Pada malam yang semakin dingin seakan-akan menusuk seluruh permukaan kulit orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang masih terjaga, apalagi bagi orang yang berada di luar rumah seperti para pengawal yang sedang bertugas.
Udara malam yang semakin dingin pun membuat minuman hangat yang disuguhkan menjadi cepat menyusut disamping pondoh beras yang semakin berkurang pula.
Sepertinya malam ini adalah malam yang lebih dingin dari malam-malam biasanya dan suasananya pun sedikit berbeda pula bagi para pengawal yang bertugas, tapi mereka sendiri tidak tahu mengapa.
“Apakah kau merasa jika suasana malam ini agak berbeda dengan malam-malam biasanya kang?”. bertanya salah satu pengawal yang bertugas kepada kawannya yang lebih tua.
“Aku merasakannya pula, apalagi beberapa malam terakhir aku mendengar suara burung gagak meskipun kita sudah selesai menyelenggarakan pemakaman Ki Argapati”.
“Bukankah kata orang-orang tua jika kita mendengarkan suara burung gagak adalah suatu pertanda yang kurang baik?”. bertanya balik kawannya.
“Kau benar adi, tapi aku tidak berani menduga-duga, karena baru saja kita kehilangan Ki Gede Menoreh”.
“Kau benar kakang, karena menduga hal semacam ini bisa berakibat sangat tidak baik jika kita sampai salah bicara. Apalagi kita bukanlah orang-orang yang termasuk memiliki kemampuan untuk mengurai isyarat-isyarat apa yang akan terjadi kemudian”. sahut kawannya sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sebaiknya kita memang menunggu saja kabar yang akan kita dengar, tapi semoga saja kabar yang kita dengar itu adalah kabar yang baik bagi kita semua”.
“Iya kakang, mari kita sama-sama nenuwun”.
Pembicaraan para pengawal di sela-sela tugas itu kemudian terputus karena kedatangan kawan-kawannya yang sedang bertugas nglanglang di sepanjang Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu di ruang dalam sedang berkumpul Nyi Pandan Wangi dan yang lain, dengan wajah penuh kegelisahan dan kecemasan akan keadaan Ki Jayaraga yang tiba-tiba menurun kesehatannya.
Ki Jayaraga memang awalnya bukan siapa-siapa bagi mereka semua, tapi setelah pertemuannya dengan Kyai Gringsing di masa lampau yang mampu mengguncang jiwanya, telah membuatnya sadar akan kesalahannya.
Kemudian dia berpikir sebagai tanda perubahannya ke arah jalan yang direstui Yang Maha Agung, Ki Jayaraga ingin mengangkat seorang murid yang di kemudian hari diharapkan bisa dibanggakannya, tidak seperti murid-muridnya yang terdahulu yang telah membuatnya sangat kecewa karena salah jalan dalam mengamalkan ilmu yang telah diturunkannya.
Sebenarnya Ki Jayaraga pada awalnya sangat tertarik dengan kepribadian yang baik dalam diri ayah Bagus Sadewa sehingga ingin ikut mengangkatnya sebagai murid, tapi setelah melihat kemampuan calon murid yang dipilihnya dianggap sudah sangat tinggi, singkat cerita akhirnya pilihan itu dijatuhkan pada adik sepupu ayah Bagus Sadewa yang pada saat itu masih sangat muda.
Sangat berbeda dengan kebiasaan yang ada, seorang murid biasanya yang akan mengikuti gurunya, tapi kali ini Ki Jayaraga lah yang mengikuti muridnya dan tinggal bersama.
Dengan seiring berjalannya waktu, ikatan batin mereka terjalin semakin kuat diantara keduanya bahkan semakin lama ikatan yang tidak kasat mata tersebut seperti layaknya seorang ayah dan anak.
Orang yang pada waktu mudanya bernama Pradapa tersebut adalah orang yang pilih tanding dengan segala macam ilmu yang dimilikinya, tapi kini hanya bisa terbaring tak berdaya untuk melawan kuasa Yang Maha Welas Asih.
“Ibu.. kapan kakek akan sembuh?”. bertanya Arya Nakula kepada ibunya yang berada di sebelahnya.
“Ibu belum tahu ngger, tapi sebaiknya kita selalu nenuwun kepada Yang Maha Agung untuk kesembuhan kakekmu. Sekarang paman Agung Sedayu sedang berusaha mengobatinya, semoga saja kakekmu segera sembuh”.
Arya Nakula yang mendengar jawaban ibunya masih saja diliputi kegelisahan dan hatinya pun semakin tidak tenang. Apalagi sejak dia kecil dirinya sangat dekat dengan Ki Jayaraga, bahkan sebagian besar waktu telah dilalui bersama.
“Kau harus bersabar ngger. Semoga Yang Maha Agung segera menyembuhkan kakekmu”. sahut Nyi Pandan Wangi berusaha menenangkan meskipun hatinya berdebar-debar pula karena sebenarnya dia adalah termasuk salah satu orang yang mengetahui keadaan Ki Jayaraga yang sebenarnya.
Tapi sesuai pesan Ki Agung Sedayu, orang-orang yang telah diberitahu tentang keadaan Ki Jayaraga harus merahasiakannya sementara karena suatu keperluan.
“Angger Arya Nakula, kita semua selalu nenuwun untuk kesembuhan kakekmu. Semoga Yang Maha Agung segera menyembuhkannya”. sahut Nyi Anjani, salah satu orang yang mengetahui pula keadaan Ki Jayaraga yang sebenarnya.
Mendengar ucapan tersebut, anak Ki Lurah Glagah Putih hanya memandang sekilas tapi tidak berkata apa-apa, wajahnya masih dengan penuh kegelisahan dan kecemasan terhadap orang yang dianggapnya seperti kakek sendiri.
“Aku merasa ada yang janggal, kenapa Agung Sedayu tidak mengajak Ki Agahan untuk membantunya mengobati Ki Jayaraga? atau memang ada cara khusus yang harus dilakukan sehingga tidak diperbolehkan ada orang lain yang mengawaninya?”. berkata Ki Untara dalam hati yang penasaran.
Setiap orang yang berada di ruang dalam lebih banyak terdiam karena sibuk dengan pikiran masing-masing dalam menanggapi keadaan yang terjadi, tapi hampir semuanya sama-sama dengan wajah penuh kegelisahan.
Sementara di dalam rumah Nyi Pandan Wangi, tepatnya di gandok sebelah kiri yang ditempati Ki Jayaraga tampak sepi dan tidak ada penerangan sama sekali, sesuai dengan permintaan Ki Agung Sedayu. Hanya beberapa orang khusus saja yang mengetahui apa yang sedang terjadi di gandok tersebut.
Ki Agung Sedayu sengaja berbuat demikian agar tidak mengejutkan banyak orang, selain itu pula dirinya tidak ingin dianggap deksura karena memamerkannya kemampuannya yang di luar nalar kebanyakan orang.
Karena sebentar lagi Ki Agung Sedayu akan membantu adik sepupunya dengan cara yang sangat khusus untuk datang mengunjungi gurunya guna mengucapkan selamat jalan untuk terakhir kalinya sebelum diselenggarakan pemakaman sebagaimana mestinya.
Tanpa diketahui oleh siapapun, tiba-tiba di gandok yang sepi dan tanpa penerangan itu muncul dua sosok.
“Bukalah matamu”. ucap salah satu sosok yang masih dipegang lengan kirinya.
Setelah membuka mata, sosok disebelahnya sedikit kebingungan tapi hanya berlangsung sesaat karena setelah dia memandang berkeliling, segeralah dia menyadari keberadaannya.
“Itulah Ki Jayaraga, Glagah Putih”.
Ki Lurah Glagah Putih masih tertegun di tempatnya sembari memandangi sesosok tubuh yang terbaring di depannya, dengan langkah perlahan dan pandangan yang hampir tidak berkedip, dia pun mendekatinya lalu duduk di bibir pembaringan.
“Guru” ucap Ki Lurah Glagah Putih perlahan, semakin lama mulutnya terasa menjadi kelu.
Sejenak ruangan itu menjadi hening, hanya dari kejauhan saja terdengar sekumpulan hewan malam yang menggema.
“Aku minta maaf guru, jika selama ini aku telah banyak berbuat salah dan dosa kepada guru. Dan aku minta maaf pula jika aku belum bisa menjadi murid yang baik seperti yang guru harapkan”. ucap Ki Lurah Glagah Putih yang tanpa terasa matanya mulai menjadi basah.
Ki Agung Sedayu yang ikut merasakan kesedihan yang sangat mendalam meskipun tidak sedalam yang dirasakan oleh ayah Arya Nakula, maka melihat apa yang dilakukan adik sepupunya tersebut sengaja dibiarkannya.
Memang sangat sedih jika kita kehilangan orang yang kita sayangi, apalagi orang tersebut sangat berjasa bagi hidup kita. Seakan-akan kita tidak mau kehilangan sebelum kita mampu membalas segala kebaikannya meskipun sangat mustahil kita mampu membalasnya.
“Aku akan selalu nenuwun agar Yang Maha Agung menempatkan guru di tempat yang paling baik”. Ki Lurah Glagah Putih berhenti sejenak. Lalu lanjutnya, “aku minta maaf jika aku tidak bisa ikut menyelenggarakan pemakaman guru sebagai penghormatan terakhir, semua ini karena keterbatasanku dan tugas-tugas yang sedang aku emban”.
Sebenarnya masih banyak yang ingin disampaikan kepada gurunya, tapi mulut Ki Lurah Glagah Putih tiba-tiba terasa sangat kelu serta matanya semakin basah. Semua itu hanya mampu disampaikan dari dalam hatinya.
Ki Agung Sedayu yang melihat keadaan adik sepupunya tersebut lalu mendekatinya dan meraih kedua pundaknya, sembari mengusap-usapnya perlahan tanpa bicara sama sekali.
Ki Lurah Glagah Putih hanya mampu menoleh ke arah kakak sepupunya dengan tatapan mata yang masih basah.
“Aku mengerti perasaanmu Glagah Putih, tapi kita semua tidak dapat menolak apa yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung”.
Ki Lurah Glagah Putih hanya menganggukkan kepalanya perlahan mendengar ucapan ayah Bagus Sadewa karena mulutnya masih terasa kelu untuk bicara.
“Maafkan aku Glagah Putih, bukan maksudku untuk mengusirmu tapi aku rasa kau tidak bisa berlama-lama lagi disini”.
“Aku mengerti kakang”. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari mengusap matanya yang basah dengan kedua tangannya.
Sekali lagi ayah Arya Nakula tersebut memandangi gurunya. Lalu katanya, “selamat jalan guru. Semoga guru mendapatkan jalan yang terang untuk menghadap Yang Maha Welas Asih”.
Ki Lurah Glagah Putih menyempatkan mengusap tangan kanan gurunya sejenak untuk yang terakhir kali sebelum dia benar-benar pergi untuk melanjutkan tugas-tugasnya sebagai seorang prajurit.
Meskipun dengan berat hati akhirnya ayah Arya Nakula mulai beranjak dari duduknya dan memberikan isyarat kepada kakak sepupunya untuk segera meninggalkan tempat itu.
Ki Agung Sedayu mengangguk mengiyakan, karena jika mereka terlalu lama pasti akan menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang yang berada di rumah tersebut. Dan jika mereka mengetahui keberadaan Ki Lurah Glagah Putih di tempat itu pasti akan menjadi gempar.
Kemudian Ki Lurah Glagah Putih segera mendekatkan diri dengan kakak sepupunya dan memegang salah satu tangannya untuk diantarkan kembali melaksanakan tugasnya yang berada di bang wetan.
Setelah segalanya siap, Ki Agung Sedayu segera merapalkan doa untuk mempercepat perjalanan seberapapun jauhnya, yang didapatkannya langsung dari Kanjeng Sunan Muria.
Dalam sekejap, kedua orang yang berilmu tinggi itu menghilang seperti kabut yang menguap dari pandangan mata, kemudian gandok itu pun menjadi sepi kembali.
Sementara orang-orang yang berada di ruang dalam semakin dirundung kegelisahan, baik yang sudah mengetahui keadaan Ki Jayaraga yang sebenarnya maupun yang belum.
Tapi dari semua yang hadir, yang merasa paling gelisah adalah Arya Nakula.
“Ibu, mengapa aku tidak diizinkan untuk mengawani kakek Jayaraga yang sedang sakit?”.
“Bukankah kau tadi mendengar sendiri pesan dari paman Agung Sedayu? bahwa paman membutuhkan suasana yang tenang untuk membantu mengobati kakekmu. Jadi, bukan tidak diizinkan ngger”. Nyi Lurah berusaha menjelaskan kepada anak semata wayangnya.
“Tapi sampai kapan kita harus menunggu disini ibu?”.
“Sampai paman Agung Sedayu memberitahu kepada kita, bahwa kita telah diizinkan untuk menjenguk kakekmu”.
“Apakah masih lama Ibu?”.
“Ibu juga belum tahu ngger, sebaiknya kita tunggu saja”.
Nyi Sekar Mirah yang mendengar pembicaraan itu pun kemudian mendekati kemenakannya, lalu di usap-usaplah kepalanya dan berkata, “sabarlah ngger, semoga tidak akan lama lagi”.
Dalam suasana yang semakin menggelisahkan, terdengar pintu depan ada yang mengetuk. Mereka menjadi saling pandang.
“Biarlah aku yang membukanya”. ucap Nyi Pandan Wangi yang kemudian bergegas ke arah pintu depan.
Setelah pintu tersebut terbuka, muncullah sosok Ki Agung Sedayu yang memberikan anggukan kecil kepada Ibu Sekar Wangi. Salah satu orang yang mengetahui keadaan Ki Jayaraga yang sebenarnya dan apa yang baru saja dilakukan oleh suaminya.
“Kakang sampaikan saja kepada mereka”. ucap Nyi Pandan Wangi lirih sembari dengan kepala tertunduk.
Semua orang yang hadir memandangi Ki Agung Sedayu hampir tak berkedip dengan penuh kegelisahan dan pertanyaan yang masih mereka simpan dalam hati masing-masing pada saat masuk dan kemudian mengambil tempat duduknya.
Meskipun berbagai dugaan mulai muncul dalam hati mereka masing-masing, tapi mereka memutuskan untuk menunggu apa yang akan dikatakan oleh ayah Bagus Sadewa terlebih dahulu.
“Bagaimana Agung Sedayu?”. bertanya Ki Untara setelah adiknya tersebut duduk.
Yang mendapat pertanyaan tidak langsung menjawab, ayah Bagus Sadewa menarik nafas dalam beberapa kali lebih dahulu untuk berusaha melonggarkan kepepatan hati dan pikirannya.
“Aku minta maaf jika nanti apa yang aku sampaikan akan mengejutkan kita semua”. ucap Ki Agung Sedayu seraya memandang berkeliling.
“Apakah kakek belum sembuh paman?”. bertanya Arya Nakula yang merasa tidak sabar.
“Sabarlah ngger. Kau jangan berlaku deksura dengan memotong ucapan paman Agung Sedayu yang belum selesai bicara”. sahut Nyi Lurah Glagah Putih cepat, yang membuat anaknya tertunduk.
Ki Agung Sedayu yang melihat tingkah laku kemenakannya itu justru menjadi semakin berdebar-debar, mulutnya seakan menjadi kelu mengingat apa yang akan disampaikannya pasti akan mengguncang jiwa anak tersebut, karena dialah yang memang paling berkepentingan dengan kabar yang dibawanya selain ayahnya yang sudah lebih dahulu mengetahuinya.
“Kau sampaikan saja apa yang terjadi meskipun itu pahit”. berkata Ki Untara yang sudah mulai bisa menduga apa yang akan disampaikan adiknya tersebut.
Sekali lagi Ki Agung Sedayu menarik nafas dalam untuk mengurangi debar jantungnya yang merasa tidak sampai hati menyampaikan kabar yang dia bawa kepada Arya Nakula.
Dengan sangat berhati-hati akhirnya ayah Bagus Sadewa itu menyampaikan kepada semua orang yang hadir, tapi sebelum dia selesai bicara mereka menjadi sangat terkejut.
“Kakek”. teriak Arya Nakula yang kemudian segera bergegas setengah berlari menuju gandok tempat Ki Jayaraga terbaring sudah tidak bernyawa.
Pembicaraan di ruang dalam itu pun seketika terhenti, setelah melihat apa yang dilakukan anak Ki Lurah Glagah Putih. Orang-orang yang hadir pun segera menyusul ke arah perginya anak tersebut.
Sesampainya di gandok kiri, orang-tersebut menjadi trenyuh setelah melihat Arya Nakula yang menangis sejadi-jadinya karena merasa kehilangan orang yang sangat dekat dengannya selama ini.
“Adi, apakah kau mendengar suara tangis itu?”. bertanya salah satu pengawal yang bertugas di dekat pintu regol rumah Nyi Pandan Wangi kepada kawannya yang lebih muda.
“Iya kakang. Aku mendengarnya pula”.
“Sebaiknya kau periksa apa yang terjadi, siapa tahu tenaga kita dibutuhkan”.
“Baik kakang, aku akan segera memeriksanya”.
Kemudian pengawal yang lebih muda itu pun segera bergegas ke arah sumber suara tangis yang memilukan tersebut. Namun langkahnya menjadi sedikit bimbang ketika di gandok kiri dilihatnya keluarga Nyi Pandan Wangi sedang berkerumun.
Kedatangan pengawal itu yang kebetulan dilihat oleh Ki Untara, segera memberikan isyarat untuk mendekat. Dengan perasaan ragu pengawal itu pun mendekati kerumunan di dekat pintu gandok kiri yang masih terdengar suara tangis seseorang.
“Tolong kau beritahukan kepada yang lain, bahwa Ki Jayaraga telah wafat”.
“He… “. pengawal yang mendengar keterangan dari Ki Untara menjadi sangat terkejut.
“Mengingat waktu telah memasuki lewat tengah malam, kau jangan memukul kentongan, agar tidak membuat gelisah orang banyak. Kau cukup sampaikan berita ini dari mulut ke mulut, lagipula kita baru bisa menyelenggarakan pemakaman besok pagi”.
“Baik Ki Untara”.
Setelah itu pengawal tersebut pun segera memberitahukan kepada kawan-kawannya apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pun tidak kalah terkejutnya, tapi mereka adalah para pengawal yang sangat terlatih baik dalam perang maupun dalam hidup bebrayan.
Meskipun berita itu hanya disampaikan dari mulut ke mulut, tapi dengan segera pula berita itu menyebar, meskipun baru sebatas orang-orang yang terjaga, tapi ada beberapa orang pula yang menjadi terbangun saat mendengar pembicaraan kawan-kawannya.
“Baru saja kita kehilangan Ki Gede Menoreh, bahkan makamnya pun masih merah, sekarang kita harus kehilangan orang lain yang telah berjasa pula bagi tanah kita tercinta ini”.
“Kau benar. Meskipun Ki Jayaraga awalnya bukan siapa-siapa di tanah ini, tapi seiring dengan berjalannya waktu dia banyak berkorban bagi tanah ini, bahkan hingga mengorbankan jiwa dan raganya demi tegaknya tanah ini, dan semua itu dilakukannya tanpa pamrih”.
“Kita sangat beruntung telah kedatangan orang-orang baru yang dengan tulus berkorban apapun pada tanah ini, dan ini bisa kita jadikan pelajaran, khususnya orang-orang yang berasal dari tanah ini untuk lebih mencintai tanah kelahirannya”.
“Kakang benar, jika bukan kita? siapa lagi yang akan mencintai tanah ini?”.
Sementara di rumah Nyi Pandan Wangi semakin banyak orang berdatangan meskipun waktu semakin menjauhi tengah malam. Mereka ingin menyampaikan belasungkawa atas wafatnya Ki Jayaraga.
Ketika matahari terbit semakin banyak orang berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Jayaraga, baik dari orang biasa hingga para bebahu pun memerlukan datang pula.
“Ki Untara, tempat pemakaman bagi Ki Jayaraga telah siap”. berkata salah satu pengawal yang bertugas membuat peristirahatan terakhir bagi guru Ki Lurah Glagah Putih tersebut.
“Terima kasih atas laporanmu, jika demikian sebentar lagi kita akan bersiap untuk berangkat ke pasarean”.
Setelah semuanya telah siap, mereka pun segera mengantarkan Ki Jayaraga ke peristirahatan terakhirnya yang kebetulan di area pemakaman yang sama dengan Ki Gede Menoreh kemarin, bahkan Ki Jayaraga yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri akan dimakamkan tidak jauh dari Ki Argapati.
Meskipun Ki Jayaraga sendiri tidak mempunyai sanak kadang di Tanah Perdikan Menoreh selain hanya seorang murid yang menjadi prajurit Mataram yang kini sedang bertugas ke bang wetan tapi hampir semua orang sekitar tempat tinggalnya merasa seperti keluarganya sendiri.
Mungkin sama seperti nasehat orang tua yang mengatakan bahwa jika harimau mati akan meninggalkan belangnya, gajah mati akan meninggalkan gadingnya, dan manusia mati akan meninggalkan namanya. Jika seseorang pada semasa hidupnya berkelakuan baik, maka akan terlihat pada saat orang tersebut wafat.
Di sela-sela penyelenggaraan pemakaman, banyak pula orang yang membicarakan segala kebaikan Ki Jayaraga pada semasa hidupnya, apalagi bagi orang-orang tua yang lebih mengenal sosok guru dari Ki Lurah Glagah Putih tersebut.
Setelah pemakaman itu selesai, satu persatu orang mulai meninggalkan tempat itu hingga akhirnya hanya tinggal beberapa orang, salah satunya adalah Arya Nakula yang paling merasa kehilangan orang yang sudah dianggap seperti kakeknya sendiri.
Anak Ki Lurah Glagah Putih itu seperti belum bisa menerima kenyataan bahwa Ki Jayaraga telah tiada. Dia masih duduk bersimpuh di sebelah pusara yang masih merah dengan dikawani ibunya dan Bagus Sadewa di sebelahnya.
Nyi Pandan Wangi yang melihat Arya Nakula berbuat demikian merasa terenyuh hatinya, dan dia juga bisa merasakan apa yang anak itu rasakan karena beberapa hari yang lalu pun dirinya mengalami hal yang sama.
Ibu Sekar Wangi itu mendekati Arya Nakula yang masih duduk bersimpuh, lalu memegangi kedua pundaknya.
“Aku mengerti perasaanmu ngger, tapi kita tidak boleh terlalu terlarut dalam kesedihan yang berlebihan, karena sebaik-baiknya kesedihan adalah dengan cara kita menjalankan pesan-pesan dan harapan kakekmu semasa hidupnya”.
Arya Nakula hanya menoleh sejenak tanpa memberikan tanggapan sama sekali, hati dan pikirannya masih belum bekerja dengan sewajarnya karena kehilangan kakeknya.
“Tabahkanlah hatimu ngger, kita semua sangat bersedih pula atas kepergian kakekmu, tapi kami semua belajar untuk merelakannya karena kita semua tidak bisa menghindari pepesthen dari Yang Maha Agung”.
“Marilah ngger kita pulang”. berkata Nyi Lurah Glagah Putih yang melihat anaknya sudah mulai berkurang kesedihannya.
Arya Nakula yang masih ragu meninggalkan tempat itu menatap ibunya sejenak.
“Marilah ngger, tidak ada gunanya kau menangisi kakekmu sepanjang hari disini, karena itu tidak akan membuat kakekmu kembali lagi”. berkata Nyi Lurah Glagah Putih lagi.
Akhirnya Arya Nakula pun perlahan-lahan mulai beranjak dari tempat itu dengan perasaan ragu. Berbagai kenangan yang dilalui bersama kakeknya masih sangat jelas dalam ingatannya.
“Adi, kita memang sedang berduka, tapi kau tidak perlu terlarut dalam kesedihan yang berkepanjangan”. ucap Bagus Sadewa yang berjalan di sebelah Arya Nakula.
Cucu Ki Tumenggung Purbarumeksa itu menoleh ke arah kakak sepupunya dengan tatapan lesu, tak sepatah kata pun yang ingin diucapkannya selain hanya mendengarkan orang lain bicara kepadanya.
Hampir di sepanjang jalan pulang Arya Nakula tak berbicara sama sekali, bahkan setelah tiba di rumah Nyi Pandan Wangi pun dia lebih senang menyendiri di gandok, bekas pembaringan terakhir Ki Jayaraga sebelum dimakamkan.
Bagus Sadewa yang tidak sampai hati melihat adik sepupunya tersebut terlarut dalam kesedihan berniat mengawaninya serta berusaha menghiburnya pula.
“Adi, kau termasuk beruntung dapat melihat kakek-kakekmu, berbeda dengan aku yang sama sekali tidak pernah melihat wajah kakekku, dan aku hanya tahu dari cerita orang-orang tua saja”.
Arya Nakula yang sedang merebahkan tubuhnya di pembaringan, menatap kakak sepupunya yang duduk di bibir pembaringan, lalu menatap langit-langit gandok.
“Meskipun kata ayah dan ibu kakek Jayaraga bukanlah kakek kandungku, tapi dari kecil justru kakek Jayaraga lah yang momong aku, bukan kakek Widura ataupun kakek Purbarumeksa”. berkata Arya Nakula yang mulai mau membuka suara.
“Aku pernah mendengarnya pula dari orang tuaku, bahwa Ki Jayaraga adalah guru dari ayahmu”.
Arya Nakula hanya mengangguk perlahan mendengar ucapan kakak sepupunya.
“Sekarang tidak ada lagi tempat bagiku untuk berlindung ketika dimarahi ibu”.
“Apakah kau sering dimarahi ibumu?”.
“Cukup sering kakang”.
“Berarti kau sering berbuat nakal atau sering melanggar larangan dari ibumu?”.
Arya Nakula yang tidak menduga pertanyaan itu menjadi tertawa.
“Kata kakek Jayaraga waktu dulu aku kecil sering dimarahi ibuku, apalagi jika ikut pergi ke sawah, hampir setiap pulang dari sawah bersama kakek Jayaraga sekujur tubuhku basah kuyup dan penuh lumpur”.
“Apakah dulu Ki Jayaraga tidak melarangmu?”.
“Aku tidak mampu mengingatnya kecuali hanya samar-samar saja, katanya kakek Jayaraga sudah melarangku untuk ikut terjun ke sawah tapi aku saja yang tidak mau mendengarnya, sehingga ketika pulang aku mendapat amarah dari ibu”.
“Pantas saja ibumu menjadi marah”. sahut Bagus Sadewa sembari tersenyum.
“Pernah juga aku dimarahi ibu, karena katanya dulu aku suka mengganggu ayam-ayam tetangga yang sedang mengerami telurnya di petarangan”. ucap Arya Nakula yang tidak dapat menahan tawa karena teringat kelakuannya sendiri pada waktu masih kecil.
“Ah.. dasar kau”.
Arya Nakula justru semakin keras tertawanya mendengar makian kakak sepupunya tersebut.
* * *
Sementara itu di perkemahan pasukan Mataram yang berada di bang wetan menjadi semakin sibuk untuk mempersiapkan diri menghadapi perang melawan pasukan Kadipaten Wirasaba.
Para prajurit bahu membahu mempersiapkan segala keperluan perang seperti memeriksa kembali senjata yang akan dipergunakan nantinya pada saat turun ke medan, tak lupa berbagai panji-panji kebesaran pasukan Mataram seperti umbul-umbul, rontek, dan kelebet.
Selain para prajurit tingkat bawah yang menjadi sibuk, para senopati prajurit pun tidak kalah menjadi sibuk dengan mempelajari kekuatan lawan lewat para prajurit sandi yang telah disebar, kemudian mereka mempersiapkan diri bagaimana harus dapat mengalahkan pasukan calon lawan.
Untuk menghadapi perang besar memang dibutuhkan perhitungan yang cermat, apalagi itu menyangkut nasib bahkan nyawa banyak orang yang harus dipertanggung jawabkan.
Ki Tumenggung Suratani sedang memimpin pertemuan di sebuah perkemahan dengan para senopati Mataram guna mempersiapkan diri menghadapi perang yang akan segera mereka hadapi bersama.
“Menurut dugaanku, Panembahan Hanyakrakusuma akan segera hadir di tengah-tengah kita tapi aku sendiri belum tahu kapan waktunya karena hingga saat ini belum ada laporan mengenai keberadaannya”.
“Aku sependapat dengan Ki Tumenggung Suratani, meskipun sampai sekarang belum ada tanda-tanda”.
“Tapi aku rasa kita jangan terlalu menggantungkan kedatangan Panembahan Hanyakrakusuma sehingga kita lupa membuat perhitungan-perhitungan akan tugas kita sendiri. Sebelum Kanjeng Sinuhun benar-benar datang aku tetap yang akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan seluruh pasukan ini”.
Orang-orang yang mendengar ucapan Ki Tumenggung Suratani pun hanya mengangguk tanpa menjawab.
“Ki Lurah Glagah Putih, bagaimana perkembangan laporan dari para prajurit sandi?”. bertanya Senopati Agung tersebut.
“Berdasarkan laporan yang aku terima, pasukan Wirasaba sudah semakin mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi perang ini dengan membuat perkemahan sementara di ujung padang perdu ini”.
“Seberapa besar pasukan Wirasaba?”.
“Sedikit lebih besar dari pasukan kita disini”.
“Ada berapa nama yang harus kita perhitungkan dalam pasukan Wirasaba?”.
“Kekuatan Wirasaba selain Ki Patih Rangga Permana itu sendiri, masih ada beberapa Tumenggung, dan terdapat pula bantuan dari beberapa orang pemimpin padepokan yang tidak bisa kita anggap remeh, seperti Ki Alap-alap Jati Ombo, Ki Cangkring Giri, dan masih banyak lagi”.
Ki Tumenggung Suratani yang mendengar keterangan itu sejenak terdiam, hanya kepalanya saja yang mengangguk perlahan sembari ngenam-nam pikir untuk mengambil keputusan yang paling baik bagi pasukannya.
“Yang masih mengganggu pikiranku adalah bagaimana kita meredam meriam? karena jika kita biarkan pasti akan sangat membahayakan pasukan kita, sedangkan untuk memberikan tugas kepada beberapa orang itu akan sangat berbahaya pula karena senjata itu pasti akan dijaga orang-orang linuwih?”.
“Meskipun itu sangat berbahaya, tapi jika itu memang langkah yang paling baik, perlu kita coba Ki Tumenggung Suratani”. sahut Ki Lurah Glagah Putih.
Orang-orang yang mendengar jawaban itu seketika memandang ke arah sumber suara. Bagi mereka yang berbicara itu memang tidak lebih dari seorang lurah prajurit, tapi kemampuan dan wawasannya sangat mungkin sekali bisa disejajarkan dengan orang-orang penting di tempat tersebut.
“Menurut perhitunganmu, apa yang harus kita lakukan?”.
“Kita harus bisa menyusup di antara pasukan mereka dan melumpuhkan orang-orang yang ditugaskan mempergunakan meriam”. sahut Ki Lurah Glagah Putih.
“Tapi meriam itu pasti akan diletakkan di belakang pasukan lawan dengan penjagaan yang ketat, bahkan dari orang-orang berilmu tinggi sekalipun”.
“Meskipun itu akan sama-sama berakibat buruk, bukankah kita bisa memperhitungkan akibatnya akan lebih buruk yang mana?”.
“Kau benar Ki Lurah, sebelum aku tunjuk siapa yang akan menjalankan tugas tersebut, aku ingin bertanya kepada kalian lebih dahulu siapa yang kira-kira bersedia?”.
“Aku bersedia Ki Tumenggung Suratani”. sahut Ki Lurah Glagah Putih cepat.
“Apakah kau sudah menyadari segala bahaya yang bakal menunggumu disana?”.
“Sudah Ki Tumenggung, dan aku pasrahkan hidup matiku kepada Yang Maha Agung”.
Sejenak tempat itu menjadi sunyi karena tidak ada yang membuka suara. Tapi mereka tiba-tiba dikejutkan oleh suara yang berasal dari luar perkemahan.
“Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma berkenan hadir”.
Orang-orang yang berada di perkemahan menjadi sangat terkejut dengan suara yang datang secara tiba-tiba tersebut, tapi mereka adalah prajurit yang sangat terlatih sehingga tidak menjadi gugup dalam menanggapi keadaan.
Dengan cepat semua prajurit segera membentuk barisan untuk memberikan penghormatan bagi kedatangan pepunden mereka, tidak terkecuali yang sedang melaksanakan tugas seketika ditinggalkannya.
Tidak beberapa lama setelah seorang prajurit memberitahukan kedatangan Panembahan Hanyakrakusuma, terdengar derap kaki kuda beberapa ekor mulai mendekati perkemahan tersebut.
Para prajurit yang menyambut kedatangan pemimpin tertinggi Mataram itu dengan berjongkok sembari menghaturkan sembah di sepanjang jalan yang akan dilalui.
Tapi sebelum memasuki area perkemahan, Kanjeng Sinuhun lebih dahulu turun kudanya yang disambut oleh seorang prajurit yang sebelumnya lebih dahulu menghaturkan sembah.
“Terima kasih atas kesigapan kalian dalam menyambutku, tapi perlu kalian ingat bahwa sekarang kita sedang berada di wilayah yang sangat berbahaya, jadi jangan sampai segala subasitha kalian mengurangi kewaspadaan pada lingkungan sekitar”.
“Sendika dawuh Kanjeng Sinuhun”. sahut Ki Tumenggung Suratani yang telah ditunjuk sebagai Senopati Agung sementara sebelum kedatangan Panembahan Hanyakrakusuma itu sendiri.
“Terima kasih Ki Tumenggung Suratani”.
“Marilah Kanjeng Sinuhun, para Pangeran, dan Ki Sanak semua yang baru saja datang untuk segera beristirahat setelah melakukan perjalanan yang panjang dan tentu saja sangat melelahkan”.
Kemudian rombongan Kanjeng Sinuhun Mataram beserta pasukan kecilnya yang baru saja datang segera saja diajak oleh Ki Tumenggung Suratani ke sebuah perkemahan yang terlihat paling besar dan paling bagus.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, jika tempat ini kurang pantas diperuntukkan bagi Panembahan dan para Pangeran”.
“Apakah Ki Tumenggung lupa jika aku juga seorang prajurit?”.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, maksud hamba…”.
“Sudahlah Ki Tumenggung Suratani, sebaiknya untuk sementara kita lupakan dulu subasitha yang berlebihan, karena kita sekarang sedang dalam suasana perang. Meskipun perang itu sendiri belum pecah, tapi kita harus tetap selalu waspada sepanjang waktu”.
“Sendika dawuh”.
Belum sempat pembicaraan mereka berlanjut, dua orang prajurit datang dengan membawakan minuman hangat dan beberapa potong ketela rebus yang ditaburi parutan kelapa muda bagi orang-orang yang baru saja datang.
Dua orang prajurit yang menyuguhkan minuman dan makanan tersebut berjalan dengan kedua lututnya ketika memasuki perkemahan tempat Panembahan Hanyakrakusuma beristirahat.
“Aku perintahkan kepada kalian semua, untuk sementara kalian aku perkenankan untuk mengurangi segala subasitha yang berlebihan, karena kita dalam suasana perang. Jangan sampai karena kalian memegang teguh segala subasitha seperti layaknya di Kotaraja kalian menjadi kehilangan kepala kalian”.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, mohon petunjuknya”. sahut Ki Tumenggung Suratani yang merasa mewakili seluruh prajurit sembari menakupkan kedua tangannya di depan dada.
“Menurutku di dalam pasukan perang itu tidak ada namanya antara raja dengan kawulanya, yang ada hanya senopati dengan anak buahnya. Aku rasa Ki Tumenggung Suratani mengerti maksudku”. jawab Kanjeng Sinuhun, lalu meneguk minuman hangatnya yang baru saja datang.
“Hamba mengerti”.
“Nah… beritahukanlah kepada yang lain tentang hal ini selama perang terjadi”.
“Sendika dawuh”.
Pembicaraan itu sempat terhenti sejenak karena diselingi dengan menikmati ketela rebus dan minuman hangat yang baru saja datang. Meskipun Panembahan Hanyakrakusuma adalah orang yang paling dihormati di seluruh tlatah Mataram tapi tidak merasa canggung ketika berbaur dengan para prajuritnya, seperti makan dan minum seadanya.
Justru pemandangan yang tidak biasa itu membuat canggung para prajurit yang melihatnya, kecuali para Pangeran yang menyertainya.
Panembahan Hanyakrakusuma yang tanggap akan sikap para prajuritnya menjadi tertawa, yang membuat prajurit yang melihatnya semakin dibuatnya kebingungan.
“Apakah kalian menjadi heran melihat apa yang aku lakukan?”.
“Ampun Kanjeng, kami tidak dapat menyediakan suguhan yang lebih pantas”. sahut Ki Tumenggung Suratani yang justru membuat cucu Raden Sutawijaya tersebut tertawa semakin keras.
“Jangan kalian kira aku ini seorang raja yang hanya tahunya dunia kemewahan dengan segala isinya. Perlu kalian tahu bahwa aku juga seorang prajurit, selain itu aku juga adalah orang yang terbiasa menjalani laku prihatin, apalagi pada saat aku ingin meningkatkan ilmuku. Bukankah begitu paman Pangeran Pringgalaya?”.
“Benar ngger”. sahut Pangeran Pringgalaya sembari tersenyum.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, mungkin kami saja yang masih merasa aneh, karena tidak pernah melihatnya sebelum ini”.
“Ya… aku baru menyadarinya jika di antara kalian jarang sekali yang melihatku saat menjalani laku”.
Setelah suasana hening sejenak, Panembahan Hanyakrakusuma kembali bicara, “Aku ingin mendengar laporan tentang kekuatan calon lawan kita dan sudah sejauh mana persiapan kita untuk menghadapi perang ini?”.
Kemudian Ki Tumenggung Suratani menyampaikan laporannya kepada senopati tertinggi Mataram yang didengar pula oleh orang-orang yang berada di tempat tersebut.
Kanjeng Sinuhun Mataram itu mendengarkan dengan seksama yang disampaikan prajuritnya, sesekali dia mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengernyitkan keningnya.
“Sementara baru itu yang dapat hamba laporkan”. berkata Ki Tumenggung Suratani mengakhiri laporannya.
“Meskipun aku bukanlah orang yang mumpuni seperti Swargi Eyang Buyut Mandaraka dalam perang, tapi aku akan berusaha menjadi senopati yang baik bagi kalian semua. Ada satu hal yang menarik bagiku berdasarkan laporan Ki Tumenggung Suratani”.
Setelah lebih dahulu meneguk minuman hangatnya. lalu lanjutnya, “menurut perhitunganku, meskipun senjata bedil adalah senjata yang sangat nggegirisi tapi kemungkinan akan bisa kita atasi karena sebuah bedil hanya akan bisa dibawa satu prajurit dan hanya mampu membunuh satu orang dalam sekali serangan, berbeda sekali dengan meriam yang pasti akan dijaga beberapa orang dan akibatnya pun bisa membunuh sekelompok prajurit dalam sekali serangan dalam jarak yang sangat jauh”.
“Demikianlah Kanjeng Sinuhun”.
“Lalu bagaimana menurutmu untuk kita bisa mengatasi meriam yang berjumlah tiga buah itu Ki Tumenggung Suratani?”.
“Meskipun akan sangat berbahaya, kita harus memerintahkan sekelompok kecil prajurit, untuk melumpuhkan orang-orang yang menguasai tiga meriam itu Kanjeng”.
“Apakah kau sudah pikirkan pula tentang keselamatan orang yang kau perintahkan?”.
“Sudah Kanjeng, karena ini adalah tugas yang sangat berbahaya maka dari itu yang menjalankan perintah ini harus orang-orang pilihan, terutama kemampuannya secara pribadi”.
“Lalu siapa orang-orang yang menurutmu pantas untuk mengemban tugas ini?”.
“Tadi sebelum kedatangan Kanjeng Sinuhun, sebenarnya kami sempat membicarakannya, dan sudah ada satu orang yang bersedia mengemban tugas ini”.
“Siapa?”.
“Ki Lurah Glagah Putih”.
“Ki Lurah Glagah Putih?”. berkata Kanjeng Sinuhun mengulangi perlahan.
“Ampun Kanjeng, meskipun pangkatnya tidak lebih dari seorang lurah prajurit, tapi kemampuannya secara pribadi bisa menjadi pertimbangan”.
“Apakah orang yang kau maksud itu adalah adik sepupunya Ki Agung Sedayu?”.
“Benar Kanjeng Sinuhun”.
Panembahan Hanyakrakusuma yang mendengar jawaban tersebut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja tanpa menanggapi lebih jauh, tapi seperti ada yang dipikirkannya.
“Tolong panggilkan Ki Lurah Glagah Putih, ada yang ingin aku bicarakan”. berkata Kanjeng Sinuhun kemudian.
“Sendika dawuh”.
Ki Tumenggung pun segera beranjak dari tempat duduknya, lalu memerintahkan salah satu prajurit untuk memanggil Ki Lurah Glagah Putih diminta untuk segera menghadap.
Tidak lama kemudian ayah Arya Nakula pun datang untuk menghadap senopati tertinggi Mataram, dia pun segera mendekat dengan berjalan di atas lututnya seraya menghaturkan sembah.
“Atas perintah Kanjeng Sinuhun hamba menghadap dan siap menerima dawuh”.
“Ki Lurah Glagah Putih, apakah benar kau telah bersedia mengemban tugas untuk melumpuhkan meriam pasukan lawan?”.
“Benar Kanjeng”.
“Apakah kau menyadari bahaya yang bakal kau hadapi?”.
“Sudah Kanjeng”.
“Baiklah, aku percayakan tugas ini kepadamu dan aku persilahkan kau memilih sendiri kawan yang akan kau bawa, paling tidak kau perlu tiga orang kawan lagi untuk mengemban tugas yang sangat berbahaya ini. Apakah sekarang kau sudah ada gambaran nama-nama yang akan kau ajak serta?”.
“Ampun Kanjeng, jika diperkenankan hamba ingin mengajak salah satu perwira bawahan Ki Tumenggung Suratani, Ki Rangga Sabungsari, dan Umbara”.
“Umbara? siapa Umbara? nama itu masih terasa asing bagiku”.
“Wajar sekali jika nama itu masih asing bagi Kanjeng Sinuhun, karena dia memang belum lama menjadi prajurit Mataram”.
“Apakah kau tidak salah pilih kawan?”.
Ki Lurah Glagah Putih yang tanggap akan maksud senopati tertinggi Mataram tersebut segera menjelaskan.
“Ampun Kanjeng, meskipun dia termasuk prajurit yang baru tapi hamba sudah sangat mengenalnya secara pribadi, karena dia adalah keponakan hamba sendiri”.
“Keponakanmu? setahuku kau hanya mempunyai dua orang saudara”.
“Benar Kanjeng, Umbara adalah anak pertama dari kakang Untara yang telah purna tugas dari keprajuritan. Dan kebetulan Umbara adalah salah satu cantrik di Padepokan Orang Bercambuk”.
“Aku semakin mengerti mengapa dulu paman Pangeran Rangga suka bersahabat denganmu dan Swargi Eyang Mandaraka suka menyebut namamu”.
Ki Lurah Glagah Putih yang terkejut akan ucapan tersebut secara naluriah mengangkat wajahnya, tapi cepat-cepat ditundukkannya kembali karena pada saat yang sama Panembahan Hanyakrakusuma menatapnya pula sembari tersenyum.
“Baiklah, aku setuju dengan pendapatmu dan aku izinkan kau melaksanakan tugasmu tanpa terikat pasukanmu pada saat nanti pecah perang, tapi jika kau menemui kekuatan yang tidak teratasi segera berikan isyarat kepada prajurit penghubung agar segera mendapatkan bantuan”.
“Terima kasih Kanjeng, hamba akan selalu mengingatnya”.
“Aku kira kita sudah mengurai satu persatu masalah yang bakal kita hadapi meskipun itu masih berupa usaha. Sekarang aku ingin memerintahkan beberapa prajurit untuk menyampaikan nawala kepada Adipati Wirasaba”.
Orang-orang menjadi saling pandang mendengar hal itu, tapi mereka masih belum berani membuka suara. Meskipun Kanjeng Sinuhun mengerti akan sikap para prajuritnya, tapi setelah memandang berkeliling dilanjutkan lagi kata-katanya.
“Lewat nawala itu aku ingin menyampaikan kepada Adipati Wirasaba bahwa Mataram tidak pernah ingin bermusuhan dengan pihak manapun apalagi ingin menjajah, sama sekali bukan itu maksudku yang sesungguhnya, tapi Mataram ingin mengajak bekerjasama untuk kemajuan bersama menuju nuswantara yang gemah ripah loh jinawi”.
Setelah sejenak suasana menjadi hening karena tidak ada yang menanggapi, Panembahan Hanyakrakusuma kembali melanjutkan kata-katanya.
“Sebenarnya aku tidak suka dengan adanya peperangan, apalagi harus dengan mengorbankan banyak nyawa kawulaku, makanya aku berusaha sejauh mungkin untuk mengurangi korban yang bakal jatuh dengan caraku. Tapi jika cara yang aku anggap paling baik ini mereka tolak, apa boleh buat jika kita harus beradu dada. Karena aku paling tidak suka dengan sebuah penolakan, apalagi penolakan pada sebuah gegayuhan yang luhur”.
“Ini bukanlah gegayuhanku secara pribadi, tapi ini adalah gegayuhan pemimpin-pemimpin Mataram sebelum aku, dan aku hanya melanjutkan gegayuhan leluhur yang belum sempat terlaksanakan karena Eyang Panembahan Senopati dan Rama Panembahan Hanyakrawati lebih dahulu dipanggil Yang Maha Agung untuk selama-lamanya”.
“Maaf Angger Panembahan, siapakah kira-kira yang akan diutus untuk menyampaikan nawala tersebut”. berkata Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Aku rasa orang yang paling tepat adalah Ki Tumenggung Suratani dengan dikawani beberapa orang”.
Ki Tumenggung Suratani yang terkejut namanya disebut seketika mengangkat wajahnya, tapi segera ditundukkan lagi.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, pada dasarnya hamba akan selalu menjunjung tinggi segala titah, tapi untuk urusan ini apakah hamba sudah sepantasnya mengemban tugas ini?”.
Panembahan Hanyakrakusuma tersenyum mendengar ucapan pemimpin pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh tersebut. Lalu katanya, “aku kira memang kau lah orang yang paling pantas mengemban tugas ini Ki Tumenggung Suratani, karena tidak mungkin jika aku sendiri atau bahkan salah satu dari paman Pangeran yang menyertaiku”.
“Angger Panembahan benar Ki Tumenggung Suratani, karena jika dilihat dari segala sisi memang kau lah yang paling pantas mengemban tugas ini”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Jika demikian hamba hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kepercayaan ini, dan semoga hamba bisa melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya”.
“Kau tidak perlu khawatir akan keselamatanmu Ki Tumenggung Suratani, karena aku yakin mereka juga pasti mengerti paugeran perang, sehingga mereka tidak akan berani mengusik seorang utusan karena mereka pasti tahu akibatnya”.
“Hamba tidak pernah merasa ketakutan dengan apa yang hamba lakukan Kanjeng, karena hamba selalu menyerahkan hidup dan mati kepada Yang Maha Agung”.
“Syukurlah jika demikian, dengan begitu kau akan semakin mantap dalam melaksanakan tugas-tugasmu, karena tidak di bayang-bayangi oleh kecemasan ataupun ketakutan”.
“Menurut paman Pangeran bertiga, kapan waktu yang paling baik untuk Ki Tumenggung Suratani melaksanakan tugasnya?”.
“Menurutku waktu yang paling baik adalah besok pagi, setelah matahari terbit beberapa saat. Bagaimana dengan pendapat dimas Pangeran Pringgalaya dan dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil?”.
“Aku sependapat dengan kangmas Pangeran Puger”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Aku sependapat pula, dengan demikian kita mempunyai waktu untuk semakin mematangkan persiapan, selain itu kita mempunyai waktu istirahat yang cukup”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Baiklah, aku kira kita semua sudah sependapat. Sekarang kita tinggal mencari orang yang akan mengawani Ki Tumenggung Suratani”.
“Angger Panembahan akan memerintahkan berapa orang?”. bertanya Pangeran Puger.
“Tiga orang paman”.
“Jika empat orang, menurut pendapatku paling tidak satu orang lagi haruslah yang mempunyai kedudukan kurang lebih seimbang dengan Ki Tumenggung Suratani, agar mereka tidak merasa direndahkan”.
Kanjeng Sinuhun sejenak mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan tersebut.
“Besok Ki Tumenggung Suratani akan dikawani Ki Tumenggung Prayabuana dan Ki Tumenggung Sanggawira”.
“Segala titah Kanjeng Sinuhun akan selalu hamba junjung tinggi”. sahut Ki Tumenggung Suratani.
“Sebaiknya tolong panggilkan keduanya sekarang, agar aku tidak perlu mengulangi perintah ini”.
“Sendika dawuh”. sahut Ki Tumenggung Suratani.
Tapi baru saja dia akan beranjak dari tempat duduknya, Ki Lurah Glagah Putih mencegahnya.
“Biar aku saja”.
“Baiklah”. sahut Ki Tumenggung Suratani yang sudah akan beranjak dari tempat duduknya tapi diurungkannya.
Tidak lama kemudian Ki Lurah Glagah Putih telah kembali bersama dengan orang yang dicarinya, mereka pun segera mendekat dan tidak lupa menghaturkan sembah kepada pemimpin tertinggi Mataram tersebut.
“Ki Tumenggung Prayabuana dan Ki Tumenggung Sanggawira, ketahuilah bahwa besok pagi setelah matahari terbit aku perintahkan kalian berdua untuk mengawani Ki Tumenggung Suratani sebagai duta utusan Mataram untuk menyampaikan nawala kepada Adipati Wirasaba”.
“Sendika dawuh Kanjeng Sinuhun”. jawab kedua Tumenggung itu hampir berbarengan.
“Kalian tinggal menyesuaikan diri dengan Ki Tumenggung Suratani, karena dia lah yang paling bertanggung jawab mengemban tugas ini dariku”.
Panembahan Hanyakrakusuma yang tanggap akan sikap kedua prajuritnya tersebut segera membuka suara.
“Kalian tidak perlu khawatir akan keselamatan kalian, karena aku yakin orang-orang Wirasaba adalah orang-orang yang mengenal paugeran perang, sehingga mereka akan berpikir seribu kali untuk mengusik kalian apalagi sampai mencelakai kalian selama menjadi duta utusan”.
“Kami akan selalu menjunjung tinggi segala titah dari Kanjeng Sinuhun, meskipun kami harus mempertaruhkan keselamatan kami”. sahut Ki Tumenggung Sanggawira.
“Aku atas nama seluruh kawula Mataram sangat berterima kasih atas kesetiaan kalian semua”.
* * *
Sementara itu di Kotaraja Kadipaten Wirasaba sedang ada pertemuan bagi orang-orang penting kadipaten dan beberapa pemimpin padepokan yang diundang langsung oleh Kanjeng Adipati Wirasaba sehubungan dengan kedatangan pasukan Mataram yang berjumlah segelar sepapan.
Mereka semakin memantapkan segala persiapan, dan memperhitungkan segala kemungkinan yang bakal terjadi pada saat pecah perang nanti.
“Terima kasih atas kedatangan kalian di ruang paseban ini. Aku mengundang kalian semua karena telah mendapat laporan bahwa pasukan Mataram telah tiba di Wirasaba, dan mereka telah membuat perkemahan di sebelah timur Kademangan Majasanga”. berkata Ki Patih Rangga Permana mengawali pembicaraan.
Setelah memandang berkeliling tidak ada tanggapan, Ki Patih Rangga Permana melanjutkan kata-katanya.
“Berdasarkan laporan prajurit sandi pada perkembangan yang terakhir, jumlah pasukan Mataram yang datang tidak lebih besar dari pasukan yang berhasil kita kumpulkan disini, bahkan bisa dikatakan lebih kecil dari pasukan Wirasaba meskipun tidak berselisih banyak”.
Ki Patih Rangga Permana berhenti sejenak dengan menarik nafas beberapa kali sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Tapi perlu aku ingatkan kepada kalian semua agar tidak terlena dengan jumlah pasukan yang ada, karena dalam sebuah perang besar segala kemungkinan masih bisa terjadi, terutama kemampuan secara pribadi dalam tubuh pasukan akan sangat berpengaruh sekali daripada jumlah yang lebih banyak sekalipun”.
Hampir semua orang yang mendengarkan sesorah dari Ki Patih Rangga Permana diam mengiyakan, tapi hanya mereka katakan kepada kawan-kawan terdekat dari tempat duduk masing-masing dengan cara berbisik-bisik.
“Aku berkata demikian bukan bermaksud mengecilkan arti kalian, tapi sebagai pengingat agar kita jangan mempunyai kepercayaan diri yang berlebihan sebelum memasuki medan perang yang sesungguhnya yang justru nantinya bisa membuat kita terjebak ke dalam kesulitan yang tidak teratasi”.
“Ampun Ki Patih Rangga Permana, bagaimana mungkin kita memasuki medan perang jika tanpa rasa kepercayaan diri? bukankah jika kita memasuki medan perang tanpa rasa kepercayaan diri sama artinya kita sudah menyurukkan setengah leher kita untuk dipenggal lawan?”.
“Kau benar Ki Alap-alap Jati Ombo, kita memang harus mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dan kawan-kawan seperjuangan kita. Tapi ingat, seperlunya saja. Jangan sampai kepercayaan diri yang berlebihan itu menjadikan kita kehilangan penalaran yang wajar sehingga kita salah menilai kemampuan lawan yang sedang kita hadapi”.
“Ki Patih benar, selain itu kita juga harus menapakkan kaki di segala medan dengan penalaran yang bening dan hati yang dingin. Karena jika kita tidak bisa menjaga itu maka kita sendiri yang nantinya akan terjerumus dalam kesulitan”. sahut Kyai Maruta yang berusaha menengahi.
“Aku kira semakin cepat kita menyelesaikan perang ini, maka akan semakin baik bagi kita semua, apalagi bagi para kawula alit yang untuk sementara telah diperintahkan mengungsi”.
“Aku setuju paman. Semoga secepatnya kita bisa mengusir pasukan Mataram yang telah berani mengusik wilayah kita, syukur-syukur kita bisa membuat mereka semua menjadi jera”. sahut Kanjeng Adipati yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri.
Ki Patih Rangga Permana yang mendengarnya seketika menoleh ke arah sumber suara tersebut, lalu tersenyum penuh arti.
“Untuk menyingkat waktu, hari ini aku perintahkan kepada kalian semua pasukan lengkap Wirasaba termasuk bala bantuan dari beberapa padepokan untuk segera mempersiapkan diri berangkat ke perkemahan sementara yang telah kita buat sekaligus yang kita jadikan batas terakhir garis peperangan untuk menyambut pasukan Mataram”.
“Apakah menurut paman, besok pagi Mataram sudah akan menyerang kita?”.
“Jika diambil kesimpulan dari beberapa laporan prajurit sandi, Hamba kira besok pagi Mataram belum ada tanda-tanda akan menyerang”.
“Mengapa tidak kita dahului saja untuk menyerang mereka Ki Patih Rangga Permana?”.
“Benar Ki Patih, aku sependapat dengan Ki Cangkring Giri”.
Sejenak suasana menjadi riuh setelah mendengar pendapat dari salah satu pemimpin padepokan yang membuat Ki Patih Rangga Permana sempat terdiam.
“Dengarlah semua. Ini adalah perang besar yang garang, bukan sekedar perang brubuh atau perang awur-awuran yang tanpa tujuan, selain itu kita juga harus memperhitungkan setiap korban yang akan kita pertaruhkan kita harus memikirkan semuanya dengan cermat”.
“Jika kita menunggu pasukan lawan menyerang, bukankah dengan demikian kita seperti sengaja membiarkan pasukan Mataram semakin mantap kedudukannya dan secara tidak langsung ini menggambarkan bahwa pasukan kita seperti kerbau yang dicucuk hidungnya?”. sahut Ki Alap-alap Jati Ombo.
“Tapi aku yakin bahwa mereka adalah kelompok prajurit yang terlatih dan sangat mengenal paugeran perang, mereka bukanlah sekelompok gegedug yang hanya bisa mengintai setiap kelengahan lawan dan mengesahkan berbagai cara yang mereka tempuh menurut pandangan mereka sendiri untuk membantai lawan-lawannya”.
“Ampun Ki Patih Rangga Permana, bukankah lebih baik jika kita mendahului serangan mereka?”.
“Aku mengerti maksudmu Ki Alap-alap Jati Ombo, dalam perang itu tidak ditentukan bagaimana kita memulainya, tapi bagaimana kita mengakhirinya”. sahut Ki Patih Wirasaba, lalu menarik nafas dalam beberapa kali.
Seketika semua menjadi terdiam setelah mendengar ucapan tersebut, berbagai tanggapan terpancar dari setiap orang yang hadir tapi hanya mereka simpan saja dalam hati masing-masing.
“Apakah masih ada pertanyaan yang lain?”. bertanya Ki Patih Rangga Permana.
Sepertinya sudah tidak ada lagi yang ingin mereka sampaikan kepada pemimpin tertinggi Wirasaba, karena sejenak menunggu tidak ada lagi yang membuka suara.
“Baiklah jika tidak ada lagi yang ingin kalian sampaikan, aku rasa pertemuan kali ini cukup sekian. Untuk selanjutnya, jika ada perkembangan keadaan yang harus segera aku sampaikan kepada kalian, maka akan kalian terima melalui prajurit penghubung. Kecuali jika ada kejadian khusus mungkin kita akan adakan pertemuan seperti ini lagi selama perang berlangsung”.
Tidak lama kemudian pertemuan di ruang paseban tersebut mulai membubarkan diri masing-masing dengan diawali Kanjeng Adipati Wirasaba dengan Ki Patih Rangga Permana.
Setelah mereka membubarkan diri dari ruang paseban, segeralah mereka bergabung kembali dengan kesatuan dan kelompoknya masing-masing untuk kemudian menjalankan perintah Ki Patih Rangga Permana untuk segera mempersiapkan diri dengan segala kelengkapannya berangkat menuju perkemahan sementara.
Semua orang menjadi sibuk karenanya, apalagi bagi mereka yang mendapatkan tugas untuk membawa segala perbekalan makanan, persenjataan, dan tidak lupa pula segala umbul-umbul, rontek, dan klebet yang harus mereka bawa menggunakan beberapa pedati.
Jarak antara Kotaraja dengan perkemahan sementara yang akan mereka tempati tidak terlalu jauh, tapi tetap saja tidak mudah untuk membawa begitu banyak barang bawaan.
Meskipun itu adalah pekerjaan yang berat, tapi bagi para prajurit itu sudah biasa mereka lakukan, bahkan mereka menganggap bahwa pekerjaan itu tidak seberat pada saat-saat mereka menjalani latihan keprajuritan.
Seluruh prajurit bahu membahu untuk segera menyelesaikan pekerjaan tersebut, karena mereka seperti dikejar waktu sehubungan dengan kedatangan pasukan lawan.
“Sebaiknya Angger Adipati tetaplah tinggal disini agar Kotaraja tidak menjadi kosong karenanya, meskipun kita tetap meninggalkan sekelompok prajurit, tapi tetap saja mereka memerlukan seorang pemimpin. Biarlah aku yang akan memimpin pasukan Wirasaba”. berkata Ki Patih Rangga Permana.
“Aku tahu maksud paman melarangku untuk ikut, karena jika aku ikut memasuki medan perang, aku hanya akan menjadi beban paman dan pasukan Wirasaba”.
Ki Patih Rangga Permana pun hanya bisa menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban keponakannya tersebut, dia seperti kehabisan kata-kata yang paling baik untuk mencegah tapi ucapannya jangan sampai menyinggung perasaan.
“Aku sama sekali tidak bermaksud demikian ngger”.
“Meskipun aku akan menjadi beban bagi kalian, tapi sebagai pemimpin aku tidak ingin dianggap lemah dengan bersembunyi dibalik punggung kalian pada saat-saat gawat seperti ini paman. Aku ingin jika kita mukti bersama, mati pun kita akan bersama-sama pula”.
“Ini adalah tanggung jawab kita bersama, bukan waktunya kita bicara masalah pribadi”.
“Jika ini adalah tanggung jawab kita bersama, berarti termasuk aku pula yang terlibat di dalamnya?”.
Ki Patih Rangga Permana seperti kehabisan kata-kata untuk mencegah keponakannya tersebut agar tetap berada di Kotaraja, sejenak suasana menjadi sunyi.
“Maafkan aku kangmas, jika aku tidak dapat menjaga anakmu dengan baik, meskipun anakmu masih sangat muda tapi sifat-sifat ksatria yang kau turunkan padanya sudah nampak sekali. Sehingga aku tidak dapat mengurungnya seperti burung”. membatin Ki Rangga Permana.
“Paman, diizinkan atau tidak aku akan tetap ikut ke medan”.
Pada akhirnya Ki Rangga Permana harus mengalah dengan keponakannya yang sangat berkeras hati tersebut. Karena sudah dengan berbagai cara dia mencegahnya tapi tetap saja tidak mampu menahan Adipati Wirasaba yang masih sangat muda itu.
“Baiklah, tapi sebelum berangkat temuilah ibumu untuk minta tambahan pangestu”.
“Tentu saja paman, aku tidak akan lupa untuk meminta doa restu kepada ibu”. sahut Adipati Wirasaba.
Tidak lama kemudian pembicaran itu berakhir dengan Adipati Wirasaba segera menemui ibunya yang sudah beberapa hari hampir tidak pernah keluar dari biliknya sejak mendengar kabar penyerangan dari pasukan Mataram.
Tok..tok..tok…
Dari dalam bilik tidak terdengar suara yang menanggapi setelah pintu diketuk, maka diketulah kembali pintu bilik tersebut.
“Siapa?”.
Terdengar pertanyaan dengan suara perlahan terdengar dari dalam bilik.
“Aku Ibu. Arya”.
Sejenak kemudian terdengar suara langkah kaki perlahan-lahan mendekati pintu bilik lalu membuka selarak yang memang terpasang dari dalam.
Ketika pintu bilik mulai terbuka, munculah seorang perempuan paruh baya yang pipinya basah oleh air mata. Tanpa sepatah kata pun perempuan tersebut kembali menuju amben yang terbuat dari kayu yang diukir dengan sangat indah.
Tapi perempuan paruh baya tersebut hanya duduk di bibir pembaringan dengan kedua pipinya yang masih basah. Anak laki-lakinya pun segera mendekat dan duduk di sebelahnya.
“Ibu aku akan ikut berangkat berperang bersama paman Rangga Permana”.
“Apakah pamanmu tidak mencegahmu ngger?”.
“Sebenarnya paman telah melarangku untuk turun ke medan Ibu, tapi akulah yang berkeras hati untuk ikut”.
Ibu Adipati Wirasaba mengusap air mata di pipinya dengan kedua tangannya. Lalu katanya, “kau belum saatnya memasuki medan perang yang garang ngger”.
“Ibu berkata demikian pasti karena melihat umurku yang masih sangat muda? tapi ibu lupa bahwa sekarang aku adalah pemimpin mereka, dan alangkah deksuranya jika aku hanya berdiam diri disini sedangkan diluar sana para kawulaku mempertaruhkan nyawanya demi aku”.
“Baiklah ngger jika kau memang itu kemauanmu, ibu tidak akan mencegahmu. Karena itu akan sia-sia saja”.
“Kedatanganku kemari adalah untuk minta tambahan pangestu kepada ibu, semoga perang segera berakhir dengan kemenangan dipihak kita”.
“Baiklah ngger, mari kita sama-sama nenuwun”.
Kemudian Adipati Wirasaba yang masih sangat muda tersebut meninggalkan tempat itu setelah berpamitan kepada ibunya lebih dahulu yang terlihat sudah semakin sepuh.
“Kangmas, tidak salah jika Arya adalah anakmu. Sifat-sifat yang ada padanya hampir tidak ada bedanya dengan dirimu, terutama sifat yang tidak mau hanya berpangku tangan pada saat kawulanya mendapat kesulitan”. membatin ibu Adipati Wirasaba.
Sementara Adipati Wirasaba sudah bergabung bersama dengan Ki Patih Rangga Permana dan yang lain yang telah bersiap untuk berangkat menuju perkemahan.
“Bagaimana tanggapan ibumu ngger?”.
“Ibu telah merestui keberangkatanku menuju medan perang paman”.
“Semoga pangestu dari ibumu semakin meringankan perjuangan kita dalam medan perang yang garang sekalipun”.
“Iya paman. Kita sama-sama nenuwun”.
“Baiklah, sebaiknya kita pun segera berangkat. Semoga menjelang matahari terbenam nanti pasukan kita sudah tiba semua di tempat tujuan, agar nantinya pasukan kita mempunyai waktu istirahat yang cukup sebelum memasuki medan”.
“Benar paman”.
Kemudian pasukan Wirasaba pun mulai bergerak menuju perkemahan yang telah disiapkan bagi seluruh pasukan dengan segala perlengkapannya.
Pasukan Wirasaba yang segelar sepapan itu mulai bergerak, banyaknya prajurit yang ada di dalam pasukan membuatnya seperti seekor ular raksasa yang berjalan perlahan.
Pasukan itu melewati beberapa padukuhan dan kademangan yang terlihat kosong karena memang telah ditinggalkan para penghuninya sehubungan dengan akan adanya perang antara dua pasukan yang sangat besar dan nggegirisi serta menakutkan bagi hampir setiap kawula alit.
Bahkan terlihat beberapa ternak terlihat dengan sengaja dibiarkan berkeliaran begitu saja karena pemiliknya tidak sampai hati jika harus mengurungnya dalam kandang untuk waktu yang lama atau bahkan tak terbatas karena tidak pernah tahu kapan perang itu sendiri akan berakhir.
Tapi pasukan Wirasaba tidak pernah mengusik milik kawula alit karena mereka sadar bahwa itu bukanlah hak mereka, dan mereka berharap pemiliknya akan segera kembali.
“Kau lihat kambing-kambing dan sapi itu?”.
“Aku melihatnya, memangnya kenapa?”.
“Aku menjadi kasihan, dengan adanya perang pemilik ternak pun harus merelakan ternak mereka tertinggal. Meskipun mereka masih ada harapan untuk memilikinya lagi tapi itu jika keberuntungan berpihak kepada mereka”.
“Kau benar, tapi apalah daya kita untuk menghindari perang yang bakal terjadi?”.
“Kita memang adalah orang-orang yang hanya mampu menjalankan perintah pemimpin tanpa mampu menolak ataupun berbuat sesuatu, karena kita hanyalah prajurit rendahan dan bukanlah seorang yang punya kuasa untuk menentukan sikap atas segala apa yang terjadi”.
“Penalaran kita hampir sama”.
Iring-iringan prajurit semakin lama semakin mendekati tempat tujuan, apalagi menjelang matahari terbenam hampir seluruh pasukan Wirasaba telah memasuki area perkemahan.
* * *
Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, tepatnya di rumah Nyi Pandan Wangi yang kini secara tidak langsung menjadi pengganti Ki Gede Menoreh.
Beberapa saat setelah matahari tenggelam mereka sedang berkumpul di ruang dalam setelah baru saja selesai makan malam bersama-sama, termasuk dengan adik-adik angkat Nyi Lurah Glagah Putih yang masih menginap.
Pada wajah Arya Nakula pun sudah terlihat berkurang kesedihannya karena kepergian Ki Jayaraga yang dipanggil Yang Maha Agung, bahkan sesekali sudah mulai terlihat senyum di bibirnya jika mendengar yang lain berkelakar.
“Kita memang tidak pernah tahu kapan kita akan menjalani pepesthen dari Yang Maha Welas Asih, tapi yang paling penting adalah bagaimana kita menentukan sikap setelah orang-orang yang selama ini dekat dengan kita pergi untuk selamanya”. berkata Ki Untara membuka pembicaraan.
“Benar sekali Ki Untara, karena kita hanya bisa menjalani segala yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung tanpa bisa meminta atau bahkan menolaknya”. sahut Ki Agahan.
“Karena jika Yang Maha Agung sudah berkehendak, apapun yang kita miliki tidak berarti lagi. Bahkan seandainya kita menguasai ilmu yang sudah sundul langit pun tetap tidak mampu menolong”.
“Disitulah terlihat kekerdilan kita semua jika sudah berhadapan dengan kuasa dari Yang Maha Agung”.
“Pandan Wangi, apakah kau telah mengutus seseorang untuk memberitahukan wafatnya ayahmu kepada Ki Gede Matesih?”. bertanya ayah Sekar Wangi kepada istrinya yang berada di sebelahnya.
“He.. aku justru melupakannya kakang. Sejak ayah mulai sakit pikiranku menjadi kalut, sehingga hal itu terlupakan dalam pikiranku. Semoga saja Ki Gede Matesih tidak menjadi tersinggung karenanya”.
“Semoga saja mereka bisa memaklumi alasan kita”.
“Iya kakang, karena jika kita mengirimkan utusan kesana sekarang pun sudah tidak pantas karena waktunya yang sudah terlalu jauh dari kejadiannya”.
“Semoga saja suatu hari nanti kita mempunyai waktu dan kesempatan yang paling baik untuk memberitahukan kepada mereka, karena bagaimanapun juga kita sudah seperti sebuah keluarga”.
Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan tentang hal-hal yang menarik bagi mereka hingga beberapa lama, hingga pada akhirnya mereka istirahat karena waktu sudah larut malam.
Arya Nakula yang masih merasa kehilangan Ki Jayaraga ingin beristirahat di gandok kiri, tempat dimana orang yang sudah di anggap seperti kakeknya sendiri menghembuskan nafas terakhir.
“Aku akan kawani kau”.
“Terima kasih kakang Bagus Sadewa, kita akan istirahat berdua di gandok kiri”. sahut Arya Nakula.
Lalu keduanya pun bergegas ke gandok kiri yang diterangi oleh lampu minyak yang diletakkan di ajuk-ajuk sudut ruangan. Mereka pun segera merebahkan diri di pembaringan yang tidak begitu luas tapi dengan alas tikar daun mendong yang baru saja diganti.
Sementara di bilik ruang dalam, Sekar Wangi tetap terlihat tertidur pulas meskipun diciumi ibunya yang baru saja datang bersama Nyi Sekar Mirah, Nyi Anjani, dan Ki Agung Sedayu.
“Malam ini kakang ajaklah Anjani istirahat di bilik sebelah”. berkata Nyi Pandan Wangi.
“Ah..”. terdengar suara desahan tertahan dari Nyi Anjani sembari wajahnya sedikit memerah.
“Kau kenapa Anjani?”. bertanya Nyi Sekar Mirah.
“Sebaiknya malam ini mbokayu Sekar Mirah saja yang kawani kakang Agung Sedayu di bilik sebelah”.
“Bukankah semalam aku sudah?”. sahut Nyi Sekar Mirah sedikit heran.
“Bukankah semalam mbokayu Sekar Mirah bersama mbokayu Pandan Wangi? pasti akan berbeda jika sendiri”.
“Ah.. kau sudah berani menggangguku rupanya?”.
“Aku tidak bermaksud mengganggu mbokayu Sekar Mirah, tapi bukankah benar apa yang aku katakan?”.
Nyi Sekar Mirah pun tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan serta merta, karena memang benar adanya apa yang dikatakan Nyi Anjani, maka dari itu ibu Bagus Sadewa menjadi salah tingkah sendiri di hadapan yang lain.
“Sudahlah mbokayu, kalian berdua istirahatlah di bilik sebelah”. ucap Nyi Anjani lagi.
Karena ibu Bagus Sadewa tidak segera menjawab, maka Ki Agung Sedayu lah yang kemudian berkata, “kalian tidak usah ribut, kalian saja yang istirahat di bilik sebelah, biar aku disini bersama Sekar Wangi”.
Tiba-tiba sebuah cubitan tangan mendarat di lengan kanan ayah Bagus Sadewa.
“Aduh..”. suara Ki Agung Sedayu yang mendapat hadiah cubitan.
“Apakah aku salah jika tidur dengan anakku sendiri?”.
Nyi Pandan Wangi dan Nyi Anjani hanya tersenyum, tapi tidak dengan Nyi Sekar Mirah yang nampak bersungut-sungut melihat tingkah laku suaminya.
“Sudahlah kakang, segeralah ke bilik sebelah, kasihan Sekar Mirah. Jika tidak mau langsung kakang gendong saja”.
“Aduh..” kali ini suara Pandan Wangi yang terdengar mengaduh tertahan karena mendapat cubitan pula.
“Kalian beraninya keroyokan”. ucap Nyi Sekar Mirah yang masih bersungut-sungut.
Ki Agung Sedayu hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan ketiga istrinya. Tapi tidak lama kemudian akhirnya dia pun mengajak Nyi Sekar Mirah untuk beristirahat di bilik sebelah.
Dengan perasaan enggan akhirnya Nyi Sekar Mirah pun menuruti ajakan suaminya yang telah menarik tangan kanannya untuk pergi ke bilik sebelah. Setelah keduanya keluar maka bilik itu pun segera di selarak dari dalam.
Kini hanya tinggal Nyi Anjani, Nyi Pandan Wangi, dan adik Bayu Swandana yang akan beristirahat di bilik tersebut. Kedua perempuan perkasa itu pun tidur di sebelah kanan dan kiri Sekar Wangi, tapi keduanya tidak dapat langsung tertidur pulas.
“Anjani…” ucap Nyi Pandan Wangi lirih.
“Ada apa mbokayu?”. bertanya Nyi Anjani yang membuka matanya kembali setelah tadi sudah sempat dipejamkan.
“Em…”.
“Mengapa tiba-tiba mbokayu seperti kakang Agung Sedayu?”.
Seketika wajah ibu Sekar Wangi menjadi bersemu merah, karena tiba-tiba lupa dengan apa yang akan dikatakannya.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu, tapi jika kau merasa keberatan untuk menjawabnya, tak perlu kau jawab”.
“Katakan saja mbokayu, semoga saja aku bisa menjawabnya”.
“Apakah hubunganmu dengan Eyang Mayangkara?”.
“Jika mbokayu ingin mengetahuinya akan aku ceritakan biar menjadi jelas, tapi ceritanya panjang. Aku khawatir ini akan menjadi cerita yang paling membosankan bagi mbokayu”.
“Jika kau tidak keberatan untuk bercerita, aku akan berusaha menjadi pendengar yang baik”.
Maka Nyi Anjani pun memulai ceritanya, dimulai dari pertama kali bertemu dengan Eyang Mayangkara, lalu kejadian-kejadian berikutnya secara runtut, hingga akhirnya dia sekarang telah menjadi istri ketiga Ki Agung Sedayu.
“Mengapa kau tidak merasa keberatan menceritakan semua itu kepadaku?”. sahut ibu Sekar Wangi setelah Nyi Anjani selesai bercerita.
“Karena aku sudah menganggap mbokayu adalah keluargaku, dan aku merasa tidak ada yang perlu lagi ditutupi dari keluargaku”.
“Terima kasih Anjani atas segala ketulusanmu. Meskipun masa lalumu begitu kelam tapi tidak membuat kelam pula hatimu seperti batu padas”.
“Semua itu terjadi sejak aku mengenal kakang Agung Sedayu, sebelum itu aku bisa dikatakan sebagai perempuan yang tidak berjantung kepada siapapun karena pengaruh kedua guruku”.
“Apakah itu ada hubungannya dengan kau yang dijadikan sebagai Putri Triman oleh Panembahan Hanyakrakusuma?”.
“Dulu awalnya aku memang menemukan kebahagiaan yang tak terhingga setelah bisa lepas dari kedua guruku yang berhati kelam dan ketika Raden Mas Rangsang pada waktu itu mengangkatku menjadi orang yang sangat terhormat. Tapi seiring dengan berjalannya waktu aku tidak bisa membohongi diriku sendiri”.
“Aku tahu maksudmu”. sahut Nyi Pandan Wangi yang mendengar Nyi Anjani diam sejenak.
“Raden Mas Rangsang mungkin pada waktu itu telah menangkap isyarat-isyarat yang terpancar dalam keseharianmu, dan dia tidak mau menerima pengabdian seseorang hanya dengan setengah hati. Sehingga dicarinya langkah yang paling baik untuk kebaikan semua dalam menyelesaikannya”.
“Mungkin kurang lebihnya demikian karena sejak adanya ontran-ontran menjelang wafatnya Panembahan Hanyakrawati aku mulai menyingkir ke Kendalisada, makanya aku sendiri tidak tahu pastinya seperti apa karena tiba-tiba suatu hari datang utusan yang diperintahkan menyusulku ke Kendalisada dan memberitahukan bahwa aku akan dijadikan Putri Triman setelah bayi yang aku kandung pada waktu itu lahir”.
“Bagaimana perasaanmu pada waktu itu?”.
“Tentu saja dalam hati aku ingin menolaknya, tapi itu tidak mungkin dapat aku lakukan karena aku sadar berhadapan dengan siapa. Akhirnya aku hanya bisa pasrah kepada Yang Maha Agung yang akan mengatur hidupku”.
“Apakah sejak awal kau sudah mengetahui akan dijadikan Putri Triman untuk siapa?”.
“Tidak mbokayu. Aku tidak pernah diberi tahu”.
“Sejak kapan kau mengetahuinya?”.
“Sejak hari pernikahanku”.
“Lalu bagaimana perasaanmu sekarang setelah semuanya sudah terjawab?”.
“Aku menyadari keadaanku sepenuhnya bahwa tidak mudah untuk menjalani ini semua, namun aku akan selalu belajar berbakti dan membahagiakan keluargaku sejauh kemampuanku. Apapun keadaannya”.
“Ternyata kau memiliki hati seluas lautan Anjani”.
“Bukan aku, tapi mbokayu berdualah yang memiliki hati seluas lautan itu, karena kalian berdualah yang lebih dahulu memiliki kakang Agung Sedayu, dan aku adalah orang terakhir bergabung dalam keluarga ini. Bahkan aku sempat berpikir jika mbokayu berdua tidak berkenan menerima kehadiranku, aku sudah pasrah”.
“Jika aku secara pribadi, aku akan tetap menerimamu dengan setulus hatiku Anjani, karena aku telah mengenal kakang Agung Sedayu seperti apa? namun jika bukan kakang Agung Sedayu, aku belum tahu apa yang harus aku lakukan”.
“Jika bukan kakang Agung Sedayu, mungkin aku juga akan berbuat seperti apa yang mbokayu lakukan”.
“Meskipun sekarang kakang Agung Sedayu mempunyai tiga istri, tapi semua itu bukanlah keinginannya secara pribadi, tapi semua ini karena keadaan dan dorongan dari orang lain yang tidak mungkin bisa ditolaknya”.
“Ya.. aku pernah mendengarnya pula tentang kisah mbokayu Pandan Wangi”.
“Meskipun demikian, kakang Agung Sedayu tetap berbuat yang terbaik untuk kita semua”.
“Mbokayu benar, selain kakang Agung Sedayu disibukkan oleh tugas-tugasnya, tapi tetap menyempatkan waktu untuk kita semua dan berusaha untuk berbuat seadil-adilnya”.
“Beruntunglah kakang Agung Sedayu mendapatkan anugerah yang tak terhingga dari Yang Maha Agung, sehingga semakin mempermudah segala urusannya”.
“Apalagi jika kita bisa membantunya kapanpun setiap saat dibutuhkan, mungkin bisa sedikit mengurangi bebannya”.
“Aku sependapat Anjani. Tapi kakang Agung Sedayu itu adalah orang yang lebih suka menyimpan kesulitan yang dihadapinya seorang diri”.
“Jika nanti kita bicarakan ini bersama-sama, mungkin setelahnya kakang Agung Sedayu bisa mulai terbuka pemikirannya”.
“Kau benar Anjani, kita perlu mencobanya. Nanti kita cari kesempatan yang paling baik bersama Sekar Mirah”.
“Semoga mbokayu Sekar Mirah sependapat dengan kita pula”.
“Aku kira Sekar Mirah akan sependapat pula”.
Tidak lama kemudian pembicaraan itu terputus karena malam semakin larut dan keduanya ingin beristirahat setelah merasa cukup dengan apa yang mereka bicarakan.
* * *
Sementara itu menjelang matahari terbit pada balik bukit di Kadipaten Wirasaba, kedua pasukan segelar sepapan yang sangat besar dan akan saling berbenturan sudah saling berhadapan.
Kedua pasukan tersebut adalah pasukan yang sama-sama menjunjung tinggi paugeran perang, meskipun suasana sudah semakin menegang tapi keduanya masih saling menahan diri sebelum saling memberikan isyarat untuk memulai perang.
Tapi kedua pasukan tersebut tetap dalam kewaspadaan tertinggi terhadap lawan masing-masing, itu terlihat dari para prajurit sandi yang menjadi semakin sibuk untuk selalu mengawasi lawan setiap saat dan jangan sampai lengah sedikitpun.
Sementara dari kedua belah pihak prajurit yang telah menjadi sibuk adalah para prajurit yang bertugas di dapur dan perbekalan makanan, karena mereka harus menyiapkan nasi ransum pada saat matahari terbit bagi seluruh prajurit.
Sementara para prajurit yang bertugas akan memasuki medan peperangan menyempatkan untuk membersihkan diri di tempat sumber-sumber air terdekat secara bergantian sembari menunggu nasi ransum siap.
Sementara Ki Prastawa yang berada di dalam pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih duduk termenung di atas ketepe yang terbuat dari daun kelapa.
“Beberapa hari ini hatiku merasa ada yang kurang mapan, entah mengapa aku selalu terpikir Tanah Perdikan Menoreh, terutama kepada paman Argapati”. katanya dalam hati.
“Ada apa Ki Prastawa?”. berkata salah satu pemimpin pengawal yang membuyarkan lamunan.
“Ah.. tidak apa-apa”. jawab Ki Prastawa sedikit gugup.
“Aku perhatikan berapa hari terakhir kau lebih banyak berdiam diri?”.
“Mungkin karena aku sedikit tegang saja dalam menghadapi perang ini”. sahut Ki Prastawa sekenanya.
“Baiklah, aku akan pergi membersihkan diri dahulu”.
“Silahkan.. silahkan..”.
Sementara di sebuah perkemahan yang tampak paling besar dan paling baik dalam pasukan Mataram, telah berkumpul beberapa orang penting, termasuk tiga orang yang mendapat tugas menjadi utusan untuk menyampaikan nawala kepada Adipati Wirasaba.
“Aku telah siapkan nawala ini untuk kalian sampaikan kepada Adipati Wirasaba”. berkata Panembahan Hanyakrakusuma.
“Sendika dawuh”.
“Kalian bertiga hanya perlu menyampaikan nawala ini dan mendengarkan tanggapan langsung Adipati Wirasaba atau orang yang secara resmi ditunjuk untuk mewakilinya, dan kalian tidak perlu mendengarkan tanggapan orang lain selain yang aku sebutkan. Karena biasanya orang lain hanya akan memperkeruh suasana”.
“Hamba mengerti”. sahut Ki Tumenggung Suratani.
“Kalian harus menyampaikan nawala ini langsung kepada orang yang aku maksud, dan tidak boleh melalui perantara”.
“Sendika dawuh Kanjeng”.
“Dan untuk lebih menguatkan perjalanan kalian yang bertugas atas namaku, kalian akan aku bekali dengan salah satu pusaka Mataram yang tentu sudah mereka kenal, yaitu Tombak Kyai Pleret”.
“Ampun Kanjeng, apakah dengan hamba membawa senjata tidak membuat mereka merasa ditantang?”.
Seketika Kanjeng Sinuhun menoleh ke arah tiga pamannya secara bergantian untuk meminta pertimbangan.
“Aku rasa tidak jika Ki Tumenggung Suratani memperlihatkan sejak awal kedatangan, dan mereka tentu tanggap ing sasmitha. Kecuali jika Tombak Kyai Pleret kau sembunyikan sejak awal”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Apakah semuanya sudah jelas?”.
“Sudah Kanjeng”.
“Baiklah, bersiaplah. Karena sebentar lagi kalian akan berangkat, Agar lebih cepat bawalah kuda”.
“Sendika dawuh”.
Kemudian Panembahan Hanyakrakusuma menyerahkan Tombak Kyai Pleret kepada Ki Tumenggung Suratani selaku pemimpin duta utusan Mataram.
“Kalian tidak perlu khawatir akan keselamatan kalian, karena kita pasti akan selalu mengawasi apa yang terjadi lewat para prajurit sandi yang telah disebar”.
“Terima kasih Kanjeng Sinuhun, kami tidak pernah menjadi ketakutan setiap mengemban tugas bagaimanapun beratnya”. sahut Ki Tumenggung Suratani.
“Syukurlah. Dan aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan dan kesetiaan kalian kepada Mataram”.
Pertemuan itu berlangsung tidak lama lagi, karena beberapa saat kemudian ketiga utusan tersebut meninggalkan tempat itu untuk segera melaksanakan tugas dari Panembahan Hanyakrakusuma.
Tiga ekor kuda telah disiapkan bagi ketiga utusan yang akan berangkat menuju perkemahan Adipati Wirasaba dan pasukan segelar sepapannya.
Ketika matahari telah terbit beberapa saat, maka Ki Tumenggung Suratani, Ki Tumenggung Prayabuana, dan Ki Tumenggung Sanggawira benar-benar berangkat.
Bukan sebuah perjalanan yang panjang, tapi sebuah perjalanan yang sangat mendebarkan bagi ketiga prajurit tersebut. Meskipun begitu tidak nampak wajah ketegangan ataupun kegelisahan dari ketiga senopati Mataram itu.
Ketiganya tidak memacu kudanya dengan kencang agar tidak mengejutkan siapapun, apalagi bagi pihak lawan. Karena bisa saja akan menimbulkan kesalahpahaman yang bisa membuat mereka menghadapi kesulitan.
Setelah beberapa lama ketiga prajurit Mataram itu berkuda, maka mereka telah melihat sebuah perkemahan lawan yang terlihat dijaga dengan sangat ketat.
Mereka bertiga pun lalu turun dari kudanya setelah tiba di depan pasukan Wirasaba yang sedang bertugas, utusan Mataram pun disambut dengan tombak yang bersilang dari dua prajurit yang berdiri menyebelah.
“Maaf Ki Sanak. Siapa kalian? dan apa keperluan kalian datang kemari?”. berkata salah satu prajurit yang menghadang.
“Kami adalah para prajurit Mataram. Tolong sampaikan kepada pimpinan kalian bahwa kami adalah utusan resmi dari Mataram ingin bertemu dengan Kanjeng Adipati Wirasaba dengan keperluan ingin menyampaikan nawala dari junjungan kami”.
Kedua prajurit yang bertugas itu pun menjadi saling pandang karena kebingungan, tapi belum sempat kedua penjaga itu memberikan jawaban, dari arah belakang seseorang datang menghampiri.
“Kenapa kalian menjadi kebingungan?”. berkata orang yang baru saja datang.
Jika dilihat dari ciri-cirinya orang yang baru saja datang tersebut adalah seorang prajurit yang berpangkat lurah.
“Ki Lurah, ketiganya mengaku sebagai utusan dari Mataram dan ingin menghadap Kanjeng Adipati”.
“Utusan Mataram?”.
“Benar sekali Ki Sanak. Kami datang atas nama Panembahan Hanyakrakusuma”. kali ini Ki Tumenggung Suratani lah yang menjawab.
“Apa keperluan kalian?”. bertanya lurah prajurit tersebut sembari memandangi ketiganya hampir tidak berkedip dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“Kami mengemban tugas dari junjungan kami untuk menyampaikan nawala ini kepada junjungan kalian”.
“Apakah kalian dapat dipercaya?”.
“Jika kau mengenali Tombak Kyai Pleret ini pasti kau akan mempercayai kami bertiga, karena di tanah ini hanya ada satu Tombak Kyai Pleret maka tidak mungkin aku membohongi kalian”. sahut Ki Tumenggung Suratani yang ingin segera dapat melewati hadangan para penjaga.
“Baiklah, tunggulah disini. Aku akan menyampaikannya pada junjungan kami. Tapi aku tidak bisa menjanjikan bahwa Kanjeng Adipati berkenan atau tidak untuk menerima kalian”.
Lurah prajurit tersebut segera meninggalkan tempat itu untuk melaporkan apa yang terjadi kepada pimpinannya, yang kemudian akan diteruskan kepada Kanjeng Adipati atau Ki Patih Rangga Permana sebagai wakilnya.
Kanjeng Adipati Wirasaba yang kebetulan sedang bersama Ki Patih Rangga Permana pun menjadi sangat terkejut mendengar laporan tersebut.
“Bagaimana pendapat paman tentang hal ini?”.
“Ini adalah sebuah cara yang terkadang dilakukan oleh sebuah pasukan sebelum memulai sebuah perang, apalagi perang besar seperti yang akan kita hadapi”.
“Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan paman?”.
“Kita terima Duta Utusan Mataram itu, mungkin ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Panembahan Hanyakrakusuma kepada kita. Setelah kita mengetahui apa yang mereka sampaikan, baru kita bisa menentukan sikap yang lebih mantap”.
“Apakah mereka tidak berbahaya paman? atau mungkin mereka hanya sekedar mengawasi kekuatan kita disini”.
“Tidak ngger, lagipula mereka hanya bertiga. Mereka pasti akan berpikir ulang untuk berbuat lebih jauh”.
“Baiklah paman. Aku serahkan semua ini pada paman”.
“Bawalah ketiga utusan itu kemari”, berkata Ki Patih Rangga Permana kepada prajurit yang tadi menyampaikan laporan.
“Sendika dawuh Ki Patih”.
Prajurit itu pun segera pergi untuk kemudian tidak berapa lama datang kembali membawa Duta Utusan Mataram yang ingin menghadap pemimpin tertinggi Wirasaba.
“Ampun Kanjeng Adipati, kami adalah utusan dari Mataram ingin menyampaikan nawala dari Panembahan Hanyakrakusuma”. berkata Ki Tumenggung Suratani ketika menghadap.
“Pertanda apakah yang dapat aku jadikan pedoman bahwa kau benar-benar utusan atas nama Panembahan Hanyakrakusuma?”. sahut Ki Patih Rangga Permana.
“Jika Ki Patih Rangga Permana mengenalnya, hamba membawa pertanda salah satu senjata pusaka Mataram, yaitu Tombak Kyai Pleret”.
Sejenak Ki Patih Rangga Permana memperhatikan tombak yang dibawa Ki Tumenggung Suratani tersebut dengan seksama.
“Ya.. aku mengenali Tombak Kyai Pleret yang kau bawa”.
“Terima kasih jika Ki Patih Rangga Permana mengenalnya. Selanjutnya hamba ingin menyerahkan nawala yang hamba bawa ini”. berkata Ki Tumenggung Suratani sembari menyerahkan nawala tersebut kepada orang yang berada di hadapannya.
Ki Patih Rangga Permana menerima nawala itu lalu membuka isinya, kemudian dibacanya dengan seksama sembari sesekali memperhatikan para utusan Mataram secara bergantian. Tapi ketiga utusan itu tetap menundukkan kepalanya.
“Apakah memang seperti ini sikap orang-orang Mataram? mengajak bekerja sama tapi dengan membawa pasukan segelar sepapan? apakah ini yang namanya mengajak bekerja sama?”. berkata Ki Patih Rangga Permana bertubi-tubi dengan suara yang mulai meninggi”.
“Maaf Ki Patih, kami tidak tahu menahu masalah ini karena kami hanyalah utusan pembawa nawala, dan bukan duta pamungkas”.
“Bukankah dengan demikian junjunganmu secara tidak langsung ingin kami menuruti kemauannya? karena jika kami menolak permintaannya, maka kalian telah siap dengan pasukan segelar sepapan yang akan menyerang kami, dan akan berhenti jika kami telah menyatakan diri untuk menyerah?”.
“Maaf Ki Patih Rangga Permana, kami hanya mengemban tugas menyampaikan nawala ini sekaligus mendengar tanggapan Kanjeng Adipati Wirasaba atau orang yang ditunjuk menggantikannya, tidak lebih dan tidak kurang”.
“Bagaimana paman?”. berkata Adipati Wirasaba yang sedari tadi lebih banyak diam.
Ki Patih Rangga Permana tidak langsung menjawab, tapi lebih dulu memandang berkeliling lalu menarik nafas panjang. Berbagai pertimbangan berputar-putar di kepalanya.
“Ki Sanak, bukankah junjungan kalian sama saja memaksa aku harus mengiyakan permintaannya?”.
“Maaf Ki Patih, kami tidak diberikan wewenang untuk menjawab pertanyaan, kami hanya ditugaskan menyampaikan nawala ini dan mendengarkan tanggapan atas nawala tersebut”.
“Aku mengerti maksudmu Ki Sanak, kalian memang sekedar mengemban tugas dari junjungan kalian”.
“Demikianlah Ki Patih Rangga Permana. Dan kami menunggu jawabannya”.
“Ki Sanak, sebelum aku menjawab isi nawala ini perlu aku sampaikan kepada kalian bahwa Kadipaten Wirasaba bukanlah daerah yang tanpa pemimpin, juga bukanlah sebuah daerah yang mudah menjadi ketakutan pada saat ada kekuatan yang mencoba mengancamnya atau bahkan menyerangnya”.
Ketiga utusan Mataram yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Suratani hanya terdiam dengan kepala tertunduk mendengarkan Ki Patih Rangga Permana berbicara panjang lebar, namun mereka memperhatikan dengan seksama setiap kata yang terucap dari mulut orang yang berada di hadapannya sebagai tambahan laporan kepada junjungan mereka.
Sejenak suasana di ruangan itu menjadi hening karena tidak ada yang membuka suara sama sekali. Mereka disibukan dengan pikiran masing-masing di kepala mereka.
“Ki Sanak”. berkata Ki Rangga Permana dengan nada dalam.
Ki Tumenggung Suratani mengangkat wajahnya.
“Sampaikan pada junjunganmu, bahwa Wirasaba sebenarnya sangat senang bisa bekerja sama dengan pihak manapun termasuk Mataram, tapi kami menolak jika wujud kerjasama itu didasari dengan sebuah pemaksaan kehendak secara sepihak”.
“Lalu apa keputusan Ki Patih Rangga Permana tentang isi nawala yang aku bawa?”. bertanya Ki Tumenggung Suratani yang ingin jawaban pasti.
Orang yang ditanya tidak langsung menjawab, tapi dipandanginya lebih dahulu Adipati yang masih sangat muda itu yang sekaligus keponakannya.
“Kami menolak permintaan Mataram dengan segala resikonya”. jawab Ki Patih Rangga Permana kemudian.
“Terima kasih atas jawaban Ki Patih Rangga Permana. Sekarang kami langsung mohon diri karena keperluan kami disini sudah selesai”. sahut Ki Tumenggung Suratani selaku pemimpin duta utusan dari Mataram.
“Silahkan Ki Sanak”.
Kemudian ketiga utusan dari Mataram tersebut segera bergegas meninggalkan tempat itu. Orang-orang Wirasaba yang mereka lewati memandangi dengan tatapan penuh ketegangan, tapi tidak satupun orang yang berani mengusik ketiganya meskipun jantung mereka sudah seperti akan meledak karena menahan panas yang membara melihat orang-orang Mataram.
Ki Tumenggung Suratani dan kedua kawannya sama-sama tidak membuka suara ketika berjalan keluar, mereka langsung menuju tempat kuda-kuda mereka ditambatkan.
Mereka pun segera meninggalkan tempat itu dengan kuda yang dipacu tidak terlalu kencang seperti pada saat mereka datang, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Setibanya di perkemahan prajurit Mataram, mereka segera menghadap Panembahan Hanyakrakusuma untuk memberikan laporan hasil perjalanan mereka.
Setelah menghadap, mereka pun segera melaporkan hasil perjalanan mereka secara runtut dan lengkap seperti apa yang mereka alami pada waktu menjadi utusan pembawa nawala.
Kanjeng Sinuhun Mataram mendengarkan semua laporan itu dengan seksama dan mencermati segala yang mereka sampaikan sebagai tambahan bahan pertimbangan untuk menentukan sikap selanjutnya.
Setelah laporan Ki Tumenggung Suratani selesai, junjungan seluruh kawula Mataram tersebut menarik nafas dalam-dalam, lalu dipandangi ketiga paman yang menyertainya.
“Bagaimana menurut paman bertiga?”.
“Aku rasa sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang kaku dalam bersikap dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan, tapi mereka merasa tersinggung dengan Mataram yang ingin mengajak bekerjasama namun dengan membawa pasukan segelar sepapan di belakangnya”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Aku sependapat dengan kangmas Pringgalaya, sekarang tinggal bagaimana kita menentukan sikap setelah niat baik angger Panembahan ditolak”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Seperti rencana kita semula paman, jika permintaanku ditolak apapun alasannya. Maka Mataram siap rawe-rawe rantas malang-malang putung”.
“Jika demikian kita harus segera mengatur langkah-langkah selanjutnya, agar bisa segera pula disampaikan kepada seluruh prajurit yang akan memasuki medan perang”. Pangeran Pringgalaya menimpali.
“Tolong panggilkan prajurit penghubung, ada tugas untuknya”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram.
“Sendika dawuh”. sahut Ki Tumenggung Sanggawira yang kemudian segera bergegas keluar. Tidak lama kemudian dia datang kembali bersama orang yang dimaksud.
“Sekarang tolong kumpulkan semua senopati dari setiap pasukan”.
“Sendika dawuh”
Tidak lama kemudian semua senopati dari setiap pasukan pun berkumpul, termasuk Ki Prastawa sebagai kepala pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sudah terbiasa ikut berperang bersama pasukan Mataram.
“Wirasaba telah menolak niat baikku untuk menghindari perang ini, pada akhirnya kita mau tidak mau mengambil jalan terakhir, yaitu perang”. berkata Panembahan Hanyakrakusuma kepada semua prajuritnya yang hadir.
Setelah berhenti sejenak dan memandang berkeliling. Lalu lanjutnya, “Sepertinya aku melihat ada yang belum hadir? dia tidak mendengar perintahku atau memang tidak sempat mendapat perintah?”.
Semua orang yang hadir menjadi terkejut, lebih-lebih prajurit penghubung yang tadi mendapat perintah untuk mengumpulkan semua senopati tubuhnya menjadi gemetar ketakutan.
“Ampun Kanjeng Sinuhun. Siapakah yang Kanjeng maksud?”.
“Senopati prajurit sandi?”.
Seketika prajurit penghubung itu bersujud mohon ampun atas kesalahannya dengan tubuh yang masih gemetar karena menjadi sangat ketakutan.
“Ampun Kanjeng ampun, hamba yang salah. Akan segera hamba panggilkan”.
“Cepat”. ucap Panembahan Hanyakrakusuma dengan suara lantang, yang membuat prajurit itu menjadi semakin ketakutan.
Tanpa perlu diulangi lagi perintah itu, prajurit yang tadi merasa bersalah segera meninggalkan tempat itu dengan setengah berlari untuk mencari orang yang dicari. Tidak lama kemudian dia pun kembali bersama orang yang dimaksud.
Setelah senopati prajurit sandi telah datang, maka pertemuan itu dilanjutkan kembali oleh Panembahan Hanyakrakusuma untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya sehubungan dengan penolakan Wirasaba terhadap niat baiknya.
“Dengan adanya penolakan Wirasaba, kita pada akhirnya akan mengambil jalan terakhir, yaitu perang. Tapi meskipun kita akan berperang aku ingatkan kepada kalian semua bahwa ini bukanlah perang brubuh atau perang awur-awuran, tapi ini adalah perang yang mempunyai tujuan luhur, jadi kita harus tetap menjunjung tinggi paugeran”.
Semua orang yang hadir tidak ada yang berani membuka suara, setelah memandang berkeliling Sinuhun Mataram melanjutkan kata-katanya kembali.
“Kita adalah makhluk ciptaan Yang Maha Agung yang paling luhur, jadi tidak sepantasnya kita berbuat hanya atas dorongan penalaran yang buram dan hati yang penuh kemarahan meskipun kita berada dalam medan perang yang garang sekalipun. Kita memasuki perang harus tetap dengan penalaran yang bening dan hati yang dingin”.
“Jika harus membunuh, itu harus dilakukan jika memang sudah benar-benar dalam keadaan terpaksa dan kita sudah tidak menemukan kemungkinan lain yang lebih baik lagi. Kita berperang itu bertujuan untuk mengalahkan dan menaklukkan lawan dan bukan untuk membunuh sebanyak-banyaknya”.
“Perang bukanlah lambang kekejian, kesewenang-wenangan, penindasan, dan pembunuhan jika kita sama-sama telah mengenal paugeran perang yang sebenarnya”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Benar sekali Kangmas Pringgalaya”.
“Maka dari itu para senopati dari setiap pasukan selain bertugas memimpin pasukannya dalam perang, bertugas pula untuk mengendalikan seluruh pasukannya untuk tetap dalam pengendalian diri sesuai dengan paugeran. Jika ada yang membangkang kalian harus bertindak tegas”.
Semua orang masih belum berani membuka suara, dan hampir semuanya menundukkan kepalanya kecuali ketiga Pangeran yang menyertai Panembahan Hanyakrakusuma.
“Kita akan menyerang Wirasaba besok pagi setelah matahari terbit, aku perintahkan kalian siapkan segalanya dengan sebaik-baiknya karena aku paling tidak suka dengan kekalahan”.
Kanjeng Sinuhun Mataram berhenti sejenak untuk menarik nafas berapa kali, dan mengamati semua yang hadir dengan seksama, kemudian lanjutnya.
“Besok kita akan memakai gelar Garuda Nglayang sebagai gelar induk pasukan, tetapi untuk mengelabui pasukan lawan sesekali kita perlu menggunakan gelar-gelar kecil seperti gelar Jurang Grawah atau Emprit Neba, dengan menyesuaikan diri dengan keadaan medan, karena ada kalanya sebuah gelar perang belum tentu bisa kita gunakan untuk medan tertentu. Apakah ada yang ingin kalian tanyakan kepadaku?”.
Para senopati yang hadir yang sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut menjadi salin pandang dengan kawan-kawan di sebelah tempat duduk mereka masing-masing.
“Ampun Kanjeng Sinuhun”, berkata Ki Tumenggung Suratani sembari menghaturkan sembah.
“Ada apa Ki Tumenggung Suratani?”.
“Siapakah besok yang akan menjadi Senopati Agung?”.
“Aku sendiri yang akan memimpin pasukan dan turun ke medan menjadi Senopati Agung Mataram”.
“Angger Panembahan, maaf jika aku diperkenankan untuk berpendapat, sebaiknya Senopati Agung dipercayakan kepada orang lain dulu. Apalagi pada hari pertama jika Anak Mas langsung terikat akan perang itu sendiri maka akan menjadi kurang leluasa untuk dapat menilai keadaan medan secara keseluruhan”.
“Kangmas Pringgalaya benar angger Panembahan”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil atau yang pada masa mudanya lebih dikenal dengan nama Raden Mas Kedawung.
Kini Panembahan Hanyakrakusuma lah yang menjadi terdiam setelah mendengar pendapat pamannya tersebut. Pertimbangan lain mulai dipikirkan untuk mengambil keputusan paling baik.
“Baiklah paman, aku sependapat dengan paman Pringgalaya”.
“Jika demikian, untuk hari berikutnya aku persilahkan angger Panembahan untuk menentukan sikap sendiri, karena pada hari pertama tentu sudah mendapat gambaran tentang perang yang berkecamuk pada seluruh medan”.
“Terima kasih atas nasehat-nasehat paman”.
“Aku hanya berpendapat sejauh pengetahuanku ngger, syukurlah jika pendapatku dapat berguna”.
“Tentu sangat berguna sekali paman”.
Pangeran Pringgalaya hanya tersenyum penuh kebanggaan mendengar tanggapan keponakannya tersebut.
“Aku minta besok kita sisakan dulu sepertiga pasukan kita sebagai pasukan cadangan yang nantinya akan kita manfaatkan untuk menggantikan pasukan yang lebih dahulu memasuki medan tapi tidak bisa melanjutkan perang dengan berbagai alasan, agar keseimbangan pasukan kita tetap terjaga. Karena dalam medan semua kemungkinan dapat terjadi”.
“Dalam medan kita harus saling percaya satu sama lain, dan saling bahu-membahu untuk mencapai gegayuhan yang kita inginkan bersama. Dan perlu kalian ingat bahwa semua gegayuhan ini tidak dapat kita gapai seorang diri, kita butuh kawan-kawan kita untuk menggapainya, jadi jangan merasa paling penting sendiri atau merasa paling tidak terkalahkan sendiri karena semua saling membutuhkan dan saling melengkapi”.
Kemudian mereka membicarakan segala sesuatu sehubungan dengan persiapan perang yang akan mereka hadapi, terutama dalam pematangan siasat perang yang sangat rumit.
Terjadi tanya jawab dari hampir semua yang hadir untuk lebih memperjelas tugas-tugas mereka di medan secara pribadi maupun tugas mereka sebagai senopati pasukan dalam perang gelar yang akan digunakan.
Meskipun mereka adalah para senopati prajurit yang terlatih dan berpengalaman, namun mereka tidak menjadi merasa paling tahu dari kawan-kawannya, tetap saja di antara mereka tidak segan untuk bertanya kepada siapapun yang dianggap lebih tahu.
“Aku hampir saja melewatkan sesuatu”. berkata Kanjeng Sinuhun tiba-tiba, yang membuat hampir semua orang yang hadir menjadi saling pandang.
“Ampun Kanjeng, katakanlah”.
“Besok jika pecah perang, kita jangan tergesa-gesa untuk memasuki medan karena pertimbangan pasukan lawan menggunakan senjata bedil dan meriam”.
“Ampun Kanjeng, lalu apa yang harus kami lakukan?”.
“Besok kalian mulailah bergerak menuju medan tapi dengan perlahan dan penuh kehati-hatian sembari kita berusaha mengulur waktu, dengan alasan karena lawan kita menggunakan meriam”.
“Apakah yang kita tunggu jika lawan kita memang menggunakan meriam Kanjeng Sinuhun? bukankah lawan kita tetap akan menggunakan meriam itu pula meskipun kita berusaha mengulur waktu beberapa saat ataupun lebih lama ?”. bertanya salah satu senopati.
“Maksudku dengan kita mengulur waktu adalah karena aku telah memerintahkan sekelompok prajurit kecil untuk berusaha mengganggu atau bahkan melumpuhkan prajurit yang menguasai meriam tersebut. Karena meriam itu pasti dijaga sekelompok prajurit yang berada jauh di belakang garis perang karena daya jangkau serangan ke arah sasaran yang bisa sangat jauh”.
“Sekarang hamba mengerti”.
Para senopati lain yang ikut mendengarnya pun tanpa sadar menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, mohon petunjuk. Apakah pasukan kecil itu akan diambil dari para senopati yang hadir di tempat ini?”.
“Kalian tidak perlu khawatir, pasukan kecil itu sudah terbentuk. Dan mereka tinggal melaksanakan tugasnya”.
Mereka hanya bisa menganggukkan kepala mendengar jawaban dari junjungan mereka. Kemudian pembicaraan masih berlanjut untuk beberapa lama guna mematangkan persiapan memasuki medan perang yang akan berlangsung besok pagi.
Meskipun mereka adalah orang-orang yang sangat terlatih untuk menghadapi perang besar, namun mereka tidak ingin menjadi jumawa, karena dalam perang segalanya bisa terjadi.
Setelah pertemuan itu selesai, para senopati segera kembali ke kesatuan pasukan masing-masing untuk meneruskan segala perintah pepunden mereka.
Memang tidak mudah bagi setiap prajurit untuk mengerti segala yang disampaikan, namun para senopati tidak kekurangan akal untuk dapat dimengerti oleh anak buahnya yang mempunyai sifat dan kemampuan yang berbeda-beda.
Namun pada akhirnya pesan-pesan itu bisa tersampaikan pula kepada seluruh prajurit yang akan memasuki medan besok pagi, baik pesan secara pribadi maupun secara keseluruhan dalam kesatuan gelar beserta tugas-tugasnya.
“Perang yang besar kali ini bukanlah pertama bagiku, tapi entah mengapa hatiku menjadi berdebar-debar”. ucap salah satu prajurit kepada kawannya.
“Mungkin karena istrimu sedang hamil tua”. sahut kawannya.
“Benarkah demikian?”.
“Aku bisa mengerti perasaanmu karena anakku sudah dua, sedangkan kau baru calon anak yang pertama”.
“Benar juga ucapanmu. Apakah kau dulu waktu istrimu akan melahirkan anak pertama juga merasakan yang aku rasakan sekarang?”.
“Kurang lebih sama, tapi dulu aku kebetulan tidak bertugas memasuki medan perang”.
“Ya.. aku mengerti sekarang”.
Pembicaraan singkat itu tidak sempat berlanjut karena kesibukan menjalankan tugas masing-masing, tapi hal itu tidak membuat keduanya menjadi kecewa.
Ketika matahari telah berada di puncaknya, sebagian besar prajurit menjadi gembira karena sebentar lagi mereka akan mendapatkan jatah nasi ransum dari dapur keprajuritan.
Benar saja, sejenak kemudian ada beberapa petugas membawa tenggok yang berisikan jatah nasi ransum yang harus dibagikan ke seluruh pasukan Mataram.
Meskipun nasi ransum itu hanya berisikan lauk pauk seadanya, namun bagi para prajurit itu sudah merupakan nikmat yang tidak ternilai dari Yang Maha Agung.
* * *
Sementara itu di sebuah pasar yang berada di ujung sebuah padukuhan yang mulai nampak sepi, karena matahari memang telah melewati puncaknya sehingga hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berlalu-lalang.
Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya, seperti tukang pandai besi di dekat jalan masuk pasar, penjual dawet cendol yang masih melayani satu dua orang pembeli, dan kedai-kedai yang sudah nampak mulai sepi pembeli.
Namun ada pula di salah satu sudut pasar masih melayani seorang pembeli yang baru saja datang, yang kebetulan sudah saling mengenal dengan pemilik kedai karena sudah sering mampir di kedai tersebut.
Tidak lama kemudian pesanan orang yang baru saja datang pun telah dihidangkan sesuai dengan pesanan oleh pembantu pemilik kedai dengan ramahnya.
“Silahkan menikmati hidangan kedai kami Ki..”.
“Terima kasih”.
Kemudian laki-laki paruh baya itu pun mulai menikmati hidangan yang berupa nasi putih yang masih mengepul dengan lauk lele goreng lengkap dengan sambal kemangi dan pete gorengnya serta semangkuk wedang sereh agar tidak seret saat menelan makanan yang sangat menggugah selera tersebut.
Baru saja orang itu dapat menikmati makanan setengahnya, ada dua orang yang tampak sedikit lebih muda darinya dan yang satunya lagi jauh lebih muda memasuki kedai tersebut.
“Adi Punjul rupanya yang datang”. berkata orang yang lagi makan itu saat melihat dua orang yang baru memasuki kedai.
“Kakang Gandar rupanya. Aku tidak menyangka jika kita akan bertemu disini”.
“Marilah bergabung denganku adi, sudah cukup lama sepertinya kita tidak bertemu, kemana saja kau selama ini?”.
“Terima kasih kakang. Bukankah kau tahu jika pekerjaanku adalah penjual wesi aji, jadi aku lebih sering melakukan perjalanan daripada berdiam diri di rumah”.
“Ya.. ya.. aku mengingatnya”.
“Apakah kakang masih menjadi penjual hasil bumi?”.
“Kau benar adi, lagipula hanya itu yang aku bisa lakukan untuk menyambung hidupku”.
“Aku pun menjadi seperti sekarang ini karena ibuku, makanya aku juga ingin mengajarkan kepada anakku, mungkin saja bisa menjadi pekerjaan yang turun temurun”.
“Kebanyakan orang tua memang melakukan apa yang seperti kau lakukan, sehingga ilmunya tidak akan kemana-mana”.
Ki Punjul pun hanya tersenyum mendengarnya.
“Ngomong-ngomong, kau habis berkeliling sampai kemana adi?”.
“Awalnya aku hanya sekedar mengikuti langkah kaki berjalan, tapi lama-lama langkah kakiku sampai di seberang Kali Praga, yaitu Tanah Perdikan Menoreh”.
“Jauh sekali perjalananmu? pasti hasilnya bagus jika kau mau berjalan sedemikian jauhnya’.
“Sejak aku memutuskan untuk pergi kesana aku sangat bersemangat karena menurut perhitunganku, aku akan sampai disana pada saat hari pasaran. Tapi sayang sekali justru hari itu sangat sepi sekali, ketika aku bertanya kepada orang yang lewat. Katanya hari itu Ki Gede Menoreh wafat”.
“Pantas saja jika hari pasaran disana menjadi sepi”.
“Benar kakang, mungkin belum hari keberuntunganku”.
“Aku telah selesai dengan makananku, marilah kalian singgah di gubukku”.
“Terima kasih kakang, tapi mungkin lain kali. Karena aku ingin segera pulang, istriku pasti sudah menunggu kedatanganku”.
“Baiklah adi, jika demikian aku duluan”.
“Iya kakang. Salamku untuk mbokayu”.
“Salamku pula untuk istrimu adi”.
Setelah Ki Gandar membayar makanan dan minuman yang telah dihabiskannya, kemudian keduanya pun berpisah di kedai tersebut karena mempunyai tujuan yang berbeda.
Ki Gandar pun segera menghampiri pedatinya yang ditarik seekor kerbau dan ditambatkan di depan kedai tempat dia makan, dia pun mulai memacu pedatinya untuk berjalan pulang yang kebetulan rumahnya berada di padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih.
Dengan langkah-langkah perlahan pedati itu mulai melaju di atas tanah yang berdebu, Ki Gandar yang duduk di atas pedati dengan perut kenyang pun menjadi terkantuk-kantuk meskipun tangan kirinya memegang tali kekang pedati sedangkan tangan kanan cambuk pendek.
Karena bukanlah perjalanan panjang, beberapa lama kemudian Ki Gandar telah memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih yang nampak asri.
Setelah beberapa saat menyusuri jalan utama padukuhan induk, Ki Gandar mulai melihat sebuah rumah paling besar dan paling bagus di antara rumah sekitarnya. Dia pun berhenti tepat di depan pintu regol yang dijaga dua orang pengawal yang bertugas.
“Silahkan Ki Gandar langsung masuk saja seperti biasa”. berkata salah satu pengawal yang tampak masih muda.
“Terima kasih”.
Ki Gandar segera masuk bersama pedati kesayangannya melewati halaman rumah lalu menyusuri jalan samping rumah menuju pintu dapur yang berada di belakang.
Kebetulan di dapur ada dua orang pembantu Ki Gede Matesih. Ketika mereka menyadari kedatangan Ki Gandar, segera saja mereka menyambutnya dengan ramah.
“Silahkan Ki Gandar”.
“Terima kasih Nyi”.
“Apakah pesananku kemarin kau bawakan Ki ?”.
“Ada Nyi, tenang saja. Aku membawa semua yang kalian pesan kepadaku. Kelapa, garam, dan bumbu dapur lainnya sesuai dengan jumlah yang kau minta”.
“Kau memang dapat dipercaya Ki Gandar”.
Setelah Ki Gandar menurunkan semua barang belanjaan yang dipesan keluarga Ki Gede Matesih, maka dia segera mohon diri.
“Apakah kau tidak minum-minum dulu Ki ?”.
“Terima kasih Nyi, mungkin lain kali saja Nyi. Aku ingin segera istirahat di rumah”.
Ki Gandar pun segera bergegas untuk pulang, tapi ketika dia melewati halaman samping sebelum sampai ke pintu regol, tiba-tiba dia dikejutkan suara yang memanggilnya.
“Ki Gandar”.
Seketika orang yang dipanggil pun menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya berada di pendapa, barulah dia menyadari siapakah orangnya.
“Ki Gede Matesih?”.
“Kemarilah Ki Gandar, ada yang ingin aku bicarakan”.
Orang yang dipanggil itu pun tak mampu menolak perintah orang yang paling dihormati di seluruh Tanah Perdikan Matesih tersebut. Dengan langkah tergopoh-gopoh Ki Gandar pun menghadap Ki Gede Matesih yang sedang duduk di pendapa.
“Sudah beberapa waktu aku tidak pernah melihatmu”. berkata Ki Gede Matesih setelah mereka lebih dulu saling menanyakan keselamatan masing-masing, karena beberapa lama tidak bertemu.
“Aku tidak pernah kemana-mana kecuali hanya ke pategalan dan ke pasar saja, mungkin Ki Gede saja yang terlalu sibuk sehingga tidak memperhatikan aku wira-wiri”.
“Ya..ya.. mungkin pula aku yang sudah menjadi pikun”. ucap Ki Gede Matesih lalu tertawa pendek.
“Apakah kau sudah tidak memerlukan uang, sehingga tidak menagih uang belanjaan kepadaku?”.
Ki Gandar pun seketika mukanya memerah, “bukan begitu Ki Gede, aku hanya takut mengganggu kesibukan Ki Gede”.
“Ah.. sekarang aku tidak pernah benar-benar menjadi sibuk karena sudah ada yang membantuku”.
Ki Gandar mengangguk-angguk mendengar jawaban dari Ki Gede Matesih yang terlihat sudah semakin sepuh.
“Oh iya Ki Gede, aku baru ingat sesuatu”.
“Apa itu Ki Gandar?”. bertanya Ki Gede Matesih penasaran.
“Jika aku tidak salah, bukankah dulu Ratri pernah berguru di Tanah Perdikan Menoreh?”.
“Ki Gandar Benar, dia berguru pada putri Ki Gede Menoreh yang bernama Nyi Pandan Wangi”.
“Maaf Ki Gede, tadi aku mendengar berita dari kawanku bahwa beberapa hari yang lalu Ki Gede Menoreh telah…”. tiba-tiba mulut Ki Gandar menjadi kelu untuk melanjutkan kata-katanya.
“Telah apa Ki Gandar?”. desak Ki Gede Matesih yang semakin menjadi penasaran.
“Telah wafat”.
Bagaikan mendengar guntur yang meledak di depannya Ki Gede Matesih hingga terlonjak dari tempat duduknya.
“He.. apa katamu?”.
Ki Gandar yang melihat Ki Gede Matesih setengah berteriak pun menjadi terkejut pula karena tidak pernah menduga tanggapan dari orang yang paling dituakan di Tanah Perdikan Matesih tersebut.
“Maaf jika aku salah bicara Ki Gede, aku baru mendengarnya dari kawanku tadi di kedai sebelum pulang”. ucap Ki Gandar dengan tubuh sedikit gemetar karena ketakutan dengan sikap orang yang berada di hadapannya.
“Maafkan akan sikapku Ki Gandar, ini karena aku saking terkejutnya mendengar berita ini”.
“Tidak apa-apa Ki Gede, aku bisa mengerti”.
“Aku benar-benar menjadi terkejut karena aku mendengar ini dari orang lain, dan bukan utusan langsung dari Tanah Perdikan Menoreh yang datang kemari”. ucap Ki Gede Matesih yang sudah mulai mereda keterkejutannya.
“Maaf Ki Gede, aku tahu menahu soal itu”.
Ki Gede Matesih pun menjadi tersenyum mendengar ucapan kawulanya sekaligus pedagang hasil bumi dan bumbu-bumbu dapur yang rumahnya tidak jauh dari rumah ayah Ratri sendiri.
“Terima kasih atas kabar yang kau bawa Ki Gandar, karena kabar ini sangat berarti sekali bagi keluargaku”.
“Aku hanya kebetulan saja mendengar dari kawanku yang menjadi pedagang wesi aji yang baru pulang dari sana, sehingga dia sempat sedikit bercerita tentang hal itu”.
“Terkadang tanpa kita sadari suatu saat akan menemukan hal semacam ini dalam kehidupan bebrayan. Meskipun mungkin hanya kebetulan bagi orang tertentu, tapi akan menjadi sangat berarti bagi orang yang berkepentingan.
“Ya.. ya.. Ki Gede benar, aku pun terkadang menemukannya pula pada hidupku dalam bebrayan.”.
Kemudian pembicaraan itu berlanjut sesuai dengan keperluan, yaitu Ki Gandar segera menerima haknya sebagai pedagang dari Ki Gede Matesih yang sejak beberapa hari yang lalu belum sempat terselesaikan karena suatu sebab.
Tidak lama kemudian Ki Gandar pun segera mohon diri karena merasa keperluannya telah selesai dengan Ki Gede Matesih, dan kebetulan pula langit sebentar lagi sudah akan gelap.
Sepeninggal tamunya, Ki Gede Matesih pun termenung beberapa saat, sepertinya ada yang menjadi pusat pikirannya karena terlihat keningnya berkerut dengan pandangan kosong jauh ke depan.
* * *
Sementara itu di hari yang sudah mulai malam beberapa saat yang lalu, suasana di perkemahan Mataram dan Wirasaba sudah semakin memanas, waktu yang semakin dekat dengan pecahnya perang membuat orang-orang yang tergabung dalam pasukan menjadi semakin berdebar-debar, apalagi bagi para prajurit yang kurang pengalaman dalam perang besar.
Tapi pada saat-saat seperti itu adalah prajurit sandi dari kedua belah pihak yang paling menjadi paling sibuk, karena mereka harus selalu bekerja setiap waktu untuk mengawasi setiap gerakan pasukan lawan, karena pergerakan sekecil apa pun dari pihak lawan akan menjadi pekerjaan prajurit sandi.
Para prajurit dari kedua belah pihak pun tidak kalah sibuknya mempersiapkan segalanya, baik dari persenjataan yang nantinya akan dipergunakan dalam perang. Seperti senjata keprajuritan yang terdiri dari pedang, panah, bandil, tombak, perisai, dan senjata-senjata andalan bagi yang memiliki.
Selain perlengkapan persenjataan mereka juga mempersiapkan klebet, umbul-umbul, rontek, dan yang lain. Selain sebagai pertanda kebesaran setiap kesatuan pasukan bisa juga sebagai sebuah kebanggaan kesatuan pasukan yang ikut serta berperang.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang mendapat tugas khusus dari Panembahan Hanyakrakusuma tidak lupa pula mempersiapkan diri bersama kawan-kawannya.
Ayah Arya Nakula pun mencari tempat yang dianggapnya nyaman untuk membicarakan tugas-tugasnya besok, maka dipilihlah tempat yang berada di ujung perkemahan yang tidak begitu banyak penerangan.
“Umbara.. apakah kau siap jika harus mengemban tugas sesulit apapun?”. berkata Ki Lurah Glagah kepada keponakannya sembari duduk bersandar pada pohon nyamplung.
“Siap paman. Meskipun aku belum pernah berpengalaman dalam perang, tapi aku akan berusaha dengan sebaik-baiknya paman”.
“Aku minta maaf kepadamu jika namamu sudah aku sebut pada waktu Kanjeng Sinuhun memberikan tugas khusus kepadaku”.
“Tugas khusus apa paman?”.
“Kau adalah salah satu orang yang akan mengawaniku dalam menjalankan tugas khusus dari Kanjeng Sinuhun, kita diperintahkan untuk berusaha melumpuhkan sekelompok prajurit yang menguasai meriam, dan diperkirakan berada jauh dari pasukan induk”.
“Aku percayakan semuanya kepada paman Glagah Putih”.
“Syukurlah, dan aku sudah menduga jawabanmu. Makanya aku lebih dahulu mengusulkan namamu di hadapan Kanjeng Sinuhun daripada aku bertanya lebih dahulu kepadamu siap atau tidaknya”.
“Aku percaya kepada paman Glagah Putih, karena paman pasti lebih tahu mana yang terbaik”.
“Sebelum kita melaksanakan tugas itu dan kebetulan kita sedang berdua, aku ingin bertanya kepadamu tentang tataran ilmumu karena selama ini kita jarang sekali bersama, jadi aku belum mengenali benar tataran ilmumu sudah sejauh mana?”.
“Tataran ilmuku dari jalur kakek dan dari jalur Perguruan Orang Bercambuk sudah tuntas hingga ke puncak, tapi semua itu masih baru dasarnya saja dan harus aku kembangkan sendiri paman”.
“Benar-benar luar biasa, aku tidak menyangka perkembangan ilmumu sudah sejauh itu ngger”.
“Semua ini adalah hasil dari gemblengan ayah yang tak kenal lelah dan sesekali petunjuk paman Agung Sedayu, paman. Semua itu dilakukannya karena ada sedikit penyesalan pada ayah yang merasa ilmunya tidak berkembang setelah memasuki dunia keprajuritan, karena waktunya lebih banyak dihabiskan untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai prajurit dan lupa menyisihkan sedikit waktu untuk mengembangkan ilmunya”.
“Kau benar Umbara, ayahmu memang salah satu senopati besar Mataram sebagai ahli siasat perang tapi tidak diimbangi dengan kemampuannya secara pribadi. Bahkan semakin lama kemampuannya secara pribadi semakin tertinggal jauh dari pamanmu Agung Sedayu”.
“Maka dari itu paman, ayah tidak ingin hal itu terjadi padaku dan Bagaskara sebagai anak-anaknya”.
“Tapi dengan kau ngangsu kawruh kanuragan, jangan sampai melupakan kawruh kajiwan. Karena semakin tinggi ilmu seseorang jika tidak dibarengi dengan keseimbangan jiwani yang baik, maka akan menjadi malapetaka bagi sesama”.
“Aku mengerti paman”.
“Aku sarankan padamu ngger, jika kau bertemu dengan pamanmu Agung Sedayu, mintalah petunjuk sebanyak-banyaknya. Karena pamanmu itu mempunyai ilmu seluas lautan”.
“Ayah juga sering berkata demikian paman. Tapi apakah memang benar jika paman Agung Sedayu mempunyai ilmu yang di luar penalaran kita?”.
“Jika kau belum mengenalnya pamanmu itu secara mendalam, maka kau tidak akan pernah percaya jika dia adalah orang yang berilmu sangat tinggi, karena dia tidak akan pernah menunjukkan kepada siapapun kecuali dalam suatu keadaan yang sangat terpaksa”.
“Meskipun aku keponakannya sendiri, tapi aku memang belum mengenalnya lebih jauh. Karena kami memang jarang bertemu, sekalinya bertemu kami tidak mempunyai waktu lebih lama untuk mendengarkan segala petunjuknya paman”.
“Semoga saja nanti kau akan mendapatkan kesempatan itu”.
“Iya paman”.
“Mungkin sebentar lagi dua orang yang akan mengawani kita besok akan datang”.
Benar saja apa yang dikatakan Ki Lurah Glagah Putih, sejenak kemudian Ki Rangga Sabungsari dan kawannya datang ke tempat duduk mereka, lalu keduanya pun bergabung.
“Silahkan Ki Rangga berdua”. ucap Ki Lurah Glagah Putih ramah.
“Aku tidak pernah mengira akan kau ajak serta dalam tugas khususmu Ki Lurah”. berkata Ki Rangga Sabungsari setelah duduk di atas rerumputan kering.
“Apakah kau menjadi kecewa karena aku tidak mengajakmu untuk makan daging rusa yang lezat?”. kelakar ayah Arya Nakula.
Sontak saja yang mendengar kelakar Ki Lurah Glagah Putih menjadi tertawa.
“Kau jadi mengingatkanku tentang daging rusa yang lezat. Lagipula aku memang sudah lama tidak memakannya”. sahut Ki Rangga Sabungsari setelah tertawanya reda.
“Apakah ada yang salah dengan daging rusa?”.
“Apakah masalah daging rusa akan kita perpanjang?”. sahut Ki Rangga Sabungsari lalu kembali tertawa, yang lain pun ikut tertawa.
“Bagaimana dengan tugas kita besok, Ki Lurah?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari setelah tertawa mereka telah mereda.
“Kita mendapat tugas khusus dari Kanjeng Sinuhun, yaitu berusaha melumpuhkan orang-orang yang menguasai meriam yang diperkirakan terletak jauh di belakang pasukan induk Wirasaba”.
“Menurutmu bagaimana kira-kira cara kita untuk melumpuhkan sekelompok prajurit itu? bukankah akan sangat berbahaya jika kita langsung beradu dada dengan mereka?”.
“Untuk kepentingan yang lebih besar, untuk hal ini sepertinya kita harus menyingkirkan dulu sifat-sifat ksatria”.
“Maksud Ki Lurah?”.
“Mau tidak mau kita harus mencari kelengahan mereka untuk kemudian menyergap dan melumpuhkan mereka secepatnya, bukan beradu dada seperti yang biasa kita lakukan”.
“Aku mengerti maksudmu”.
“Tapi kita tetap harus berusaha menghindari kematian sejauh kita bisa mengupayakan dari pihak manapun”.
“Itulah yang sulit”.
“Ini memang adalah tugas yang sulit dan sangat berbahaya Ki Rangga Jalak Suren tapi harus kita laksanakan”. sahut Ki Lurah Glagah Putih.
“Aku percaya jika Kanjeng Sinuhun mempercayakan tugas ini kepada kita karena kita dianggapnya akan bisa menyelesaikan tugas ini, dan bukan bermaksud menyurukkan kepala kita pada lawan untuk dipenggal”.
“Ki Rangga Sabungsari benar, aku juga berpikir demikian”.
“Ki Lurah Glagah Putih, apakah kau mengajak Umbara serta dalam tugas ini?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari yang sudah mengenal anak itu dengan baik.
“Benar Ki Rangga Sabungsari, berhubung dia masih baru dalam dunia keprajuritan, aku ingin dia mulai belajar mengemban tugas apapun dengan sepenuh hati, tanpa harus memilih ”.
“Sepertinya kau ingin mendorongnya untuk lebih cepat dewasa Ki Lurah?”.
“Ah.. justru aku tidak pernah berpikir demikian”.
“Selain kau mendorongnya untuk lebih cepat dewasa, secara tidak langsung kau mendorongnya pula agar dia segera mendapat tempat di hati para petinggi Mataram jika dia berhasil melaksanakan tugas-tugasnya”.
Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar semua itu justru menjadi tertawa, sedangkan Umbara yang merasa namanya disinggung hanya terdiam dan menundukkan kepalanya.
“Aku justru tidak pernah berpikir sedemikian jauhnya Ki Rangga Sabungsari. Aku hanya bermaksud memberikan jalan untuknya belajar mengemban tugas sebagai prajurit”.
“Ya.. aku percaya kepadamu Ki Lurah Glagah Putih, tadi yang aku katakan hanya suatu kemungkinan yang dapat terjadi kepada keponakanmu secara penalaran wajar”.
“Aku mengerti maksudmu Ki Rangga Sabungsari, itu memang kemungkinan lain yang dapat terjadi”.
Kemudian mereka berempat pun mulai bicara sungguh-sungguh sehubungan dengan persiapan mereka melaksanakan tugas besok yang sulit dan sangat berbahaya.
* * *
Sementara itu pada malam yang semakin larut di Tanah Perdikan Menoreh keluarga besar Ki Agung Sedayu masih berkumpul di pendapa setelah para tamu yang memperingati kepergian Ki Gede Menoreh dan Ki Jayaraga dari orang-orang sekitar mohon diri.
“Arya Nakula? apakah kau sudah mulai dapat melupakan kesedihanmu setelah kepergian kakekmu?”. bertanya Ki Agung Sedayu kepada keponakannya tersebut.
“Iya paman”. jawab anak Ki Lurah Glagah Putih singkat dengan kepala tertunduk.
“Syukurlah.. kami juga ikut merasa kehilangan atas kepergian kakekmu, tapi kami sudah belajar merelakannya”.
Arya Nakula hanya menundukkan kepalanya tanpa menjawab lagi ucapan ayah Bagus Sadewa.
“Rara Wulan? apakah aku bisa mendengar jawabanmu sekarang pertanyaanku kemarin yang belum sempat terjawab?”
Nyi Rara Wulan yang tidak menduga dengan pertanyaan itu mengangkat wajahnya, lalu memandang berkeliling.
Ki Agung Sedayu yang tanggap akan sikap ibu Arya Nakula segera berkata, “maaf Rara Wulan, jika kau memang belum siap untuk menjawab sekarang tidak apa-apa”.
“Apakah yang kakang maksud adalah tentang menjadi pemimpin Pasukan Khusus Perempuan?”.
“Benar Rara Wulan”.
“Baiklah kakang aku akan mencobanya, tapi jika nanti kakang Glagah Putih tidak mengizinkan atau kedepannya aku merasa tidak dapat melanjutkan, aku minta untuk mengundurkan diri”.
“Baiklah , aku dapat mengerti apa yang kau mau. Biarlah yang lain menjadi saksi atas kesanggupanmu ini”.
Sebelum Nyi Rara Wulan menjawab, sebuah pelukan telah mendarat pada tubuhnya dari arah samping kanannya.
“Selamat Rara Wulan, semoga kau dapat menjalankan tugas-tugasmu dengan baik”. ucap Nyi Sekar Mirah selaku guru pertamanya dalam ngangsu kawruh kanuragan.
“Terima kasih mbokayu, semoga aku bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya”.
“Aku yakin dan percaya jika kau pasti akan dapat melakukannya dengan baik Rara Wulan”.
“Agung Sedayu, kira-kira kapan kau dapat mengunjungi Padepokan Orang Bercambuk untuk melihat perkembangan ilmu kami?”. berkata Ki Untara mengalihkan pembicaraan.
“Kami cantrik-cantrik yang masih bodoh sangat berharap pula atas kedatangan Ki Agung Sedayu ke padepokan agar mendapat petunjuk untuk perkembangan ilmu yang telah kami kuasai dan petunjuk tentang kawruh kajiwan agar kami jangan sampai lupa akan segala wewaler dari Perguruan Orang Bercambuk ”. sahut Ki Agahan ikut menimpali.
Ki Agung Sedayu yang mendapatkan pertanyaan itu menjadi terkejut, tanpa sadar dipandangilah ketiga istrinya.
“Kami sangat menyadari kesibukan akan tugas-tugas Ki Agung Sedayu, karena selain tugas dari Mataram Ki Agung Sedayu sibuk pula dengan tugas menjaga tiga bidadari”.
Ayah Bagus Sadewa justru menjadi tertawa mendengar ucapan Ki Agahan yang terakhir, setelah tertawanya reda.
“Nanti jika ada waktu aku akan berusaha menyempatkan mengunjungi padepokan, semoga saja aku masih ingat ilmu yang aku kuasai”.
“Ki Untara apakah mengerti maksudnya?”. tanya Ki Agahan.
“Agung Sedayu hanya berkelakar”.
“Ki Untara benar, tapi selain itu secara tidak langsung Ki Agung Sedayu memberitahukan kepada kita semua bahwa karena saking banyaknya ilmu yang dia kuasai hingga lupa mana yang jalur dari Perguruan Orang Bercambuk”.
“Ah.. tidak Ki Agahan. Bukan itu maksudku”. sahut Ki Agung Sedayu yang wajahnya menjadi memerah karena telah salah bicara.
“Atau mungkin karena Ki Agung Sedayu sibuk mempelajari jalur ilmu baru dari Kendalisada?”.
“Apakah Ki Agahan lupa jika dari jalur Perguruan Kedung Jati dan Perguruan Menoreh ilmunya masih sangat nggegirisi?”. sahut Ki Untara yang tidak mau kalah.
Wajah ayah Bagus Sadewa dan ketiga istrinya pun menjadi semakin memerah, tapi yang lain justru tertawa, kecuali anak-anak yang belum dapat menangkap arah pembicaraan hanya bisa kebingungan dengan apa yang dibicarakan orang-orang tua.
* * *
Sementara itu di Kadipaten Wirasaba pada saat menjelang matahari terbit, kedua pasukan besar yang saling bersebrangan sudah siap akan saling berhadapan dan berbenturan satu sama lain untuk saling membuktikan siapakah yang lebih kuat dari keduanya.
Umbul-umbul, kelebet, dan rontek sudah terpampang dengan gagahnya dari setiap kesatuan masing-masing pasukan sebagai perlambang perjuangan, kebanggaan, kesetiaan, dan pembuktian kepada diri sendiri dan pepunden mereka masing-masing.
Salah satu prajurit dari pasukan Mataram telah berdiam diri di atas sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi sejak beberapa saat tadi dengan membawa sesuatu di tangannya.
Ternyata sebuah sangkakala yang berukuran agak panjang terbuat dari gading gajah yang telah mati dan kemudian diolah secara khusus agar dapat menghasilkan suara yang diinginkan.
Prajurit itu bertugas untuk meniup sangkakala sebagai tanda dimulainya perang yang akan berlangsung jika sudah mendapatkan isyarat yang telah disepakati bersama.
Matahari sudah terbit di ufuk timur. Namun prajurit itu masih berdiam diri sembari menunggu isyarat yang disepakati untuk meniup sangkakala tersebut.
Setelah beberapa saat menunggu datangnya isyarat, prajurit itu akhirnya dapat menjalankan tugasnya meniup sangkakala gading gajah hingga menggema di sekitar tempat itu sebagai tanda dimulainya perang besar antara Mataram dan Wirasaba.
–o-O-o–
Bersambung ke
Djilid
8
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar