PdTL 19

 


PRAHARA

di

TANAH LELUHUR

Djilid

19

MD  PRASTIYO

cover :

M   FARUK



Editing dan profreading Adiwaswarna & Putut Risang

Padepokan Gagakseta  2



KATA  PENGANTAR


Cerita ini disusun bukan bermaksud untuk menyamai atau bahkan mensejajarkan diri dengan sang maestro pujangga. Karena penulis yang sedang belajar sangat menyadari jika masih jauh dari semua itu

Karya ini murni dibuat, atas dasar kekaguman penulis kepada sang maestro pujangga yang telah mendahului kita menghadap Yang Maha Agung.

  Penulis menyadari sepenuhnya jika penulis masih sedang belajar dan perlu bimbingan dari Ki dan Nyi sanak semua. Penulis sangat berterima kasih jika Ki dan Nyi sanak semua berkenan memberikan pencerahan kepada penulis, agar tulisan semakin berkembang lebih baik.

Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin tidak bisa memenuhi keinginan semua pembaca. Hal ini semata karena kurangnya referensi dan pengalaman menulis. Jika di dalam cerita silat ini masih banyak kejanggalan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.


TERIMA  KASIH



Padepokan Tanah Leluhur


Agustus,  2024



*  *  * * *


Dalam suasana pagi yang masih dingin itu, Kadipaten Surabaya menjadi jauh lebih sibuk dari hari-hari biasanya. Terutama di sekitaran Istana Kadipaten.

Sebab sejak beberapa hari yang lalu, pepunden tertinggi Kadipaten Surabaya, yaitu Kanjeng Adipati Jayalengkara memang telah memerintahkan untuk mengumpulkan pasukan segelar sepapan guna menyerang Pasukan Mataram yang telah berani secara terang-terangan menyerang Kadipaten Wirasaba yang masih termasuk wilayah bawahan Surabaya.

Dengan Pasukan Surabaya yang besar dan kuat, sepertinya bukanlah perkara yang sulit jika harus mengumpulkan pasukan segelar sepapan dalam waktu yang singkat.

Sebab mereka adalah pasukan yang sudah sangat terlatih dalam segala medan dan dalam segala keadaan menjadikan mereka dapat dengan sigap kapan pun dibutuhkan oleh pepunden mereka.

Pasukan yang datang lebih dulu dipersilahkan untuk menempati barak-barak pasukan yang telah disediakan oleh para prajurit yang bertugas di Istana Kadipaten.

Bahkan mereka tidak hanya terdiri dari para prajurit saja, tetapi ada pula dari para pasukan pengawal, bahkan ada pula  kelompok orang yang berasal dari beberapa padepokan yang berada di sekitar wilayah Kadipaten Surabaya.

Dari beberapa nama padepokan, Perguruan Jalatunda adalah salah satu di antaranya yang memiliki wibawa paling besar. Selain karena kemampuan pemimpinnya secara pribadi, Padepokan Jalatunda memiliki murid yang sangat banyak.

Dan banyak diantara murid-murid Perguruan Jalatunda telah berhasil menapaki kamukten dan menjadi orang-orang penting di dalam pemerintahan Kadipaten Surabaya di bawah kepemimpinan Kanjeng Adipati Jayalengkara.

Selain itu Ki Ageng Jalatunda itu sendiri, secara tidak langsung oleh Surabaya dijadikan sebagai salah satu penasehat kadipaten dalam pemerintahannya.

Di pagi itu Kanjeng Adipati Jayalengkara yang tampak sudah semakin sepuh terlihat menghadiri paseban dengan didampingi putra sulungnya, yaitu Pangeran Pekik.

Sementara dalam paseban itu telah dihadiri pula oleh beberapa orang penting, baik dari para prajurit maupun selain prajurit, guna membicarakan persiapan mereka untuk menyerang balik Pasukan Mataram yang telah berani menduduki Kadipaten Wirasaba.

“Ki Tumenggung Surawisa, bagaimana dengan segala persiapan pasukan kita yang akan menyerang Pasukan Mataram?”. bertanya Kanjeng Adipati Jayalengkara setelah selesai dengan sesorah singkatnya.

Sebelum menjawab, orang yang merasa namanya disebut oleh pepunden seluruh kawula Surabaya itupun segera menghaturkan sembahnya lebih dulu.

“Ampun Kanjeng Adipati, segala persiapan telah sesuai dengan rencana”.

“Apakah pasukan sudah lengkap secara keseluruhan?”.

“Ampun Kanjeng, pada saat ini memang belum. Tapi jika berdasarkan perhitungan hamba, hari ini tentu semuanya sudah siap secara keseluruhan”.

“Hari ini itu kapan tepatnya?”.

“Sebelum matahari terbenam, Kanjeng Adipati”.

“Lalu kapan pasukan kita dapat diberangkatkan? apakah kita masih harus menunggu lagi?”.

“Jika semua telah berkumpul, hamba rasa sudah dapat segera diberangkatkan, Kanjeng”.

“Malam ini pula kah?”.

“Demikianlah Kanjeng Adipati”.

Kanjeng Adipati Jayalengkara tampak mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan tersebut, lalu diedarkanlah pandangan matanya ke arah sekeliling orang-orang yang hadir.

“Ki Tumenggung Wisabaya, bagaimana dengan perkembangan terakhir dari laporan para prajurit sandi sehubungan dengan calon lawan yang akan kita hadapi?”.

“Ampun Kanjeng Adipati, ternyata pada perkembangan terakhir Pasukan Mataram yang sepertinya telah mengetahui bahwa akan kita serang balik menjadi ketakutan, sehingga mereka membuat keputusan untuk menarik semua pasukannya secara tiba-tiba, kemarin setelah matahari terbenam”. sahut Ki Tumenggung Wisabaya setelah lebih dulu menghaturkan sembah kepada pepundennya.

“Menarik diri katamu? jadi Mataram telah menarik seluruh pasukannya?”. sahut Kanjeng Adipati yang nampak sangat terkejut mendengar keterangan tersebut.

“Demikianlah, Kanjeng Adipati”.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang?  lalu bagaimana dengan pasukan segelar sepapan yang telah berhasil kita kumpulkan hari ini?”. bertanya Kanjeng Adipati kepada semua orang yang hadir sembari memandang berkeliling.

Sejenak orang-orang saling memberikan isyarat kepada kawan terdekat mereka untuk memberikan tanggapan atas pertanyaan pepunden mereka tersebut.

Namun setelah beberapa saat masih belum ada pula yang berani menanggapi, sebab mereka pun masih bingung dan ragu dengan apa yang harus mereka lakukan.

Selain itu karena mereka tidak pernah menduga sebelumnya bahwa Pasukan Mataram yang berhasil menaklukkan Wirasaba, tiba-tiba menarik seluruh pasukannya setelah tahu akan mendapat serangan balik dari Pasukan Surabaya.

“Bagaimana menurut, Ki Ageng Jalatunda?”. bertanya Kanjeng Adipati setelah beberapa saat mendapati orang-orang yang berada di hadapannya hanya terdiam.

“Ampun Kanjeng Adipati, jika hamba dimintai pendapat. Maka menurut hamba adalah tidak ada salahnya jika Pasukan Surabaya melanjutkan tugasnya”.

“Maksud Ki Ageng?”.

“Maksud hamba adalah, Pasukan Surabaya yang sudah berkumpul dan berjumlah segelar sepapan itu tidak ada salahnya jika melanjutkan tugasnya dengan menyerang Pasukan Mataram yang telah berani menduduki Wirasaba, tapi yang kini telah menarik diri tersebut”.

“Apakah dengan demikian, maksud Ki Ageng adalah Pasukan Surabaya harus mengejar mereka?”.

“Bukankah tidak ada salahnya jika kita harus mengejar mereka, Kanjeng Adipati?”.

Kanjeng Adipati Jayalengkara menjadi terdiam sejenak mendapat jawaban tersebut, berbagai pertimbangan bermunculan dalam penalarannya terhadap apa yang akan mereka lakukan.

Suara tarikan nafasnya terdengar berat, dan keningnya tampak berkerut sembari tangan kanannya menyangga dagunya yang sebenarnya tidak terasa berat.

“Bukan sebuah perkara mudah jika harus mengejar Pasukan Mataram dengan pasukan segelar sepapan”. katanya dalam hati. Lanjutnya, “lalu apa artinya Pasukan Surabaya yang sudah terkumpul segelar sepapan ini, jika harus kembali dibubarkan begitu saja tanpa berbuat sesuatu?”.

“Ampun Ayahanda… menurut hamba, sepertinya kita perlu pertimbangkan lagi gagasan dari Ki Ageng Jalatunda bersama para Senopati Surabaya yang mendapat tugas”. berkata Pangeran Pekik membuyarkan lamunan.

“Apa maksudmu, Ngger?”.

“Apakah tidak sebaiknya jika kita bicarakan masalah ini dengan para senopati. Dengan tujuan, apakah penyerangan ini akan dilanjutkan atau tidak setelah kita tahu bahwa Pasukan Mataram telah menarik diri?”.

“Nah… kalian dengar sendiri? sekarang aku ingin mendengar dari mulut kalian, penyerangan ini akan dilanjutkan atau diurungkan?”. bertanya Kanjeng Adipati Jayalengkara sembari diedarkannya pandangan ke semua orang yang hadir.

“Ampun Kanjeng Adipati, jika hamba diperkenankan untuk menyampaikan pendapat. Menurut hamba adalah jika penyerangan ini diurungkan maka akan membuat para prajurit yang pada awalnya sudah memiliki semangat membara maka seketika akan merasa kagol, dan yang hamba khawatirkan adalah dengan keadaan yang demikian maka para prajurit akan mencari pelampiasannya sesuai dengan seleranya masing-masing tanpa terkendali”.

Kanjeng Adipati tidak segera menanggapi ucapan dari Ki Tumenggung Surawisa tersebut, tetapi dirinya ingin lebih dulu melihat wajah orang-orang yang hadir.

“Siapa lagi yang ingin menyampaikan pendapat?”. bertanya Kanjeng Adipati Surabaya setelah sejenak tidak melihat tanda-tanda ada yang akan membuka suara.

“Aku sependapat dengan Surawisa, Kanjeng Adipati. Jika para prajurit tiba-tiba harus mengurungkan niatnya untuk turun ke medan, maka akan ada kemungkinan mereka akan mencari pelampiasannya sesuai dengan seleranya masing-masing. Dan yang hamba khawatirkan adalah jika selera pelampiasan mereka itu tanpa sepengetahuan kita dan justru merugikan kawula alit, itu yang harus kita pikirkan dengan sebaik-baiknya”.

“Maaf Ki Ageng Jalatunda, dengan demikian sama artinya kita harus mengejar Pasukan Mataram yang telah menarik diri? bukankah kita berselisih waktu yang cukup panjang? dan yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah apakah, kita mampu mengejar Pasukan Mataram itu sebelum tiba di Mataram?”. sahut Pangeran Pekik.

“Wisabaya?”.

“Ada apa Guru?”.

“Kau sebagai senopati tertinggi pasukan sandi Surabaya, apakah menurut perhitunganmu, Pasukan Surabaya ada kemungkinan dapat menyusul Pasukan Mataram melalui jalan pintas?”.

“Ada Guru, tapi bukan benar-benar jalan pintas. Tapi kita harus menerobos keluar masuk hutan yang cukup pepat, tapi aku rasa kita tentu akan dapat melewatinya dengan baik dan mampu mengejar Pasukan Mataram”.

“Apakah tidak ada jalan yang lebih baik?”.

“Sejauh pengetahuanku, tidak ada lagi jalan pintas yang lebih baik dari jalan itu, Guru”. Ki Tumenggung Wisabaya sempat terdiam sejenak. Lalu lanjutnya, “Jika hanya untuk satu dua orang atau kelompok kecil, memang aku rasa kita dapat melalui jalan lain, Guru. Tapi bukankah kali ini kita akan membawa pasukan segelar sepapan dengan segala perlengkapannya, jadi aku rasa kita tentu akan menemukan kesulitan. Dan aku belum tahu jalan yang lebih baik yang dapat dilalui oleh pasukan segelar sepapan”.

“Aku sependapat dengan Ki Tumenggung Wisabaya, kita harus mempertimbangkan semuanya secara cermat agar kita tidak terjerumus pada kesulitan karena kebodohan kita sendiri”. sahut Pangeran Pekik.

“Dengan kita harus menerobos hutan-hutan yang ada dalam sepanjang perjalanan menuju Mataram, maka kita tidak dapat membawa peralatan yang bakal menjadi beban selama dalam perjalanan. Misalkan saja, tentu kita tidak akan dapat membawa beberapa meriam”.

“Lalu menurut perhitungan Ki Tumenggung Wisabaya, dimanakah kita akan dapat menyusul Pasukan Mataram? jangan sampai kita dapat menyusul mereka ketika mereka sudah tiba di Mataram. Dan jika itu terjadi, maka kita harus berhitung ulang dengan rencana ini”.

“Berdasarkan laporan dari para prajurit sandi, bahwa dalam Pasukan Mataram itu terdapat banyak prajurit yang terluka, para tawanan dari Wirasaba, dan masih ada pula sisa-sisa bahan makanan dan segala peralatannya. Sehingga dengan demikian, tentu akan membuat pasukan itu bergerak dengan sangat lamban”.

“Dengan perhitungan yang demikian, maka menurutmu Pasukan Surabaya tentu akan mampu menyusul Pasukan Mataram itu, Ki Tumenggung Wisabaya? meskipun kita sudah berselisih waktu yang cukup jauh?”.

“Demikianlah menurut hamba, Kanjeng Adipati. Dan seandainya kita tidak mengambil jalan pintas pun, hamba rasa kita tentu akan dapat menyusulnya. Sebab pasukan kita adalah sebuah pasukan yang masih utuh secara keseluruhan, sehingga pasukan kita tentu akan mampu bergerak lebih cepat dari pada Pasukan Mataram itu sendiri”.

“Meskipun kita berselisih waktu hingga tiga hari sekalipun, kita akan mampu menyusul mereka, sebelum mereka tiba di Mataram?”. bertanya Panembahan Jayalengkara mempertegas.

“Demikianlah menurut perhitungan hamba, Kanjeng Adipati”.

“Apakah perhitunganmu itu dapat dipertanggung jawabkan?”.

“Hamba bertanggung jawab atas apa yang hamba ucapkan, dan hamba siap dengan segala hukuman yang bakal hamba terima jika semua yang telah hamba ucapkan ini adalah sebuah kesalahan”.

“Baiklah, aku hargai sikapmu, Ki Tumenggung Wisabaya”. sahut Panembahan Jayalengkara, kemudian matanya memandang ke arah sekeliling.

Semua orang yang hadir menunggu titah dari pepunden seluruh kawula Surabaya tersebut dalam kediaman. Meskipun mereka sudah dapat menduga, tetapi mereka tidak ingin mendahului.

“Tetapi sebelum aku memberikan titah, aku ingin lebih dulu memperingatkan kepada kalian semua, bahwa kalian memikul tugas berat atas nama seluruh kawula Surabaya. Sehingga dalam tugas kali ini aku tidak ingin mendengar kegagalan”.

Belum ada yang berani menanggapi, dan mereka hanya dapat berdiam diri sembari menundukkan kepala mendengarkan apa yang diucapkan oleh pepundennya dengan sebaik-baiknya.

Kanjeng Adipati Jayalengkara yang sudah semakin sepuh itu, tampak menarik nafas dalam-dalam dulu sebelum melanjutkan kata-katanya untuk sedikit mengurangi kepepatan hatinya.

Meskipun dia tidak akan ikut dalam rombongan pasukan yang akan berangkat, namun dirinya sangat menyadari bahwa apa yang akan dilakukan pasukan tersebut akan menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan.

“Kepada kalian yang termasuk dalam pasukan segelar sepapan yang sejak semula telah disiapkan untuk menyerang balik Pasukan Mataram yang berani menyerang Wirasaba, aku perintahkan kepada kalian semua untuk melanjutkan tugas kalian atas nama seluruh kawula Surabaya”.

Seketika semua orang yang hadir menghaturkan sembahnya dari tempatnya masing-masing, tanpa menjawab. Sebagai pertanda bahwa mereka semua sudah mengerti apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.

“Ki Tumenggung Surawisa?”.

“Hamba Kanjeng Adipati”. sahut orang yang disebut namanya, sembari menghaturkan sembahnya.

“Aku percayakan kepadamu, sebagai Senopati Agung dari seluruh Pasukan Surabaya yang kali ini akan menyusul Pasukan Mataram dan menghancurkannya karena telah berani mengusik Wirasaba yang masih menjadi bagian dari Surabaya”.

“Sendika dawuh, Kanjeng Adipati. Segala titah dari Kanjeng Adipati akan selalu hamba junjung tinggi, dan hamba selalu siap mempertaruhkan seluruh jiwa raga, atas segala titah yang diberikan kepada hamba”.

“Aku percayakan kepadamu, Ki Tumenggung Surawisa. Untuk menjadi Senopati Agung sekaligus sebagai Duta Pamungkas, dan tunjukkanlah kepada Mataram akibat apa yang akan mereka terima jika berani mengusik Surabaya atau wilayah yang masih menjadi bagian dari Kadipaten Surabaya”.

“Sendika dawuh Kanjeng Adipati”.

*****

Di pagi yang cerah itu di Gunung Kendalisada masih terdengar riuhnya suara burung bernyanyi dan berterbangan dari satu dahan ke dahan lain sembari mencari mangsa, atau hanya sekedar menikmati indahnya saja pagi.

Meskipun pagi telah melewati matahari sepenggalah, namun masih terasa sekali  keasrian pagi yang begitu menyejukkan tubuh dan hati di tempat itu bagi siapapun yang mendambakan hidup penuh dengan kedamaian.

Setelah Nyi Anjani selesai membereskan peralatan dapur, maka dia pun segera menggabungkan diri di pendapa bersama yang lain yang sedang berbincang, sembari membawa minuman hangat yang baru untuk kemudian dinikmati bersama.

Ki Lurah Glagah Putih yang tubuhnya masih tampak lemah pun duduk di pendapa tersebut dengan menyandarkan tubuhnya pada salah satu tiang yang ada, dan meletakkan tongkat kayunya itu di sebelah tempat duduknya.

“Jika kau masih ingin berbaring, kembalilah ke gandokmu, Glagah Putih”. berkata Nyi Anjani yang baru saja datang.

“Tidak Mbokayu, aku sudah terlalu lama berbaring di tempat itu, hingga hampir seluruh tubuhku terasa kaku”.

“Apakah masih ada bagian tubuhmu yang masih terasa nyeri, Glagah Putih?”.

“Sudah semakin jauh berkurang, Mbokayu. Bahkan semakin lama aku rasakan hampir sudah mulai tidak terasa lagi nyeri di bagian dadaku ini”.

Sejenak kemudian Nyi Anjani menoleh ke arah Begawan Mayangkara. Lalu katanya, “ternyata air aneh dari kawan Eyang itu benar-benar luar biasa”.

“Yang Maha Welas Asih menunjukkan kuasa-Nya melalui air Mustika Warih itu sebagai lantaran kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih setelah terluka dalam yang sangat parah”.

“Ya… Eyang benar, semua hanya sekedar lantaran. Karena semua adalah semata-mata atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih serta Yang Maha Berkehendak”.

“Sebenarnya ada yang membuat hatiku kurang mapan”. gumam Ki Lurah Glagah Putih.

“Katakan saja, Glagah Putih. Barangkali aku dapat membantu menjawab kegelisahanmu itu”.

“Meskipun mungkin bagi yang bersangkutan mungkin hal ini tidak pernah berarti, tapi sebenarnya aku ingin sekali mengucapkan terima kasih secara langsung atas bantuan dari kawan Begawan Mayangkara yang sangat berjasa atas keselamatanku, selain bantuan dari kalian semua”.

“Sebaiknya tidak perlu kau pikirkan masalah itu, Ki Lurah. Sebab yang bersangkutan memang belum berkenan, lagipula ada yang lebih penting yang harus kau pikirkan sekarang”.

“Seperti yang tadi sudah aku katakan, Begawan. Mungkin bagi kawan Begawan itu adalah kurang berarti, atau bahkan tidak berarti sama sekali. Tapi bagiku, pertolongannya sangat berarti sekali. Sebab, mampu menyambung sejarahku yang tadinya sudah diambang kematian”.

“Mungkin jika sudah saatnya nanti kau akan mendapatkan kesempatan itu, Ki Lurah”.

“Aku sangat berharap untuk dapat secepatnya”.

“Glagah Putih… sepertinya kali ini kita memang tidak dapat memaksakan kehendak, sebab sekarang kawan Eyang Begawan memang belum berkenan menerima kita”.

“Dia memang adalah orang yang aneh”.

“Jika saatnya nanti Begawan dapat bertemu dengannya, tolong sampaikan rasa terima kasihku, dan tolong sampaikan pula bahwa aku sangat berharap bahwa aku dapat bertemu dan dapat menyampaikannya secara langsung”.

“Baiklah Ki Lurah, jika nanti aku bertemu dengannya akan aku sampaikan kepadanya, tapi untuk hasilnya kita harus menghormati apapun keputusannya”.

“Baiklah Begawan, sekali lagi aku hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan pertolongan dari Begawan Mayangkara”.

“Sama-sama Ki Lurah, aku hanya menjalankan kewajiban kepada sesama sejauh kemampuanku”.

Sejenak kemudian tempat itu menjadi hening, sebab tidak ada yang membuka suara. Tetapi dari kejauhan masih terdengar sekumpulan burung-burung pagi yang masih berkicau dengan riangnya meskipun matahari telah melewati sepenggalah.

Ketiganya masih terdiam dengan angan masing-masing, entah apa yang sedang mereka pikirkan. Tetapi yang jelas tidak ada yang sama dalam isi kepala mereka.

“Sepertinya ada sesuatu yang membuat hatimu kurang mapan, Anjani?”. berkata Begawan Mayangkara membuyarkan lamunan mantan selir Raden Mas Rangsang tersebut.

“Em…”. sahut Nyi Anjani agak tergagap, lalu menoleh ke arah sumber suara.

Dari sekilas pandangan mata mereka yang beradu, Begawan Mayangkara sepertinya dapat menduga apa yang sebenarnya sedang menggelisahkan orang yang sedang duduk di hadapannya tersebut, namun dia tidak mau mendahului.

“Benar Eyang, tapi….”.

“Tapi apa, Anjani?”.

“Tapi aku ragu untuk mengatakannya”.

“Aku tidak akan memaksamu untuk bicara, itu terserah kau saja jika kau memang merasa keberatan untuk mengatakannya”.

“Tidak ada keberatan sama sekali, Eyang. Tetapi hanya aku masih bingung harus memulainya dari mana untuk mengatakannya”.

“Mungkin Mbokayu Anjani keberatan untuk mengatakannya jika aku tetap berada disini?’. sahut ayah Arya Nakula itu yang merasa ewuh-pekewuh, lalu berusaha bangkit.

“Tidak Glagah Putih, kau tidak perlu kemana-mana. Lagipula tidak ada yang pantas aku sembunyikan darimu”. sahut Nyi Anjani yang menjadi agak terkejut dengan ucapan adik sepupu suaminya tersebut.

Ki Lurah Glagah Putih pun segera mengurungkan niatnya untuk beranjak bangkit, kemudian dia kembali menyandarkan punggungnya kembali di salah satu tiang pendapa.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, Nyi Anjani pun segera mengatakan apa yang telah membuat hatinya tiba-tiba merasa kurang mapan.

Kedua orang itu pun terdiam sembari mendengarkan dengan seksama hingga Nyi Anjani selesai menyampaikannya, tetapi kemudian mereka berdua pun sempat mengerutkan keningnya.

“Tapi aku sendiri tidak tahu, apakah itu hanyalah kegelisahanku yang tidak berdasar, atau memang sebuah firasat yang mungkin saja dapat menjadi kenyataan”.

“Sejauh pengetahuanku, namanya sebuah firasat itu dapat menjadi kenyataan atau tidak sama sekali. Tetapi jika dalam hatimu itu merasakan sebuah kegelisahan yang semakin kuat, mungkin saja itu sebuah firasat yang mungkin bakal terjadi. Meskipun belum tentu benar seutuhnya, tetapi mungkin arahnya tidak jauh dari itu”.

“Meskipun aku sendiri masih ragu itu sebuah isyarat tentang apa? tapi aku rasa memang sejak hal itu terjadi, kegelisahanku menjadi semakin kuat, Eyang”.

Begawan Mayangkara yang sebenarnya sudah dapat menduga apa yang ada dalam penalaran Nyi Anjani, namun dirinya memang sengaja menunggu yang bersangkutan menyampaikannya sendiri lebih dulu.

Dia hanya menatapnya sekilas lalu matanya memandang ke arah lain di kejauhan, sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada dalam duduknya bersila.

Sementara Nyi Anjani masih saja berdiam diri sembari dalam keadaan kepalanya tertunduk, berbagai pertimbangan muncul dalam penalarannya yang membuatnya bingung harus memulainya dari mana untuk bercerita.

“Sebaiknya Mbokayu sampaikan saja dulu, apa yang telah membuat Mbokayu Anjani dirundung kegelisahan. Apa pun itu, nanti dapat kita bicarakan bersama. Apakah itu cukup kita biarkan saja atau harus kita tindak lanjuti”.

Begawan Mayangkara kembali memandang sekilas ke arah Nyi Anjani yang masih berdiam diri dalam keraguannya, tetapi kemudian dia memandang kembali luasnya hamparan cakrawala di kejauhan.

Terdengar sebuah tarikan nafasnya yang berat dari Nyi Anjani yang berusaha memantapkan hatinya, sebelum menyampaikan apa yang telah membuat hatinya kurang mapan kepada dua orang yang berada di hadapannya.

Kedua orang itu tidak dapat berbuat lain selain hanya dapat menunggu dengan sabar apa yang akan disampaikan oleh Nyi Anjani untuk ngudarasa.

Dari perempuan perkasa namun penuh kelembutan sejak menemukan tambatan hatinya, selain itu memancarkan kecantikan yang luar biasa serta bau wangi yang hampir setiap saat semerbak.

*****

Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, terlihat ada tiga penunggang kuda yang baru saja keluar dari dari jalan setapak di sisi hutan yang cukup panjang, dengan wajah-wajah penuh ketegangan terpancar dari ketiganya.

Sepertinya tidak ada yang membuka suara sama sekali selama dalam perjalanan, sebab mereka masih diliputi oleh kegelisahan dalam hati dan penalaran masing-masing, atas apa yang akan mereka lakukan kemudian.

Mereka adalah orang-orang yang sedang mendapat kepercayaan dari pepunden mereka guna mengemban tugas yang tidak mudah untuk dilaksanakan.

Ketegangan itu semakin menguat ketika mereka telah melihat dinding Istana Kadipaten Pajang semakin dekat dalam pandangan mata wadag.

“Apakah menurut Ki Lurah, kita akan mendapatkan sambutan yang baik di Pajang nanti?”. berkata salah seorang penunggang kuda itu yang sepertinya tidak dapat menahan diri lagi untuk tetap berdiam diri.

“Aku tahu bahwa Pajang yang sekarang bukanlah seperti Pajang yang dulu, beberapa waktu yang lampau. Tapi biar bagaimanapun kita harus tetap melaksanakan perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dengan sebaik-baiknya”.

“Aku memang tidak akan ingkar akan tugas kita, Ki Lurah. Tetapi aku hanya berbicara tentang sebuah kemungkinan yang dapat saja terjadi atas kita di Pajang nanti”.

“Kemungkinan itu memang ada, tapi kita tidak perlu khawatir. Sebab kita telah dibekali pertanda khusus dari Kanjeng Sinuhun, jadi aku rasa mereka pun akan berpikir ulang jika ingin berbuat macam-macam terhadap kita bertiga”.

“Ya… semoga saja. Dan akupun berharap kita tidak akan menemui hambatan yang berarti dalam melaksanakan tugas ini”. sahut kawan Ki Lurah itu pada akhirnya.

Sementara jarak mereka menjadi semakin dekat dengan Istana Kadipaten Pajang yang menjadi tujuan mereka, tempat yang memiliki sejarah panjang di atas tanah ini sejak pada masa Kanjeng Sultan Hadiwijaya masih berkuasa.

Namun sepertinya Pajang sekarang sudah berbeda warna, jika dibandingkan dengan Pajang pada saat masih dibawah kepemimpinan putra Ki Kebo Kenanga tersebut.

Dan dalam sejarahnya dulu, Pajang pernah menuangkan sejarah hitamnya terhadap Mataram pada saat Kanjeng Panembahan Senopati mempercayakan tahta Pajang kepada adiknya, yaitu Pangeran Gagak Baning.

Meskipun sebagai adiknya, namun entah mengapa Pangeran Gagak Baning begitu membenci dan memusuhi Mataram. Bahkan dengan secara terang-terangan dia berani memberontak kepada kakaknya tersebut.

Namun pada akhirnya Pangeran Gagak Baning, mau tidak mau harus mengakui kekalahannya setelah Pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh orang yang pada saat mudanya pernah bergelar Raden Ngabehi Loring Pasar.

Dan setelah berakhirnya masa kepemimpinan Pangeran Gagak Baning di Pajang, Kanjeng Panembahan Senopati kemudian mengangkat putranya yang masih sangat muda untuk menjadi Adipati Pajang selanjutnya.

Tetapi entah ini adalah sebuah kesalahan dari Kanjeng Panembahan Senopati atau memang anak Pangeran Gagak baning yang mendapatkan kamukten terlalu cepat pada umurnya yang masih sangat muda sehingga kemudian telah membuatnya berubah.

Perubahan itu entah karena memang sudah menjadi wataknya, atau mungkin pula karena pengaruh orang-orang disekitarnya. Sebab dalam perkembangannya, putra dari Pangeran Gagak Baning menjadi sering berbeda pendapat dengan Mataram selaku wilayah yang menaungi Kadipaten Pajang.

Pada awalnya memang tidak begitu terlihat perbedaan tersebut, namun seiring dengan berjalannya waktu seakan perbedaan itu seakan semakin terlihat ke permukaan.

Bahkan mungkin semakin lama menjadi meruncing setelah Kanjeng Adipati Pajang itu sendiri semakin bertambah umurnya dan semakin dewasa, baik secara pribadi maupun pengalamannya.

Sementara dinding Istana Kadipaten Pajang sudah semakin dekat bagi ketiga penunggang kuda itu, tetapi dari wajah-wajah mereka tampak semakin menegang.

Dari atas punggung kuda, mereka sudah mulai dapat melihat beberapa prajurit Pajang yang bertugas di depan regol dinding istana sembari membawa senjata keprajuritan lengkap.

Dua orang prajurit Pajang tersebut berdiri sebelah menyebelah sembari membawa perisai di tangan kiri dan tombak panjang di tangan kanan, sementara yang lain berbagi tugas.

Meskipun hampir dari semua prajurit itu masih tampak muda, namun dari sekilas terlihat wajah-wajah garang. Dan itu menambah ciut nyali orang yang bakal datang berkunjung, terutama bagi orang kebanyakan.

Ketiga penunggang kuda yang baru saja datang itu pun segera turun dari punggung kudanya ketika sudah tinggal berjarak beberapa tombak dari para prajurit yang bertugas di depan regol.

Dengan sigap, kedua prajurit yang berdiri sebelah menyebelah itu pun segera menyilangkan tombak mereka pada saat orang yang baru saja datang dan tidak mereka kenal itu semakin mendekat.

“Sebutkan nama kalian, dari mana kalian berasal dan apa keperluan kalian datang kemari?”. berkata salah satu prajurit Pajang yang bertugas, tetapi tetap dengan muka datar.

Sebelum menjawab, terdengar tarikan nafas yang berat dari ketiganya sebagai pertanda bahwa ada perasaan yang kurang mapan akan sikap para prajurit Pajang tersebut. Tetapi mereka diam saja dan tidak mempersoalkannya.

Kemudian salah satu dari ketiganya maju beberapa langkah setelah sebelumnya menyerahkan lebih dulu tali kekang kudanya kepada kawan yang berdiri di sebelah kirinya.

“Kau tidak perlu maju, Ki Sanak. Tetaplah di tempatmu!”.

Orang yang mencoba melangkah maju itu seketika berhenti sembari tersenyum, sembari tidak lupa dia mengangguk hormat, dia pun mulai bicara.

“Perkenalkanlah Ki Sanak, aku adalah Ki Lurah Jatisrana, prajurit dari Mataram dan dua orang kawanku itu pun adalah prajurit Mataram pula. Dan keperluanku datang kemari adalah untuk mengemban tugas dari pepundenku di Mataram, Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma untuk menyampaikan pesan kepada Kanjeng Adipati Pajang”.

“Jika kalian memang seorang prajurit, kenapa kalian tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai seorang prajurit? atau kalian hanya orang yang hanya mengaku-ngaku saja sebagai seorang prajurit?”. sahut prajurit itu tetap dengan wajah datarnya.

“Maaf Ki Sanak, sebenarnyalah kami adalah para prajurit sandi sekaligus sebagai prajurit penghubung, sehingga tidak setiap saat kami mengenakan ciri-ciri seorang prajurit Mataram”.

“Aku tidak dapat mempercayaimu begitu saja, terutama jika kau tidak dapat menunjukkan pertanda sebagai seorang prajurit, maka kami akan mengusir kalian dari sini”.

Terdengar sebuah tarikan nafas yang semakin berat dari Ki Lurah Jatisrana, namun dirinya tetap berusaha untuk tetap tersenyum, meskipun senyumnya terlihat agak terpaksa.

“Aku percaya bahwa kalian adalah para prajurit Pajang yang baik dan berusaha melaksanakan tugas kalian dengan sebaik-baiknya”. sahut Ki Lurah Jatisrana, lalu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya yang tampak lusuh.

Ternyata sebuah lencana dari logam yang dibuat secara khusus dan untuk kepentingan khusus pula, lalu di tunjukkanlah lencana itu kepada para prajurit Pajang yang sedang bertugas.

“Lihatlah baik-baik Ki Sanak, aku telah dibekali ini oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dalam tugasku”.

Kemudian salah satu prajurit Pajang itu pun menerima lencana itu, dan pada saat yang bersamaan beberapa prajurit lain yang berada di gardu penjagaan menghampiri.

Mereka memperhatikan lencana itu dengan seksama, lalu saling pandang. Tetapi entah apa yang ada di dalam isi kepala mereka setelah melihat pertanda khusus tersebut.

“Apakah kalian yakin akan pertanda ini?”. bertanya salah satunya dengan suara setengah berbisik.

“Aku memang pernah melihat beberapa pertanda khusus, tapi kalau lencana yang satu ini aku belum pernah melihatnya, apalagi mengenalinya”. sahut kawannya yang lain.

Beberapa prajurit itu pun sejenak berkerumun membicarakan lencana yang ditunjukkan oleh orang yang mengaku sebagai prajurit sandi dari Mataram.

Sementara Ki Lurah Jatisrana dan kedua kawannya merasa heran dengan sikap yang ditunjukkan oleh para prajurit Pajang ketika memeriksa lencana tersebut, namun mereka masih dapat menahan diri dan tetap bersikap wajar.

Tapi pada akhirnya mereka memiliki penilaiannya sendiri, bahwa mungkin saja para prajurit yang hampir semuanya masih muda dan sebaya, sehingga sangat mungkin sekali mereka kurang mengenali pertanda khusus di luar pertanda dari Pajang itu sendiri.

“Kita laporkan saja ini kepada Ki Lurah, biarlah dia yang membuat keputusan”. berkata salah satu prajurit Pajang yang ikut berkerumun pada akhirnya.

Lalu salah satu kawannya segera pergi, dan mencari orang yang dimaksud. Dan tidak beberapa lama kemudian dia kembali bersama orang yang tampak berumur paruh baya dan berwajah garang.

“Ada apa?”. bertanya Ki Lurah Pajang itu setelah berada di antara para anak buahnya.

“Kita kedatangan tamu tiga orang, Ki Lurah. Dan mereka mengaku sebagai para prajurit Mataram yang mengemban titah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dari Mataram untuk menyampaikan pesan kepada Kanjeng Adipati”. sahut salah satu prajurit Pajang memberikan keterangan singkatnya.

Ki Lurah itupun segera menatap tajam ke arah ketiga orang yang baru saja datang, bahkan dia memperhatikannya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

“Apakah benar apa yang telah dikatakan anak buahku itu, Ki Sanak?”.

“Demikianlah Ki Sanak, kami memang prajurit penghubung Mataram yang sedang mengemban tugas untuk menyampaikan pesan kepada Kanjeng Adipati Pajang. Jika Ki Sanak meragukan kami bertiga, lihatlah lencana yang kami bawa itu”. sahut Ki Lurah Jatisrana, lalu menunjuk ke arah prajurit Pajang yang masih membawa lencana tersebut.

Kemudian lurah prajurit Pajang itupun menerima lencana tersebut dari anak buahnya, lalu diperhatikanlah pertanda khusus itu dengan seksama.

“Ya… aku dapat mengenali pertanda ini dengan baik”.

Jawaban tersebut seakan membuat hati Ki Lurah Jatisrana dan kedua kawannya disiram banyu sewindu, begitu menentramkan hati yang tadi sempat berdebar-debar.

“Tetapi bukan berarti dengan pertanda khusus ini akan dapat membantu memuluskan tugas yang kalian emban”.

“Maksud Ki Sanak?”. bertanya Ki Lurah Jatisrana heran.

“Aku hanya prajurit rendahan yang mendapat tugas, aku akan melaporkan permintaan kalian, tapi semua itu tergantung kepada Kanjeng Adipati sendiri. Apakah mau menerima kedatangan kalian atau tidak, kalian tunggulah disini”.

“Terima kasih”.

Kemudian lurah prajurit Pajang itupun segera meninggalkan tempat guna menyampaikan maksud kedatangan prajurit Mataram tersebut ke Pelayan Dalam, yang kemudian akan diteruskan laporannya kepada Kanjeng Adipati.

Sementara Ki Lurah Jatisrana dan kedua kawannya menunggu dengan harap-harap cemas di depan regol Istana Kadipaten Pajang yang tampak megah.

Bahkan dalam waktu menunggu tersebut, tidak terdengar ada yang membuka suara untuk sekedar berbincang. Namun demikian mereka sama sekali tidak mengendurkan kewaspadaan pada lingkungan sekitar.

Sementara Kanjeng Adipati yang sedang berada di taman kaputren bersama istrinya, menjadi sangat terkejut ketika seorang Pelayan Dalam datang menghadap.

“Hamba mohon ampun Kanjeng Adipati, jika kedatangan hamba telah mengganggu Kanjeng untuk menikmati suasana”.

“Ada apa?”. bertanya Kanjeng Adipati yang sudah tidak dapat menahan rasa penasarannya.

“Ampun Kanjeng Adipati, hamba hanya ingin menyampaikan permohonan untuk menghadap dari prajurit Mataram. Berdasarkan keterangan yang hamba terima, dia membawa titah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dari Mataram”.

“Prajurit Mataram katamu?”.

“Demikianlah Kanjeng Adipati”.

“Berapa orang?”.

“Tiga orang, Kanjeng”.

“Apakah kalian yakin bahwa mereka adalah prajurit Mataram?”.

“Mereka memang tidak mengenakan ciri-ciri sebagaimana seorang prajurit, namun orang yang mengaku sebagai lurah prajurit sandi tersebut, telah menunjukkan lencana khusus Mataram”.

“Apa? lurah prajurit katamu? jadi prajurit Mataram yang ingin menghadap kepadaku itu hanyalah seorang lurah prajurit?”. ucap Kanjeng Adipati Pajang yang sangat terkejut setelah mendengar keterangan dari bawahannya tersebut.

“Demikianlah Kanjeng Adipati”.

“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan…”. hanya terdengar umpatan yang sangat kotor keluar dari mulut Kanjeng Adipati Pajang setelah mendengar laporan tersebut.

Sebagai seorang Adipati, dia merasa sangat tersinggung harga dirinya. Dia merasa tidak dihargai oleh Kanjeng Sinuhun Mataram dalam hal ini.

Dalam penalarannya, bagaimana mungkin untuk menghadap seorang Adipati, pepunden seluruh kawula Mataram tersebut dengan entengnya mengutus seorang lurah prajurit.

Seharusnya jika ingin mengutus seseorang untuk menghadap seorang Adipati, paling tidak adalah dengan mengutus seorang prajurit yang berpangkat Tumenggung.

Kanjeng Adipati Pajang hanya dapat terdiam beberapa saat dengan wajah tampak memerah karena berusaha menahan gejolak jantungnya yang seakan-akan ingin meledak karena sikap yang dianggap sebagai penghinaan tersebut.

Pelayan Dalam yang melapor pun masih terdiam sembari dalam hati mulai dihinggapi ketakutan, sehingga hanya dapat menunggu saja perintah dari pepundennya atas apa yang akan dilakukan selanjutnya. Tetapi pada akhirnya, dirinya pun mencoba memberanikan diri untuk bersuara.

“Ampun Kanjeng, hamba menunggu perintah selanjutnya”.

Kanjeng Adipati Pajang itu menatap tajam ke arah Pelayan Dalam, yang pada saat bersamaan sedang menundukkan kepalanya dalam-dalam sembari menghaturkan sembahnya.

“Apakah kau yakin utusan Mataram itu membawa pertanda khusus dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma?”.

“Berdasarkan keterangan yang hamba terima, kurang lebih demikian Kanjeng Adipati. Tetapi jika Kanjeng Adipati masih meragukannya, hamba akan meminta pertanda khusus itu agar dapat Kanjeng Adipati periksa sendiri”.

Entah mengapa wajah Kanjeng Adipati tiba-tiba berubah sedikit cerah, dan kemudian tampak sebuah senyum penuh arti tersungging di bibirnya setelah mendengar gagasan bawahannya tersebut.

“Mintalah pertanda khusus itu, aku akan memeriksanya terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk menerima atau menolak utusan dari Mataram itu”. berkata Kanjeng Adipati.

“Sendika dawuh Kanjeng”.

Lalu Pelayan Dalam itu pun segera beranjak dari tempat duduknya guna melaksanakan perintah pepundennya yang terhitung masih cukup muda.

Tidak lama kemudian, dia pun telah kembali lagi dengan membawa benda yang dimaksud, lalu diserahkannya kepada pepundennya yang telah menunggu.

Sejenak kemudian Kanjeng Adipati memperhatikan pertanda khusus itu dengan seksama, tetapi setelah itu wajahnya kembali terlihat gelap.

Terlebih dahulu terdengar suara tarikan nafasnya yang berat, sebagai pertanda bahwa hatinya merasa sedang kurang mapan dengan kenyataan yang sedang dihadapinya, lalu katanya.

“Tidak salah lagi, ternyata mereka memang benar-benar utusan dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.

Pelayan Dalam itu tidak berani menanggapi, dirinya masih diam terpekur di tempatnya dan hanya dapat menunggu saja perintah yang akan diterimanya.

“Baiklah… katakanlah kepada utusan itu, bahwa aku menerima kedatangannya dan aku tunggu di serambi kiri. Tapi aku hanya menerima satu orang saja, tidak lebih. Dan jika dia membawa kawan, perintahkan saja mereka untuk menunggu di luar”.

“Sendika dawuh, Kanjeng Adipati”. sahut Pelayan Dalam itu, lalu segera bergegas meninggalkan tempat.

*****

Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, di arena perang tanding antara Ki Agung Sedayu melawan Ki Ageng Wirasaba sudah memasuki babak yang semakin menegangkan.

Dua orang yang sama-sama berilmu sangat tinggi itu sepertinya tidak akan mengekang diri lagi untuk menunjukkan kemampuan mereka masing-masing hingga ke tataran puncak.

Para cantrik Ki Ageng Wirasaba pun hanya dapat semakin merasa kagum atas apa yang telah diperlihatkan pepundennya, meskipun secara penalaran mereka semakin tidak mengerti dengan ilmu yang dapat mereka lihat secara langsung tersebut.

Sementara Ki Agung Sedayu hanya dapat tertegun di tempatnya berdiri setelah melihat kenyataan bahwa ilmu puncaknya dari jalur Perguruan Orang Bercambuk seakan dapat ditepis ke arah lain, meskipun dirinya pun menyadari bahwa dia masih belum merambah ke tenaga cadangannya hingga ke puncak.

“Luar biasa”. desis ayah Bagus Sadewa tanpa sadarnya.

Tetapi dirinya tidak memiliki banyak waktu untuk merenungi atas apa yang telah terjadi, sebab serangan lawannya pun sudah mulai menjilat tubuhnya. Serangan angin pusaran yang mampu menyedot apa saja yang dikehendaki.

Dengan bekal kemampuan meringankan tubuhnya yang sangat tinggi, Ki Agung Sedayu segera berpindah dari tempatnya, bahkan karena saking cepatnya tidak dapat diikuti oleh mata wadag dan tahu-tahu sudah berdiri beberapa tombak dari tempat semula.

Sehingga serangan angin pusaran itu telah mengenai tanaman perdu yang berada di belakang tempat Ki Agung Sedayu berdiri sebelumnya, akibatnya tanaman itu tersedot tanpa ampun dan seketika hangus terbakar setelah memasuki angin pusaran.

Pemandangan yang membuat semakin berdebar-debar jantung siapa saja yang melihatnya, terutama bagi mereka yang mendapat kesempatan secara langsung melihatnya.

“Kemampuan Kyai ternyata begitu ngedap-edapi, semoga saja Kyai mampu mengalahkan lawannya tersebut sebagai pengganti sakit hatinya atas kematian Ki Patih Rangga Permana”.

“Apakah kau pikir kekalahan lawan Kyai itu, sebanding dengan gugurnya Ki Patih Rangga Permana?”.

“Memang tidak, Kakang Wiramba. Tetapi paling tidak itu dapat mengurangi segala sakit hati Kyai”.

“Tetapi menurutku, rasa sakit hati Kyai itu akan sedikit terobati jika sudah mampu membunuh Panembahan Hanyakrakusuma. Atau paling tidak, salah satu dari Pangeran Mataram yang menyertainya. Bukan sekedar atas kematian lawannya kali ini”.

“Kakang Wiramba benar”.

“Tetapi kita pun jangan sampai kehilangan kewaspadaan pula pada keadaan sekitar, terutama kepada dua orang perempuan yang menyertai lawan Kyai itu. Lagipula jika dilihat dari ciri-cirinya, mereka tentu bukanlah perempuan kebanyakan”.

“Kakang Wiramba benar, jika demikian sebaiknya kita berbagi tugas saja, sebagian mengawasi perang tanding Kyai, dan sebagian mengawasi kedua perempuan itu”.

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang tidak berhasil menyerang lawannya dengan ilmu pusarannya sempat menggeram, tetapi dengan demikian membuatnya harus berpikir ulang untuk menyerang lawannya.

“Apakah hanya sebatas ini saja kemampuanmu, Ki Sanak? apa kau hanya pandai berloncat-loncatan saja dengan cambukmu?”. berkata Ki Ageng Wirasaba yang berusaha menyinggung harga diri lawannya tersebut.

“Kemampuan Ki Ageng Wirasaba memang sangat luar biasa”.

“Kau tidak perlu memikirkan kemampuanku, karena sekarang yang harus kau pikirkan adalah keselamatanmu. Dan kini nasibmu sudah di ujung tanduk”.

“Ya… Ki Ageng benar”.

“Harusnya kau berpikir bagaimana caranya menyelamatkan selembar nyawamu itu, bukan malah membenarkan kata-kataku ini, Ki Sanak”.

“Hidup dan mati manusia itu bukan wewenang kita, Ki Ageng. Tetapi semua itu adalah semata-mata atas kehendak Yang Maha Agung juga Yang Maha Welas Asih”.

“Jangan bicara tentang Yang Maha Agung di hadapanku, sebab itu tidak akan merubah kenyataan bahwa sebentar lagi aku akan mengantarkan selembar nyawamu itu ke alam kelanggengan”.

“Tetapi jika Yang Maha Agung masih berbelas kasih kepadaku, bukankah tidak mustahil bahwa aku masih dapat selamat dari kegarangan ilmu Ki Ageng ini”.

“Selama ini belum pernah ada yang mampu bertahan, jika aku sudah mengetrapkan ilmuku ini. Jangan pernah sesali jika kali ini nasibmu memang sangat buruk, jadi tataplah langit dan peluklah bumi untuk yang terakhir kali”.

“Luar biasa… benar-benar mengerikan sekali”.

“Jika kau tidak memiliki ilmu simpanan lain yang dapat mengatasi ilmuku ini, maka jangan harap kau akan mampu keluar dari tempat ini masih dapat bernafas”.

“Apakah Ki Ageng benar-benar ingin membunuhku?”.

“Apa masih kurang jelas kata-kataku?”.

“Apakah menurut Ki Ageng tidak ada penyelesaian dengan cara yang lebih baik lagi, selain kematian?”.

“Kau dapat berkata demikian, sebab kau tidak pernah merasakan bagaimana kehilangan orang yang sangat aku hormati, bahkan salah satu di antaranya telah kalian dihinakan terlebih dahulu sebelum pralaya. Dan bagiku utang wirang dibayar wirang, utang pati dibayar pati”.

Menantu Ki Gede Menoreh itupun hanya dapat menarik nafas panjang mendengar jawaban lawannya, yang sepertinya sudah tidak dapat dipengaruhi lagi keputusannya.

Memang tidaklah mudah jika harus kehilangan orang yang kita kasihi dan kita hormati, apalagi jika kehilangannya tersebut dengan cara yang membuat kita sakit hati. Mungkin dengan cara balas dendamlah sebagai pengobat rasa sakit hati tersebut.

Namun jika bagi orang yang merasa kehilangan harus melakukan balas dendam. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, sampai kapan balas dendam itu akan berakhir?. apakah semua itu akan berakhir jika di dunia ini sudah tidak ada lagi manusia yang mampu hidup? 

Apakah tujuan semua orang di dalam hidup ini hanya untuk membalas dendam tanpa berkesudahan? apakah semua itu dibenarkan dalam kehidupan bebrayan ini?

Jika itu terjadi, maka bukan kebenaran dalam kehidupan bebrayan yang kita dapat, tetapi hanyalah pembenaran atas apa yang kita lakukan.

“Bersiaplah Ki Sanak, keluarkanlah semua kemampuanmu di sisa waktumu, agar nanti kau tidak menyesal jika selembar nyawamu itu sudah benar-benar meninggalkan wadag kasarmu”.

Selesai berkata demikian, maka Ki Ageng Wirasaba pun segera memusatkan pengetrapan ilmunya kembali untuk segera menyerang lawannya yang masih berdiri termangu.

Sejenak kemudian suara angin pusaran itu semakin kencang dan nggegirisi di tempatnya, sebab pemilik angin pusaran itu semakin meningkatkan tataran kemampuannya hingga ke puncak.

Ilmu angin pusaran itu memang benar-benar luar biasa, dengan tataran yang sudah merambah ke puncak itu telah membuat tanah tempatnya berpijak berlubang semakin besar.

Ki Agung Sedayu tidak memiliki waktu lebih lama lagi untuk merenungi kenyataan, dan dirinya menyadari bahwa harus segera berbuat sesuatu untuk dapat mengatasi ilmu lawannya.

“Apakah ilmu pamungkas dari jalur orang bercambuk tidak dapat menembus angin pusaran itu?”. membatin ayah Bagus Sadewa dengan penuh keraguan.

“Apakah mungkin karena tadi aku belum melambarinya dengan tenaga cadangan hingga tataran puncak? sehingga ilmu pamungkas itu belum mampu menembusnya?”. katanya lagi dalam hati.

Ki Agung Sedayu yang harus berpacu dengan waktu itupun segera memusatkan nalar budinya kembali, lalu memutar kembali cambuk di atas kepalanya guna mengetrapkan ilmu pamungkas dari jalur Perguruan Orang Bercambuk.

Tetapi kali ini dirinya harus menepis segala keraguan, dengan demikian maka dia mengungkapkan tenaga cadangannya hingga ke tataran puncak.

“Semoga saja ilmu pamungkas yang aku lepaskan hingga ke tataran puncak ada hasilnya”. batinnya dalam kepasrahan.

Sejenak kemudian, dalam waktu yang hampir bersamaan. Ki Ageng Wirasaba yang menyerang lawannya menggunakan angin pusarannya telah menerima serangan dari lawannya pula.

Kali ini angin pusaran yang mengerikan itu tiba-tiba bergerak laksana tatit yang menyambar di udara terhadap lawan yang sedang berdiri di hadapannya, bersamaan dengan pemilik ilmunya tetap berada di dalamnya.

Selain deru suara angin yang sangat nggegirisi, udara di sekitar pun seakan sedang diguncang badai yang sangat besar. Tanaman dan benda apa saja yang berada di sekitarnya pun ikut tersedot kedalamnya tanpa ampun.

Sementara ujung cambuk itupun telah mengeluarkan sinar berwarna putih kebiru-biruan ketika diayunkan dengan cara sendal pancing bersamaan dengan suara yang seakan hanya berdesis seperti ular.

Namun justru akibatnya sungguh benar-benar luar biasa, karena udara di sekitar secara tiba-tiba seperti telah diguncang oleh kekuatan yang sangat besar dan tak kasat mata.

Kejadian yang berlangsung dengan demikian cepatnya tersebut benar-benar telah mengguncang medan perang tanding antara dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Bahkan bagi orang-orang yang belum memiliki bekal yang cukup akan sangat kesulitan untuk mengikuti apa yang sebenarnya sedang terjadi di atas padang perdu tersebut. Sebab mata wadag mereka tidak akan mampu mengikuti segala apa yang terjadi dengan baik.

Dalam waktu yang kurang dari sekejapan mata tersebut, akhirnya dua kekuatan yang sangat besar dan nggegirisi itupun saling berbenturan.

Namun apa yang kemudian terjadi membuat semua orang sangat terkejut dan seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi di hadapan mereka.

Tiba-tiba tebing yang berada di pinggir hutan dan banyak ditumbuhi pepohonan, yang kebetulan berada di belakang para cantrik Ki Ageng Wirasaba meledak.

Berawal dari sebuah ledakan yang sangat keras, tebing itu tidak hanya meledak, namun benar-benar terguncang dengan hebatnya dan kemudian berguguran memuntahkan segala isinya.

Dua orang cantrik Ki Ageng Wirasaba yang terlambat menyadari, hampir saja mengalami akibat yang sangat mengerikan dalam keadaan tersebut.

Beruntunglah bahwa kawannya yang tidak sempat memberikan peringatan, dengan sigapnya langsung menarik tubuh kawannya yang lain ketika tebing itu jatuh berguguran yang berasal dari arah belakang mereka secara tiba-tiba.

“Apa yang terjadi, Kakang Wiramba?”. bertanya salah satu cantrik dengan wajah masih penuh kebingungan.

Salah satu dari dua cantrik yang tadi hampir saja menjadi korban tebing yang jatuh berguguran dengan dahsyatnya seperti gunung yang sedang meletus harus ditarik kawannya dan jatuh berguling-guling di tanah untuk menyelamatkan diri.

“Beruntunglah tubuhmu tidak terkubur hidup-hidup di antara reruntuhan tebing di belakang kita”. sahut Wiramba sembari bangkit dari tanah berdebu.

“Terima kasih, kakang Wiramba telah menyelamatkanku, yang terlambat menyadari keadaan”.

“Sudahlah… kita jangan sampai lengah dan terlena untuk kedua kalinya”. Lalu katanya kepada kawannya yang lain, “apakah kalian baik-baik saja?”.

“Kami tidak apa-apa, Kakang Wiramba. Meskipun hampir saja kami mengalami nasib yang sangat buruk jika tidak bertindak dengan cepat menanggapi keadaan”.

Yang sebenarnya yang terjadi dalam perang tanding itu adalah ilmu pamungkas Ki Agung Sedayu yang bersumber dari Perguruan Orang Bercambuk seakan ditepis kembali untuk kedua kalinya oleh angin pusaran lawannya.

Sehingga ilmu pamungkas itu telah berubah arah sasaran, dan kebetulan menyasar ke arah tebing, belakang tempat para cantrik Ki Ageng Wirasaba berdiri.

Sementara angin pusaran yang sangat mengerikan itu seakan tidak terpengaruh apapun ketika terjadi benturan, sehingga tetap dapat memburu lawannya tanpa ampun.

Sebagai orang yang berilmu sangat tinggi, penglihatan Ki Agung Sedayu yang sangat tajam dapat melihat semua yang terjadi dengan sangat jelas, sehingga membuatnya selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dengan kemampuan meringankan tubuhnya yang sangat tinggi, maka dirinya dapat segera menghindar dari serangan angin pusaran yang sangat dahsyat tersebut.

Namun ternyata serangan itu segera memburu lawannya ketika menyadari bahwa tidak dapat mengenai sasarannya sama sekali pada serangannya yang pertama.

“Benar-benar ilmu yang luar biasa”. membatin Ki Agung Sedayu sembari berusaha menghindari angin pusaran yang terus memburu kemanapun dia menghindar.

“Jika ilmu pamungkas pada tataran puncak dari jalur Perguruan Orang Bercambuk saja tidak mampu menembusnya? lalu harus dengan apakah aku akan mampu melawan angin pusaran ini”.

Dalam kebingungannya, Ki Agung Sedayu tidak henti-hentinya terus memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Agung agar dapat menemukan cara untuk mengatasi ilmu lawannya yang tidak pernah diduga sebelumnya.

“Apakah kau tidak memiliki kemampuan lain, selain hanya dapat berloncat-loncatan saja, Ki Sanak?”. berkata Ki Ageng Wirasaba yang mulai geram dengan lawannya.

“Aku hanya berusaha menyelamatkan diri dari ilmu Ki Ageng Wirasaba yang mengerikan ini”. sahut Ki Agung Sedayu sembari terus berusaha menghindari terjangan angin pusaran yang selalu memburunya kemanapun.

“Kenapa kau tidak lepaskan lagi ilmu pamungkasmu itu? apakah sekarang kau menjadi putus asa, setelah tahu bahwa ternyata ilmu pamungkasmu itu tidak dapat menggoyahkan, apalagi menembus ilmu angin pusaranku ini?”.

“Harus aku akui bahwa ilmu angin pusaran Ki Ageng benar-benar ngedap-edapi, dan baru kali ini aku menemukan sebuah jalur ilmu yang tidak dapat aku tembus dengan ilmu pamungkasku pada tataran puncak”.

“Jika kau menjadi ketakutan, maka menyerahlah. Dan aku berjanji akan mengantarkan selembar nyawamu itu tanpa kau merasa kesakitan”.

“Apakah aku harus menyerah?”.

“Kau tidak punya pilihan, Ki Sanak. Sebab menyerah atau tidak pun maka sama saja nasibmu, kau sama-sama akan mati pada akhirnya”.

“Bukankah kita semua yang hidup di dunia ini, pada akhirnya akan sampai pada batasnya? yaitu kematian. Dan kita semua hanya menunggu gilirannya masing-masing saja, Ki Ageng”.

“Kau tidak perlu sesorah di hadapanku, Ki Sanak. Sebab yang harus kau pikirkan adalah nasibmu sekarang”.

“Bukankah sudah aku katakan, bahwa hidup dan matiku sudah aku pasrahkan kepada Yang Maha Agung. Sebab Yang Maha Agung juga Maha berkehendak atas segala makhluknya”.

“Lalu apakah kau pikir Yang Maha Agung akan dengan tiba-tiba datang menyelamatkanmu kali ini? meskipun kau akan lumat oleh ilmuku dan menjadi debu?”.

“Tentu saja, Ki Ageng. Sebab jika Yang Maha Agung sudah berkehendak, maka segalanya tidak ada yang mustahil bagi Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak”.

“Meskipun seandainya kali ini kau tidak mampu berbuat apa-apa, dan hanya semata-mata mengandalkan pertolongan dari Yang Maha Agung?”.

“Benar Ki Ageng”.

“Ternyata kau adalah pembual yang ulung, Ki Sanak”.

“Apakah ada yang salah dengan kata-kataku?”.

“Bukankah sama saja artinya kau hanya membual, jika kau masih memiliki keyakinan yang utuh bahwa Yang Maha Agung masih akan menyelamatkanmu dari terjangan ilmuku yang sebentar lagi tidak akan mampu kau lawan, sementara kau tidak mampu lagi berbuat apa-apa?”.

“Apakah aku salah jika masih memiliki keyakinan itu?”.

“Baiklah… terserah kau saja, Ki Sanak. Anggap saja itu sebuah kidung pengantar kepergian selembar nyawamu di saat-saat terakhir”. sahut Ki Ageng Wirasaba yang sejak tadi masih terus memburu lawannya dengan ilmu angin pusarannya tersebut.

Bersamaan dengan itu tanpa terasa matahari terlihat sudah semakin menaiki tangga-tangga langit yang tak terhingga luasnya, dan sinarnya yang terik mulai menyengat kulit.

Sementara dua orang perempuan yang mendapat kesempatan untuk melihat perang tanding suaminya tersebut mengalami ketegangan yang sangat, apalagi setelah melihat kenyataan bahwa ilmu angin pusaran dari lawannya tidak mampu ditembus oleh ilmu pamungkas suaminya.

“Ilmu Ki Ageng Wirasaba benar-benar nggegirisi dan dahsyat sekali, lalu bagaimanakah kakang Agung Sedayu akan mampu mengalahkannya?”.

“Aku sendiri belum tahu, Mbokayu. Dan sejauh ingatanku, baru kali ini kakang Agung Sedayu mendapat lawan yang mampu menepis ilmu pamungkasnya, bahkan ketika kakang Agung Sedayu sudah pada tataran puncaknya”.

“Kau benar, Sekar Mirah. Beruntunglah bahwa kakang Agung Sedayu memiliki kemampuan untuk dapat berpindah tempat dengan cepat, sehingga dapat membantunya untuk menghindari serangan Ki Ageng Wirasaba yang terus memburunya”.

“Tapi sampai kapan kakang Agung Sedayu akan seperti itu? seharusnya kakang Agung Sedayu dapat menemukan cara untuk mengatasi angin pusaran itu sesegera mungkin”.

“Bukankah kau tahu bahwa kakang Agung Sedayu adalah orang yang terlalu banyak pertimbangan, sehingga itu sering membuatnya terlambat dalam mengambil sikap”.

“Mbokayu benar, dia memang terlalu banyak pertimbangan dalam banyak hal, dan selain itu dia pun masih sering dihinggapi keraguan dalam mengambil sikap. Sehingga sering membuatnya terlambat untuk bertindak”.

“Semoga saja keragu-raguannya kali ini tidak justru menyeretnya ke dalam kesulitan, karena waktu yang hanya sekejap pun akan sangat berarti sekali dalam keadaan seperti ini”.

“Betapa pun kita tidak sabar menunggu apa yang akan dilakukan kakang Agung Sedayu, tetapi pada akhirnya kita hanya bisa berharap dan membantu nenuwun atas apa yang dilakukannya sekarang ini. Selebihnya kita hanya dapat menunggu apapun yang bakal terjadi”.

“Kau benar Sekar Mirah, tidak ada yang dapat kita lakukan. Sebab kita tidak lebih dari hanyalah sebatas sebagai saksi”.

Sementara Ki Agung Sedayu yang masih terus diburu oleh angin pusaran kemanapun dia bergerak, mulai mempertimbangkan cara apakah yang palin tepat untuk dapat mengatasi ilmu lawannya yang sangat dahsyat itu.

“Mungkin cara itu dapat aku coba”. ucap ayah Bagus Sadewa dalam hati dalam keraguannya.

Namun tiba-tiba…

“Tetapi sepertinya aku tidak dapat melakukannya, sebab aku rasa cara itu adalah sebuah cara yang dapat dikatakan kurang jantan”. katanya lagi dalam hati, menimbang-nimbang segala kemungkinan yang mungkin dapat dilakukannya.

“Lalu dengan cara apakah aku dapat mengatasi angin pusaran ini jika tidak dengan cara itu?”.

“He.. Ki Sanak, apakah kau tidak punya cara lain, selain hanya berloncat-loncatan seperti tupai?”. bentak Ki Ageng Wirasaba yang membuyarkan lamunan.

“Apakah aku salah jika berusaha menghindari terjangan ilmu Ki Ageng yang sangat dahsyat ini?”.

“Sejak tadi kau seperti seekor tupai, yang tahunya hanyalah berloncat-loncatan. Jika kau ketakutan, sebaiknya kau jangan pernah memasuki arena perang tanding”.

“Tetapi bukankah aku tetap berusaha melawan, meskipun sekarang baru dapat berloncat-loncatan menghindar?”.

“Apakah itu yang dinamakan perang tanding? hanya bermain kejar-kejaran seperti anak-anak ingusan?”.

“Lalu apa mau Ki Ageng Wirasaba?”.

“Kita berperang tanding layaknya orang-orang yang berilmu”.

“Baiklah, aku akan mencobanya”.

Sejenak kemudian, ada pemandangan yang sangat aneh bagi para cantrik Ki Ageng Wirasaba yang sedang memusatkan perhatiannya terhadap perang tanding pepundennya tersebut.

Pada awalnya memang biasa saja, namun semakin lama mereka baru menyadari bahwa ada yang tidak wajar telah terjadi di sekitar tempat mereka berdiri.

“Apakah kalian merasa ada yang janggal?”.

“Iya Kakang, sepertinya ini bukanlah pemandangan yang wajar”.

“Kau benar adi, aneh memang. Pada saat matahari sudah melewati sepenggalah seperti ini, namun tiba-tiba saja ada kabut yang turun”.

Namun belum habis rasa keheranan mereka, kabut itu semakin lama menjadi semakin tebal di sekitaran arena perang tanding yang sedang berlangsung.

“Sepertinya ini memang bukan sebuah kabut yang wajar, tetapi sebuah pancaran ilmu dari salah satu orang yang sedang berperang tanding itu”.

“Kakang Wiramba benar, sepertinya memang demikian”.

“Tetapi aku tidak tahu, siapakah yang telah melepaskan ilmu kabut ini. Sebab aku sendiri pun tidak tahu sejauh mana kemampuan Kyai yang kita suwitani selama ini, dan apa saja yang mampu dilakukannya dengan ilmunya”.

“Kakang Wiramba saja tidak tahu, apalagi dengan kami”.

“Ya… kau benar adi, tapi meskipun Kyai tidak pernah berkenan menerima murid lagi, tetapi Kyai sangat baik kepada kita. Dengan tidak segan-segan membantu kita untuk mengembangkan ilmu kita hingga tataran yang sangat tinggi”.

“Meskipun Kyai tidak berkenan menerima kita sebagai murid, namun kita tetap wajib berterima kasih atas segala kebaikannya”.

“Adi Wandana benar, Kyai memang tidak berkenan menurunkan ilmunya kepada kita, tapi Kyai sering memberikan petunjuk kepada kita semua, bagaimana agar dapat terus meningkatkan tataran kawruh kanuragan yang kita kuasai”.

Namun pembicaraan itu harus terputus karena perhatian mereka kembali tertuju pada perang tanding yang tidak ingin mereka lewatkan meskipun perang tanding itu semakin membingungkan penalaran mereka semua.

“Kau pikir kabutmu itu masih ada gunanya, Ki Sanak?”. berkata Ki Ageng Wirasaba setelah di sekitar tempat itu diselimuti kabut yang sangat tebal pada saat matahari semakin naik.

“Semoga saja, Ki Ageng. Sebab aku hanya dapat berusaha sejauh kemampuanku”.

“Tetapi apa yang kau lakukan ini hanya akan sia-sia saja”.

“Semoga saja tidak”.

“Terserah kau saja, marilah kita sama-sama buktikan. Kau atau aku yang benar”.

Sebenarnyalah bahwa di tempat Ki Ageng Wirasaba yang masih di dalam balutan ilmu angin pusarannya telah diselimuti kabut yang sangat tebal, dan menghalangi pandangan matanya.

Bahkan ternyata tidak mudah untuk dapat menembus kabut tebal itu, meskipun Ki Ageng Wirasaba telah mengetrapkan sejenis Aji Sapta Pandulu hingga Aji Sapta Panggrahita.

Namun sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, tidak membuatnya menjadi gugup atau bahkan kebingungan menghadapi pancaran ilmu lawannya tersebut.

Sebab dirinya memiliki keyakinan atas kemampuannya sendiri, dan percaya bahwa dengan kemampuannya tersebut dia akan tetap mampu mengalahkan lawannya.

Semakin lama kabut itu menjadi semakin tebal dan sangat sulit untuk melihat apapun yang ada di dalamnya ketika Ki Agung Sedayu mengetrapkan ilmunya tersebut pada tataran puncak.

Meskipun kabut itu sudah dalam tataran puncak, tetapi tetap saja kabut itu tidak mampu menembus angin pusaran dari Ki Ageng Wirasaba yang sangat dahsyat.

“Ki Sanak… apakah kau menyadari bahwa kabutmu ini tidak mampu menembus angin pusaranku? dan tidak menimbulkan akibat apapun kepadaku. Lagipula dengan mudah aku tentu dapat menggulung kabutmu ini dengan angin pusaranku”.

“Silahkan saja, Ki Ageng. Aku hanya berusaha melindungi diriku dari angin pusaran Ki Ageng yang sangat mengerikan itu”.

“Kabutmu ini seperti permainan anak-anak yang ingin bermain petak umpet. Sebab hanya sebatas dapat kau gunakan untuk bersembunyi dari pandanganku”.

“Terserah apapun pendapat Ki Ageng tentang ilmu kabutku ini, tetapi inilah cara yang menurutku paling baik untuk mencoba mengatasi angin pusaran Ki Ageng itu”.

Sementara semua orang yang berada di luar arena menjadi semakin tegang, sebab selain mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi, mereka pun tidak dapat mendengar apapun yang terselimuti kabut tersebut.

“Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa sejak turun kabut arena perang tanding itu menjadi sepi seperti kuburan?”. berkata salah satu cantrik Ki Ageng Wirasaba.

“Akupun tidak tahu, Adi. Tapi aku rasa ada yang tidak wajar dengan kabut ini”.

“Kakang Wiramba benar, tapi menurutku kabut ini selain menghalangi pandangan kita, ada kemungkinan menghalangi pendengaran kita pula”.

“Mungkin ada benarnya pula pendapatmu, Adi Wandana. Sebab sangatlah aneh jika tiba-tiba arena perang tanding itu menjadi sepi tanpa terdengar suara apapun. Tetapi kita jangan sampai lengah untuk mengawasi perang tanding ini”.

“Baik Kakang”. jawab mereka semua hampir berbarengan.

Ki Ageng Wirasaba yang masih percaya diri atas kemampuannya, segera meningkatkan ilmu angin pusarannya tersebut hingga ke tataran puncak.

Dirinya masih sangat yakin bahwa angin pusarannya itu akan mampu menggulung dan menyingkirkan kabut yang kini mengganggu pandangannya atas lawannya.

Angin pusaran yang dalam pengetrapan tataran puncak yang berada di dalam balutan kabut tebal itu putaran pusarannya terdengar menderu semakin kencang disertai api yang semakin melonjak-lonjak pula.

Sejenak kemudian dia berusaha menyerang lawannya, meskipun Ki Ageng Wirasaba sendiri tidak tahu dengan pasti akan keberadaan lawannya tersebut.

Sehingga angin pusaran itu hanya bergerak kesana kemari tanpa tujuan yang jelas, karena ternyata kabut itu benar-benar tebal dan sangat sukar untuk ditembus pandangan mata meskipun sudah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu dan Aji Sapta Panggrahita.

Selain itu, ternyata angin pusaran itu tidak mampu menyibak apalagi menggulung kabut yang sangat tebal tersebut meskipun sudah pada tataran puncaknya.

Dalam keadaan yang demikian, akhirnya Ki Ageng Wirasaba tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu kabut lawannya belum mampu dipecahkan rahasianya.

“Ternyata kabut ini benar-benar luar biasa, bahkan aku sendiri kesulitan untuk dapat menembusnya”. batin Ki Ageng Wirasaba.

“Dulu mendiang guru sering berkata, bahwa di dunia ini tidak ada ilmu yang sempurna dan tak terkalahkan, setinggi apapun sebuah ilmu pasti memiliki kelemahan”.

“Jadi… kabut inipun pasti ada kelemahannya, tapi dimana?”. bertanya Ki Ageng Wirasaba dalam hati, menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan atas ilmu lawannya.

Ki Ageng Wirasaba kali ini benar-benar harus berpikir keras untuk memecahkan kesulitan yang sedang dihadapinya, seakan dirinya sedang dikejar waktu yang sangat sempit.

Disisi lain, Ki Agung Sedayu pun sedang memiliki penilaiannya sendiri atas lawannya, sebab meskipun dirinya mampu menyembunyikan diri dari lawannya, namun dirinya pun tidak dapat menyerang lawan dengan mudahnya.

“Benar-benar luar biasa ilmu Ki Ageng Wirasaba ini, meskipun aku memiliki kesempatan yang sangat terbuka, namun tetap saja tidak mudah bagiku untuk dapat menyerang. Karena angin pusaran itu tentu akan dengan mudah mampu menepisnya”.

Penalaran ayah Bagus Sadewa itu semakin berputar-putar untuk mencari jalan keluar atas apa yang sedang dihadapinya dan harus mempertimbangkan pula akan segala akibatnya.

“Mungkinkah aku menggunakan cara itu?”. katanya dalam hati, dengan penuh keraguan.

“Apakah dengan cara itu akan berhasil?”.

Ki Agung Sedayu yang masih ragu-ragu akan gagasannya sendiri, sembari harus berloncatan kesana kemari untuk menghindari terjangan angin pusaran yang semakin mengerikan.

Tetapi yang kali ini membedakan adalah, angin pusaran itu menerjang apapun yang ada di sekitarnya, sebab Ki Ageng Wirasaba sendiri belum mampu memecahkan rahasia ilmu kabut yang dipelajarinya dari jalur Perguruan Windhujati.

Sehingga untuk beberapa saat Ki Ageng Wirasaba seperti orang yang waringuten, sebab keterbatasannya telah menghambat keinginanya untuk dapat segera memenangkan perang tanding.

“Jangan harap kau akan selamat dari angin pusaranku, Ki Sanak. Meskipun kau dapat bersembunyi dari pandangan mataku di balik kabutmu ini”. berkata Ki Ageng Wirasaba sembari mengetrapkan sejenis ilmu Aji Gelap Ngamparnya.

“Aku memang tidak kemana-mana, Ki Ageng. Lagipula bukankah kita sama-sama berlindung dibalik ilmu kita masing-masing? kau dengan angin pusaranmu, dan aku dengan kabutku”. sahut Ki Agung Sedayu dengan suara membahana di dalam kabutnya.

“Tetapi kau jangan senang dulu dengan kemenangan kecilmu ini, aku pasti akan dapat memecahkan rahasia ilmu kabutmu ini. Sebab jalur Perguruan Windhujati bukanlah jalur yang asing bagiku”.

“Silahkan saja, Ki Ageng. Bukankah kita sama-sama sedang menjajagi dan saling mencari kelemahan kita masing-masing? kau mencari kelemahanku dan aku mencari kelemahanmu”.

“Ya… kau benar, kita sama-sama sedang saling menggagapi kelemahan satu sama lain diantara kita”.

Untuk sekarang kedudukan dua orang yang berilmu sangat tinggi itu memang dapat dikatakan masih berimbang, namun untuk sementara Ki Agung Sedayu sepertinya memang berada pada kedudukan yang lebih baik.

Tetapi untuk sementara keduanya sama-sama belum dapat menyerang apalagi menyakiti lawannya, mereka masih harus berpikir keras untuk dapat melakukannya.

Ki Ageng Wirasaba tampak menggertakkan giginya, sebab setelah beberapa saat berpikir keras, dirinya belum mampu pula untuk menemukan apa yang sedang dicari dalam isi kepalanya. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi berputus asa begitu saja.

Meskipun dirinya belum dapat segera menemukannya, namun dia tetap terus berusaha semakin keras. Dan begitu pula sebaliknya yang terjadi dengan lawannya.

Tetapi dalam usaha tersebut, Ki Agung Sedayu tidak lupa untuk selalu memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Agung serta Maha Welas Asih.

Agar dalam setiap keputusan dan langkah yang diambil adalah sebuah keputusan yang paling baik dan yang jelas selalu mendapat restu dari Yang Maha Agung. Karena di dalam penalarannya, sebaik-baiknya langkah adalah langkah yang selalu berada di jalan Yang Maha Kasih.

“Semoga saja aku tidak salah dalam mencoba langkah ini”. membatin Ki Agung Sedayu yang masih dalam keraguannya.

Sementara itu…

“Sepertinya aku sudah mulai dapat menemukan kelemahan ilmu kabut ini, meskipun aku belum dapat memastikan, tetapi bukankah akan lebih baik jika aku mencobanya dulu. Sehingga aku dapat menilainya kembali setelahnya”. ucap Ki Ageng Wirasaba pada akhirnya dalam hati.

“Ya… sebaiknya aku segera mencobanya dulu sebelum terlambat, sebab waktu yang hanya barang sekejap pun akan sangat berarti sekali dalam keadaan seperti ini”. berkata Ki Ageng Wirasaba lagi memantapkan hatinya.

Maka sejenak kemudian Ki Ageng Wirasaba pun segera mempersiapkan diri guna melaksanakan rencananya, yang menurut penalarannya paling memungkinkan untuk dapat mengatasi ilmu kabut dari lawannya tersebut.

Dirinya tidak mau terlambat sedikitpun dalam berpacu waktu dengan lawannya untuk sesegera mungkin untuk saling mencari kelemahan satu sama lain. Sebab jika sudah demikian maka nasib mereka sendirilah yang menjadi taruhannya.

*****

Sementara itu di Kendalisada, Nyi Anjani yang sudah berhasil membuang jauh-jauh keraguannya untuk dapat menyampaikan sesuatu yang telah membuat hatinya tidak mapan, mulai membuka suara kepada dua orang yang berada di hadapannya.

“Entah mengapa tiba-tiba ketika aku teringat kakang Agung Sedayu hatiku berdesir-desir, sedangkan kita tahu, bahwa dia belum lama datang kemari, meskipun hanya dalam bayangan semunya”. berkata Nyi Anjani dengan kepala tertunduk.

“Bukankah Mbokayu sempat bilang kepadaku, bahwa kakang Agung Sedayu sedang mengemban tugas untuk membayangi orang yang telah membawa tubuh Ki Patih Rangga Permana?”.

“Benar Glagah Putih, kakangmu memang sedang mengemban tugas itu dari Kanjeng Sinuhun. Sebab Pasukan Mataram sedang memusatkan perhatiannya untuk menarik diri dari Wirasaba”.

“Mataram menarik diri dari Wirasaba?”. bertanya ayah Arya Nakula sangat terkejut mendengar keterangan tersebut.

“Benar… Mataram telah menarik seluruh pasukan segelar sepapannya dari Wirasaba. Sebab berdasarkan laporan para prajurit sandi pada perkembangan terakhir, pasukan itu akan mendapatkan serangan dari Surabaya”.

“He…”.

“Kenapa kau sangat terkejut? apakah kau belum mengetahui tentang kabar ini? bukankah kau salah satu senopati prajurit sandi Mataram?”.

“Bukankah Mbokayu tahu sendiri tentang keadaanku, sehingga aku banyak melewatkan kejadian yang berkembang dengan cepatnya selama aku tidak mampu sadarkan diri?”.

“Oh iya… aku lupa bahwa kau tidak sadarkan diri beberapa lama”.

“Ternyata dalam waktu yang sekian itu aku telah benar-benar melewatkan banyak kejadian, bahkan kejadian yang sangat penting, termasuk Surabaya yang akan menyerang pasukan Mataram yang berada di Wirasaba”.

“Itu bukan kesalahanmu, Glagah Putih. Tetapi keadaanlah yang memang telah membuatmu mengalami nasib yang demikian”.

“Aku mengerti Mbokayu Anjani, tetapi aku ada satu hal yang benar-benar membuat hatiku merasa tidak mapan”.

“Apakah itu?”.

“Keadaan Umbara”.

“Apa yang telah terjadi kepadanya? apakah dia terluka? atau bahkan…?”. berkata Nyi Anjani yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.

“Umbara terluka parah, setelah dirinya terlibat dalam perang tanding melawan salah satu tumenggung dari Wirasaba”.

“He…”.

Kali ini giliran Nyi Anjani lah yang menjadi sangat terkejut mendengar keterangan tersebut, bagaikan tiba-tiba mendengar petir yang meledak di hadapannya.

“Apakah aku tidak salah dengar? Umbara berperang tanding melawan seorang tumenggung Wirasaba?”.

“Benar Mbokayu, Umbara telah melawan seorang tumenggung. Sehingga membuatnya telah terluka parah, sedangkan lawannya harus gugur di medan”.

“Lalu bagaimana dengan keadaan Umbara sekarang?”. bertanya Nyi Anjani penuh kekhawatiran.

“Aku tidak tahu, Mbokayu. Bukankah aku sudah beberapa lama tak sadarkan diri disini?”.

“Oh iya… aku lupa bahwa kau sendiri pun terluka parah dan tidak mampu sadarkan diri beberapa lama di tempat ini, tapi kenapa kakang Agung Sedayu tidak memberitahukan terlukanya Umbara kepadaku?”.

“Mungkin kakang Agung Sedayu sengaja berbuat demikian agar tidak membuat Mbokayu dirundung kegelisahan dan kekhawatiran”.

“Ya… kau benar, Glagah Putih. Kakang Agung Sedayu memang tidak suka membuat kita semua menjadi khawatir, salah satunya adalah bahwa kakangmu tidak memberitahukan apa yang telah terjadi atasmu kepada Rara Wulan. Lagipula kakangmu itu tidak ingin menambahi beban kepada Rara Wulan”.

“Apa maksud Mbokayu dengan menambahi beban kepada Rara Wulan?”. bertanya anak satu-satunya dari Ki Widura itu dengan rasa keheranan.

“Pada saat kau tidak mampu sadarkan diri, Ki Lurah Branjangan telah dipanggil Yang Maha Agung”.

“He… Ki Lurah Branjangan wafat?”. berkata anak angkat dari Ki Citra Jati itu dengan setengah berteriak karena saking terkejutnya mendengar keterangan tersebut.

“Demikianlah, Glagah Putih”.

Sejenak kemudian Ki Lurah Glagah Putih hanya dapat terdiam dan menundukkan kepalanya, seketika bayang-bayang masa lalu tentang apa saja yang bersinggungan dengan Ki Lurah Branjangan seketika terlintas di kepalanya.

“Lalu apa pendapat Eyang, tentang firasatku ini?”. bertanya Nyi Anjani, kali ini ditujukan kepada Begawan Mayangkara yang sejak beberapa saat tadi hanya terdiam.

“Marilah kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar kita dijauhkan dari segala kesulitan dan segala bentuk marabahaya yang bagaimanapun bentuknya”.

“Aku sependapat dengan yang Eyang katakan, tetapi yang aku maksud adalah apa yang harus kita lakukan selain kita memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih?”.

“Bukankah itu yang hanya dapat kita lakukan?”.

“Apakah Eyang yakin jika hanya dapat membantu nenuwun?”.

“Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?”.

“Tanpa aku jelaskan pun, Eyang tentu sudah tahu maksudku”.

“Ya… aku mengerti, tapi aku tidak ingin deksura”. sahut Begawan Mayangkara yang sebenarnya sejak dari awal sudah dapat menebak apa yang diinginkan Nyi Anjani.

Sementara Nyi Anjani yang tanggap akan maksud Begawan Mayangkara yang sudah dianggapnya seperti kakeknya sendiri itupun hanya dapat terdiam.

“Silahkan saja jika kalian akan pergi, aku tidak apa-apa sendiri”.

“Tadinya aku sangat ingin pergi, tapi setelah ingat keadaanmu sebaiknya aku urungkan saja, Glagah Putih”.

“Kenapa Mbokayu urungkan? aku sungguh tidak apa-apa jika kalian memang ingin pergi. Sebenarnya jika keadaanku lebih baik, maka aku pun sangat ingin ikut serta. Tetapi dengan keadaan seperti ini, justru akan menjadi beban kalian”.

“Apakah kau yakin tidak apa-apa jika kami tinggal pergi?”.

“Aku tidak apa-apa, Mbokayu”.

Kemudian Nyi Anjani pun menoleh ke arah Begawan Mayangkara yang sedang memandang ke arah lain, “bagaimana pendapat Eyang sekarang?”.

“Sebaiknya kau pertimbangkan dulu baik-baik, dan jika kita harus pergi sebaiknya kau siapkan dulu apa saja yang dibutuhkan Ki Lurah Glagah Putih selama kita pergi”.

“Aku mengerti Eyang”.

“Jangan sampai kita tinggalkan Ki Lurah Glagah Putih dalam keadaan kesulitan dalam kesendiriannya”.

“Sebelum kita pergi, tentu aku akan menyiapkan segala keperluannya lebih dulu Eyang”.

“Mbokayu Anjani tidak perlu khawatir, aku dapat mengurus diriku sendiri”.

“Ah… aku tahu kau tentu masih merasa sungkan kepadaku, Glagah Putih. Lalu bagaimana kau akan meminta bantuanku?”.

Ki Lurah Glagah Putih menjadi terdiam mendengar ucapan tersebut, karena memang ada benarnya. Namun disisi lain dirinya merasa lebih segan jika harus dilayani oleh mbokayunya satu itu, terutama jika hanya ada mereka berdua tanpa kakak sepupunya.

Tetapi keseganan itu tidak mampu diucapkan dari mulutnya, sebab dia khawatir akan dapat menyinggung perasaan mbokayunya yang sudah begitu baik kepadanya.

“Kau tidak perlu khawatir, Glagah Putih. Sebelum aku pergi, tentu aku tidak akan membiarkanmu dalam kesulitan. Tetapi semoga saja kepergianku ini tidak akan lama, sebab aku hanya ingin memastikan saja apa yang terjadi dengan kakangmu. Jika dia baik-baik saja, atau tidak ada kemungkinan dia memerlukan bantuan, maka aku akan segera kembali”.

“Aku mengerti mbokayu, seandainya saja…”.

“Sudahlah… Glagah Putih. Kau tidak perlu merasa bersalah, lagipula kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pada kakangmu dan kedua mbokayumu”.

“Semoga saja semua dalam keadaan baik-baik saja”.

“Tentu kita semua berharap demikian, tetapi kita juga kehilangan pengamatan diri atas apa yang terjadi atau yang bakal terjadi”.

“Ya… Mbokayu benar”.

“Sebaiknya aku siapkan dulu kebutuhanmu, sehingga aku dapat segera pergi, dan syukur-syukur dalam segera kembali lagi”.

Selesai berkata demikian, Nyi Anjani pun segera beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menyiapkan segala apa yang akan dibutuhkan adik sepupu suaminya itu selama dia tinggal pergi.

“Apakah kau masih merasakan sakit pada sekujur tubuhmu, Ki Lurah?”. bertanya Begawan Mayangkara, setelah Nyi Anjani meninggalkan tempat itu.

“Hanya kadang-kadang saja dadaku masih terasa sedikit nyeri”.

“Apakah tubuhmu masih terasa lemah ketika bergerak?”.

“Pada saat pertama kali aku keluar dari pembaringanku, sekujur tubuhku memang terasa sangat lemah sekali, Begawan. Tetapi setelah ada makanan yang berhasil masuk ke dalam tubuhku, maka tubuhku terasa sedikit lebih segar”.

“Syukurlah jika demikian. Atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, ternyata dengan lantaran obat pemberian kawanku itu, tubuhmu yang pada dasarnya memiliki daya tahan yang luar biasa dapat sembuh lebih cepat dari dugaan kita semua”.

“Aku pun tidak henti-hentinya bersyukur atas kemurahan dari Yang Maha Agung ini, Begawan.”.

“Dalam penalaran wajar, maka luka yang kau derita itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu , jika terjadi kesalahan sedikit saja dalam penanganannya maka akan dapat mengakibatkan bencana bagimu”.

“Maksud Begawan?”. 

“Jika kemarin kakak sepupumu itu membuat kesalahan sedikit saja pada saat penanganan perawatanmu, maka kemungkinan besar akan dapat meninggalkan cacat di tubuhmu”.

“Begitu rupanya?”.

“Berdasarkan kawruh pengobatan yang aku tahu, begitulah kira-kira kemungkinan yang dapat terjadi. Bukankah itu sama saja artinya bencana bagimu?”.

Ki Lurah Glagah Putih tidak menyahut, hanya kepalanya saja yang tampak terangguk perlahan beberapa kali dalam meresapi setiap kata yang telah didengarnya tersebut.

“Meskipun semua itu tidak lepas atas kemurahan dari Yang Maha Agung, tetapi bukankah harus disertai usaha kita pula?”.

“Aku sependapat, Begawan. Sebab Yang Maha Agung tidak akan membantu kita dengan serta merta jika tanpa dibarengi dengan usaha kita pula, dalam hal apapun itu”.

“Ya memang seharusnya demikian, bukan berarti kita selalu meminta pertolongan Yang Maha Agung itu diartikan sebagai sebuah kepasrahan dalam keputusasaan dan tanpa pernah berusaha sama sekali. Jika yang terjadi demikian, justru kita salah besar dalam mengartikan pertolongan Yang Maha Agung”.

“Aku sependapat dengan Begawan”.

Sejenak kemudian tidak ada yang membuka suara lagi, karena sibuk dengan penalarannya masing-masing. Namun dari kejauhan masih terdengar suara sekumpulan hewan yang beraneka macam jenis dan bentuknya.

“Oh iya Begawan, sebelum kalian pergi. Apa sajakah yang harus aku persiapkan untuk menjalani laku nanti malam, mungkin saja masih ada petunjuk lain yang belum sempat tersampaikan”.

Begawan Mayangkara yang sedang memandangi hamparan langit di kejauhan tidak bergeming dan tidak pula segera menjawab mendapat pertanyaan tersebut. Sepertinya dia sedang berusaha mengingat kembali apa yang telah disampaikan dan yang mungkin belum disampaikannya kepada Ki Lurah Glagah Putih.

“Selain kau mencegah makan dan minum setelah matahari terbenam, sepertinya kau memang tidak memerlukan persiapan khusus, Ki Lurah. Sebab yang paling penting adalah pada saat kau menjalani laku itu sendiri”.

“Oh… begitu rupanya”.

Laku kungkum yang akan kau jalani itu sebenarnya adalah sebuah laku yang dimaksudkan untuk membantu mempercepat tubuhmu agar sesegera mungkin sehat kembali. Dan bersamaan dengan kau harus menjalani laku itu, maka kau akan dibantu oleh Ki Agung Sedayu untuk menyempurnakan lakumu”.

“Aku mengerti, Begawan. Semoga saja aku menjalani laku itu dengan sebaik-baiknya”.

“Aku rasa kau tidak akan menemui banyak kesulitan, Ki Lurah. Sebab aku tahu bahwa kau adalah orang yang sudah terbiasa dengan jenis laku prihatin yang bagaimanapun bentuknya”.

“Semoga saja bekal dan pengalaman yang aku miliki dapat membantu mempermudah lakuku nanti malam”.

“Tentu saja sangat membantu, Ki Lurah”.

“Tetapi Begawan, kenapa aku harus menjalani laku itu di Rawa Pening? kenapa tidak di sekitar tempat ini saja?”.

“Bukankah sudah aku katakan, Ki Lurah. Bahwa di sekitar tempat ini memang ada tempat untuk menjalani Laku Kungkum, tetapi mengingat keadaanmu yang masih sangat lemah dan tempat itu sendiri sangat curam dan licin, aku khawatir jika kau akan kesulitan untuk mencapai tempat itu”.

“Oh… begitu rupanya, aku mengerti sekarang”.

“Demikianlah Ki Lurah, aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu atasmu karena kesalahanku. Sehingga aku harus memperhatikan pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi”.

“Terima kasih, Begawan”.

Kemudian pembicaraan mereka masih berlanjut beberapa saat dengan membicarakan apa saja yang menarik bagi mereka berdua sembari menunggu Nyi Anjani benar-benar bersiap, sebelum berangkat meninggalkan tempat tersebut.

*****

Sementara itu Ki Lurah Jatisrana selaku utusan Mataram yang telah diperkenankan untuk menghadap oleh Kanjeng Adipati Pajang, kini telah berada di hadapan pepunden seluruh kawula Pajang seorang diri.

Tampak wajah yang kurang senang terpancar dari Kanjeng Adipati ketika berhadapan dengan lurah prajurit Mataram tersebut, tetapi semua itu hanya dapat disimpannya di dalam hati.

Sebab biar bagaimana pun dirinya tidak dapat ingkar akan kedudukannya, bahwa Pajang adalah termasuk salah satu bawahan dari Mataram.

“Ampun Kanjeng Adipati. Hamba adalah Jatisrana, lurah prajurit Mataram yang diutus oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma untuk menyampaikan pesan kepada Kanjeng Adipati selaku pepunden Pajang”. berkata Ki Lurah Jatisrana setelah sebelumnya menghaturkan sembahnya lebih dulu.

“Katakanlah isi pesan itu”. sahut Kanjeng Adipati dengan wajah tampak suram.

“Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma meminta bantuan kepada Pajang berupa bala bantuan prajurit, yang nantinya akan diperbantukan pada prajurit Mataram yang sekarang sedang dalam perjalanan menarik diri dari Wirasaba”.

“Bantuan prajurit katamu?”. sahut Kanjeng Adipati yang seakan masih belum percaya dengan pendengarannya sendiri.

“Demikianlah Kanjeng Adipati”.

“Semakin lama Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma semakin mau menangnya sendiri terhadap Pajang. Mentang-mentang dia adalah pepunden tertinggi dari Mataram yang membawahi Pajang, dengan penuh kesombongan dirinya begitu saja memberikan perintah kepada Pajang”.

Kanjeng Adipati Pajang yang sebenarnya kurang senang terhadap Mataram, tidak dapat menahan diri lagi untuk tetap bersikap baik, meskipun dirinya belum berani secara terang-terangan untuk menyatakan sikapnya, terutama kepada Kanjeng Sinuhun Mataram.

Namun dalam beberapa kesempatan, dirinya sudah mulai menunjukkan sikap yang sebenarnya. Terutama kepada beberapa abdi Mataram, tetapi tentu saja itu bukanlah dari kalangan Keluarga Istana Mataram.

Kebencian Kanjeng Adipati Pajang bukan tanpa alasan, semua itu berawal atas kematian ayahnya ditangan Kanjeng Panembahan Senopati beberapa warsa yang lampau.

Dan pada saat ayahnya menghembuskan nafasnya yang terakhir dia tidak dapat berbuat apa-apa, sebab dia pun sangat menyadari bahwa kemampuannya terlalu jauh jika dibandingkan dengan Pepunden Mataram waktu itu.

Sehingga rasa sakit hati dan dendam yang begitu mendalam hanya dapat dipendam di dalam hatinya nya seorang diri pada saat semua itu terjadi.

Dalam penalarannya, hanya berusaha untuk dapat ngangsu kawruh kanuragan yang setinggi-tingginya, agar suatu saat dapat untuk melampiaskan dendamnya tersebut terhadap orang yang telah mengakhiri hidup ayahnya.

Namun belum sempat dia melampiaskan dendamnya, Kanjeng Panembahan Senopati justru lebih dulu wafat dengan menyisakan dendam yang begitu mendalam di hati Kanjeng Adipati Pajang. Sehingga dendam itu kemudian telah berubah arah sasarannya.

Meskipun setelah kematian ayahnya, kemudian Kanjeng Panembahan Senopati menobatkan dirinya untuk menggantikan ayahnya guna memimpin Pajang, pada umurnya yang masih sangat muda sekali.

Namun bukan berarti dia dapat melupakan begitu saja apa yang telah terjadi terhadap ayahnya, dan sejak saat itu pula bahwa api dendam di dalam hatinya semakin membara, yang seakan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk meledak dan memuntahkan segala isinya.

Maka dari itu, sejak dirinya dinobatkan untuk menggantikan kedudukan ayahnya, maka Pajang sering kurang sependapat dengan Mataram selaku wilayah yang membawahinya.

Mungkin selama ini hanya perbedaan pendapat akan masalah kecil saja. Tetapi sebagai seorang manusia, Kanjeng Adipati Pajang tidak dapat terus menerus hidup di dalam kepura-puraan.

Pasti pada saatnya akan muncul pula watak aslinya, yang memang pada kenyataannya sudah terlanjur membenci Mataram karena sejarah kelam yang telah menimpa ayahnya.

Memang tidak dapat kita pungkiri, bahwa sebuah sebab pasti akan menimbulkan akibat. Dan semua itu tergantung pula pada pemicu sebab akibatnya dan bagaimana pula kita dalam menyikapi semua itu.

Sementara Kanjeng Adipati masih terdiam dengan penalarannya yang masih memiliki banyak pertimbangan sebelum menjawab, atas pesan yang dibawa oleh utusan dari Mataram tersebut.

Sebab apapun keputusannya harus dia pertanggung jawabkan segala resikonya. Apalagi keputusannya itu akan melibatkan banyak orang di dalamnya.

Sehingga dirinya harus mempertimbangkan semua itu dengan sebaik-baiknya sebelum benar-benar mengambil sebuah keputusan yang sangat menentukan.

Ki Lurah Jatisrana yang berada di hadapan pepunden seluruh kawula Pajang itupun hanya dapat terdiam dan tidak berani membuka suara lebih dulu, selama menunggu jawaban atas pesan yang dibawanya dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

“Ki Sanak?”. ucap Kanjeng Adipati Pajang yang pada akhirnya membuka mulutnya pula, setelah beberapa lama berdiam diri di tempat duduknya.

“Hamba Kanjeng Adipati”.

“Ambilah kembali lencanamu ini”. berkata pepunden seluruh kawula Pajang itu sembari menyerahkan benda yang dimaksud.

“Setelah aku pikirkan secara mendalam pesan dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma melalui kau, dan sekarang aku akan menyampaikan jawaban atas pesan itu”.

“Terima kasih, Kanjeng Adipati”. sahut Ki Lurah Jatisrana sembari menundukkan kepalanya.

“Sepertinya kali ini aku tidak dapat mengirimkan bantuan berupa sepasukan prajurit kepada Mataram”. berkata Kanjeng Adipati, lalu menarik nafas dalam-dalam.

Bagaikan disengat ribuan lebah, Ki Lurah Jatisrana sangat terkejut dengan ucapan orang yang berada di hadapannya tersebut, hingga tanpa sadar diangkatlah kepalanya.

Tetapi segera ditundukkannya kembali setelah menyadari bahwa pada saat yang bersamaan, Kanjeng Adipati Pajang itu dengan melihat ke arahnya pula.

“Apakah kau keberatan dengan jawabanku ini?”.

“Tidak Kanjeng Adipati, sama sekali tidak”.

“Lalu kenapa kau bersikap demikian kepadaku?”. berkata Kanjeng Adipati yang tidak suka melihat sikap utusan dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma tersebut.

“Ampun Kanjeng Adipati, tolong ampuni kesalahan hamba yang sama sekali tidak sengaja ini”. sahut Ki Lurah Jatisrana yang menyadari keterlanjurannya.

“Tetapi sikapmu itu benar-benar menunjukkan sebuah sikap yang sangat deksura kepadaku”.

“Ampun Kanjeng Adipati, sekali lagi hamba mohon ampun atas kesalahan hamba ini”. sahut Ki Lurah Jatisrana yang mulai ketakutan sembari menghaturkan sembahnya.

Sebenarnya sikap yang ditunjukkan Ki Lurah Jatisrana itu bukanlah sebuah kesalahan yang perlu diperpanjang. Namun pada dasarnya jika orang tidak suka, perkara kecil pun bisa menjadi sebuah perkara yang besar.

Apalagi jika orang yang tidak suka itu adalah orang yang memiliki kedudukan, sehingga dia dapat berbuat apa saja terhadap orang yang tidak disukainya.

“Sebaiknya kau segera tinggalkan tempat ini sebelum aku dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah kau duga. Dan sampaikan saja jawabanku itu kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Sendika dawuh, Kanjeng Adipati”. sahut Ki Lurah Jatisrana yang sekujur tubuhnya masih berkeringat dingin atas apa yang baru saja terjadi kepadanya.

Sejenak kemudian dia pun segera meninggalkan tempat itu, lalu kembali menemui kedua kawannya yang menunggunya dan masih berada di depan gerbang Istana Kadipaten Pajang.

Kedua kawan Ki Lurah Jatisrana itu masih berada di hadapan para prajurit Pajang yang bertugas di depan gerbang, dengan wajah-wajah yang sepertinya kurang ramah.

Ketika sudah bertemu dengan kedua kawannya tersebut, tanpa mengucapkan sepatah kata, Ki Lurah Jatisrana pun hanya memberikan isyarat untuk segera meninggalkan tempat itu.

Kedua kawannya yang tanggap pun, mengikuti saja apa yang diminta oleh Ki Lurah Jatisrana tanpa pernah bertanya. Mereka pun segera melompat ke atas punggung kuda, kemudian berlalu.

Setelah ketiganya sudah semakin jauh meninggalkan Istana Kadipaten Pajang, bahkan mungkin sudah beberapa ratus tombak jauhnya, maka mereka mulai membuka suara dari atas punggung kuda yang dipacu.

“Ternyata dugaan kita benar”.

“Apa maksud Ki Lurah?”.

“Dugaan kita tentang sikap Kanjeng Adipati Pajang terhadap Mataram, selaku wilayah yang membawahinya”.

“Lalu apakah jawaban dari Kanjeng Adipati Pajang atas pesan dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma?”.

“Dia menolak untuk mengirimkan bantuan sepasukan prajurit kepada Pasukan Mataram yang sedang menarik diri dari Wirasaba itu”. sahut Ki Lurah Jatisrana menjelaskan secara singkat.

“Sepertinya mendung di langit Pajang ini akan menjadi semakin tebal dan pekat saja”. berkata kawan Ki Lurah Jatisrana yang berkuda di sebelah kirinya.

“Ya… kau benar”.

“Dan sepertinya mendung yang semakin hari menjadi semakin tebal itu hanya menunggu waktu saja untuk hujan turun, meskipun masih entah kapan?”.

“Tetapi semoga saja mendung yang semakin tebal itu akan diterbangkan oleh angin yang cukup kuat, sehingga mendung di langit Pajang itu tidak berlanjut menjadi hujan”.

“Semoga saja Ki Lurah, bukankah kita pun lebih senang jika terjadi demikian? meskipun kita sebagai prajurit tidak pernah menjadi ketakutan terhadap keadaan yang bagaimanapun juga, tetapi bukankah kita akan lebih senang jika hidup ini penuh dengan kedamaian dalam kehidupan bebrayan”.

“Semoga saja itu bukan sekedar harapan kita semata”.

“Meskipun kita tahu bahwa semua itu sangat sulit menjadi kenyataan, tapi bukankah tidak ada salahnya jika kita memiliki sebuah pengharapan yang baik?”.

“Ya… kita memang jangan berhenti berharap, namun kita juga jangan sampai hidup dalam harapan kosong belaka, sedangkan kita sendiri hanya sekedar berpangku tangan saja”.

“Sepertinya penobatan dirinya belum mampu menghapus sakit hati dan dendam di dalam hatinya terhadap Mataram. Meskipun jika kita dicermati kembali, sebenarnya ayahnya lah yang bersalah dalam sejarah kelam itu”.

“Tetapi namanya sebagai anak, mungkin saja Kanjeng Adipati tidak mau tahu apapun alasannya. Karena pada intinya ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya di tangan Kanjeng Panembahan Senopati sebagai pepunden seluruh kawula Mataram”.

“Ki Lurah benar, dan mungkin itulah yang menjadi salah satu penyebab Kanjeng Adipati Pajang sekarang begitu mendendam kepada Mataram setelah orang yang mengakhiri hidup ayahnya telah wafat pula”.

“Ya… begitulah kira-kira”.

Kemudian tidak ada yang membuka suara lagi untuk beberapa saat, selama ketiganya kembali lagi kepada Pasukan Mataram yang masih dalam perjalanan menarik diri.

Sebab ketiganya harus sesegera mungkin untuk melaporkan hasil atas tugas yang mereka emban dari Kanjeng Sinuhun Mataram, agar dapat sesegera mungkin pula untuk disikapi.

Apalagi hasil tugas yang mereka bawa itu tentu akan membuat Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sangat murka sebagai pepunden tertinggi seluruh kawula Mataram dan seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.

Sementara ketiga utusan Mataram itu telah berlalu semakin menjauhi Istana Kadipaten Pajang, dengan meninggalkan babak baru prahara di tanah leluhur.

*****

Sementara itu Pasukan Mataram yang menarik diri dari Wirasaba sudah semakin jauh meninggalkan padang perdu yang tidak begitu luas, tempat meraka beristirahat, tetapi kini telah menjadi arena perang tanding bagi dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Terlihat Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma berkuda dengan didampingi oleh ketiga paman pangerannya yang memiliki tugas ganda, sebab selain sebagai Senopati Pengapit, ketiganya bertugas pula sebagai penasehat.

Apalagi mengingat umur Kanjeng Sinuhun Mataram yang masih sangat muda, tentu masih sangat membutuhkan nasehat dalam setiap pengambilan keputusan, terutama keputusan penting dan di dalam keadaan genting.

Disitulah peran penasehat begitu memberi arti, apalagi apa yang sedang mereka lakukan itu menyangkut nasib seluruh pasukan segelar sepapan secara langsung, dan seluruh kawula Mataram secara tidak langsung.

“Paman bertiga, apakah menurut kalian utusan yang kita kirim ke Pajang akan membawa hasil yang baik?”.

“Semoga saja akan membawa hasil yang baik bagi kita semua, Angger Panembahan. Meskipun aku sendiri meragukannya”. sahut Pangeran Pringgalaya yang berkuda di sebelah kanannya.

“Apakah karena Paman Pringgalaya telah mendengar kabar burung selama ini? yang sepertinya Pajang sering tidak mau sependapat dengan Mataram?”.

“Benar… Ngger”.

“Apakah menurut Paman, Adipati Pajang berbuat demikian karena masih menyimpan sakit hati dan dendam terhadap Mataram, yang disebabkan sejarah kelam yang pernah terjadi?”.

“Demikianlah kira-kira menurutku, Angger Panembahan”.

“Akupun beberapa kali telah mendengar pula laporan tentang Adipati Pajang, tetapi sepertinya aku belum dapat mengambil sikap jika apa yang dia lakukan itu masih belum melanggar paugeran yang pantas mendapat hukuman, Paman”.

“Maka dari itu, Angger Penembahan. Aku memiliki gagasan untuk memancingnya agar Adipati Pajang semakin memperlihatkan sikap aslinya”.

“Maksud Paman Pringgalaya?”.

“Salah satunya adalah dengan mengirim prajurit penghubung yang hanya berpangkat lurah prajurit untuk menyampaikan pesan dari Angger Panembahan kepada Adipati Pajang”.

“Apakah menurut Paman Pringgalaya itu akan berhasil?”.

“Aku sendiri belum benar-benar yakin, apakah cara itu akan berhasil. Tetapi menurut perhitunganku, Adipati Pajang tentu akan merasa tersinggung mendapati utusan Mataram yang menghadap kepadanya tidak lebih hanya seorang lurah prajurit”.

“Pada awalnya aku tidak terpikirkan sejauh itu, tetapi ternyata Paman Pringgalaya memiliki penalaran yang cemerlang dalam menanggapi setiap perkembangan yang terjadi. Sehingga sering dapat menemukan gagasan-gagasan yang paling baik”.

“Semua itu bukan semata-mata karena kecemerlangan penalaran pribadiku, Ngger. Apakah Angger Panembahan lupa? bahwa akupun seorang prajurit yang digembleng sedemikian rupa agar dapat menghadapi segala apa yang terjadi dalam setiap keadaan? dan kapan pun waktunya?”.

“Ya… aku lupa bahwa di dalam tubuh Paman Pringgalaya itu mengalir darah Kanjeng Eyang, yang kita semua tahu bahwa tidak perlu diragukan lagi kemampuannya, baik kemampuannya secara pribadi maupun pengalamannya yang sangat luas”.

“Angger Panembahan benar, tetapi perlu diketahui pula. Bahwa anak harimau tetaplah anak harimau, tetapi yang membedakan adalah tempaan dalam hidupnya”.

“Ya… Paman Pringgalaya benar”.

“Apa artinya seekor anak harimau tersebut jika hanya terkurung? dan dapat makan minum di dalam kandang karena pemberian seseorang sepanjang hidupnya?”.

“Aku mengerti, dan aku sependapat dengan Paman Pringgalaya”.

*****

Sementara itu Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah semakin dirundung ketegangan dan kegelisahan yang sangat mencekam jantungnya, melihat suami mereka yang sedang menyabung nyawa di hadapan mereka berdua.

“Apakah kakang Agung Sedayu akan mampu mengatasi Ki Ageng Wirasaba? setelah dia mengetrapkan ilmu kabutnya?”.

“Aku belum tahu, Mbokayu. Karena Ki Ageng Wirasaba sendiri pun memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dan aku belum dapat membuat penilaian atas keduanya”.

“Apakah menurutmu, Ki Ageng Wirasaba akan mampu menemukan kelemahan ilmu kabut itu? atau setidak-tidaknya siasat untuk mengatasinya?”.

“Aku belum dapat menduga, dan tidak mau hanya sebatas menduga-duga apa yang terjadi. Sebab kita sendiri belum pernah tahu siapakah yang menjadi lawan kakang Agung Sedayu kali ini dan seberapa tinggikah ilmunya”.

“Kau benar, Sekar Mirah. Memang sebaiknya kita lihat saja apa yang terjadi, jadi bukan hanya sebatas menduga-duga saja atas apa yang terjadi terhadap mereka berdua dalam perbandingan ilmu kanuragan yang mereka kuasai”.

Maka keduanya pun memusatkan perhatiannya kembali ke arena perang tanding antara dua orang yang berilmu sangat tinggi dan sudah di luar penalaran orang kebanyakan, meski mereka pun tidak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam kabut tebal itu.

Memang sangat sulit untuk melihat apa yang bakal terjadi dari perbandingan ilmu itu, apalagi kini dua orang yang sedang menyabung nyawa tersebut terselimuti kabut yang sangat tebal, dan hanya orang yang memiliki kemampuan tinggi sajalah yang mampu melihat apa yang terjadi di dalamnya.

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang sudah bersiap dengan rencananya untuk menyerang lawannya yang terlindungi kabut yang sangat tebal menjadi sangat terkejut.

Karena tidak pernah diduga sebelumnya oleh paman guru Ki Patih Rangga Permana tersebut, bahwa tiba-tiba dadanya terasa sangat nyeri.

Semakin lama rasa nyeri itu semakin kuat dan seakan semakin tak tertahankan olehnya, namun dirinya tidak begitu saja menyerah pada keadaan.

Ki Ageng Wirasaba berusaha melawan kekuatan yang sangat menyakitinya tersebut dengan segala kemampuan yang bertumpuk dalam dirinya.

Namun semakin dia mencoba melawan, maka rasa nyeri itu justru semakin kuat. Seakan-akan dadanya sedang dihimpit oleh dua bongkah batu yang sangat besar dari dua arah yang berbeda secara bersamaan.

Dengan keadaan yang demikian, maka telah merusak pemusatan nalar budinya dalam pengetrapan ilmu pusarannya yang sangat dahsyat dan nggegirisi.

Secara perlahan-lahan angin pusaran itu mulai melemah, sebab sumbernya lebih banyak memusatkan diri untuk mengatasi rasa sakit yang sedang melandanya begitu dahsyat.

“Iblis… Setan Alas… “. hanya terdengar sumpah serapah yang sangat kotor keluar dari mulut Ki Ageng Wirasaba yang semakin merasa kesakitan yang semakin tak tertahankan.

“Iblis licik…”.

Tidak henti-hentinya Ki Ageng Wirasaba yang merasa kesakitan mengumpat sejadi-jadinya, sembari berteriak sekuatnya tapi tanpa dilambari ilmu sejenis Aji Gelap Ngampar, untuk meluapkan segala isi hatinya.

Antara marah, sakit, dan menyesal atas keterlambatannya dalam menyerang lawannya. Padahal apa yang telah dilakukan lawannya dengan apa yang bakal dia lakukan terhadap lawannya berselisih waktu hampir tidak ada sekejapan mata saja.

Tetapi kini kenyataan telah berbicara lain.

Keterlambatan yang hampir tidak ada sekejapan mata itu harus dia mahal dengan apa yang sedang dia alami sekarang, dan itu benar-benar sangat menyakitkan.

Sementara kedua istri Ki Agung Sedayu yang hampir tidak pernah melepaskan perhatiannya terhadap perang tanding yang sedang berlangsung merasa heran.

“Apakah Mbokayu melihat itu?”. bertanya Nyi Sekar Mirah sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.

“Ya… aku melihatnya, tapi aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam arena perang tanding karena terselimuti oleh kabut yang sangat tebal yang dilepaskan oleh kakang Agung Sedayu”.

“Aku pun demikian pula, Mbokayu. Tetapi bukankah tadi di tempat itu adalah tempat dimana angin pusaran yang membara? tetapi sekarang terlihat mulai meredup”.

“Aku pun melihatnya, tetapi aku tidak mau hanya sebatas menduga-duga saja tanpa kepastian. Namun aku selalu nenuwun bahwa semoga itu adalah sebuah pertanda yang baik bagi kakang Agung Sedayu”.

“Aku pun berharap demikian”.

Sebenarnyalah memang angin pusaran yang tadi tampak membara dalam balutan kabut yang sangat tebal masih terlihat jelas sekali, namun kini dari luar balutan kabut secara perlahan-lahan terlihat menjadi semakin meredup sinarnya.

Tetapi memang pada kenyataannya, apapun yang sedang terjadi di dalam balutan kabut tebal itu tidak dapat dilihat dan didengar sama sekali dari luar, kecuali hanya orang yang memiliki kemampuan kanuragan yang sangat tinggi.

Sementara para cantrik Ki Ageng Wirasaba yang menyaksikan semua itu semakin heran, kebingungan, dan penuh tanda tanya atas apa yang sedang terjadi.

Sebab kemampuan mereka yang belum mencapai tataran yang sama dengan orang yang sedang menyabung nyawa tersebut, menjadikan mereka hanya dapat semakin tertegun.

“Semakin di luar nalar”. desis salah satu cantrik itu tanpa sadarnya sembari tetap menyaksikan perang tanding yang sedang berada di hadapannya.

“Kakang Wiramba benar, pameran ilmu yang sudah diluar nalar bagi kita yang mendapat kesempatan menyaksikan langsung perang tanding ini”. sahut Wandana yang berdiri di sebelah kanannya.

“Baru kali ini aku dapat menyaksikan secara langsung pameran ilmu yang tidak pernah aku bayangkan dalam penalaranku sebelumnya”. sahut kawannya yang lain.

“Kita memang hanyalah sekumpulan orang-orang kerdil di antara para raksasa kanuragan yang tersebar di sepanjang tanah ini dari ujung ke ujung”.

“Ya… kita memang hanyalah sekumpulan orang yang tidak berarti di antara para raksasa kanuragan, baik yang sudah kita lihat sendiri maupun yang masih belum pernah kita lihat di luasnya tanah ini sepanjang hayat kita, dan mungkin masih banyak pula yang belum pernah kita lihat”.

Dan kini angin pusaran yang dipenuhi api membara itu benar-benar lenyap sama sekali di dalam balutan kabut yang sangat tebal, sebab pemusatannya terganggu oleh serangan lawan yang tidak pernah diduganya.

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang masih merasakan kesakitan yang semakin tak tertahankan, berpikir keras bagaimanakah untuk dapat segera melepaskan diri dari serangan lawannya yang seakan semakin kuat mencengkram dadanya.

Beruntunglah bahwa tubuhnya masih dilindungi oleh ilmu kebal yang sangat kuat, sehingga tubuhnya masih tertolong dan tulang-tulangnya tidak berpatahan karenanya.

Dalam keadaan kesakitan tersebut, untuk sementara Ki Ageng Wirasaba harus mengabaikannya dan sesegera mungkin berusaha mengetrapkan salah satu ilmunya guna mengatasi serangan lawan yang tidak dapat dibiarkan terus menerus menyakiti.

Sebenarnyalah bahwa Ki Agung Sedayu telah mengetrapkan Aji Pengangen-angennya pada saat lawannya masih terlindung dalam angin pusarannya yang tidak mampu ditembus oleh ilmu puncak dari jalur Perguruan Orang Bercambuk.

Kemudian Ki Agung Sedayu mencoba masuk ke dalam angin pusaran itu dengan Aji Pengangen-angen, melalui salah satu bayangan semunya yang tidak langsung diisi oleh pancaran ilmu, sehingga tidak dapat ditepis oleh angin pusaran tersebut.

Dan setelah ayah Sekar Wangi itu masuk ke dalam lingkaran pusaran, lalu dengan kecepatan yang hampir tidak ada sekejapan mata, barulah menyerang lawannya dengan mengetrapkan salah satu ilmu simpanannya yang berasal dari jalur Ki Sadewa.

Tetapi sikap jantannya tidak menghendaki langsung menyerang pada tataran puncak. Sebab jika dirinya berbuat demikian, maka dirinya merasa seakan njulung tungkul terhadap lawannya yang tidak akan pernah menduga sebelumnya.

Dan serangan tersebut hanya dimaksudkan untuk melemahkan perlawanan Ki Ageng Wirasaba yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat, dan bahkan tidak mampu ditembus oleh serangan dari luar meskipun sudah mengetrapkannya hingga tataran puncak.

Dalam hati Ki Agung Sedayu tidak henti-hentinya bersyukur kepada Yang Maha Welas Asih, karena usaha yang dilakukannya ternyata berhasil.

Meskipun itu belum tentu menjadi akhir dari perang tanding, namun paling tidak dirinya sudah mampu mengatasi salah satu ilmu simpanan lawannya yang sangat nggegirisi dan tiada bandingnya.

Seandainya saja orang lain yang menghadapi ilmu dari Ki Ageng Wirasaba itu, tentu sudah lumat menjadi abu. Karena akan tersedot dan kemudian akan dipanggang hidup-hidup dalam angin pusaran berbalut api membara.

Ki Agung Sedayu merasa bersyukur bahwa kawruh kanuragan yang pernah dia pelajari selama ini, dan berasal dari beberapa sumber tersebut saling melengkapi serta memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing.

Karena ternyata tataran ilmu puncak yang dia pelajari dari jalur Perguruan Orang Bercambuk, tidak selalu menjadi penentu dari sebuah perbandingan ilmu, terutama dalam sebuah perang tanding yang sangat menentukan.

Meski seandainya nanti dirinya harus membuat perbandingan dengan saling membenturkan ilmu puncaknya, tetapi jika tadi dirinya tidak mampu mengatasi ilmu angin pusaran lawannya, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk mengetrapkan ilmu puncaknya.

Sebab dalam keadaan gawat, segala kemungkinan masih dapat terjadi. Termasuk bekal kawruh kanuragan yang tadinya dianggap kurang berarti sekalipun dapat menjadi pembeda atau bahkan menjadi penyelamat selembar nyawa pemiliknya.

Namun yang tidak pernah diduga terjadi.

Tiba-tiba Ki Ageng Wirasaba yang masih dalam cengkeraman ilmu lawannya, sedikit memaksakan diri dengan mengetrapkan Aji Kalanetra untuk menyerang lawannya.

Serangan itu dimaksudkan untuk membuyarkan pemusatan nalar budi lawannya yang sedang menyerangnya. Tetapi itu tidak mudah, sebab Ki Ageng Wirasaba sendiri masih terganggu oleh kabut tebal yang menghalangi pandangan mata.

Sehingga dirinya tidak dapat mengetahui dengan tepat dimana keberadaan lawan. Tetapi beruntunglah bahwa wujud bayangan semu dari pancaran ilmu Aji Kalanetra dapat bergerak secepat tatit kesana kemari.

Sehingga sangat membantunya untuk sesegera mungkin menemukan lawannya dengan tepat, setelah itu paman guru dari Ki Patih Rangga Permana tersebut menyerang dengan serangan yang membadai dengan dua wujud semu.

Dalam serangan tersebut, Ki Ageng Wirasaba memang benar-benar tidak memberikan kesempatan sedikitpun terhadap lawannya, bahkan hanya untuk sekedar berkedip apalagi untuk menarik nafas sekalipun.

Serangan yang datang begitu tiba-tiba dan tidak pernah diduga itu benar-benar mampu membuyarkan pemusatan nalar budi Ki Agung Sedayu, karena harus melayani dua bayangan semu.

Apalagi selain dirinya menyerang lawan melalui sorot matanya, dalam waktu bersamaan Ki Agung Sedayu sedang mengetrapkan ilmu kabutnya pula. Sehingga dirinya harus memilih, manakah yang lebih diutamakan untuk mendapat perhatiannya.

Ternyata sedikit kelengahan dari Ki Agung Sedayu yang hanya sekejap, dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh lawannya. Sehingga kini mampu melepaskan diri dari ilmu sorot mata yang sangat menyakitkan.

Dengan kesibukan Ki Agung Sedayu yang harus melayani dua wujud semu, pancaran dari Aji Kalanetra. Membuatnya kehilangan pemusatan nalar budi dalam pengetrapan ilmunya, sehingga ilmu sorot mata dan ilmu kabutnya secara perlahan mulai memudar.

Namun setelah beberapa saat harus bertempur melawan dua wujud bayangan semu, akhirnya ayah Sekar Wangi itu mendapat kesempatan untuk mengetrapkan Aji Pengangen-angen.

Maka sejenak kemudian wujud aslinya terbebas dari serangan yang sangat nggegirisi. Meskipun Aji Kalanetra berupa bayangan semu, namun wataknya hampir mirip dengan Aji Pengangen-angen yang mampu memberikan akibat secara kewadagan.

Kabut itu semakin lama semakin memudar dan menipis, hingga akhirnya hilang tak berbekas sama sekali terbawa angin yang bertiup di luasnya padang perdu.

Dan kini orang-orang yang berada di sekitar mampu melihat dengan jelas dan mampu mendengar apa saja yang terjadi di arena perang tanding.

“Ternyata perang tanding itu tidak pernah berhenti dan masih berlangsung dengan sengitnya”. berkata Wandana, di tempatnya berdiri dan hampir tidak pernah bergeming.

“Kemampuan para raksasa kanuragan memang sudah di luar jangkauan penalaran kita, tadi aku sudah sempat menduga bahwa Kyai memiliki kemungkinan lebih besar untuk memenangkan perang tanding ini, pada saat Kyai mampu menepis serangan ilmu puncak dari lawannya, tetapi ternyata aku salah”.

“Ya… aku pun tadi sempat berpikir demikian pula, Kakang”.

“Jika aku amati sejauh ini, sepertinya akhir dari perang tanding ini sudah semakin dekat”.

“Aku sependapat”.

“Semoga saja Kyai mampu mengatasi lawannya”.

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang sudah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman ilmu sorot mata lawannya, kini sudah dapat berdiri tegak kembali dengan tegarnya dan seakan baru saja seperti tidak terjadi apa-apa.

Kedua wujud asli orang yang berilmu sangat tinggi itu masih sama-sama terdiam dan saling memandangi dengan tatapan tajam, tetapi tanpa dilambari ilmu apapun.

“Sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi kita bermain-main, Ki Sanak”. berkata Ki Ageng Wirasaba tiba-tiba, sementara kedua wujud bayangan semu mereka masih bertarung dengan sengitnya.

“Apa maksud Ki Ageng?”.

“Aku tidak memiliki banyak waktu untuk bermain-main, seperti orang yang baru ngangsu kawruh kanuragan. Sebaiknya kita segera tuntaskan pertarungan ini”.

“Baiklah jika itu yang Ki Ageng mau”.

Mereka akhirnya yang telah sepakat untuk segera mengakhiri perang tanding, kemudian segera melepaskan pengetrapan ilmu semu masing-masing yang masih bertempur.

Maka sejenak kemudian secara perlahan-lahan bayangan semu dari dua orang yang berilmu sangat tinggi tersebut mulai memudar, hingga akhirnya hilang dan seakan tidak berbekas sama sekali tertiup angin sepoi-sepoi dari pandangan mata.

Mengetahui apa yang bakal terjadi, justru orang-orang yang menyaksikan perang tanding itulah yang jantungnya menjadi berdebar-debar semakin kencang. Dan isi kepala mereka tiba-tiba terlintas berbagai kemungkinan yang bakal terjadi, nasib baik atau nasib buruk sekalipun.

“Sebentar lagi perang tanding ini akan berakhir”. berkata Nyi Pandan Wangi sembari hampir tidak berkedip menyaksikan medan sejak beberapa saat tadi.

“Tetapi kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi”.

“Kau benar, Sekar Mirah. Tetapi apapun yang bakal terjadi, kita hanya dapat memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih. Semoga mereka yang berperang tanding tetap dalam keadaan baik-baik saja, dan semoga akan ada penyelesaian yang lebih baik”.

“Aku sependapat dengan Mbokayu”.

“Semoga saja masih ada sepercik kesadaran dari Ki Ageng Wirasaba untuk dapat menerima kepergian orang-orang yang sangat dihormatinya dengan rasa penuh lilo legowo dan bukan dengan hati yang kemronggo”.

“Memang terkadang orang dapat kehilangan pengendalian diri ketika mendapati kenyataan yang membuatnya sakit hati yang mendalam. Sehingga hal itu telah membutakan penalaran dan mata hatinya untuk menentukan sikap”.

“Semua itu dapat terjadi kepada siapa saja, Sekar Mirah. Apalagi bagi orang-orang yang merasa memiliki kemampuan dan kelebihan dari orang kebanyakan”.

“Aku sependapat dengan Mbokayu, dan mungkin saja hal itu dapat terjadi pada diri kita sendiri. Jika pada suatu saat nanti kita kehilangan pengamatan diri yang utuh”.

“Ya… aku percaya bahwa itu mungkin sekali terjadi, maka dari itu kita harus selalu mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung serta Yang Maha Welas Asih agar setiap langkah yang kita ambil masih tetap berada dijalan-Nya. Meskipun itu tidak dapat dijadikan jaminan, tetapi paling tidak akan mengurangi sejauh mungkin akan kemungkinan kesalahan langkah hidup kita”.

“Ya… aku sependapat”.

Sementara dua orang yang berilmu sangat tinggi tersebut telah sepakat untuk mengakhiri hingga tuntas dengan membenturkan ilmu puncak dari jalur masing-masing.

Meskipun pada awalnya mereka ngangsu kawruh kanuragan pada perguruan yang berbeda, namun jika ditelusuri lebih jauh masih pada titik sumber yang sama.

Tetapi pada perkembangannya, jalur tersebut menjadi berbeda warna. Karena kemudian keduanya semakin mematangkan kawruh kanuragan yang telah mereka kuasai itu dari jalur perguruan lain, bahkan tidak hanya dari satu jalur saja.

Namun pondasi dasar kawruh kanuragan yang mereka kuasai tidak pernah surut apalagi hilang, justru semakin membuat kawruh kanuragan tersebut menjadi semakin berwarna dan semakin lengkap serta luluh menjadi satu.

Sejenak kemudian keduanya pun segera mempersiapkan diri untuk memusatkan nalar budi, guna mengetrapkan ilmu puncak masing-masing.

Ki Agung Sedayu yang menyadari siapakah lawannya, kali ini dirinya tidak memerlukan cambuknya sebagai kepanjangan ilmunya dalam melepaskan ilmu puncaknya.

Tetapi kali ini dirinya memusatkan nalar budinya dalam keadaan berdiri tegak dibarengi dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, sembari matanya memandang tajam ke arah lawannya yang berdiri beberapa tombak di hadapannya.

Namun apa yang sedang dilakukan oleh Ki Agung Sedayu itu bukanlah untuk mengungkapkan ilmu puncaknya yang bersumber dari jalur Perguruan Ki Sadewa.

Persiapan pemusatan nalar budi tersebut, hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Wirasaba. Dan mereka berdiri saling berhadapan.

Di atas tanah padang perdu yang semakin panas karena sinar matahari yang semakin terik menyengat kulit, kemudian dua orang yang berilmu sangat tinggi itu saling memandang tajam ke arah bagian hitamnya mata lawan masing-masing.

“Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang aku lihat”.

“Akupun demikian, adi Wandana. Selain itu aku menjadi semakin merasa kecil di antara orang-orang berilmu”.

“Kakang Wiramba benar, jika kita membuat perbandingan dengan Kyai, maka kita akan merasa semakin kecil. Tetapi apakah semua orang memiliki kemampuan seperti Kyai? atau bahkan lebih dari itu?”.

“Tentu ada, adi Wandana. Mungkin hanya kita saja yang seperti katak dalam tempurung, sehingga belum pernah melihat orang yang memiliki kemampuan setinggi itu. Sebab di atas langit, tentu masih ada langit. Yang membedakan mungkin hanya kesempatan saja”.

“Jika kita selalu melihat ke atas, bukankah kita justru akan semakin merasa kecil, Kakang Wiramba?”.

“Ya… kau benar adi Wandana. Memang di dalam hidup ini harus ada sebuah keseimbangan, ada kalanya kita melihat ke atas, sejajar, dan ke bawah”.

“Aku rasa memang demikianlah sebaiknya, Kakang Wiramba. Agar kita tidak pernah kehilangan keseimbangan di dalam hidup kita, baik secara penalaran maupun secara olah jiwani”.

“Ya… aku sependapat dengan kau, adi Wandana”.

Kemudian pembicaran mereka terputus karena perhatian mereka kembali terpusat ke arena perang tanding, antara dua orang yang berilmu sangat tinggi sedang mengadu ilmu puncak itu.

Suasana seketika menjadi semakin menegangkan dan mencekam dari kedua belah pihak, terutama bagi para saksi yang mendapat kesempatan secara langsung untuk melihat dengan mata kepala mereka sendiri.

Bahkan nafas mereka pun seakan menjadi sesak secara tiba-tiba, karena menahan ketegangan yang sangat telah mencekam hati dan penalaran mereka semua.

Sementara dua orang yang sedang membenturkan ilmu mereka masing-masing tampak masih berdiri tak bergeming sama sekali dari tempatnya.

Secara perlahan, bagian demi bagian tubuh keduanya mulai mengeluarkan asap tipis. Dimulai dari sekitar wajah, tengkuk, bahkan mulai turun ke bawah di sekitar dada.

Bagi orang-orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan, maka dalam pengamatan batin mereka pasti akan mampu menangkap perubahan yang sedang terjadi terhadap keduanya.

Wajah dari keduanya mulai memerah, disertai munculnya asap tipis yang semakin bertambah, namun asap itu tidak sampai menutupi bagian tubuh mereka. Karena memang tetap hanyalah sekedar asap tipis yang terus menerus.

Sesekali tubuh mereka sempat bergejolak, sembari wajah yang masih tetap memerah penuh dengan ketegangan. Tetapi pandangan mata tajam mereka masih tetap tertuju pada lawan masing-masing.

Perbandingan kawruh kanuragan yang sedang terjadi kali ini benar-benar sungguh luar biasa, sebab keduanya tidak lagi hanya sekedar mengadu ilmu puncak dengan mengungkapkan tenaga cadangan, lalu melepaskan ilmu pamungkas masing-masing.

Namun yang terjadi kini sudah mencapai pada benturan ilmu puncak yang merambah kepada kekuatan batin, yaitu ilmu puncak yang tidak dapat dilihat hanya dengan pengamatan wadag.

Dan apa yang sebenarnya sedang terjadi diantara keduanya tersebut hanya dapat diamati dengan baik oleh orang-orang yang memiliki kawruh kanuragan pada tataran yang sangat tinggi atau sering disebut pula, raksasa kanuragan.

Setelah beberapa saat mereka saling membenturkan ilmu puncak, keduanya terlihat seperti orang yang sedang menggigil kedinginan, karena saking kuatnya pengaruh kekuatan yang sedang saling berbenturan tersebut.

Tidak lama kemudian wajah Ki Ageng Wirasaba yang semula tampak seakan merah membara, secara perlahan-lahan mulai memudar bersamaan asap tipis yang semakin berkurang pula keluar dari beberapa bagian tubuhnya.

Wajah itu pun tampak mulai memucat pula secara perlahan, berbarengan dengan tubuh yang semakin bergejolak. Dan seakan Ki Ageng Wirasaba semakin kesulitan untuk mengendalikan tubuhnya yang semakin terguncang oleh kekuatan yang tak kasat mata, namun memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyat.

Sementara dari sela-sela bibir paman guru Ki Patih Rangga Permana tersebut, mulai terlihat cairan yang meleleh keluar berwarna merah kehitam-hitaman, darah.

Dan darah itu semakin lama meleleh semakin banyak dari sela-sela bibirnya, hal tersebut sebagai pertanda bahwa dirinya sepertinya mulai terluka dalam. Namun belum dapat dipastikan seberapa parahkah.

Meskipun dirinya menyadari apa yang sedang terjadi pada tubuhnya, dan sepertinya memang telah terjadi sesuatu yang kurang baik pada dirinya. Namun entah apa yang ada di isi kepalanya, sebab dirinya masih berusaha untuk tetap bertahan.

Tetapi sepertinya Ki Ageng Wirasaba benar-benar tidak mau menyerah begitu saja pada kenyataan yang ada, dan masih saja berusaha dengan sekuat tenaga agar tetap dapat bertahan dari benturan ilmu lawannya.

Bahkan di saat-saat terakhir, Ki Ageng Wirasaba masih berusaha untuk menghentakkan sisa-sisa kekuatannya. Dengan pengharapan bahwa dia masih akan mampu mengguncang pertahanan lawan di saat-saat yang sangat menentukan.

Sebab pada saat yang demikian, keadaan tubuh mereka tentu sudah semakin jauh melemah. Sehingga guncangan kekuatan yang kecil sekalipun akan mungkin sekali dapat membuat perbedaan.

Dan apa yang dilakukan oleh Ki Ageng Wirasaba tersebut, ternyata benar-benar telah berhasil mengakhiri perbandingan kawruh kanuragan pada tataran tingkat tinggi setelah beberapa lama mereka lakukan.

Bersamaan dengan itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba tidak jauh dari arena perang tanding. Terlihat beberapa Burung Gagak terbang berputar-putar sembari sesekali mengeluarkan suara yang menjadi ciri khasnya.

Secara naluriah beberapa orang diantaranya yang sedang menyaksikan perang tanding pun, menyempatkan diri untuk menoleh ke arah sekumpulan kecil burung terbang yang sering dikaitkan dengan pertanda buruk.

Tanpa sadar, beberapa orang diantaranya berdesir pula hatinya karena sebuah ketidak sengajaan mereka melihat burung yang berwarna hitam tersebut. Sebab burung itu seakan membawa prabawa sendiri, meskipun muncul di bawah teriknya matahari yang belum jauh melewati puncaknya.

Karena dalam waktu yang bersamaan, orang-orang terdekat masing-masing pihak yang sedang menyabung selembar nyawa dalam sebuah perang tanding itu masih menunggu hasilnya yang masih belum dapat diketahui hasilnya.

Dari para saksi yang hadir, kini hanya ada rasa keheranan, kekaguman, dan kebingungan akan apa yang harus mereka lakukan jika perang tanding itu telah benar-benar berakhir. Sehingga dengan demikian hanya membuat mereka masih hanya berdiri mematung di tempatnya masing-masing.

Selain perasaan yang datang karena watak dasar manusiawi jika melihat kejadian tersebut, penalaran mereka masih mengingat untuk menjunjung tinggi sikap jantan. Sebuah sikap jantan untuk sama-sama saling menghormati paugeran perang tanding yang berlaku, meskipun terkadang dalam perang tanding tersebut mereka harus menerima kenyataan pahit sekalipun.

Sehingga mereka benar-benar menunggu yang sedang terjadi dan apa yang bakal terjadi selanjutnya hingga mencapai titik batas akhir sebuah perang tanding. Dengan salah satu roboh tak berdaya, atau bahkan kedua-duanya.

Ki Agung Wirasaba yang keadaannya sudah sangat lemah, seakan tenaganya benar-benar terkuras habis, terutama karena pada saat terakhir dia masih memaksakan diri untuk melepaskan kekuatannya tanpa sisa.

Kini membuatnya tidak mampu lagi menahan tubuhnya untuk tetap berdiri tegak, tiba-tiba tubuh itu terkulai lemah, dan akhirnya jatuh di atas tanah berdebu.

Bahkan kedua tangannya tidak mampu lagi untuk berusaha menopang tubuhnya agar tidak terjatuh terjerembab dari tempat dirinya berdiri.

Melihat kejadian tersebut, para cantrik Ki Ageng Wirasaba pun segera berlari menghampiri pepundenya yang kini sudah sangat lemah tak berdaya.

Dan tampak wajah orang tua itu kini menjadi semakin pucat, meskipun masih terlihat pula semburat merah di sekitar wajahnya yang sudah banyak berkerut karena umurnya.

Wiramba sebagai cantrik tertua di antara mereka, memberanikan diri untuk duduk bersimpuh, kemudian menganngkat dan memangku kepala orang tua tersebut.

“Kyai… Kyai…”.

Hanya itu yang mampu diucapkan oleh Wiramba pertama kali setelah berhasil memangku kepala paman guru Kanjeng Adipati Wirasaba Sepuh.

Dalam pangkuan tersebut, tubuh orang tua itu terasa sangat lemah sekali. Bahkan seakan hanya setumpuk daging yang tidak bertulang sama sekali.

Matanya pun terlihat terpejam, suara nafas yang keluar masuk dari lubang hidungnya pun terdengar lemah sekali, bahkan nyaris tak terdengar karena saking lemahnya.

Kelima cantrik Ki Ageng Wirasaba itupun menjadi semakin kebingungan mendapati kenyataan tersebut, sebab mereka tidak memiliki bekal kawruh pengobatan dengan baik.

Sehingga hanya bingung dan bingung saja akan apa yang harus mereka lakukan sekarang ini, dan mereka saling pandang untuk memberikan isyarat satu sama lain.

Namun semua hanya dapat menggelengkan kepala, namun dalam keadaan tersebut mereka tiba-tiba dikejutkan oleh suara batuk seperti orang sedang tersedak, yang terdengar hanya sekali.

“Bagaimana keadaan lawanku?”. bertanya Ki Ageng Wirasaba tiba-tiba dengan suara lemahnya, dan bahkan nyaris tak terdengar sembari berusaha membuka matanya yang tampak berat.

“Dia jatuh tersungkur di tanah pula, Kyai”. sahut Wiramba, setelah sejenak mencuri pandang ke arah orang yang ditanyakan oleh pepundennya.

“Apakah dia selamat?”.

“Aku belum tahu bagaimana keadaannya, Kyai. Tetapi sepertinya dia tidak sadarkan diri, dan sekarang sedang dihampiri kedua kawan perempuannya itu”.

Sebenarnya orang tua itu masih ingin melanjutkan kata-katanya, namun keadaannya yang sangat lemah membuatnya harus bersabar untuk mengatur pernafasannya lebih dulu sebelum melanjutkan kembali ucapannya.

“Dia… dia…”.

Ucapan itu tidak dapat dilanjutkan karena Ki Ageng Wirasaba harus terbatuk-batuk. Tetapi dari batuknya tersebut, disertai pula darah yang keluar dari mulutnya.

“Apakah Kyai membawa obat?”. bertanya Wiramba dengan penuh kegelisahan dan ketegangan melihat keadaan pepundennya yang sepertinya semakin memburuk.

Sementara apa yang telah terjadi terhadap Ki Agung Sedayu memang tidak jauh lebih baik, sebab ayah Bagus Sadewa itupun tidak mampu menahan tubuhnya agar tetap berdiri setelah berakhirnya benturan ilmu puncak.

Tubuh itupun terihat terkulai lemah dan kemudian roboh di atas tanah padang perdu tersebut, meskipun sebelumnya dia lebih dulu jatuh dengan kedua lututnya.

Orang-orang yang sejak semula lebih banyak berdiam diri mematung, kerena kedudukan mereka yang hanya sebatas menjadi saksi perang tanding. Sehingga tidak berhak cawe-cawe, meski apapun yang bakal terjadi.

Namun apa yang terjadi sekarang ini, seakan benar-benar menyadarkan mereka semua akan apa yang harus diperbuat dalam keadaan yang demikian.

“Kakang”.

Terdengar suara Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah terpekik hampir berbarengan melihat kenyataan di depan mata mereka.

Dengan wajah penuh ketegangan, kegelisahan, dan kebingungan. Mereka pun segera berlari menghampiri suami mereka, setelah menyadari bahwa suami mereka telah roboh.

“Kakang… kakang”.

Hanya itu yang dapat terucap dari mulut kedua perempuan perkasa. Dan tanpa sadar, mata mereka mulai berkaca-kaca melihat apa yang terjadi dengan suami mereka.

Namun ternyata Ki Agung Sedayu sendiri sudah tidak mampu lagi menjawab seruan dari kedua istrinya yang kini sudah bersimpuh di sebelah menyebelah.

*****

Sementara itu Nyi Anjani yang akan memasuki dapur untuk membereskan dapur dan menyiapkan makanan dan minuman yang mungkin diperlukan oleh Ki Lurah Glagah Putih selama dia tinggal pergi, tiba-tiba hatinya berdesir tajam.

Bahkan desir hatinya kali ini lebih tajam dari apa yang dia rasakan beberapa saat yang lalu, sehingga membuat hatinya merasa semakin tidak mapan.

Hal tersebut membuatnya tertegun beberapa saat di dalam dapur.

Seketika penalarannya pun menjadi tidak karuan, bayangan akan berbagai dugaan yang semakin ngayawara terlintas dan semakin memenuhi isi kepalanya.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi?”. membatin Nyi Anjani dalam kesendiriannya.

“Apakah isyarat yang aku terima ini ada hubungannya dengan kakang Agung Sedayu? bukankah belum lama, dia datang kemari? meskipun hanya melalui Aji Pengangen-angennya menemui Glagah Putih dan tidak menemui aku?”.

“Tetapi jika dia ada kemungkinan bakal menemui kesulitan atau bahkan bahaya, kenapa tadi kakang Agung Sedayu tidak memberi tahu aku? atau paling tidak melalui Glagah Putih atau Eyang Mayangkara”.

“Atau mungkin pula dia tidak sempat menyampaikannya kepadaku? sebab kesulitannya itu datang secara tiba-tiba, setelah dia pergi dari sini?”.

“Memang mungkin sekali. Tapi…”.

“Sebaiknya aku segera bersiap, agar pekerjaanku cepat selesai pula. Sehingga aku dapat segera pergi untuk memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi, semoga kakang Agung Sedayu dan mbokayu berdua baik-baik saja”.

Akhirnya Nyi Anjani menyudahi perang batinnya, agar dirinya dapat segera menyelesaikan pekerjaannya, lalu dapat segera pula untuk pergi meninggalkan Kendalisada.

Lalu segeralah dia mulai pekerjaannya di dapur, sembari untuk sementara waktu berusaha menepiskan segala kegelisahan di hatinya yang tidak mapan.

Tidak lupa dia menyiapkan pula makanan dan minuman yang mungkin dibutuhkan Ki Lurah Glagah Putih selama dia tinggalkan sendiri di Kendalisada.

Setelah itu, dia segera menuju biliknya untuk mempersiapkan diri untuk kepergiannya. Dan dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Maka dia harus mengganti pakaian, dengan pakaian khususnya di bagian dalam yang kemudian dirangkap dengan pakaian lain di bagian luarnya.

Meskipun sekarang perempuan itu sudah semakin bertambah umur, namun kecantikan dan kemolekan tubuhnya seakan tidak pernah pudar. Dan jika diperhatikan lebih seksama, justru seakan semakin bertambah.

Ditambah lagi bau wangi-wangian yang semerbak keluar dari tubuhnya hampir setiap saat, menjadi menambah kecantikannya yang semakin sulit dicari bandingnya di antara orang-orang yang ada di sekitarnya.

Siapapun lawan jenisnya, tentu akan dengan mudahnya mengagumi sosok yang pernah menjadi selir Raden Mas Rangsang ini. Bahkan dapat saja dengan tiba-tiba Ketaman Asmara, meskipun baru sekejap saja memandangnya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa Nyi Anjani memang memiliki paras yang sangat cantik dan tubuh yang benar-benar indah. Dan hampir setiap lekuk tubuhnya membuat setiap lawan jenisnya hanya dapat menelan ludah karenanya.


- - - O - 0 - O - - -


bersambung ke

Djilid

20




Padepokan Tanah Leluhur


Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar