* * * * *
Di pagi itu udara masih terasa menyejukkan meskipun matahari sudah mulai menapaki luasnya langit semakin tinggi, diiringi suara sekumpulan hewan yang sedang mencari makan atau hanya sekedar bermain dengan riangnya.
Pemandangan itu seakan ikut mengiringi perjalanan pasukan segelar sepapan Pasukan Mataram yang sedang menarik diri dari Kadipaten Wirasaba.
Dan wajar sekali jika pemandangan itu masih banyak terlihat, sebab di sepanjang perjalanan pasukan itu menyusuri jalan yang dikelilingi oleh pategalan dan hutan-hutan yang masih jarang terjamah oleh manusia.
Pasukan segelar sepapan itu bergerak layaknya ular yang sangat besar di antara rimbunnya pepohonan dan tumbuhan liar yang mereka lalui di sepanjang perjalanan.
Sebab pasukan itu memang lebih banyak melintasi jalan yang dikelilingi oleh hutan dan pategalan jika dibandingkan dengan pemukiman penduduk.
Di barisan depan, terdapat para prajurit sandi yang bertugas menjadi prajurit penghubung dan para Pengawal Khusus Raja, selain para Priyagung Mataram itu sendiri.
“Menurut Paman bertiga, apa yang sebaiknya kita lakukan lebih dulu untuk menghadapi keadaan yang berkembang ini?”. bertanya Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dari atas kudanya.
“Apakah tidak sebaiknya Angger Panembahan memusatkan perhatian terhadap serangan balik dari Pasukan Surabaya? bukankah menurut perhitungan kita semua, kemungkinannya pasukan itu untuk menyusul kita sangat besar sekali?”.
“Aku sependapat dengan Kakangmas Pangeran Puger, sebab berdasarkan perhitungan, serangan dari Pasukan Surabaya lah yang akan lebih dulu kita temui”.
“Dengan melihat perkembangan terakhir, apakah tidak ada kemungkinan Pajang akan ikut cawe-cawe dan akan menyulitkan kedudukan kita ketika pecah perang antara Mataram dan Surabaya yang kemungkinan akan berhasil menyusul kita?”.
“Aku rasa kemungkinan itu memang ada, Angger Panembahan, tapi kecil sekali. Sebab Pajang tentu saja membutuhkan waktu yang cukup untuk menyiapkan sebuah pasukan segelar sepapan”.
“Apakah tidak ada kemungkinan Pasukan Pajang justru akan menunggu pasukan kita selesai bertempur dengan Surabaya, baru setelah itu mereka akan menyerang pasukan kita yang sudah terluka dan tidak utuh?”.
Ketiga Pangeran Mataram itu terdiam sejenak dan tidak dapat langsung menanggapi pertanyaan tersebut, sebab jawabannya membutuhkan pertimbangan yang sangat cermat.
“Memang kemungkinan itu ada, Angger Panembahan. Dan sebaiknya kita menyebar pula para prajurit sandi di sekitar Pajang agar dapat selalu melihat perkembangan yang ada di sana. Agar kita tidak kecolongan sementara perhatian kita terpusat pada Pasukan Surabaya”.
“Aku sependapat dengan Kakangmas Pringgalaya, dan kita jangan pernah menyepelekan kemungkinan sekecil apapun di dalam hiruk-pikuknya perseteruan yang sedang berlangsung”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri.
“Meskipun Pajang sekarang bukanlah Pajang seperti yang dulu, namun kita pun jangan sampai meremehkan mereka. Karena dalam sebuah perang segala kemungkinan dapat terjadi dengan demikian cepatnya, dan bahkan terkadang di luar penalaran kita semua”.
“Terima kasih atas segala petuah Paman Pangeran bertiga, dan aku sependapat dengan apa yang telah kalian sampaikan. Dan semoga rencana yang telah disampaikan oleh Ki Patih Singaranu pun dapat berhasil pula”.
“Marilah kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, Ngger. Agar segala apa yang telah kita rencanakan mendapat restu-Nya”. sahut Pangeran Puger.
Sementara Ki Rangga Sabungsari yang berada di kesatuanya, jika ada kesempatan masih sering memperhatikan keadaan Umbara yang sepertinya sudah semakin membaik setelah mengalami luka dalam yang sangat parah tempo hari.
Karena selain bertanggung jawab sebagai seorang senopati, dirinya secara tidak langsung bertanggung jawab pula sebagai pengganti orang tua bagi anak muda tersebut.
Karena pengenalan mereka dalam waktu yang lama membuat ikatan batin keduanya sangat erat, meskipun secara lahir tidak ada ikatan darah ataupun saudara sama sekali.
Dudu sanak dudu kadang nanging yen loro melu loro, yen mati melu kelangan. Mungkin itulah yang dirasakan oleh Ki Rangga Sabungsari, karena pengenalan yang sangat lama.
“Kenapa kau turun dari kudamu, Umbara?”. bertanya suami Nyi Raras ketika melihat apa yang dilakukan anak muda tersebut.
“Justru aku merasa lelah jika sepanjang waktu hanya berada di atas punggung kuda, Paman Sabungsari”.
“Bagaimana keadaanmu sekarang? apakah di tubuhmu masih ada yang terasa sakit sesekali waktu?”.
“Tidak lagi, Paman. Aku seperti merasa sudah menemukan kembali kesehatanku setelah tadi pagi aku meminum lagi obat yang diberikan oleh tabib keprajuritan, meskipun tenagaku masih belum pulih sepenuhnya seperti sedia kala”.
“Syukurlah kalau begitu”.
“Maaf Paman, entah hanya perasaanku saja atau memang benar adanya. Sepertinya Paman Sabungsari memperhatikanku secara berlebihan, dan seakan aku diperlakukan seperti anak kecil yang sedang sakit”.
“Apakah kau keberatan?”.
“Justru aku sangat berterima kasih sekali, Paman. Tapi terkadang perhatian Paman itu membuatku merasa sungkan sendiri kepada kawan-kawan yang lain”.
“Jangan kau pikirkan itu, karena itu adalah tanggung jawabku. Selain itu yang paling utama adalah bagaimana kesehatanmu kembali seperti sedia kala. Sebab berdasarkan peringatan Kanjeng Sinuhun, ada kemungkinan pasukan kita akan disusul oleh pasukan segelar sepapan Surabaya”.
“Iya Paman, aku mengerti”.
“Maka dari itu, Umbara. Persiapkanlah lahir dan batinmu dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kau terjerumus kedalam kesulitan karena kebodohanmu sendiri. Sebab kita harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan buruk kapanpun”.
“Baik Paman Sabungsari, aku mengerti. Terima kasih”.
“Aku melakukan semua ini adalah agar kita jangan sampai lengah sedikitpun. Meskipun sekarang keadaan baik-baik saja, namun kita harus tetap hati-hati dan waspada. Sebab kita tidak pernah tahu yang akan terjadi atas kita nanti”.
“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih kepada Paman Sabungsari yang tidak bosan-bosannya memperingatkan aku”.
“Kau tidak perlu berterima kasih kepadaku, Umbara. Karena ini memang sudah menjadi kewajibanku. Kewajiban dan tanggung jawabku sebagai seorang senopati sebuah pasukan, dan kebetulan kau berada diantaranya”.
*****
Sementara itu suara beberapa burung Gagak dari kejauhan semakin menambah kegelisahan Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang sedang mendapati keadaan suaminya.
Keadaan Ki Agung Sedayu memang menjadi sangat lemah setelah beradu ilmu puncak dengan Ki Ageng Wirasaba yang memang adalah orang yang luar biasa secara kemampuan kanuragannya.
Namun dirinya masih mampu bertahan dalam keadaan jatuh berlutut dan bertelekan kedua tangannya di tanah, ketika kedua istrinya menghampirinya.
“Kakang… Kakang… “. hanya itu yang terdengar dari mulut kedua istrinya yang kebingungan dan dirundung kegelisahan yang sangat melihat apa yang terjadi.
Keduanya sempat berpikir ingin menyentuh tubuh suaminya, namun sebagai orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan, membuat mereka ragu.
Sebab dalam keadaan demikian, tentu tubuh suaminya sangat rentan oleh sentuhan bahkan goncangan dari luar. Jika tidak benar-benar mengerti apa yang harus dilakukan, tentu dapat berakibat buruk.
“Apakah Kakang memerlukan bantuan?”. bertanya Nyi Pandan Wangi yang masih saja gelisah.
Ayah Bagus Sadewa itu tidak segera menjawab, namun sejenak kemudian terlihat mulutnya mulai bergerak untuk membuka suara yang terdengar sangat lemah.
“Tolong ambilkan obat, di ikat pinggangku sebelah kiri”. sahut Ki Agung Sedayu yang masih dalam keadaan berlutut dengan kedua kaki dan bertelekan dengan kedua tangannya.
Permintaan itu tanpa perlu diulangi, segera dilaksanakan oleh Nyi Pandan Wangi yang kebetulan berada di sebelah kirinya. Lalu dengan segera obat itu disodorkan ke mulut suaminya yang telah membuka mulut.
“Bantu aku untuk dapat duduk bersila”. berkata Ki Agung Sedayu sejenak setelah berhasil menelan obat yang dibawanya.
Kemudian kedua perempuan itu membantu suaminya dengan penuh hati-hati agar dapat duduk bersila, dengan maksud akan memusatkan nalar budinya guna memperbaiki keadaannya.
Selain kedua perempuan itu harus menjaga suaminya, tidak lupa pula keduanya tetap dalam kewaspadaan tertinggi dalam melihat perkembangan keadaan sekitar.
Sebab dalam keadaan demikian, dapat saja keadaan berubah dengang sewaktu-waktu dengan begitu cepatnya. Terutama yang perlu mereka waspadai adalah para cantrik Ki Ageng Wirasaba.
Namun sepertinya kelima cantrik itu masih sibuk untuk merawat pepundennya yang sepertinya terluka parah, sehingga belum terlihat sama sekali tanda-tanda mereka akan berbuat sesuatu yang mencurigakan.
Setelah Ki Agung Sedayu mampu duduk bersila dengan baik, dirinya segera memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki keadaan tubuhnya yang tadi sempat terguncang dengan demikian hebatnya setelah terjadi benturan.
Dan obat yang telah ditelannya itu sangat membantu sekali untuk dapat mempercepat memperbaiki keadaan, sehingga di dalam pemusatan nalar budinya pun memakan waktu lebih pendek.
Maka tidak lama kemudian, Ki Agung Sedayu yang telah selesai pun segera melepaskan pemusatan nalar budinya guna memperbaiki keadaan di dalam tubuhnya secara perlahan-lahan.
“Bagaimana dengan keadaan Ki Ageng Wirasaba?”. bertanya Ki Agung Sedayu setelah benar-benar melepas pemusatan nalar budinya, lalu membuka kedua matanya.
“Aku belum tahu, Kakang. Tapi sepertinya dia terluka parah”. sahut Nyi Sekar Mirah sembari sekilas menyempatkan diri untuk melirik ke arah orang yang dimaksud.
“Sebaiknya kita mendekat”.
“Apakah Kakang yakin?”.
“Kenapa aku harus ragu?”.
“Bukan begitu Kakang, maksudmu kita sebaiknya tetap berhati-hati dengan keadaan. Terutama dengan para cantrik Ki Ageng Wirasaba”.
“Aku mengerti maksudmu, Sekar Mirah. Kita memang tidak ada salahnya berhati-hati, tapi tidak baik pula jika kita terlalu memiliki prasangka buruk terhadap mereka”.
“Bagaimana dengan keadaan Kakang sendiri?”. kali ini Nyi Pandan Wangi lah yang bertanya.
“Sekarang aku sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhku masih sangat lemah karena tenagaku benar-benar terkuras. Tapi sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi”.
Lalu dengan dibantu oleh kedua istrinya yang berada sebelah menyebelah, Ki Agung Sedayu berusaha berdiri. Kemudian ketiganya berjalan menghampiri dimana Ki Ageng Wirasaba berada bersama para cantriknya.
“Maaf Ki Sanak, apakah aku diperkenankan untuk memeriksa tubuh Ki Ageng Wirasaba?”. berkata Ki Agung Sedayu yang melihat para cantrik masih mengerumuni tubuh pepundennya tersebut.
Mendengar suara yang datang begitu tiba-tiba, membuat betapa terkejutnya para cantrik, dan seketika mereka memandang ke arah sumber suara dengan pandangan mata dengan maksud yang berbeda-beda.
“Apa yang akan kau lakukan, Ki Sanak?”.
“Ada hal yang ingin aku tanyakan kepada Ki Ageng Wirasaba”.
Jawaban itu membuat para cantrik Ki Ageng Wirasaba menjadi saling pandang, dan saling memberikan isyarat apakah yang sebaiknya harus mereka lakukan.
“Dan kebetulan aku memiliki sedikit bekal kawruh pengobatan, barangkali aku dapat sedikit membantu”. sahut Ki Agung Sedayu dengan sikap ramah dan bersahabat.
“Apakah kau bermaksud akan meracuni Ki Ageng?”. sahut Wandana dengan pandangan penuh curiga.
“Tidak Ki Sanak, tidak”.
“Bukankah itu mungkin sekali dapat kau lakukan jika kami memberikan kesempatan kepadamu?”.
“Tapi percayalah kepadaku, agar kita tidak semakin kehilangan waktu untuk dapat menyelamatkannya”.
Mereka pun sekali lagi menjadi saling pandang.
“Baiklah Ki Sanak, tetapi jika nanti terjadi sesuatu kepada Ki Ageng Wirasaba. Maka kami tidak segan-segan untuk meminta pertanggung jawabanmu”. sahut Wiramba sebagai cantrik tertua di antara mereka, lalu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Sementara tubuh Ki Ageng Wirasaba yang sudah sangat lemah masih berada di pangkuan Wiramba sejak beberapa saat tadi, dan matanya pun masih terpejam.
“Ki Ageng, aku akan mencoba memeriksa keadaanmu”. berkata Ki Agung Sedayu yang berjongkok di sebelah kanannya.
Mendengar suara itu, Ki Ageng Wirasaba yang sudah semakin melemah berusaha membuka kedua matanya, dan berusaha membuka mulutnya pula.
“Percuma”. sahutnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Bukankah kita diwajibkan untuk berusaha?”.
“Aku tahu jika kau memiliki bekal kawruh pengobatan, sehingga kau pun pasti sudah mengetahui pula dengan pasti keadaanku yang sebenarnya”.
“Tetapi bukankah tidak ada salahnya jika kita berusaha?”.
“Sudahlah… “.
“Jika demikian, baiklah. Tapi ada yang ingin aku tanyakan kepada Ki Ageng Wirasaba”.
“Kau memang luar biasa, Ki Sanak. Dan sudah sepantasnya menjadi salah satu murid Perguruan Windhujati”.
“Siapakah sebenarnya Ki Ageng Wirasaba ini? dan kenapa Ki Ageng memendam dendam yang begitu dalam kepada Orang Bercambuk dan murid-muridnya?”.
“Tidak ada gunanya lagi aku menyimpan rahasia ini dalam keadaan seperti ini”.
“Terima kasih, Ki Ageng. Lalu siapakah sebenarnya Ki Ageng Wirasaba ini?”.
“Aku adalah cucu Raden Rangga Surapada”.
Betapa terkejutnya Ki Agung Sedayu mendengar jawaban dari orang yang berada di hadapannya tersebut, dan tanpa sadar penalarannya pun segera menduga akan sesuatu.
“Apakah Ki Ageng adalah anak dari Ki Panji Surapati? atau orang yang pernah menyebut dirinya sebagai Kakang Panji? orang yang pernah menggemparkan pada saat perang Pajang?”.
“Iya…”. sahut Ki Ageng Wirasaba dengan suara yang sudah hampir tak terdengar karena keadaannya yang sudah semakin lemah di dalam pangkuan cantrik tertuanya.
Sebenarnya dirinya masih ingin membuka suara, itu dapat dilihat dari mulutnya yang masih berusaha bergerak-gerak. Namun seakan suara itu sudah lebih dulu tercekat di tenggorokannya dalam keadaan yang sudah semakin gawat.
Tiba-tiba tubuh itu seakan tersentak oleh kekuatan yang tak kasat mata, kemudian kedua matanya membelalak dan akhirnya tidak bergerak lagi dengan matanya yang masih terbuka.
“Kyai…”. ucap Wiramba dengan suara pilu dan kesedihan, setelah menyadari apa yang telah terjadi dengan pepundennya tersebut.
Semua orang yang hadir pun tidak dapat menyembunyikan kesedihan mereka, tetapi tetap saja orang-orang yang merasa paling kehilangan adalah para cantriknya.
“Aku turut berduka atas kepergian Ki Ageng Wirasaba”. berkata Ki Agung Sedayu setelah beberapa saat mereka terdiam dalam penalarannya masing-masing.
Entah apa yang ada di dalam penalaran para cantrik itu, namun mendengar ucapan ayah Bagus Sadewa tersebut, lalu mereka semua memandang ke arahnya.
“Sebaiknya kita segera lakukan penyelenggaraan pemakaman bagi Ki Ageng Wirasaba yang sudah tiada ini, sebagai penghormatan terakhir kita kepadanya”.
“Kau telah membunuhnya, Ki Sanak”. ucap Wandana tiba-tiba dengan dibarengi tatapan matanya yang tajam kepada ayah Bagus Sadewa itu yang masih berjongkok di hadapannya.
“Bukankah kalian melihat semuanya yang telah terjadi?”.
“Ya… kami semua melihatnya dari awal hingga akhir, dan kami melihat pula bahwa kau telah membunuh Ki Ageng WIrasaba. Orang yang sangat kami hormati”.
“Bukankah semua ini terjadi setelah kami sepakat untuk berperang tanding? dan kami berdua pun sama-sama menjunjung tinggi paugeran perang tanding yang berlaku”.
“Adi Wandana”.
“Apakah Kakang Wiramba menerima semua ini begitu saja? apakah Kakang lupa bahwa Kyai mengajarkan kepada kita bahwa utang wirang dibalas wirang, utang pati dibalas pati?”.
“Ya… aku masih mengingatnya”.
“Lalu kenapa Kakang sekarang diam saja setelah melihat Ki Ageng Wirasaba dibunuh orang?”.
“Kalian jangan kehilangan penalaran, Ki Sanak”. berkata Ki Agung Sedayu yang berusaha menenangkan suasana sembari beranjak berdiri.
“Kami tidak kehilangan penalaran, kami bertindak sebagaimana seharusnya kami bertindak”.
“Tapi apa yang akan kalian lakukan itu tidak seharusnya kalian lakukan, dan aku yakin bahwa kalian semua tentu tahu apa saja paugeran dalam perang tanding”.
“Ya… kami tahu, tapi utang pati tetaplah utang pati. Maka kami minta utang pati itu dibayar sekarang juga, agar tidak menjadi masalah yang berkepanjangan di kemudian hari”.
“Bukankah tidak ada namanya utang pati di dalam sebuah perang tanding?”.
“Itu menurutmu, Ki Sanak. Dan kau jangan berpikir terlalu sempit, bahwa kebenaran hanya dari penalaranmu semata. Sebab bagi kami, kematian Ki Ageng Wirasaba telah meninggalkan utang pati yang akan kami tagih sekarang juga”.
“Aku atau kalianlah yang berpikiran sempit? mana ada sebuah perang tanding akan meninggalkan utang pati bagi pihak yang telah gugur di arena, selama kedua-duanya menjunjung tinggi paugeran perang tanding yang berlaku?”.
“Terserah apa katamu, Ki Sanak. Karena yang jelas, kami menuntut balas atas kematian Ki Ageng Wirasaba yang terjadi di hadapan kami”.
“Tetapi sebelum kalian ingin menuntut balas kepadaku, sebaiknya kalian segera lakukan dulu penyelenggaraan pemakaman bagi Ki Ageng Wirasaba”. sahut Ki Agung Sedayu yang berusaha mendinginkan suasana.
Sejenak para cantrik itu menjadi saling pandang, namun jawaban salah satu dari mereka benar-benar mengejutkan.
“Apa kau kira kami adalah sekumpulan orang-orang dungu? apa kau kira aku tidak tahu maksud tersembunyi darimu? bukankah dengan kami menyelenggarakan pemakaman lebih dulu, maka kalian gunakan kesempatan itu untuk melarikan diri dari kami semua?”. sahut Wandana dengan tatapan mata penuh curiga.
“Tidak Ki Sanak, kami tidak akan lari dari kalian?”.
“Omong kosong… mustahil sekali jika kalian akan dengan suka rela menunggu, sementara kami memakamkan tubuh Ki Ageng Wirasaba yang sudah tidak bernyawa itu”.
“Apakah kalian tidak percaya kepada kami?”.
“Apa alasan kami dapat percaya kepada orang yang baru saja kami kenal? bukankah kami orang-orang dungu jika dengan begitu mudahnya percaya dengan orang yang baru kami kenal?”.
Sementara Ki Agung Sedayu yang sejak tadi sudah berusaha sejauh mungkin untuk menghindari perselisihan mulai kehabisan kata-kata untuk meyakinkan para cantrik.
Tanpa sadar ayah Sekar Wangi itu menoleh ke arah kedua istrinya secara bergantian, dan sepertinya kedua perempuan perkasa itu tanggap akan maksud suaminya.
“Jika tidak dapat kita hindari, apa boleh buat, Kakang”. ucap Nyi Sekar Mirah dengan suara perlahan dan setengah berbisik.
Terdengar suara tarikan nafas dari Ki Agung Sedayu yang begitu dalam setelah mendengar jawaban tersebut. Bukan kedua istrinya yang harus bertempur yang dia sesalkan, namun perselisihan yang seakan tiada habisnya di dalam hidupnya lah yang dia sesalkan.
Meskipun dirinya percaya akan kemampuan kedua istrinya, namun dia tidak mau percaya diri secara berlebihan. Karena hal tersebut akan dapat membuatnya kehilangan pengamatan diri akan keadaan yang sebenarnya.
Dan jika itu terjadi, maka mereka akan dapat terseret ke dalam kesulitan karena kebodohan mereka sendiri. Sehingga mereka bertiga harus berhitung secara cermat dalam menanggapi keadaan yang berkembang.
Sehingga dengan keadaan sekarang, Ki Agung Sedayu harus berhitung bahwa akan ada kemungkinan pula lawannya tidak akan bersikap jantan, dengan satu lawan satu.
Sementara dirinya sudah barang tentu belum dapat turun ke medan karena keadaannya yang masih sangat lemah, setelah berperang tanding melawan Ki Ageng Wirasaba.
Dan kini yang berada di pihaknya hanya ada dua istrinya, yang mungkin sekali akan dikeroyok semua cantrik Ki Ageng Wirasaba yang berjumlah lima orang.
Jika itu benar-benar terjadi, maka sudah barang tentu akan sangat mengkhawatirkan. Terlebih lagi mereka belum tahu sejauh mana kemampuan mereka masing-masing.
Seandainya kemampuan mereka tidak jauh dari kemampuan Ki Ageng Wirasaba itu sendiri, bukankah hal tersebut tentu akan menjadi petaka bagi mereka bertiga.
Secara pribadi, memang tidak ada ketakutan sama sekali di hati mereka. Namun dalam keadaan yang demikian tidak cukup bicara antara takut dan tidak, tetapi mereka benar-benar harus berhitung secara cermat kekuatan di kedua belah pihak.
Bagi Ki Agung Sedayu, perasaannya begitu berat jika harus melepas kedua istrinya untuk melawan para cantrik yang berjumlah lima orang tersebut.
Namun jika dirinya harus melibatkan diri, tentu keadaannya belum memungkinkan. Karena tubuhnya hanya sekedar untuk berjalan saja masih lemah, apalagi harus bertempur.
“Kakang tidak perlu mengkhawatirkan kami berdua”. berkata Nyi Pandan Wangi lirih, yang tanggap akan kegelisahan suaminya.
“Maafkan aku jika telah menyeret kalian ke dalam kesulitan”.
“Kakang tidak perlu minta maaf, ini adalah tanggung jawab kita bersama”. kali ini Nyi Sekar Mirah lah yang menyahut.
Dalam hati Ki Agung Sedayu merasa sangat bersyukur memiliki istri yang baik, mengerti akan kesulitan suami. Bahkan tidak hanya satu istri, tetapi tiga. Selain itu, mereka adalah para perempuan yang berilmu sangat tinggi pula.
Namun salah satu murid utama Orang Bercambuk itu tidak dapat terlalu lama terlarut dalam lamunannya, sebab orang-orang yang berada di hadapannya sepertinya sudah mulai mempersiapkan diri untuk melawan mereka bertiga.
“Apa yang kalian bicarakan, Ki Sanak? apakah kalian menjadi ketakutan? sehingga kalian mencari cara untuk melarikan diri dari hadapan kami?”. berkata Wandana dengan setengah berteriak.
Sebenarnya Wiramba sebagai cantrik tertua sempat ragu dengan apa yang akan mereka lakukan, namun melihat apa yang dilakukan adik seperguruannya, dirinya mulai terpengaruh pula.
“Jangan kau kira kami menjadi ketakutan, setelah melihat kau berhasil membunuh Ki Ageng Wirasaba. Meskipun nanti kami akan terkapar pula disini, tapi kami tentu akan mati dengan penuh kebanggaan, karena sudah bela pati kepada orang yang selama ini kami suwitani”. sahut cantrik yang lain.
“Apakah kalian tiba-tiba menjadi tuli dan bisu? atau karena kalian benar-benar menjadi ketakutan menghadapi kami berlima?”. ucap Wandana yang semakin tidak sabar.
“Jangan garang begitu, Ki Sanak”. sahut Ki Agung Sedayu yang masih berusaha sejauh mungkin untuk menghindari perselisihan di antara mereka.
“Aku sudah memperingatkanmu, jadi jangan salahkan aku jika tiba-tiba aku menyerangmu”. berkata Wandana yang kemudian segera mempersiapkan diri.
“Kau mau apa, Ki Sanak?”. sahut Nyi Sekar Mirah yang tidak dapat menahan diri lagi melihat kenyataan tersebut.
“Kau jangan ikut campur, Nyi Sanak”.
“Jika kau mengusik suamiku, maka aku akan ikut campur”.
“Apakah kau sudah kehilangan akal sehat, Nyi Sanak?”.
“Apa maksudmu?”.
“Kau pikir aku akan silau setelah melihatmu mengenakan pakaian khusus dan membawa senjata di balik punggungmu? setinggi apapun kemampuanmu, kau tetaplah seorang perempuan. Dan apalah arti seorang perempuan?”.
Mendengar hal itu, telinga Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi bagaikan disengat besi panas membara, jantung keduanya pun tiba-tiba bergejolak dengan cepatnya.
Beruntunglah kedua perempuan itu adalah orang yang tidak hanya sudah berumur, namun pengalamannya yang luas sangat membantu mereka dalam mengendalikan kemarahan.
Jika mereka terpancing kemarahannya, justru merekalah yang akan menjadi rugi sendiri. Sebab dengan demikian mereka akan dapat kehilangan penalaran wajar dan tidak dapat berpikir jernih dalam menanggapi setiap keadaan yang berkembang.
“Apakah kau tidak pernah bertarung melawan seorang perempuan?”.
“Pernah… bahkan sudah beberapa kali, tetapi semuanya dapat aku menangkan. Dan salah satunya harus menerima nasib yang sangat buruk karena kebodohannya sendiri”. sahut Wandana dengan penuh kesombongan.
“Apakah maksudmu, kau telah membunuhnya?”.
“Aku sudah memperingatkannya, tapi dia terlalu bodoh untuk diajak bicara baik-baik”.
“Ternyata kau adalah orang yang tidak memiliki sikap welas asih terhadap sesama, mungkin tidak berjantung pula”.
“Apa pedulimu?”.
“Aku tidak peduli dengan apa yang kau lakukan, tapi aku peduli dengan para perempuan yang menjadi korbanmu”.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”.
“Sudah saatnya tindakanmu itu dihentikan”.
Mendengar ucapan ibu Bagus Sadewa itu justru dengan serta merta membuat Wandana tertawa berkepanjangan, dan hal itu membuat dua perempuan yang berdiri di hadapannya menjadi saling pandang sejenak.
“Apakah kau sadari ucapanmu itu, Nyi Sanak?”. bertanya Wandana setelah tertawanya reda.
“Ya… aku sadar”.
“Jika demikian, kau jangan hanya pandai sesorah saja, Nyi Sanak. Tapi buktikanlah ucapanmu itu sekarang”. sahut Wandana sembari melangkah maju dengan penuh kepercayaan diri.
Nyi Sekar Mirah yang tidak main-main dengan ucapannya pun segera mempersiapkan diri pula menyambut sikap calon lawannya.
“Berhati-hatilah, Sekar Mirah”. ucap Ki Agung Sedayu perlahan memberi peringatan kepada istri tertuanya tersebut.
“Baik Kakang”.
Sejenak kemudian dua orang itu sudah saling berhadapan sebagai lawan, sementara yang lain masih terdiam melihat semua itu. Dan Wiramba yang masih memangku kepala pepundennya masih ragu dengan apa yang akan dilakukannya.
Tetapi sebagai cantrik tertua, dia merasa bertanggung jawab atas apa yang dilakukan adik-adik seperguruannya. Sehingga dirinya pun meminta kepada mereka untuk menyingkirkan terlebih dahulu tubuh Ki Ageng Wirasaba yang sudah tidak bernyawa ke tempat yang lebih aman.
Kemudian Wiramba memberikan isyarat kepada ketiga adik seperguruannya untuk membawa tubuh itu ke sisi hutan kecil agar tidak terganggu selama mereka bertempur, sebelum diselenggarakan pemakaman seperti yang seharusnya.
Setelah itu mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan terhadap orang-orang yang berdiri di hadapannya tanpa merasa terganggu pergerakannnya oleh apapun juga.
“Marilah Ki Sanak, kita lanjutkan urusan kita”. berkata Wiramba yang ditujukan kepada ayah Bagus Sadewa.
“Suamiku belum dapat turun ke medan, jadi akulah yang akan mewakilinya”. sahut Nyi Pandan Wangi mendahului suaminya yang sudah akan membuka mulut.
“Kenapa tiba-tiba suamimu menjadi seorang pengecut?”.
“Aku rasa aku tidak perlu menjawabnya, karena kau pasti sudah tahu sendiri jawabannya, Ki Sanak”.
“Sebenarnya aku tidak ingin berurusan denganmu, Nyi Sanak. Sebab urusanku hanya dengan suamimu, karena dialah yang telah membunuh pepunden kami”.
“Jika kau memang hanya ingin berurusan dengan suamiku, tunggulah beberapa hari lagi untuk memberikan kesempatan kepadanya agar memulihkan keadaannya lebih dulu”.
“Aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu”.
“Jika demikian, sama saja kau berbuat licik, Ki Sanak”.
“Apakah aku dapat disebut licik jika menantangnya berperang tanding?”.
“Ya… sebab kau berusaha memanfaatkan keadaan suamiku yang masih lemah setelah baru saja selesai berperang tanding melawan Ki Ageng Wirasaba. Bukankah itu sama saja kau berbuat licik?”.
“Terserah apa katamu, yang jelas aku dan kawan-kawanku ingin bela pati terhadap Ki Ageng Wirasaba yang gugur”.
“Jika itu maumu, maka akulah yang akan mewakili suamiku”.
“Terserah kau saja, karena setelah aku membereskanmu. Aku akan tetap menantang suamimu untuk berperang tanding”.
Ucapan Wiramba itu sempat membuat hati Nyi Pandan Wangi berdesir, bukan karena takut. Tapi secara tidak langsung menjadi peringatan baginya.
Sebab calon lawannya itu tidak akan berkata demikian jika tidak memiliki bekal yang cukup untuk memasuki sebuah pertempuran, terutama dalam sebuah perang tanding.
Sementara Nyi Sekar Mirah terlihat sudah mendapat arenanya sendiri dan lebih dulu memulai pertarungan, melawan orang yang begitu percaya diri dengan kemampuannya.
Wandana merasa diatas angin, meskipun dirinya pun sadar bahwa lawannya yang tidak lebih dari seorang perempuan itu tentu memiliki bekal kawruh kanuragan yang cukup. Itu dapat dilihat dari ciri-ciri yang lawannya kenakan, pakaian khusus dan membawa senjata khusus pula.
Namun dalam penalaran wajarnya, setinggi apapun kemampuan lawannya, pasti dirinya akan tetap mampu mengalahkan perempuan tersebut bagaimanapun caranya.
Dengan kepercayaan diri yang tinggi Wandana mulai menyerang lawannya dengan lompatan pendek disertai tangannya menjulur lurus ke depan.
Nyi Sekar Mirah yang memang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, segera berkelit dan memiringkan tubuhnya ketika serangan itu datang.
Wandana yang sudah menduga bahwa lawannya pasti memiliki bekal kawruh kanuragan tidak terkejut, namun ketika serangan itu tidak mengenai sasaran, segeralah tubuhnya diputar sembari menyerang lawannya.
Dengan merendahkan tubuhnya, ibu Bagus Sadewa segera membalas dengan menyapu kaki lawan, Wandana yang melihat serangan tersebut segera melompat ke samping.
Kemudian pertarungan itu semakin lama menjadi sengit, keduanya saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya meskipun masih dalam tataran tinggi.
Pertarungan dalam jarak pendek itu semakin lama semakin sengit dan keras, dan Wandana yang menyadari masih kesulitan untuk menembus pertahanan lawannya segera meningkatkan tataran kemampuannya.
Perubahan serangan itu sempat mengejutkan lawannya, namun sebagai orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan yang tinggi, Nyi Sekar Mirah tidak menjadi gugup.
Dengan meningkatkan tatarannya pula, justru kali ini serangan Nyi Sekar Mirah yang telah mengejutkan lawannya untuk beberapa saat sehingga dirinya harus melihat kenyataan bahwa mengalami kesulitan mendapati serangan lawannya yang datang membadai melawan seorang perempuan.
Namun sebagai orang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, Wandana dapat dengan segera memperbaiki keadaannya. Sehingga dapat keluar dari tekanan lawan yang hampir saja mampu menembus pertahanannya.
Pertarungan dalam jarak dekat itu pada akhirnya tidak dapat menghindari terjadi benturan. Meskipun pada tataran yang belum terlalu tinggi, namun membuat keduanya sempat terkejut.
“Pantas saja kau berani berdiri di hadapanku menggantikan kedudukan suamimu, Nyi Sanak”. berkata Wandana setelah melompat ke belakang untuk mengambil jarak.
“Bukankah memang seharusnya aku berbuat demikian?”.
“Ya… aku mengerti maksudmu, tapi yang tidak aku duga sebelumnya adalah tataran kemampuanmu”.
“Bukankah kita sudah sama-sama menduga, bahwa tentu kita memiliki bekal kawruh kanuragan masing-masing?”.
“Kau benar, tapi kau jangan senang dulu. Kita baru memulai pertarungan ini, dan aku masih mampu meningkatkan tataranku jauh lebih tinggi”.
“Apakah maksudmu kita akan bertarung hingga tataran puncak masing-masing?”.
“Tanpa kau tanyakan lagi, itu sudah pasti”.
“Apakah dengan demikian kau menantang berperang tanding?”.
Wandana tidak segera menjawab, wajahnya sempat terlintas keraguan untuk mengiyakan ucapan lawannya yang tidak lebih hanyalah seorang perempuan. Namun di dalam hati terdalamnya harus mengakui kemampuan lawannya tersebut.
“Kenapa kau terdiam, Ki Sanak? apakah takut jika nantinya akan dikalahkan seorang perempuan?”. ucap Nyi Sekar Mirah yang memang sengaja memancing kemarahan lawannya.
“Perempuan Iblis, ternyata mulutmu jauh lebih tajam dari welat wulung yang paling tajam sekalipun, Nyi Sanak”.
“Bukankan aku berkata apa adanya?”.
“Mulutmu terlalu beracun, aku akan membungkamnya dengan kedua tanganku”.
“Bukankah sejak tadi kau sudah berusaha melakukannya? tapi masih belum berhasil?”.
Jawaban ibu Bagus Sadewa itu semakin membuat lawannya marah, dan tanpa menyahut lagi, Wandana segera menyerang kembali lawannya.
Sementara tidak jauh dari tempat keduanya bertarung, Nyi Pandan Wangi pun telah memulai pertarungannya pula melawan cantrik tertua Ki Ageng Wirasaba.
Pertempuran yang masih menggunakan tangan kosong, namun sudah terlihat sengit meskipun di tataran kanuragan yang belum terlalu tinggi.
Terlihat sudah saling menyerang dan saling bertahan dengan sama baiknya pada tataran tersebut, pertarungan jarak pendek yang keras dan ulet dari keduanya.
Apalagi bagi Wiramba yang harus berkejaran dengan waktu, sebab dia masih memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemakaman bagi pepundennya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dirinya tidak ingin berlama-lama lagi untuk dapat menyelesaikan pertarungan yang kebetulan kali ini melawan seorang perempuan.
Hal tersebut dapat dilihat dari Wiramba yang lebih cepat meningkatkan tataran kemampuannya, ketika mendapati dirinya masih saja kesulitan untuk menembus pertahanan lawannya. Yang setelah beberapa saat bertarung, ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata lagi kemampuannya.
Nyi Pandan Wangi yang memiliki pengalaman sangat luas tidak menjadi gugup mendapati lawan yang demikian, meski pada awalnya sempat terkejut dan sempat terdesak beberapa saat, sebab tidak pernah menduga sebelumnya.
Namun dengan cepat dirinya mampu menyesuaikan diri dengan lawannya yang sepertinya sangat bersemangat sekali untuk dapat segera mengalahkannya.
Serangan demi serangan yang membadai dalam pertarungan jarak dekat itu seakan tidak pernah berhenti, dan seakan Wiramba tidak memberikan kesempatan sama sekali kepada lawannya hanya untuk sekedar menghela nafas sejenak.
Bahkan dari raut wajahnya tampak terlihat ketegangan, sebagai pertanda bahwa cantrik tertua Ki Ageng Wirasaba itu sudah dalam sikap yang sangat bersungguh-sungguh.
Mungkin itu adalah sebuah sikap yang naluriah sebagai orang yang paling dituakan di dalam rombongannya, sehingga kali ini dia merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi di tempat itu bersama kawan-kawannya.
Namun setelah sudah beberapa lama Wiramba masih merasa kesulitan untuk menembus pertahanan lawan, maka membuat dirinya harus merambah tenaga cadangan yang semakin tinggi lagi.
Sementara Ki Agung Sedayu yang keadaannya masih lemah untuk bertarung, hanya dapat menyaksikan dari luar arena yang berjarak beberapa tombak dengan hati yang berdebar-debar.
Ketika kedua istrinya sedang mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang dengan lawannya masing-masing, yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Yang membuat hatinya berdebar-debar bukan kemampuan kedua istrinya, tetapi kemampuan lawan-lawannya. Sebab ayah Bagus Sadewa belum tahu sejauh mana kemampuan mereka, dan dia tidak ingin deksura sehingga akan kehilangan pengamatan diri.
Sebab dalam penalarannya, kemampuan kanuragan seseorang yang lebih tinggi tidak akan pernah mampu menjamin orang tersebut untuk memenangkan pertarungan. Karena kecermatan penalaran dalam melihat pertarungan akan mampu mempengaruhi hasilnya pula.
Sementara ketiga cantrik yang tersisa hanya dapat terdiam sembari melihat pertarungan yang berjalan semakin sengit di dua arena yang berbeda.
Mereka pun tidak kalah tegangnya dan dengan jantung yang bergejolak semakin kencang, sembari perhatian mereka seakan tidak dapat mereka lepaskan melihat kedua kakak seperguruannya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?”. bertanya cantrik yang terlihat paling muda.
“Aku juga tidak tahu, tapi kita lihat saja dulu apa yang akan terjadi. Mungkin saja tenaga kita nanti akan dibutuhkan”. sahut cantrik tertua yang masih belum terlibat pertarungan.
Di dalam dua arena pertarungan tersebut semakin lama semakin terlihat jelas perbedaannya, pertarungan yang satu terlihat wajar dan seperti pertarungan yang mengalir saja.
Sedangkan di arena sebelahnya tampak terlihat menggebu-gebu untuk dapat segera menyelesaikan pertarungan, sehingga mau tidak mau Nyi Pandan Wangi harus melayani sepak terjang dari lawannya tersebut agar tidak mengalami nasib buruk.
Namun dari sengitnya pertempurannya, Wiramba masih sempat sesekali memperhatikan pertarungan adik seperguruannya yang membuatnya sempat bertanya-tanya dalam hati.
“Apa yang dia lakukan? kenapa adi Wandana bertempur seperti bermain-main saja? apa dia lupa jika kita masih memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya setelah pertarungan ini selesai?”. membatin Wiramba menimbang-nimbang, di sela-sela pertarungannya yang bertambah sengit dan rumit.
Nyi Pandan Wangi yang selalu bersikap hati-hati, meskipun melihat lawan tampak lebih muda darinya, tidak pernah mau gegabah dengan meremehkan kemampuannya.
Apalagi mereka belum pernah saling mengenal sebelumnya, sehingga segala kemungkinan masih dapat terjadi. Dan mungkin saja lawannya masih memiliki ilmu simpanan yang masih belum diungkapkannya yang dapat mempengaruhi pertarungan.
Benturan demi benturan semakin tidak dapat dihindarkan, dan di dalam setiap benturan itu mampu membuat udara di sekitar terguncang dengan hebatnya, meskipun belum pada tataran puncak ilmu masing-masing.
Serangan kaki dan tangan datang silih berganti hampir tanpa jeda sembari sesekali dibarengi dengan loncatan-loncatan jarak pendek ketika mereka saling menyerang dan bertahan.
Dan pada suatu ketika posisi Wiramba berdiri tepat menghadap ke arah adik seperguruannya yang sedang bertarung melawan seorang perempuan yang membawa senjata khusus di punggungnya, tetapi belum digunakan.
“Adi Wandana, kau jangan membuang-buang waktu. Kita harus segera selesaikan pertarungan ini, karena masih ada tugas penting yang sudah menanti”. berkata Wiramba dengan suara lantang di sela-sela pertempurannya.
“Baik Kakang”. sahut Wandana singkat, tetapi dengan suara yang tidak kalah lantang.
Peringatan itu tidak hanya berlaku bagi kedua cantrik Ki Ageng Wirasaba tersebut. Sebab secara tidak langsung, Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah sebagai lawannya tentu harus bersiap pula untuk menyesuaikan diri.
Lagipula kedua istri Ki Agung Sedayu itu harus berhati-hati, sebab kepercayaan diri yang tinggi lawan menyiratkan bahwa mereka tentu memiliki bekal kawruh kanuragan yang cukup.
Sebab mustahil sekali jika mereka tanpa bekal yang cukup akan berani deksura kepada lawan-lawannya setelah mereka melihat sendiri apa yang terjadi dengan pepunden mereka.
Setelah mendapat peringatan itu, kini Wandana memiliki sikap yang mantap untuk segera mengalahkan lawannya. Hal itu dapat dilihat dari dirinya tanpa ragu untuk terus meningkatkan tataran kemampuannya yang semakin tinggi.
Namun ternyata kali ini tidak mudah bagi kedua cantrik Ki Ageng Wirasaba untuk menaklukkan lawannya masing-masing. Jangankan untuk mengalahkan, untuk menembus pertahanan mereka pun mereka masih menemui kesulitan.
Meskipun Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah tidak lebih hanya seorang perempuan, namun mereka membuktikan bahwa tidak dapat begitu saja dipandang sebelah mata dalam pertarungan satu lawan satu.
Bahkan justru suatu kali Wandana harus melihat kenyataan pahit ketika kakinya yang terlambat menghindar telah disapu oleh lawan yang membuatnya jatuh tersungkur.
Meskipun dirinya mampu dengan cepat berguling dan berdiri kembali untuk melanjutkan pertarungan, namun hal itu cukup sebagai tanda bahwa pertarungan kali ini tidak hanya cukup berbekal kepercayaan diri yang tinggi saja.
“Setan Alas…”. terdengar umpatan yang sangat kotor keluar dari mulut Wandana setelah dirinya berhasil berdiri kembali.
“Tapi kau jangan senang dulu dengan kemenangan kecilmu ini, Nyi Sanak”. sambung Wandana dengan wajah mulai menegang.
“Bukankah aku diam saja? dan tidak merayakan keberhasilanku ketika mampu menjatuhkanmu, Ki Sanak? dan justru kau sendirilah yang mengumpat-ngumpat karenanya”.
“Setan Alas… kau memang Iblis Betina yang harus dibungkam”.
“Bukankah sejak tadi kau sudah berusaha melakukannya? tetapi sampai sekarang belum berhasil”. sahut Nyi Sekar Mirah yang memang sengaja memancing kemarahan lawan.
“Iblis Betina… tutup mulutmu! bersiaplah, karena sebentar lagi kau akan merasakan bagaimana rasanya mulutmu akan aku bungkam dengan caraku yang menyakitkan”.
“Sedari tadi kau hanya pandai berkoar-koar saja, Ki Sanak”.
Jawaban itu benar-benar membuat murka Wandana, dan tanpa menunggu lebih lama lagi, dirinya segera melompat menerjang lawannya dengan tataran kemampuannya yang dilambari tenaga cadangannya yang sangat tinggi.
Tangan laki-laki itu menerjang lawannya dengan tanpa ampun, tapi Nyi Sekar Mirah yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan masih dapat menghindari serangan tersebut dengan memiringkan tubuhnya.
Wandana yang tidak ingin kehilangan sasarannya, segera memburu lawannya dengan serangan membadai. Sehingga untuk beberapa saat mampu menekan lawan, hingga mampu membuatnya terdesak.
Nyi Sekar Mirah yang sejak awal masih berusaha menghindari setiap serangan lawan yang datang, akhirnya mau tidak mau dia harus membenturkan kekuatannya ketika tidak ada celah lagi untuk menghindar.
Tetapi betapa terkejutnya ibu Bagus Sadewa itu ketika tangannya berbenturan dengan tangan lawannya yang sedang berusaha menerjang pelipis kirinya.
“Gila…”. seru Nyi Sekar Mirah sembari melompat mundur beberapa langkah ke belakang sembari memeriksa tangannya.
“Ha.. ha.. ha… itulah akibatnya jika kau berani melawanku, Nyi Sanak”. ucap Wandana dengan penuh kebanggaan.
Sepertinya kali ini Wandana dapat membanggakan dirinya sendiri setelah pada akhirnya kerja kerasnya berhasil menyakiti lawannya. Meski ini baru sebatas kemenangan kecilnya, namun baginya ini adalah sebuah pertanda baik.
Sementara itu pertarungan Wiramba pun tidak kalah sengitnya, sebab keduanya sudah merambah ke tataran yang sangat tinggi pula meskipun belum pada puncaknya.
Nyi Pandan Wangi sepertinya memang masih belum mau menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya dan masih baru sebatas berusaha mengimbangi saja.
Sebab dalam penalarannya, lawannya tentu masih memiliki ilmu simpanan yang belum diungkapkannya, yang sewaktu-waktu dapat saja mengejutkannya jika dirinya tidak berhati-hati dalam melihat perkembangan pertarungan yang terjadi.
Dan ternyata dugaan ibu Bayu Swandana itu tidak meleset, sebab tidak lama kemudian lawannya telah mulai mengungkapkan ilmu simpanannya yang berlandaskan tenaga cadangan pada tataran yang sangat tinggi.
Pada suatu ketika, tiba-tiba Wiramba menyerangnya dengan serangan yang membadai dan memaksanya untuk bertahan lebih rapat dari sebelumnya.
Namun ada yang tidak disadari oleh ibu Sekar Wangi itu, tentang maksud lawannya yang menyerang dengan serangan membadai dalam jarak dekat.
Hal itu baru disadari ketika dirinya tidak dapat menghindar lagi, dan dengan terpaksa harus menangkis serangan lawan yang sudah hampir saja menghujam ke lambung sebelah kiri dengan tangan kirinya yang hampir saja terlambat.
“Gila… “. seru Nyi Pandan Wangi terkejut, lalu berusaha mengambil jarak yang cukup dari lawannya untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi.
Wiramba melihat apa yang terjadi, dengan sengaja memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menilai keadaan dengan sebaik-baiknya sembari sejenak menikmati kemenangan kecilnya yang sedari tadi sulit didapatkannya.
Dan apa yang dialami oleh Nyi Pandan Wangi, hampir sama dengan apa yang dialami oleh Nyi Sekar Mirah pula. Karena lawan mereka memiliki sumber ilmu yang sama.
“Gila…”. desis Nyi Pandan Wangi sembari memeriksa tangannya yang masih merasa kesakitan seperti ditusuki ribuan duri kemarung yang sangat tajam.
“Ketahuilah, Nyi Sanak. Bahwa apa yang kau rasakan itu, aku masih belum menerapkan kemampuanku hingga ke tataran puncak. Dan kau, aku beri kesempatan untuk menilai kembali apa yang terjadi, Nyi Sanak”.
“Terima kasih atas peringatanmu, Ki Sanak”.
Sebenarnya ketika benturan itu terjadi, maka bagian tubuh lawan yang berbenturan itu seakan telah ditusuki oleh ribuan duri kemarung yang sangat tajam dan menyakitkan.
Dan perasaan sakit itu tidak segera hilang setelah terjadi benturan, melainkan rasa sakit itu baru akan hilang setelah beberapa saat kemudian.
Namun hal itu tidak bersifat secara kewadagan, tetapi perasaan sakit yang menusuk-nusuk hingga ke tulang itu diakibatkan oleh pancaran ilmu lawannya yang sangat langka tersebut. Sehingga tidak meninggalkan bekas pada bagian tubuh yang berbenturan.
Entah dari mana sumber ilmu yang dimiliki oleh para cantrik Ki Ageng Wirasaba itu, sebab selama mereka menyaksikan perang tanding suaminya tidak tampak sama sekali ungkapan ilmu yang sejenis adanya.
“Aku beri kau kesempatan menyerah sebelum terlambat, karena sebenarnya aku tidak ingin melawanmu. Aku hanya ingin melawan orang yang telah membunuh pepunden kami”.
“Jika itu yang kau inginkan, bukankah itu sama saja artinya kau berbuat licik, Ki Sanak”.
“Terserah apa katamu, aku tidak peduli”.
“Jika itu yang kau mau, maka akulah yang akan menghalangimu”.
“Apakah kau sadari ucapanmu, Nyi Sanak?”.
“Ya… aku sadar atas apa yang aku katakan”.
“Apakah kau sudah mempertimbangkan pula segala akibat buruk yang bakal kau terima?”.
“Aku sudah memikirkan masak-masak apa yang aku lakukan dengan segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi atasku”.
“Ternyata kau memang perempuan keras kepala, tapi baiklah, itu adalah urusanmu. Jadi jangan salahkan aku jika nanti kau akan mengalami nasib buruk, sebab aku sudah memperingatkanmu”.
“Terima kasih atas peringatanmu, Ki Sanak. Meskipun entah bagaimana nasibku nanti, tetapi yang jelas sekarang aku tidak dapat meninggalkan suamiku yang terancam bahaya karena pokalmu dalam ketidak berdayaannya”.
“Kita sudah terlalu banyak bicara, sebaiknya bersiaplah! kita lanjutkan lagi pertarungan kita yang tertunda”. ucap Wiramba sembari menunjukkan sikap bersiap dahulu.
Nyi Pandan Wangi yang tidak ingin terlambat dari lawannya pun segera bersiap pula, namun kali ini dirinya mengetrapkan ilmu kebalnya terlebih dahulu.
Ibu Bayu Swandana itu segera mengetrapkan ilmu kebalnya pada tataran yang tinggi, meskipun belum pada tataran puncak.
Sementara di arena sebelahnya pun Wandana sedang menikmati kemenangan kecilnya setelah berhasil mengejutkan dan menyakiti lawannya dengan kemampuan yang dimiliki.
Nyi Sekar Mirah yang sudah berhasil mengambil jarak dari lawan pun segera memeriksa tangannya yang tadi digunakan untuk menangkis serangan lawan.
Tangan pada bagian itu seakan masih terasa di tusuk-tusuk ribuan duri kemarung, dan anehnya rasa sakit itu masih saja terasa setelah beberapa saat terjadi benturan.
“Gila… ilmu apalagi ini?”. desisnya tanpa sadar sembari memeriksa tangannya.
“Harus aku akui jika kawan laki-lakimu itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, tetapi bukan berarti kau pun memiliki kemampuan yang sama dengannya. Jadi sebaiknya kau urungkan saja niatmu untuk melawanku sebelum terlambat”.
“Apakah aku harus menyerah?”.
“Kau tidak punya pilihan, Nyi Sanak”.
“Benarkah demikian?”.
“Aku belum mengetrapkan ilmuku hingga tataran puncak saja kau sudah kesakitan, apalagi jika aku sudah pada tataran puncak? bukankah nasibmu dapat lebih buruk dari apa yang sekarang kau alami ini?”.
“Tapi aku tidak sependapat denganmu, Ki Sanak. Karena aku pun berhak menentukan pilihanku sendiri atas apa saja yang bakal aku lakukan”.
“Lalu apa pilihanmu?”.
“Aku akan tetap melawanmu jika kau dan kawan-kawanmu masih berusaha mengusik suamiku. Apapun akibatnya yang bakal terjadi atas diriku nanti”.
“Dasar perempuan keras kepala, jika itu maumu bersiaplah untuk menyambut nasib burukmu”. sahut Wandana yang mulai geram dengan sikap lawannya.
Nyi Sekar Mirah pun segera mengetrapkan ilmu kebalnya terlebih dahulu untuk membantu melindungi tubuhnya, atau paling tidak dapat mengurangi akibat ilmu lawan.
Tetapi dirinya tidak langsung mengetrapkan ilmu kebalnya pada tataran puncak, meskipun sudah di tataran yang tinggi. Dia akan melihat lebih dulu perkembangan yang terjadi, dan nanti hanya tinggal menyesuaikan diri.
Sejenak kemudian pertarungan kembali berkobar di dua arena, yang kali ini dengan sikap yang berbeda dari masing-masing orang yang terlibat.
Kedua cantrik Ki Ageng Wirasaba berbekal kepercayaan diri yang semakin tinggi setelah mampu menyakiti lawan masing-masing dengan ilmu yang mereka kuasai.
Apalagi dalam isi kepala keduanya, lawan yang tidak lebih dari seorang perempuan itu tentu tidak akan memiliki kemampuan setinggi laki-laki yang datang bersamanya. Dan tentu pula, hati mereka tidak akan sekeras watu ireng.
Dengan semakin sering berhasil menyakiti lawan masing-masing, tentu mereka akan lebih mudah untuk membujuk rayu lawan guna menyerah dan menghentikan perlawanan.
Dalam penalaran mereka, biasanya hati seorang perempuan tidak akan sekeras hati laki-laki dalam mempertahankan pendirian yang telah diyakininya.
Dengan berbekal tadi sudah mampu menyakiti lawannya, maka kedua cantrik dari Ki Ageng Wirasaba itu pun semakin gencar melancarkan serangan. Dengan maksud dapat semakin menekan lawan, dan dengan harapan lawan akan melakukan kesalahan dan mau tidak mau berusaha menangkis serangan tersebut.
Sebab dengan semakin banyaknya benturan, maka mereka akan semakin sering pula menyakiti lawan masing-masing, namun apa yang terjadi kemudian di luar dugaan.
Karena keduanya terlalu percaya diri dengan kemampuannya, maka mereka sempat tidak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi di medan.
Namun setelah terjadi beberapa kali benturan, Wiramba mulai memperhatikan lawannya yang sepertinya tidak tersakiti oleh pancaran ilmunya yang nggegirisi.
Bahkan sebelum dirinya menyadari sepenuhnya, dia dikejutkan oleh serangan lawan yang menurutnya sudah dihindari dengan jarak yang cukup, namun dadanya masih merasakan seperti dihantam wesi gligen.
Tak pelak membuatnya terlontar beberapa langkah ke belakang, dan hampir saja tubuhnya kehilangan keseimbangan jika tidak cepat memperbaiki kuda-kudanya.
“Setan Alas… Genderuwo, Tetekan…”.
Terdengar sumpah serapah dan umpatan yang sangat kotor keluar dari mulut cantrik tertua tersebut, setelah mengalami hal yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Sementara Nyi Pandan Wangi tetap berdiri di tempatnya sembari dengan sengaja memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menilai keadaan.
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi pemarah, Ki Sanak?”. bertanya Nyi Pandan Wangi dengan nada menggelitik.
“Iblis Betina…”.
“Apakah kau pernah melihat Iblis yang sebenarnya itu seperti apa, wujud dan kemampuannya? sehingga sekarang kau dapat mengatakan dan mensejajarkan aku dengan mahkluk yang katanya banyak orang tidak kasat mata itu?”.
“Itu bukan urusanmu”. seru Wiramba yang mulai marah dengan ucapan lawannya tersebut.
“Jangan garang begitu Ki Sanak, kata orang kau akan lebih cepat tua jika sering marah-marah”.
“Setan Alas… apa peduliku. Bersiaplah! aku tidak punya banyak waktu untuk bermain-main”.
Sebenarnyalah tadi Wiramba memang terkena serangan dari Nyi Pandan Wangi yang memiliki kemampuan, ilmunya dapat menjadi kepanjangan wadagnya secara tidak kasat mata.
Dan ilmu yang bersumber dari Perguruan Menoreh tersebut mampu mendahului beberapa jengkal wadag aslinya , sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Wiramba yang tadinya sempat memiliki kepercayaan diri tinggi, kini harus berpikir ulang tentang kemampuan lawannya, setelah apa yang dialami.
Kini dirinya harus lebih berhati-hati menghadapi lawan yang tidak lebih hanya seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi, namun memiliki kemampuan yang tidak terduga.
Kini pertarungan kembali berkobar di antara keduanya, dengan tataran kemampuan yang semakin tinggi dan mulai menunjukkan ilmu simpanan masing-masing.
Wiramba yang sudah mulai marah, mengambil kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Tapi kali ini dirinya sudah mengetrapkan tataran ilmunya hingga ke puncak.
Dengan berbekal ilmu yang sangat nggegirisi itu, Wiramba berusaha melibat lawannya dalam pertarungan jarak dekat dengan serangan yang membadai.
Ternyata serangan itu mampu membuat lawannya terdesak beberapa saat, sebab Nyi Pandan Wangi yang tanggap segera meningkatkan kemampuannya agar dapat keluar dari tekanan.
Selain meningkatkan kemampuannya, Nyi Pandan Wangi pun segera meningkatkan ilmu kebalnya ketika menyadari bahwa ilmu lawannya masih mampu menyakitinya, meski rasa sakit itu masih mampu ditahan.
Namun sebagai orang yang memiliki bekal ilmu kebal, pantang sekali baginya dapat disakiti lawan di dalam pertarungan selama dirinya masih mampu meningkatkan kemampuannya.
Kali ini Wiramba yang lebih menggunakan penalarannya dalam bertarung, mulai menyadari bahwa ada yang janggal di dalam penglihatannya. Dan ketika terjadi lagi benturan beberapa kali, maka dirinya dapat memastikan apa yang terjadi.
“Dasar Iblis Betina… ternyata kau memiliki ilmu kebal”. seru Wiramba di sela-sela pertarungannya yang semakin sengit.
“Mungkin kau salah lihat, Ki Sanak”.
“Kau jangan berusaha membodohi aku”.
“Apakah aku terlihat membodohimu?”.
“Kau tidak dapat ingkar, karena aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Tadi aku memang tidak menyadari, tapi sekarang aku dapat pastikan itu”.
“Ya… aku tidak akan ingkar”.
Wiramba tidak menyahut lagi, namun kemudian tandangnyalah yang terlihat semakin nggegirisi setelah tahu bahwa lawannya berlindung dibalik ilmu kebalnya.
Wiramba yang berusaha dengan gigih menyerang itu harus menerima kenyataan pahit, ketika pertahanannya mampu ditembus oleh tangan yang terbuka mengarah ke dada.
Karena tidak mampu memperbaiki keseimbangannya, maka membuatnya harus terlempar dan berguling di atas tanah padang perdu yang cukup keras dan berdebu tersebut.
Dada Wiramba yang terkena pukulan terasa nyeri sekali, bahkan membuatnya kesulitan bernafas untuk beberapa saat. Sehingga membuatnya tidak dapat segera bangkit.
“Setan Alas.. Genderuwo.. Tetekan…”.
Dengan serta merta hanya umpatan yang sangat kotor yang keluar dari mulut cantrik tertua Ki Ageng Wirasaba tersebut, sembari menahan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya.
Penalarannya seketika tiba-tiba menjadi pepat karena bekal kemampuannya ternyata tidak mampu mengimbangi lawannya, apalagi sampai mengalahkannya.
Selain itu dirinya masih dibayangi tanggung jawab yang masih menanti dan harus segera dilaksanakan, dalam keadaan tubuh yang masih menelungkup di tanah dirinya mulai berpikir untuk mempertimbangankan apa yang harus dilakukan.
Sementara Nyi Pandan Wangi yang melihat lawannya tidak segera bangkit, sengaja memberikan kesempatan lawan untuk memperbaiki keadaan, tetapi tetap hati-hati dan tidak pernah meninggalkan kewaspadaan tertinggi.
“Apakah kita masih akan melanjutkan pertarungan ini, Ki Sanak?”. bertanya Nyi Pandan Wangi, melihat lawannya yang masih saja belum bangkit setelah beberapa saat.
Wiramba tidak segera menyahut, dirinya hanya dapat menelan ludah yang terasa sangat pahit sekali baginya mendapati kenyataan bahwa dirinya diperlakukan demikian oleh lawannya yang hanyalah seorang perempuan.
Tetapi dirinya memang tidak dapat ingkar, jika kali ini dirinya telah berhadapan seorang perempuan yang perkasa.
Dan rasanya sulit sekali baginya untuk dapat mengalahkannya, karena selain lawannya berilmu sangat tinggi, ilmu kebalnya yang hampir sempurna itu semakin menambah kesulitannya.
Karena pada kenyataannya, ilmu Wiramba yang sudah berada di tataran puncak itu pun masih kesulitan untuk menembus ilmu kebal lawannya yang memang berilmu sangat tinggi.
Setelah berpikir keras dan dapat menemukan cara yang paling baik menurutnya akan apa yang akan dilakukan, maka Wiramba pun segera bangkit, lalu memperbaiki keadaannya lebih dulu dari tanah berdebu yang menempel di tubuh dan pakaiannya.
“Harus aku akui, Nyi Sanak. Bahwa sejak awal aku memang terlalu meremehkanmu. Tapi kau jangan senang dulu dengan kemenangan kecilmu ini, karena kini aku telah menemukan jalan keluar atas kesulitanku ini”.
“Semoga saja aku masih dapat mengatasinya”.
“Kenapa kau berkata demikian? apakah kau menjadi ketakutan?”.
“Apakah ucapanku ini menyiratkan sebuah ketakutan?”.
“Aku rasa demikian, tapi itu bukan urusanku. Karena urusanku adalah bagaimana mengalahkanmu dan kawanmu itu, tapi jika terpaksa mungkin kami akan membunuh kalian sebelum kami membunuh suamimu yang sekarang hanya menjadi penonton itu”.
Sementara pertarungan Wandana tidak kalah sengitnya, tapi nasibnya tidak lebih baik dari kakak seperguruannya tersebut. Karena lawannya lebih garang tandangnya.
Bahkan dirinya sudah terlempar beberapa kali dari arena ketika pertahanannya mampu ditembus, justru ketika dirinya sudah meningkatkan kemampuannya hingga tataran puncak.
“Setan Alas.. Genderuwo.. Tetekan…”.
Hanya itu yang keluar dari mulut Wandana untuk kesekian kalinya, ketika ilmunya yang sangat nggegirisi itu tidak dapat menyakiti lawan, tetapi justru dirinyalah yang mulai mengalami kesulitan yang semakin lama semakin berat atas serangan-serangan lawannya tersebut.
Kejadian ini pun tidak luput dari perhatian Wiramba, ternyata bukan hanya dirinya saja yang mengalami kesulitan atas lawannya. Dan hal ini membuatnya semakin memantapkan keputusan yang akan diambilnya.
Tiba-tiba Wiramba melakukan sesuatu yang mengejutkan semua orang yang berada di tempat tersebut, termasuk Ki Agung Sedayu yang sejak tadi perhatiannya hampir tidak pernah lepas dari arena pertarungan kedua istrinya.
“Apa yang akan dilakukannya?”. membatin ayah Bagus Sadewa dengan penuh tanda tanya.
“Aku rasa itu adalah sebuah isyarat yang hanya dapat dimengerti oleh kawan-kawannya, meskipun aku dapat menduga, namun dugaan itu masih belum tentu benar”.
“Tapi seandainya dugaanku benar pun, aku tidak dapat berbuat apa-apa karena keadaanku yang masih sangat lemah untuk memasuki sebuah pertarungan yang sebenarnya”.
“Semoga Yang Maha Agung selalu memberikan kawelasan dan melindungi mereka berdua dalam keadaan yang bagaimanapun sulitnya”. ucap ayah Sekar Wangi, yang mulai dirundung oleh kegelisahan atas apa yang bakal terjadi.
Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ki Agung Sedayu, hingga pada akhirnya dirinya hanya dapat berpasrah diri dalam panuwunannya kepada Yang Maha Welas Asih bagi kedua istrinya yang sangat dikasihi.
Ternyata benar, Wiramba memberikan isyarat kepada adik-adik seperguruannya dengan sebuah siulan yang suaranya menyerupai suara Burung Kedasih secara tiga kali berturut-turut.
Mereka yang mendengar dengan jelas akan isyarat itu pun tanggap dan segera menyesuaikan diri atas apa yang dikehendaki oleh kakak seperguruannya tertua, termasuk Wandana yang sejak tadi sudah terlibat dalam pertarungan.
Dengan serta merta, kelima cantrik Ki Ageng Wirasaba segera mengepung dua orang perempuan yang berilmu sangat tinggi itu dalam sebuah lingkaran.
Maka secara naluriah, Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah segera menyesuaikan diri dengan saling beradu punggung sembari dengan sikap siap untuk menghadapi segala kemungkinan dan menghadap ke arah lawan yang kini bertambah banyak.
“Menurut kalian, cara seperti inikah sikap laki-laki jantan terhadap perempuan?”. berkata Nyi Sekar Mirah sembari matanya tidak berhenti melirik ke kanan dan ke kiri.
“Kau memang benar-benar Iblis Betina, Nyi Sanak. Dan mulutmu pun jauh lebih beracun dari Ular Bandotan yang paling berbisa”. sahut Wandana yang semakin geram.
“Kenapa kau menjadi marah, Ki Sanak? bukankah aku hanyalah sekedar bertanya?”.
“Kau jangan mencoba menggores harga diri kami, Nyi Sanak. Sekarang aku tanya kepada kalian, lebih jantan kami yang berani bertarung atau kawan laki-lakimu itu yang membiarkan kalian dalam bahaya?”. sahut Wiramba mendahului adik seperguruannya.
“Dia bukan kawanku”. sahut Nyi Sekar Mirah.
“Lalu…?”.
“Suamiku”. sahut kedua perempuan itu hampir bersamaan.
“Kenapa jawaban kalian sama?”.
“Karena kami berdua memang istrinya”. sahut Nyi Sekar Mirah yang tidak mau bicara berbelit-belit.
Sontak saja jawaban itu membuat beberapa cantrik Ki Ageng Wirasaba itu menjadi tertawa berkepanjangan, bahkan hingga ada yang sampai memegangi perutnya dengan kuat karena saking tidak dapat menahan tawa.
“Apakah yang kalian tertawakan?”. tanya Nyi Sekar Mirah dengan dahi berkerut penuh keheranan, setelah tawa orang-orang di hadapannya reda.
“Meskipun kalian berilmu sangat tinggi dan memiliki paras yang cantik meskipun pada umur kalian sudah tidak muda lagi, namun ternyata kalian adalah perempuan-perempuan yang paling malang yang pernah aku kenal sepanjang hidupku”. sahut WIramba.
“Apa maksudmu?”.
“Ternyata kalian adalah perempuan-perempuan yang tidak laku, sehingga kalian harus rela berbagi suami”. sahut Wiramba lalu kembali tertawa.
“Apakah menurutmu, setiap orang yang rela berbagi suami adalah para perempuan yang tidak laku?”.
“Lalu apa namanya? bukankah aku berkata yang sebenarnya? dan mana mungkin jika perempuan itu laku, masih mau berbagi dengan perempuan lain di bawah atap yang sama?”.
“Terserah apapun pendapat kalian tentang kami, karena kalian tidak pernah tahu apapun tentang kami”.
“Jika saja umur kalian lebih muda, tentu kami akan dengan senang hati untuk mengajak kalian tinggal di padepokan kami. Tapi sayang sekali, selera kami bukanlah perempuan-perempuan tua, meskipun kami sudah lama tidak mengenal perempuan”.
“Apakah kalian adalah para laki-laki yang biasa memperlakukan seorang perempuan dengan cara demikian? jika benar, betapa mengerikannya tindak-tanduk kalian selama ini bagi perempuan yang malang”.
“Kenapa mengerikan? perlu kalian tahu, bahwa kami akan memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya di padepokan kami, dan kami tidak pernah berbuat kasar sedikitpun kepada perempuan, jika mereka menurut”.
“Bukankan perempuan yang bersedia tinggal di padepokan kalian tentu bukan karena dengan senang hati, tapi pasti karena kalian paksa? dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan keganasan kalian semua”.
“Sudahlah…! kita disini untuk bertarung, bukan untuk sesorah”. seru Wiramba yang mulai menyadari bahwa lawannya memang sengaja mengulur-ulur waktu.
“Bukankah kalian sendiri yang sejak tadi telah banyak bicara?”.
“Cukup…! bersiaplah kalian”. seru Wiramba yang sudah tidak dapat menahan diri lagi.
Sejenak kemudian, kelima cantrik itu mulai bergerak memutar sembari dengan sikap siap dan kuda-kuda yang kuat untuk memulai pertarungan kembali.
Sementara Ki Agung Sedayu yang melihat semua apa yang terjadi menjadi semakin berdebar-debar jantungnya. Meskipun dalam hati dirinya tidak sampai hati membiarkan semua itu terjadi di depan matanya, namun keadaannya yang masih sangat lemah tidak memungkin untuk ikut memasuki gelanggang.
“Maafkan aku, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Keadaanku tidak memungkinkan untuk membantu kalian yang sekarang dalam kesulitan”. membatin ayah Bagus Sadewa.
“Semoga Yang Maha Welas Asih selalu memberikan kekuatan kepada kalian berdua, dan semoga saja Yang Maha Agung memberikan pertolongan kepada kita yang sedang dalam kesulitan”.
Sementara ibu Bagus Sadewa dan ibu Bayu Swandana itu sudah mulai bersiap pula, tidak lupa keduanya meningkatkan tataran ilmu kebal hingga ke tataran puncak.
Karena dengan perlindungan ilmu kebal yang mereka kuasai, sangat membantu sekali untuk melindungi tubuh mereka dari serangan-serangan ilmu lawan yang nggegirisi.
Meskipun lawannya berjumlah lima orang, tetapi karena mereka semua belum mengeluarkan senjata, maka keduanya pun sungkan untuk langsung menarik senjata masing-masing jika belum dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Dan berdasarkan pengalaman yang sangat singkat menghadapi lawannya tadi, keduanya merasa masih mampu untuk mengimbangi kemampuan lawan.
Namun dengan bertambahnya lawan, kini keduanya harus lebih berhati-hati. Sebab banyak kemungkinan yang bakal terjadi, terutama jika kemampuan lawan tidak berselisih jauh, maka mereka akan benar-benar berada di dalam kesulitan.
Dengan saling beradu punggung, mereka sudah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan, perhatian kedua perempuan perkasa itu sudah terpusat kepada setiap gerak-gerik lawan yang setiap saat sudah siap menyerang.
Karena mereka yang merasa kalah jumlah, terpaksa lebih banyak bertahan dan menunggu serangan lawan daripada menyerang lebih dahulu, karena itu sangat berbahaya bagi kedudukan keduanya ketika mendapat serangan balik.
Kelima laki-laki itu masih terus bergerak memutar secara perlahan sembari membuat gerakan-gerakan aneh, Wandana yang tidak sabar mengambil kesempatan untuk menyerang lebih dulu lawan yang ada paling dekat.
Nyi Pandan Wangi yang mendapat serangan tersebut tidak menjadi terkejut, dengan sigap dirinya segera berkelit. Namun gerakan menghindarnya tertahan ketika lawan yang lain menyerang pula dari arah yang berbeda.
Dengan cepat Nyi Pandan Wangi segera menangkis terjangan kaki lawan yang berasal dari arah samping dengan tangan kirinya, namun betapa terkejutnya perempuan yang sudah hampir paruh baya itu setelah menyadari apa yang terjadi.
Karena ilmu kebalnya yang sudah pada tataran puncak mampu ditembus oleh lawan. Meski hanya terasa sekilas, namun itu sudah cukup menjadi peringatan baginya.
Meskipun dalam pengetrapan ilmu kebal kedua perempuan itu memancarkan hawa panas pada keadaan di sekitarnya, namun kelima orang itu sepertinya tidak terlalu terpengaruh dengan keadaan tersebut.
Entah mereka memang memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari hawa panas? atau mereka hanya sekedar berpura-pura tidak terpengaruh kepada lawan.
Belum sempat Nyi Pandan Wangi merenungi apa yang terjadi, serangan berbahaya dari arah lain telah menyusul. Tubuhnya yang agak rendah, kali ini mendapat serangan ke arah dagunya.
Beruntunglah tangan kanannya masih sempat untuk menangkis serangan yang sudah hampir saja mengenai sasaran, kembali lagi benturan itu meninggalkan rasa sakit seperti ditusuki ribuan duri kemarung yang sangat tajam.
Namun perasaan sakit itu hanya berlangsung sesaat dan tidak terlalu menyakitkan, sebab ilmu kebal yang diterapkan masih dapat melindungi tubuhnya.
“Kenapa ilmu mereka seakan meningkat sangat tajam? padahal tadi waktu aku menghadapi salah seorang dari mereka, ilmu kebalku masih dapat melindungi tubuhku dari ilmu mereka yang sangat aneh dan nggegirisi ini”. membatin Nyi Pandan Wangi di sela-sela kesibukannya menahan serangan demi serangan lawan.
Nyi Sekar Mirah pun merasakan hal yang hampir sama dengan apa yang dialami oleh Marunya tersebut, dan panggrahitanya yang tajam menangkap sesuatu yang tidak wajar.
Namun begitu, dirinya belum dapat menyimpulkan. Karena ingin lebih memastikan dulu apa yang sebenarnya terjadi agar tidak salah dalam menilai keadaan yang berkembang kini.
Sejenak kemudian pertarungan menjadi semakin sengit di antara kedua belah pihak yang sedang berselisih, tetapi mereka masih dapat saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya.
Tetapi pertarungan yang mengharuskan dua orang perempuan yang memiliki ilmu sangat tinggi itu untuk saling beradu punggung menimbulkan tandang mereka menjadi terbatas.
Keduanya memang sudah terbiasa dengan gelanggang yang bagaimanapun bentuknya, namun jika harus beradu punggung sembari melawan lima orang sekaligus, semakin lama akan membuat mereka kurang mapan.
Meskipun keduanya belum saling berbicara, namun sepertinya mereka merasakan hal yang sama dalam pertarungan kali ini. Sehingga ketika ada kesempatan.
“Sebaiknya kita berpencar”. bisik Nyi Pandan Wangi.
“Aku sependapat, Mbokayu”.
Sejenak kemudian keduanya mencoba menyibak medan yang dikelilingi oleh lima orang tersebut dengan serangan yang keras dan membadai.
Kelima cantrik Ki Ageng Wirasaba itu pun sempat terkejut, sehingga meninggalkan kelengahan untuk tetap mengurung lawan mereka dalam sebuah lingkaran. Dan ketika medan itu telah mulai terbuka, maka keduanya dengan gerakan yang sangat cepat melompat saling menjauhi.
“Jangan biarkan mereka kabur!”. seru Wiramba kepada adik-adik seperguruannya setelah menyadari, bahwa kedua lawan mereka meloloskan diri dari kepungan.
Selesai berkata demikian, Wiramba dengan sigap segera memburu ke arah Nyi Pandan Wangi yang tadi sudah sempat menjadi lawannya, sementara Wandana memburu Nyi Sekar Mirah. Dan pertarungan sengit di dua arena pun kembali berkobar.
Namun tiga yang lain masih nampak kebingungan dengan apa yang harus mereka lakukan, karena belum mendapat perintah dari kakak seperguruannya.
“Kenapa kalian bertiga tiba-tiba menjadi dungu?”.
“Kami bingung mau ikut siapa, Kakang. Sebab jumlah kita ganjil”. sahut satu dari mereka, lalu saling pandang.
“Kalian berdua bergabunglah bersamaku, sisanya bergabunglah dengan Wandana”. seru Wiramba di sela-sela dirinya yang sedang bertahan dari serangan lawan yang datang bertubi-tubi.
Sepertinya perintah itu tidak perlu diulangi, karena sejenak kemudian ketiga cantrik itu telah menyebar sesuai apa yang diperintahkan oleh kakak tertua mereka.
Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang tadi sempat dengan leluasa menyerang lawan masing-masing, kini harus kembali disibukkan dengan lawan yang bertambah jumlahnya.
Namun sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi dan pengalaman yang luas, kedua perempuan itu tidak menjadi gugup dengan keadaan.
Dengan cepat mereka mampu menyesuaikan diri dengan lawan masing-masing, meskipun kini peluang mereka untuk dapat memenangkan pertarungan menjadi semakin kecil.
Meskipun kemampuan secara pribadi Nyi Pandan Wangi dapat dikatakan lebih unggul jika dibandingkan lawannya, betapapun tipisnya. Namun jika sekarang Wiramba mengeroyoknya bertiga, ini akan dapat berbeda ceritanya.
Tetapi demikian, Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah tidak pernah merasa gentar sedikitpun, meski kemungkinan mereka untuk memenangkan pertarungan menjadi semakin kecil.
Dalam hati mereka selalu berserah diri dan tidak lupa memanjatkan panuwunan sekaligus meminta perlindungan kepada Yang Maha Welas Asih atas apa yang sedang dilakukan.
Wiramba yang kini bertarung bersama dua kawannya menjadi semakin percaya diri, apalagi mereka adalah saudara perguruan yang sudah mengenal dalam waktu yang lama.
Sehingga dalam pertarungan, tidak ada rasa canggung atau kebingungan. Mereka dapat saling mengisi satu sama lain layaknya bagian tubuh mereka sendiri.
Dan pertarungan yang berjalan semakin sengit itu sudah berada di tataran puncak ilmu masing-masing, sehingga jika dilihat dengan mata wajar, tubuh mereka terlihat seperti bayangan yang bergerak kesana dan kemari.
Pertarungan jarak pendek itu berlangsung cepat dan keras, dengan demikian semakin sering pula terjadi benturan di antara mereka dalam keadaan terpaksa.
Terutama Nyi Sekar Mirah yang harus melawan dua orang, dan tidak memiliki kemampuan layaknya Nyi Pandan Wangi yang dapat menjadikan ilmunya menjadi kepanjangan dari bagian tubuhnya.
Dan ibu Bagus Sadewa itu kembali merasakan bahwa tekanan kedua lawannya itu begitu hebat, dan seakan kemampuan Wandana tidak seperti sebelumnya.
“Sepertinya ada yang tidak wajar”. membatin Nyi Sekar Mirah di sela-sela tekanan lawan yang mampu memaksanya untuk lebih banyak bertahan.
Bahkan hampir setiap terjadi benturan, bagian tubuh tersebut merasakan kesakitan meskipun sudah terlindungi dengan ilmu kebal pada tataran puncak.
“Tadi lawanku yang pertama, hampir tidak pernah mampu menembus ilmu kebalku. Tapi kenapa sekarang mereka seakan mudah sekali menembusnya? meskipun belum benar-benar dapat menyakitiku, namun justru pada saat aku sudah mengetrapkannya pada tataran puncak”. membatin lagi Nyi Sekar Mirah.
“Beruntulah kau menguasai ilmu kebal yang hampir sempurna, Nyi Sanak. Jika tidak, maka sudah dapat aku pastikan sekarang tubuhmu sudah terbujur kaku dengan tubuhmu yang dipenuhi dengan lubang-lubang kecil sebesar duri kemarung”. ucap Wandana.
“Luar biasa, betapa mengerikannya ilmumu itu, Ki Sanak”.
“Tapi kau jangan senang dulu, meskipun kau berlindung dibalik ilmu kebal, cepat atau lambat kau pasti akan mengalami seperti yang sudah aku sebutkan tadi, jika kami sudah bertarung bersama”.
“Apa maksudmu, Ki Sanak”. sahut Nyi Sekar Mirah yang masih terus bertarung melawan dua orang sekaligus.
“Kemampuan kami akan meningkat jika kami bertempur bersama orang yang memiliki sumber ilmu yang sama. Jika dengan satu orang, maka akan meningkat dua kali lipat, dan seterusnya sesuai dengan orang yang terlibat”.
“Pantas saja aku merasakan kemampuan kalian meningkat tajam sejak bertarung bersama”. sahut Nyi Sekar Mirah yang telah mendapat jawaban atas apa yang mengganggu penalarannya.
Dengan demikian, kini Nyi Sekar Mirah harus lebih berhati-hati setelah mengetahui bahwa sedang menghadapi ilmu yang sangat langka pemiliknya tersebut.
Nyi Sekar Mirah yang tidak memiliki kemampuan layaknya Nyi Pandan Wangi harus berpikir keras untuk dapat mengatasi ilmu lawannya yang semakin menyakiti bagian tubuhnya.
Dirinya mulai mempertimbangkan untuk menggunakan senjata andalannya yang masih terselip di punggungnya. Namun masih ada rasa ragu di hatinya, sebab kedua lawannya masih belum terlihat mempergunakan senjata sama sekali.
Tetapi Nyi Sekar Mirah tidak dapat membiarkan dirinya terlalu lama dalam kesulitan. Dan jika dirinya tidak berbuat sesuatu, maka akan semakin terjerat ke dalam kesulitan yang semakin dalam.
Sembari terus bertahan dari serangan kedua lawannya, Nyi Sekar Mirah masih berpikir keras guna mempertimbangkan apa yang sebaiknya harus dilakukannya.
Namun ketika tekanan itu makin dahsyat melibatnya, pada akhirnya dirinya pun berusaha mencari kesempatan untuk dapat mengambil jarak.
Ketika kesempatan itu tiba, maka Nyi Sekar Mirah melompat dengan lompatan panjan beberapa kali untuk mengambil jarak yang cukup dari kedua lawannya yang semakin nggegirisi.
Wandana dan adik seperguruannya yang terlambat sekejap hanya dapat termangu-mangu di tempatnya berdiri, setelah melihat apa yang dilakukan lawannya yang telah berdiri tegak sembari memegang erat senjata andalannya tersebut.
“Kau…?”. seru Wandana dengan wajah penuh keheranan, seperti melihat dedemit di siang bolong.
“Kau kenapa, Ki Sanak?”. bertanya anak perempuan satu-satunya Swargi Ki Demang Sangkal Putung itu heran.
“Apa hubunganmu dengan Ki Patih Mentahun dari Jipang?”.
“Dia adalah salah satu sesepuh perguruanku”.
“Darimana kau dapatkan senjata itu? bukankah senjata itu adalah satu dari dua senjata perlambang kepemimpinan perguruan yang sangat besar di masanya, yaitu Perguruan Kedung Jati?”. ”.
“Kau benar, Ki Sanak. Dan tentu saja aku dapatkan senjata ini dari guruku yang dengan sukarela memberikannya kepadaku”.
“Siapakah nama gurumu?”.
“Ki Sumangkar”.
“Jika aku tidak salah dengar, bukankah Ki Sumangkar adalah salah satu adik perguruannya Ki Patih Mentahun dari Jipang pada masa pemerintahan Adipati Harya Penangsang?”.
“Kau benar, Ki Sanak”.
“Jika aku tidak salah dengar, aku pernah mendengar pertarungan antara dua orang pemimpin Perguruan Kedung Jati yang saling berseberangan pada saat perang di Demak. Antara Ki Saba Lintang melawan Nyi Lurah Agung Sedayu, atau yang dikenal juga dengan nama Nyi Sekar Mirah. Lalu apa hubunganmu dengan mereka?”.
“Akulah Sekar Mirah itu”.
“He…?”. sahut Wandana dengan wajah sangat terkejut.
“Apakah kau tidak percaya dengan ucapanku, Ki Sanak?”.
“Bukan aku tidak percaya, Nyi Sanak. Tapi jawabanmu itu benar-benar sangat mengejutkanku. Pantas saja kalian berdua memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi menghadapi kami berlima, ternyata kau adalah orang yang telah membunuh Ki Saba Lintang dalam sebuah perang tanding”.
“Yang Maha Agung lah yang memberiku kawelasan untukku agar dapat memenangkan perang tanding itu”.
“Jangan merajuk, Nyi Sanak. Dan jangan kau kira dengan nama besarmu itu akan mampu menakut-nakuti kami berlima, sebab kau harus buktikan nama besarmu itu di hadapan kami sekarang”.
“Terserah apa katamu, Ki Sanak”.
“Bersiaplah…!”. sahut Wandana, lalu mengeluarkan senjatanya.
Para cantrik yang sejak awal tidak terlihat membawa senjata itu ternyata menyimpan sepasang belati yang disimpan dibalik maju masing-masing.
Sementara Wiramba meskipun kini bertarung bersama kedua adik seperguruannya, ternyata tidak dapat dengan mudahnya menembus pertahanan lawannya. Karena ternyata lawannya memiliki ilmu yang menjadi kepanjangan bagian tubuhnya.
Namun meski begitu, benturan demi benturan tidak terelakkan. Dan Nyi Pandan Wangi merasakan kesakitan pada bagian tubuh tersebut setiap kali terjadi berbenturan.
Bahkan rasa sakit itu terasa sangat menyakitkan untuk beberapa saat dan seakan kemampuan lawannya tiba-tiba meningkat tajam, dan perubahan itu mulai disadarinya.
Tataran kemampuan lawannya itu mulai berubah ketika mereka bertarung secara bersama-sama, apalagi setelah Nyi Pandan Wangi secara tidak sengaja ikut mendengar pembicaraan ibu Bagus Sadewa dengan lawannya, di sela-sela pertarungannya.
Dengan demikian, maka semakin menguatkan dugaan Nyi Pandan Wangi sejak beberapa saat tadi, tentang kemampuan lawannya yang sangat langka tersebut.
Dan jika yang menguasai ilmu tersebut memiliki kesempatan untuk mengembangkannya lebih jauh, tentu akan menjadi sebuah ilmu kanuragan yang sangat nggegirisi. Sebab dengan semakin banyak orang yang menguasainya, tentu akan semakin terlihat sekali perbedaannya dalam pertarungan yang sebenarnya.
Sebelum Nyi Pandan Wangi semakin terjerat ke dalam kesulitan yang tak terhindarkan, setelah melihat Marunya mengeluarkan senjata andalannya.
Maka dirinya pun tanpa ragu lagi mengeluarkan senjatanya pula ketika mendapat kesempatan untuk mengambil jarak dari tiga orang yang mengeroyoknya.
“Sepertinya kau sudah mulai kehabisan akal untuk melawan kami bertiga, Nyi Sanak. Tapi aku senang, justru ini mempercepat pekerjaan kami”. ucap Wiramba dengan nada merendahkan.
“Terserah pendapat kalian, karena aku tidak dapat menemukan cara lain yang aku anggap lebih baik untuk menghadapi kalian bertiga secara bersama-sama, selain dengan cara ini”.
“Apakah sudah kau pikirkan pula akibatnya?”.
“Apa maksudmu?”.
“Dengan kau bersenjata, maka kami pun akan menggunakan senjata pula. Dan justru itu akan semakin mempercepat kekalahanmu?”.
“Kalah atau menang itu adalah akibat yang wajar di dalam sebuah pertarungan, dan kekalahan itu bukanlah sesuatu yang harus diratapi. Karena yang paling utama itu adalah bagaimana cara kita untuk meraih kemenangan tersebut”.
“Aku sependapat denganmu, Nyi Sanak. Namun dalam sebuah pertarungan itu jangan dilihat dari satu sisi saja, tapi harus dilihat dari berbagai sisi, sebab ada kalanya kita berbuat seperti ini karena ada alasan kepentingan yang lebih besar”. sahut Wiramba yang tidak mau kalah.
“Pertarungan memang memiliki alasannya masing-masing dan menurut kebenarannya masing-masing pula. Sebab orang yang sedang berselisih itu, apapun alasannya, pasti memiliki dasar keyakinan kebenaran yang saling bersebrangan”.
“Kau benar, karena jika tidak berseberangan tentu tidak akan terjadi perselisihan di antara mereka”.
“Dan orang yang sedang berselisih tentu merasa dirinya paling benar dan pihak lawan lah yang bersalah. Begitu juga sebaliknya, pihak lawan pun pasti berbuat demikian”.
“Cukup…! kita tidak akan selesai-selesai jika masih terus banyak bicara. Bersiaplah, Nyi Sanak! sebaiknya kita segera selesaikan pertarungan ini. Dan jangan salahkan kami, jika dengan bersenjata akan membuatmu mengalami nasib buruk”. sahut Wiramba.
Nyi Pandan Wangi tidak menjawab lagi, namun dirinya segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi lawan yang berjumlah tiga orang tersebut.
Dalam hati dirinya tidak henti-hentinya untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar mendapat jalan keluar dari kesulitan yang sedang dialaminya dengan cara terbaik.
Karena biar bagaimanapun, dengan bekal kawruh kanuragan yang dimilikinya, Nyi Pandan Wangi tidak dapat jumawa ketika berhadapan dengan orang-orang yang berilmu sangat tinggi tiga orang sekaligus.
Sejenak kemudian, pertarungan itu kembali berkobar. Namun sekarang memegang senjata andalan di tangan masing-masing, dan sepertinya senjata para cantrik Ki Ageng Wirasaba itu tidak ada yang berbeda, mereka menggunakan sepasang belati.
Sementara Nyi Sekar Mirah yang sudah menggunakan senjata andalannya, terlihat menjadi semakin garang. Tongkat Baja Putih itu berputar-putar kesana kemari.
Penggunaan senjata dalam tataran puncak dari ilmu yang bersumber dari Perguruan Kedung Jati itu telah terdengar suara angin yang menderu kemanapun tongkat itu bergerak.
Namun hal itu tidak membuat gentar kedua lawannya. Apalagi mereka berdua memiliki ilmu yang aneh dan langka, yaitu kemampuan yang dapat meningkatkan tataran kemampuan menjadi berlipat jika bertarung bersama kawannya yang memiliki sumber ilmu yang sama.
Senjata yang lebih panjang dari lawan, sepertinya lebih menguntungkan bagi Nyi Sekar Mirah. Baik untuk menyerang ataupun bertahan.
Namun bukan berarti tanpa kekurangan, memang senjata itu lebih panjang, namun hanya berjumlah satu. Berbeda dengan lawannya menggunakan sepasang senjata di tangan masing-masing.
Secara hitung-hitungan, selain kalah jumlah orang. Nyi Sekar Mirah pun kalah pula dalam jumlah senjata yang digunakan dalam pertarungan tersebut.
Setelah pertempuran itu kembali berkobar, tidak lama kemudian benturan demi benturan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Bahkan kali ini ada sesuatu yang terasa berbeda akibat benturan.
“Gila…”. membatin Nyi Sekar Mirah, setelah terjadi benturan.
“Ternyata aku salah duga”. katanya lagi dalam hati, dalam pertarungannya yang masih berkobar.
Sementara Wandana dan adik seperguruannya masih saja menyerang ibu Bagus Sadewa itu dengan garangnya dari dua arah yang berbeda untuk saling mengisi.
Sepertinya keduanya memang sengaja tidak memberikan kesempatan lagi kepada lawannya untuk merenungi dan menilai kembali apa yang sedang terjadi.
Sebenarnyalah getaran-getaran menyakitkan layaknya ditusuki oleh ribuan duri kemarung itu rasanya semakin tajam setelah mereka sama-sama menggunakan senjata.
Padahal tadi Nyi Sekar Mirah sempat berpikir bahwa pancaran ilmu itu tidak akan mampu merambat melalui senjatanya, tapi ternyata dugaannya salah besar.
Dan kini dirinya harus menghadapi kenyataan, bahwa ternyata pengaruhnya justru semakin besar dan menyakitkan. Ilmu lawannya itu seakan api yang sedang berkobar disiram oleh minyak. Maka semakin menjadi-jadilah kobaran api tersebut.
Beberapa kali dirinya memang mampu menembus pertahanan dan berhasil mengenai bagian tubuh lawan dengan senjata andalannya, namun sepertinya masih belum mampu menghentikan perlawanan dua laki-laki tersebut. Meskipun mereka mulai kesakitan, tetapi seakan tidak dirasa.
Dan tandang mereka masih tampak garang, apalagi setiap mereka melihat lawan kesakitan. Maka semangat mereka menjadi berkobar lagi agar dapat segera mengalahkan lawan, yang hanyalah seorang perempuan hampir paruh baya.
“Benar-benar ilmu yang sangat ngedab-edabi, haruskah aku merambah ke ilmu pamungkas untuk menyelesaikan lawan-lawanku ini?”. pikir Nyi Sekar Mirah yang mulai mempertimbangkan.
“Tetapi jika mereka bertempur berpasangan, tentu kemampuan mereka menjadi dua kali lipat pula. Lalu apakah ilmu pamungkasku akan mampu menandingi tataran dari keduanya?”.
Isi kepala murid Ki Sumangkar itu mulai bermunculan berbagai pertimbangan atas apa yang bakal dilakukannya untuk mengatasi kemampuan lawannya yang semakin sering menyakitinya melalui getaran-getaran ilmu mereka.
Sementara Nyi Pandan Wangi pun mengalami nasib yang hampir sama dengan adik mendiang suaminya yang pertama. Kedua tangan yang memegangi senjata andalannya, semakin sering tersengat rasa sakit bersamaan dengan terjadinya benturan dengan lawan.
Namun Nyi Pandan Wangi masih merasa bersyukur kepada Yang Maha Welas Asih, sebab ilmu kebal yang dia kuasai sangat menolong sekali dalam pertempuran kali ini.
Sudah dalam perlindungan ilmu kebal yang sangat tinggi saja, lawannya masih mampu menyakiti tubuhnya. Jika tanpa itu, pasti dirinya akan mengalami nasib yang sangat buruk hari ini.
Tetapi pada akhirnya, dirinya dapat memaklumi. Bukan bermaksud untuk merendahkan lawannya, namun dengan melawan tiga orang sekaligus, dan mereka memiliki ilmu yang dapat meningkat tajam jika bertempur bersama-sama.
Maka sama artinya kemampuan mereka tiga menjadi satu, dengan kata lain tataran kemampuan mereka pun sama saja menjadi tiga kali lipat dari yang seharusnya.
Namun beruntunglah dengan bekal kemampuan yang dikuasai yang dapat mendahului wadagnya, Nyi Pandan Wangi sangat terbantu sekali kesulitannya.
Lawannya mulai terluka di beberapa bagian ketika terlambat menyadari serangannya yang tak kasat mata, tergores oleh tajamnya sepasang pedang tersebut.
Sehingga mulai terlihatlah guratan-guratan merah yang mulai mengeluarkan darah segar dari bagian tubuh para cantrik itu di beberapa bagian.
Tetapi apa yang mereka alami itu tidak membuat perlawanan mereka menjadi kendor, namun justru tandang mereka menjadi semakin garang.
Sebab dalam penalaran para cantrik itu pun yakin, bahwa lawannya pun mengalami kesulitan yang hampir sama dengan apa yang sedang mereka alami.
Meskipun lawan berlindung dibalik ilmu kebal, namun beberapa kali mereka sempat melihat perempuan dengan senjata sepasang pedang itu meringis menahan sakit akibat terkena pancaran ilmu mereka yang kini menjadi tiga kali lipat.
Semakin lama pertempuran di dua arena yang berbeda itu berlangsung menegangkan, dan belum ada tanda-tanda siapakah yang bakal keluar sebagai pemenang.
Para cantrik Ki Ageng Wirasaba itu tidak dapat ingkar, bahwa lawan mereka yang hanya dua orang perempuan itu memiliki tataran kemampuan yang sangat tinggi. Sehingga tidak mudah bagi kelimanya untuk mengalahkannya.
Dalam pertempuran yang semakin merambah pada tataran yang semakin tinggi, bahkan hingga tataran puncak masing-masing. Tiba-tiba ada sesuatu yang tidak pernah mereka duga sebelumnya dan sangat mengejutkan semua orang yang hadir di tempat tersebut hingga mampu mengguncang arena pertempuran.
Pada awalnya mereka semua tidak begitu memperhatikan hal tersebut, karena pengaruhnya memang sangat halus, Namun semakin lama pengaruh itu semakin kuat.
Sebagai orang yang berilmu tinggi, Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah segera menyadari bahwa ada seseorang yang telah mengganggu pertempuran mereka.
Keduanya yang segera tanggap dengan keadaan yang berkembang dengan begitu cepatnya, maka sejenak kemudian mereka segera berusaha menutup indra penciuman masing-masing agar tidak semakin terjerat dalam pengaruhnya.
Karena tiba-tiba di sekitar tempat itu muncul bau wewangian yang entah dari mana datangnya, dan semakin lama pengaruhnya mampu mengganggu penalaran wajar.
Sebab jika terlambat menyadari atau tidak memiliki kemampuan yang sangat tinggi, tentu akan kesulitan agar dapat keluar dari jeratan pengaruh salah satu jenis ilmu yang sudah sangat langka dan aneh tersebut.
Karena bau wewangian itu semakin lama begitu semerbak dan mampu mempengaruhi penalaran orang yang secara sengaja atau tidak sengaja menghirup wewangian yang bertebaran di udara.
Semakin lama pengaruhnya benar-benar memabukkan bagi orang-orang yang terlanjur menghirup wewangian itu dan terlambat menyadari akan apa yang sebenarnya terjadi.
Sehingga kedua belah pihak yang sedang berselisih itu meski tanpa berjanji sebelumnya, pertempuran di dua gelanggang itu seakan menjadi terhenti karena hal tersebut.
Wajah kelima cantrik itu pun kini tampak berubah, karena pengaruh bau wewangian yang datang begitu tiba-tiba di sekitar tempat tersebut.
“Apakah kalian masih ingin terus bertarung?”.
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat lembut dan terkesan manja datang dari arah samping, berjarak beberapa tombak dari dua arena gelanggang pertempuran.
Dengan serta merta, secara hampir bersamaan kelima cantrik itu pun menoleh ke arah sumber suara. Dan betapa terkejutnya mereka setelah melihat siapakah yang berbicara.
Namun mereka tidak segera menjawab, mulut mereka yang terbuka masih terlihat kaku karena rasa terkejut mereka yang masih menguasai diri setelah melihat pemandangan yang tak pernah terbayangkan dalam benak mereka.
“Apakah kalian lebih senang bertarung, daripada mengawani aku disini?”.
Kembali terdengar suara yang sangat lembut dan manja dari orang yang baru saja datang tersebut, setelah tidak mendapat jawaban seperti yang diinginkannya.
“Tidak Nini, eh… tidak Nyi Sanak. Tentu saja aku lebih senang mengawanimu”. sahut Wandana dengan suara tergagap.
Selesai berkata demikian, Wandana pun segera menghampiri orang yang baru saja datang itu. Seorang perempuan yang sangat cantik dengan tubuhnya yang memancarkan semerbak bau wewangian yang memabukkan.
Tindakan itu lalu diikuti oleh para cantrik Ki Ageng Wirasaba yang lain, yang tidak mau ketinggalan untuk dapat mendekati perempuan yang sangat cantik.
Apalagi kelima orang itu sudah lama sekali tidak mengenal sosok perempuan selama hidup di padepokan. Sehingga hal ini semakin menambah dorongan gejolak gairah mereka untuk mendekati dan mengenal lebih jauh seorang perempuan.
Terlebih lagi perempuan yang ada di hadapan mereka kali ini adalah perempuan yang sangat cantik dengan tubuh sintalnya pada umurnya yang masih cukup muda, meski tidak terlalu muda. Atau dapat dikatakan pula sebagai sosok perempuan yang hampir sempurna yang pernah mereka kenal selama ini.
Sehingga mereka pun tidak ingin melewatkan kesempatan yang sangat berharga ini. Dengan demikian mereka tiba-tiba melupakan pertarungan yang sedang mereka lakukan.
“Siapakah kau sebenarnya, Nyi Sanak?”. bertanya Wiramba setelah mereka berdiri berhadapan beberapa tombak.
“Aku adalah pengembara yang tak punya rumah dan tidak punya tujuan, aku berjalan kemana saja mengikuti langkah kakiku”. sahut perempuan itu masih dengan suara lembut dan manja.
“Parasmu begitu cantik, tubuhmu begitu indah dan sangat mempesona. Siapakah namamu, Nyi Sanak?”. bertanya Wandana dengan wajah agak bersemu merah.
“Anjani”.
“Nama yang cantik, secantik orangnya”. sahut Wandana.
“Ah… kau terlalu memuji, Ki Sanak”.
“Aku berkata yang sebenarnya, kau memang benar-benar sangat cantik, Nyi Sanak”.
“Terima kasih”.
“Lalu akan kemanakah kau sekarang?”.
“Bukankah sudah aku katakan, jika aku ini adalah seorang pengembara yang tidak punya tujuan pasti kemana aku akan melangkah? aku hanya mengikuti saja langkah kakiku”.
“Jika kau tidak punya tujuan, sebaiknya kau ikutlah bersama kami. Kau akan kami jadikan Ratu di tempat kami, dan kami akan penuhi semua permintaanmu”. sahut Wiramba.
“Benarkah demikian?”.
“Kami berjanji akan membahagiakanmu lahir dan batin, pasti kau akan bahagia di tempat kami. Karena kami pasti akan memenuhi segala keinginanmu, bahkan yang selama ini belum pernah kau rasakan di dalam hidupmu”.
“Tapi aku takut”.
“Apa yang kau takutkan? katakan saja padaku! aku pasti akan melindungimu dari segala gangguan atau bahkan bahaya yang bagaimanapun bentuknya”.
“Kalian terlihat garang, aku takut jika nanti ikut bersama kalian tentu kalian akan berbuat kasar kepadaku”.
“Ah… kau jangan salah menilai, Nyi Sanak. Kami memang orang-orang yang terlihat garang, tapi percayalah kepada kami dan kami berjanji tidak akan pernah berbuat kasar kepadamu jika kau mau ikut bersama kami”.
“Apakah ucapanmu itu dapat dipercaya, Ki Sanak”. sahut Nyi Anjani, masih dengan suara lembut dan manjanya.
“Jika kau masih tidak percaya, aku bersama kawan-kawanku ini bersumpah, biarlah kami disambar petir jika kami berani melanggar janji kami sendiri”. sahut Wiramba dengan penuh keyakinan.
“Ah… apa kau tidak takut dengan sumpahmu itu, Ki Sanak? bagaimana jika Yang Maha Agung benar-benar marah kepada kalian, jika nanti kalian melanggar sumpah kalian sendiri?”.
Sementara Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang telah kehilangan lawan masing-masing, hanya dapat saling pandang melihat apa yang terjadi.
Namun tidak terucap sepatah kata pun dari keduanya, selain hanya masih berdiri termangu di tempatnya, tanpa meninggalkan kewaspadaan sedikit pun.
Meskipun untuk sementara mereka dapat bernafas lega, setelah perhatian semua lawan mereka tertuju sepenuhnya kepada orang yang baru saja datang. Yang tidak lain adalah Maru mereka sendiri, istri paling muda dari suaminya.
Sebenarnya pada awalnya mereka sempat tersinggung dengan apa yang dilakukan oleh Nyi Anjani tersebut. Tetapi sebagai seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi, hati mereka tidak mudah dikuasai oleh gejolak perasaan.
Kini penalaran mereka lebih bekerja, dibandingkan hati yang mudah bergejolak dan mudah terpengaruh oleh sikap orang lain atau keadaan tertentu.
Sehingga kedua perempuan perkasa itu kembali menyarungkan kembali senjata andalan masing-masing ke tempatnya, tetapi tetap dengan sikap siap menghadapi segala kemungkinan kapanpun saatnya dibutuhkan.
“Semoga saja Anjani berhasil mencegah mereka untuk melanjutkan pertarungan ini, dengan caranya”. berkata Ki Agung Sedayu setelah berada dekat dengan kedua istrinya, sembari perhatiannya hampir tidak pernah lepas terhadap istri mudanya.
“Meskipun aku kurang sependapat dengan cara itu, tapi jika itu memang cara yang paling baik, apa boleh buat”. sahut Nyi Sekar Mirah sembari mengangkat kedua pundaknya.
“Cara itu baik atau tidaknya itu pada akhirnya akan dilihat dari tujuan yang ingin digapai. Meski cara itu kurang baik, tetapi jika memiliki tujuan baik, maka akan menjadi baik pula”.
“Ya… Kakang benar. Dan semoga Anjani berhasil dengan caranya, meski kita pun jangan sampai lengah karena merasa telah diambil alih Anjani. Sebab kita masih belum tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya”. sahut Nyi Pandan Wangi.
Namun pembicaraan mereka harus terputus karena di tempat itu kembali diguncang oleh kejadian yang tidak pernah mereka duga sebelumnya, sehingga membuat semua orang yang berada di tempat itu penuh tanda tanya.
Dan yang paling terkejut adalah kelima orang cantrik yang sedang terpengaruh oleh sebuah ilmu yang dapat mempengaruhi penalaran mereka melalui indra penciuman.
Bahkan pengaruhnya yang benar-benar kuat dapat membuat orang yang terpengaruh oleh Aji Seribu Bunga tersebut kehilangan kesadarannya secara utuh.
Dan orang-orang tersebut akan dengan mudah menuruti semua perintah dari orang yang mengetrapkan ilmu Ajian Seribu Bunga tanpa disadari.
“Hentikan”.
Tiba-tiba terdengar suara yang entah darimana asalnya, mampu mengguncang semua orang yang berada di tempat itu, tak terkecuali lima orang laki-laki yang sedang berdiri di dekat Nyi Anjani.
Suara yang tidak terlalu keras dan sama sekali tidak menyakiti bagi siapapun yang mendengarnya, namun meninggalkan kesan sangat berwibawa, menggema di sekitar tempat itu.
Dan luar biasanya kelima orang cantrik itu tiba-tiba terlepas dari belenggu ilmu Aji Seribu Bunga yang sejak beberapa saat tadi telah diterapkan oleh Nyi Anjani, setelah terdengar suara tersebut.
Dengan serta merta, semua orang yang berada di tempat itu kebingungan mencari sumber suara, bahkan Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang memiliki kemampuan sangat tinggi pun tampak kesulitan menemukan.
Hal itu membuat semua orang menjadi semakin kebingungan dan penuh tanda tanya, sembari tetap terus berusaha mencari arah sumber suara tersebut.
“Siapakah gerangan orang itu? dimanakah sekarang dia berada? dan apa kepentingannya datang kemari? di pihak manakah dia akan berdiri”. pertanyaan yang hampir sama ada di isi kepala orang-orang yang berdiri di atas padang perdu tersebut.
“Hentikan permainan anak-anak itu! meski aku tahu jika kalian tidak berniat buruk, tapi tidak perlu kalian lanjutkan lagi”. seru orang yang masih misterius keberadaannya tersebut.
Semua orang masih kebingungan dan berusaha mencari dengan cara masing-masing, namun tetap saja mereka tidak dapat menemukan apa yang mereka cari.
Terutama para cantrik Ki Ageng Wirasaba yang kini telah terbebas dari belenggu Aji Seribu Bunga milik Nyi Anjani yang telah badar setelah terdengar suara misterius itu tetapi menyiratkan kemampuan yang sangat luar biasa.
Ki Agung Sedayu yang masih dalam keadaan sangat lemah pun tidak dapat mengetrapkan ilmunya untuk ikut mencari sumber suara yang datang tiba-tiba tersebut.
“He… para cantrik Wirasaba, kalian jangan mempermalukan pepunden kalian yang telah terbujur kaku itu dengan apa yang kalian lakukan. Sekarang kalian pergilah dan bawalah pepunden kalian itu untuk diselenggarakan pemakaman sebagaimana yang seharusnya”.
Para cantrik itu pun menjadi saling pandang setelah mendengar suara tersebut dengan wajah-wajah tampak kebingungan. Masih tersirat keraguan di dalam hati mereka.
“Apakah Kakang Wiramba mengenal suara orang yang bicara itu?”. bertanya Wandana.
“Aku belum dapat memastikannya, tapi sepertinya aku pernah mengenali suara itu, namun aku sendiri lupa dimana”.
“Mungkin Kakang dapat menduga-duga akan sebuah nama yang sesuai dengan kemampuan orang itu”.
“Mungkin aku hanya sebatas baru dapat menduga, tapi aku sendiri pun masih ragu”.
“Begitu rupanya? lalu bagaimana dengan ucapan orang itu? apakah sekarang kita harus menuruti kemauannya? atau bagaimana, Kakang”. sahut Wandana yang pada akhirnya hanya dapat meminta pendapat cantrik yang paling dituakan tersebut.
Namun sebelum Wiramba menjawab, terdengar kembali suara orang misterius yang sepertinya kedatangannya membantu kesulitan mereka berlima.
“Kalian tidak perlu ragu ataupun takut, lawan kalian tidak akan menghalangi kalian. Jika mereka berusaha menghalangi pun, selama aku masih ada disini mereka tidak akan mampu mengganggu kalian, termasuk orang yang masih bersembunyi itu”.
Meskipun masih kebingungan dan penuh tanda tanya, kelima cantrik Ki Ageng Wirasaba itu lalu saling pandang dan memberikan isyarat, dan pada akhirnya mulai bergerak untuk melaksanakan apa yang dikatakan orang misterius tersebut.
Kemudian mereka secara perlahan berjalan menghampiri pepunden mereka yang kini telah terbujur kaku di atas tanah padang perdu yang sudah mulai satu atau dua telah dihinggapi lalat.
Salah satu dari mereka melepas ikat kepalanya, lalu kemudian digunakan untuk menutup kepala pepundennya yang sudah meregang nyawa sejak beberapa saat tadi.
Tidak lama kemudian, mereka mulai beranjak dari tempat itu dengan membawa pepundennya. Mereka semakin jauh berlalu, dan setelah beberapa saat mulai hilang di balik rimbunnya pepohonan liar yang tumbuh di sekitar hutan kecil.
Sementara pihak Ki Agung Sedayu memang sengaja membiarkan dan tidak berusaha mengganggu apapun yang dilakukan para cantrik Ki Ageng Wirasaba tersebut, termasuk orang yang disebut masih menyembunyikan kehadirannya.
Tetapi mereka tetap tidak meninggalkan kewaspadaan sama sekali dengan keadaan sekitar, terutama karena kehadiran orang misterius yang sepertinya memiliki kemampuan yang sangat tinggi dan masih belum menampakkan diri tersebut.
Mereka belum tahu apa yang akan dilakukan orang itu selanjutnya, dan semua kemungkinan masih dapat terjadi. Oleh karena itu mereka ingin benar-benar memastikan apa yang bakal terjadi sebelum mengambil sikap yang lain.
Setelah para cantrik itu benar-benar berlalu dan sudah tidak tampak lagi dari pandangan mata, tiba-tiba terdengar kembali suara misterius tersebut.
“Kau jangan merasa bahwa urusanmu telah selesai, Ki Sanak. Tapi alangkah tidak pantasnya jika kita selesaikan sekarang, sebab aku tahu keadaanmu masih sangat lemah setelah berperang tanding melawan Ki Ageng Wirasaba”.
“Maaf Ki Sanak, apakah kita sudah saling mengenal sebelumnya? sehingga kau dapat berkata bahwa kau masih memiliki kepentingan denganku?”. sahut Ki Agung Sedayu dengan suara wajar, tapi dengan suara setengah berteriak.
“Kita memang belum pernah saling mengenal sebelumnya, dan mungkin kau memang tidak memiliki keperluan denganku, tapi akulah yang memiliki keperluan denganmu”.
Sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi dan berpengalaman luas, selain itu Ki Agung Sedayu memiliki panggrahita yang sangat tajam segera tanggap akan maksud orang tersebut.
“Siapakah sebenarnya Ki Sanak? mungkin kau dapat menyebut sebuah nama yang dapat aku jadikan pegangan”.
“Kau tidak perlu tahu siapakah aku”.
“Baiklah jika kau keberatan memberitahukan jati dirimu, aku dapat mengerti. Lalu apakah kau ingin menyelesaikan keperluanmu itu sekarang juga?”.
“Tidak… karena aku rasa sekarang bukanlah waktu yang tepat”.
“Lalu kapan?”.
“Aku belum tahu kapan pastinya, tapi yang jelas jika sudah saatnya nanti, maka aku pasti akan datang mencarimu, Ki Sanak”.
“Apakah kau tahu siapakah aku? sehingga begitu yakin akan dapat menemukanku dalam pencarianmu?”.
“Aku tahu siapakah dirimu dan siapakah orang-orang yang berada di sekitarmu itu, Ki Sanak. Termasuk orang yang tidak mau menampakkan diri itu, tetapi tidak perlu aku sebutkan satu per satu siapakah kalian semua”.
“Luar biasa”. desis Ki Agung Sedayu tanpa sadarnya.
“Aku pamit sekarang, karena tidak ada keperluanku lagi disini. Tapi ingatlah pada saatnya nanti aku akan datang mencarimu, semoga saja kau masih memiliki keberuntungan dengan berumur panjang dan dalam keadaan tanpa kekurangan suatu apapun”.
“Semoga saja Yang Maha Welas Asih senantiasa melindungi kita semua, Ki Sanak”. sahut Ki Agung Sedayu.
Tetapi sepertinya tidak terdengar lagi jawaban dari orang yang sangat misterius itu, mungkin saja orang itu langsung meninggalkan tempat itu begitu selesai bicara.
Semua orang yang hadir masih terdiam di tempat masing-masing berdiri, sebab mereka masih ingin memastikan bahwa orang tersebut telah benar-benar pergi.
Setelah beberapa saat menunggu berlalu, dan tidak tampak ada tanda-tanda kehadirannya. Maka terdengar suara tarikan nafas yang panjang dari hampir semua orang yang hadir.
Seakan mereka telah merasa terbebas dari keadaan yang sangat gawat dan berbahaya bersamaan dengan kepergian orang yang tidak mau diketahui jati dirinya. Namun meski tidak terucap, mereka sependapat bahwa tentu orang itu adalah orang yang memihak kepada Ki Ageng Wirasaba yang telah gugur.
Tiba-tiba Nyi Anjani segera mendekati kedua mbokayunya.
“Aku minta maaf kepada Mbokayu berdua, atas tindakanku yang telah berani deksura kepada Mbokayu berdua karena telah berani mengganggu pertempuran kalian”.
“Tidak apa-apa Anjani, kau tidak bersalah. Aku tahu bahwa maksudmu itu adalah maksud yang baik. Dan justru kami harusnya berterima kasih kepadamu atas bantuanmu itu”. sahut Nyi Pandan Wangi, lalu memeluk perempuan itu yang masih tampak menunduk.
“Sudahlah Anjani, tak perlu kau pikirkan lagi masalah itu”. sahut Nyi Sekar Mirah yang kemudian ikut berpelukan bersama dengan Marunya, lalu melepaskan pelukan itu diikuti senyum penuh arti.
Sementara di atas luasnya padang perdu tempat mereka berdiri, tampak matahari sudah semakin meninggalkan puncaknya dan tergelincir jauh ke sisi barat. Sehingga membuat sinarnya tidak terlalu terik lagi ketika mengenai kulit langsung.
Meskipun tubuh dan pakaian mereka telah kotor oleh keringat dan debu yang berterbangan di sekitar tempat itu, apalagi mereka baru saja selesai bertarung dengan sengitnya.
Kecuali Nyi Anjani yang masih tampak bersih karena tidak terlibat dalam pertarungan sebelumnya, selain itu tubuhnya hampir selalu mengeluarkan semerbak bau wewangian dari tubuh yang sangat indah dan mempesona tersebut.
“Anjani”. ucap Ki Agung Sedayu, yang membuyarkan suasana ketiga istrinya.
“Ada apa Kakang?”.
“Dimanakah Begawan Mayangkara sekarang? bukankah dia tidak meninggalkanmu sendiri?”.
“Eyang Mayangkara masih bersembunyi di balik pohon besar itu, Kakang. Apakah perlu aku panggilkan?”. sahut Nyi Anjani sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Kau jangan bersikap deksura begitu, Anjani. Alangkah tidak pantasnya jika kita memanggilnya untuk mendatangi kita. Ingat… kita bukan priyagung yang harus di subyo-subyo, sebaiknya kita semua yang menghampiri ke tempatnya”.
“Maaf atas keterlanjuranku ini, Kakang”.
“Sudahlah… sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini, marilah”. sahut Ki Agung Sedayu sembari berjalan mendahului yang lain ke arah Begawan Mayangkara bersembunyi.
Setelah tiba, Ki Agung Sedayu segera tersenyum dan mengangguk hormat kepada Begawan yang aneh itu, yang kemudian disambut dengan sikap yang sama.
“Sepertinya urusan kita disini sudah selesai. Sebaiknya kita segera kembali, dan tolong bawa kami ke Kendalisada, Begawan”. berkata Ki Agung Sedayu yang keadaan tubuhnya masih sangat lemah untuk lebih banyak bergerak.
“Baiklah, marilah kita segera tinggalkan tempat ini. Lagipula alangkah deksuranya jika kita berlama-lama disini jika tidak ada keperluan lagi, sementara Ki Lurah Glagah Putih kita tinggalkan sendiri di Kendalisada”.
Kemudian mereka berlima pun segera saling berpegangan tangan bersamaan dengan Begawan Mayangkara yang mengetrapkan sebuah ilmu yang dapat membawa mereka mempersingkat waktu perjalanan dari yang seharusnya.
Kini ibu Bayu Swandana dan ibu Bagus Sadewa mulai terbiasa dengan pengalaman yang sangat berharga ini, yang tidak dapat dirasakan oleh semua orang. Karena mereka sudah pernah mengalaminya beberapa kali sejauh ini.
Sehingga dalam hati mereka tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Yang Maha Welas Asih yang telah mengizinkan untuk dapat ikut merasakan tanda-tanda kebesaran-Nya di umurnya yang sudah tidak muda lagi.
*****
Sementara itu Ki Lurah Glagah Putih yang ditinggalkan sendiri di Gunung Kendalisada hanya dapat diam termangu dan bingung harus berbuat apa untuk mengisi waktunya, selain hanya berdiam diri sembari bersandaran di salah satu tiang, pada pendapa yang tidak begitu besar.
Apalagi dirinya belum tahu, akan sampai kapan orang-orang itu kembali, bisa cepat tetapi bisa juga lambat. Tergantung dengan urusan yang harus diselesaikan.
Tanpa sadarnya isi kepalanya mulai terlintas berbagai bayangan kejadian-kejadian yang pernah dilewati maupun penalaran tentang berbagai kemungkinan yang mungkin akan dialami di kemudian hari bersama orang-orang terdekatnya.
Kemudian di kepalanya mulai terlintas pula bayangan seraut wajah yang masih tampak cantik dan sangat disayanginya, namun sudah cukup lama ditinggalkan karena tugas-tugas keprajuritan yang harus diemban.
Lalu terlintas pula wajah anak laki-laki semata wayangnya yang mulai beranjak dewasa dengan tingkah laku dan dan segala kenakalannya yang terkadang dapat membuatnya geram, tetapi di lain waktu dapat membuatnya tersenyum sendiri.
“Semoga Yang Maha Welas Asih tidak bosan-bosannya memberikan perlindungan bagi kita semua, dan semoga selalu memberikan kekuatan lahir batin untuk melewati ujian hidup ini dengan cara yang paling baik”. membatin Ki Lurah Glagah Putih dalam kesendiriannya.
Anak dari Swargi Ki Widura itu merasa mudah jengah jika harus banyak berdiam diri dan tidak melakukan sesuatu. Sebab sejak kecil dirinya memang sudah terbiasa tidak dapat hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun dalam waktu yang lama.
“Benar-benar pekerjaan yang membosankan”.
Selesai berkata demikian di dalam hatinya, dirinya mencoba untuk beranjak berdiri dengan dibantu dengan tongkat kayu yang masih dibawanya, guna membantu langkahnya berjalan.
Tetapi keadaannya yang masih sangat lemah, membuatnya harus mau menerima kenyataan. Bahwa dirinya masih belum dapat bergerak lebih leluasa seperti yang biasa dapat dilakukannya ketika dalam keadaan sehat.
Maka untuk mengusir segala kejenuhannya, ayah Arya Nakula itu ingin mencoba berjalan-jalan lagi di sekitaran tempat tersebut. Selain untuk membantu mengusir kejenuhannya, dengan berlatih berjalan akan membuat tubuhnya semakin kuat.
Diturunilah tlundak-tlundak pendapa yang hanya beberapa tingkat itu dengan langkah-langkah perlahan dengan dibantu tongkat kayu di tangannya.
Udara di sekitar tempat itu memang masih terasa segar ketika dihirup memasuki lubang-lubang hidung, sebab masih banyak terdapat tumbuhan hijau dan pepohonan besar yang berada di hutan yang tidak begitu besar.
Dan rumah yang ditinggali itu memang berada di pinggir hutan Gunung Kendalisada yang masih tampak asri dan ijo royo-royo. keindahan alam yang menjadi salah satu tanda-tanda kebesaran Yang Maha Welas Asih sebagai sumber dari segala sumber.
Tanah pegunungan yang lebih banyak miring membuat Ki Lurah Glagah Putih lebih berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, apalagi mengingat keadaannya yang masih sangat lemah.
Tetapi jika dirinya berhasil berjalan-jalan di sekitaran tempat itu tanpa terperosok atau terjatuh, maka akan membuatnya semakin kuat dan semakin besar pula kemungkinannya agar segera sembuh dan pulih tenaganya seperti sedia kala.
Sembari berjalan-jalan di sekitaran rumah, tiba-tiba hati Ki Lurah Glagah Putih merasa kurang mapan. Bukan karena dirinya ditinggalkan sendirian di tempat itu, namun berbagai dugaan yang mungkin dapat terjadi kepada kakak sepupu bersama rombongan.
Apalagi ketika sebelum berangkat, Nyi Anjani sempat berbicara tentang firasatnya yang kurang baik yang mungkin dapat terjadi kepada kakak sepupu bersama kedua istrinya.
“Semoga saja kakang Agung Sedayu dan mbokayu berdua baik-baik saja disana, sayang sekali aku tidak dapat ikut serta karena keadaanku sekarang”. katanya dalam hati kecewa.
Tanpa sadarnya, Ki Lurah Glagah Putih melihat ke sisi barat, sejauh mata memandang. Tampak terlihat pancaran sinar semburat kemerah-merahan yang hampir memenuhi luasnya ujung langit, sebagai tanda bahwa senja telah mulai turun di tempat itu.
“Mbokayu Anjani yang menyusul pun belum juga kembali, apakah telah terjadi sesuatu yang sangat gawat?”. batinnya lagi, dengan hati yang semakin gusar.
Pikiran itu semakin berputar-putar di kepalanya, namun tidak dapat dijawabnya sendiri. Hingga pada akhirnya dirinya hanya dapat pasrah kepada Yang Maha Agung atas segala yang terjadi, tetapi tidak lupa dalam hati selalu nenuwun.
Hatinya manjadi semakin gusar jika teringat akan kakak sepupunya yang mendapat tuga untuk membayangi orang yang berilmu sangat tinggi dari Wirasaba.
Ki Lurah Glagah Putih yang tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurai kegelisahan hatinya, pada akhirnya memulai melangkahkan kakinya kembali menuju pendapa ketika di sisi barat, matahari hanya tinggal mengintip dari balik gunung.
Tampak tersirat wajah lesu dan menunduk, langkah yang kurang bergairah menjadi pancaran hatinya yang gelisah, khawatir, akan nasib saudara sekaligus gurunya campur aduk menjadi satu. Namun dirinya hanya dapat menunggu datangnya kabar yang entah kapan datangnya.
Langkah kaki itu seakan terasa berat untuk melangkah menyusuri tanah, sehingga untuk mencapai tlundak pertama pendapa membutuhkan waktu yang jauh lebih lama.
Meskipun hatinya dipenuhi dengan kegusaran beberapa lama, namun Ki Lurah Glagah Putih masih ingat bahwa dirinya harus segera menyalakan lampu minyak, karena gelap sebentar lagi akan menjelang.
Namun baru saja kakinya menginjak di tlundak yang pertama, tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh suara yang datang dari arah belakang, beberapa puluh langkah dari tempatnya berdiri.
Suara beberapa langkah kaki yang terdengar wajar dan tidak berusaha menyamarkan kedatangan, itu dapat didengar dari suara kresek-kresek dedaunan dan ranting kering yang terinjak oleh kaki yang melewatinya.
Sontak saja ayah Arya Nakula segera menoleh ke arah datangnya sumber suara, dan betapa terkejutnya dan seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.
Hingga dia berusaha meyakinkan lebih dulu apa yang sedang dilihatnya dengan mengusap-usap kedua matanya dalam suasana yang sudah hampir gelap, karena sebentar lagi waktu memang sudah akan berganti malam.
Wajahnya sempat terpaku sejenak, ketika melihat orang yang baru saja datang itu semakin mendekat ke arahnya yang urung untuk menaiki tlundak pendapa dan kemudian berdiri mematung dengan tongkat kayunya.
Sebenarnya memang suami Nyi Rara Wulan itu melihat tiga orang perempuan yang sangat dikenalnya, yang di belakangnya diikuti oleh dua orang laki–laki.
“Apakah kau sedang melihat Kuntilanak yang datang menjelang matahari terbenam, Glagah Putih?”. tegur ibu Bagus Sadewa dengan nada menggoda adik sepupu suaminya tersebut.
Sontak saja ucapan itu membuat membuat semua orang yang mendengarnya menjadi tertawa, kecuali Ki Lurah Glagah Putih yang wajahnya menjadi bersemu merah di sisa-sisa cahaya matahari yang sudah hampir tenggelam.
“Ah… Mbokayu Sekar Mirah, senang sekali jika menggangguku”. sahut ayah Arya Nakula yang tersipu malu, lalu mengusap-usap kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Aku memang ingin mengganggumu sepuasnya sekarang, sebab kemarin kau telah membuatku benar-benar sampai kehilangan akal karena keadaanmu yang sangat mengkhawatirkan kami semua”.
“Bukankah itu bukan salahku, Mbokayu?”. sahut Ki Lurah Glagah Putih dengan polosnya.
Sementara yang lain hanya tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah laku keduanya. Meskipun mereka tidak ada hubungan darah secara langsung, namun kedekatan dalam jangka waktu yang lama membuat mereka sudah seperti saudara sendiri.
Kemudian mereka pun berkumpul di pendapa, kecuali para perempuan yang segera pergi ke belakang untuk membersihkan diri lebih dulu secara bergantian.
Lalu dilanjutkan dengan membereskan pekerjaan dapur untuk menyiapkan makan malam dan minuman hangat bagi mereka semua untuk mengawani berbincang.
Namun tidak lupa, sebelumnya mereka menyalakan lampu minyak kelapa lebih dulu untuk menerangi tempat mereka berkumpul dari kegelapan malam yang sudah mulai menyelimuti tempat tersebut.
Dalam pandangannya Ki Lurah Glagah Putih, dirinya melihat ada sesuatu yang tidak wajar pada tubuh kakak sepupunya, sehingga membuatnya semakin tidak dapat menahan diri untuk segera mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Aku sangat senang dan bersyukur sekali kepada Yang Maha Welas Asih setelah melihat kalian semua kembali tanpa kekurangan suatu apapun. Tapi hatiku masih penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi, Kakang?”.
“Bersabarlah Glagah Putih, sebaiknya nanti aku ceritakan semua setelah aku membersihkan dulu, setelah ketiga mbokayumu selesai di pakiwan. Dan nanti pasti akan aku ceritakan, tapi menunggu setelah makan malam”.
Meski sebenarnya hatinya sudah tidak dapat bersabar, namun Ki Lurah Glagah Putih tidak dapat memaksa kakak sepupunya yang masih tampak lemah dan lelah tersebut.
“Baiklah Kakang”.
“Lalu bagaimana keadaanmu sekarang?”.
“Sudah semakin baik, Kakang. Bahkan sudah tidak terasa nyeri lagi di bagian dadaku”.
“Benar-benar obat yang sangat luar biasa”. desis ayah Sekar Wangi tanpa sadarnya.
Namun pembicaraan itu harus terpotong, ketika Nyi Anjani datang dan memberitahukan kepada suaminya bahwa pakiwan sudah kosong.
“Baiklah… aku ke pakiwan dulu”. berkata Ki Agung Sedayu sembari beranjak dari duduknya di pendapa dan meninggalkan Begawan Mayangkara bersama adik sepupunya.
Rasa penasarannya yang tinggi atas berita yang dibawa kakak sepupunya, membuat waktu seakan berjalan lambat sekali bagi Ki Lurah Glagah Putih.
Namun pada akhirnya setelah makan malam telah selesai, maka mereka semua, termasuk Begawan Mayangkara berkumpul di pendapa dengan dikawani minuman hangat dan beberapa potong ketela rambat yang dikukus.
“Sepertinya kau sudah tidak sabar untuk mendengar ceritaku, Glagah Putih?”. berkata Ki Agung Sedayu sembari tersenyum memulai pembicaraan dan memecah kesunyian malam, dalam suasana yang penuh rasa kekeluargaan.
“Demikianlah, Kakang”.
Sebelum memulai ceritanya, Ki Agung Sedayu menyempatkan diri untuk meneguk minumannya lebih dulu untuk melancarkan mulutnya berbicara setelah baru saja selesai makan malam.
Sejenak kemudian anak Swargi Ki Sadewa itupun memulai ceritanya secara runtut dan jelas, dan bahkan dirinya tidak berusaha menutup-nutupi apapun yang telah terjadi disana.
Ki Lurah Glagah Putih mendengarkan cerita dengan penuh kesungguhan, itu terlihat dari keningnya terkadang tampak berkerut tapi pada kesempatan lain dirinya hanya mengannguk, menggeleng, atau bahkan tersenyum.
“Demikianlah ceritanya, Glagah Putih”. ucap Ki Agung Sedayu mengakhiri ceritanya yang cukup panjang.
“Oh… ternyata dia adalah paman gurunya Ki Patih Rangga Permana”.
“Ya… begitulah adanya. Dan kita wajib bersyukur kepada Yang Maha Welas Asih yang selalu melindungi dan memberikan kekuatan kepada kita semua agar dapat keluar dari kesulitan dan bahaya yang kita alami”.
“Kakang benar, lalu bagaimana dengan keadaan Kakang sendiri? Kakang membutuhkan waktu berapa lama untuk dapat segera pulih seperti sedia kala?”.
“Tenagaku seakan benar-benar tersedot habis tanpa sisa setelah terjadi benturan ilmu puncak, tapi beruntunglah Yang Maha Welas Asih masih memberi kekuatan. Setelah aku menelan obat dan berhasil memusatkan nalar budi, kini aku sudah jauh membaik”.
Setelah meneguk lagi minuman hangatnya lalu lanjutnya,
“Berdasarkan bekal kawruh pengobatan yang pernah aku pelajari, semoga saja tidak lama aku dapat kembali sehat seperti sedia kala. Sebab kita sedang berkejaran dengan waktu sehubungan dengan tugas yang menanti selanjutnya”.
“Lalu menurut, Kakang. Dengan keadaanku sekarang ini, apakah kesehatan dan tenagaku dapat pulih dengan segera?”.
“Kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Agung, selain kita pun harus berusaha dengan sebaik-baiknya sejauh kita mampu. Dan semoga saja kau dapat pulih dengan segera, makanya aku suruh kau menjalani Laku Kungkum nanti malam”.
“Ya… aku mengerti, Kakang”.
“Begawan Mayangkara”.
“Ada apa, Ki Agung Sedayu?”.
“Mengingat keadaanku sekarang seperti ini, jika tidak keberatan, bolehkah aku minta tolong kepada Begawan Mayangkara untuk membantu Glagah Putih nanti malam?”.
“Ah… kenapa aku harus keberatan, Ki Agung Sedayu? tentu saja aku bersedia dengan senang hati”.
“Terima kasih, Begawan Mayangkara. Meski aku tidak akan terlibat secara langsung dalam Laku Kungkum, Glagah Putih. Tapi aku akan mengawani kalian ke Rawa Pening”.
“Silahkan saja, Ki Agung Sedayu. Justru aku senang jika ada kawan berbincang”.
“Apa aku diperbolehkan ikut, Kakang?”. ucap Nyi Sekar Mirah.
“Ah… nanti malam itu kami pergi untuk mengawani Glagah Putih menjalani laku, bukan untuk pergi bersenang-senang”. sahut Ki Agung Sedayu sembari tersenyum.
“Bukankah aku tidak akan mengganggu Glagah Putih yang sedang menjalani laku, Kakang?”. sahut Nyi Sekar Mirah yang tidak mau kalah.
“Tapi laku ini berbeda dengan laku prihatin yang lain, tentu Glagah Putih akan merasa segan untuk membuka pakaiannya jika ada kalian pula disana”.
“Oh… begitu rupanya, tadinya aku hanya ingin ikut melihat Rawa Pening yang selama ini hanya dapat aku dengar saja ceritanya dari orang-orang yan pernah kesana”.
“Mungkin di lain kesempatan”.
“Baiklah… kalau begitu aku akan merangkai mimpi saja disini, dan semoga saja gerombolan nyamuk tidak akan merusak mimpi indahku nanti”.
“Ah… macam kau”. sahut Nyi Pandan Wangi yang kebetulan duduk di sebelah kanannya.
“Apakah nanti aku harus membuka seluruh pakaianku, Kakang?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih setelah tidak mendengar lagi mbokayunya bicara.
“Iya… kecuali pakaian dalammu”.
“Oh… tadinya aku kira…”.
“Tentu tidak”.
“Kenapa kau terkejut, Glagah Putih? bukankah dulu kau pernah pula menjalani laku, Tapa Ngidang? yang mengharuskanmu untuk tidak berpakaian?”. sahut Nyi Sekar Mirah.
“Benar Mbokayu, mungkin karena aku sudah lama sekali tidak menjalani laku prihatin, sehingga hatiku agak terkejut mendengar keterangan Kakang Agung Sedayu”.
“Ah… macam kau”.
“Mungkin Glagah Putih sudah lupa akan laku-laku prihatin, karena sekarang sudah menjadi orang penting di Mataram”. sahut Nyi Pandan Wangi, lalu tersenyum.
“Ah… rupanya Mbokayu Pandan Wangi ingin ikut menggangguku pula”. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari tertawa masam.
“Mbokayu benar, justru aku lupa jika sekarang Glagah Putih telah menjadi orang penting di Mataram, setelah berhasil mengalahkan Ki Patih Rangga Permana”. sahut ibu Bagus Sadewa.
“Oh… begitu rupanya”. sahut Nyi Anjani ikut menimpali, dengan raut wajah penuh menggoda.
“Kenapa tiba-tiba kalian jadi menggangguku beramai-ramai?”. sahut Ki Lurah Glagah Putih dengan wajah mulai memerah.
“Harusnya mulai sekarang kita harus berlatih untuk memanggil Glagah Putih dengan sebutan Raden, Pangeran, atau paling tidak Ki Tumenggung. Agar nanti lidah kita tidak kaku, jika tiba-tiba Glagah Putih diangkat derajat pangkatnya oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”. sahut Nyi Sekar Mirah yang acuh dengan ucapan adik sepupu suaminya tersebut.
“Kau benar Sekar Mirah, sebagai orang padesan kita tidak boleh melanggar subhasita kepada para Priyagung Mataram. Alangkah deksuranya jika kita berani memanggilnya hanya dengan menyebut namanya saja tanpa gelar kepangkatannya”.
“Aku rasa, sepertinya dia lebih cocok jika mendapatkan tambahan gelar kepangkatan Raden, daripada gelar lainnya”. sahut Nyi Anjani yang tidak mau kalah dengan kedua mbokayunya.
“Jadi… mulai sekarang kita harus memanggilnya dengan sebutan Raden Glagah Putih, Anjani?”. sahut Nyi Sekar Mirah yang mulai menggeser letak duduknya agar mereka bertiga dapat saling berhadapan.
‘Apakah Kakang Agung Sedayu tidak ingin membelaku?”.
“Memangnya siapa yang harus aku bela?”. sahut Ki Agung Sedayu, kemudian tertawa.
“Ah… rupanya kalian sudah bersekongkol untuk menggangguku”.
“Kenapa kau tuduh aku bersekongkol? bukankah aku tidak tahu menahu persoalannya?”.
“Apakah Begawan Mayangkara tidak bersedia menolongku dari gangguan mbokayu bertiga?”.
“Maaf Ki Lurah, dengan sangat terpaksa aku tidak dapat menolongmu. Sebab kemampuanku seketika akan lenyap jika harus berhadapan dengan perempuan, apalagi berjumlah tiga orang”. sahut Begawan Mayangkara sembari tersenyum.
“Ah… “. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari menunjukkan wajah herannya, lalu tertawa.
Kali ini Ki Lurah Glagah Putih benar-benar tidak mendapat pertolongan dari siapapun juga atas gangguan ketiga mbokayunya yang telah bersekongkol.
Suasana yang begitu hangat dan ceria menghiasi pendapa di salah satu puncak Gunung Kendalisada, setelah beberapa lama mereka telah mengalami ketegangan yang sangat, karena tugas atau alasan apapun lainnya.
Apalagi mereka jarang sekali mendapat kesempatan, sehingga ketika kesempatan itu datang, maka mereka manfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Selain kesempatan itu dapat dipergunakan untuk melepas ketegangan, hal itu juga dapat bermanfaat pula untuk mempererat tali persaudaraan di antara mereka semua yang hadir di tempat itu.
Kemudian pembicaraan di pendapa itu lebih banyak diisi dengan berkelakar bersama, tetapi Ki Lurah Glagah Putih lah yang lebih sering diganggu oleh ketiga mbokayunya, sembari menikmati minuman hangat dan kukusan Ketela Rambat.
Suasana kehangatan itu seakan ikut dapat dirasakan pula oleh alam sekitarnya beserta sekumpulan hewan malam yang sedang berkeliaran mencari mangsa.
Terdengar pula suara beberapa burung dari kejauhan yang saling bersahut-sahutan dengan riangnya, ikut memecah kesunyian malam di puncak Gunung Kendalisada.
Kebetulan malam itu adalah malam yang cerah, sehingga di luasnya langit yang terhampar, dapat dilihat dengan jelas pancaran sinar bintang-bintang di angkasa.
Sungguh pemandangan yang sangat indah dan mempesona, membuat mata tidak bosan-bosannya untuk memandang salah satu karya Yang Maha Agung yang tak ternilai dengan apapun juga.
Di dalam perjalanan hidup ini memang banyak lika-likunya, kadang di atas atau di bawah, kadang suka atau duka, kadang pula sangat menegangkan tetapi di kesempatan lain dapat bersantai barang sejenak untuk menikmati hidup.
Pembicaraan yang menarik dan diselingi kelakar memang sangat menyenagkan hingga dapat lupa waktu, dan apa yang mereka lakukan ternyata sudah menyita cukup banyak waktu.
“Glagah Putih?”. berkata Ki Agung Sedayu yang merasa sudah cukup waktunya untuk berkelakar.
“Ada apa, Kakang?”.
“Perlu kau ingat, bahwa kau sudah ditunggu tugas berikutnya setelah kesembuhanmu”.
“Tugas apa itu, Kakang?”.
Kemudian Ki Agung Sedayu menjelaskan tugas tersebut, yang sebenarnya berasal dari gagasannya sendiri kepada adik sepupunya sekaligus muridnya secara runtut dan terperinci, dan tak lupa dengan segala kemungkinan yang dapat saja terjadi ketika melaksanakan tugas itu nantinya.
“Sebuah tugas yang berat”. desis Ki Lurah Glagah Putih tanpa sadarnya, setelah ayah Bagus Sadewa itu selesai bicara.
“Ya… kau benar, Glagah Putih. Memang sebuah tugas yang berat dan sangat berbahaya, dan itulah tugas yang sudah menanti langkah kita selanjutnya”.
Sejenak kemudian Ki Lurah Glagah Putih hanya terdiam sembari merenungi tugas yang sudah menantinya dengan segala akibat yang bakal terjadi di dalam pelaksanaan tugas.
“Apakah kau ragu?”.
“Meskipun aku tahu segala akibat yang dapat terjadi, tapi aku harus selalu siap mengemban tugas seberat apapun dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma. Karena itu memang kewajiban seorang prajurit kepada pepundennya”.
- - - 0 - O - 0 - - -
bersambung ke
Djilid
21
Padepokan Tanah Leluhur
Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar