

“Kalau begitu, kalian semua segeralah bersiap”. berkata Ki Agung Sedayu mengingatkan.

“Baiklah Kakang, kami akan segera bersiap”. sahut Nyi Rara Wulan, lalu beranjak dari tempat duduknya sembari mengajak semua orang yang akan pergi untuk bersiap pula.

“Sebagai orang tua, tidak ada yang dapat kami lakukan selain hanya dapat membantu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi keselamatan kalian semua sejak berangkat hingga kembali lagi, Ki Agung Sudayu”. berkata Ki Purbarumeksa.

“Terima kasih, Ki Purbarumeksa”.

“Aku hanya dapat berpesan, kalian semua berhati-hatilah dalam mengemban tugas yang sangat berat itu. Dan semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita semua”. sahut Nyi Purbarumeksa ikut menimpali.

“Terima kasih Nyi Purbarumeksa, kami akan selalu berhati-hati”.

“Dan kami hanya dapat menitipkan anak-anak kami kepada kalian semua, karena sejak sekarang adik-adik angkat Rara Wulan menjadi anak-anak kami juga”.

“Baik Nyi Purbarumeksa, kami akan berusaha menjaga mereka dengan sebaik-baiknya, sejauh kemampuan kami”.

Beberapa saat kemudian, orang-orang yang mereka tunggu akhirnya keluar juga. Para perempuan perkasa, lengkap dengan pakaian khusunya berserta Arya Nakula yang akan ikut pergi ke Padepokan Orang Becambuk.

“Kami semua sudah siap, Kakang”.

“Baiklah… kita akan segera berangkat ke Jati Anom lebih dulu sebelum kita mengemban tugas yang sebenarnya”.

“Apakah kita tidak akan menghadap ke Mataram lebih dulu sebelum mengemban tugas, Kakang?”.

“Karena kita sedang berkejaran dengan waktu, Ki Patih Singaranu memerintahkan kepada kita untuk langsung mengemban tugas tanpa harus menghadap ke Mataram lebih dulu”.

“Begitu rupanya? kalau begitu kami hanya dapat sendika dawuh apa yang Kakang Agung Sedayu perintahkan”.

“Maaf Kakang, apakah kita akan menyusul Pasukan Mataram dengan berkuda?”.

“Tidak… kita berkuda hanya sampai Jati Anom, setelah itu kita akan bergabung dengan para cantrik dan memulai perjalanan yang sebenarnya dengan berjalan kaki hingga ke tempat tujuan. Jadi kuda-kuda yang kita bawa dari sini nantinya akan kita titipkan di Padepokan Orang Bercambuk”.

“Baiklah kalau begitu”.

“Apakah kalian tidak makan dulu? terutama Ki Agung Sedayu, Nyi Sekar Mirah, dan Nyi Pandan Wangi?”.

“Terima kasih, Nyi Purbarumeksa. Kami bertiga sudah makan pagi, tetapi jika Rara Wulan dan yang lain akan makan pagi lebih dulu, maka kami akan menunggunya”.

“Sebelum Kakang dan Mbokayu berdua datang, kami baru saja selesai makan pagi”. sahut Nyi Rara Wulan.

“Kalau begitu, marilah kita segera berangkat agar kita tidak semakin kehilangan waktu”.

Sejenak kemudian mereka pun segera beranjak dari tempat duduknya, menuruni tlundak-tlundak pendapa, lalu menghampiri kuda masing-masing yang memang sudah disiapkan oleh Pekatik rumah tersebut.

“Jika nanti kau telah bertemu suamimu, tolong sampaikan salamku kepadanya, Nduk”. berkata Ki Purbarumeksa sembari melepas kepergian anak perempuannya yang akan pergi dalam waktu yang tidak dapat ditentukan.

“Baik Ayah… nanti jika aku telah bertemu dengan Kakang Glagah Putih, aku akan menyampaikannya”.

“Dan jika ada kesempatan, ajaklah dia kemari. Sepertinya tubuhku yang sudah semakin rapuh ini masih ingin bertemu dengannya, meski hanya sebentar”.

“Baik Ayah, nanti jika aku bertemu dengannya, aku akan sampaikan permintaan Ayah ini. Dan aku rasa Kakang Glagah Putih pun akan merasa senang sekali jika mendapat kesempatan untuk mengunjungi Ayah dan Ibu”.

“Padmini, Setiti, dan Baruni. Sejak kalian menginjakkan kaki di rumah ini, sejak itu pula kalian adalah anak-anak kami pula. Jadi kalian jangan pernah merasa sungkan atau takut kepada kami meski tidak ada Mbokayumu disini, jika nanti di lain kesmpatan kalian datang ke rumah ini”.

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Ayah, Ibu, dan keluarga besar Mbokayu Rara Wulan yang sudah menyambut dan memperlakukan kami dengan sangat baik selama ini”.

“Bukan aku mau mengusir kalian, tetapi aku tidak ingin menghambat kepergian kalian lebih lama lagi. Lagipula kalian sedang berkejaran dengan waktu”.

“Baik Ayah dan Ibu, kami semua berangkat dulu. Dan kami minta tambahan pangestu”. sahut Padmini.

“Pangestuku selalu menyertai kalian”. ucap Ki Purbarumeksa.

Namun pertemuan keluarga itu pun memang harus segera berakhir, karena mereka harus berpisah dan tanpa pernah tahu kapan dapat kembali. Atau jika menemui nasib yang sangat buruk, maka mereka tidak akan pernah kembali.

Setelah berpamitan kepada Ki Purbarumeksa dan istri, kemudian mereka semua pun segera menaiki punggung kuda masing-masing. Rombongan yang kini berjumlah delapan orang itupun dibagi menjadi dua kelompok.

Selain rombongan itu mengurangi perhatian banyak orang, tentu dengan maksud agar perjalanan mereka tidak mengganggu para pengguna jalan lain, yang mungkin akan mereka temui di sepanjang perjalanan ke Jati Anom.

Matahari yang belum lama terbit kini sudah semakin tinggi menapaki langit yang begitu luasnya, bersamaan dengan itu mulai terasa pula teriknya pancaran sinarnya, terutama bagi orang-orang yang terkena cahayanya secara langsung.

Perasaan orang tua yang begitu bercampur aduk ketika menyaksikan apa yang ada di depannya, karena sadar sepenuhnya bahwa mereka akan segera ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat dikasihinya.

Antara senang, terharu, bahagia, sedih, dan masih banyak lagi perasaan lainnya yang mengguncang jiwanya, seperti perasaan kebanyakan orang tua yang umurnya sudah semakin sepuh jika menghadapi kenyataan tersebut.

Satu persatu para penunggang kuda itu pun mulai meninggalkan halaman rumah itu dengan menyandang tugas yang sangat berat di pundak masing-masing.

Ki Purbarumeksa dan istrinya hanya dapat melambaikan tangannya untuk melepas kepergian mereka semua, tanpa sadar dari kedua mata Nyi Purbarumeksa mulai berkaca-kaca.

Namun perempuan yang sudah semakin sepuh itu berusaha untuk tetap terlihat tegar, meski pada akhirnya dirinya tidak kuasa lagi menahan perasaan yang mengaduk-aduk hatinya ketika semua para penunggang kuda telah hilang dari pandangan matanya.

Tiba-tiba Nyi Purbarumeksa segera berlari memasuki rumahnya dengan perasaan yang tidak dapat diungkapkan, selain hanya air matanya saja yang bicara.

Rombongan berkuda itu tidak dapat memacu kudanya dengan kecepatan tinggi ketika melintas di Kotaraja Mataram, selain akan sangat menarik perhatian orang, tentu saja akan dapat sangat berbahaya bagi diri mereka atau orang-orang di sekitarnya.

Meski begitu, pada akhirnya rombongan itu dapat keluar dari Kotaraja tanpa hambatan yang berarti. Setelah itu barulah mereka dapat memacu kudanya lebih kencang.

Kebetulan di sepanjang perjalanan, rombongan berkuda itu hampir tidak menemui hambatan yang berarti, hingga akhirnya tiba di padepokan kecil, Jati Anom.

Sehingga dalam perjalanan yang tidak  begitu panjang itu, mereka dapat tiba di tempat tujuan ketika matahari baru sebentar lagi akan mencapai puncaknya.

Dan kedatangan Ki Agung Sedayu bersama rombongannya yang begitu tiba-tiba itu benar-benar sangat mengejutkan seluruh penghuni Padepokan Orang Bercambuk.

Para cantrik yang kebetulan sedang bertugas merasa heran dan penuh tanda tanya ketika melihat rombongan berkuda itu sejak masih di kejauhan.

Mereka yang belum menyadari siapa sajakah orang-orang yang berada di dalam rombongan itu pun mulai menegang, apalagi setelah menyadari bahwa rombongan berkuda itu semakin lama menuju ke arah mereka.

Namun ketegangan yang tadi sudah semakin memuncak, seketika mencair ketika mereka menyadari orang-orang yang berkunjung ke padepokan.

“Kedatangan Ki Agung Sedayu dan rombongan benar-benar membuatku berdebar-debar, bahkan jantungku seakan sudah mau terlepas dari tempatnya”. berkata salah satu cantrik menyambut kedatangan salah satu guru besar mereka beserta rombongan, ketika sudah berada di hadapannya.

Ki Agung Sedayu hanya tersenyum menanggapi ucapan salah satu cantriknya, kemudian turun dari punggung kudanya dan memasuki regol padepokan dengan berjalan kaki sembari menuntun kuda yang tadi ditungganginya.

“Biarlah aku saja yang menuntun kudanya, Ki Agung Sedayu”. ucap cantrik itu sembari meminta tali kekangnya.

“Apakah Ki Agahan ada?”.

“Ada Ki, baru saja sedang dipanggilkan oleh kawanku. Silahkan Ki Agung Sedayu dan yang lain tunggu di pendapa”.

“Terima kasih”.

Sejenak kemudian para cantrik menjadi sibuk, karena harus menyambut kedatangan orang paling penting bersama rombongan yang cukup banyak di padepokannya.

Para cantrik segera menerima tali kekang kuda para tamunya untuk kemudian ditempatkan di patok-patok yang telah di sediakan di halaman samping.

Tidak lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh pemimpin tertinggi Padepokan Orang Bercambuk pun keluar menyambut semua tamu-tamunya dengan penuh keramahan, disertai Ki Untara yang berjalan di belakangnya.

Dan tidak lupa mereka pun saling menanyakan keselamatan masing-masing, sebagai pembicaraan pembuka sebelum memasuki pembicaraan yang panjang dan bersungguh-sungguh.

“Seisi padepokan ini sangat senang sekali atas kedatangan Ki Agung Sedayu dan rombongan, tetapi sekaligus membuat hati kami berdebar-debar”. ucap Ki Agahan, setelah mereka selesai saling menanyakan keselamatan masing-masing.

“Apa yang membuat kalian berdebar-debar, Ki Agahan? apakah kami terlihat seperti orang-orang jahat yang berwajah garang?”. sahut ayah Sekar Wangi sembari tersenyum.

“Ah… bukan begitu maksudku, Ki Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba panggrahitaku menangkap sesuatu yang janggal, karena Ki Agung Sedayu dan rombongan tentu tidak hanya sekedar mengunjugi padepokan ini, tetapi pasti ada keperluan yang sangat penting”.

“Rupanya Ki Agahan sudah ngangsu kawruh tentang sebuah jalur ilmu yang sejenis dengan, ngerti sakdurunge winarah. Sehingga sudah tahu maksud dari kedatangan kami sebelum kami menyampaikannya sendiri”.

Sontak saja kelakar anak bungsu dari Swargi Ki Sadewa itu seketika mengundang tawa bagi siapa saja yang mendengarnya, tetapi tidak bagi pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu yang justru wajahnya menjadi memerah.

Namun pembicaraan itu harus mereka tunda sejenak, sebab ada beberapa cantrik yang membawakan mereka minuman hangat dan beberapa potong makanan untuk dinikmati bersama-sama.

“Marilah Ki Agung Sedayu dan yang lain, kita nikmati dulu minuman hangat ini sebelum kita lanjutkan lagi pembicaraan ini, mumpung masih hangat”. ucap Ki Agahan mempersilahkan, setelah para cantrik yang membawa hidangan kembali ke belakang.

“Sepertinya aku tidak melihat Bagaskara, Bagus Sadewa, dan Bayu Swandana”. ucap murid Swargi Ki Sumangkar sembari menikmati hidangan yang ada.

“Maaf Nyi Sekar Mirah, mereka semua sedang tidak berada di padepokan, sebab mereka sedang melakukan pekerjaan yang disukai masing-masing”.

“Tidak sedang berada di padepokan?”. desis Nyi Sekar Mirah sembari mengerutkan keningnya.

“Benar Sekar Mirah, anakmu itu sedang ikut para cantrik yang sedang bekerja di sawah, sementara Bagaskara sedang mengawani Bayu Swandana berburu di hutan kecil yang tidak jauh dari tempat ini”. sahut Ki Untara yang membantu menjelaskan.

“Oh… aku kira mereka sedang pergi kemana”.

“Apakah perlu aku utus cantrik untuk menyusul Anakmas Bagus Sadewa dan Anakmas Bayu Swandana? untuk memberitahukan kedatangan kalian semua?”.

“Aku rasa tidak perlu, Ki Agahan. Biarlah kami tunggu saja kedatangan mereka, agar mereka tidak menjadi terkejut karenanya”. sahut Ki Agung Sedayu.

“Baiklah kalau begitu”.

“Maaf Ki Agahan, sepertinya kau tidak perlu memperlakukan kedua anak itu secara berlebihan. Agar mereka tidak menjadi besar kepala nantinya”.

“Aku berusaha memperlakukan mereka sesuai dengan pesan dari Ki Agung Sedayu, yang menurutku tidak pernah aku tambah atau aku kurangi sedikitpun”.

“Tetapi aku merasa masih ada yang belum sesuai”.

“Bagian yang manakah, Ki Agung Sedayu?”.

“Kau tidak perlu menyebut mereka dengan panggilan anakmas, panggil saja mereka sesuai dengan nama mereka masing-masing agar mereka tidak merasa mendapat perlakuan khusus yang nantinya akan dapat membuat mereka semakin besar kepala”.

“Oh… baiklah Ki Agung Sedayu, aku akan berusaha selalu mengingat pesan itu”.

“Karena nama dan nama panggilan itu membawa rasa, dan aku hanya ingin mereka tumbuh secara wajar tanpa pernah merasa mendapat perlakuan khusus. Apalagi di umur mereka yang sekarang masih sangat muda, mereka akan dapat dengan mudah menjadi besar kepala jika mendapat perlakuan yang demikian”.

“Baik Ki Agung Sedayu, aku mengerti maksudmu. Dan aku akan selalu berusaha mengingat pesan itu dengan sebaik-baiknya”.

“Terima kasih”.

“Selain kau dan yang lain memang ingin mengunjungi padepokan ini, apa keperluanmu khususmu, Agung Sedayu?”. bertanya Ki Untara yang memang tidak suka berbelit-belit.

Tetapi sebelum adik kandung satu-satunya Ki Untara itu menjawab, Nyi Rara Wulan yang merasa kurang mapan segera mendahului.

“Arya Nakula, kau bermainlah dulu di belakang, ya Ngger? kami semua sedang ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting dan kau belum pantas untuk mendengarnya”.

“Baik Ibu, aku akan pergi ke belakang”. sahut anak muda itu, sembari dengan perasaan malasnya dia pun segera bangkit dan meninggalkan tempat itu.

Setelah Arya Nakula pergi, maka pembicaraan itu segera dilanjutkan ke arah yang lebih serius. Sebab semua orang yang hadir di pendapa hanya tinggal orang-orang yang memang pantas untuk mendengarkan isi pembicaraan secara mendalam.

“Begini Kakang Untara dan Ki Agahan”.

Kemudian Ki Agung Sedayu pun mulai menceritakan keadaan Pasukan Mataram yang sedang melawat ke Wirasaba berdasarkan keterangan dari Ki Patih Singaranu, dan dia tidak menyinggung sama sekali tentang nasib adik sepupunya dan kemenakannya yang terluka dalam perang.

Dia menceritakan secara runtut keadaan Pasukan Mataram, namun hanya secara garis besarnya saja. Lalu berdasarkan laporan dari para prajurit sandi, kemungkinan besar Mataram akan mendapatkan serangan balik dari Pasukan Surabaya.

Kemudian disampaikan pula tentang rencana pembentukan pasukan cadangan secara mendadak karena keadaan yang mendesak berdasarkan perhitungan dan perintah dari Ki Patih Singaranu.

Tidak lupa Ki Agung Sedayu menceritakan pula tentang rencana bagaimana menghadapi Pasukan Surabaya yang sangat besar dan kuat, dan kebetulan dirinya lah yang mendapat kepercayaan untuk mengatur semua itu.

“Bagaimana menurut pendapat Kakang Untara tentang rencana Mataram itu?”. bertanya Ki Agung Sedayu kepada kakaknya yang kebetulan adalah bekas senopati pilihan, terutama dalam siasat perang. Baik perang kecil maupun perang besar sekalipun.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab, tetapi lebih dulu meresapi segala apa yang didengarnya dan kemudian akan membuat sebuah kesimpulan dengan perhitungannya sendiri.

“Berdasarkan cerita yang aku dengar darimu, siasat yang akan digunakan Mataram dalam menghadapi Pasukan Surabaya itu memang cara yang paling baik yang dapat dicoba”.

“Barangkali Kakang Untara dapat memberikan tambahan petunjuk yang dapat aku jadikan pertimbangan nantinya?”.

“Namanya perang itu adalah sebuah pertempuran yang melibatkan banyak orang yang disebut sebuah kesatuan, meski bekal seseorang dalam kanuragan itu penting dan sangat mendasar. Tetapi ingat! secara penalaran wajar, perang berhasil atau tidaknya itu ditentukan oleh kerja sama seluruh anggota kesatuan yang terlibat, tanpa terkecuali”.

“Kakang benar”.

“Banyak hal yang dapat mempengaruhi kemenangan atau kekalahan sebuah pasukan dalam sebuah perang, terkadang hal-hal kecil pun dapat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Bahkan ada pula yang berawal dari hal kecil akhirnya dapat menjadi penentu nasib pasukan yang terlibat perang”.

“Kakang Untara benar, karena di dalam sebuah perang tidak dapat hanya mengandalkan kemampuan kanuragan semata, tetapi kita juga harus menggunakan akal kita dengan sebaik-baiknya”.

“Dan jenis perang itu sendiri tergantung tujuannya, tetapi pada dasarnya perang itu sendiri hampir sama saja. Yaitu sebuah pasukan bertempur dengan pasukan lain dan berusaha mengalahkannya karena tujuan tertentu”.

“Pada dasarnya, perang itu adalah cara untuk sekedar mengalahkan lawannya, maka terwujudlah namanya paugeran perang. Tetapi pada perkembangannya, perang sering berubah warna dan tujuannya, bahkan hingga melupakan paugeran yang ada. Semua itu tergantung siapa yang menjadi Senopati Agungnya”.

“Kakang benar”.

“Kini perang sering dijadikan wadah untuk pamer kekuatan dan membunuh orang sebanyak-banyaknya dan seakan nyawa manusia sudah tidak ada harganya lagi”.

Semua orang yang mendengarnya hanya dapat terdiam, mereka mulai membayangkan sebuah perang menurut bayangan di kepala mereka masing-masing.

“Perang itu bukanlah sebuah jawaban untuk menyelesaikan masalah, karena sebenarnya perang adalah cara yang paling buruk yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah”.

“Ya… aku sependapat dengan Ki Untara”. sahut Ki Agahan, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Lalu apa rencanamu, Agung Sedayu?”.

“Berdasarkan pembicaraanku dengan Ki Patih Singaranu, kini Mataram sudah tidak dapat mengirimkan bantuan lagi kepada Pasukan Mataram yang melawat ke Wirasaba. Dan aku kemudian mengusulkan untuk meminta bantuan kepada Ki Agahan”.

“Kepadaku? maksud Ki Agung Sedayu?”. sahut pemimpin Padepokan Orang Becambuk itu dengan kening berkerut.

“Benar Ki Agahan, aku ingin meminta bantuan kepadamu guna membantu Pasukan Mataram yang sedang terancam bahaya itu”.

“Meskipun sebelumnya aku belum pernah terlibat perang besar, tetapi aku tidak akan pernah merasa keberatan jika Ki Agung Sedayu memintanya”.

“Tidak cukup hanya Ki Agahan sendiri, tetapi aku membutuhkan pula para cantrik yang layak memasuki medan perang. Dan kira-kira ada berapa orang cantrik yang memenuhi syarat itu yang dapat kita bawa ke medan?”.

“Maaf Ki Agung Sedayu, sepertinya aku belum berpengalaman masalah itu. Sebaiknya kita minta pendapat Ki Untara saja yang lebih tahu”.

“Jika aku tidak salah hitung, kemungkinan ada sekitar dua puluh lima orang, termasuk beberapa cantrik utama”. sahut Ki Untara sembari mengingat-ingat para cantrik padepokan.

“Baiklah… berarti dua puluh enam orang termasuk Ki Agahan”.

“Memangnya akan berangkat kapan?”.

“Secepatnya, Kakang. Sebab kita dikejar waktu bersamaan dengan Pasukan Surabaya yang mengejar Pasukan Mataram”.

“Apakah akan berangkat besok pagi?”.

“Tidak Kakang, aku rasa harus hari ini juga”.

“He…? begitu cepatnya?”.

“Demikianlah Kakang, kita tidak memiliki pilihan atau semua hanya akan menjadi sia-sia”.

“Ya… aku mengerti”.

“Aku rasa malam ini juga kita harus berangkat”.

“Apakah pasukan ini harus berangkat berkuda?”.

“Tidak Kakang, sebab pasukan ini tidak akan bergabung secara langsung dengan Pasukan Mataram, tetapi ada tugas khusus bersamaku. Lagipula padepokan ini tentu tidak dapat menyediakan kuda sesuai dengan jumlah orang yang berangkat”.

“Memang benar, karena disini kudanya memang tidak lebih dari sepuluh ekor, jadi tentu kita akan kesulitan untuk mencari kekuranganya  yang masih banyak”.

“Selama kami pergi mengemban tugas, aku titipkan padepokan ini kepada Kakang Untara, termasuk Arya Nakula yang ingin ikut tinggal disini selama ditinggal ibunya pergi”.

“Baiklah… dan sepertinya memang pekerjaan ini cocok denganku, sebab aku memang sudah terlalu tua jika harus turun ke medan seperti kalian”.

“Maaf Ki Agung Sedayu, lalu kapan waktu pastinya kita akan berangkat? biar sekalian aku woro-woro kan kepada para cantrik yang memenuhi syarat untuk ikut, agar mereka segera bersiap”.

“Nanti kita akan berangkat setelah gelap dan tentu saja setelah selesai makan malam”.

“Baiklah… kalau begitu aku undur diri dulu, agar mereka dapat memanfaatkan waktu yang sangat sempit ini untuk segera bersiap”. sahut pemimpin Padepokan Orang bercambuk itu, lalu segera beranjak tempat duduknya.

“Silahkan Ki Agahan”.

“Kakang Untara, bagaimana dengan perkembangan Bagaskara dalam ngangsu kawruh di padepokan ini?”. bertanya Ki Agung Sedayu mengalihkan pembicaraan.

“Aku rasa cukup baik, meski harus sering sering diingatkan kembali. Dan aku lihat wataknya sangat berbeda dengan kakaknya yang tidak perlu diingatkan lagi tentang hak dan kewajibannya selama ngangsu kawruh disini”.

“Apakah Kakang Untara menyertakan Bagaskara pada saat menghitung para cantrik yang akan diberangkatkan?”.

“Tidak, aku tidak menyertakannya. Kemampuannya memang sudah cukup baik, tetapi untuk memasuki perang yang sebenarnya dia masih terlalu hijau, selain itu aku masih mengkhawatirkan jiwa mudanya yang masih mudah bergejolak”.

“Bukankah dia termasuk anak yang baik?”.

“Dia memang termasuk anak yang baik, tetapi pada umurnya yang sekarang dia belum dapat menemukan keseimbangan jiwanya sebagai landasan untuk berpikir jernih”.

“Begitu rupanya… lalu bagaimana menurut penilaian Kakang Untara tentang Bagus Sadewa dan Bayu Swandana selama mereka tinggal disini? apakah ada sesuatu yang dapat aku dengar dari mereka berdua?”.

“Mereka belum lama tinggal disini, jadi apa yang aku lihat belum dapat dijadikan sebagai sebuah penilaian. Karena dalam waktu yang sesingkat itu mereka tentu belum akan menunjukkan watak mereka yang sebenarnya”.

“Ya… Kakang Untara benar”.

“Lagi pula anak muda seperti mereka wataknya tentu masih dapat berubah-ubah, karena mereka masih dalam masa-masa peralihan dari masa remaja beralih ke masa menjelang dewasa, hingga akhirnya nanti benar-benar menjadi dewasa seutuhnya”.

“Ya… anak-anak memang biasanya belum memiliki kemantapan hati dan penalaran yang kuat sebagai landasan mengambil sikap di dalam hidupnya. Dan biasanya apa yang mereka lakukan hanya sekedar menuruti perasaan yang sesaat saja tanpa berpikir tentang segala akibatnya”.

Setelah beberapa saat telah berlalu, tampak Ki Agahan kembali lagi ke pendapa untuk menemui tamu-tamunya setelah memberikan woro-woro kepada para cantriknya di belakang.

“Bagaimana, Ki Agahan?”.

“Meski pada awalnya para cantrik merasa sangat terkejut dengan perintah dari Ki Agung Sedayu, tetapi mereka merasa sangat senang karena merasa dapat berbuat sesuatu meski dengan kemampuan yang belum seberapa”.

“Syukurlah kalau begitu”.

“Ada yang hampir saja aku lewatkan untuk aku sampaikan kepada kalian semua”.

“Apa itu, Ki Agung Sedayu?”.

“Ki Agahan tolong siapkan pula obat-obat penawar racun bagi kawan-kawan kita. Sebab berdasarkan laporan para prajurit sandi, kemungkinan besar kita akan bertemu dengan murid-murid dari Perguruan Jalatunda, yang terkenal suka bermain-main dengan racun yang sangat ganas dan berbahaya”.

“Baiklah Ki Agung Sedayu, apakah masih ada pesan lain?”.

“Aku kira hanya itu, sebenarnya akupun membawa obat sejenis itu, tetapi tidak banyak. Dan tidak akan mungkin mencukupi sesuai dengan kebutuhan yang kita perlukan”.

“Aku mengerti”. sahut Ki Agahan, lalu memberikan isyarat kepada salah satu cantrik untuk mendekat.

“Tolong sampaikan kepada Putut Witarsa untuk meramu obat penawar racun yang paling ganas, kira-kira untuk kebutuhan empat puluh orang”.

“Baik Ki Agahan”. sahut cantrik itu lalu bergegas pergi.

“Ternyata ada pula cantrik yang tertarik untuk ngangsu kawruh pengobatan, tadinya aku kira hanya Ki Agahan saja yang tertarik mempelajarinya”. berkata Nyi Sekar Mirah yang sejak tadi lebih banyak diam dan mendengarkan saja.

“Aku tidak tahu, Nyi Sekar Mirah. Karena aku tidak pernah menyuruh, semua itu adalah karena kemaruan mereka sendiri”.

“Meski apa yang kita lakukan itu hanya sebatas dapat berusaha, tetapi semoga saja dari usaha itu padepokan ini masih ada manfaatnya bagi sesama, meski betapapun kecilnya”.

“Syukurlah kalau begitu, aku ikut senang mendengarnya”.

“Ki Agahan?”.

“Ya… ada apa, Ki Agung Sedayu?”.

“Kembali lagi ke pembicaraan kita yang tadi, jadi nanti kalian orang-orang padepokan ini tidak akan bergabung dengan Pasukan Mataram secara langsung, tetapi kalian akan mengemban tugas khusus yang kebetulan aku sendiri yang akan memimpin. Dan kalian nanti akan bergabung dengan semua perempuan ini”. ucap Ki Agung Sedayu sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.

“Tetapi meski aku yang memimpin kalian, tetapi aku mengemban tugas khusus yang lain lebih dulu. Sehingga aku tidak dapat bergabung dan berangkat bersama-sama kalian nanti malam”.

Tanpa sadar Ki Agahan pun segera mengangkat wajahnya mendengar keterangan tersebut sembari kepalanya penuh tanda tanya, namun masih menunggu keterangan berikutnya.

“Ki Agahan dan yang lain tidak perlu khawatir, meski aku tidak selalu bersama kalian tetapi kedua istriku akan memandu kalian semua, apa saja yang harus kalian lakukan”.

“Oh… begitu rupanya, aku mengerti. Dan aku rasa itu tidak menjadi soal bagiku, hadir atau tidaknya Ki Agung Sedayu di tengah-tengah kami, karena pengaruhnya akan sama saja”.

“Dan karena aku memiliki keperluan lain lebih dulu, maka nanti aku akan menyusul kalian segera. Dan selama aku belum datang, maka kedua istriku yang akan memimpin kalian semua. Apakah ada pertanyaan dari kalian semua?”.

“Aku rasa sudah jelas, tetapi entah dengan yang lain?”. sahut Ki Agahan, lalu mengedarkan pandangan matanya berkeliling.

Nyi Rara Wulan dan ketiga adik angkatnya menjadi saling pandang dan memberikan isyarat untuk bicara, barangkali ada yang masih ingin ditanyakan.

“Aku rasa sudah cukup jelas, Kakang. Kami semua hanya tinggal melaksanakan perintah dari Kakang Agung Sedayu”. sahut Nyi Rara Wulan, sekaligus mewakili adik-adiknya.

“Jika semua sudah jelas, aku meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan kedua istriku”.

“Baiklah, kami akan pergi dari sini dulu, jika sudah selesai berilah kami isyarat”.

“Kalian tidak perlu pergi, tapi akulah yang akan pergi. Ki Agahan, barangkali ada bilik kosong yang dapat aku gunakan sebentar untuk berbicara dengan kedua istriku”.

“Bilik Swargi Kyai Gringsing atau bilikmu itu sekarang sedang kosong, sebab Bagus Sadewa sedang pergi”. sahut Ki Untara memberikan keterangan.

“Baiklah”.

Kemudian Ki Agung Sedayu segera memberikan isyarat kepada kedua istrinya agar mengikutinya dari belakang untuk menyusuri ruang dalam bangunan Padepokan Orang Bercambuk.

Hal yang sekarang sudah jarang sekali dilakukannya karena kesibukannya atas tugas-tugas yang diembannya dari Mataram yang sangat menyita waktunya.

Namun meski begitu, tidak lantas membuatnya lupa akan apa yang ada di dalam bangunan tersebut, dan apa saja yang pernah dilakukannya di masa-masa lampau di tempat yang sangat bersejarah sekali bagi perkembangan hidupnya.

Tiba-tiba tanpa sadarnya muncullah bayangan orang yang sangat berjasa baginya, namun kini sudah tiada dan hanya tinggal menjadi kenangan yang tak terlupakan sampai kapan pun.

*****

Sementara itu hamparan langit yang luasnya tidak terkira terlihat begitu indah di pandang mata ketika senja turun di tempat itu, namun hanya bagi orang-orang yang memiliki rasa syukur akan karunia dari Yang Maha Welas asih lah yang dapat merasakannya.

Di atas tanah yang subur dan luas tumbuh pula ribuan jenis tumbuhan yang bahkan tidak bernama karena saking banyaknya, dari yang kecil hingga yang paling besar.

Hewan-hewan pun bersuara lantang untuk menggambarkan dan memberitahukan kepada kita semua bahwa betapa tiada terkira lagi tanda-tanda kebesaran dan kuasa dari Yang Maha Agung serta Yang Maha Welas asih.

Namun kita sebagai manusia sekaligus hamba-Nya masih sering berani menyombongkan diri di hadapan Yang Maha Agung, bahwa kita merasa paling pandai, paling kaya, paling sakti mandraguna, dan masih banyak lagi yang lain.

Mari kita sama-sama renungkan bersama, apakah benar? ini adalah gambaran sebaik-baiknya kita sebagai manusia yang hidup di alam padang dan alam bebrayan ini.

aja rumangsa bisa nanging kudu bisa rumangsa

- - - 0 - O - 0 - - -

bersambung ke

Djilid

22



Padepokan Tanah Leluhur

Terima kasih

2 komentar:

  1. Izin merapat ki...................................

    BalasHapus
    Balasan
    1. silahkan Raden...
      suatu kehormatan, padepokan kecil ini kedatangan Raden Jaka Pekik...
      terima kasih.

      Hapus