Dalam waktu yang semakin mendekati matahari terbit, Kanjeng Adipati Wirasaba menjadi semakin gelisah dengan pikirannya sendiri meskipun sudah merebahkan dirinya sejak beberapa saat tadi di tempat peristirahatannya.
Matanya memang dalam keadaan terpejam, namun hati dan penalarannya tidak bisa diredamnya. Begitu banyak bayangan di kepalanya akan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi atasnya dan atas seluruh pasukan yang menyertainya.
Pada umurnya yang masih muda itu dia sudah harus memikul tanggung jawab yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari orang kebanyakan.
Apalagi sekarang dirinya merasa sudah tidak bisa lagi bergantung pada orang lain setelah paman sekaligus Patih Wirasaba menghilang secara misterius pada saat-saat terakhir perang tanding beberapa waktu yang lalu.
Entah bagaimana sekarang nasib pamannya dan dimanakah dia sekarang? masih dalam keadaan sehatkah? terlukakah? atau bahkan sudah gugur dalam perang tanding?
Sebab pada saat-saat terakhir perang tanding, ada seseorang yang telah membawanya. Dan yang membawanya tersebut entah masih pihak kawan ataupun lawan. Tapi yang jelas sekarang dia sudah tidak berada di sampingnya seperti selama ini yang selalu mendampinginya dan hampir tidak pernah meninggalkannya.
“Selama ini paman Rangga Permana selalu setia mendampingi dan membimbingku. Kini paman pergi dengan penuh misteri. Tapi paman tidak perlu memikirkan aku lagi, karena sekarang aku sudah besar dan sudah bisa bertanggung jawab atas hidupku sendiri”. ujar Kanjeng Adipati dalam hati. Lanjutnya, “Apapun yang bakal terjadi, aku tidak ingin mengecewakan paman Rangga Permana dan seluruh kawula Wirasaba. Aku memang belum mempunyai bekal yang cukup untuk melindungi seluruh kawulaku, namun aku masih memiliki harga diri sebagai seorang Adipati di Wirasaba ini”.
Gejolak sangat dahsyat terjadi pada diri Kanjeng Adipati Wirasaba yang sedang merebahkan dirinya di perkemahan, waktu yang seharusnya dapat dipergunakannya dengan sebaik-baiknya untuk beristirahat justru menjadi terganggu dengan hal tersebut.
Dengan semakin bergulirnya waktu, justru hati dan penalarannya menjadi semakin tidak tenang. Bayangan akan nasib dirinya dan seluruh pasukan Wirasaba tidak lama lagi, setelah matahari terbit akan dipertaruhkan.
Dirinya tidak pernah menjadi ketakutan akan nasibnya sendiri, namun dia lebih memikirkan akan nasib seluruh kawulanya setelah jatuh ke tangan Panembahan Hanyakrakusuma. Bayangan akan kemungkinan-kemungkinan paling buruk kawulanya mulai menggelayuti penalarannya.
“Maafkan aku, Ayah. Jika aku tidak dapat menjalankan kewajibanku sesuai dengan harapan Ayah dulu. Tapi aku akan selalu berusaha berbuat dengan sebaik-baiknya sejauh kemampuanku”.
“Jika Ayah akan menyalahkan aku karena keadaan ini, aku tidak akan ingkar. Seperti yang sering Ayah ajarkan dulu kepadaku, bahwa pantang bagi seorang laki-laki untuk merengek belas kasihan kepada lawan, dan kita harus berani mempertanggungjawabkan segala apa yang kita lakukan. Baik sebagai seorang laki-laki maupun sebagai seorang pemimpin”.
“Ayah mengajarkan pula, bahwa pantang bagi laki-laki untuk meneteskan air mata, meski hanya satu tetes saja ketika leher kita sudah berada di tiang gantungan sekalipun”.
“Apapun yang terjadi, sebagai seorang laki-laki kita harus tetap menghadapi segala kenyataan hidup ini dengan kepala tegak. Adipati Wirasaba bukanlah orang yang lemah dan cengeng di hadapan siapapun dan dalam keadaan apapun”.
Kanjeng Adipati Wirasaba seakan ingin menuangkan segala kegelisahan dalam hatinya, meski dia sadar bahwa semua itu hanya dapat didengarnya sendiri dalam pembaringan. Tapi paling tidak apa yang telah dilakukannya sudah dapat sedikit mengurangi kepepatan hatinya.
Sementara para prajurit yang bertugas di dapur sudah mulai terlihat sibuk dengan tugas mereka, untuk mempersiapkan bekal pengisi perut para prajurit yang bakal turun ke medan, meski pada hari itu belum dapat diketahui dengan pasti adanya perang sehubungan dengan menghilangnya Patih Wirasaba.
Namun untuk urusan perut tetap terus berjalan dan tidak dapat ditunda apalagi ditinggalkan begitu saja oleh semua orang, baik itu akan ada perang atau tidak.
Sehingga para petugas dapur dan perbekalan hampir tidak ada kata istirahat dalam tugas, maka mereka diatur untuk dapat bertugas secara bergiliran.
Juru Dang dan Juru Masak masing-masing pasukan ternyata sama-sama sigap dalam menjalankan tugas. Karena selain mereka adalah para prajurit yang sangat terlatih, mereka juga adalah para prajurit yang berpengalaman luas.
Sementara para prajurit satu persatu sudah mulai terbangun ketika matahari tidak lama lagi akan terbit di sebelah timur, meski tempat itu masih berselimut kabut dan hawa dingin.
“Sepertinya hari ini tidak akan ada lagi perang, jika terjadi perang pun pasti tidak seperti hari-hari sebelumnya”. ujar salah satu prajurit Mataram yang baru terbangun dan masih terduduk.
“Sepertinya memang demikian, namun alangkah bijaksananya jika kita tetap dalam persiapan tertinggi, karena kita tidak akan pernah tahu dengan apa yang akan terjadi”. sahut kawannya.
“Aku sependapat, memang sebaiknya demikian. Kita jangan terlena dulu dengan kemenangan yang belum pasti”.
Sementara Ki Rangga Sabungsari sudah terbangun pula. Kita pertama kali dirinya membuka mata, pikirannya hanya teringat akan anak senopatinya dulu yang sudah dianggap seperti anak sendiri.
Tanpa pikir panjang, Ki Rangga Sabungsari pun segera bergegas melihat keadaan Umbara yang masih terluka parah di tempat perawatan, dan kemungkinan belum bisa sadarkan diri karena luka dalamnya yang berat.
Sepertinya Ki Rangga Sabungsari tidak ingat lagi bahwa dirinya pun masih dalam keadaan yang sangat lemah karena bekas lukanya, namun kekhawatiran akan nasib Umbara lebih besar berada di hati dan penalarannya.
Setelah tiba di tempat perawatan, sepertinya Tabib yang sedang bertugas merawat para prajurit telah berganti orang, karena Tabib yang kemarin tidak terlihat lagi.
“Bagaimana keadaan Umbara, Kyai?”.
“Sepertinya kita harus lebih bersabar, Ki Rangga. Karena apa yang sedang dialami Umbara itu termasuk luka yang sangat berat. Selain kita telah mendapatkan pertolongan dari Yang Maha Welas Asih, beruntunglah pada umurnya yang sekarang dia sudah memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa, sehingga sangat membantu sekali untuk dirinya dapat bertahan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika itu menimpa orang lain yang seumurnya”.
“Aku merasa lengah saat mengawasinya di medan, sehingga dia telah berhadapan dengan seorang tumenggung yang berilmu sangat tinggi. Apa yang nanti dapat aku katakan kepada ayahnya jika terjadi apa-apa dengan anak itu”. gumam Ki Rangga Sabungsari yang merasa menjadi penyebab Umbara terluka parah.
“Kita tidak dapat meratapi segala yang telah terjadi, Ki Rangga”.
“Kyai benar. Namun aku tidak dapat dengan mudah melupakan semua ini, apalagi sekarang Ki Lurah Glagah Putih sebagai pamannya menghilang entah kemana”.
“Mungkin ini adalah pepesthen dari Yang Maha Agung yang harus kita jalani, meskipun kita sudah berusaha sejauh kemampuan kita, namun kita tidak dapat menolak atau menghindari semua ini”.
“Kyai benar. Mungkin aku terlalu khawatir saja dengan apa yang telah terjadi dengan Umbara, sehingga aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri tanpa melihat bahwa semua ini adalah pepesthen dari Yang Maha Agung”.
“Aku mengerti, Ki Rangga. Sebaiknya, marilah kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar mereka semua yang masih terluka bisa segera mendapatkan kesembuhan”.
Ki Rangga Sabungsari hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya beberapa kali perlahan, lalu mendekati tubuh anak pertama Ki Untara tersebut dan memandanginya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“Ki Rangga Sabungsari, jangan kau sentuh dulu tubuh Umbara!”. cegah Tabib yang merawatnya, membuat Senopati Mataram itu menoleh ke arahnya.
“Apakah sedemikian parahnya? sehingga tubuhnya jangan sampai tersentuh apapun, Kyai?”.
“Bukan itu maksudku, Ki Rangga. Namun tubuhnya belum lama aku baluri ramuan obat”.
“Oh.. baik Kyai. Aku tidak akan mengganggunya, aku hanya ingin melihat keadaannya lebih dekat saja”.
Tidak lama kemudian Ki Rangga Sabungsari meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kesatuan pasukannya. Meski dirinya hari ini tidak akan turun ke medan karena keadaannya yang masih lemah, namun segala petunjuknya masih sangat dibutuhkan oleh pasukannya sebelum turun ke medan.
Ternyata di waktu yang sangat sempit itu, Panembahan Hanyakrakusuma memanggil para senopati dari setiap kesatuan untuk membicarakan perkembangan pasukan Mataram pada waktu terakhir itu sendiri dan persiapan perang hari ini.
Berhubung waktu yang sangat sempit, Kanjeng Sinuhun Mataram mempersingkat pertemuan itu dengan hanya membicarakan hal-hal yang paling penting saja. Karena tadi malam dirinya tidak sampai hati untuk mengganggu waktu istirahat para prajuritnya.
Semalam perhatiannya yang hampir tidak bisa lepas dari perang tanding yang sangat mendebarkan antara Ki Lurah Glagah Putih dan Ki Patih Rangga Permana telah menyita waktunya hingga malam jauh melewati puncaknya.
Karena biar bagaimanapun Kanjeng Sinuhun Mataram adalah orang yang merasa paling berkepentingan dengan hasil akhir dari perang tanding tersebut, baik secara pribadi maupun secara kepentingan seluruh pasukan Mataram.
Selain karena janjinya kepada Ki Patih Rangga Permana yang siap melayani berperang tanding jika urusannya dengan Ki Lurah Glagah Putih telah selesai, hasil akhir perang tanding itu sebagai pancadan Panembahan Hanyakrakusuma untuk mengambil sikap dalam menghadapi perkembangan yang ada.
Meskipun pada hasil akhir dari perang tanding itu sendiri tidak pernah terduga oleh siapapun yang menyaksikan, karena pada saat-saat terakhir Ki Patih Rangga Permana dan Ki Lurah Glagah Putih tiba-tiba menghilang secara misterius.
Tidak ada satupun orang yang berada di medan mampu mengetahui kemanakah perginya mereka berdua? dan orang-orang yang semula menjadi penonton hanya dapat menduga-duga tanpa dapat mengetahui dengan pasti.
Hanya sebuah suara misterius itu saja yang sementara dapat dijadikan petunjuk. Tapi petunjuk itu tidak cukup kuat untuk membantu memecahkan teka-teki pada setiap kepala orang Wirasaba maupun Mataram.
Maka orang-orang dari Wirasaba dan Mataram hanya dapat menduga-duga tanpa tahu dengan pasti apa yang telah terjadi kepada dua orang pilih tanding yang mewakili masing-masing pihak yang sedang berseteru.
“Untuk sementara kita lupakan dulu tentang hasil akhir perang tanding semalam, meski itu pasti memberikan pengaruh betapapun kecilnya, namun secara keseluruhan kita masih sama-sama sebuah pasukan yang besar. Maka dari itu kita harus jangan terpengaruh pada suatu hal yang belum pasti dan penuh teka-teki, sebaiknya perhatian kita tertuju pada apa yang ada di depan mata kita”. berkata Panembahan Hanyakrakusuma membuka pertemuan.
“Angger Panembahan benar, kita jangan menganggap remeh kekuatan Wirasaba yang masih ada, seakan mereka sudah tidak berdaya. Karena mungkin saja mereka masih menyimpan kekuatan yang tidak pernah kita duga sebelumnya, dan bisa saja jika kita lengah akan membawa kita pada kesulitan”.
“Meskipun sekarang pasukan Wirasaba bisa dikatakan adalah sebuah pasukan yang telah terluka, karena sudah banyak kehilangan para senopatinya. Namun kita harus tetap memandang mereka sebagai sebuah pasukan segelar sepapan dalam keadaan yang utuh. Karena apa yang mereka alami itu tidak jauh seperti apa yang kita alami, kita harus ingat pula bahwa kita telah banyak kehilangan kawan-kawan kita”.
“Kita jangan berpikir bahwa kita sudah memenangkan perang ini, ingat! perang ini masih belum selesai. Meski secara penalaran wajar kita sudah diambang kemenangan, namun kita semua jangan berpikir demikian jika kita belum benar-benar sudah menyelesaikan perang ini dengan kemenangan. Karena sebelum perang ini dinyatakan berakhir, masih banyak kemungkinan yang terjadi ”. sahut Pangeran Pringgalaya menimpali.
“Meskipun aku sudah mendengar laporan secara sekilas dari para penghubung, tapi sekarang aku ingin mendengar laporan lebih terperinci dengan apa yang terjadi di kesatuan pasukan kita, silahkan senopati masing-masing sayap gelar Garuda Nglayang kemarin.”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram.
Ki Rangga Sabungsari dan Ki Tumenggung Sanggawira yang merasa namanya disebut segera memajukan sedikit duduknya di tempat masing-masing.
“Ampun Kanjeng Panembahan, hamba hanya dapat melaporkan bahwa pasukan dari Jati Anom yang dibantu pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung telah banyak kehilangan kawan, baik karena telah gugur maupun yang telah terluka. Dan hamba mohon ampun jika hari ini belum dapat turun ke medan karena masih sangat lemah setelah kemarin berusaha menahan Ki Cangkring Giri, selain itu Umbara yang kemarin berhadapan dengan Ki Tumenggung Randuwana hingga saat ini belum sadarkan diri”.
“Aku mengerti Ki Rangga Sabungsari. Kau tidak perlu khawatir, karena hari ini untuk sementara kedudukan dan tugasmu akan digantikan oleh orang lain. Lalu bagaimana dengan Ki Tumenggung Sanggawira?”.
“Ampun Kanjeng Panembahan, pasukan dari Ganjur yang dibantu oleh pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh juga banyak kehilangan kawan pula, baik karena gugur maupun terluka. Bahkan hamba sendiri pun masih dalam keadaan lemah akibat terluka dalam setelah kemarin berhadapan dengan Ki Tumenggung Adipura, dan Ki Prastawa sebagai pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun terluka parah dan hingga kini belum sadarkan diri”.
“Aku atas nama pribadi dan atas nama seluruh kawula Mataram mengucapkan belasungkawa kepada para prajurit yang gugur dan berprihatin kepada seluruh prajurit yang terluka”. Panembahan Hanyakrakusuma berhenti sejenak. Lalu lanjutnya, “namun apapun yang terjadi kita harus terus melangkah ke depan, dan kita jangan pernah menyia-nyiakan pengorbanan kawan-kawan kita”.
Semua orang yang mendengar itu hanya bisa terdiam dengan perasaan dan penalaran yang bercampur aduk, lagipula apa yang mereka rasakan hampir sama dengan yang dirasakan kawan mereka.
“Hari ini kita tetap akan turun ke medan dengan prajurit terbaik, bagi yang terluka jangan memaksakan diri, karena aku persilahkan untuk beristirahat dan kedudukannya akan digantikan oleh orang lain. Karena jika kalian turun ke medan tidak dalam keadaan terbaik, justru akan membahayakan nyawa kalian sendiri”.
“Gabungan pasukan Jati Anom dan Kademangan Sangkal Putung untuk hari ini kedudukan senopati tertingginya akan digantikan oleh Ki Tumenggung Alap-Alap, sementara pasukan dari Ganjur dan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan dipimpin oleh Paman Pangeran Demang Tanpa Nangkil, sebab Ki Tumenggung Sanggawira dan Ki Rangga Sabungsari hari ini tidak dapat turun ke medan. Apakah ada pertanyaan?”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram dengan penuh ketegasan.
Ternyata Panembahan Hanyakrakusuma mengerti apa yang sedang dialami oleh Ki Tumenggung Sanggawira dan Ki Rangga Sabungsari, sehingga memberikan waktu istirahat lebih kepada keduanya yang masih terlihat pucat dibandingkan dengan prajurit yang lain agar cepat sembuh dari luka dalamnya.
“Ampun Angger Panembahan, lalu siapakah yang akan menjadi Senopati Agung Mataram?”.
“Aku sendiri yang akan turun untuk memimpin pasukan Mataram, Paman. Aku minta pula kepada Paman Pangeran Pringgalaya untuk mendampingiku sebagai Senopati Pengapit, sementara Paman Pangeran Puger aku minta untuk mengendalikan perang dari belakang garis pertempuran”.
“Kami akan selalu menjunjung tinggi segala titah Angger Panembahan”. sahut Pangeran Puger.
“Apakah masih ada pertanyaan?”.
Sejenak kemudian suasana menjadi sepi, hanya suara burung-burung pagi saja yang terdengar bernyanyi dengan riangnya di pagi yang masih gelap karena matahari di sebelah timur masih belum menampakkan diri tapi sebentar lagi akan kembali berkobar perang antara Wirasaba dan Mataram.
“Baiklah, jika tidak ada pertanyaan lagi, aku cukupkan sekian pertemuan kali ini. Untuk selanjutnya, nanti kita akan saling melaporkan perkembangan keadaan melalui para penghubung”.
Kemudian mereka pun segera membubarkan diri, lalu ke kesatuan masing-masing termasuk Ki Sanggawira dan Ki Rangga Sabungsari yang tidak akan turun ke medan.
Meskipun keduanya tidak akan turun ke medan, namun mereka memerlukan hadir di kesatuannya masing-masing untuk sekedar memberikan petunjuk sehubungan dengan perkembangan terakhir.
Terutama Ki Rangga Sabungsari yang memerlukan datang kepada pasukannya, sebab dirinya perlu mengantarkan dan memperkenalkan Ki Tumenggung Alap-Alap sebagai pengganti kedudukannya sementara yang masih terasa asing bagi para prajuritnya karena mereka baru mendengar namanya saja.
“Hari ini dengan sangat terpaksa aku tidak dapat mendampingi kalian untuk turun ke medan karena keadaanku. Tapi kalian tidak perlu bingung, karena Kanjeng Sinuhun telah memerintahkan seorang senopati yang sangat luar biasa untuk menggantikan kedudukanku yang sekarang berdiri di sampingku ini, yaitu Ki Tumenggung Alap-Alap”. berkata Ki Rangga Sabungsari setelah berada dihadapan pasukannya.
“Bagi kami siapapun yang akan memimpin pasukan ini tidak menjadi soal, karena kami yakin bahwa pepunden kita pasti lebih tahu yang terbaik untuk masalah ini, dan aku rasa Ki Rangga Sabungsari memang memerlukan waktu untuk beristirahat lebih karena akan sangat berbahaya sekali jika kau memaksakan diri untuk turun ke medan”. sahut salah satu prajurit.
“Terima kasih atas pengertian kalian. Selanjutnya Ki Tumenggung Alap-Alap lah yang akan memimpin kalian bersama pasukan Mataram yang kemarin di bawah tanggung jawabnya”.
Kemudian Ki Rangga Sabungsari mempersilahkan senopati pengganti dirinya itu untuk memperkenalkan diri dan memberikan sesorah singkatnya di hadapan para prajurit Jati Anom dan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Terima kasih Ki Rangga Sabungsari”. lalu berkata selanjutnya yang ditujukan kepada para prajurit, “hari ini aku mendapat perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma untuk menggantikan kedudukan Ki Rangga Sabungsari yang sedang terluka. Aku harap kita dapat bekerjasama dengan baik”.
“Kami pasukan dari Jati Anom dan Tanah Perdikan Menoreh mengucapkan selamat bergabung, Ki Tumenggung Alap-Alap”.
“Terima kasih. Namun sebaiknya kita segera bersiap untuk turun ke medan agar kita tidak tertinggal dengan pasukan dari kesatuan yang lain”.
Kemudian pasukan itu pun segera bersiap dalam waktu yang sudah semakin sempit. Sebenarnyalah mereka hanya tinggal melakukan persiapan pada tahap akhir, karena semuanya sudah mereka persiapkan sebelumnya, sehingga mereka sudah tidak terlalu sibuk lagi.
Di balik punggung gunung sebelah timur, langit sudah mulai tampak kemerah-merahan pertanda sebentar lagi hari baru akan tiba dan perang harus berkobar kembali.
Sementara sembari menunggu waktu yang semakin mendekati suara sangkakala akan dibunyikan, Panembahan Hanyakrakusuma masih sempat berbincang dengan salah satu pamannya.
“Menurut Paman Pringgalaya, sebenarnya apa yang terjadi pada saat-saat terakhir perang tanding Ki Lurah Glagah Putih?”.
Pangeran Pringgalaya yang mendapat pertanyaan tersebut tidak langsung menjawab, terdengar suara nafasnya yang berat pada saat dirinya berusaha mencari jawaban.
“Aku yang tidak pernah menduga bahwa akan ada kejadian itu menjadi lengah, Ngger. Namun aku sempat melihat ada dua sosok bayangan hitam yang sudah memasuki arena perang tanding tersebut setelah cahaya yang sangat menyilaukan itu mereda”.
“Apakah paman mengenali ciri-ciri mereka, atau paling tdak salah satu di antara mereka?”.
Kembali Pangeran Pringgalaya terdiam sembari memejamkan matanya dan berusaha mengingat kembali apa yang telah dilihatnya semalam dalam perang tanding.
“Aku merasa kesulitan untuk mengenali mereka, Ngger. Meskipun hanya sekedar untuk mengenali ciri-cirinya. Tapi aku sempat melihat sekilas dua orang yang memiliki kecepatan gerak yang luar biasa mengenakan pakaian serba hitam dan satunya mengenakan pakaian seperti orang kebanyakan namun keduanya sama-sama mengenakan penutup kepala”.
Kali ini Panembahan Hanyakrakusuma yang menjadi terdiam, berbagai pertimbangan berputar-putar di kepalanya, tapi semua itu belum mengarah pada sebuah kesimpulan.
“Dan kemudian dalam penglihatanku yang samar-samar, kedua bayangan itu meninggalkan arena ke arah yang berbeda”.
“Kemungkinan besar keduanya adalah dua pihak yang berseberangan, Paman”.
“Sepertinya demikian, Ngger. Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi Ki Lurah Glagah Putih dan masih memberinya panjang umur, meskipun secara samar-samar aku melihat bahwa dia tentu akan mengalami luka dalam yang sangat parah karena benturan ilmu puncak tersebut”.
“Benar Paman, sebaiknya kita tidak henti-hentinya nenuwun untuk keselamatan Ki Lurah Glagah Putih. Karena bagaimanapun jasanya bagi tegaknya bumi Mataram sangat besar”.
“Angger Panembahan benar, bahkan jasanya bisa dikatakan hingga tak ternilai karena saking besarnya”.
“Semoga saja yang membawanya adalah orang yang berpihak kepada Mataram, sehingga apapun hasil akhir dari perang tanding itu akan membuatnya berada di tempat yang aman”.
“Semoga saja orang yang telah membawa Ki Lurah Glagah Putih tidak sekedar membawanya, tapi berusaha merawatnya pula. Karena jika luka dalam itu terlambat mendapatkan perawatan, maka akan sangat membahayakan jiwanya”.
“Sekarang kita hanya bisa nenuwun. Tapi nanti setelah perang ini selesai, kita harus segera berusaha mencarinya, Paman. Sementara ini kita lupakan dulu sejenak masalah itu akan perhatian kita pada perang ini tidak terganggu”.
“Sebaiknya memang demikian, Angger Panembahan”.
Sementara di langit sebelah timur sudah mulai berwarna kemerah-merahan, pertanda matahari sebentar lagi akan terbit di tempat yang masih berkabut tipis dan berhawa dingin yang menusuk kulit.
Seorang prajurit Mataram yang bertugas untuk meniup sangkakala, sudah bersiap sejak beberapa saat tadi untuk menjalankan kewajibannya, kali ini dikawani oleh dua orang yang bertugas memukul bende Kyai Bancak.
Sementara pasukan Wirasaba yang sudah kehilangan banyak sekali senopati pilihannya pun tidak mau menyerah begitu saja, itu dapat dilihat bahwa hari ini mereka pun mempersiapkan pasukan seperti hari-hari sebelumnya dalam menyambut perang.
Kanjeng Adipati Wirasaba yang malam ini tidak dapat beristirahat sama sekali, memang memerintahkan pasukannya yang tersisa untuk tetap berusaha melawan pasukan Mataram.
Ternyata harga dirinya yang tinggi telah memburamkan penalaran wajarnya, sehingga dia tidak lagi berhitung untung ruginya jika pasukan Wirasaba yang tersisa harus melanjutkan pertempuran, meski kemungkinan untuk meraih kemenangan itu sendiri sangat kecil sekali.
Meskipun Ki Jembar Maja sebagai pamomongnya sudah dengan berbagai cara telah memperingatkan bahwa jika pertempuran itu dilanjutkan hanya akan sia-sia saja.
Bahkan lebih tepatnya pasukan Wirasaba hanya akan membunuh diri. Namun Kanjeng Adipati yang masih sangat muda itu sepertinya telah memiliki keputusannya sendiri.
“Aku persilahkan jika Ki Jembar Maja dan yang lain berniat akan menyerah kepada Panembahan Hanyakrakusuma, namun perlu kalian tahu bahwa kalian tidak akan pernah bisa untuk mempengaruhi Adipati Wirasaba untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang akan kalian lakukan, meskipun nanti hanya tinggal aku sendiri yang akan turun ke medan”.
Ki Jembar Maja menjadi kebingungan mendengar ucapan pepunden seluruh kawula Wirasaba tersebut. Segala cara sudah diupayakan, namun ternyata maksud baiknya mendapat sambutan yang demikian.
Sedangkan di sisi lain, dirinya tidak akan mungkin meninggalkan momongannya itu sendirian turun ke medan karena dirinya sudah berjanji kepada Swargi Kanjeng Adipati Sepuh untuk selalu mendampinginya apapun yang terjadi, bahkan hingga bela pati sekalipun akan dilakukannya.
Keduanya hanya bisa saling berdiam diri untuk beberapa saat, karena mereka sibuk sendiri dengan isi kepala masing-masing.
Ki Jembar Maja sebagai seorang yang memiliki penalaran yang sangat baik dan pengalaman yang sangat luas sudah mulai dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika pasukan Wirasaba masih memaksakan diri untuk terus bertempur.
Kemungkinan-kemungkinan buruk sudah semakin terbayang jelas dalam kepala pamomong Kanjeng Adipati Wirasaba tersebut, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Namun dirinya sangat menyadari kedudukannya sepenuhnya, hanya sebagai pamomong yang tidak pernah memiliki kuasa atas seluruh pasukan.
Sebenarnya Ki Jembar Maja sangat menyayangkan sekali keputusan yang diambil oleh Kanjeng Adipati Wirasaba pada saat-saat terakhir, mengapa momongannya tersebut begitu mengeraskan hatinya untuk tetap melawan Mataram dengan pasukan yang tersisa.
Sedangkan jika Wirasaba mau mengakui keunggulan Mataram, paling tidak mereka bisa sedikit mengurangi korban yang harus berjatuhan, baik korban yang harus terluka maupun korban yang harus gugur sekalipun.
Tiba-tiba suara sangkakala dari puncak bukit kecil itu telah membuyarkan lamunan Ki Jembar Maja yang masih nampak kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya.
Suara sangkakala yang pertama sebagai pertanda bagi pasukan Wirasaba dan Mataram untuk segera mempersiapkan diri guna turun ke medan, baik persiapan secara pribadi maupun dengan segala perlengkapan persenjataan.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma yang sudah bersiap dalam kedudukannya di pasukan induk gelar, bersama Pangeran Pringgalaya yang menjadi Senopati Pengapit, sedang berusaha meyakinkan dirinya dengan apa yang dilihat di depan matanya. Menurutnya ada sesuatu yang kurang wajar.
Karena ternyata pasukan lawan seperti tidak terpengaruh dengan kepergian Ki Patih Rangga Permana yang misterius. Karena Wirasaba terlihat masih sigap untuk menyambut perang hari ini.
“Sepertinya Wirasaba tidak pernah gentar menyambut perang hari ini, Paman. Meski mereka sudah banyak kehilangan senopati pilihan, terutama Ki Patih Rangga Permana”.
“Angger Panembahan benar, dan menurutku mereka pantas mendapat rasa hormat dari Mataram karena sikap tersebut”.
“Iya Paman”.
“Mungkinkah Ki Patih Rangga Permana telah kembali di antara mereka? sehingga mereka menemukan keberaniannya kembali? atau mungkin ada orang lain lagi yang pilih tanding, sehingga bisa mereka jadikan sandaran?”. berkata Panembahan Hanyakrakusuma dalam hati.
“Aku merasa ada sedikit keanehan pada pasukan Wirasaba, Ngger”. ucap Pangeran Pringgalaya tiba-tiba.
“Maksud Paman?”.
“Aku merasa mereka masih memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan, atau paling tidak kita harus mewaspadai siapakah orang yang berada di balik pasukan itu, sehingga Wirasaba masih memiliki keberanian untuk kembali turun ke medan setelah kita semua tahu yang telah terjadi”.
“Aku juga sempat berpikir demikian, Paman. Karena aku sendiri pun merasa janggal dengan apa yang aku lihat”.
“Sebaiknya Angger Panembahan memerintahkan seorang penghubung untuk menghadap Kakangmas Pangeran Puger, sampaikan padanya untuk semakin berhati-hati dalam mengawasi medan dan segera laporkan jika ada perkembangan yang mencurigakan, karena mungkin saja orang yang kita maksud itu berada di luar pasukan induk”.
“Baik Paman”.
Kanjeng Sinuhun Mataram pun kemudian segera memanggil seorang perwira prajurit penghubung yang bertugas di pasukan induk Mataram untuk melaksanakan maksudnya.
Sejenak kemudian prajurit penghubung tersebut segera meninggalkan tempat itu dengan menyibak pasukan Mataram yang sudah bersiap untuk turun ke medan hari ini dengan segala perlengkapannya guna melaksanakan tugas dari pepundennya.
Sementara Ki jembar Maja dengan penuh kesetiaan selalu berusaha mendampingi Kanjeng Adipati Wirasaba tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya di wajahnya.
Apalagi setelah dirinya mendengar suara sangkakala, justru raut wajahnya menjadi semakin suram dengan segala perasaan yang hanya mampu dipendamnya sendiri.
Sejenak kemudian terdengar kembali suara sangkakala untuk kedua kalinya, lalu tidak selang beberapa lama disusul suara untuk yang ketiga kalinya.
Belum sempat terdiam suara sangkakala yang ketiga kalinya, sudah disusul suara bende kebanggaan Mataram yang memiliki suara yang sangat berbeda dengan suara bende kebanyakan.
Bende yang sangat terkenal karena tuahnya, entah itu hanya sekedar kepercayaan sebagian orang atau memang benar-benar memiliki tuah yang diluar nalar.
Karena berdasarkan kepercayaan banyak orang yang pernah mendengarnya selama ini, jika bende itu dapat dipukul dalam sebuah perang, maka pihak yang berhasil memukulnya akan dinaungi oleh kemenangan.
Suara bende Kyai Bancak melengking di udara, mampu mencekam dan menggetarkan hampir setiap jantung orang yang mendengarnya karena seperti membawa prabawa yang aneh.
Sementara pasukan segelar sepapan Wirasaba dan Mataram sudah mulai bergerak maju untuk memulai pertempuran dengan diiringi suara bende aneh dan seakan mampu mencekam hampir setiap jantung orang yang mendengarnya, dan memberikan pengaruh yang sangat luar biasa bagi ketahanan jiwani lawan.
Pada prajurit barisan pertama terdapat pasukan pemanah dan pembawa senjata pelontar serta pasukan pembawa perisai untuk melindungi kawan-kawan mereka dari kegarangan hujan panah dan lembing lawan, seperti hari-hari perang sebelumnya.
Ternyata pasukan pemanah dan pelontar lembing yang terbuat dari pring cendani dengan bedor besi tajam dari kedua belah pihak masih banyak pula, meski tidak sebanyak hari-hari sebelumnya.
Pada benturan pertama dengan senjata jarak jauh tersebut cukup banyak memakan korban karena tidak terlindungi kawan-kawannya yang membawa perisai dan tidak mampu menangkis atau bahkan menghindari serangan tersebut.
Berbagai sumpah serapah dan umpatan yang sangat kotor dari para prajurit yang telah menjadi korban pada benturan pertama dari kedua belah pihak tersebut telah menandai bahwa perang pada hari itu sudah dimulai kembali.
Benturan pertama dengan senjata jarak jauh dari dua belah pihak tidak dapat berlangsung lama, karena keduanya sembari saling mendekati lawan untuk dapat langsung beradu dada.
Kali ini pasukan Wirasaba yang tersisa dipimpin langsung oleh Kanjeng Adipati, dengan Senopati Pengapit adalah Ki Jembar Maja. Meskipun selama ini kedudukannya tidak lebih hanya sekedar pamomong, namun dirinya termasuk orang yang cukup bekal jika harus turun ke medan.
Sebagai orang yang telah berumur dan berpengalaman sangat luas, membuat dirinya tidak menjadi gugup menghadapi keadaan, termasuk harus turun ke medan seperti yang dilakukannya hari ini.
Ternyata kehilangan beberapa senopati pilihan, termasuk Ki Patih Rangga Permana sebagai orang yang paling dituakan di Kadipaten Wirasaba sangat berpengaruh sekali bagi pasukan yang masih besar secara keseluruhan.
Meskipun pasukan itu masih sebuah kesatuan yang sangat besar, namun seperti sekumpulan anak ayam yang kehilangan induknya, itu dapat dilihat dari susunan pasukan Wirasaba yang tidak serapi seperti hari-hari sebelumnya.
Kini yang terlihat seperti sekumpulan prajurit yang sedang mengawal perjalanan pepundennya untuk turun ke medan, Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang menggunakan sebuah kesatuan gelar perang yang utuh.
“Apakah Paman melihat pasukan Wirasaba?”. bertanya Kanjeng Sinuhun Mataram yang merasa heran.
Pangeran Pringgalaya pun tidak langsung menjawab, tapi dilihatnya lebih dulu dengan seksama apa yang dimaksud kemenakannya tersebut.
“Aku melihatnya, Angger Panembahan. Aku melihat sebuah pasukan besar yang seperti kehilangan induknya”.
“Apakah ini adalah gambaran kecil tentang keadaan pasukan mereka yang sebenarnya atau hanya siasat mereka saja untuk mengelabui pasukan kita, Paman?”.
“Dua kemungkinan itu dapat saja terjadi, Ngger. Tapi sebaiknya kita harus semakin berhati-hati, jangan sampai kita menjadi tertipu dengan apa yang telah kita lihat”.
“Benar Paman, sebaiknya kita memang harus lebih berhati-hati”.
“Yang aku khawatirkan adalah Wirasaba menyadari keadaan pasukannya, lalu menjadikan mereka waringuten ketika turun ke medan dan mungkin saja mereka akan kehilangan penalaran yang bening, sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi perang brubuh”.
“Aku juga sempat berpikir demikian, Paman. Tapi apapun yang terjadi, sebaiknya kita harus tetap mampu mengendalikan keadaan. Karena jika mereka sudah putus asa dalam medan, bukankah justru akan sangat berbahaya? baik diri mereka sendiri maupun kita sebagai lawannya?”.
“Benar Ngger, kemungkinan membunuh diri dapat saja mereka lakukan sebagai keputusan terakhir yang dapat mereka ambil dalam keputus asaan. Karena harga diri mereka terlalu tinggi untuk mengakui kekalahan sehingga akan memburamkan penalaran mereka untuk menyerah kepada kita”.
“Justru itu yang membuat pekerjaan kita menjadi semakin sulit, tapi biar bagaimanapun kita jangan sampai kehilangan penalaran wening karena menghadapi lawan yang demikian. Kita harus menghindari korban sejauh mungkin, Paman”.
“Aku sependapat, Ngger. Karena dalam perang ini tujuan kita adalah mencari pengakuan, bukan mencari korban. Sehingga prajurit yang berkedudukan paling rendah sekalipun tidak pantas untuk dikorbankan. Ini bukanlah perang brubuh apalagi perang awur-awuran yang tidak mengenal paugeran”.
Pembicaraan dua orang pembesar Mataram itu tidak dapat berlangsung lebih lama lagi karena pasukan Wirasaba sudah menjadi semakin dekat, setelah saling serang dari jarak jauh dengan anak panah dan senjata pelontar lainnya.
Pada waktu matahari yang belum lama terbit itu, kedua pasukan segelar sepapan sudah saling berhadapan, bahkan itu terjadi pula pada gelar pasukan induk. Pasukan segelar sepapan Wirasaba yang masih besar itu pun sudah siap memberikan perlawanan, meskipun mereka sangat menyadari bahwa sangat kecil sekali dapat memenangkan pertempuran.
Sebuah pasukan besar, tapi pasukan yang sudah terluka, bahkan terluka cukup parah karena telah banyak kehilangan orang-orang penting dan berilmu tinggi.
“Selamat pagi Kanjeng Adipati Wirasaba”. sapa Pangeran Pringgalaya lebih dahulu setelah mereka saling berhadapan.
“Selamat pagi, jika aku tidak salah bukankah kau yang bernama Pangeran Pringgalaya?”. sahut Adipati muda tersebut.
“Demikianlah Kanjeng Adipati”.
“Aku tidak akan pernah mau menyerah kepada kalian”.
Pangeran Pringgalaya dan Panembahan Hanyakrakusuma saling pandang sejenak mendengar itu, meski tidak ada kata yang terucap keduanya menjadi tanggap apa yang harus dilakukan.
“Apakah kau akan mengorbankan seluruh kawulamu untuk melindungi dirimu? bukankah itu sebuah sikap yang sangat deksura? karena kau menjadi seorang pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadimu daripada nasib seluruh kawulamu?”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Kali ini aku tidak akan berlindung dibalik punggung siapapun”.
“Apakah maksud dari ucapanmu?”.
“Aku tidak akan memerintahkan kawula Wirasaba untuk melindungiku, apapun yang akan terjadi dengan diriku biarlah menjadi tanggung jawabku sendiri”.
Kedua Priyagung Mataram itu kembali menjadi saling pandang setelah mendengar ucapan Kanjeng Adipati Wirasaba yang masih sangat muda tersebut.
“Apakah kalian menjadi heran?”.
“Tidak. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”.
“Kalian tidak perlu lagi bertempur melawan para prajurit Wirasaba, karena akulah yang paling bertanggung jawab atas semua ini. Jadi.. aku persilahkan kalian untuk menduduki Kadipaten Wirasaba jika kalian sudah melangkahi mayatku”.
“Kanjeng Adipati..”. terdengar suara terpekik dari arah samping.
“Paman tidak perlu khawatir, aku tahu apa yang aku lakukan dengan segala akibatnya. Jika nanti ada apa-apa denganku, aku titipkan seluruh kawula Wirasaba”.
“Apakah Kanjeng Adipati berkata sebenarnya?”.
“Apakah Paman Jembar Maja meragukan ucapanku?”.
“Ampun Kanjeng Adipati, bukan maksudku meragukan namun apakah sudah dipikirkan masak-masak semua itu?”.
“Sudah Paman, sekarang kalian tidak perlu lagi mengorbankan diri karena aku tidak ingin kawulaku menderita lagi. Maka dari itu biarlah aku tuntaskan sendiri masalah ini”.
“Jika Kanjeng Adipati akan tetap melanjutkan perang ini, maka akupun akan berbuat demikian”. sahut Ki Jembar Maja dengan penuh keyakinan.
“Paman Jembar Maja tidak perlu berkorban lagi”.
“Itu bukan pengorbanan, tapi sebuah kesetiaan”.
“Sebuah kesetiaan itu tidak harus bela pati”.
“Tapi…”.
“Jika Paman Jembar Maja benar-benar setia kepada Wirasaba, aku titipkan seluruh kawula Wirasaba kepada Paman setelah kepergianku nanti”. sahut Kanjeng Adipati Wirasaba cepat, memotong ucapan Ki Jembar Maja.
Pamomong Kanjeng Adipati Wirasaba itu hanya bisa tertegun dengan penuh kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya. Seakan sekarang dirinya dalam kedudukan yang serba salah.
Kejadian tersebut tidak luput dari perhatian dua Priyagung Mataram yang sedari tadi memperhatikan mereka, dan secara tidak langsung dapat menangkap apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku sadar bahwa kemampuanku masih dibawah kemampuanmu, Panembahan. Namun sebagai seorang pemimpin aku tidak akan pernah mundur sejengkal pun karena ketakutan ketika terjadi perang”.
“Aku sangat menghargai sikapmu, Kanjeng Adipati. Meski sekarang kau masih sangat muda, namun sikapmu sudah bisa menjadi teladan seluruh kawulamu”.
“Kau tidak perlu membawa-bawa kawulaku, yang ada sekarang adalah kita berdua”.
“Lalu apa maumu?”.
“Aku menantangmu berperang tanding hingga tuntas”.
“Apa maksudmu dengan berperang tanding hingga tuntas?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma heran.
“Kita berperang tanding hingga ada salah satu di antara kita terbunuh disini”.
“Tapi aku tidak pernah ingin membunuh siapapun”.
“Ternyata pepunden kebanggaan seluruh kawula Mataram adalah orang yang paling sombong yang pernah aku kenal”.
“Apa maksudmu dengan berkata demikian?”.
“Bukankah kau dapat berkata demikian karena merasa akan dapat dengan mudah mengalahkan bahkan membunuhku dengan kemampuanmu? sehingga justru kau akan mempermainkan aku, lalu menangkapku, untuk kemudian hanya akan dijadikan pengewan-ewan di depan seluruh kawulaku?”.
“Aku tidak pernah punya maksud demikian”.
“Bersiaplah, kita akan segera mulai perang tanding. Apakah sekarang kau juga akan mewakilkannya? setelah kemarin kau menolak berperang tanding melawan Ki Patih Rangga Permana”.
Panembahan Hanyakrakusuma hanya bisa menarik nafas dalam beberapa kali sebelum menjawab sembari menunggu tanggapan dari Pangeran Pringgalaya yang berdiri di sebelah kirinya, namun apa yang ditunggunya tak kunjung datang juga.
Ternyata Pangeran Pringgalaya hanya berdiam diri menanggapi keadaan tersebut, secara tidak langsung dirinya telah menyerahkan sepenuhnya masalah itu kepada Kanjeng Sinuhun Mataram untuk menyelesaikannya.
Karena menurutnya itu adalah sebuah penyelesaian yang paling bijaksana, sebab akan diselesaikan oleh sesama pemimpin tertinggi masing-masing pasukan yang sedang bertempur. Dan siapapun tidak sepantasnya untuk mengganggu.
Tapi berbeda sekali dengan apa yang terjadi dengan Ki Jembar Maja selaku pamomong Kanjeng Adipati Wirasaba, karena itu sama halnya momongannya tersebut akan membunuh diri.
Bukan dirinya bermaksud tidak menganggap pepundennya, namun secara penalaran wajar Kanjeng Adipati yang masih sangat muda itu tentu belum akan mampu mengatasi kemampuan kanuragan pemimpin tertinggi Mataram.
“Baiklah, aku akan menjawab tantanganmu. Kita akan berperang tanding. Biarlah mereka menjadi saksi, agar kita dapat berperang tanding secara adil dan tidak akan terganggu oleh siapapun”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma.
Ki Jembar Maja semakin berdebar-debar mendengar jawaban itu, jantungnya seakan mau meledak karena menahan gejolak di dalam dadanya yang memuncak.
Namun dirinya menyadari dalam kedudukan yang serba salah dan tidak memiliki kuasa untuk mencegah atau berbuat sesuatu agar perang tanding tersebut tidak pernah terjadi. Kini dia hanya bisa pasrah dan tidak henti-hentinya untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Agung.
Sementara yang terjadi pada seluruh pasukan kedua belah pihak seakan hanya mematung dan menunggu apa yang terjadi dengan Senopati Agung, karena mereka memang mendapat perintah dari senopati masing-masing untuk menahan diri.
Berdasarkan keterangan dari masing-masing senopati setiap kesatuan, pertempuran itu hampir tidak ada gunanya lagi jika tetap dilanjutkan, karena secara penalaran wajar sudah dapat ditebak hasil akhirnya.
Sehingga jika perang akan tetap dilanjutkan hanya akan menambah korban dalam kesia-siaan saja, menyadari akan hal itu maka pepunden Wirasaba dan Mataram berusaha mencegah agar tidak terjadi demikian.
Sejenak kemudian Senopati Pengapit dan para prajurit pengawal Senopati Agung segera menyibak, untuk memberikan tempat bagi pepunden mereka untuk berperang tanding.
Kali ini pihak Wirasaba lah yang menjadi terdiam melihat kenyataan tersebut, sebab mereka sudah dapat menduga akan hasil akhir dari perbandingan ilmu kanuragan dari keduanya.
Bagi mereka, pepunden seluruh kawula Wirasaba tersebut seakan sudah tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memenangkan perang tanding meski itu belum dimulai. Sebab secara kasat mata mereka telah melihat kemampuan yang berbeda jauh.
Wajah-wajah yang terlihat kusam dan pucat penuh keputus-asaan, para prajurit Wirasaba hanya bisa menundukkan kepala dengan perasaan lesu sembari tidak henti-hentinya nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih.
Hampir seluruh prajurit Wirasaba sudah menyadari bahwa mereka hanya tinggal menunggu waktu saja ditaklukkan oleh Mataram, dan mereka hanya bisa berharap bahwa nanti setelah mereka menyerah tidak akan dijadikan pengewan-ewan atau kemungkinan buruk lainnya.
Sementara Kanjeng Adipati Wirasaba sudah mulai bersiap dengan melangkah maju, yang kemudian disusul oleh lawannya, yaitu Panembahan Hanyakrakusuma.
“Panembahan, aku sangat menyadari perbandingan ilmu di antara kita berdua. Tapi aku tidak mau hanya berpangku tangan begitu saja, menyerahkan kedua tanganku untuk diikat dan kemudian dijadikan tawanan tanpa perlawanan”.
“Aku sangat menghargai sikapmu. Dengan umurmu yang masih sangat muda kau sudah memiliki sikap yang kuat. Maka dari itu aku menjawab tantangan perang tanding yang kau ajukan ini”.
“Meskipun apa yang aku lakukan ini dianggap hanya membunuh diri, namun aku tidak bisa hanya berpangku tangan melihat para prajuritku yang sudah mengorbankan jiwa raganya untuk membela diriku dan seluruh kawula Wirasaba”.
“Aku mengerti. Karena sebagai pemimpin kita tidak bisa selalu hanya berbuat atas dasar kepentingan pribadi, tapi ada kalanya kita juga harus melakukan sesuatu atas nama seluruh kawula kita masing-masing”.
“Semoga dengan apa yang aku lakukan ini, kawulaku tidak lagi menyalahkanku karena tidak dapat menjadi pelindung bagi mereka. Dan aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan kau lakukan setelah aku gugur di medan ini”.
“Bukankah kita tidak memiliki kemampuan untuk menentukan umur kita sendiri? karena hanya Yang Maha Agung lah yang telah mengatur semua itu?”.
“Mentang-mentang kau berhadapan denganku, kau memutar balikkan kata-kata untuk mempengaruhi sikapku. Jika kau bermaksud demikian, itu adalah salah besar, Panembahan”.
“Terserah akan tanggapanmu, aku hanya berkata sesuai dengan kebenaran yang aku yakini, bukan maksudku untuk mempengaruhi pendirian yang kau yakini”.
“Aku memang anak kemarin sore jika dibandingkan dengan kau, Panembahan. Namun bukan berarti kau dapat mempengaruhi aku seperti yang kau mau”.
“Bukankah aku sudah bilang, bahwa aku tidak berusaha untuk mempengaruhimu. Aku hanya berkata sesuai dengan kebenaran yang aku yakini”.
“Cukup..! kita tidak perlu banyak bicara lagi. Sebaiknya kita segera mulai, dan aku sudah siap apapun yang akan terjadi”. berkata Kanjeng Adipati Wirasaba yang merasa mulai sudah tidak sabar.
Sementara Ki Jembar Maja hanya diam terpaku dengan wajah pucat dan lesu melihat kenyataan di depan matanya tersebut, tapi dia merasa tidak memiliki kemampuan untuk mencegah.
Sejenak kemudian Kanjeng Adipati Wirasaba dan Kanjeng Sinuhun Mataram segera bersiap untuk memulai perang tanding sebagai pemimpin tertinggi kedua belah pihak.
Sebenarnya Kanjeng Adipati Wirasaba bukanlah seorang pemimpin yang tanpa memiliki bekal kanuragan sama sekali, hanya karena umurnya saja yang masih sangat muda belum memungkinkan dirinya untuk dapat menerima bekal yang lebih dari apa yang telah dimilikinya sekarang.
Kali ini wajah Pangeran Pringgalaya dan orang-orang Mataram hampir tidak ada yang menyimpan ketegangan yang sangat, berbeda sekali dengan raut wajah orang-orang Wirasaba yang tidak dapat menyembunyikan kegelisahan.
Namun mereka seperti Ki Jembar Maja yang merasa tidak memiliki kuasa atau kemampuan untuk mencegah perang tanding tersebut, karena biar bagaimanapun mereka sudah dapat menduga hasil akhirnya.
Meskipun dengan berat hati, mau tidak mau orang-orang Wirasaba harus menyaksikan pemimpin tertinggi mereka melakukan perbandingan ilmu.
Panembahan Hanyakrakusuma yang melihat lawannya sudah bersiap, segera bersiap pula. Pepunden Mataram itu tidak mau menganggap remeh lawannya sedikitpun.
Dengan lompatan panjang, Kanjeng Adipati memulai serangan dengan tangan kanannya menjulur lurus ke arah dada. Lawannya yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan masih berusaha menghindar dan tidak mau langsung terjadi benturan.
Setelah menyadari serangan pertamanya tidak mengenai sasaran karena lawan berkelit ke samping, kemenakan Ki Patih Rangga Permana tersebut segera melancarkan serangan berikutnya.
Kali ini kaki kirinya mencoba menyerang lambung kanan lawan, namun ternyata lawan masih berusaha menghindari dengan lompatan pendek ke belakang.
Sejenak kemudian perang tanding itu mulai berjalan sengit. Kanjeng Adipati yang merasa serangannya selalu mampu dihindari lawan segera meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis lebih tinggi.
Kanjeng Adipati Wirasaba merasa tidak perlu lagi menahan diri untuk menyerang lawan, karena dirinya sadar bahwa kemampuan lawannya masih jauh berada di atas kemampuannya.
Sehingga dengan demikian tidak ada lagi keraguan untuk meningkatkan kemampuannya semakin tinggi, bahkan lebih cepat dari yang biasa dia lakukan.
Tidak lupa Kanjeng Adipati meningkatkan kemampuan daya tahan tubuhnya agar nanti jika terjadi benturan kekuatan dengan lawan, tubuhnya dapat mengurangi akibat yang ditimbulkan.
Pada awal-awal pertempuran masih belum terlihat perbedaan kemampuan dari pemimpin tertinggi masing-masing pasukan, bahkan dapat dikatakan seimbang. Karena disisi lain Panembahan Hanyakrakusuma meningkatkan kemampuannya hanya sebatas untuk mengimbangi lawan.
Hingga pada suatu ketika tangan cucu Panembahan Senopati tersebut harus berbenturan dengan kaki lawan yang menyerang lambung kirinya.
Kaki Kanjeng Adipati pun bergetar karena seakan membentur sepotong wesi gligen yang sangat keras dan kokoh, kaki tersebut terasa nyeri sekali seakan tulangnya remuk.
Tanpa sadar Kanjeng Adipati mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak untuk memeriksa kakinya, lawannya pun sengaja memberikan kesempatan.
“Ada apa Kanjeng Adipati? apakah kau memerlukan waktu istirahat?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma.
“Kau pandai sekali berpura-pura”.
“Apakah salah jika aku bertanya?”.
“Tidak, tapi pertanyaanmu lah yang salah”. sahut Kanjeng Adipati Wirasaba sembari masih memeriksa kaki kanannya yang tadi berbenturan dengan lawan.
“Lalu aku harus bertanya bagaimana?”.
“Kau tidak perlu bertanya lagi, karena pertanyaanmu seperti mengandung duri kemarung yang menggoreskan luka di jantungku. Bersiaplah! kita akan segera mulai pertempuran kembali”. sahut Kanjeng Adipati setelah memperbaiki dirinya.
Sejenak kemudian perang tanding itu segera berkobar kembali dengan Kanjeng Adipati menyerang lebih dahulu lawannya yang lebih banyak menunggu dan seakan hanya melayaninya saja.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Apalagi dengan umurnya yang masih sangat muda, cara bertempur Kanjeng Adipati lebih terdorong oleh luapan perasaannya dibandingkan dengan penalaran yang bening. Sehingga hampir setiap serangannya masih sulit untuk menembus pertahanan lawannya.
Panembahan Hanyakrakusuma yang sedikit banyak sudah mampu menduga seberapa tinggi kemampuan lawannya, tetap tidak mau menganggap remeh lawan.
Pepunden seluruh kawula Mataram tersebut tetap bertempur dengan penuh perhitungan dan kewaspadaan tertinggi, karena dirinya tidak ingin menyesal karena kesombongannya sendiri.
Semakin lama perang tanding tersebut semakin cepat dan keras, bahkan Panembahan Hanyakrakusuma sempat mengerutkan keningnya ketika beberapa kali serangannya yang mampu menembus pertahanan lawan seperti tidak terlalu menyakiti lawan sebagaimana mestinya.
“Mungkinkah…?”. membatin Kanjeng Sinuhun Mataram dengan penuh dugaan sembari masih bertempur dengan sengitnya.
Dengan adanya dugaan yang demikian, maka ditingkatkanlah kemampuannya selapis lebih tinggi untuk menyerang lawannya yang masih sangat muda tersebut.
Beberapa saat kemudian terjadilah benturan di antara keduanya yang membuat Kanjeng Adipati Wirasaba meringis seperti menahan rasa kesakitan, lalu mengambil jarak dari lawannya untuk menilai apa yang terjadi.
“Ternyata kau sudah memiliki bekal ilmu kebal?”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram.
“Benar”.
“Ternyata pepunden Wirasaba memang bukan orang sembarangan, meskipun pada usiamu yang masih sangat muda ternyata bekal kanuraganmu sudah patut dibanggakan”.
“Apa kau kira, aku tidak memiliki bekal kanuragan sama sekali?”.
“Bukan itu maksudku, tapi bekal kanuraganmu sudah jauh dari perkiraanku. Karena ternyata kau sudah memiliki ilmu kebal, meskipun masih mentah”.
“Aku tahu, ilmu kebalku memang masih mentah jika dibandingkan dengan Ki Patih Rangga Permana, karena baru tataran itu yang dapat ku gapai”.
“Jika kedepannya kau mampu mengembangkan ilmumu itu, aku yakin bahwa suatu hari nanti kau akan menjadi seorang yang berilmu tinggi dan ngedap-ngedapi”.
“Kau tidak perlu bicara ngayawara seperti itu, karena aku sadar sebentar lagi nasibku akan ditentukan”.
“Apakah menurutmu perang tanding adalah sama artinya dengan kematian bagi pihak yang kalah? kau salah. Sebaiknya kau menilai perang tanding itu lebih luas lagi agar kau tidak salah dalam mengartikannya dari segi penalaranmu”.
“Kau memang pandai sekali memutar kata-kata”.
“Itu bukan sebuah kepandaian berkata-kata, namun sebuah pengertian sebuah perang tanding dalam pengertian yang utuh dan mungkin dapat kau pertimbangkan kebenarannya”.
“Apalagi yang harus aku pertimbangkan? aku sudah memiliki waktu lagi untuk mempertimbangkannya”.
“Bukankah sekarang kau masih dalam keadaan sadar sepenuhnya dan masih memiliki penalaran yang utuh untuk mempertimbangkan semua itu?”.
“Kau benar, tapi sudah terlambat”.
“Apanya yang terlambat?”.
“Karena sekarang aku sudah memasuki perang tanding”.
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa perang tanding itu bukan berarti kematian bagi pihak yang kalah?”.
“Jika demikian, kau berharap aku akan menyerah padamu? lalu menyerahkan kedua tanganku untuk diikat di balik punggungku untuk kemudian akan kau jadikan pengewan-ewan di hadapan seluruh kawulaku?”.
“Ternyata pengertianmu akan perang masih terlalu picik dan sempit, sehingga kau memiliki penalaran bahwa pihak yang kalah dalam sebuah perang tanding pasti akan menjadi pengewan-ewan. Kau lupa bahwa kami orang-orang Mataram adalah orang yang masih memiliki nurani dan berjantung dan masih menjunjung paugeran yang ada, sehingga tidak mungkin jika kami akan berbuat keji seperti yang kau bayangkan itu”.
“Rupanya kau masih berusaha untuk mempengaruhiku untuk menyerah, tapi sayang sekali. Karena harapanmu itu tidak akan pernah terjadi kepadaku”.
Panembahan Hanyakrakusuma hanya bisa menarik nafas dalam beberapa kali setelah mendengar ucapan lawannya. Meskipun lawannya adalah orang yang masih sangat muda, namun ternyata sikapnya sudah sekeras batu hitam.
Karena pada kenyataannya, Kanjeng Adipati Wirasaba itu memang sudah memiliki pendirian yang kuat dan sikap yang jelas sebagai pemimpin di Kadipaten Wirasaba, meskipun sangat disayangkan sekali karena sikapnya lebih dipengaruhi oleh luapan perasaannya dibandingkan penalarannya yang bening.
“Kau tidak perlu berusaha mempengaruhiku lagi karena aku sudah membuat keputusan bahwa aku akan menyerah jika tubuhku sudah terbujur kaku menjadi mayat di tempat ini”.
“Apakah kau sudah tidak mau lagi diajak bicara baik-baik?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma untuk terakhir kalinya sebelum menentukan sikap selanjutnya.
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi sekarang, semuanya sudah jelas bahwa kita sudah saling bertempur. Lagipula jika kita masih membicarakan perdamaian, itu sama saja artinya aku mengkhianati seluruh kawulaku”.
“Baiklah.. aku sangat menghargai sikapmu, dengan demikian aku akan menentukan sikapku pula”.
“Itu adalah urusanmu, bukan urusanku”.
Panembahan Hanyakrakusuma hanya bisa menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi kepepatan hatinya menghadapi lawannya yang masih sangat muda tapi memiliki pendirian yang sekeras batu hitam.
Dirinya sudah berusaha sejauh mungkin untuk mencegah kemungkinan buruk yang bakal terjadi, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Namun lawannya tidak menyambut maksudnya dengan baik pula.
Tanpa sadar dia memalingkan muka ke arah Senopati Pengapit sekaligus pamannya, yaitu Pangeran Pringgalaya yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Pangeran Pringgalaya yang tanggap akan sikap kemenakannya tersebut hanya bisa memberikan sebuah isyarat dengan sebuah anggukan kepala.
Anggukan kepala sebagai pertanda bahwa dirinya setuju jika memang perang tanding itu harus berakhir dengan kemungkinan paling buruk sekalipun, karena mereka sudah berusaha mencegah namun sepertinya gagal.
Kanjeng Adipati Wirasaba pun berpaling ke arah belakang pula, tempat dimana Ki Jembar Maja berdiri bersama beberapa prajurit Pengawal Khusus Adipati.
“Ki Jembar Maja… aku titipkan Wirasaba”. berkata Kanjeng Adipati tanpa menunggu jawaban memalingkan kembali kepalanya ke arah lawannya berperang tanding.
Jantung Ki Jembar Maja bergejolak semakin hebat setelah mendengar ucapan pepundennya tersebut. Baru saja dirinya ingin menanggapi, tapi diurungkan kembali karena pepundennya itu sepertinya tidak membutuhkan tanggapannya, sehingga hanya bisa dikatakannya dalam hati dan hanya bisa didengarnya sendiri.
Sementara para prajurit Pengawal Khusus Adipati lebih banyak hanya tertunduk lesu menghadapi keadaan. Tidak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu hasil akhir perang tanding dua pemimpin tertinggi dari masing-masing pihak tersebut.
Sedangkan para prajurit kedua belah pihak secara keseluruhan seakan terpaku dan hanya berdiam diri tapi tetap dalam kewaspadaan tertinggi menyaksikan perang tanding, karena memang demikianlah yang dikehendaki pepunden mereka.
Lewat para senopati masing masing-masing pasukan, pepunden tertinggi Wirasaba dan Mataram memerintahkan untuk tidak melanjutkan perang.
Meskipun sebelumnya tidak berjanji, namun kebetulan perintah yang disampaikan itu sama, dengan maksud untuk mengurangi jatuhnya korban sebanyak-banyaknya.
Karena biar bagaimanapun setiap selembar nyawa prajurit sangat bernilai sekali, meski mereka telah memasuki medan perang yang garang, namun mereka masih memikirkan nasib anak buahnya agar tidak mengalami nasib yang paling buruk.
Sementara perang tanding telah berkobar kembali dengan garangnya di atas padang perdu yang kering tersebut, bahkan kini sudah semakin meningkat pada tataran yang lebih tinggi.
Benturan-benturan yang terjadi menjadi semakin cepat dan keras, bahkan sesekali Kanjeng Adipati harus meringis menahan rasa sakit karena ilmu kebalnya yang masih mentah itu mampu ditembus oleh lawan yang berilmu sangat tinggi, yang ternyata memiliki ilmu kebal pula.
Namun jika dilihat dari jenisnya, ilmu kebal dari dua priyagung itu bersumber dari ilmu yang berbeda. Sehingga dalam pengetrapan dan ciri-cirinya berbeda pula.
Selain jenis ilmu kebal dari keduanya memiliki sumber yang berbeda, tataran dan kematangan ilmu itu berbeda pula karena Panembahan Hanyakrakusuma sudah pada tataran tinggi bahkan bisa dikatakan sudah hampir sempurna.
Sehingga ketika terjadi benturan, Priyagung Mataram tersebut hampir tidak pernah merasakan kesakitan. Apalagi kemampuan yang dimiliki lawannya memang belum mencapai tataran yang mampu untuk mengguncang bahkan menembus ilmu kebal.
Kanjeng Adipati Wirasaba yang bertempur dengan luapan perasaannya lebih banyak bergerak kesana kemari dan terlalu cepat untuk meningkatkan kemampuannya semakin tinggi, tapi dia lupa bahwa kemampuan wadagnya belum mampu untuk mendukung keinginannya yang menggebu-gebu.
Sehingga setelah beberapa lama mereka bertempur, Kanjeng Adipati mulai merasakan akibatnya dari apa yang telah dilakukan terhadap lawannya.
Belum lama dirinya meningkatkan kemampuannya hingga ke puncak, tubuhnya merasakan kemampuan yang mulai melemah dan nafasnya mulai memburu pula.
Sebuah pertanda bahwa kemampuan Kanjeng Adipati Wirasaba mulai menurun, karena daya tahan tubuhnya memang belum sekuat lawannya yang terlihat tangguh dan tanggon di arena perang tanding yang garang tersebut.
Kini serangan-serangannya sudah tidak sekuat dan seberbahaya beberapa saat tadi, lambaran tenaga yang dikeluarkan tidak dapat keluar sebagaimana mestinya karena tidak didukung daya tahan tubuh yang kuat.
Tapi keadaan ini seperti ingin ditepiskan oleh kemenakan Ki Patih Rangga Permana tersebut. Dirinya tidak ingin menyerah begitu saja pada keadaan. Apapun yang akan terjadi, dirinya tetap ingin bertempur hingga tetes darah penghabisan.
Sebagai orang yang berilmu tinggi dan pengalaman yang luas, panggrahita Panembahan Hanyakrakusuma sangat tajam melihat apa yang terjadi, mulai menyadari keadaan lawannya yang mulai mengalami kesulitan dalam pertempuran.
Tapi dirinya masih berusaha menahan diri untuk mengatakan karena melihat lawannya masih belum mau melihat kenyataan bahwa kemampuannya sudah sampai pada batasnya.
Pertempuran yang tadinya terlihat berjalan seimbang, kini sudah mulai terlihat bergeser. Karena salah satu dari mereka mulai tidak mampu lagi untuk meningkatkan kemampuannya, justru semakin lama semakin melemah.
Sekarang suara nafas Kanjeng Adipati Wirasaba terdengar semakin memburu seiring dengan mulai menurunnya kemampuan yang dimilikinya, namun masih tetap saja memaksakan diri untuk terus bertempur.
Yang semula terlihat banyak bergerak kesana kemari, kini Kanjeng Adipati lebih banyak bertahan dari serangan lawan, tapi pertahanannya pun sudah semakin mudah ditembus.
Pada akhirnya pepunden Wirasaba tersebut harus terlempar beberapa langkah ke belakang dan terjatuh di atas tanah yang berdebu dalam keadaan terlentang ketika kaki kiri lawan menerjang punggungnya.
Namun cepat-cepat dirinya bangkit berdiri sejauh yang bisa dilakukan meski dengan tubuh yang semakin lemah, dan dengan kuda-kuda yang sudah terlihat tidak rapat lagi.
“Keluarkanlah kemampuanmu! hadapilah aku hingga tetes darah penghabisan!”. ucap Kanjeng Adipati dengan sorot mata yang seakan menyala memandang lawannya.
“Kau jangan memaksakan diri, nilailah kembali apa yang terjadi dengan penalaran wajar sehingga kau tidak akan pernah kehilangan pegangan yang benar”.
“Kau tidak perlu sesorah lagi di hadapanku. Kita disini hanya untuk berperang tanding, bukan untuk beradu mulut”.
“Sudahlah Kanjeng Adipati… sudah tidak ada gunanya lagi perang tanding ini dilanjutkan. Sebaiknya kita memang harus mau melihat kenyataan”. ucap Ki Jembar Maja yang merasa sangat prihatin dengan apa yang terjadi dengan pepundennya.
“Kau tidak usah ikut campur, Ki Jembar Maja. Biarlah aku yang akan menyelesaikannya sendiri dengan caraku. Kalian seluruh kawula Wirasaba pun tidak perlu ikut campur masalah ini”. sahut Priyagung Wirasaba itu dengan sorot mata yang seakan semakin menyala.
“Kau terlalu cepat mendapatkan kamukten ini sebelum kau benar-benar siap secara lahir dan batin, Ki Sanak. Sehingga jiwamu mudah terguncang ketika menghadapi sebuah keadaan yang berada di luar kemampuanmu”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma yang tidak dapat menahan diri untuk tidak bersuara.
“Kau siapa berani bicara demikian di hadapanku? apa pedulimu? apakah kau orang tuaku atau pepundenku yang harus aku turuti semua kemauanmu dan aku laksanakan semua perintahmu tanpa pernah membantah?”.
Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu membuat Kanjeng Sinuhun Mataram terdiam sesaat dan hanya bisa menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi segala kepepatan hatinya serta keterkejutannya karena tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan yang demikian.
“Mengapa kau diam? apakah kau hanya bisa sesorah di hadapan anak kemarin sore seperti aku ini?”.
“Sekarang kita sedang berada dalam arena perang tanding, tidak ada gunanya lagi kita saling beradu mulut, sebaiknya kita mulai pertempuran lagi. Bersiaplah!”. ucap Kanjeng Adipati dengan suara setengah berteriak karena terbawa luapan perasaan yang bergejolak.
Sebenarnya Panembahan Hanyakrakusuma sudah mau membuka mulutnya untuk menanggapi, namun sepertinya lawannya sudah tidak sabar lagi untuk bertempur sehingga diurungkannya.
Kini pemimpin tertinggi Mataram tersebut lebih banyak menunggu serangan lawan. Karena berdasarkan perhitungannya secara penalaran wajar, kemungkinan lawannya tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi jika dia menyerangnya secara bertubi-tubi, namun sepertinya dia memiliki pertimbangan lain.
Sementara para prajurit Mataram yang kini sedang menyaksikan perang tanding sudah tidak dicengkam kegelisahan yang melonjak-lonjak, karena mereka percaya akan kemampuan pepunden mereka yang memasuki arena.
Para prajurit Mataram dapat menilai keadaan setelah beberapa saat terjadi pertempuran. Lagipula secara penalaran wajar mereka dapat menilai kemampuan yang sedang bertempur, sepertinya memang masih beda tataran dalam ilmu kanuragan, selain ada perbedaan dari segi umur.
“Sepertinya Kanjeng Sinuhun ingin membuat penyelesain yang baik bagi kedua belah pihak”. gumam seorang senopati Mataram yang dapat menilai apa yang sedang terjadi di arena perang tanding dengan pasti.
“Sepertinya demikian Ki Tumenggung Alap-Alap”. sahut salah satu perwira prajurit bawahannya yang berasal dari kesatuan pasukan di Jati Anom.
“Aku rasa cara itu memang lebih baik, daripada cara yang lain yang mungkin dapat berakibat buruk pada lawannya”.
“Meskipun pepunden kita dikenal karena sikapnya yang sangat keras dan ketegasannya dalam bersikap, namun disini kita dapat melihat sisi lain darinya yang tetap memiliki jiwa yang lembut”.
Tanpa sadar Ki Tumenggung Alap-Alap berpaling sesaat kepada prajurit yang menanggapi ucapannya, “kau benar”.
Matahari nampak sudah semakin merambat naik di langit sebelah timur, membuat cahayanya terasa semakin terik ketika menyentuh kulit secara langsung.
Sementara di arena perang tanding sudah terlihat bergeser keseimbangannya, karena mulai nampak perbedaan kemampuan di antara keduanya.
Kanjeng Adipati Wirasaba sudah semakin lemah, itu terlihat dari pertahanannya yang semakin mudah ditembus oleh lawan dan hampir setiap serangannya kurang berbobot, karena kuda-kudanya sudah mulai goyah.
Bahkan Priyagung Wirasaba tersebut harus terdorong beberapa langkah ke depan ketika serangannya tidak menemui sasaran dan dirinya terdorong oleh kekuatannya sendiri. Beruntunglah dia masih mampu menguasai tubuhnya agar tidak jatuh terjerembab ke tanah yang berdebu.
“Mengapa kau sekarang menjadi penakut, Panembahan?”. ucap Kanjeng Adipati setengah berteriak dengan nafas yang semakin memburu di antara kedua lubang hidungnya.
“Apa maksudmu? bukankah aku tidak melarikan diri dan masih berada di arena perang tanding ini untuk melayanimu?”.
“Tapi sekarang kau lebih banyak menghindari seranganku, bukankah itu sama artinya dengan kau menjadi ketakutan?”.
Pada awalnya Panembahan Hanyakrakusuma sempat mengerutkan keningnya karena merasa heran dengan pertanyaan lawannya tersebut, namun sejenak kemudian dia mengerti apa yang harus dilakukan terhadap lawannya.
“Bukankah dalam sebuah pertempuran itu sangat wajar sekali jika ada yang menyerang dan menghindar? karena kita tidak mungkin bisa menyerang terus atau menghindar terus, pasti kita akan berbuat demikian secara bergantian”.
“Tapi apa yang kau lakukan itu sangat aneh bagiku, karena sebenarnya kau mampu menyerang dan bertahan dengan baik, namun kau lebih memilih untuk menghindar”.
“Mungkin hanya kebetulan saja tadi aku lebih banyak menghindar dari serangan-seranganmu, karena aku tidak ingin terkena seranganmu yang berbahaya itu”.
“Ternyata kau adalah orang yang paling sombong yang pernah aku temui di dunia ini”.
“Benarkah demikian?”.
“Untuk apa aku berbohong?”.
“Mungkin karena kau selama ini tidak pernah keluar dari lingkungan kadipatenmu yang megah untuk mlaya bumi dari ujung ke ujung luasnya tanah ini, sehingga selama ini kau hanya bertemu dengan orang-orang yang setiap hari menyembahmu. Dengan demikian kau tidak akan pernah bertemu dengan orang yang berani menyombongkan diri di hadapanmu”.
“Kau memang pandai merangkai kata-kata untuk selalu memojokkanku dan membuat aku seakan selalu berada pada kedudukan yang salah”.
“Aku tidak bermaksud…”.
“Sudahlah. Kita lanjutkan saja pertarungan kita”. potong Kanjeng Adipati cepat sebelum lawannya menyelesaikan ucapannya.
“Baiklah, aku setuju. Sepertinya kau memang benar-benar seorang yang keras kepala”.
Dalam keadaan tubuh yang semakin mulai melemah karena tenaga wadagnya mulai menyusut, Kanjeng Adipati mulai menyerang kembali lawannya yang masih terlihat segar, bahkan seperti belum berkurang sama sekali tenaganya setelah bertarung beberapa lama.
Sepertinya pepunden Wirasaba yang keras kepala itu benar-benar ingin menyelesaikan pertarungannya hingga nafas terakhir, dan seperti tidak ada niat sebiji sawi pun untuk menyerah kepada lawan meskipun dia sudah menyadari keadaan tubuhnya yang sudah semakin melemah karena tenaga wadagnya mulai menyusut.
***
Sementara di tempat yang jauh sekali dari hiruk-pikuknya perang Kadipaten Wirasaba, tepatnya pada sebuah rumah di Tanah Perdikan Menoreh yang terlihat lebih besar dari rumah sekitarnya, terdapat beberapa orang yang sedang bercengkrama tentang hal-hal yang menarik bagi mereka dengan akrabnya.
Semua itu terjadi karena kebetulan rumah tersebut sedang kedatangan tamu dari beberapa tempat, sehingga menjadikan suasana semakin gayeng saja. Seakan suasana kesedihan beberapa waktu yang lalu sudah mulai dapat terhapuskan.
Pendapa rumah Nyi Pandan Wangi yang terlihat besar itu seakan menjadi sempit saja karena saking banyaknya tamu yang datang. Selain tamu keluarga dari Padepokan Orang Bercambuk, kebetulan mereka kedatangan tamu pula dari Tanah Perdikan Matesih yang baru saja tiba semalam.
Kebetulan sekali kedatangan Ki Gede Matesih kali ini dapat bertemu secara langsung dengan keluarga besar Ki Agung Sedayu yang selama ini hanya dapat didengarnya dari mulut ke mulut.
“Sudah lama sekali aku tidak berkunjung kemari, dan telah terjadi banyak sekali perubahan yang bahkan aku tidak tahu perkembangannya”. Berkata Ki Gede Matesih memulai pembicaraan di pendapa.
“Itu karena Ki Gede terlalu sibuk dengan tugas sehari-hari di Tanah Perdikan Matesih, sehingga hampir tidak memiliki waktu lagi untuk sekedar bepergian kemanapun jika bukan karena sebuah keperluan yang sangat mendesak sekali”.
“Demikianlah Nyi Pandan Wangi. Namun sejak aku memiliki seorang menantu, pekerjaanku sudah jauh berkurang. Karena kebetulan menantuku mau membantu meringankan tugas-tugasku yang selama ini seperti tidak pernah ada habisnya”.
“Beruntunglah Ki Gede Matesih mendapatkan seorang menantu yang sangat mengerti tugas-tugas mertuanya dan bersedia untuk membantu meringankan”.
“Ya.. aku memang merasa bersyukur dengan kehadirannya dalam keluargaku. Meskipun dia adalah orang yang terkesan agak kaku namun jika dihadapkan dengan kepentingan hidup bebrayan, dirinya tidak pernah merasa keberatan untuk membantu dengan caranya sendiri”.
“Aku rasa tidak menjadi soal cara yang dipergunakan, karena yang paling penting adalah hasilnya. Lagipula kemampuan dan penalaran setiap orang tidak dapat digebyah uyah, pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri”.
“Aku sependapat, Ki Untara. Kita sebagai manusia memang dibekali kelebihan dan kekurangannya masing-masing oleh Yang Maha Berkehendak, mungkin dengan tujuan agar kita selalu mau mawas diri, jangan rumangsa bisa tapi bisa rumangsa”.
“Begitulah kira-kira, Ki Gede”.
“Aku merasa beruntung sekali mendapat kesempatan bertemu dengan keluarga besar Ki Agung Sedayu yang selama ini hanya dapat aku dengar ceritanya saja, bahkan rasa-rasanya aku ingin dapat tinggal disini selama mungkin, hahaha…”.
“Rumah ini selalu terbuka lebar untuk kedatangan Ki Gede Matesih dan keluarga, karena bagiku kalian sudah bukan orang lain lagi, namun sudah anggap keluarga sendiri”. kali ini Nyi Pandan Wangi Lah yang menanggapi.
“Kami hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas semuanya, Nyi Pandan Wangi. Semoga saja kehadiran kami tidak justru membuat repot keluarga disini”.
“Tidak ada yang merasa direpotkan, Ki Gede”.
“Kamipun merasa beruntung pula dapat bertemu langsung dan mengenal secara pribadi dengan keluarga Ki Gede Matesih”. sahut Ki Untara yang kebetulan duduk di hadapannya.
“Selain Ki Agung Sedayu adalah seorang yang luar biasa, tapi ternyata orang-orang terdekatnya pun adalah orang luar biasa pula yang selama ini jarang sekali aku ketahui, bahkan aku baru sekarang mendapat kesempatan untuk dapat bertemu secara langsung, seperti Ki Agahan, Nyi Anjani, dan adik-adiknya Nyi Lurah Glagah Putih”.
“Ah.. Ki Gede terlalu memuji. Kami tidak pernah merasa demikian dan kami tidak lebih seperti sebuah keluarga pada orang-orang kebanyakan”.
“Ki Untara memang dapat saja berkata demikian, namun orang lainlah yang menilai”.
Di sela-sela pembicaraan yang semakin mengasyikkan tersebut, tidak lupa sembari mereka menikmati hidangan yang telah disediakan oleh para pembantu di rumah tersebut, berupa minuman hangat dan beberapa potong makanan, seperti pondoh jagung, jenang alot dan tape ketan.
Pembicaraan semakin membuat menarik bagi mereka yang berada di pendapa tersebut membuat waktu seperti cepat sekali berjalan hingga tanpa mereka sadari dari kejauhan samar-samar terdengar suara panggilan kewajiban.
Kemudian pembicaraan itu harus terputus karena mereka harus segera menjalankan kewajiban sebagai hamba Yang Maha Agung terlebih dahulu secara bersama-sama. Setelah selesai, mereka bermaksud untuk kembali lagi ke pendapa. Namun dicegah oleh Nyi Pandan Wangi.
Ternyata Nyi Pandan Wangi mempersilahkan kepada semua tamu-tamunya untuk segera menikmati makan siang yang sudah disiapkan oleh para pembantu di ruang dalam.
“Kepada semuanya saja, aku persilahkan untuk makan dulu dengan makanan seadanya, dan aku harap kalian tidak ada yang menjadi kecewa jika tidak mendapatkan hidangan seperti yang diharapkan”.
Kemudian mereka pun segera menuju ke ruang dalam untuk menikmati makan siang secara bersama-sama. Ruang dalam yang cukup lebar tiba-tiba terasa sempit karena banyaknya orang yang masuk secara bersama-sama.
Belum lama mereka menikmati makan siang, dari kejauhan samar-samar terdengar derap kaki kuda. Namun ternyata suara itu tidak mengganggu acara makan bersama tersebut, karena mereka merasa tidak berkepentingan.
Semakin lama suara derap kaki kuda tersebut mulai mendekati padukuhan induk. Namun kemudian terdengar semakin dekat, bahkan mulai memasuki jalan utama yang menuju langsung ke arah rumah Nyi Pandan Wangi, sebagai pemangku jabatan sementara setelah kepergian Ki Gede Menoreh.
Dua orang penunggang kuda yang berpakaian biasa seperti orang kebanyakan tersebut, mulai turun dari tunggangannya ketika sudah mendekati pintu regol yang dijaga oleh beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Maaf Ki Sanak, apakah benar ini adalah rumah Nyi Pandan Wangi?”. berkata salah satu orang yang baru datang tersebut sembari menuntun kudanya.
“Benar sekali, Ki Sanak. Dan kami adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bertugas. Sepertinya aku baru melihat kalian, jika kalian tidak keberatan silahkan kalian memperkenalkan diri dan ada kepentingan apa datang kemari”.
“Perkenalkanlah, Ki Sanak. Aku adalah Warta dan ini adalah adikku, Karta. Kami adalah utusan dari Ki Purbarumeksa dari Mataram, mendapat tugas untuk menyampaikan pesan kepada Ki Lurah Glagah Putih dan istrinya”.
“Pesan untuk Ki Lurah Glagah Putih?”. sahut salah satu pengawal sedikit keheranan.
“Sebenarnya kami tahu bahwa rumah Ki Lurah tidak disini, namun berdasarkan pesan pepunden kami, kemungkinan Nyi Lurah lebih banyak berada disini karena sedang ditinggal suaminya untuk mengemban tugas melawat ke timur bersama pasukan Mataram”. sahut utusan tersebut yang tanggap akan sikap pengawal.
“Maafkan aku Ki Sanak, aku sempat melupakan hal itu. Silahkan kalian tunggu sebentar, aku akan melapor ke dalam”. sahut pengawal itu setelah menyadari keterlanjurannya.
“Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan menunggu”.
Kemudian pengawal tersebut segera meninggalkan tempat itu, lalu mencari Nyi Pandan Wangi dan Nyi Lurah Glagah Putih yang kebetulan sedang berada di ruang dalam menikmati makan siang yang sepertinya masih belum selesai.
Kebetulan sekali Nyi Pandan Wangi menyadari kedatangan pengawal itu karena kebetulan pintu penghubung ruang utama dan ruang dalam terbuka setengah.
Dengan langkah sedikit membungkuk dan ragu-ragu, pengawal itu mendekati orang-orang yang masih menikmati makan siang bersama-sama.
“Ada apa?”. bertanya Nyi Pandan Wangi.
“Maafkan aku yang telah deksura berani mengganggu makan siang kalian”.
“Tidak apa-apa, lagipula aku sudah mau selesai. Katakanlah apa keperluanmu?”.
“Di luar ada dua orang tamu yang mencari Nyi Lurah”.
Karena terkejut, tanpa sadar orang yang disebut namanya membatalkan tangannya menyuapi mulutnya yang sudah siap membuka mulut.
“Mereka mencariku?”. bertanya Nyi Lurah Glagah Putih sembari menoleh ke arah pengawal.
“Benar Nyi Lurah. berdasarkan keterangan, mereka adalah utusan Ki Purbarumeksa dari Mataram”. berkata pengawal yang masih nampak muda tersebut dan belum tahu siapa orang yang disebutnya itu.
“Utusan Ayah?”. sahut Nyi Rara Wulan yang semakin terkejut.
“Kau tidak perlu tergesa-gesa agar tidak tersedak, Rara Wulan. Sebaiknya kau selesaikan dulu makan siangmu, baru nanti kau temui mereka. Sementara aku yang akan menyambut mereka lebih dahulu, karena kebetulan makanku sudah selesai”. sahut Nyi Pandan Wangi yang berusaha memperingatkan sembari mulai beranjak berdiri dan berkata kepada pengawal, “persilahkan saja dulu utusan itu untuk menunggu di pendapa”.
“Terima kasih, mbokayu”.
“Baiklah Nyi, kami akan menyampaikannya kepada mereka”. sahut pengawal itu, lalu beranjak pergi.
“Kalian jangan merasa sungkan makan disini gara-gara aku selesai lebih dulu. Silahkan bagi siapa saja yang ingin menambah lagi nasi atau lauk pauknya”. ucap Nyi Pandan Wangi kepada semua tamu-tamunya sebelum meninggalkan ruangan itu.
“Makanan disini memang terasa nikmat sekali, apalagi jika kita makan bersama-sama dengan keluarga besar seperti ini, menjadikan berlipat rasa kenikmatannya. Jika kita memerlukan makanan enak, dengan mudah kita dapat membelinya. Namun makanan yang nikmat bagiku tidak dapat dibeli”.
“Aku sependapat dengan Ki Gede Matesih, karena kenikmataan itu justru terletak pada sebuah kebersamaan seperti ini, yang mungkin tidak dapat kita jumpai di setiap waktu”. sahut Ki Agahan yang sedari tadi lebih banyak diam.
“Sebenarnya aku ingin nambah lagi karena saking nikmatnya, namun sayang sekali perutku sudah tidak mampu lagi untuk menampung lebih banyak lagi”.
“Apakah Ki Gede yakin tidak mau nambah lagi?”. sahut ayah Bagaskara tersebut.
“Semakin dengan bertambahnya umur, justru kemampuan makanku semakin berkurang, Ki Untara. Padahal pada waktu masih muda dulu, aku makannya banyak sekali”. sahut Ki Gede Matesih lalu tertawa karena teringat akan masa mudanya.
Sementara Nyi Pandan Wangi sudah mulai meninggalkan orang-orang yang masih menikmati makan siang di ruang dalam untuk bergegas menemui tamu yang sudah menunggu di pendapa.
“Maafkan kami yang telah deksura mengganggu kenikmatan makan siang, Nyi Pandan Wangi”. ucap salah satu utusan itu setelah saling berhadapan dengan tuan rumah.
“Tidak apa-apa Ki Sanak. Kalian tunggulah! sebentar lagi orang yang kalian cari akan datang kemari”.
“Terima kasih, Nyi”.
Namun ternyata dua utusan itu tidak perlu menunggu lebih lama lagi orang yang mereka cari, karena Nyi Rara Wulan sudah terlihat muncul di pendapa.
Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing dan sedikit basa-basi, mereka mulai membicarakan keperluan mereka datang jauh-jauh dari Mataram.
“Sekarang silahkan kalian sampaikan keperluan kalian datang kemari”. ucap Nyi Rara Wulan mulai tidak sabar.
Namun sebelum menjawab, salah satu utusan yang berada di hadapan Nyi Lurah Glagah Putih tersebut terlebih dahulu memperbaiki letak duduknya.
“Pertama-tama, kami atas nama Ki Purbarumeksa ingin menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga sekaligus menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena tidak dapat datang kemari untuk menyampaikannya sendiri”.
“Aku atas nama pribadi dan atas nama keluarga besar Tanah Perdikan Menoreh mengucapkan terima kasih sekali atas perhatian Ki Purbarumeksa”. sahut Nyi Pandan Wangi.
“Ki Purbarumeksa ingin menyampaikan bahwa ketidak datangannya kemari bukanlah sebuah kesengajaan, namun karena sebuah keadaan yang tidak dapat ditinggalkannya akhir-akhir ini”.
“Akhir-akhir ini? apa maksud Ki Sanak?”.
“Begini Nyi Rara Wulan. Akhir-akhir ini Ki Purbarumeksa tidak dapat meninggalkan rumah jika tidak ada keperluan yang sangat mendesak, karena kakek Nyi Rara Wulan dalam keadaan yang semakin lemah di pembaringan”.
“Kakek?”. ucap ibu Arya Nakula terkejut. “Kakek Branjangan maksud kalian?”.
“Demikianlah, Nyi”.
“Kakek sakit apa?”.
“Berdasarkan keterangan yang kami terima, keadaan Ki Lurah Branjangan sudah semakin melemah dalam umur yang sudah semakin sepuh. Jika tidak berhalangan, Ki Purbarumeksa sangat mengharapkan kedatangan Nyi Rara Wulan ke Mataram meskipun hanya sekejap mata”.
“Apakah Ayah memintaku untuk datang saat ini juga?”.
“Menurut pesan yang aku terima, Ki Purbarumeksa tidak menyuruh untuk berangkat saat ini juga, namun jika bisa segera akan semakin baik”.
“Bagaimana gambaran keadaan Kakek saat ini?”.
“Akhir-akhir ini keadaan Ki Lurah Branjangan sudah semakin melemah dan ketika diajak bicara kadang nyambung tapi kadang tidak karena keadaannya, dan Sekarang waktunya lebih banyak dihabiskan di pembaringan”.
“Mengapa Ayah baru memberitahukannya kepadaku?”. sahut Nyi Rara Wulan dengan suara agak meninggi.
“Maaf Nyi, kami tidak tahu. Kami hanya menjalankan tugas”.
“Maafkan atas keterlanjuranku, Ki Warta. Aku sama sekali tidak bermaksud menyalahkan kalian, tapi aku merasa sangat terkejut mengapa baru sekarang Ayah menyampaikannya kepadaku”.
“Tenangkanlah penalaranmu dan endapkanlah perasaanmu, Rara Wulan! mungkin Ayahmu mempunyai pertimbangan lain mengapa baru sekarang memberitahukan kepadamu”. sahut Nyi Pandan Wangi berusaha menenangkan.
Sejenak suasana menjadi sepi karena tidak ada yang membuka suara, Nyi Rara Wulan hanya bisa terdiam dan menundukkan kepala setelah mendengar ucapan ibu Sekar Wangi.
“Tapi menurut pertimbanganku, kau tidak perlu tergesa-gesa Rara Wulan. Sebaiknya kita bicarakan dulu dengan kedua kakangmu sebelum kau membuat keputusan sembari kita memberikan waktu istirahat kepada mereka”. lanjut ibu Sekar Wangi.
“Baiklah.. aku sependapat dengan mbokayu”.
Untuk mencairkan suasana, kemudian Nyi Pandan Wangi tidak lupa untuk mempersilahkan kedua tamunya untuk menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan yang baru saja diantarkan para pembantu di rumah tersebut.
“Kami akan menunggu apapun keputusan yang diambil. Jika tidak terlalu lama, maka kami diperintahkan untuk menyertai perjalanan Nyi Rara Wulan pulang ke Mataram”. ucap Ki Warta selaku utusan sekaligus sebagai pengawal jika diperlukan.
Mendengar ucapan yang demikian, maka Nyi Lurah Glagah Putih segera menoleh ke arah ibu Sekar Wangi dengan maksud untuk meminta pendapat.
“Aku kira tidak apa-apa Rara Wulan, lagipula bukankah akan lebih menyenangkan jika semakin banyak kawan dalam perjalanan? tapi sebaiknya kau bicarakan dengan yang lain, terutama kedua kakangmu dan gurumu”.
“Aku sependapat dengan mbokayu, memang sebaiknya aku bicarakan dulu ini dengan mereka”.
Bersamaan dengan itu, para tamu ibu Sekar Wangi yang telah menyelesaikan makan siangnya mulai bermunculan satu persatu di pendapa untuk melanjutkan pembicaraan yang tadi terputus.
Ki Gede Matesih yang menyadari bahwa sedang ada tamu yang tidak ada keperluan dengannya, dirinya lalu mengambil tempat duduk yang berada di ujung lain dan bersandar pada salah satu tiang pendapa yang nampak kokoh.
“Rumah ini benar-benar sebuah rumah yang kuat dan indah, itu dapat dilihat dari kayu-kayu yang digunakan adalah kayu jati tua yang kemudian diukir sedemikian rupa untuk menciptakan sebuah keindahan yang biasanya hanya dapat kita jumpai di bangunan Kotaraja atau rumah seorang prajurit dengan jabatan yang tinggi”. berkata Ki Gede Matesih setelah duduk sembari matanya memandang berkeliling.
“Apakah Ayah memiliki gegayuhan untuk membangun rumah sebagus dan seindah ini?”. sahut Ratri yang kebetulan sudah duduk di sebelahnya.
“Tidak mudah untuk dapat membangun rumah seperti ini, nduk. Selain tentu saja biayanya yang sangat besar, pengerjaannya pun pasti membutuhkan waktu yang sangat lama”.
“Jika Ki Gede mau, aku yakin pasti bisa meskipun harus mengeluarkan biaya yang besar”.
“Ah.. aku tidak memiliki uang sebanyak itu, Ki Untara. Lagipula alangkah deksuranya jika nanti rumahku terlihat megah di antara yang lain, namun masih ada kawulaku yang kelaparan karena tidak memiliki uang”.
“Benar-benar sikap seorang pemimpin yang luar biasa dan panutan, tidak hanya sebagai panutan kawulanya sendiri namun orang-orang di sekitarnya”. sahut Ki Untara.
“Ki Untara terlalu memuji, aku hanya bisa berusaha menjalankan kewajibanku dengan sebaik-baiknya sebagai seorang pemimpin sejauh kemampuan dan pengetahuanku. Tapi tetap saja aku sebagai manusia masih sering membuat kesalahan”.
“Tapi aku rasa apa yang telah Ki Gede lakukan itu sudah menjadi contoh sebagai seorang pemimpin yang baik, bahkan sangat baik. Karena menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah dan justru kebanyakan yang terjadi di sekitar kita adalah lebih banyak berkorban bagi kelangsungan hidup bebrayan dengan sesama baik secara lahir maupun batin”.
“Ki Untara benar, tapi bagi orang yang belum tahu pasti akan mengira bahwa menjadi seorang pemimpin itu hidupnya sangat enak karena hanya tinggal tunjuk ini, tunjuk itu maka anak buahnya akan selalu siap menjalankan perintahnya, tapi mereka tidak pernah melihat semua itu secara keseluruhan”.
“Memang di dalam kehidupan bebrayan sering sekali terjadi demikian, Ki Gede. Mereka yang berada diluar lingkungan biasanya hanya bisa wang sinawang terhadap orang lain, tanpa pernah tahu keadaan yang sebenarnya”.
“Begitulah kehidupan dengan segala isinya yang sangat pelik, termasuk gejolak yang terjadi atas pilihan yang telah kita ambil dengan segala akibatnya”.
Pembicaraan itu kemudian terputus ketika Ki Agung Sedayu muncul dari ruang dalam, lalu menggabungkan diri dengan para tamu yang terdapat Ki Gede Matesih.
Belum lama ayah Bagus Sadewa itu menggabungkan diri, Nyi Lurah Glagah Putih tampak mendekati tempat itu, karena ada yang ingin dibicarakannya.
“Kenapa kau tinggalkan tamumu, Rara Wulan?”. bertanya Ki Untara ketika menyadari ibu Arya Nakula mendekat.
“Justru itu kakang Untara, ada yang ingin aku bicarakan sehubungan dengan kedatangan tamuku itu”.
“Maaf Nyi Lurah, aku akan menyingkir dulu jika pembicaraan itu tidak pantas aku dengar”. potong Ki Gede Matesih yang merasa tidak berkepentingan.
“Tidak apa-apa Ki Gede ikut mendengarnya, lagipula bukanlah sebuah pembicaraan yang perlu dirahasiakan”.
“Baiklah”. sahut Ki Gede Matesih yang mengurungkan niatnya setelah tadi sudah siap untuk beranjak dari tempat itu sembari mengajak Ratri.
“Katakanlah!”. berkata Ki Untara yang melihat keraguan di wajah ibu Arya Nakula.
“Begini kakang, tamu yang datang itu adalah utusan Ayah dari Mataram. Mereka memberitahukan bahwa sekarang Kakek sedang sakit”. ucap Nyi Rara Wulan dengan wajah tertunduk.
“Ki Lurah Branjangan maksudmu?”.
“Benar kakang, berdasarkan keterangan kakek Branjangan sudah beberapa waktu telah terbaring sakit”.
“Mengapa ayahmu baru mengirimkan utusan sekarang jika memang sudah beberapa waktu sakitnya Ki Lurah Branjangan?” kali ini Ki Agung Sedayu yang bertanya.
“Itulah yang membuat aku tidak habis mengerti kakang”.
“Ya sudah.. mungkin ayahmu memiliki pertimbangan lain, sehingga baru sekarang memberikan kabar kepadamu. Lalu apakah kau akan berangkat ke Mataram sekarang?”.
“Tadi mbokayu Pandan Wangi menyarankanku untuk lebih dulu membicarakan masalah ini dengan kakang Untara, kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah”.
“Jika kau ke Mataram aku akan mengawanimu, Rara Wulan. Aku juga merasa ingin menjenguk kakekmu, lagipula aku sudah lama sekali tidak bertemu”. sahut Nyi Sekar Mirah.
“Ki Agahan, bagaimana jika kita ikut mengawani perjalanan Rara Wulan ke Mataram? setelah itu, baru kemudian kita sekalian pulang ke Jati Anom?”. bertanya Ki Untara kepada pemimpin Padepokan Orang Bercambuk tersebut.
“Aku rasa aku sependapat dengan Ki Untara, Bukankah demikian adi Darpa dan adi Darpita?”.
“Kami ikut saja gimana baiknya menurut Ki Untara dan kakang Agahan”. sahut Putut Darpa.
“Jika kalian akan meninggalkan rumah ini, maka kamipun akan ikut pamit pula pulang ke Matesih”. ucap Ki Gede Matesih.
“Mengapa Ki Gede menjadi tergesa-gesa?”. sahut Nyi Pandan Wangi yang baru menggabungkan diri.
“Bukankah kalian semua akan segera pergi? bukankah sangat deksura jika aku tetap tinggal disini, sementara tuan rumah akan bepergian. Jangan sampai aku ini menjadi tamu yang tidak tahu diri”. sahut Ki Gede Matesih, lalu tertawa.
“Rara Wulan, bagaimana jika kau berangkat besok pagi-pagi sekali?”. bertanya Nyi Pandan Wangi.
“Aku rasa tidak apa-apa mbokayu, lagipula tidak ada selisih waktu yang terlalu banyak”.
“Maksudku bertanya demikian adalah berhubung aku sudah lama tidak bertemu dengan Ratri, nanti malam aku ingin melihat perkembangan ilmunya. Mumpung kita sedang berkumpul, dan kalian dapat memberikan tambahan kawruh kepadanya tentang kemungkinan-kemungkinan yang masih dapat digapainya dalam perkembangan ilmunya”.
Putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu nampak terkejut setelah namanya disebut oleh gurunya, bahkan secara naluriah dia mengangkat wajahnya.
“Aku sangat senang sekali mbokayu, dan aku sangat berterima kasih sekali jika mendapat kesempatan itu”.
“Bukankah kakang Untara dan Ki Agahan tidak merasa keberatan untuk ikut menilai dan memberikan sedikit wejangan terhadap perkembangan ilmunya Ratri?”.
Ki Untara tidak langsung menjawab, namun menoleh lebih dahulu kepada pemimpin Padepokan Orang Bercambuk lebih dulu yang kebetulan pada saat yang sama memandangnya pula.
“Bagaimana Ki Agahan?”.
Mendapat pertanyaan itu wajah Ki Agahan sempat sedikit memerah meski hanya sekejap.
“Sebuah kehormatan besar bagiku mendapat kepercayaan yang begitu besar dari Nyi Pandan Wangi. Tapi maaf Ki Untara, bukan maksudku untuk menolak, namun aku yang bodoh ini masih merasa belum memiliki kemampuan untuk dapat menilai kemampuan kanuragan seseorang, aku khawatir jika nanti salah dalam memberikan penilaian secara benar”.
“Meskipun sebenarnya aku tidak berani memberikan perintah kepada pemimpin Padepokan Orang bercambuk, namun aku memiliki mulut untuk melaporkannya kepada kakang Agung Sedayu jika Ki Agahan menolak”. sahut ibu Bayu Swandana.
Orang-orang yang mendengarnya seketika tidak dapat menahan tawa yang berkepanjangan, sementara ayah Bagus Sadewa hanya tersenyum menanggapi hal itu.
“Nyi Pandan Wangi sangat cerdik untuk memaksaku, sehingga aku tidak dapat berbuat lain selain hanya bisa pasrah”. sahut Ki Agahan dengan wajah yang memerah.
“Bukankah jika tidak dengan cara yang demikian, Ki Agahan tidak akan bersedia menuruti permintaanku? karena sedikit banyak aku telah mendengar sifat-sifat Ki Agahan”. sahut Nyi Pandan Wangi dengan senyum kemenangan di bibir manisnya.
“Sepertinya pengaruh Swargi Kyai Gringsing terlalu kuat dalam diri Ki Agahan, sehingga kita akan kesulitan jika tidak dengan sedikit memaksanya”. ucap Ki Untara sembari tersenyum.
Mereka yang hadir kembali tertawa menanggapi keadaan tersebut, sementara Ki Agahan masih dengan kebingungannya harus berbuat apa dengan wajah yang semakin memerah.
“Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semuanya atas perhatian kalian terhadap putriku. Untuk membalas kebaikan kalian semua, aku hanya bisa nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar kalian semua mendapatkan limpahan anugerah dari-Nya”.
“Ki Gede tidak perlu sungkan, kami hanya sekedar membantu apa yang kami bisa. Semoga itu bermanfaat bagi Ratri secara pribadi dan kami sangat berharap bahwa apa yang kami sampaikan itu dapat bermanfaat pula bagi sesama”. sahut Ki Agung Sedayu.
“Kau dengar itu baik-baik, Ratri. Kau jangan sampai mengecewakan guru-gurumu di kemudian hari”.
“Baik Ayah.. aku akan selalu mencoba mengingatnya semua pesan yang disampaikan kepadaku”.
“Karena jika kau melanggar wewaler dari guru-gurumu, maka Ayahmu inilah yang akan menjadi orang pertama menghukummu, kapanpun dan dimanapun”. ucap Ki Gede Matesih dengan penuh wibawa dan ketegasan.
“Baik Ayah… semoga aku tidak pernah mengecewakan kalian semua”. sahut Ratri dengan wajah tertunduk.
“Ratri.. apa yang dikatakan Ayahmu itu jadilah peringatan bagimu untuk hari depanmu, baik pada saat ada kami maupun tidak, kau harus selalu mengingat pesan-pesan Ayahmu. Kami semua ini hanya dapat membantu membimbingmu, namun pada akhirnya kau sendirilah yang akan menentukan sikap”.
“Baik mbokayu, semoga aku selalu mengingatnya”.
“Apa yang sudah kau gapai hari ini itu bukan berarti telah selesai gegayuhanmu selama ini, namun justru inilah awal dari tanggung jawabmu yang sebenarnya, bahkan tidak cukup hanya sampai besok atau lusa, namun sepanjang hidupmu”. ucap Nyi Pandan Wangi.
“Kau tidak perlu memandang jauh ke depan, Ratri. Namun berjalanlah setapak demi setapak agar semua itu berjalan wajar dan tidak menjadi beban bagimu”.
“Baik Ki Untara”.
“Kau sangat beruntung sekali nduk, mendapat kesempatan menerima wejangan dari orang-orang yang luar biasa, baik secara pribadi maupun secara kemampuannya”.
“Kami sebagai orang yang lahir lebih dulu hanya merasa berkewajiban untuk memperingatkan kepada anak-anak muda agar jangan sampai salah memilih jalan hidup, Ki Gede”.
“Aku sependapat, Ki Untara. Sebab jika bukan kita-kita yang memperingatkan mereka, siapa lagi?”.
“Kami dapat memberikan pesan-pesan kepada Ratri bukan semata-mata karena kami pintar, Ki Gede. Namun karena kebetulan kami sedikit banyak sudah pernah berpengalaman menjalani kehidupan bebrayan ini”.
“Benar sekali Ki Agung Sedayu, aku sependapat. Karena kematangan kajiwan seseorang tidak dapat dibentuk begitu saja dalam waktu yang singkat, semua itu perlu melewati penempaan yang terus menerus dalam waktu yang panjang”.
***
Sementara itu di sebuah padang perdu Wirasaba, tempat berlangsungnya perang tanding antara Kanjeng Adipati Wirasaba dan Panembahan Hanyakrakusuma sepertinya sudah semakin memasuki saat-saat terakhir.
Sebuah perang tanding yang semakin terlihat berat sebelah itu hanya semakin menggelisahkan saja bagi pihak Wirasaba. Bagaimana tidak? suara nafas pepunden mereka sudah terdengar semakin memburu bahkan seakan sudah mau putus dan kemampuannya sudah semakin melemah sebab kehabisan tenaga.
Wajah-wajah pucat atau bahkan merah padam dari hampir semua pihak Wirasaba karena menahan gejolak perasaan yang bercampur aduk tidak dapat mereka sembunyikan begitu saja melihat apa yang terjadi di hadapan mereka.
Begitu pula yang dirasakan oleh Ki Jembar Maja sebagai pamomong Kanjeng Adipati Wirasaba sejak masih bayi. Sehingga keadaan di hadapannya tersebut lebih menyesakkan dadanya dibandingkan orang lain di pihak Wirasaba.
Meskipun dari awal dirinya sudah mampu menduga akhir dari perang tanding tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa jantungnya tetap saja terasa pepat, bahkan matanya seakan tidak sampai hati melihat apa yang terjadi.
Sementara Kanjeng Adipati Wirasaba sudah terlihat mulai terhuyung-huyung dalam setiap langkahnya karena tenaganya semakin menyusut setelah meluapkan dalam perang tanding yang masih belum selesai.
“Apakah kau benar-benar memiliki hati sekeras batu hitam, Kanjeng Adipati?”.
“Terserah kau saja mau menyebutku apa, Panembahan. Tapi jangan harap bahwa aku mau menyerah kepadamu jika aku masih hidup. Kau dapat menguasai Wirasaba dengan kemampuan dan seluruh pasukanmu, namun kau tetap gagal menaklukkan Adipati Wirasaba seutuhnya”. sahut pepunden seluruh kawula Wirasaba tersebut dengan suara nafas yang semakin memburu.
“Baiklah jika itu memang kemauanmu”.
“Apa yang akan kau lakukan?”.
“Apakah aku harus memberitahukannya kepadamu setiap apa yang akan aku lakukan?”.
“Setan Alas…”.
Baru saja Kanjeng Adipati Wirasaba selesai mengumpat, dalam keadaan yang semakin lemah, dia kembali menyerang lawan yang berada di depannya.
Panembahan Hanyakrakusuma meskipun sudah mengetahui keadaan lawannya tetap selalu waspada dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Tangan Adipati yang masih sangat muda itu menjulur lurus ke dada lawan bersamaan dengan tubuhnya. Dengan sedikit berkelit dan melakukan serangan balik, tangan pepunden Mataram tersebut tepat mengenai tengkuk.
Serangan yang kemudian tidak mengenai sasaran, ditambah pukulan pada tengkuk membuat Kanjeng Adipati semakin terdorong ke depan dan terjerembab pada tanah berdebu.
Beruntunglah serangan pada tengkuk itu tidak keras dan mematikan, sehingga tubuh Kanjeng Adipati yang sudah sangat lemah itu tidak semakin mengalami nasib buruk.
Sekujur tubuh yang penuh keringat tersebut kali ini sudah tidak mampu untuk bangkit lagi, entah dalam keadaan pingsan atau masih sadarkan diri, karena hanya suara nafasnya sajalah yang terdengar memburu dan tidak beraturan dalam keadaan tubuh yang masih terdiam dan menelungkup.
Dengan langkah perlahan, Panembahan Hanyakrakusuma mencoba mendekati lawannya tersebut, namun baru beberapa langkah dirinya dikejutkan oleh suara dari samping yang membuatnya tertegun sejenak.
“Apa yang akan kau lakukan Panembahan?”.
“Aku akan memeriksa keadaannya”.
“Apakah kau tidak akan bermaksud buruk?”.
“Kau ini aneh, Ki Sanak. Jika aku berniat membunuhnya, pasti sudah aku lakukan pada saat perang tanding berlangsung. Untuk apa aku harus menunggunya dalam keadaan seperti ini”.
Kali ini orang tersebut yang menjadi terdiam mendengar jawaban Kanjeng Sinuhun Mataram. Mungkin karena menahan gejolak perasaannya beberapa waktu telah membuatnya berpikir pendek, padahal biasanya dia memiliki penalaran yang panjang.
“Kau siapa, Ki Sanak?”. bertanya pepunden Mataram
“Aku adalah orang yang kebetulan mendapat kepercayaan sebagai pamomong Kanjeng Adipati , namaku Ki Jembar Maja”.
“Apakah kau ingin bersikeras mempertahankan Kadipaten Wirasaba seperti pepundenmu?”.
“Sepertinya jika aku berbuat demikian hanya akan sia-sia saja. Apalah artinya diriku seorang jika harus melawan kalian semua?”.
“Ternyata kau memiliki penalaran yang lebih baik dibandingkan dengan pepundenmu, Ki Jembar Maja”.
“Jika aku hanya memikirkan diriku sendiri, aku tidak akan pernah ragu untuk bertempur hingga tubuhku terkapar di medan. Namun aku masih memikirkan nasib para prajurit yang tersisa ini, karena mereka sudah seperti anak ayam yang kehilangan induknya setelah hilangnya Ki Patih Rangga Permana”.
“Apakah itu berarti kau menyerah?”.
“Aku bersama para prajurit Wirasaba yang tersisa menyerah, Panembahan. Tapi dengan satu syarat!”.
“Aku merasa aneh, bahwa ada seseorang yang mengalami kekalahan dalam sebuah perang dan akan menjadi tawanan, masih merasa berhak mengajukan sebuah syarat. Tapi baiklah, aku akan mencoba mendengarkannya lebih dulu. Jika syarat yang kau ajukan itu masih dalam batas kewajaran, akan aku kabulkan”.
“Terserah apa pendapatmu, tapi yang jelas aku ingin memastikan nasib kami nanti sebagai tawanan Mataram. Jika nanti kami sebagai tawanan Mataram hanya akan dijadikan pengewan-ewan, maka kami akan melawan dengan segenap kemampuan, meski kami sadar hanya akan membunuh diri”.
“Aku hargai sikapmu, Ki Jembar Maja. Tapi sebelum aku menjawab, sebaiknya kau lihat dulu keadaan pepundenmu itu! dan lakukanlah pertolongan sebagaimana mestinya”.
Kemudian Ki Jembar Maja segera mendekati momongannya tersebut dan membalikkan badannya. Tampak wajah yang berkeringat dan penuh dengan debu.
Dengan sangat hati-hati Ki Jembar Maja memeriksa tubuh momongannya tersebut. Dari mulai memeriksa tubuh itu dari detak jantung, aliran darah, dan beberapa simpul syaraf.
“Tolong panggilkan tabib!”.
Salah satu prajurit Wirasaba pun segera bergegas meninggalkan tempat itu untuk memanggil orang yang dimaksud. Tidak berapa lama kemudian dia kembali.
Tabib yang baru saja datang tersebut tidak banyak pertanyaan segera memeriksa Kanjeng Adipati. Setelah beberapa saat memeriksa, dirinya mengeluarkan sebutir obat yang ditempatkan pada sebuah bumbung kecil yang ditutupi gabus.
Obat yang berwarna coklat agak terang itu kemudian dimasukkan kedalam mulut Adipati yang masih sangat muda tersebut. Ternyata obat yang sebesar biji kopi itu mudah mencair ketika berada dalam mulut yang basah oleh ludah.Sehingga tidak memerlukan air untuk membantu menelan obat tersebut.
Sementara perang antara Wirasaba dan Mataram pada hari itu tidak luput pula dari pengawasan dua orang yang masih misterius, tapi sepertinya dua orang tersebut berada di pihak yang berbeda jika menilik dari tempat mereka bersembunyi.
“Ternyata diam-diam dari pihak Mataram ada pula yang mengawasi berlangsungnya perang ini”. gumam salah satu pengintai misterius tersebut dalam hati.
“Hampir saja semalam aku mampu menculik lurah prajurit itu, tapi sayang sekali usahaku itu harus gagal karena dalam waktu yang sangat cepat dia mampu menguasai Ki Patih Rangga Permana. Sehingga mau tidak mau aku harus menukarnya”.
“Seandainya saja aku tidak ceroboh tadi malam, pasti saja lurah prajurit Mataram itu sekarang dalam genggamanku. Sehingga aku dapat melampiaskan penghinaan Panembahan Hanyakrakusuma terhadap Wirasaba”.
“Jika dilihat dari kemampuannya bergerak, pasti orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tapi mengapa dia berpakaian serba hitam dengan penutup kepala pula? bukankah dengan demikian dia tidak ingin dikenali oleh siapapun?”.
“Apakah dia termasuk tokoh sakti yang sudah lama tidak ingin muncul ke permukaan, sehingga sekarang dia tetap berusaha untuk menyembunyikan jati dirinya?”.
“Mungkinkah aku pernah mengenalnya, sebelumnya?”.
Salah satu pengintai misterius itu hanya bisa berbicara panjang lebar di dalam hatinya dalam persembunyian dengan penuh pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya sendiri.
Sementara di medan, perang sudah benar-benar berhenti dengan Mataram sebagai pemenangnya, sebab pasukan Wirasaba yang tersisa sudah menyerah.
Dengan demikian mau tidak mau orang-orang Wirasaba yang tersisa sekarang menjadi tawanan perang Mataram dengan kedua tangannya diikat di belakang dan para prajurit Mataram pun segera melucuti semua senjata yang dibawa.
Sementara Ki Jembar Maja masih berjongkok di samping Kanjeng Adipati yang masih dalam perawatan salah satu tabib yang terbaik dalam pasukan Wirasaba.
“Ki Jembar Maja, aku sangat menghargai sikapmu yang memikirkan orang-orangmu yang tersisa dan kerja samamu kepada Mataram. Sehingga aku akan membicarakan syarat yang kau ajukan tadi kepada para penasehatku, agar nanti tidak terjadi kesalah pahaman di antara kami”.
“Terima kasih, Panembahan”.
“Tapi yang jelas aku adalah orang yang masih berjantung dan mengerti segala paugeran perang, jadi kau tidak perlu takut akan menjadi pengewan-ewan selama kau tidak melakukan hal yang bodoh. Tapi jika kau berani lakukan hal itu, aku pastikan kau akan mendapat hukuman yang paling berat”.
“Aku mengerti maksudmu, Panembahan”. sahut Ki Jembar Maja dengan kepala tertunduk.
“Syukurlah jika demikian, sehingga aku tidak perlu menjelaskan lagi panjang lebar tentang apa yang harus kau lakukan dan apa yang harus tidak kau lakukan sebagai seorang tawanan perang”.
“Meskipun aku belum pernah menjadi tawanan perang, namun aku mengerti bagaimana menjadi seorang tawanan yang baik”.
“Karena aku menghargai sikap kerjasamamu kepada Mataram, maka untuk sementara aku bebaskan tanganmu dari ikatan sebuah tali selama menunggu keadaan pepundenmu. Tapi kau akan tetap dalam pengawasan salah satu prajuritku”.
“Terserah kau saja, Panembahan. Kini tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, selain aku hanya bisa pasrah”.
Setelah mendengar ucapan Ki Jembar Maja, Kanjeng Sinuhun Mataram tampak memandang berkeliling seperti mencari sesuatu atau mungkin seseorang.
“Tolong panggilkan, Ki Tumenggung Alap-Alap!”. perintah Panembahan Hanyakrakusuma kepada salah satu prajurit yang berada di dekatnya.
Tidak lama kemudian orang yang dipanggil telah datang menghadap. Dengan penuh hormat senopati Mataram tersebut sedikit membungkukkan tubuhnya sembari menghaturkan sembah.
“Ampun Kanjeng Panembahan, hamba datang menghadap”.
“Berhubung perang sudah bisa dikatakan selesai, sekarang kau akan aku beri tugas baru. Aku perintahkan kau untuk mengawasi Ki Jembar Maja dan Adipati Wirasaba”.
“Sendika dawuh, Kanjeng”.
“Tapi kau jangan hanya seorang diri, kau ajaklah dua orang perwira bawahanmu untuk membantu”.
“Sendika dawuh, Kanjeng Panembahan”. sahut Ki Tumenggung Alap-Alap, lalu meninggalkan tempat itu untuk mengajak kawannya.
Kini para prajurit Mataram menjadi sibuk untuk mengurus para tawanan perang yang menyerah. Hampir tidak ada perlawanan sama sekali dari para prajurit Wirasaba yang tersisa.
Mereka hanya bisa pasrah ketika para prajurit Mataram mengikat kedua tangan mereka di belakang serta melucuti semua senjata yang mereka bawa.
Semua tawanan perang dari Wirasaba dikumpulkan di tengah padang perdu tersebut untuk lebih mudah dalam mengawasi. Karena meskipun mereka sudah menyerah, tetap masih ada kemungkinan mereka untuk memberontak atau bahkan mencoba melarikan diri.
Sementara sebagian prajurit Mataram yang lain mendapat tugas untuk memeriksa seluruh perkemahan pasukan Wirasaba, dan mereka diperintahkan untuk mengambil semua senjata atau perlengkapan lain yang mungkin saja masih tersisa.
Sementara itu Ki Rangga Sabungsari yang menunggui perawatan anak Ki Untara masih penuh kegelisahan melihat keadaan Umbara yang bisa dikatakan belum segera membaik, bahkan masih dalam keadaan yang gawat dan belum mampu sadarkan diri karena luka dalam yang dideritanya.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Ngger”. berkata K Rangga Sabungsari dalam hati, sembari memandangi sekujur tubuh yang terbaring di depannya.
Pengenalannya dalam waktu yang begitu lama, secara tidak langsung telah membuat ikatan batin mereka begitu dekat, bahkan sudah seperti bagian dari keluarga sendiri.
Bukan sanak bukan kadang, tapi jika ada yang terluka akan ikut merasakan sakitnya, dan jika ada salah satu yang pergi akan ikut merasakan kehilangan pula. Itulah yang kini dirasakan oleh Ki Rangga Sabungsari terhadap anak muda yang masih terbaring diam karena terluka dalam setelah beradu ilmu puncak kemarin.
Hanya atas segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih lah anak muda itu masih mampu bertahan. Karena jika dilihat dari lukanya yang sangat parah, kemungkinan untuk selamat itu sangat tipis sekali.
Namun Tabib yang merawatnya tidak pernah menjadi putus asa karena keadaan tersebut, karena biar bagaimanapun dia tetap akan berusaha hingga batas kemampuannya dan tidak henti-hentinya untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Agung bagi kesembuhan orang-orang yang sedang dirawatnya. Bukan hanya untuk Umbara, tapi kepada para prajurit yang lain pula.
“Malang sekali nasibmu, Ngger. Baru pertama kali ikut perang, tapi sudah harus mengalami luka yang sangat parah. Seandainya saja kemarin aku tidak lengah menanggapi keadaan, mungkin sekarang nasibmu akan berbeda. Mungkin saja sekarang kau tidak perlu terbaring di tempat ini dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan”. membatin Ki Rangga Sabungsari.
Namun segala kekhawatiran itu hanya bisa dipendamnya sendiri tanpa bisa dibicarakan dengan siapapun, karena satu-satunya keluarga terdekatnya anak muda tersebut yang ikut serta dalam perang sekarang menghilang secara misterius entah kemana.
“Nanti apa yang bisa ku sampaikan kepada ayahnya jika terjadi apa-apa dengan Umbara? bagaimanakah tanggapannya kepadaku atas kejadian ini? apakah dia akan melampiaskan kemarahannya kepadaku atas apa yang terjadi dengan anaknya?”.
“Tapi biar bagaimanapun semua ini sudah terjadi dan tidak dapat aku ubah. Apapun yang akan dilakukan Ki Untara terhadapku aku harus siap menerima segala akibatnya, bahkan kemungkinan paling buruk sekalipun”.
“Sebagai seorang ayah, adalah wajar merasa sangat terpukul jika melihat anaknya terluka parah seperti sekarang ini. Aku pun pasti akan merasa demikian jika ini terjadi kepada anakku, tapi tinggal bagaimana kita menyikapinya kejadian ini”.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma sedang mengadakan pembicaraan di bekas medan pertempuran bersama ketiga Pangeran Mataram yang dijadikan Senopati Pengapit sekaligus penasehatnya untuk langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya.
“Bagaimana menurut pendapat paman bertiga setelah kita mampu menaklukkan Wirasaba? sebaiknya apa yang harus kita lakukan selanjutnya”. bertanya Kanjeng Sinuhun Mataram memulai pembicaraan.
“Menurutku perhitunganku, sebaiknya kita segera membentuk pasukan kecil yang dipimpin langsung oleh Angger Panembahan untuk memasuki Istana Kadipaten Wirasaba dan mendudukinya, karena dengan demikian kita baru bisa dikatakan syah telah menaklukkan Wirasaba seutuhnya”.
“Kakangmas Pringgalaya benar, karena apalah artinya kita telah memenangkan perang ini jika tidak berhasil menduduki Istana Kadipaten Wirasaba seutuhnya?”.
“Jika kita memasuki istana kadipaten, lalu bagaimana dengan para tawanan, Paman?”.
“Kita akan membagi tugas, Ngger. Tapi menurutku, salah satu dari kami bertiga harus ada yang tetap tinggal disini untuk membantu mengawasi dan sekaligus memberikan keputusan jika sewaktu-waktu diperlukan untuk tetap menjaga keadaan”.
“Selain itu kita harus segera memerintahkan prajurit penghubung untuk memberikan laporan kepada Ki Patih Singaranu di Mataram”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Paman benar, aku hampir saja melupakan akan hal itu. Karena biar bagaimanapun Mataram harus segera mendengar kabar gembira ini, agar bisa menjadi sebuah kebanggaan bagi kita semua setelah selama ini kita sangat kesulitan untuk menaklukkan daerah bang wetan, meskipun kita masih memiliki pekerjaan yang jauh lebih besar lagi setelah ini”.
Tanpa sadar Panembahan Hanyakrakusuma melihat matahari yang sudah semakin jauh ke arah barat, itu pertanda bahwa tidak lama lagi senja akan datang.
Namun pembicaraan empat Priyagung Mataram tersebut dikejutkan oleh seorang prajurit yang datang menghadap. Sepertinya ada hal penting yang ingin dilaporkan.
“Ampun Kanjeng Panembahan, jika hamba dengan deksura berani mengganggu. Namun ada yang harus hamba laporkan”. berkata prajurit itu setelah berada di hadapan pepundennya.
“Ada apa?”.
“Adipati Wirasaba sudah mulai sadar. Tapi setelah dia sadar dia terus memberontak dan terus berteriak-teriak meskipun kedua tangan dan kakinya telah diikat”.
Panembahan Hanyakrakusuma memandang ketiga pamannya lebih dahulu sebelum menjawab untuk meminta pertimbangan. Setelah saling pandang, salah satu baru menjawab.
“Sebaiknya kita temui, Ngger”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Baiklah.. marilah kita kesana, Paman”.
Kemudian keempat Priyagung Mataram tersebut bergegas meninggalkan tempat itu untuk menemui Adipati Wirasaba yang mendapat pengawasan khusus dari Ki Tumenggung Alap-Alap.
Sementara di salah satu tempat yang tersembunyi, ada yang masih tetap mengawasi dengan penuh kesabaran segala apa yang terjadi pada perang antara Wirasaba dan Mataram yang sudah memasuki tahap akhir.
“Seharusnya aku berbuat sesuatu terhadap Kanjeng Adipati, namun dalam keadaan seperti ini akan sangat berbahaya sekali bagiku. Karena tentu saja dia mendapatkan pengawasan yang sangat ketat dari orang yang berilmu tinggi”.
“Karena jika ada satu orang saja yang mampu menahanku dalam waktu sekejap, maka akan memancing orang-orang lain yang berilmu tinggi. Meskipun aku memiliki bekal yang sangat tinggi, namun jika harus menghadapi beberapa orang yang berilmu tinggi tentu akan menyeretku ke dalam kesulitan”.
“Sebaiknya aku tunggu kelengahan mereka, mungkin saja gelapnya malam dapat sedikit membantuku menjalankan rencanaku ini. Tapi bagaimana dengan orang yang kemarin berhasil memaksaku untuk menukar buruanku? apakah dia juga tetap mengawasi sekitar tempat ini?”.
Berbagai pertanyaan dalam hati yang hanya mampu dijawabnya sendiri itu pada akhirnya mendapat sebuah kesimpulan apa yang sebaiknya harus dilakukan.
Penalaran orang tersebut mulai menyusun sebuah rencana di dalam kepalanya dengan teliti dan penuh kehati-hatian, dan tak lupa juga memikirkan apa yang harus dilakukan jika rencananya tidak berjalan sesuai rencana.
“Jika orang itu kembali muncul dan berusaha menggagalkan rencanaku lagi, maka saatnya menjadi kesempatan bagiku untuk menjajal kemampuan orang yang berani menyombongkan diri di hadapanku dan sekaligus menguak jati dirinya. Kemarin aku terpaksa harus mengalah kepadanya karena keadaan Ki Patih Rangga Permana”.
Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan secara matang dan telah mendapat sebuah kesimpulan, untuk sementara dia merasa tidak ada gunanya lagi dia berlama-lama berada di tempat tersebut, maka dia pun segera bergegas pergi.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma telah tiba di tempat Kanjeng Adipati Wirasaba berada bersama ketiga Pangeran Mataram yang selalu menyertainya.
Ki Tumenggung Alap-Alap sebagai prajurit yang mendapat tugas untuk mengawasi dua orang penting Wirasaba, menyadari kedatangan keempat pepundennya segera membungkuk hormat sembari menghaturkan sembah.
“Ternyata kau orang paling licik yang pernah aku kenal, Panembahan”. berkata Adipati Wirasaba dengan penuh kemarahan setelah menyadari siapa yang datang.
“Apa maksudmu?”.
“Jika kau memang seorang yang jantan, maka kau tidak akan memperlakukan aku seperti ini. Daripada kau perlakukan aku seperti ini, lebih baik kau bunuh aku saja”.
“Kau dapat mengatakan aku licik atau apalah menurutmu, jika dalam keadaanmu yang sekarang aku memperlakukanmu dengan cara yang buruk”.
“Jika kau memang jantan, bunuhlah aku sekarang!”.
“Apakah menurutmu kejantanan itu hanya diukur dengan kita mampu membunuh seseorang?”.
“Kau sudah memenangkan perang tanding melawan aku, tapi bukannya kau membunuhku tapi kau malah memperlakukanku seperti hewan peliharaanmu. Ternyata kau lebih kejam dari manusia yang paling kejam”.
“Aku bisa berlaku kejam atau tidaknya itu tergantung pula dengan caramu menanggapi kekalahan dalam perang ini. Aku bisa saja berbuat baik jika bertemu orang baik, tapi bisa pula lebih kejam daripada iblis sekalipun jika bertemu dengan orang jahat”.
“Kau tidak perlu banyak sesorah dihadapanku, bunuh saja aku! karena apapun yang akan terjadi aku tidak akan pernah mau menyerah kepadamu”.
“Ternyata benar dugaanku, kau terlalu cepat mendapatkan kamukten sebelum siapa secara lahir dan batin. Sehingga penalaranmu lebih banyak terburamkan oleh perasaanmu yang hanya menuruti nafsu pribadi tanpa pernah menimbang lagi apa yang kau lakukan, baik buruknya dan untung ruginya secara penalaran wajar”.
“Aku bukan kawulamu yang butuh sesorahmu!”. teriak Kanjeng Adipati Wirasaba semakin marah.
Dalam keadaan duduk di atas tanah yang berdebu dengan kedua tangan dan kaki terikat, pepunden Wirasaba itu memandang Panembahan Hanyakrakusuma dengan sorot mata tajam dan hampir tidak berkedip.
“Tapi harus kau ingat! bahwa sekarang kau adalah tawananku”.
“Aku tidak peduli. Sekarang bunuh saja aku! karena kau tidak akan pernah berhasil memperbudak aku”.
“Meskipun aku bisa saja dengan mudah untuk membunuhmu, namun aku bukanlah orang yang tidak berjantung dan bukan pula orang yang tidak mengenal segala paugeran yang berlaku. Jika aku menghukummu, itu bukan karena kebencianku atas nama pribadi, tapi karena atas nama paugeran yang berlaku telah kau langgar”.
“Setan alas.. pengecut.. licik..”.
Kanjeng Adipati Wirasaba yang masih sangat muda itu hanya bisa mengumpat sejadi-jadinya dengan umpatan yang sangat kotor dan tidak bisa berbuat sesuatu karena selain kedua tangan dan kakinya masih terikat, tubuhnya pun sebenarnya masih sangat lemah karena kehabisan tenaga setelah tadi berperang tanding.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma yang merasa tidak ada gunanya lagi menanggapi Adipati yang masih sangat muda tersebut, menoleh ke arah ketiga Pangeran Mataram yang menyertainya dengan maksud untuk meminta pendapat.
“Bagaimana menurut paman bertiga?”.
“Sebaiknya kita biarkan saja dulu, Ngger. Karena kita masih memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada hanya mengurus dia yang meracau karena waringuten”. sahut Pangeran Pringgalaya yang dapat menangkap maksud pertanyaan kemenakannya itu.
“Aku setuju dengan Kakangmas Pringgalaya. Sebaiknya kita lanjutkan pekerjaan kita sesuai rencana awal, kita akan memasuki Istana Kadipaten Wirasaba dengan pasukan kecil untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan”.
“Tapi sebelum berangkat menurutku sebaiknya kita memperketat pengawasan terhadap Adipati muda itu. Karena sempat terbesit di kepalaku bahwa ada kemungkinan orang yang misterius itu akan datang lagi, dan kemungkinan besar yang akan dilakukannya menurutku adalah untuk menculiknya dari tangan kita”.
“Ucapan Paman Pringgalaya ada benarnya”.
“Kemungkinan besar orang itu masih mengawasi tempat ini sepanjang waktu dan menunggu kelengahan kita dari suatu tempat yang belum dapat kita ketahui keberadaannya, lalu dia akan datang dengan tiba-tiba seperti seekor harimau yang akan menerkam mangsanya tanpa ampun”.
“Kita memang sebaiknya memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, dan itu salah satunya”. sahut Pangeran Puger yang lebih banyak diam dibandingkan dengan yang lain.
“Jika demikian, kalian berangkatlah! aku yang akan mengawani Ki Tumenggung Alap-Alap untuk mengawasi Adipati Wirasaba dan pamomongnya”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Baiklah Paman, sepertinya kita memang harus berbagi tugas. Berarti Paman Pangeran Puger dan Paman Pangeran Pringgalaya yang akan mengawaniku memimpin pasukan kecil untuk memasuki Istana Kadipaten Wirasaba”.
Sementara keempat Priyagung Mataram itu sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri yang kebetulan berada tidak jauh dari Kanjeng Adipati Wirasaba yang masih saja berteriak-teriak dan mengumpat, bahkan ketika merasa tidak digubris lagi teriakannya semakin menjadi-jadi.
“Setan Alas, genderuwo, tetekan. He.. orang sombong, lepaskan aku! bunuhlah aku sekarang juga! he.. iblis laknat, kau jangan berpura-pura tuli”. berbagai umpatan dan sumpah serapah tidak henti-hentinya keluar dari mulut pepunden seluruh kawula Wirasaba tersebut dengan penuh kemarahan.
Namun karena keadaannya yang masih lemah setelah berperang tanding, Adipati Wirasaba yang masih sangat muda tersebut mulai kehabisan suaranya, bahkan semakin lama terdengar serak dan parau, hingga pada akhirnya lehernya seakan tercekik karena suaranya sudah hampir tak terdengar lagi.
Ki Jembar Maja pun tidak dapat menyembunyikan perasaan pedih dan nggrentes dari hatinya melihat apa yang telah dilakukan momongannya, apalagi dia tidak pernah menduga sebelumnya akan mengalami kejadian itu.
Namun itulah kenyataan yang terjadi yang harus diterimanya dengan penuh kesadaran dan ketegaran seperti batu karang yang berada di sepanjang pantai.
Sejenak kemudian, setelah pembagian tugas itu dianggap selesai, maka mereka pun segera memisahkan diri untuk melakukan persiapan masing-masing, terutama bagi Kanjeng Sinuhun Mataram dan rombongan yang akan memasuki Istana Kadipaten karena harus membawa pasukan kecil.
Ketiga Priyagung Mataram tersebut kemudian memutuskan untuk membawa Pasukan Khusus Pengawal Raja dan sebagian kecil Pasukan Khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh.
Sementara langit di sebelah barat sudah semakin tampak kemerah-merahan, sebagai pertanda bahwa sebentar lagi tempat itu akan menjadi gelap karena berselimutkan malam.
“Sebentar lagi akan gelap, namun sepertinya tidak ada gunanya lagi kita menunda. Malam ini juga kita akan memasuki Istana Kadipaten Wirasaba dan melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa yang mungkin masih ada”.
“Angger Panembahan benar, karena semakin cepat akan semakin baik. Tapi kita juga jangan sampai melepaskan kewaspadaan terhadap segala kemungkinan yang bisa saja terjadi tiba-tiba dalam tugas terakhir kita ini”.
“Iya Paman”.
Namun Panembahan Hanyakrakusuma tidak berniat untuk menunda rencananya, malam ini juga dia harus dapat memasuki Istana Kadipaten Wirasaba dan membersihkan sisa-sisa orang yang masih setia memihak kepada pemimpin sebelumnya.
Mungkin saja di dalam Istana Kadipaten masih terdapat para keluarga Adipati Wirasaba dan Ki Patih Rangga Permana yang belum menyingkir, sehingga perlu diadakan pembersihan agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Berhubung waktu sudah menjelang malam, sementara perjalanan menuju Istana Kadipaten jaraknya lumayan jauh jika berjalan kaki, maka para prajurit menyiapkan beberapa obor yang terbuat dari biji jarak untuk membantu penerangan. Tidak lupa pula para prajurit Mataram tetap membawa persenjataan lengkap untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.
***
Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh yang sudah mulai gelap karena malam telah tiba, tapi di pendapa rumah Nyi Pandan Wangi masih tampak ramai oleh para tamu yang datang dan bermalam, termasuk yang terbaru adalah tamu dari Mataram.
Setelah mereka menjalankan kewajiban sebagai hamba Yang Maha Pencipta, lalu diteruskan menikmati makan malam secara bersama-sama, mereka kembali melanjutkan perbincangan sebelum memasuki sanggar tertutup.
“Aku harap nanti selama di sanggar kau tidak akan menyembunyikan kemampuanmu sekecil apapun di hadapan kami semua, sehingga kami benar-benar dapat menilai dengan benar kemampuanmu. Anggap saja mereka guru-gurumu pula dalam belajar ilmu kanuragan, Ratri”. berkata Nyi Pandan Wangi memulai pembicaraan.
“Baik mbokayu, aku akan berusaha”.
“Karena dengan mereka mengetahui kemampuanmu dengan benar, maka mereka juga akan dapat memberikanmu petunjuk tentang kemungkinan tataran berikutnya yang dapat kau gapai di kemudian hari. Kau wajib bersyukur, nduk. karena kau mendapat kesempatan belajar kawruh dari orang-orang yang luar biasa”.
“Iya Ayah, aku merasa sangat beruntung sekali mendapat kesempatan ini, sehingga aku tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Yang Maha Welas Asih atas segala kemurahan-Nya”.
“Bahkan jika umur Ayahmu ini sedikit lebih muda, aku tidak segan-segan untuk meminta menjadikan aku murid mereka”.
“Ah.. Ki Gede suka berkelakar rupanya. Kemampuan Ki Gede pasti sudah sangat tinggi, sehingga tidak perlu memerlukan bimbingan kami lagi”. sahut ayah Bagus Sadewa sembari tersenyum.
“Aku berkata yang sebenarnya. Aku sadar seberapapun tingginya ilmuku, pasti tidak ada seujung kukunya dari kemampuanmu, Ki Agung Sedayu”.
“Aku tidak memiliki kelebihan seperti yang Ki Gede katakan. Mungkin aku memiliki kelebihan, tapi hanya sedikit”.
“Siapa yang tidak kenal kemampuannya Agul-Agul Mataram? hampir semua orang di bumi Mataram pasti mengenalnya”.
“Mereka mengenal aku bukan karena kemampuanku, tapi karena kebetulan aku adalah murid Swargi Kyai Gringsing”.
“Hahaha… kau dengar sendiri nduk, orang yang memiliki kemampuan hampir sundul langit pun tetap membumi. Itu menjadi peringatan bagi kita bahwa kita tidak pantas untuk menyombongkan diri, kepada siapapun”. berkata Ki Gede Matesih memperingatkan putri semata wayangnya, yang kebetulan duduk di sebelahnya.
“Sembari kita berbincang, mari kita nikmati minuman hangat ini dan makanan yang ala kadarnya”. berkata ibu Sekar Wangi yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
Sejenak kemudian mulut mereka disibukkan dengan makanan dan minuman yang masih hangat yang telah dihidangkan oleh para pembantu di rumah tersebut.
“Sebentar lagi kita akan memasuki sanggar, sayang sekali jika dibiarkan dingin begitu saja hidangan ini”.
“Ratri… apakah sejak kau kembali ke rumahmu masih terus berlatih meningkatkan kemampuanmu?”.
“Aku tidak pernah jemu untuk terus berlatih, mbokayu. Bahkan Ayah telah membuatkan sanggar tertutup khusus untukku agar aku dapat terus berlatih tanpa terganggu, dan sesekali Ayah mengawani dan memberikan petunjuk”.
“Tapi karena kemampuan dan kawruh yang aku miliki sangat terbatas, aku tidak bisa memberikan bimbingan terlalu jauh, Nyi. Apalagi aku dan Ratri berasal dari sumber yang berbeda, aku khawatir jika aku terlalu jauh terlibat nanti akan bisa merusak kemurnian ilmu dari jalur Perguruan Keluarga Menoreh”.
“Ki Gede Matesih tidak perlu memiliki kekhawatiran yang berlebihan. Jika Ratri sudah memiliki pondasi yang kokoh dari jalur Perguruan Menoreh, aku rasa tidak menjadi soal jika dia ingin belajar kanuragan dari jalur lain selama itu tidak bertentangan dengan watak ilmu yang sudah dikuasainya. Karena jujur saja, jalur ilmuku sendiri pun sudah tidak murni lagi”.
“Apakah dengan demikian, Nyi Pandan Wangi mengizinkan Ratri untuk mempelajari ilmu kanuragan dari jalur yang lain?”. bertanya Ki Gede Matesih mempertegas apa yang didengarnya.
Nyi Pandan Wangi mendengar pertanyaan tersebut tersenyum.
“Silahkan saja, Ki Gede. Aku tidak ingin membatasi Ratri hanya dengan belajar dari Perguruan Menoreh saja, yang paling penting adalah apa yang dipelajarinya itu tidak mengganggu ilmu yang sebelumnya, lalu tidak pernah melanggar wewaler perguruan, dan apa yang telah dipelajarinya itu harus bisa berguna bagi sesama”.
“Jika Nyi Pandan Wangi sebagai gurunya sudah berkata demikian maka Ratri tentu akan lebih mantap dalam mengambil sikap untuk kedepannya, yang penting tidak pernah melanggar pesan-pesan yang telah disampaikan. Bukankah begitu, nduk?”.
“Benar Ayah”.
“Aku rasa Ratri sudah cukup dewasa secara lahir dan batin untuk membuat pertimbangan, Ki Gede. Tentu dia sudah dapat memilah dan memilih apa yang sebaiknya dilakukan atau tidak”.
“Nyi Pandan Wangi benar. Tapi bukankah sepandai-pandainya kita sebagai manusia, tetap saja kita masih sering dihinggapi penyakit lengah dan lupa?”.
“Ya.. Ki Gede benar. Ternyata aku lupa akan hal itu”.
“Kita sebagai manusia memang sering merasa paling bisa dan merasa memiliki kelebihan dari orang lain, tapi kita lupa bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan tidak akan pernah bisa menjadi yang paling dari yang lain. Jadi tidak ada yang pantas kita sombongkan di hadapan orang lain”.
“Sebuah pengertian yang luar biasa dari orang yang luar biasa, baik secara pribadi maupun secara kemampuan”.
“Itu bukan hasil dari penalaranku, tapi aku hanya menirukan saja apa kata-kata orang tua yang pernah aku dengar, Ki Gede”.
“Ki Agung Sedayu benar-benar memahami sekaligus menerapkan ilmu padi, semakin berisi justru semakin merunduk”.
“Bukan begitu, Ki Gede. Sebenarnya aku memang tidak memiliki apa-apa dan tidak bisa apa-apa, namun apa yang aku miliki dan kuasai saat ini tidak lepas dari panggulawentah orang-orang tua dan guruku yang dengan sabar membimbingku”.
“Ya.. ya.. aku sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan kekagumanku kepada kalian semua, yang jelas aku merasa beruntung sekali telah mendapat kesempatan untuk dapat mengenal kalian semua. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas segala kemurahan hati Nyi Pandan Wangi dan kalian semua, karena Ratri telah diperkenankan ikut ngangsu kawruh”.
Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan tentang hal-hal yang menarik bagi mereka sembari menikmati makanan dan minuman hangat yang disuguhkan, sebelum mereka benar-benar memasuki sanggar tertutup seperti yang telah direncanakan.
Sementara para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak pernah melupakan tugas-tugas yang dibebankan. Mereka berbagi tugas secara bergiliran dengan penuh tanggung jawab.
Meskipun banyak dari pengawal yang ikut melawat ke bang wetan, bahkan hanya tinggal sepertiga dari jumlah secara keseluruhan. Namun semua itu tidak pernah mengurangi semangat dan tanggung jawab yang mereka emban.
Secara bergiliran, mereka ada yang bertugas mengisi gardu-gardu parondan dan sebagian yang lain bertugas nganglang ke padukuhan sekitar untuk menjaga keamanan atau gangguan lainnya.
Karena selain mereka menjalankan kewajiban sebagai pengawal, namun ada rasa kebanggaan tersendiri pula dapat ikut menjaga ketentraman tanah kelahiran mereka.
Sementara waktu secara perlahan sudah mulai menjauhi waktu senja di bawah cahaya bulan yang tidak berada pada puncaknya, sehingga tempat yang tidak terkena cahaya obor hanya akan terlihat remang-remang.
“Ratri.. sepertinya malam sudah semakin merambat naik, sebaiknya kau segera mempersiapkan diri untuk memasuki sanggar. Agar kau memiliki waktu lebih banyak”. ucap ibu Bayu Swandana.
“Baik mbokayu, aku akan bersiap-siap”. sahut Ratri, kemudian mulai beranjak meninggalkan tempat itu untuk berganti dengan pakaian khususnya di salah satu gandok kiri.
“Aku pun akan bersiap-siap pula”.
Tidak lama kemudian, putri semata wayang Ki Gede Matesih dan gurunya itu telah kembali lagi ke pendapa dengan pakaian khususnya dan rambut panjangnya yang digelung ke atas, serta tidak lupa senjata andalannya sudah berada di punggungnya pula, sementara Nyi Pandan Wangi tidak membawa senjata sama sekali.
“Apakah kau sudah siap, sekarang?”.
“Sudah mbokayu”.
“Kalau begitu, sebaiknya kita segera saja pergi ke sanggar untuk dapat segera memulai latihannya”.
Kemudian satu persatu orang yang berada di pendapa tersebut mulai beranjak dari tempat duduknya dan melangkahkan kaki mereka untuk pergi ke sanggar tertutup yang berada di sekitar halaman belakang.
Yang berjalan di barisan paling depan adalah Nyi Pandan Wangi dan Ratri, lalu disusul Ki Gede Matesih yang berjalan bersama dengan Ki Untara, baru kemudian yang lain, termasuk Ki Agahan sebagai pemimpin Padepokan Orang Bercambuk, tapi tidak dengan kedua putut padepokan yang menyertainya, yaitu Putut Darpa dan Putut Darpita.
Sementara Nyi Lurah Glagah Putih yang berada di pendapa tampak masih duduk termangu, seperti ada yang sedang mengganggu pikirannya.
“Ada apa denganmu, Rara Wulan? aku lihat sejak beberapa saat tadi kau lebih banyak diam. Apakah ada yang sedang kau pikirkan?”. bertanya ayah Bagus Sadewa, yang kebetulan beranjak dari tempat duduknya paling terakhir.
Sebelum menjawab, ibu Arya Nakula itu menoleh ke arah sumber suara yang bertanya. Namun dengan perlahan ditundukkannya kembali dengan wajah sedikit lesu.
“Aku tidak tahu, kakang. Sejak semalam tiba-tiba saja perasaanku kurang mapan, tapi aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya”.“Mungkin hanya perasaanmu saja, atau mungkin karena ada kekhawatiran tentang keadaan Ki Lurah Branjangan yang sekarang sedang sakit”.
“Mungkin saja, kakang”.
“Cobalah kau luangkan sedikit waktumu untuk mengatur pernafasanmu, semoga dengan demikian kau dapat sedikit melonggarkan perasaanmu yang kurang mapan itu”.
“Baiklah kakang, aku akan mencobanya”.
Selesai berkata demikian Nyi Lurah Glagah Putih segera duduk bersila dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada serta memejamkan mata, lalu memusatkan nalar budinya.
Dimulailah dengan tarikan nafas yang dalam secara perlahan, kemudian dihembuskan perlahan-lahan pula dan dilakukan dengan cara berulang-ulang agar mendapatkan ketenangan seutuhnya yang ingin dicapai dalam pemusatan nalar budi.
Tanpa sadar Ki Agung Sedayu kemudian menunda langkah kakinya untuk pergi ke sanggar ketika melihat apa yang dilakukan ibu Arya Nakula, setelah mendengarkan sarannya.
Beberapa saat kemudian Nyi Lurah Glagah Putih mulai mengurai pemusatan nalar budinya, setelah merasa sudah mendapatkan ketenangan yang dicarinya.
“Bagaimana, Rara Wulan?”.
“Aku sudah merasa lebih baik, kakang”.
“Syukurlah kalau begitu”.
“Tapi….”. ucapan ibu Arya Nakula itu terputus.
“Tapi kenapa?”.
“Aku tetap merasa kurang mapan jika…”.
“Jika apa, Rara Wulan? katakanlah”.
“Aku tetap merasa perasaanku kurang mapan jika aku teringat akan kakang Glagah Putih, kakang”.
Seketika hati Ki Agung Sedayu sempat berdesir mendengar jawaban dari istri adik sepupunya tersebut, wajahnyanya pun sempat berubah sesaat. Namun wajah itu sudah terlihat wajar kembali pada saat Nyi Rara Wulan memandangnya.
–-O-O-O—
bersambung ke
Djilid
12
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar