Pemandangan malam yang begitu indah di bawah langit yang penuh bintang-bintang bertebaran yang tidak terhitung jumlahnya di angkasa yang sangat luas serta bersinarnya rembulan meskipun bukan pada pancaran cahaya penuh, namun bisa mengurangi kepekatan malam.
Suara hewan-hewan malam saling bersahut-sahutan seakan telah membuat iramanya sendiri, meskipun mereka bukanlah berasal dari jenis hewan yang sama. Ada suara jangkrik, orong-orong, di sekitar pategalan. Ada suara bangkong, kodok, dan suara burung emprit yang berterbangan mencari mangsa di sekitar persawahan yang tidak lama lagi akan memasuki masa panen.
Suara aliran air yang ajeg di sungai dan persawahan yang membuat suasana terlihat sangat asri dalam gelapnya malam yang semakin meninggalkan puncaknya.
Sementara tatanan kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh seakan mulai hidup kembali setelah beberapa waktu yang lalu mereka berduka karena harus kehilangan pemimpin yang sangat mereka hormati dan sangat mereka cintai, dan disusul oleh kepergian Ki Jayaraga yang meskipun adalah orang pendatang, namun jasanya tidak terhitung pula bagi tegaknya Tanah Perdikan Menoreh.
Para pengawal yang tidak mendapat tugas untuk ikut melawat ke bang wetan senantiasa menjalankan kewajiban mereka dengan sebaik-baiknya, gardu-gardu parondan tidak pernah sepi karena para pengawal yang bertugas telah membagi tugasnya masing-masing secara bergiliran.
Setelah kepergian Ki Gede Menoreh, meskipun belum pernah terucapkan dan masih belum ada pertemuan resmi dari seluruh bebahu untuk pengukuhan pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Untuk sementara kedudukan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah digantikan oleh putri semata wayangnya, yaitu Nyi Pandan Wangi sebagai pemangku jabatan sementara sembari menunggu kesiapan lahir dan batin Bayu Swandana selaku calon pemimpin yang syah.
Pengganti sementara Swargi Ki Gede Menoreh memang adalah seorang perempuan, namun kemampuannya dalam memimpin seluruh kawula sebuah daerah tidak dapat dianggap sebelah mata, meskipun belum bisa dikatakan sebaik Ki Argapati itu sendiri, namun seiring dengan berjalannya waktu, Nyi Pandan Wangi akan bisa banyak belajar.
Apa lagi dalam memimpin Tanah Perdikan Menoreh, Nyi Pandan Wangi selalu didampingi oleh suaminya yang berpengalaman dan berwawasan luas dalam menjalin hubungan bebrayan, baik bebrayan alit maupun bebrayan agung.
Para Pengawal yang bertugas di rumah Nyi Pandan Wangi sedang menikmati ubi rebus dengan wedang jahe yang masih hangat sembari sesekali berkelakar.
“Sejak kepergian Ki Gede Menoreh, aku merasakan suasana di tanah ini begitu berbeda dari biasanya”.
“Aku juga merasakan hal yang sama”. sahut kawannya.
“Tanah ini tidak lama lagi akan dipimpin oleh Nyi Pandan Wangi, karena dialah satu-satunya pilihan yang ada sekarang”.
“Dia memang tidak lebih dari seorang perempuan, namun aku yakin jika dia akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik, meskipun belum sebaik Ki Gede Menoreh itu sendiri, mungkin hanya masalah waktu saja”.
“Nyi Pandan Wangi adalah orang yang baik, selain itu dia adalah orang yang mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan. Sehingga aku rasa dia tidak akan menemukan kesulitan jika memimpin kita semua, seluruh kawula Tanah Perdikan Menoreh”.
“Selain itu dia didampingi suami yang baik dan berilmu sangat tinggi pula”.
“Tapi masalahnya Ki Agung Sedayu tidak hanya beristri satu orang saja Nyi Pandan Wangi, tapi semuanya tiga istri ditambah dengan tiga tempat tinggal yang berbeda dengan jarak jauh pula”.
“Aku tidak mau ikut pusing memikirkan urusan pribadi seseorang, aku hanya berharap bahwa tanah ini kedepannya menjadi lebih baik”.
“Ya..kau benar. Kita tidak bisa mencampuri kepentingan pribadi seseorang, dan kita hanya bisa nenuwun untuk kebaikan masa depan tanah ini”.
Sementara di salah satu bilik rumah Nyi Pandan Wangi, Ki Agung Sedayu masih terlihat belum tertidur di atas amben meskipun sudah merebahkan diri untuk beberapa saat di sebelah istrinya.
“Sepertinya ada yang sedang kakang pikirkan?”. pertanyaan Nyi Anjani membuyarkan lamunan suaminya.
Orang yang mendapat pertanyaan tidak segera menjawab, hanya tarikan nafasnya saja yang terdengar sangat dalam, lalu memandangi istrinya yang berbaring pula di sebelahnya.
“Ya.. aku sedang memikirkan pasukan Mataram yang sedang melawat ke bang wetan”.
“Apakah kakang juga sedang melepaskan aji pengangen-angen?”.
“Iya..”. sahut ayah Bagus Sadewa perlahan.
“Apakah sekarang kakang sedang mengawasi peperangan di Wirasaba?”.
“Iya..”.
“Bagaimana perkembangannya kakang? apakah kedua pasukan sudah memulai pertempuran?”.
“Pasukan Mataram dan Wirasaba sudah memulai pertempuran sejak tadi pagi”.
“Lalu apa yang telah terjadi?”.
“Sudah banyak jatuh korban dari kedua belah pihak, bahkan beberapa senopatinya pun sudah ada yang telah gugur”.
“Perang adalah alat yang paling garang untuk mengakhiri hidup banyak orang, yang secara tidak langsung mereka adalah pihak-pihak yang dikorbankan oleh pemimpin mereka sendiri untuk menggapai sebuah gegayuhan”.
“Apakah menurutmu para prajurit adalah pihak-pihak yang dikorbankan?”.
“Jika tidak demikian, lalu apa menurut kakang?”.
“Aku tidak mau memperdebatkan masalah ini, karena aku merasa setiap orang pasti memiliki dasar pandangannya sendiri, dan semua itu pasti menurut kebenarannya masing-masing”.
“Aku mengerti maksud kakang, pandangan kita akan hal itu pasti berbeda karena kita berangkat dari latar belakang yang berbeda pula, kakang dari prajurit sedangkan aku dari orang biasa”.
“Kurang lebih demikian. Karena dalam penalaran wajar, selain seseorang memiliki kemampuan berpikir yang berbeda-beda, latar belakang dan pengalaman seseorang pun akan sangat mampu mempengaruhi pandangan hidup seseorang”.
“Sebaiknya kita membicarakan hal yang lain saja dan tidak perlu memperdebatkan tentang hal itu lagi”.
“Baiklah”.
“Apakah kakang sendiri mempunyai rencana untuk melibatkan diri dalam perang itu?”.
“Apalah pengaruhnya aku jika hanya seorang diri dibandingkan dengan pasukan segelar sepapan?”.
“Mungkin jika tenaga kami dibutuhkan, kakang akan dapat mengajak kami serta?”.
Ki Agung Sedayu yang mendengar ucapan itu menoleh ke arah istrinya tersebut, sesaat di pandanglah wajahnya yang sangat cantik serta bau wangi semerbak yang memancar dari hampir sekujur tubuhnya.
Memang seperti sudah menjadi kebiasaan Nyi Anjani sejak hatinya bersatu dengan orang yang didambakannya selama ini dalam ikatan suci, di saat-saat mereka hanya berdua dia akan berusaha membuat pasangannya senyaman mungkin. Salah satu caranya adalah dengan mengetrapkan ajian Seribu Bunga, namun hanya beberapa lapis tipis saja.
“Bukankah dengan demikian aku akan dianggap deksura oleh Panembahan Hanyakrakusuma karena tiba-tiba datang dan melibatkan diri dalam perang tersebut?”.
“Maaf kakang, aku hampir saja melupakan hal itu”. sahut Nyi Anjani yang kemudian semakin membenamkan wajahnya di dada suaminya tersebut.
Kemudian suasana menjadi sunyi karena tidak ada yang yang membuka suara, kecuali hanya suara hewan-hewan malam saja yang terdengar dari kejauhan. Namun tetap dalam suasana bau wangi yang tetap semerbak hampir di seluruh ruangan bilik.
“Lalu apa rencana kakang nanti setelah keperluan kita disini selesai? apakah kakang akan segera menghadap Ki Patih Singaranu untuk mengemban tugas selanjutnya, atau kakang masih akan mempunyai keperluan yang lain?”.
“Aku belum membuat keputusan, tapi aku sendiri menyadari bahwa aku harus sesegera mungkin untuk membuat keputusan”.
“Bukankah kemarin kakang berkata kepadaku bahwa tujuh hari setelah kepergian Ki Gede Menoreh, kakang harus menghadap Ki Patih Singaranu di Kepatihan”.
“Kau benar, tapi pada saat aku berkata demikian kepada Ki Patih Singaranu kita belum mengetahui bahwa kita juga akan kehilangan Ki Jayaraga”.
“Lalu bagaimana baiknya sekarang menurut kakang?”.
“Sebelum aku mengambil keputusan, sebaiknya kita bicarakan dulu dengan kakang Untara dan kedua mbokayumu”.
“Jika demikian terserah kepada kakang saja, aku percaya bahwa kakang pasti akan mengambil keputusan yang paling baik”.
***
Sementara itu Kanjeng Adipati Wirasaba dan Ki Patih Rangga Permana sedang mengadakan pertemuan bersama orang-orang penting Wirasaba untuk membicarakan persiapan perang besok pagi setelah apa yang terjadi di medan pada hari pertama.
Dengan gugurnya Ki Tumenggung Ganggasura dan Ki Alap-Alap Jati Ombo serta lumpuhnya kemampuan senjata meriam yang sangat nggegirisi karena telah kehilangan bubuk obat dan pelurunya, maka Wirasaba harus mengatur ulang siasatnya untuk melawan Mataram.
“Pada hari pertama, Wirasaba sudah kehilangan orang-orang pilihan. Ki Tumenggung Ganggasura yang aku percaya menjadi Senopati Agung, dan Ki Alap-Alap Jati Ombo, serta para prajurit yang terluka yang tidak terhitung jumlahnya”. berkata Ki Patih Rangga Permana dengan nada dalam penuh keprihatinan memulai pembicaraan.
Semua orang yang berada di tempat itu belum berani membuka suara untuk menanggapi, dan hampir semua yang hadir hanya menundukkan kepala masing-masing mendengar ucapan wakil junjungan mereka. Sejenak suasana pun menjadi hening, hanya suara sekumpulan hewan malam saja yang terdengar dari kejauhan.
“Tapi kita bukanlah sekumpulan orang-orang pengecut yang menjadi ketakutan setelah melihat kawan-kawan kita terluka dan gugur di medan perang. Orang-orang Mataram harus membayar semua itu dengan setimpal”. ucap Ki Patih Rangga Permana dengan penuh berapi-api.
“Dengan gugurnya Ki Tumenggung Ganggasura hari ini, maka besok akulah yang akan turun sebagai Senopati Agung Wirasaba”. berkata Ki Patih Rangga Permana sembari memandangi setiap orang yang hadir untuk mengetahui tanggapan mereka.
Namun orang-orang yang hadir hampir semuanya belum berani memberikan tanggapan, mereka masih menundukkan kepala dengan penalarannya masing-masing.
“Jika Paman turun ke medan, aku ikut pula”. sebuah suara memecah keheningan malam.
Ki Patih Rangga Permana yang terkejut, lalu memandang ke arah sumber suara tersebut dengan tatapan tajam tapi mulutnya masih diam membisu.
“Aku menyadari segala keterbatasanku Paman, namun sebagai penerus ayahku, aku tidak bisa hanya berpangku tangan saja melihat semua ini. Paling tidak aku harus berbuat sesuatu”. ucap Kanjeng Adipati Wirasaba tegas dan berwibawa meskipun umurnya masih sangat muda sekali.
Ki Patih Rangga Permana hanya bisa diam terpaku mendengar ucapan kemenakannya tersebut. Tarikan nafasnya yang dalam beberapa kali menandakan bahwa dia ingin sedikit mengurangi segala kepepatan hati yang sedang melandanya.
“Terlalu berbahaya ngger”.
“Aku tahu Paman, semuanya sudah aku pikirkan masak-masak segala resikonya. Bukankah itu akan lebih baik daripada aku hanya berpangku tangan menyaksikan kalian semua mempertaruhkan nyawa di medan?”.
Ki Patih Rangga Permana seperti sudah kehabisan kata dan cara agar dapat mencegah kemenakannya tersebut. Dia sudah berusaha mencegah sejauh mungkin yang bisa dia lakukan, namun sepertinya segala usaha yang dilakukannya sia-sia belaka karena ternyata kemenakannya tersebut adalah orang yang berwatak keras jika sudah mempunyai pendirian atau gegayuhan, sama seperti Swargi ayahnya dulu waktu masih hidup.
Sebagai seorang paman, sangat mungkin bagi Ki Patih Rangga Permana untuk memaksakan kehendak kepada kemenakannya tersebut, namun sebagai petinggi Kadipaten Wirasaba, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya bisa sendika dawuh karena kedudukannya.
“Lalu apa yang harus aku katakan kepada ibumu nanti, jika terjadi sesuatu atasmu?”.
“Aku tahu maksud Paman, tapi Paman tidak perlu memikirkan itu karena semua ini adalah keputusanku dan tanggung jawabku sendiri”.
“Sekarang aku benar-benar sudah kehabisan kata dan cara untuk dapat mencegahmu lagi ngger”.
“Aku tahu apa yang aku lakukan, jadi Paman tidak perlu mengkhawatirkan aku”.
Ki Patih Rangga Permana hanya bisa menarik nafas dalam-dalam sekali lagi, rasanya dia akan melemparkan seorang anak kepada sekumpulan harimau yang sangat garang dan dia seakan tidak mampu untuk mencegahnya.
“Aku bukanlah pengecut yang hanya berani berlindung dibalik punggung pamomongku pada saat bahaya datang, Paman”.
“Baiklah”. berkata Ki Patih Rangga Permana pada akhirnya.
“Jika demikian kemauanmu. Aku mengizinkanmu, tapi kau harus selalu berada didekatku selama berada di medan”.
“Baiklah Paman, aku akan menuruti perintah Paman”.
Orang-orang yang hadir di tempat itu mempunyai tanggapannya masing-masing atas kejadian tersebut. Ada yang setuju, bahkan ada yang merasa sangat berbangga pula dengan pepundennya yang masih sangat muda itu, namun ada pula yang berpendapat bahwa itu hanya akan menjadi beban saja di medan. Namun pendapat itu hanya mereka simpan rapat-rapat dalam hati.
Kemudian mereka segera mulai mengatur segala persiapan untuk besok pagi dalam perang menghadapi Mataram menyesuaikan dengan keadaan yang telah berkembang.
“Besok pagi akulah yang akan menjadi Senopati Agung, berhubung Kanjeng Adipati akan ikut turun ke medan pula, maka kita harus menyesuaikan gelar perang yang akan kita gunakan”.
“Hamba akan selalu mendukung apapun keputusan Kanjeng adipati dan Ki Patih Rangga Permana”. sahut Ki Tumenggung Randuwana, senopati tertinggi prajurit sandi Wirasaba.
“Besok pagi, pada saat benturan pertama kita sebaiknya menggunakan gelar Gedong Minep, untuk selanjutnya kita akan melihat perkembangan yang ada di medan. Apakah kita kan tetap menggunakan gelar itu atau harus menggantinya dengan gelar lain, nanti pasti akan aku sampaikan melalui para prajurit penghubung”.
“Hamba rasa itu memang gelar yang paling sesuai yang akan gunakan besok pagi Ki Patih”. sahut Ki Tumenggung Adipura.
“Tapi dengan begitu, telah menyiratkan bahwa pemimpin tertinggi Wirasaba tidak mempunyai kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri”.
Ucapan Kanjeng Adipati Wirasaba tersebut sontak saja membuat orang-orang yang hadir terkejut, terutama Ki Patih Rangga Permana selaku orang yang mendapat kuasa untuk mengatur perang secara keseluruhan. Meskipun hatinya merasa kurang mapan, namun apa boleh buat karena itulah cara yang dianggap paling baik dan sesuai dengan keadaan Wirasaba.
“Aku harap Angger Adipati lebih membuat pertimbangan dengan penalaran wajar daripada mementingkan harga diri, aku pun berbuat demikian. Semua yang aku lakukan ini adalah semata-mata karena atas nama seluruh kawula Wirasaba, dan aku rasa semua orang yang hadir di tempat ini memiliki kepentingan dan tujuan yang sama”.
Kali ini Kanjeng Adipati lah yang tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah mendengar ucapan Ki Patih Rangga Permana yang sangat menusuk jantung.
“Baiklah Paman”. sahut Kanjeng Adipati dengan suara perlahan dan dengan wajah sedikit lesu. Lalu lanjutnya, “aku percayakan semuanya kepada Paman dan seluruh kawula Wirasaba”.
“Syukurlah jika Angger sudah mengerti”.
Kemudian suasana menjadi lebih mencair setelah sikap Kanjeng Adipati yang pada akhirnya mau menerima keputusan yang diambil, dengan menyingkirkan segala harga dirinya untuk kepentingan yang jauh lebih besar bagi seluruh kawula Wirasaba.
Memang tidak dapat dipungkiri jika seorang pemimpin belum benar-benar siap secara lahir dan batin sebagai pemimpin, maka cepat atau lambat suatu saat pasti dia akan mengalami kesulitan karena keterbatasannya atau bisa pula keterbatasannya tersebut membuat orang lain yang mengalami kesulitan.
Meskipun sebagai seorang pemimpin, Kanjeng Adipati Wirasaba adalah orang yang baik dan sudah berusaha sejauh mungkin untuk dapat mengayomi seluruh kawulanya, namun dalam keadaan perang seperti yang sedang terjadi, dia belum dapat berbuat terlalu jauh karena keterbatasannya.
Kanjeng Adipati Wirasaba bukanlah orang yang tidak mempunyai bekal kawruh kanuragan, tapi karena umurnya yang masih sangat muda membuatnya belum mampu menggapai tataran yang pantas untuk bisa disejajarkan dengan orang-orang berilmu linuwih dalam dunia kanuragan yang sangat garang.
Orang yang sebelum naik tahta lebih dikenal dengan nama Pangeran Arya tersebut memang sebenarnya belum layak untuk menduduki jabatannya yang sekarang, namun keadaan lah yang memaksanya karena ayahnya lebih dulu dipanggil Yang Maha Agung untuk selama-lamanya.
Jadi tidak mengherankan jika pada kedudukannya sekarang dia masih sangat muda dan belum cukup bekal secara lahir dan batin untuk menjadi seorang pemimpin. Namun Ki Patih Rangga Permana sebagai pamannya selalu setia mendampingi serta membimbingnya agar kelak di kemudian hari dapat menjadi pemimpin yang bisa menjadi kebanggan seluruh kawula Wirasaba.
Kisah Kanjeng Adipati Wirasaba hampir mirip dengan kisah Prabu Hayam Wuruk pada masa Kerajaan Majapahit yang naik tahta pada saat umurnya masih sangat muda, bahkan kemudian hari dia menjadi raja yang membawa masa kejayaan Majapahit dengan didampingi seorang patih yang sangat setia dan pilih tanding, yaitu Maha Patih Gajah Mada.
Kemudian mereka membicarakan segala persiapan perang yang akan berlangsung besok pagi, baik secara persenjataan maupun secara siasat perang dalam gelar.
Meskipun kini kekuatan Wirasaba telah berkurang karena beberapa senopati telah gugur dan terluka, namun semua itu tidak mempengaruhi kekuatan secara keseluruhan, karena pihak lawan pun mengalami keadaan yang hampir sama, sehingga kekuatan bisa dikatakan masih berimbang dari kedua belah pihak.
Setelah mereka merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ki Patih Rangga permana segera menutup pertemuan, karena mereka harus segera beristirahat agar tenaga mereka lebih segar besok pagi pada saat memasuki medan perang yang sangat garang.
Sementara itu Ki Lurah Glagah Putih yang baru saja membaringkan tubuhnya di atas ketepe, tiba-tiba teringat kembali akan kejadian siang tadi waktu dirinya bersama kawan-kawannya melaksanakan tugas khusus, terasa ada yang janggal dalam penalarannya yang sangat terlatih dalam segala keadaan.
Kemudian dia mulai berusaha mengingatnya kembali kejadian tersebut secara runtut, dan dalam panggraitanya dia meyakini bahwa apa yang dikatakan lurah prajurit Wirasaba itu benar adanya, namun mengapa tidak sesuai dengan apa yang terjadi?
Sejenak kemudian penalarannya mulai menduga-duga bahwa itu sangat mungkin sekali ada campur tangan orang lain, tapi siapakah gerangan?
“Semoga saja jika benar ada campur tangan seseorang, dia berada di pihak Mataram”. berkata Ki Lurah Glagah Putih dalam hati.
“Apakah mungkin dia orangnya?”.
“Jika memang benar dia, pasti akan memberitahukannya kepadaku. Tapi sampai sekarang belum mendatangiku?
“Sudahlah… sebaiknya aku segera tidur agar besok pagi tenagaku lebih segar daripada aku hanya memikirkan sesuatu yang masih penuh teka-teki”.
Kemudian Ki Lurah Glagah Putih segera meluruskan tubuhnya agar dapat segera tidur dengan nyenyak di sisa penghujung malam dengan langit berhiaskan bintang-bintang yang gemerlap.
Sementara keadaan pasukan secara keseluruhan tampak tenang di tempat masing-masing, kecuali para prajurit yang bertugas berjaga dan prajurit sandi yang tetap sibuk dengan kewajibannya untuk selalu mengamati setiap gerak-gerik pasukan lawan.
Selain karena kelelahan, para prajurit masih merasa berprihatin atas kawan-kawannya yang terluka dan telah gugur, apalagi bagi mereka yang merasa dekat dengan keluarganya maka mereka harus menyiapkan lahir dan batinnya untuk menyampaikan kepada keluarga yang ditinggalkan, itupun jika mereka masih mampu pulang dengan selamat setelah selesai mengemban tugas.
Para prajurit yang terluka ditempatkan pada satu tempat yang selalu ditunggui beberapa orang tabib yang paling baik dari masing-masing pasukan. Sebagian besar prajurit yang terluka adalah akibat terkena senjata tajam, ada yang hanya sedikit tergores, ada pula yang terluka pada beberapa bagian tubuhnya, hingga ada pula yang terluka sangat parah karena banyaknya luka pada tubuhnya, bahkan untuk kemungkinan hidupnya sangat kecil. Tapi para Tabib tetap berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menyembuhkan mereka semua tanpa membeda-bedakan dengan segenap kemampuan yang mereka miliki.
“Jika aku tidak mampu untuk kembali pulang, tolong sampaikan kepada keluargaku”. berkata seorang prajurit Mataram yang terlihat terbaring lemah di atas daun ketepe karena lukanya yang sudah cukup parah.
“Hus… kau jangan sembarangan bicara. Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk membantu kesembuhanmu, selain itu kita sama-sama wajib nenuwun kepada Yang Maha Agung”.
“Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas segala bantuanmu untuk merawatku, namun sepertinya waktuku sudah semakin dekat”.
“Kau tak perlu berterima kasih kepadaku, karena ini adalah kewajibanku. Aku akan memberikan obat untuk membuatmu segera tidur, agar kau tidak lagi bicara ngaya wara”.
“Sebagai seorang Tabib kau tentu mengetahui dengan pasti keadaanku, ucapanmu hanya untuk menyenangkan hatiku yang sedang menderita”.
Meskipun Tabib itu sudah berusaha menyembunyikan kegelisahannya, namun tetap saja tidak mampu menyembunyikan keprihatinan hatinya akan keadaan orang yang terkulai lemah di hadapannya.
Sebuah tarikan nafas yang berat Tabib tersebut tak mampu disembunyikannya setelah mendengar ucapan orang yang sedang dirawatnya. Tapi biar bagaimanapun dia tidak akan sampai hati untuk menyampaikan semua itu apa adanya.
Selain para Tabib yang bertugas merawat prajurit yang terluka dengan sebaik-baiknya, dalam hati mereka tidak henti-hentinya untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Agung dan Maha Welas Asih untuk orang-orang yang mereka rawat agar segera sembuh.
Menjadi seorang Tabib memang tidak mudah, selain harus mempunyai bekal kawruh-kawruh pengobatan yang cukup, mereka juga harus mempunyai bekal kawruh kajiwan yang kuat agar tidak terjadi goncangan dalam dirinya jika suatu saat harus merawat orang dengan beraneka watak dan berat ringannya luka yang harus diobati.
Karena jika seorang Tabib yang tidak mempunyai bekal kajiwan yang kuat, terkadang jiwanya akan merasa terbebani jika suatu saat dia telah gagal untuk menyembuhkan seseorang meskipun sudah berusaha dengan segenap kemampuan.
Padahal sebagai manusia, kita sering melupakan sebuah kenyataan bahwa, setinggi apapun ilmu yang telah kita kuasai tapi jika sudah dihadapkan dengan kehendak Yang Maha Welas Asih, betapa kerdilnya kemampuan yang kita miliki meskipun sudah sundul langit sekalipun.
Jadi sebagai seorang Tabib harus selalu memasrahkan dirinya seutuhnya kepada Yang Maha Welas Asih agar tidak timbul perasaan deksura atau bahkan menjadi orang tidak berguna sekalipun jika mengalami kegagalan.
Para prajurit yang terluka telah ditempatkan pada tempat yang sama, hanya saja di kelompok-kelompokkan sesuai dengan seberapa ringan dan beratnya luka yang diderita, hanya senopati pilihan yang terluka parah saja yang mendapat tempat sedikit lebih baik seperti Ki Tumenggung Suratani yang sedang terluka parah setelah berperang tanding melawan Ki Tumenggung Ganggasura.
Banyak diantara para prajurit yang tidak bisa segera bisa beristirahat dengan tenang karena luka-lukanya sendiri atau karena mendengar kawan-kawan yang berada di dekatnya sesekali masih terdengar mengeluh atau mengerang kesakitan.
Pada malam yang semakin malam bahkan telah melewati puncaknya, para Tabib lah yang masih sibuk menjalankan tugasnya untuk merawat para prajurit yang terluka baik dari pihak Mataram maupun Wirasaba.
Dari kejauhan masih terdengar beberapa suara burung kedasih dan burung gagak yang seakan-akan mengiringi kepergian para prajurit yang telah gugur di medan perang serta pertanda pula bahwa esok hari masih akan ada kematian-kematian berikutnya selama perang masih berlangsung.
Mungkin jika para burung itu mempunyai kemampuan berbicara layaknya manusia, mereka akan memberitahukan bahwa esok hari masih akan ada kematian di tempat itu, karena segala ketamakan manusia yang mengatasnamakan kebenaran tapi kebenaran yang bersumber hanya dari pandangannya masing-masing, bukan berdasarkan kebenaran yang bersumber dari Yang Maha Agung.
Sudah berapa banyak yang harus melayang karena menjadi korban ketamakan manusia? namun sepertinya semua itu belum cukup untuk menyadarkan orang-orang yang selalu terlibat dengan perselisihan hingga peperangan.
Waktu masih terus berjalan dengan meninggalkan segala kisahnya untuk kemudian akan menjadi kenangan banyak orang, dari kisah perselisihan, peperangan, kesakitan, hingga kisah kematian karena harus gugur di medan perang.
Meskipun banyak orang sangat mendambakan ketentraman, kenyamanan, hingga kedamaian dalam hidup mereka, namun masih banyak pula orang yang menyelesaikan masalahnya dengan mengangkat senjata.
Hidup memang tidak mudah untuk sekedar dimengerti, karena masih terlalu banyak teka-teki yang menyertai. Manusia hanya bisa menjalani dan berusaha dengan sebaik-baiknya berdasarkan kebenarannya masing-masing, karena di setiap kepala manusia berbeda-beda pula isi dan penalarannya.
Harta, tahta, dan asmara bukan tujuan hidup manusia, tapi adalah bagian dari perjalanan hidup manusia. Tapi kita sering melupakan itu semua jika sudah dikalahkan oleh hawa nafsu kita sendiri, entah itu karena niat secara pribadi atau dari pengaruh orang lain.
Sementara udara dingin yang disertai turunnya kabut pagi di sekitar perkemahan para prajurit Mataram dan Wirasaba mulai menusuk kulit setiap prajurit yang masih ingin tidur lebih lama lagi karena perasaan lelah dan rasa kantuk.
Namun mereka harus segera mengusir rasa kantuk dan malas tersebut karena sudah saatnya mereka bangun dari pembaringan padang perdu di bawah luasnya angkasa yang tak berbatas untuk melaksanakan tugas masing-masing.
Terutama para prajurit yang bertugas pada perbekalan dan urusan dapur, mereka harus bangun lebih awal dari prajurit yang bertugas memasuki medan perang, guna menyiapkan makan pagi yang harus sudah siap sebelum matahari terbit dibalik gunung sebelah timur.
Tapi pekerjaan itu menjadi lebih ringan ketika beberapa prajurit yang dengan sukarela ikut membantu kesibukan di dapur karena tidak sampai hati jika hanya menunggu dan menjadi penonton saja tanpa berbuat apa-apa.
Tapi ada pula di antara mereka yang masih berat untuk segera bangkit dari dari peristirahatannya, sebab masih merasa lelah dan berat untuk membuka kedua matanya.
“Padahal aku merasa belum lama tidur, bahkan serasa baru sekejap, namun sekarang sudah pagi saja”. celetuk seorang prajurit Mataram yang bertubuh agak gemuk dan masih merebahkan dirinya di atas daun ketepe dengan perasaan malas untuk bangun.
“Dasar kau memang pemalas”. sahut kawannya menimpali.
“Bukankah masih ada waktu sekejap lagi untuk menyambung mimpiku yang tadi terputus?”. sahutnya sembari masih memejamkan kedua matanya.
“Terserah kau saja. Tapi jangan salahkan aku jika kau nanti tidak mendapatkan jatah makan pagi”.
Mendengar ucapan kawannya itu, prajurit yang berbadan agak gemuk dan masih merebahkan tubuhnya tadi, seperti disengat kalajengking dengan tiba-tiba bangkit untuk duduk sembari memandang tajam ke arah kawannya.
“Kau pandai sekali menggangguku, karena sudah mengetahui kelemahanku”.
“Hahaha… sekarang terserah kau saja, mau menikmati mimpi dengan perut lapar atau menikmati makan pagimu yang tidak lama lagi akan datang”.
“Baiklah, aku bangkit sekarang”. sahutnya dengan wajah tampak bersungut-sungut sembari dengan perasaan malas dia pun mulai bangkit dan pergi ke arah sumber air yang tidak jauh dari perkemahan untuk membersihkan diri ala kadarnya.
Dua pasukan segelar sepapan yang sangat besar tersebut sama-sama tidak mau lengah dalam menghadapi keadaan, meskipun pasukan terlihat tenang-tenang saja, namun para prajurit sandi mereka selalu menjalankan tugas tanpa kenal lelah siang dan malam secara bergiliran.
Semua prajurit dari kedua pasukan sepertinya sudah mulai terbangun di waktu menjelang matahari terbit dan segera mempersiapkan diri untuk menghadapi perang di hari yang kedua.
Mereka segera mempersiapkan kembali apa yang dibutuhkan untuk turun ke medan perang yang garang, dari memeriksa kembali persenjataan yang harus dibawa, serta kelengkapan lainya untuk menghadapi perang sembari menunggu datangnya nasi ransum yang sebentar lagi masak.
Sementara Ki Prastawa masih terlihat duduk termenung di salah satu sudut pasukannya yang berkumpul, entah apa yang sedang ada di dalam kepalanya.
“Sejak kemarin aku lihat kau lebih banyak berdiam diri jika tidak ada keperluan, Ki Prastawa”. ucap salah satu pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Kau masih sempat memperhatikanku rupanya?”.
“Bukan begitu Ki Prastawa, bukankah sejak berangkat kemari setiap hari kita selalu bersama? mungkin kebetulan saja aku sempat memperhatikan kebiasaanmu lalu menilainya menurut penalaranku yang bisa saja benar atau salah”.
“Ya… kau benar”.
“Apakah kau keberatan berbagi kegelisahanmu?”.
Ki Prastawa yang mendapat pertanyaan tersebut menarik nafas dalam. Lalu katanya, “entah mengapa sejak aku tiba disini sering kepikiran Tanah Perdikan Menoreh”.
“Apakah kau sudah merindukan keluargamu?”.
“Aku rasa tidak, tapi entah mengapa hatiku merasa kurang mapan saja jika teringat Tanah Perdikan Menoreh”.
“Tapi aku harap kau tidak terlarut pada perasaanmu. Ingat, sekarang kita sedang berada di medan perang yang garang. Jangan sampai karena itu kau akan mengalami kesulitan nantinya”.
“Aku mengerti”. sahut Ki Prastawa yang masih tertunduk lesu.
“Sebaiknya kita lupakan sejenak masalah pribadi, dan kita harus pusatkan perhatian kita sepenuhnya pada perang ini, agar kita nanti tidak menyesal”.
“Terima kasih atas peringatanmu”.
Sementara pasukan itu tampak mulai menjadi sibuk dengan tugas masing-masing karena memang sudah waktunya mereka semua harus bangun dari mimpi indah untuk kemudian melihat kenyataan yang ada di depan mata.
Tidak lama kemudian nasi ransum pun segera datang yang dibagikan oleh para prajurit yang bertugas dengan diangkut dengan membawa tenggok-tenggok besar yang terbuat dari bambu yang dianyam dengan sedemikian rupa.
Nasi yang mengepul masih terasa hangat ketika diterima oleh para prajurit yang mendapatkan bagian, meskipun waktu makan pagi masih terlalu cepat dari biasanya namun mereka harus segera mengisi perut mereka karena sebentar lagi akan memasuki medan perang yang garang, sehingga nanti tidak akan mempunyai waktu lagi untuk sekedar makan atau minum.
Setelah mereka selesai makan pagi, mereka melakukan segala persiapan hari itu yang tidak jauh berbeda pada saat hari pertama pecah perang.
Tapi sekarang para prajurit lebih banyak mendapatkan wejangan dari para senopati setiap kesatuan masing-masing. Baik wejangan tentang siasat perang dalam gelar secara keseluruhan maupun wejangan pembakar semangat perjuangan peperangan.
Ki Rangga Sabungsari yang pada hari itu mendapat kepercayaan dari Panembahan Hanyakrakusuma untuk menggantikan sementara kedudukan Ki Tumenggung Prayabuana yang telah gugur pun tidak merasa canggung dengan kedudukan barunya.
Karena meskipun dia tidak lebih hanya berpangkat rangga, namun pengabdiannya yang sudah begitu lama di Mataram secara tidak langsung ikut menempanya dalam menghadapi segala medan dengan segala keadaannya.
“Dengan gugurnya Ki Tumenggung Prayabuana, untuk sementara Panembahan Hanyakrakusuma mempercayakan kepadaku untuk menggantikan kedudukannya, meskipun aku masih merasa belum layak untuk kedudukan ini namun aku akan berusaha sebaik-baiknya sejauh kemampuanku. Apakah ada yang merasa keberatan dengan kedudukan baruku ini?”.
“Aku rasa Ki Rangga Sabungsari memang sudah sepantasnya mendapatkan kepercayaan ini, dan aku secara pribadi justru ikut merasa berbangga karenanya”. jawab salah satu kawannya yang berpangkat rangga pula.
Hampir semua prajurit yang berada dalam kesatuan itu sependapat dengan ucapan tersebut meskipun tidak semuanya membuka suara.
“Syukurlah jika semua bisa menerimanya”.
“Selain ini adalah perintah langsung dari Panembahan Hanyakrakusuma yang harus kita semua patuhi, tapi menurut pendapatku secara pribadi memang kaulah yang paling pantas menggantikan kedudukan Ki Tumenggung Prayabuana yang telah gugur kemarin, Ki Rangga Sabungsari”.
“Siapa tahu ini adalah isyarat dari Panembahan Hanyakrakusuma bagi Ki Rangga Sabungsari untuk selanjutnya mendapat anugerah kenaikan pangkat yang lebih tinggi”. sahut kawannya yang duduk bersila di samping orang yang baru saja bicara.
“Ah.. ucapan Ki Rangga Gandamaya hanya membuatku semakin besar kepala saja”.
“Bukankah tidak ada salahnya jika kita sedikit berandai-andai?”.
“Memang tidak ada yang salah, namun sebaiknya kita lupakan dulu semua itu karena kita sekarang sedang di medan perang”. potong Ki Rangga Sabungsari yang menyadari harus segera bersiap.
Kemudian kesatuan pasukan Mataram yang berkedudukan di Jati Anom itu pun segera kembali ke kelompoknya masing-masing setelah mendapatkan pengarahan dari Ki Rangga Sabungsari sehubungan dengan tugas-tugas yang harus mereka laksanakan.
Sementara dalam pasukan Wirasaba telah mulai bersiap pula untuk memasuki medan perang, segala persiapan telah dilakukan untuk berusaha mengalahkan pasukan lawan.
Meskipun pada hari pertama perang mereka harus kehilangan Ki Tumenggung Ganggasura yang telah gugur serta telah kecolongan akan gerakan pasukan kecil Mataram yang berhasil melumpuhkan meriam yang sangat mereka andalkan, namun semua itu tidak pernah menyurutkan semangat perjuangan pasukan Wirasaba secara keseluruhan.
Jantung setiap prajurit seakan-akan berdetak lebih kencang pada saat langit sebelah timur mulai nampak cahaya kemerah-merahan meskipun di tempat tersebut masih berselimutkan kabut pagi. Sangat terasa sekali masih ada ketegangan pada kedua belah pihak yang tidak lama lagi akan saling berbenturan.
Kini kedua pasukan besar segelar sepapan yang sangat besar hanya bisa menunggu pertanda perang dimulai dari suara sangkakala yang terbuat dari gading gajah seperti yang terjadi pada hari pertama saat pecah perang dengan penuh ketegangan dan debar jantung yang semakin cepat.
“Aku sudah tidak sabar lagi ingin bertemu kembali dengan Senopati Mataram yang kemarin gagal aku tantang berperang tanding. Semakin cepat Wirasaba membunuh para senopati Mataram, maka akan semakin cepat selesai pula perang ini”. ucap Ki Cangkring Giri dengan penuh kepercayaan diri.
“Aku lihat Kyai sangat percaya diri?”. sahut seorang senopati Wirasaba yang mendengar ucapan pemimpin Padepokan Cangkringan tersebut.
“Aku memang selalu percaya diri dengan kemampuanku, bahkan sebenarnya aku lebih senang mendapat tugas untuk membunuh pemimpin Mataram yang sombong itu daripada harus menghadapi tikus-tikus clurut di medan perang”.
“Tapi sepertinya itu tidak mungkin Kyai, karena Ki Patih Rangga Permana sudah pasti akan menyiapkan diri menjadi lawannya, dan kita mendapatkan tugas yang lain, yang tidak kalah beratnya”.
“Mungkin karena Ki Patih belum tahu seberapa jauh tataran ilmuku, sehingga dia belum memberikan kepercayaan kepadaku untuk menghadapi Panembahan Hanyakrakusuma”.
Senopati yang bertugas dalam satu kesatuan bersama Kyai Cangkring Giri hanya menarik nafas panjang, karena bingung harus menjawab apa.
“Apakah kau meragukan kemampuanku?”.
“Tidak Kyai, aku sangat mempercayai kemampuanmu”. sahut senopati tersebut agak tergagap, karena menjadi terkejut dengan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah diduganya.
Sementara seorang prajurit yang bertugas untuk meniupkan sangkakala sebagai pertanda dimulainya perang sudah bersiap di atas bukit kecil di sekitar perkemahan.
Dengan berdiri tegak dan hampir tidak bergeming memandangi langit di sebelah timur, sembari tangan kanannya memegangi sangkakala dari gading gajah yang dibuat secara khusus untuk keperluan perang, prajurit itu seakan tidak mau melewatkan waktu barang sekejap pun untuk melaksanakan tugasnya.
Setelah menunggu beberapa saat lama, tibalah waktunya prajurit tersebut untuk dapat melaksanakan tugasnya. Diawali dengan tarikan nafas yang sangat panjang, dia akhirnya meniup sangkakala pertama kali dengan kuat dan panjang dengan maksud agar kedua pasukan segelar sepapan yang akan saling berbenturan bisa sama-sama mendengar suara itu.
Para prajurit yang mendengarnya pun segera mempersiapkan diri dengan tugas masing-masing dan di dalam kesatuan pasukan masing-masing pula.
Sudah hampir tidak ada lagi yang membuka suara karena ketegangan yang semakin memuncak, kecuali beberapa senopati yang masih sempat memberikan pengarahan dan peringatan kepada para prajurit di dalam kesatuannya.
Kemudian terdengar kembali suara sangkakala untuk kedua kalinya, itu adalah isyarat bahwa kedua pasukan segelar sepapan sudah siap akan bergerak memasuki medan.
Tidak lama setelah suara sangkakala yang kedua, kembali terdengar untuk yang ketiga kalinya. Maka kedua pasukan harus segera bergerak untuk memulai perang yang garang.
Setelah kedua pasukan sudah mulai bergerak, sepertinya pada hari kedua perang tersebut kedua pasukan meskipun tidak pernah berjanji sebelumnya, terlihat tidak lagi membawa panji-panji kebesaran yaitu umbul-umbul dan rontek dalam setiap pasukan, mereka hanya membawanya di pasukan induk gelar saja.
Namun baru beberapa langkah saja mereka bergerak, mereka dikejutkan oleh suara bende dengan suara yang melengking tinggi dari tempat yang sama dengan orang yang tadi meniup sangkakala.
Suaranya tidak seperti bende kebanyakan, karena suaranya bisa melengking tinggi dan seakan-akan mampu menggetarkan bahkan menusuk jantung bagi setiap orang yang mendengarnya, serta seperti membawa perasaan yang aneh.
Bagi para prajurit Mataram yang mendengarnya, seperti memberikan tambahan kekuatan yang tidak terlihat, namun bagi pihak lawan seolah-olah itu suara aneh yang mampu merasuki jiwa untuk kemudian mencekam setiap jantung.
Sehingga semua itu mampu mengguncang ketahanan jiwani orang-orang Wirasaba, terutama bagi orang yang belum memiliki bekal kanuragan yang cukup pada saat itu karena terpengaruh prabawa suara bende Kyai Bancak.
“Gila… orang Mataram benar-benar gila”. teriak salah satu prajurit Wirasaba.
“Apakah Mataram sedang bermain-main dalam menghadapi perang ini?”. sahut prajurit yang lain.
Para prajurit Wirasaba menjadi bertanya-tanya sendiri setelah mendengar suara bende yang membawa pengaruh aneh bagi mereka yang tinggal beberapa langkah lagi akan saling mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang, dan tajamnya senjata.
Sementara suara bende yang aneh itu pun tidak luput dari perhatian para petinggi Wirasaba yang berada di pasukan induk, dan membuat mereka bertanya-tanya pula.
“Suara apakah itu Paman?”. bertanya Kanjeng Adipati Wirasaba yang merasa heran mendengar suara tersebut, karena merasa belum pernah mendengarnya.
“Aku sendiri tidak pernah menduga akan mendengarnya di tempat ini”. sahut Ki Patih Rangga Permana yang masih terkejut pula mendengar suara bende Kyai Bancak, sehingga tidak menyadari pertanyaan kemenakannya.
“Suara apa itu, Paman?”. ucap Kanjeng Adipati mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab.
“Berdasarkan keterangan yang pernah aku dengar, jika tidak salah itu adalah suara bende keramat orang Mataram yang diberi nama Kyai Bancak”.
“Bende keramat? Kyai Bancak?”.
“Benar Ngger, bende Kyai Bancak yang sangat terkenal karena tuahnya, bahkan itu dianggap termasuk dalam salah satu benda pusaka Mataram”.
“Apa yang membuat benda itu dikeramatkan, Paman?”.
“Konon katanya jika bende Kyai Bancak tersebut ditabuh pada saat pecah perang, maka pihak yang menabuhnya akan mendapatkan kemenangan”.
“Apakah Paman percaya?”.
“Antara percaya dan tidak”.
“Kenapa?”.
“Karena aku pernah mendengar keterangan sehubungan dengan Kyai Bancak, beberapa kali menemui kebenaran. Dan yang paling tidak bisa dinalar secara penalaran wajar adalah ketika pecah perang antara Pajang dan Mataram. Pajang yang pada waktu itu dianggap masih mempunyai kekuatan raksasa dibawah Kanjeng Sultan Hadiwijaya akhirnya dapat dikalahkan Mataram yang pada waktu itu baru mulai berkembang”.
“Banyak hal dan kejadian yang belum aku tahu”.
“Tapi aku juga tidak percaya begitu saja, karena aku belum pernah mengalaminya sendiri”.
“Sebaiknya kita tidak perlu mempercayainya, Paman. Agar tidak membuat kita gelisah sendiri”.
“Aku memang telah berbuat demikian Ngger, namun aku tidak tahu dengan para prajurit yang pernah mendengar cerita ngayawara tentang bende Kyai Bancak, apakah mereka terpengaruh atau tidak dengan suara itu”.
Suara bende Kyai Bancak ternyata tidak hanya dipukul sekali, namun dipukul secara terus menerus oleh prajurit yang bertugas, sehingga membuat para prajurit Wirasaba menjadi bertanya-tanya dengan suara bende tersebut.
“Sebenarnya apa maksud orang Mataram dengan suara bende yang aneh itu?”. bertanya salah satu prajurit Wirasaba yang belum pernah mendengar cerita tentang bende Kyai Bancak.
“Apakah kau belum pernah mendengar cerita tentang bende Kyai Bancak dari Mataram?”. sahut kawannya yang pernah mendengar ceritanya.
“Belum, memang ada apa dengan bende Kyai Bancak?”.
“Katanya, siapapun yang dapat membunyikan bende itu dalam medan perang, pihaknya akan mendapatkan kemenangan”.
“Kau dapat cerita ngayawara itu dari mana?”.
“Aku lupa karena sudah lama”.
“Kau jangan menyebarkan cerita ngayawara itu, karena sama saja artinya kau mengecilkan kekuatan Wirasaba”.
“Aku hanya berkata sesuai dengan apa yang pernah aku dengar, bukan maksudku mengecilkan arti kekuatan Wirasaba”.
“Sudah.. sudah, nanti kalian bisa kehilangan kepala kalian jika masih sibuk adu mulut dengan kawan sendiri”. sahut seorang senopati Wirasaba memberi peringatan.
Sementara kedua pasukan segelar sepapan itu sudah semakin bergerak maju untuk memasuki medan dengan menggunakan gelarnya masing-masing, dengan pasukan pemanah dan pembawa senjata pelontar selalu berada di barisan pertama untuk mengawali perang sebelum kedua pasukan benar-benar saling berbenturan.
Pada perang di hari kedua, Mataram kembali menggunakan gelar Garuda Nglayang pada benturan pertama yang entah nanti akan diganti dengan gelar lain atau tidak akan menyesuaikan keadaan medan, sedangkan Wirasaba mempercayakan pasukannya dengan menggunakan gelar Cakra Byuha.
Ternyata Wirasaba merubah rencananya pada saat-saat terakhir tentang gelar perang yang digunakan, karena setelah dipertimbangkan kembali, gelar Gedong Minep adalah gelar yang terlihat terlalu bertahan dan terkesan hanya menunggu lawan saja, berbeda dengan gelar Cakra Byuha, meskipun watak gelar sama-sama bertahan, namun gelar ini adalah gelar bertahan sekaligus menyerang dengan sama baiknya.
Selain pihak Wirasaba yang merubah gelar perangnya, ada pemandangan yang sangat mengejutkan dari pasukan Mataram yang turun ke medan, sepertinya ada perubahan rencana pada saat-saat terakhir pula.
Tiba-tiba pasukan Mataram dipimpin langsung oleh Panembahan Hanyakrakusuma didampingi oleh Pangeran Pringgalaya, sementara dua pangeran yang lain tetap berada di belakang garis pertempuran untuk mengawasi dan mengendalikan perang secara keseluruhan sesuai rencana yang telah disepakati.
Pemimpin tertinggi Mataram itu memasuki medan pertempuran yang garang dengan diiringi suara bende Kyai Bancak yang sengaja dipukul terus menerus secara ajeg sesuai perintah Kanjeng Sinuhun Mataram.
Sejenak kemudian perang antara Mataram dengan Wirasaba pun pecah kembali di hari kedua, diawali serangan anak ribuan anak panah dan lembing yang terbuat dari pring cendani dengan bedor besi yang ditajamkan dari kedua belah pihak.
Tiba-tiba langit di sekitar medan seperti menjadi hujan anak panah dan lembing yang seolah-olah menjadi haus darah dan mencari korbannya masing-masing.
Teriakan yang menggelegar dan umpatan-umpatan yang sangat kotor dari hampir setiap prajurit yang menjadi korban anak panah atau lembing dari kedua belah pihak karena tidak mampu menyelamatkan diri.
Meskipun di barisan pertama, selain berisikan pasukan pemanah dan pelontar lembing terdapat pula pasukan perisai yang bertugas melindungi kawan-kawannya, namun masih banyak pula yang tidak terlindungi oleh garangnya anak panah dan lembing dari lawan.
Sebelum mereka dapat saling beradu dada dengan lawan, sudah banyak jatuh korban yang tidak terhitung jumlahnya karena serangan hujan anak panah dan lembing dalam hiruk pikuknya medan yang sudah mulai berkecamuk.
Namun hal itu tidak berlangsung lama karena kedua belah pihak sudah saling mendekati, sehingga pasukan pemanah sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menarik busurnya. Sehingga mereka harus segera menarik pedangnya masing-masing untuk memulai pertempuran yang sebenarnya.
Pada perang kali ini kedua belah pihak bisa bertempur dengan garangnya tanpa terbebani lagi akan keberadaan meriam, karena senjata yang sangat nggegirisi tersebut sudah kehilangan tuahnya sejak kehilangan bubuk obat beserta pelurunya yang menghilang secara misterius tanpa jejak.
Peraduan senjata sudah mewarnai perang yang baru saja dimulai pada pasukan di barisan pertama gelar, yang kebanyakan berisikan para prajurit pada barisan pertama.
Mereka berusaha saling menyerang dan bertahan dengan sebaik yang bisa mereka lakukan, serta selalu mendengarkan perintah senopati masing-masing setiap pasukan agar tidak mengalami kesulitan karena kebodohan sendiri.
Sementara Kyai Cangkring Giri yang kemarin merasa gagal untuk berperang tanding dengan Ki Tumenggung Sanggawira menjadi semakin tidak sabar, maka setelah pecah perang dia segera mencari orang yang dimaksud.
Tapi ternyata tidak mudah untuk menemukan orang yang dicarinya dalam hiruk-pikuknya medan yang garang, beberapa kali dirinya harus menyibak medan yang sangat berbahaya.
“Setan Alas. Ternyata tidak mudah untuk menemukan tumenggung dungu itu”. membatin Kyai Cangkringan sembari melawan orang-orang Mataram yang berusaha menyerangnya.
“Apakah dia masih bersembunyi di antara anak buahnya dalam gelar ini karena menjadi ketakutan? sebab hari ini akan berhadapan denganku?”.
Berpikir demikian, maka Kyai Cangkring Giri akan berusaha memancingnya keluar, dengan melibat para prajurit Mataram sebanyak-banyaknya untuk menarik perhatian.
Sejenak kemudian, maka dia pun segera menyerang beberapa prajurit Mataram dengan garangnya seperti harimau yang sedang mengamuk di medan dengan sepasang senjata andalannya.
Para prajurit Mataram yang menyadari keadaan tidak menjadi gugup dan kehilangan penalaran. Dengan segera mereka membentuk pasukan kecil yang terdiri dari beberapa orang untuk menahan orang yang berilmu sangat tinggi.
Mereka adalah para prajurit Mataram berkedudukan di Ganjur yang sangat terlatih, baik secara pribadi maupun dalam pertempuran berpasangan, bahkan dalam kelompok kecil. Mereka bisa saling melengkapi kekurangan dan mengurai setiap kesulitan kawannya dengan sama baiknya secara bergantian jika ada yang terdesak oleh lawan.
“Kalian jangan hanya berempat saja, panggil kawan kalian sebanyak-banyaknya untuk mengepungku! agar pekerjaanku lebih cepat selesai”. teriak Kyai Cangkring Giri yang merasa pancingannya sudah mulai bekerja sesuai rencana.
Demikian Kyai Cangkring Giri terdiam, tiba-tiba salah satu prajurit Mataram terlempar beberapa langkah dari arena setelah dadanya mendapat tendangan secepat kilat. Prajurit itu masih terlihat menggeliat tapi sepertinya tidak dapat segera bangkit, seisi dadanya serasa remuk dan tulangnya retak beberapa bagian karena seakan telah dihantam sepotong wesi gligen.
Pasukan kecil yang masih terkejut setelah melihat kawannya yang terlempar dari arena, tanpa mereka sadari kawannya yang seorang lagi kembali terlempar oleh Kyai Cangkring Giri yang tidak mereka sadari entah bagaimana caranya.
Terlihat pemimpin Padepokan Cangkringan tersebut semakin jumawa dengan kemenangan kecilnya melawan beberapa prajurit Mataram sekaligus.
“Apakah hanya ini kemampuan kalian, he.. orang-orang Mataram yang sombong?”. ucap Ki Cangkring Giri setengah berteriak dengan kata-kata menusuk jantung.
Kemudian pasukan kecil tersebut kembali mengepungnya dengan kawan baru menggantikan prajurit yang sudah tidak berdaya, bahkan sekarang lebih banyak, yaitu enam orang. Mereka kembali menyerang orang itu dengan lebih hati-hati, meskipun dengan orang yang lebih banyak, namun ternyata tidak mudah untuk menghadapi orang berilmu sangat tinggi dengan senjata di kedua tangan.
Bahkan tidak berapa lama kemudian, justru salah satu prajurit Mataram lah yang terluka lengannya karena terkena sabetan senjata limpung yang ujungnya berduri tajam, sehingga mengeluarkan darah segar.
Semakin lama pasukan kecil Mataram lah yang mengalami kesulitan untuk menahan sepak terjang Kyai Cangkring Giri yang semakin garang dalam bertempur, tandangnya pun semakin cepat dan keras.
Para prajurit yang bersenjatakan pedang keprajuritan merasakan tangan mereka tergetar dan panas ketika senjata mereka saling beradu, bahkan ada pula yang senjatanya terlepas dari genggaman karena tidak mampu mempertahankan.
“Ayo… mana lagi orang-orang Mataram? termasuk tumenggung yang dungu itu!”. teriak Kyai Cangkring Giri sembari bertempur dalam kepungan.
“Siapakah yang kau maksud, Ki Sanak?”.
Sebuah jawaban yang mengejutkan Kyai Cangkring Giri yang sedang bertempur dan berlompatan kesana kemari untuk bertahan dan menyerang dalam kepungan.
Pemimpin Padepokan Cangkringan itu pun segera menyibak kepungan dan mengambil jarak dari lawan-lawannya untuk melihat siapakah orang yang baru saja datang.
Seketika arena tersebut seakan berhenti, karena selain pasukan kecil Mataram itu menyadari siapa yang datang juga memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menilai keadaan tanpa terganggu, mereka juga memanfaatkan waktu untuk sejenak menghirup nafas segar setelah bertempur penuh ketegangan.
Dengan wajah keheranan dan dengan sorot mata yang tajam, Kyai Cangkring Giri memperhatikan orang yang baru saja datang karena merasa belum pernah melihatnya.
“Kau siapa, Ki Sanak?”.
“Aku adalah prajurit Mataram yang mendapatkan tugas pada sayap gelar ini”.
“Setan Alas, Genderuwo, tetekan. Kau rupanya belum pernah mengenal aku sehingga masih berani deksura di hadapanku”. teriak Kyai Cangkring Giri dengan penuh kemarahan mendengar jawaban orang yang baru saja datang tersebut.
“Aku rasa kita memang belum pernah saling mengenal sebelumnya”. jawab orang tersebut dengan sikap tetap tenang.
“Bukalah kupingmu lebar-lebar! aku adalah Kyai Cangkring Giri, pemimpin Padepokan Cangkringan. Aku tidak segan-segan untuk mematahkan batang leher seseorang yang berani deksura kepadaku, apalagi kepada orang yang baru bertemu”.
“Jangan garang begitu Ki Sanak. Aku rasa, aku memang belum pernah mendengar namamu apalagi mengenalmu sebelumnya, Kyai Cangkring Giri”.
“Ternyata orang-orang Mataram adalah sekumpulan orang dungu dengan penalaran sempit seperti katak dalam tempurung, tidak pernah mengenal luasnya tanah ini dari ujung ke ujung. Di bang wetan ini semua orang mengenal siapa aku”.
“Ya… kau adalah orang yang paling dikenal di bang wetan ini, karena sekarang aku sudah mengenalmu”.
“Setan Alas. Kau masih berani bergurau di hadapan Kyai Cangkring Giri yang sedang marah”.
“Maaf Kyai, aku tidak tahu jika kau sedang marah”.
“Semakin lama ucapanmu semakin membuat panas kupingku, jika aku lihat kau tidak lebih dari seorang rangga, tapi sudah berani deksura kepadaku. Kemarin saja kawanmu yang berpangkat tumenggung lari ketakutan saat berhadapan denganku, apalagi kau hanya seorang rangga”.
“Siapa yang Kyai maksud?”.
“Sebenarnya hari ini aku sudah berusaha mencarinya, namun masih belum bertemu, dia adalah Ki Tumenggung Sanggawira”.
“Oh… apakah kau yakin jika dia lari karena ketakutan?”.
“Sebenarnya hari ini aku sudah berusaha mencarinya, namun masih belum bertemu, bukankah itu sama artinya dia menjadi ketakutan, setelah kemarin dia menolak untuk berperang tanding pada saat sangkakala berbunyi?”.
“Oh… sekarang aku tahu permasalahannya”.
“Apa maksudmu?”.
“Kyai masih menyimpan dendam kepada Ki Tumenggung Sanggawira yang gagal Kyai tantang untuk berperang tanding. Sehingga Kyai seperti orang yang waringuten karena tidak berhasil menemukannya sekarang”.
“Ternyata kau banyak bicara Ki Sanak”.
“Jika Kyai Cangkring Giri masih penasaran dengan Ki Tumenggung Sanggawira, susulah dia di sayap kiri gelar, sekarang dia bertugas di sana. Karena hari ini Mataram menukar posisi pasukan yang berada di sayap gelar”.
“Pantas saja aku tidak menemukannya disini, tapi pasti aku akan menyusulnya. Berhubung aku lebih dulu bertemu dengan kau, maka aku akan menyumbat mulutmu dulu dengan senjata limpungku agar kau tidak banyak bicara lagi”.
“Jangan garang begitu Ki Sanak”.
“Cepat sebut namamu selagi sempat sebelum aku membunuhmu, agar kau tidak mati tanpa nama!”.
“Apakah kau mempunyai kemampuan untuk menentukan umur seseorang, Kyai Cangkring Giri?”.
“Setan Alas, Genderuwo, tetekan. Seorang prajurit yang hanya berpangkat rangga saja masih berani sesorah dihadapanku. Jangankan hanya kau yang hanya berpangkat rangga, aku saja sudah beberapa kali membunuh prajurit dengan pangkat panji, bahkan tumenggung yang berani menentangku, apalagi hanya kau yang hanya seorang rangga? aku pasti akan dapat membunuhmu seperti wijet suwe wohing ranti dengan ilmuku”.
“Luar biasa”.
“Jika kau menjadi ketakutan menyerahlah! aku berjanji, jika kau menyerah maka kau tidak akan merasakan kesakitan saat aku mengantarkan selembar nyawamu ke alam kelanggengan”.
“Apakah aku harus menyerah?”. sahutnya dengan sikap tetap tenang tanpa ada rasa ketakutan sedikitpun yang membayang pada wajahnya.
“Kau sudah terlalu banyak bicara. Cepat sebut namamu sebelum kau terkapar di tempat ini bersama kawan-kawanmu”.
“Aku adalah Ki Rangga Sabungsari”.
“Sekarang bersiaplah untuk berangkat ke alam kelanggengan menyusul kawanku yang kemarin telah kalian bunuh”.
“Siapakah kawanmu itu, Kyai?”.
“Kyai Alap-Alap Jati Ombo”.
“Kawanmu bukan dibunuh, Kyai. Tapi gugur pada saat berperang tanding dengan Ki Tumenggung Prayabuana, namun pada akhirnya mereka sampyuh karena lawannya telah gugur pula”.
“Tapi nyawa kawanku lebih berharga dari kalian orang-orang Mataram, maka kalian harus membayarnya. Utang wirang dibayar wirang, utang pati dibayar pati”.
“Kita sedang berada di medan Kyai, dan mereka sudah sepakat untuk berperang tanding, jadi tidak ada yang bisa dipersalahkan”.
“Kau sudah terlalu banyak bicara, sekarang bersiaplah!”.
Tanpa sadar Ki Rangga Sabungsari masih sempat memandang ke langit, terlihat matahari yang sudah semakin naik di angkasa seiring dengan memanasnya pula perang yang semakin garang.
Setelah berkata demikian, Kyai Cangkring Giri segera mempersiapkan diri untuk memulai pertempuran kembali, Dengan diawali lompatan panjang, dia menyerang dengan kaki kanannya langsung ke bagian jantung lawan.
Ki Rangga Sabungsari yang menyadari betapa berbahayanya serangan itu masih berhasil menghindar ke samping saat serangan pertama itu tinggal sejengkal, tapi lawannya yang menyadari serangannya tidak menemui sasaran segera memburunya dengan kaki kirinya memutar setengah lingkaran.
Pengganti sementara kedudukan Ki Tumenggung Prayabuana itu sudah menduga serangan tersebut segera melompat pendek agar dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam.
Kyai Cangkring Giri yang merasa gagal dalam serangan beruntun pada serangan pertama segera meningkatkan kemampuannya beberapa lapis lebih tinggi, karena dia ingin segera menyelesaikan lawannya yang dianggapnya tidak akan mampu bertahan lebih lama terhadap ilmunya.
Namun Ki Rangga Sabungsari sebagai seorang prajurit yang berilmu sangat tinggi pula segera menyadari apa yang dilakukan lawannya segera melakukan hal sama.
“Kau sombong sekali Ki Rangga. Mana senjatamu? jangan sampai kau menyesal karena lebih dulu menemui ajalmu daripada mencabut senjatamu meskipun dengan senjatamu kau akan menemui ajalmu pula”. ucap Kyai Cangkring Giri setengah berteriak sembari bertempur, setelah melihat beberapa saat lawannya belum menggunakan senjata.
“Terima kasih atas peringatan Kyai, aku justru lupa jika membawa membawa senjata”. sahut Ki Rangga Sabungsari sembari mencari kesempatan untuk dapat mencabut pedangnya dalam keadaan lawannya yang semakin mendesak dengan garangnya dengan sepasang senjata limpungnya yang ujungnya berduri.
“Setan Alas. Sebentar lagi aku pastikan jika kau tidak akan mampu menyombongkan diri lagi dihadapanku”.
Ternyata sedari tadi Ki Rangga Sabungsari menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang pemarah dan mudah meledak-ledak, dia sengaja selalu memancingnya agar dapat sedikit memburamkan penalarannya dalam pertempuran. Sehingga dengan begitu bisa membuat pengetrapan ilmunya menjadi tumpang suh jika hanya menuruti kemarahannya.
Meskipun Ki Cangkring Giri sudah semakin meningkatkan kemampuannya dan selalu menekan lawan dengan garangnya, namun ternyata tidak mudah untuk menembus pertahanan seorang rangga yang satu ini.
Semakin lama benturan antara keduanya tidak dapat dihindarkan, senjata limpung yang berada di tangan kanan membentur pedang Ki Rangga Sabungsari yang dibuat secara khusus dari besi pilihan, jika dilihat secara sekilas memang tampak seperti pedang keprajuritan kebanyakan, namun jika dilihat lebih teliti maka akan terlihat perbedaannya.
Ki Cangkring Giri yang tidak pernah menduga sebelumnya kemampuan lawannya menjadi sangat terkejut pada saat senjata mereka saling berbenturan. Tangannya sempat tergetar, bahkan limpung yang berada digenggamannya hampir saja akan terlepas namun dengan cepat dia memperbaiki keadaannya dengan mengambil jarak.
“Setan Alas, Genderuwo, tetekan. Pantas saja kau berani deksura di hadapanku. Pasti karena kau merasa sudah memiliki bekal yang cukup untuk melawanku. Jangan bangga dulu dengan kemenangan kecilmu ini Ki Rangga Sabungsari”.
“Bukankah ada kalanya kita perlu menyombongkan diri di hadapan lawan kita, Kyai? agar kita tidak terlihat terlalu kecil di hadapan orang yang kita lawan?”.
“Sebagai seorang prajurit, aku diajarkan untuk menghadapi siapapun di medan tanpa pilih-pilih lawan. Jadi bukan maksudku telah memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi Kyai”.
“Bersiaplah! sekarang aku akan lebih hati-hati menghadapimu, tapi bukan berarti aku tidak dapat membunuhmu”.
Selesai berkata demikian, Ki Cangring Giri memasukkan tangan kanannya ke balik bajunya untuk mengambil sesuatu, dengan kecepatan seperti tatit, dia mengeluarkan tangan yang tergenggam lalu membukanya dengan diarahkan kepada Ki Rangga Sabungsari.
Seketika senopati Mataram yang berkedudukan di Jati Anom itu melihat benda-benda kecil terbang yang tak terhitung jumlahnya dilambari dengan kekuatan tenaga cadangan yang sangat nggegirisi.
Secara naluriah Ki Rangga Sabungsari berusaha menangkis semua benda itu dengan pedang di tangannya. Benda-benda kecil yang berterbangan itu seketika jatuh setelah berbenturan dengan pedang yang telah dilambari pula dengan tenaga cadangan.
“Ha.. ha.. ha… lumayan juga keterampilanmu dalam menangkis seranganku, Ki Rangga. Karena jika duri itu mengenai tubuhmu maka aku pastikan umurmu tidak akan bertahan lebih lama lagi di alam padang ini”. berkata Ki Cangkring Giri yang berusaha meledek lawannya.
“Duri kemarung?”. desis Ki Rangga Sabungsari sedikit heran setelah melihat benda yang digunakan lawannya untuk menyerangnya secara tiba-tiba.
“Mengapa kau menjadi heran Ki Rangga?”.
“Karena duri kemarung telah mengingatkanku akan masa-masa kecilku dulu”.
“Setan Alas. Kau mau berkata jika duri kemarung itu hanya pantas untuk mainan anak-anak?”.
“Bukankah aku tidak berkata demikian? tapi Kyai lah yang berkata demikian”.
“Kau memang tidak berkata demikian, namun aku menangkap maksudmu demikian”.
“Tidak Kyai, aku berkata yang sebenarnya. Bahwa duri kemarung telah mengingatkan masa-masa kecilku”.
“Hati-hatilah Ki Rangga, racun dalam duri kemarung itu sangat garang kepada korbannya”.
“Ternyata kau suka bermain-main dengan racun pula rupanya, sama seperti kawanmu yang kemarin telah gugur”.
“Sudah cukup sesorahmu, aku sudah tidak mempunyai waktu lagi bermain-main denganmu”.
Tanpa menunggu lagi, Ki Cangkring Giri segera menyerang kembali senopati Mataram itu dengan serangan yang membadai serta dengan tataran ilmu yang semakin tinggi dengan dilambari tenaga cadangan.
Ki Rangga Sabungsari yang berilmu sangat tinggi pula tidak menjadi gugup karena serangan tersebut. Meskipun pada awalnya sempat terdesak, namun lambat laun dia mulai mampu memperbaiki keadaannya. Sehingga lawannya tidak akan dengan mudah lagi untuk menembus pertahanannya yang sudah semakin kokoh dan rapat.
Sementara di sayap gelar Garuda Nglayang Mataram yang lain pertempuran tidak kalah garangnya. Para prajurit berusaha bertahan dan menyerang sesuai dengan perintah senopati mereka yang tidak henti-hentinya memberikan perintah atau peringatan agar para prajuritnya tidak ada yang mengalami kesulitan, terluka, atau bahkan gugur karena serangan lawan.
Meskipun para prajurit Mataram adalah termasuk orang-orang yang sangat terlatih dalam berbagai medan, namun bukan berarti mereka tidak akan berbuat kesalahan, itulah gunanya ada senopati dalam setiap pasukan. Bisa memajukan jika prajurit terlalu mundur dan bisa memundurkan prajurit yang terlalu maju.
Karena dalam perang gelar adalah terdiri dari sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling terhubung satu sama lain, sehingga para prajurit tidak dapat berbuat menurut kehendaknya sendiri-sendiri. Karena jika itu terjadi, maka akan sangat mempengaruhi yang lain, bahkan bisa menyeretnya dirinya sendiri atau kawannya ke dalam kesulitan.
Sementara di sayap gelar yang ditempati pasukan Mataram yang berkedudukan di Jati Anom, sejak tadi ada seorang senopati dari Wirasaba yang memperhatikan sepak terjang seorang prajurit Mataram yang sangat menarik perhatiannya yang berada tidak jauh dari tempatnya bertempur bersama dengan kawan seperjuangannya.
Maka segeralah dia menyibak arena untuk dapat menemui prajurit lawan yang menurutnya memiliki kelebihan di antara prajurit kebanyakan.
“Sepak terjangmu telah menggelitik jantungku, anak muda”. berkata senopati Wirasaba tersebut setelah saling berhadapan dengan orang yang dimaksud.
“Memangnya apa yang telah aku perbuat? bukankah apa yang aku lakukan sama seperti dengan apa yang telah dilakukan prajurit yang lain?”.
“Tapi aku dapat melihat bahwa apa yang kau lakukan belum terlihat bersungguh-sungguh. Kau hanya sekedar melayani lawanmu dan kemudian melumpuhkan mereka satu per satu, tapi kau tidak pernah berusaha membunuh mereka”.
“Aku memang telah diajarkan, bahwa dalam perang itu bukan berarti kita harus membunuh. Kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa saja”.
“Menarik sekali sikapmu, anak muda. Siapakah namamu?”.
“Umbara”.
“Umbara. Sebuah nama yang singkat tapi penuh makna”.
“Nama Kisanak sendiri siapa?”.
“Aku adalah Ki Tumenggung Randuwana”. sahut orang yang terlihat sudah berumur tersebut.
“Lalu apa maksud Ki Tumenggung Randuwana datang menemui aku kemari?”. bertanya Umbara dengan lugunya.
“Ha.. ha.. ha… kau memang masih terlalu hijau untuk turun ke medan yang sangat garang seperti sekarang ini Umbara. Jika aku bisa memilih, sebenarnya aku lebih suka dapat bertemu denganmu dalam keadaan damai sembari bisa berbincang tentang apa saja untuk bertukar kawruh dengan dikawani minuman hangat dan singkong rebus yang masih mengepul”.
“Mungkin di lain kesempatan Ki Tumenggung Randuwana, sebab sekarang kita sedang berada di medan pertempuran, karena kita sedang mengemban tugas dari pepunden kita masing-masing”.
“Aku setuju. Sekarang sebaiknya kita memulai pertempuran di antara kita, karena tidak sepantasnya jika kita sedang berada di medan justru keasyikan berbincang”.
“Marilah Ki Tumenggung Randuwana. Semoga kemampuanku tidak mengecewakanmu”.
“Kau tidak perlu menyimpan pedangmu kembali! karena aku telah membawa senjata pula”. berkata Ki Tumenggung Randuwana yang melihat Umbara akan menyimpan senjatanya.
Senopati Wirasaba itu sudah menjinjing tombak di tangannya. Dia tidak mau memandang sebelah mata kepada lawannya, meskipun lawannya terlihat masih sangat muda untuk turun ke medan dan tidak lebih hanya bersenjatakan pedang keprajuritan seperti prajurit kebanyakan.
Kemudian dua orang prajurit yang berbeda jauh secara kepangkatan dan umurnya tersebut mulai mempersiapkan diri untuk memulai pertempuran, lalu Ki Tumenggung Randuwana mengambil kesempatan untuk menyerang lebih dulu.
Umbara yang mempunyai penalaran bahwa lawannya tentu orang yang berilmu sangat tinggi bersikap lebih berhati-hati, tidak ingin langsung membenturkan senjatanya pada pertempuran yang baru dimulai tersebut.
Dengan bergeser ke samping kanan dan ke samping kiri serta sesekali dengan lompatan-lompatan pendek, Umbara masih berusaha menghindari serangan lawannya.
“Mengapa sekarang kau bertempur seperti seorang pemalu anak muda?”. bertanya Ki Tumenggung Randuwana setelah beberapa saat mereka mengadu kanuragan.
Umbara yang mendapat pertanyaan segera mengambil jarak, dan lawannya sengaja memberikan kesempatan.
“Aku hanya ingin lebih berhati-hati saja dalam menghadapi Ki Tumenggung Randuwana, yang tentu saja adalah orang berilmu sangat tinggi. Sehingga aku harus membuat penilaian secara wajar agar aku tidak terjerumus ke dalam kesulitan nantinya”.
“Kau keliru anak muda, aku tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bukanlah seorang prajurit dengan kemampuan tinggi seperti para senopati Wirasaba yang lain”.
“Apakah kau berkata sebenarnya?”. bertanya anak Ki Untara dengan keluguannya.
“Aku berkata sebenarnya”.
“Tapi serendah-rendahnya kemampuan seorang prajurit dengan pangkat Tumenggung, pasti tetap memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan”.
“Menarik sekali sikapmu anak muda. Pada umurmu yang sekarang, kau sudah mempunyai penalaran yang sangat luas serta bekal yang tinggi untuk turun ke medan yang sangat garang ini”.
“Aku hanya sekedar menirukan ucapan orang-orang tua yang pernah aku dengar”.
Dalam hati Ki Tumenggung Randuwana semakin mengagumi anak muda yang berada di hadapannya, namun ada pula sedikit rasa penyesalan karena mereka harus bertemu di medan pertempuran sebagai lawan.
“Bersiaplah! kita lanjutkan perbandingan ilmu keterampilan kita hingga ada yang menyerah, tapi kau tidak perlu mengekang dirimu lagi, keluarkan saja apa yang kau miliki”.
Umbara yang mendengar ucapan lawannya hanya menjawab dengan anggukan kepala, kemudian mereka pun segera bersiap untuk melanjutkan pertempuran yang belum lama dimulai.
Setelah pertempuran itu berkobar kembali, suatu ketika Umbara tidak dapat menghindar lagi karena mendapat serangan yang membadai, tombak Ki Tumenggung Randuwana siap menerjang kepala Umbara dengan garangnya.
Anak pertama Ki Untara itu tidak mempunyai waktu lagi untuk berpikir, tapi secara gerak naluriah pedang itu diangkatnya ke atas kepala untuk menangkis serangan tombak yang sangat berbahaya. Benturan pun tidak dapat dihindarkan lagi.
Ki Tumenggung Randuwana terkejut sekali ketika merasakan kekuatan lawannya yang masih sangat muda itu. Tangannya tergetar bahkan tombaknya hampir saja terlepas jika saja dia tidak sigap menghadapi kenyataannya yang diluar dugaannya.
Senopati pasukan sandi Wirasaba itu pun segera melompat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, lalu memperhatikan lawannya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala dengan wajah penuh keheranan.
“Apakah aku tidak salah lihat?”.
“Memangnya apa yang salah dengan diriku, Ki Tumenggung?”.
“Ternyata kemampuanmu jauh diatas dugaanku, Umbara”.
“Ki Tumenggung Randuwana terlalu memuji”.
“Aku berkata sebenarnya. Meskipun tadi masih dalam benturan tataran ilmu yang belum terlalu tinggi, namun aku sudah bisa menggambarkan sejauh mana tataran kemampuanmu, meskipun belum tentu sepenuhnya benar”.
“Bersiaplah anak muda! sekarang aku akan meningkatkan kemampuanku beberapa lapis lebih tinggi, agar dapat mengimbangi kemampuanmu”.
Kemudian mereka pun kembali bertempur dengan tataran ilmu yang semakin tinggi, apalagi Ki Tumenggung Randuwana yang menyadari kemampuan lawannya menjadi tak segan-segan lagi untuk meningkatkan ilmunya semakin tinggi jika lawannya terlihat dapat mengimbanginya.
Namun Ki Tumenggung Randuwana menjadi semakin heran dengan kemampuan lawannya yang masih sangat muda tersebut. Karena setiap dia meningkatkan kemampuannya selapis lebih tinggi, lawannya masih dapat mengimbangi meskipun terkadang agak terlambat menanggapi.
Semakin lama pertempuran di antara keduanya semakin meningkat semakin tinggi, bahkan akhirnya hingga merambah pada tataran ilmu puncak masing-masing. Dalam hati, semakin tumbuh kekaguman Ki Tumenggung Randuwana terhadap Umbara yang masih muda.
Benturan-benturan senjata pun lebih sering terjadi pada tataran ini, tombak Ki Tumenggung Randuwana seakan mempunyai mata sendiri, karena kemanapun Umbara bergerak, tombak itu selalu memburu dengan garangnya.
Umbara kemudian mencari kesempatan untuk mengambil jarak dari lawannya, tapi apa yang dilakukannya kemudian membuat lawannya keheranan dengan wajah penuh kebingungan karena tiba-tiba Umbara melemparkan pedangnya dari tangannya.
“Apa kau menyerah, Umbara?”.
“Tidak, Ki Tumenggung Randuwana”.
“Lalu apa maksudmu dengan membuang senjatamu?”.
“Aku tidak terbiasa bersenjatakan pedang”.
“Lalu apa yang akan kau lakukan? bertempur dengan tangan kosong?”. bertanya Ki Tumenggung Randuwana heran.
Namun apa yang dilakukan Umbara kemudian semakin membuat Senopati Wirasaba itu terkejut. Bagaikan disengat ribuan kalajengking, dia memperhatikan Umbara.
Sebenarnya Umbara telah mengambil sesuatu dari balik bajunya, dan benda yang dikeluarkannyalah yang membuat lawannya terkejut bukan kepalang.
“Cambuk?”. desis Ki Tumenggung Randuwana setelah lawannya mengurai senjatanya.
“Benar Ki Tumenggung Randuwana”.
“Apa hubunganmu dengan Orang Bercambuk, anak muda?”.
“Jika yang kau maksudkan dengan Orang Bercambuk adalah Swargi Kyai Gringsing, dia adalah Eyang Guruku”.
“Pantas saja dengan umurmu yang masih sangat muda, kau sudah memiliki kemampuan yang sangat tinggi, bahkan bisa dikatakan kau sudah jauh meninggalkan tataran kebanyakan pada umur sebayamu”.
“Ki Tumenggung Randuwana terlalu memuji, aku adalah anak muda yang masih bodoh dalam ngangsu kawruh kanuragan”.
“Dan sikap ini juga yang sering aku dengar dari ciri-ciri Orang Bercambuk, selain kemampuannya yang sangat tinggi, bahkan banyak orang yang berkata bahwa kemampuannya seakan-akan tak terbatas, karena saking tingginya”.
“Semua kemampuan manusia yang ada di dunia ini pasti ada batasnya, Ki Tumenggung Randuwana. Karena hanya Yang Maha Agung lah yang memiliki kemampuan yang tak terbatas”.
“Meskipun aku belum pernah mengenal Orang Bercambuk secara pribadi, namun berdasarkan keterangan yang pernah aku dengar, ciri-ciri itu sudah mulai melekat padamu sebagai generasi penerus Orang Bercambuk yang telah tiada”.
“Swargi Kyai Gringsing adalah panutan kami semua seisi Padepokan Orang Bercambuk. Meskipun aku tidak berguru secara langsung padanya, namun nilai-nilai yang dia ajarkan kepada kami terus mengalir tanpa henti, dan akan selalu kami junjung tinggi”.
“Luar biasa. Kau hanya membuatku semakin kagum saja, Umbara. Kau memang benar-benar murid Orang Bercambuk, anak muda. Semoga hari depanmu akan cerah”.
“Terima kasih Ki Tumenggung Randuwana”.
“Sebelum kita memulai lagi pertempuran, aku ingin mendengar secara langsung suara cambukmu! karena selama ini aku hanya dapat mendengar ceritanya saja”.
Tanpa menjawab, Umbara segera memutar cambuknya di atas kepala, kemudian dengan gerakan sendal pancing dia meledakkan cambuk itu seperti guntur yang meledak di udara.
Tanpa disadari, ternyata suara cambuk Umbara menarik perhatian banyak orang yang sedang bertempur dan sekitarnya. Berbagai pertanyaan tiba-tiba muncul dalam hati dengan dugaannya masing-masing.
“Apakah Agul-agulnya Mataram berada di medan ini?”. Pertanyaan hampir serupa telah menghantui hampir setiap orang yang mendengarnya, tidak hanya dari pihak Wirasaba saja yang mempunyai penalaran seperti itu, bahkan orang-orang Mataram pun banyak yang mempunyai penalaran serupa karena belum mengenal siapa Umbara.
Salah satu orang yang menjadi sangat terkejut adalah Kanjeng Sinuhun Mataram yang sedang berada pada kedudukannya di pasukan induk gelar Garuda Nglayang.
“Apakah Paman Pangeran mendengar suara itu?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma dalam keterkejutannya setelah mendengar suara cambuk itu.
“Aku mendengarnya pula?”.
“Apakah Paman Pangeran Pringgalaya melihat kedatangan Ki Agung Sedayu kemari?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma sembari sibuk mengawasi hiruk-pikuknya pertempuran pada gelar pasukan induk.
“Tidak Ngger. Sebaiknya Angger Panembahan memerintahkan seorang penghubung untuk melihat keadaan”.
“Paman benar”.
Kemudian Kanjeng Sinuhun Mataram memanggil seorang prajurit penghubung untuk melihat apa yang terjadi, dengan petunjuk suara cambuk yang baru saja terdengar.
Tidak lama kemudian prajurit penghubung yang mendapat tugas melihat keadaan telah kembali lagi, lalu melaporkan apa yang terjadi dan siapakah orang yang telah membunyikan cambuk seperti guntur di angkasa secara runtut dan jelas.
“Ternyata aku sudah mulai pikun, Paman. Bahwa sekarang murid Orang Bercambuk tidak hanya Ki Agung Sedayu”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram sembari tersenyum.
“Sepertinya kita punya penyakit yang sama, Ngger. Sama-sama sudah mulai pikun”. sahut Pangeran Pringgalaya lalu tertawa.
Sementara medan yang sudah panas menjadi semakin panas karena matahari sepertinya berjalan terlalu cepat, sebab tanpa terasa sebentar lagi siang akan berada pada puncaknya.
Tetesan peluh disertai sejengkal tanah setetes darah semakin banyak tersebar di sepanjang luasnya tanah padang perdu yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang, dan tajamnya senjata dari kedua pasukan yang sangat besar.
Sementara pada sayap gelar Mataram yang lain juga tidak kalah garangnya. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Sanggawira dengan dibantu oleh Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh dibawah pimpinan Ki Prastawa, beberapa kali mengalami tekanan yang sangat berat.
Bahkan beberapa kali pasukan itu dipaksa mundur beberapa langkah ke belakang. Sebagai seorang senopati yang sangat berpengalaman dalam segala medan, Ki Tumenggung Sanggawira dan Ki Prastawa tidak menjadi gugup dan kehilangan penalaran menghadapi keadaan tersebut.
“Pertahankan garis pertempuran kalian, dan jangan terpengaruh gerakan prajurit lawan yang berusaha mengacaukan kedudukan kalian. Bantulah kawan kita yang mendapat tekanan berat!”. teriak senopati Mataram yang berkedudukan di Ganjur tersebut memperingatkan seluruh pasukan yang berada dibawah tanggung jawabnya.
Memang tidak mudah untuk memperbaiki keadaan yang sedang tertekan hebat dalam medan, namun mereka tetap berusaha bagaimanapun sulitnya.
Dalam keadaan medan yang semakin garang, tiba-tiba ada seorang prajurit Wirasaba yang menghampiri ke tempat dimana Ki Tumenggung Sanggawira berdiri.
“Aku kira kau adalah senopati pasukan Mataram yang berada di sayap gelar ini, Ki Sanak?”.
“Ya.. kau benar. Kebetulan memang akulah yang mendapat kepercayaan dari Kanjeng Sinuhun Mataram untuk memimpin pasukan pada sayap kiri ini”.
“Kebetulan sekali kita bertemu disini. Sebaiknya kita sajalah yang bertempur daripada kita harus mengorbankan para prajurit dari pasukan kita masing-masing”.
“Aku setuju. Siapakah namamu, Ki Sanak? sepertinya kedudukan kita hampir sama”.
“Aku adalah Ki Tumenggung Adipura. Ki Sanak sendiri, siapa namamu?”.
“Aku Ki Tumenggung Sanggawira”.
Sementara tidak jauh dari tempat itu, Ki Prastawa sepertinya telah mendapat lawan pula, jika dilihat dari ciri-cirinya dia bukanlah dari kesatuan prajurit Wirasaba.
“Tandangmu seperti harimau mengamuk, Ki Sanak”. ucap Ki Prastawa menyapa lebih dulu.
“Bukankah kita sekarang berada di medan?”.
“Kau benar Ki Sanak, sekarang kita sedang berada di medan. Tapi tandangmu sangat membahayakan kawan-kawanku”.
“Bukankah apa yang aku lakukan adalah sebuah kewajaran? karena kita sedang berada di medan?”.
“Tapi apa yang kau lakukan harus segera dihentikan”.
“Kau siapa, he? berani melarangku dengan penuh kesombongan? apakah kau sudah bosan menatap matahari terbit?”.
“Aku adalah kawan orang-orang yang kau lukai, bahkan ada yang sudah kau bunuh. Kau seperti orang yang tidak berjantung”.
“Terserah apa katamu, tapi kau tak perlu banyak bicara di hadapanku. Lagipula aku muak dengan orang yang terlalu banyak bicara. Jika kau mau bertempur melawanku, kemarilah! karena di medan aku lebih senang senjataku yang berbicara daripada mulutku, karena tidak ada gunanya”.
“Baiklah, aku akan coba melawanmu”.
“Sebut namamu sebelum terlambat! agar nanti aku dapat memberitahukannya kepada keluargamu”.
“Aku Ki Prastawa dari Tanah Perdikan Menoreh”.
“Apakah kau pemimpin Tanah Perdikan Menoreh? yang bergelar Ki Gede Menoreh?”.
“Bukan. Tapi aku adalah kemenakannya, yang sekarang mendapat kepercayaan untuk memimpin kawan-kawanku. Lalu siapa namamu, Ki Sanak?”.
“Aku Kyai Maruta, pemimpin Padepokan Maruta Sungsang. Sekarang bersiaplah, aku tidak mau terlalu banyak bicara lagi dalam medan pertempuran”.
Kemudian mereka pun segera bersiap untuk memulai pertarungan di antara pertarungan lain yang sudah berkobar dimana-mana dalam segala medan.
Sementara Ki Tumenggung Randuwana yang telah mendengar suara cambuk dari Umbara merasa puas karena kini sudah hilang rasa penasarannya tentang cerita Orang Bercambuk yang sangat melegenda, baik secara kemampuannya yang sangat tinggi maupun kepribadiannya.
“Meskipun aku tahu bahwa suara cambukmu yang menggelegar bagaikan guntur yang merobohkan gunung justru masih dalam tataran ilmu yang rendah, karena pada tataran ilmu puncaknya justru cambuk itu tidak menimbulkan suara, namun aku sudah senang dapat mendengar suara cambuk itu secara langsung”.
“Ternyata Ki Tumenggung Randuwana telah banyak mengetahui tentang Swargi Kyai Gringsing”.
“Sebenarnya aku dapat mengetahui semua itu karena ketidaksengajaan. Sebab aku adalah prajurit sandi yang hampir selalu mendapat tugas untuk berkeliaran kemana saja. Tapi aku belum pernah menginjakkan kakiku di bang tengah dan sekitarnya, karena tugasku tidak pernah mengirimku hingga kesana. Maka dari itu aku tidak pernah mengenal Orang Bercambuk secara pribadi”.
“Pantas saja wawasan Ki Tumenggung Randuwana sangat luas dan memiliki penalaran yang sangat baik pula”.
Sejenak kemudian, mereka memulai lagi pertempuran yang tadi sempat terhenti. Umbara yang kini bersenjatakan cambuk terlihat lebih mapan dalam kemampuan puncaknya, yang itu memang menjadi senjata andalannya.
Kini Ki Tumenggung Randuwana lah yang harus lebih berhati-hati karena lawannya telah menggunakan senjata yang lentur dan panjang, sangat berbeda sekali dengan watak senjatanya sendiri yang kaku namun kokoh. Namun justru watak senjata lentur itulah yang kadang tidak dapat diduga pergerakannya.
Untuk melawan ilmu salah satu senopati Wirasaba yang sangat tinggi itu pun cambuk Umbara menjadi lebih sering meledak-ledak bagai guntur yang sedang mengamuk di langit.
Suara ledakan cambuk itu tidak pernah menggetarkan ketahanan jiwani lawannya, namun justru jantung para prajurit yang berada di sekitar arena pertempuran mereka lah yang merasa terguncang, apalagi bagi para prajurit yang belum mempunyai bekal kanuragan yang cukup, terutama bagi para prajurit Wirasaba.
“Sepertinya kau masih senang bermain-main anak muda?”. bertanya Ki Tumenggung Randuwana di sela-sela pertempuran.
“Mengapa Ki Tumenggung Randuwana berkata demikian?”.
“Itu terdengar dari suara cambukmu yang masih sering meledak-ledak memekakkan telinga”.
“Aku tidak mau dianggap deksura dengan meningkatkan kemampuanku, mendahului Ki Tumenggung Randuwana yang sepertinya masih menahan diri”.
“Marilah sekarang kita tingkatkan lagi kemampuan kita hingga batas kemampuan masing-masing”.
“Baiklah”.
Sementara di pasukan induk kedua gelar, akhirnya dua orang Senopati Agung masing-masing pasukan sudah dapat saling berhadapan di dalam medan yang garang.
Pasukan pengawal khusus Senopati Agung pun sengaja memberikan tempat dan kesempatan bagi mereka untuk bertemu dan menuntaskan kepentingannya dalam garangnya medan yang semakin membara.
“Selamat datang para pepunden kawula Wirasaba di tempat ini. Salam kenal dariku untuk Kanjeng Adipati Wirasaba dan Ki Patih Rangga Permana. Aku mengucapkan terima kasih atas sambutan kalian yang sangat meriah ini”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram membuka pembicaraan untuk mencairkan suasana yang sangat menegangkan.
“Aku juga mengucapkan selamat datang bagi Panembahan Hanyakrakusuma beserta seluruh pasukannya yang telah bersedia datang jauh-jauh dari Mataram ke daerah yang kecil ini, hanya untuk mengunjungi kami”. sahut Ki Rangga Permana yang menggantikan kedudukan Kanjeng Adipati Wirasaba.
Kanjeng Adipati Wirasaba yang melihat sikap kedua orang tersebut menjadi terheran-heran, padahal mereka sedang dalam tengah-tengah medan pertempuran yang sangat garang, namun mereka masih bisa saling bersikap manis sebagai musuh. Seperti tidak pernah terjadi perselisihan di antara mereka. Tapi semua itu hanya dapat dipendamnya dalam hati.
Sementara Pangeran Pringgalaya yang berada di samping kiri Panembahan Hanyakrakusuma, diam-diam memanggil seorang prajurit penghubung, lalu membisikkan sesuatu. Setelah itu prajurit penghubung tersebut segera menghilang di balik medan.
“Maafkan aku Ki Rangga Permana, aku terpaksa mengambil sikap ini karena kemarin utusan yang aku kirim kepadamu mengatakan, bahwa Wirasaba telah menolak kerjasama yang telah aku tawarkan”.
“Aku juga minta maaf, Panembahan. Aku dengan terpaksa menolak keinginanmu untuk mengajak bekerja sama, karena kerjasama yang kau tawarkan kepada Wirasaba terlalu berat untuk dilaksanakan”.
“Setelah aku melihat penolakan dari Wirasaba, makanya dengan sangat terpaksa aku mengambil sikap ini”.
“Aku terpaksa menolak kerjasama itu karena itu adalah kerjasama yang berat sebelah, terutama bagi Wirasaba. Selain itu, apakah seperti itu cara Mataram mengajak bekerjasama? mengajak bekerja sama namun dengan membawa pasukan segelar sepapan dibelakangnya?”.
“Pasukan itu hanya bertugas menjamin keamanan utusan Mataram saat menjalankan tugas dan untuk memastikan agar kerja sama dapat berjalan sesuai dengan rencana”.
“Bukankah dengan demikian, kau ingin memaksakan kehendakmu kepada Wirasaba yang harus menuruti kemauan Mataram karena tidak mengenal penolakan?”.
“Aku hanya ingin memastikan rencana Mataram berjalan sesuai rencana, itu saja”.
“Kalian aku persilahkan menduduki Wirasaba, namun jika sudah bisa melangkahi mayatku. Tapi jangan menyesal jika yang terjadi nanti justru sebaliknya”.
“Lalu apa maumu?”.
“Aku menantangmu berperang tanding”.
Namun Panembahan Hanyakrakusuma yang sudah akan membuka mulut untuk menjawabnya, ada yang mendahuluinya.
“Maaf Ki Rangga Permana, berhubung ini adalah perselisihan antara Mataram dengan Wirasaba, biar lebih adil. Jika harus ada perang tanding, maka seharusnya di antara sesama pemimpin tertinggi masing-masing wilayah”.
Kanjeng Adipati yang mendengarnya hanya bisa berdiam diri, sebab dirinya menjadi merasa semakin kecil dihadapan para orang-orang berilmu tinggi dan para raksasa dalam olah kanuragan.
Meskipun dia adalah pemimpin tertinggi di Kadipaten Wirasaba, namun dia hampir belum bisa berbuat apa-apa jika ada permasalahan yang harus diselesaikan dengan mengadu ilmu dalam tataran tinggi.
“Licik. Apakah ini sikap jantan para pepunden Mataram, he?”. berkata Ki Rangga Permana.
“Apakah aku dianggap licik jika menawarkan sebuah gagasan yang cukup adil?”.
“Aku tahu kau sengaja menggores kelemahan itu, Pangeran Pringgalaya. Sebab kau pasti sudah mengetahui kelemahan Kanjeng Adipati Wirasaba yang belum mampu disejajarkan dengan orang-orang linuwih dalam kanuragan”.
“Memang tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin, Ki Patih Rangga Permana. Sebab dirinya harus sudah siap dengan segala akibat yang mungkin akan timbul kemudian hari, baik secara lahir maupun batin. Jika dirinya sudah bersedia dinobatkan menjadi seorang pemimpin”.
“Persetan. Ternyata mulutmu lebih tajam dari welat wulung. Secara tidak langsung kau telah menjatuhkan harga diri pepunden seluruh kawula Wirasaba”.
“Aku hanya bermaksud menawarkan perang tanding yang adil, bukan bermaksud menjatuhkan harga diri siapapun”. sahut Pangeran Pringgalaya yang memang dengan sengaja ingin menggelitik harga diri lawannya.
“Kau buta dan tuli? atau hanya pura-pura buta dan tuli? Kanjeng Adipati yang sekarang masih sangat muda, jadi tidak mungkin dia akan memasuki perang tanding melawan orang salah satu di antara kalian. Jadi perang tanding itu aku yang mewakili”.
“Kanjeng Sinuhun Mataram hanya akan turun ke perang tanding untuk melayani Kanjeng Adipati Wirasaba. Jika dari pihak Wirasaba akan diwakilkan, maka Mataram pun demikian pula”.
“Licik. Orang-orang Mataram memang licik”.
“Kau dapat menuduhku berbuat licik jika aku mengeroyokmu atau bahkan njulung tungkul kepadamu. Tapi apa yang aku tawarkan kepadamu adalah sebuah penawaran yang adil dalam berperang tanding, seorang lawan seorang”.
“Baiklah, aku sepakat. Tapi dengan satu syarat”.
“Apa syaratnya?”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Aku tetap menantang berperang tanding melawan Panembahan Hanyakrakusuma setelah kita selesai berperang tanding”.
“Ya.. aku setuju”. kali ini Panembahan Hanyakrakusuma lah yang menjawab, karena sudah tidak sabar lagi untuk bertele-tele.
“Baiklah, kita sepakat. Aku harap kau adalah seorang ksatria yang menjunjung tinggi janjimu, Panembahan”.
“Silahkan pegang kata-kataku, Ki Patih Rangga Permana! semua orang yang berada disini menjadi saksi”.
“Sekarang aku persilahkan Pangeran Pringgalaya untuk maju untuk mewakili Panembahan Hanyakrakusuma, agar kita dapat segera mulai perang tanding”.
“Kita? siapa yang kau maksud dengan kita?”.
“Bukankah kau yang akan maju mewakili Panembahan Hanyakrakusuma untuk berperang tanding denganku?”.
“Bukan. Bukan aku yang akan mewakili berperang tanding melawanmu, Ki Patih Rangga Permana”.
“Lalu siapa orangnya?”.
“Ki Lurah Glagah Putih, aku persilahkan kau maju ke depan”.
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu bagai disengat ribuan kalajengking, karena saking terkejutnya dengan apa yang dikatakan Pangeran Pringgalaya, termasuk Kanjeng Sinuhun Mataram yang berdiri di sebelahnya.
“Gila.. orang Mataram benar-benar gila”. ucap Ki Patih Rangga Permana sembari mengumpat sejadi-jadinya dengan umpatan yang sangat kotor.
“Apakah kau sadari keputusanmu itu, Pangeran Pringgalaya?”. bertanya Ki Patih Rangga Permana yang masih dalam perasaan ketidak percayaannya.
“Aku sadari sepenuhnya Ki Patih Rangga Permana”.
“Gila.. ini benar-benar penghinaan bagi Wirasaba”. ucap Ki Patih Rangga Permana yang perasaannya kini bercampur aduk.
Antara perasaan tidak percaya, marah karena harga dirinya merasa dihinakan dengan perlakuan itu, tapi di sisi lain kasihan pula dengan orang yang telah diumpankan, bercampur menjadi satu.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma yang juga merasa tidak percaya dengan pamannya itu, segera mendekatinya untuk mempertanyakan keputusan itu.
"Apakah Paman Pangeran yakin dengan keputusan ini?”. bertanya Kanjeng Sinuhun Mataram dengan berbisik di dekat telinga pamannya tersebut.
“Apakah Angger Panembahan, meragukan kemampuan Ki Lurah Glagah Putih?”.
Justru kini Panembahan Hanyakrakusuma lah yang menjadi terdiam karena pertanyaan itu. Tiba-tiba segala keterangan dari berbagai sumber yang pernah didengarnya berputar-putar di kepalanya, termasuk keterangan tentang Ki Lurah Glagah Putih yang dulu pada masa mudanya adalah sahabat baik salah satu pamannya yang sangat aneh dan ngedap-ngedapi ilmunya, yaitu Pangeran Rangga. Atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Raden Rangga.
“Apakah Angger Panembahan masih meragukan kemampuannya sekarang?”. seketika pertanyaan itu membuyarkan lamunan Kanjeng Sinuhun Mataram.
“Baiklah Paman, semoga keputusan Paman ini tepat”.
“Untuk hasil akhir perang tanding itu, kita hanya bisa nenuwun kepada Yang Maha Agung, Ngger. Karena Dia-lah yang Maha mengatur segalanya atas hambaNya. Semoga saja Yang Maha Welas Asih selalu mengasihi kita.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang merasa namanya dipanggil pepundennya maju ke depan, dengan diiringi tatapan beberapa pasang mata yang berada di sekitar tempat itu.
Dengan tatapan aneh, Ki Rangga Permana memperhatikan Ki Lurah Glagah Putih yang sudah maju ke depan di antara kawan-kawannya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.
Sosok seorang prajurit yang terlihat masih cukup muda, namun tidak terlalu muda. Berjalan dengan penuh ketenangan meskipun dia menyadari sepenuhnya bahwa dia akan berperang tanding melawan Ki Rangga Permana yang memiliki ilmu yang sangat tinggi dan nggegirisi.
Tidak tampak sama sekali wajah keraguan atau bahkan ketakutan akan nasibnya yang sebentar lagi akan dipertaruhkan demi menjunjung tinggi segala perintah dari pepundennya.
Ki Rangga Permana yang semakin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya masih belum membuka suara karena masih sibuk memperhatikan orang yang bakal menjadi calon lawannya dalam berperang tanding, serta membuat penilaian yang wajar.
Sementara matahari sudah semakin jauh bergeser meninggalkan puncaknya, tapi sinarnya masih terasa begitu teriknya di sekitar medan pertempuran yang masih terlihat seimbang tersebut. Adakalanya mereka masih mampu menekan, tapi di lain waktu mereka harus bertahan dari lawan yang masih mampu mengguncang pertahanan.
“Salam hormatku Ki Patih Rangga Permana”. ucap Ki Lurah Glagah Putih menyapa calon lawannya yang masih terlihat tidak habis pikir dengan pemikiran orang Mataram.
“Apakah kau yakin untuk berperang tanding melawan aku Ki Sanak? Apakah kau tidak merasa akan membunuh diri hanya karena untuk mematuhi tugas dari pepundenmu? sebenarnya aku justru merasa kasihan dengan nasibmu”.
“Aku akan selalu menjunjung tinggi segala perintah dari pepundenku, Ki Patih Rangga Permana. Untuk segala urusan hidup dan mati aku pasrahkan kepada Yang Maha Agung”.
“Kau masih cukup muda, Ki Sanak. Hari depanmu masih panjang, bahkan mungkin bisa lebih cerah jika kau urungkan niatmu untuk melawan aku”.
“Umur itu bukan kita yang dapat menentukan, Ki Patih Rangga Permana. Meskipun kita sudah diambang kematian sekalipun, namun jika Yang Maha Welas Asih masih memberikan kita umur panjang, maka tidak mustahil kita akan selamat dari kematian itu entah bagaimanapun caranya”.
“Baiklah kalau begitu keputusanmu. Yang jelas aku sudah memperingatkanmu, jadi jangan salahkan aku jika nanti kau dapat mengalami nasib yang paling buruk sekalipun”.
“Terima kasih atas peringatan, Ki Patih Rangga Permana”.
“Bukankah tadi Pangeran Pringgalaya sempat menyebut namamu dengan nama, Ki Lurah Glagah Putih?”.
“Demikianlah namaku”.
“Gila benar-benar keputusan gila dari orang Mataram. Aku hanya disejajarkan dengan seorang lurah prajurit. Seberapapun tinggi tataran ilmunya, secara penalaran wajar dia tetap masih berada di bawah seorang Tumenggung”. membatin Ki Rangga Permana yang masih tidak habis pikir dengan keputusan orang Mataram.
Dalam kediamannya Ki Patih Rangga Permana menarik nafas dalam beberapa kali untuk dapat mengurangi kepepatan jantungnya yang seakan-akan mau meledak karena menyadari kenyataan yang ada di hadapannya.
“Panembahan, aku pegang janjimu tadi. Setelah aku menyelesaikan prajuritmu ini, kau harus melayani aku dalam berperang tanding. Apakah sekarang kau akan menarik kata-katamu sebagai seorang pengecut, setelah tahu siapa yang telah diumpankan kepadaku sekarang?”.
“Aku adalah seorang ksatria, tidak sepantasnya aku menarik kata-kataku kembali, jadi aku tidak akan ingkar dengan janji yang sudah aku ucapkan sendiri, apapun akibatnya kemudian”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma dengan tegas.
“Bagus. Aku hargai sikapmu”.
“Sekarang aku persilahkan lebih dahulu waktu dan tempat untuk kau berperang tanding dengan prajurit kepercayaanku”. sahut sahut Kanjeng Sinuhun Mataram.
“Aku rasa aku dapat menyelesaikan prajuritmu ini dalam waktu yang tidak pernah kau duga sebelumnya”.
“Terserah kau saja, aku akan setia menunggumu disini”.
“Baiklah”.
Kemudian Senopati Pengapit dan para prajurit Pengawal Khusus Senopati Agung kedua belah pihak segera memberikan tempat dan waktunya di arena tersebut dengan menyibak medan agar perang tanding itu lebih leluasa.
Kanjeng Adipati Wirasaba yang sedari tadi hanya berdiam diri, jantungnya merasa menjadi semakin berdebar-debar menyadari apa yang akan terjadi.
“Setelah Paman Rangga Permana menyelesaikan lawannya, dia sudah ditunggu Panembahan Hanyakrakusuma sebagai lawan berikutnya. Yang tentu saja mempunyai tataran kemampuan yang sangat tinggi, meskipun aku belum pernah melihatnya. Semoga saja Paman dapat menyelesaikan keduanya”. membatin Kanjeng Adipati Wirasaba yang berkesempatan dapat ikut menyaksikan perang tanding tersebut.
Sementara Ki Patih Rangga Permana mulai memasuki arena perang tanding melawan Ki Lurah Glagah Putih yang disaksikan oleh beberapa pasang mata yang berada di sekitarnya. Tapi kini mereka berdiri agak menjauh untuk memberikan tempat yang lebih leluasa bagi keduanya.
“Semoga aku tidak mengecewakan, Ki Patih Rangga Permana”. ucap Ki Lurah Glagah Putih ketika mereka sudah berdiri saling berhadapan untuk memulai perang tanding.
“Meskipun kau tidak lebih dari sekedar seorang lurah prajurit, namun aku percaya bahwa kau tentu memiliki kelebihan dari lurah prajurit kebanyakan betapapun kecilnya. Sehingga kau lah yang diumpankan kepadaku untuk melayaniku dalam berperang tanding menggantikan Panembahan Hanyakrakusuma”.
“Aku hanyalah seorang lurah prajurit seperti lurah prajurit kebanyakan, Ki Patih Rangga Permana. Tidak ada kelebihan apapun dalam diriku. Mungkin hanya kebetulan saja aku mendapat kepercayaan tersebut”.
“Kau tidak perlu membuat penilaian pada dirimu sendiri. Karena kita akan membuktikannya dalam arena perang tanding. Sehingga kita dapat membuat penilaian yang sebenarnya”.
“Baiklah Ki Patih Rangga Permana, kita akan sama-sama membuat penilaian sesuai dengan apa yang nanti terjadi. Bukan sekedar penilaian yang menyesatkan”.
“Apakah kau sudah siap, Ki Lurah Glagah Putih?”.
“Sudah, Ki Patih Rangga Permana”.
Kemudian dua orang yang berilmu sangat tinggi itu segera mempersiapkan diri untuk memulai perang tanding yang kemungkinan akan sangat mendebarkan bagi orang-orang yang menyaksikan di luar arena.
Ki Patih Rangga Permana yang belum pernah mengetahui tataran ilmu lawannya lebih bersikap hati-hati. Meskipun lawannya tidak lebih dari seorang lurah prajurit, namun dari sikap dan ketenangannya memasuki perang tanding, mencerminkan seorang yang mempunyai bekal kanuragan tidak dapat dipandang sebelah mata oleh lawannya.
Perang tanding diawali Ki Rangga Permana mengambil kesempatan pertama kali untuk dapat menyerang lawannya dengan tataran ilmunya yang masih rendah, tapi bukan tataran terendah.
Ternyata lawan Ki Lurah Glagah Putih masih penasaran, masih ingin menjajaki kemampuannya, dengan tidak tergesa-gesa meningkatkan kemampuannya lebih tinggi.
Serangan pertama Ki Patih Rangga Permana dengan tangan kanannya ditepis kesamping oleh ayah Arya Nakula yang menyadari bahwa lawannya masih ingin melakukan penjajakan terhadap kemampuannya yang sebelumnya belum pernah saling mengetahui.
Meskipun serangan tersebut masih dalam tataran kemampuan yang rendah dari kemampuannya, namun Ki Lurah Glagah Putih tidak menjadi tersinggung karenanya.
Anak Ki Widura tersebut berusaha mengendapkan segala harga dirinya agar tidak tergelitik perasaannya dengan apa yang dilakukan lawan pada awal pertempuran.
Ki Rangga Permana yang memang masih menyerang lawan dengan kemampuannya secara kewadagan tidak menjadi terkejut dengan lawan yang masih mampu menepis dan menghindari setiap serangannya yang mulai sengit.
Pertempuran itu dengan perlahan-lahan mulai meningkat, Ki Rangga Permana yang menyadari jika lawannya hanya sekedar melayani saja segera meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis lebih tinggi agar dapat menekan lawannya.
Tapi Ki Lurah Glagah Putih adalah orang yang memiliki kemampuan tinggi tidak menjadi terkejut saat menyadari lawannya semakin meningkatkan kemampuannya.
Sembari meningkatkan kemampuannya, Ki Lurah Glagah Putih tidak lupa meningkatkan kemampuan daya tahan tubuhnya pula agar nanti jika terjadi benturan, tubuhnya masih mampu mengatasi goncangan yang akan ditimbulkan.
Setiap serangan Ki Rangga Permana semakin lama menjadi semakin cepat, kokoh, dan berbahaya. Dari sambaran tangan dan kakinya bisa menjadi petaka bagi lawannya jika sampai terkena serangan tersebut.
Ayah Arya Nakula semakin sering mendapatkan serangan seperti badai yang tidak ada habisnya, namun pertahanannya masih sangat kokoh dan masih sulit untuk ditembus. Meskipun dirinya ditekan terus menerus, namun keadaannya masih belum membahayakan jiwanya karena kemampuannya yang tinggi.
Orang-orang yang melihat perang tanding itu menjadi semakin tegang dan berdebar debar. Namun bagi pihak Wirasaba, mereka sangat yakin kepada wakil Kanjeng Adipati tersebut akan dapat menyelesaikan lawannya cepat atau lambat.
Justru orang-orang Mataram lah yang sekarang dicengkam kegelisahan dan ketegangan menyaksikan perang tanding tersebut. Bahkan di antara mereka beberapa kali harus menahan nafas ketika melihat Ki Lurah Glagah Putih yang lebih sering mendapatkan tekanan dari lawannya.
Sementara di arena yang lain, tepatnya pada arena pertempuran antara Umbara melawan Ki Tumenggung Randuwana juga sudah semakin menegangkan karena sudah memasuki tataran ilmu yang semakin tinggi dalam puncak ilmu masing-masing serta dengan senjata di tangan.
Dari tubuh salah satu senopati Wirasaba tersebut juga sudah mulai terlihat goresan luka di beberapa tempat seperti di lengan kiri dan lambung kanannya yang terlihat agak parah, sehingga mulai menitikkan darah segar, di atas padang perdu yang menjadi saksi bisu pertempuran mereka.
Ternyata Ki Tumenggung Randuwana harus membayar mahal kelengahannya dengan luka-luka yang kini bersarang di tubuhnya ketika cambuk Umbara mampu menembus pertahanannya.
Kini suara cambuk Umbara tidak terdengar lagi meledak-ledak seperti beberapa saat yang lalu, namun justru ini membuat lawannya harus semakin berhati-hati.
Salah satu senopati kebanggaan Wirasaba tersebut tiba-tiba berusaha mengambil jarak dari lawannya, ketika semakin lama tubuhnya dirasa kurang mapan karena luka-luka akibat terkena sambaran ujung cambuk yang berkarah baja dari pemuda yang sangat luar biasa baginya.
“Semakin lama kau semakin membuatku kagum saja, anak muda. Dengan umurmu yang sekarang, kau sudah memiliki tataran kemampuan yang sangat tinggi, bahkan kau sudah menguasai ilmu kebal, meskipun masih belum sempurna. Tapi itu sudah membuatku lebih sulit untuk melukaimu”.
“Terima kasih atas pujian Ki Tumenggung Randuwana. Semoga saja pujian itu tidak membuatku menjadi lupa daratan”.
“Jika aku terus melanjutkan pertarungan ini dalam waktu yang lebih lama lagi, justru akan membuatku mengalami kesulitan karena aku bisa kehabisan darah”. membatin Ki Tumenggung Randuwana membuat pertimbangan.
Memang jika pertempuran itu semakin lama berlangsung maka akan dapat berakibat sangat buruk terhadap dirinya yang tidak henti-hentinya menitikkan darah.
Umbara yang sudah berbekal ilmu kebal bukan berarti tubuhnya tanpa luka, namun luka itu belum sampai menitikkan darah setelah terkena sambaran tombak lawan, karena mendapat bantuan perlindungan dari ilmu kebal meskipun belum sempurna, yang telah dikuasainya sewaktu ngangsu kawruh kanuragan di Padepokan Orang Bercambuk.
“Umbara. Sepertinya sudah waktunya kita segera mengakhiri pertempuran ini”.
“Apakah Ki Tumenggung Randuwana, akan menyerah?”.
“Tidak. Tapi kita menyelesaikan pertempuran ini dengan mengadu ilmu puncak masing-masing, dan aku yakin kau juga pasti memilikinya”.
“Tapi keadaan Ki Tumenggung Randuwana tidak memungkinkan untuk mengetrapkan ilmu pamungkas. Akan sangat berbahaya sekali jika kau memaksakan diri dengan luka-luka di tubuhmu yang sudah mengeluarkan darah”. ucap Umbara yang berusaha memperingatkan lawannya.
“Aku semakin kagum padamu, Umbara. Pada saat-saat gawat seperti ini kau justru masih memperingatkan lawanmu tentang kemungkinan yang dapat terjadi”.
“Aku hanya berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi, sejauh pengetahuanku”.
“Tapi aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk kemungkinan yang paling buruk sekalipun, yaitu gugur di medan peperangan ini. Apalagi aku akan merasa bangga jika harus gugur di tanganmu. Gugur di tangan anak muda yang luar biasa, baik secara ilmunya maupun kepribadiannya”.
“Bukankah kita masih dapat mencegah kemungkinan paling buruk itu, Ki Tumenggung Randuwana?”.
“Tapi aku tidak dapat ingkar pada janji dan pegangan hidupku. Aku tidak mau menghianati pepundenku dengan menyerah kepada lawan, apapun alasannya”.
“Baiklah, aku akan mencoba mengerti alasanmu”.
“Bersiaplah Umbara! aku akan mengetrap ilmu pamungkasku, yang pernah aku pelajari dari guruku”.
Umbara yang mendengar peringatan itu hanya mengangguk kecil, dirinya tidak mau lengah sedikitpun. Lalu bersiap pula untuk melawan ilmu pamungkas lawan yang pasti sangat nggegirisi.
Ki Tumenggung Randuwana kemudian segera memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu pamungkasnya yang sangat jarang sekali dikeluarkannya.
Umbara yang tidak mau ketinggalan pun segera memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu pamungkasnya yang dipelajarinya dari Padepokan Orang Bercambuk. Tapi untuk mengurangi akibat yang ditimbulkan pada saat nanti terjadi benturan pada ilmu puncak masing-masing, tidak lupa Umbara mengetrapkan ilmu kebalnya, meskipun masih belum sempurna.
Dengan merendahkan kedua kakinya dengan posisi renggang dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada serta memejamkan matanya. Ki Tumenggung Randuwana memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu pamungkasnya.
Senopati dari prajurit sandi Wirasaba tersebut sebenarnya menyadari kesulitan yang dialaminya karena luka-luka yang bersarang di tubuhnya pada saat mengungkapkan ilmu puncaknya, namun dirinya sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi kepada Yang Maha Agung.
“Jika akan terjadi maka terjadilah”. berkata Ki Tumenggung Randuwana dalam hati dengan penuh kepasrahan.
Sementara Umbara memutar cambuk di atas kepalanya dalam mengungkapkan ilmu puncaknya yang bersumber dari Perguruan Windhujati. Sebuah perguruan yang pernah menggemparkan pada masa kejayaan Majapahit.
Setelah Ki Tumenggung Randuwana memusatkan nalar budinya, lalu membuka matanya. Segeralah dia bersiap untuk melepaskan ilmu pamungkasnya dari jarak jauh yang sangat nggegirisi.
Ternyata pada saat-saat terakhir Ki Tumenggung Randuwana sempat menyadari akibat dari luka-luka di tubuhnya pada saat mengungkapkan tenaga cadangan hingga ke puncak ilmunya. Darah mulai mengalir lebih deras dari bekas-bekas luka seperti air yang diperas dalam kain basah.
Namun tekadnya yang sudah bulat tidak mampu menghentikan niatnya untuk meneruskan niatnya untuk membenturkan ilmu pamungkasnya dengan Umbara, meskipun kelemahan pada tubuhnya membuat keadaan menjadi semakin memburuk.
Seleret sinar berwarna hijau keputihan meluncur deras seperti kecepatan kilat di angkasa berasal dari kedua tangan Ki Tumenggung Randuwana siap menerjang anak Ki Untara dengan sangat garangnya.
Bersamaan dengan itu, Umbara pun melepaskan ilmu pamungkasnya yang keluar dari ujung cambuknya dengan kecepatan seperti tatit yang menerjang sasarannya.
Akibat dari benturan ilmu yang sangat tinggi itu pun menjadi sangat dahsyat sekali. Udara di tempat tersebut seakan tiba-tiba meledak dengan kerasnya, debu-debu dan dedaunan kering berhamburan karena seakan diterbangkan oleh kekuatan yang luar biasa ke segala penjuru.
Sementara Umbara yang telah melepaskan ilmu puncaknya menjadi terlempar beberapa langkah ke belakang akibat terkena pantulan kembali ilmu pamungkas yang telah dilepaskannya. Anak pertama Ki Untara itu pun sempat terguling beberapa kali sebelum akhirnya terdiam dalam keadaan telungkup di atas tanah padang perdu disertai debu dan daun-daun kering yang seakan-akan jatuh dari langit.
Seketika para prajurit yang berada di sekitarnya berlarian menghampirinya. Lalu dengan perlahan-lahan Umbara dibalikkan tubuhnya agar segera mendapat perawatan pertama.
Wajah prajurit yang membalikkan tubuh Umbara itu nampak gelisah sekali melihat keadaan anak muda yang tidak sadarkan diri tersebut setelah terjadi benturan ilmu yang sangat dahsyat dengan salah satu senopati Wirasaba.
Diperiksanya seluruh tubuh tersebut dengan penuh kehati-hatian dari urat nadinya, hembusan nafasnya, dan yang terakhir detak jantungnya. Ternyata masih ada tanda-tanda kehidupan pada anak muda itu meski betapapun lemahnya.
“Tolong panggilkan Tabib! cepat!”. seru prajurit itu dengan penuh ketegangan dan kegelisahan di wajahnya.
Untuk sementara prajurit itu pun segera memberikan pertolongan pertama untuk menyelamatkan nyawa anak muda yang belum lama menjadi prajurit Mataram tersebut.
Dengan menekan beberapa titik nadi dan simpul syaraf untuk menghentikan aliran darah sementara untuk menjaga jantungnya agar tidak terjadi goncangan yang dapat membahayakan, karena sudah terdengar berdetak sangat lemah sekali, sembari menunggu pertolongan yang lebih baik dari Tabib yang jauh lebih mengerti tentang bagaimana cara merawat dan mengobatinya.
Sejenak kemudian seorang Tabib telah datang ke tempat itu dengan tergopoh-gopoh setelah sebelumnya harus menyibak hiruk-pikuknya medan lebih dulu bersama dengan dua orang prajurit yang mengawal.
“Baru saja aku terpaksa menghentikan aliran darahnya untuk sementara, sebelum mendapatkan pertolongan yang lebih baik lagi, Kyai. Karena aku lihat detak jantungnya sudah sangat lemah sekali”. berkata prajurit yang tadi sempat merawat Umbara.
“Apa yang kau lakukan sudah tepat sekali Ki Rangga Sabungsari, memang seharusnya demikian. Kalau sudah begitu, aku minta tolong untuk mengangkat tubuh Umbara ini ke belakang garis pertempuran agar aku dapat merawatnya dengan lebih baik”.
Kemudian dua orang prajurit membawa tubuh Umbara yang tidak sadarkan diri itu ke belakang garis pertempuran dengan pengawalan beberapa prajurit Mataram.
“Apakah kau sudah selesai dengan urusanmu, Ki Rangga Sabungsari?”. teriak Ki Cangkring Giri yang marah karena merasa ditinggalkan begitu saja oleh lawannya pada saat mereka masih bertempur, ketika Umbara terlempar beberapa langkah setelah terjadi benturan ilmu puncak dengan lawannya.
“Aku sudah selesai, Ki Cangkring Giri”. sahut Ki Rangga Sabungsari sembari menghampiri lawannya yang sepertinya sudah tidak sabar ingin segera menyelesaikan pertempuran.
“Kau jangan merasa menjadi orang yang paling penting, sehingga aku harus menunggumu”.
Sementara Ki Tumenggung Randuwana terlempar pula dua langkah ke belakang, setelah terjadi benturan ilmu puncak dengan Umbara. Namun keadaan yang lemah pada saat-saat terakhir akan terjadi benturan karena luka-luka yang ada di tubuhnya menjadi bagian yang sangat menentukan.
Jika saja benturan ilmu puncak dari keduanya dalam keadaan Ki Tumenggung Randuwana tidak terluka sebelumnya, tentu hasilnya akan berbeda. Karena sebenarnya tataran ilmu Senopati Prajurit Sandi Wirasaba tersebut memiliki tataran yang selapis lebih tinggi daripada anak pertama Ki Untara.
Namun karena luka-luka pada tubuhnya yang sudah mengeluarkan darah, membuat Ki Tumenggung Randuwana tidak dapat mencapai tataran ilmunya yang sebenarnya. Beruntunglah Umbara tidak menjadi lumat karenanya, meskipun sekarang belum jelas pula keselamatannya, karena dirinya terluka dalam yang parah hingga tidak sadarkan diri. Namun itu masih lebih baik.
Keadaannya yang menjadi lemah karena memaksakan diri untuk mengungkapkan tenaga cadangannya hingga ke puncak untuk mengetrapkan ilmu pamungkasnya, Ki Tumenggung Randuwana tidak sempat menggeliat setelah terlempar ke belakang.
Terlempar dan kemudian terjatuh dalam keadaan yang sudah sangat lemah, sehingga pada saat tubuh Ki Tumenggung Randuwana membentur tanah dengan posisi terlentang menjadi saat yang paling menentukan bagi hidupnya.
Benturan kepala bagian belakang pada tanah yang keras dan berdebu menjadi bagian tambahan yang sangat membantu menentukan. Maka ketika beberapa kawannya dengan sigap berlari untuk menghampirinya setelah terlempar, dirinya sudah meregang nyawa dalam keadaan tersenyum.
Setelah salah satu seorang kawannya memeriksa dan memastikan keadaannya, sejenak kemudian tubuh itu dibawa ke belakang garis pertempuran oleh beberapa prajurit Wirasaba.
Namun kali ini tidak ada prajurit Mataram yang meneriaki gugurnya Ki Tumenggung Randuwana, karena yang menjadi lawannya dalam pertempuran, yaitu Umbara sebagai prajurit Mataram terluka parah pula hingga tidak sadarkan diri.
Berita itu segera menyebar ke seluruh medan, bahkan seorang penghubung dari kesatuan masing-masing segera melaporkan kejadian tersebut kepada senopati mereka, terutama kepada Senopati Agung.
Sementara di arena perang tanding antara Ki Patih Rangga Permana dengan Ki Lurah Glagah Putih pun harus terhenti sejenak karena adanya laporan tersebut.
Ki Patih Rangga Permana yang melihat isyarat dari seorang prajurit penghubungnya segera tanggap, kemudian mengambil jarak untuk memberikan kesempatan prajurit tersebut menyampaikan laporannya tanpa terganggu.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang tanggap keadaan, dengan sengaja membiarkan lawannya mengambil jarak untuk memberikan kesempatan.
“Ampun Ki Patih, Ki Tumenggung Randuwana telah gugur”. ucap prajurit penghubung dengan wajah ketakutan.
“Apa? Ki Tumenggung Randuwana gugur? siapa yang telah membunuhnya?”. seru Ki Patih Rangga Permana yang seperti disambar petir di siang bolong karena saking terkejutnya.
“Seorang prajurit Mataram yang masih sangat muda bersenjata sebuah cambuk, bernama Umbara”.
Paman Kanjeng Adipati Wirasaba tersebut menjadi semakin terkejut dengan apa yang didengarnya.
“He.. ? gila ini benar-benar gila. Ki Tumenggung Randuwana telah dibunuh oleh prajurit yang masih sangat muda, katamu?”.
“Benar sekali, Ki Patih Rangga Permana”.
“Setan Alas, Genderuwo, tetekan”. Ki Patih Rangga Permana hanya bisa mengumpat sejadi-jadinya dengan umpatan yang sangat kotor untuk meluapkan kemarahannya.
“Namun prajurit muda yang telah membunuh Ki Tumenggung Randuwana juga terluka parah, bahkan hingga tidak sadarkan diri”. lanjut prajurit penghubung menjelaskan.
Kali ini Ki Lurah Glagah Putihlah yang menjadi terkejut karena berita tersebut. Dalam kegelisahan dan kebimbangannya, dia mulai mendekati Panembahan Hanyakrakusuma untuk memastikan.
“Apa yang dilaporkan prajurit penghubung Wirasaba itu benar adanya, Ki Lurah Glagah Putih”.
“Ampun Panembahan, apakah hamba diizinkan barang sebentar untuk menengok keadaan Umbara?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih dengan penuh kegelisahan.
“Aku tidak bisa menjawabnya, karena yang berhak menjawabnya adalah lawan perang tandingmu. Karena sekarang dialah yang paling berkepentingan denganmu, Ki Lurah Glagah Putih”.
Dengan wajah keraguan ayah Arya Nakula membalikkan badannya menghadap lawan perang tandingnya.
“Maaf Ki Patih Rangga Permana, apakah aku diperbolehkan meminta waktu sebentar untuk menunda perang tanding ini?”.
“He.. ?”. belum selesai rasa keterkejutannya, Ki Patih Rangga Permana menjadi semakin terkejut.
“Apakah kau menjadi ketakutan?”.
“Lawan perang tandingmu minta izin barang sebentar untuk menengok kemenakannya yang sedang terluka parah”. kali ini Pangeran Pringgalaya lah yang membantu menjawab.
Ki Patih Rangga Permana tidak segera menjawab karena masih menahan keterkejutannya dan kemarahannya.
“Ketahuilah, Ki Patih Rangga Permana. Bahwa yang telah membunuh prajuritmu yang kalau aku tidak salah, namanya Ki Tumenggung Randuwana adalah kemenakannya lawanmu berperang tanding”.
“He.. ? gila ini benar-benar gila”.
Dengan perasaan yang semakin bercampur aduk, justru membuat Ki Patih Rangga Permana tersebut menjadi semakin terdiam dengan wajah merah padam penuh ketegangan.
Ki Lurah Glagah Putih menjadi semakin gelisah setelah melihat lawannya yang hanya terdiam. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya selain hanya bisa menunggu, karena dirinya masih terikat dengan perang tanding.
“Baiklah, Ki Lurah Glagah Putih. Aku tunggu kau disini. Tapi aku tidak bisa menunggumu terlalu lama”. berkata Ki Patih Rangga Permana pada akhirnya.
“Terima kasih”. sahut ayah Arya Nakula yang kemudian dengan tergesa-gesa segera bergegas meninggalkan arena perang tanding untuk menemui kemenakannya yang entah bagaimana nasibnya.
Sementara di arena pertempuran Ki Rangga Sabungsari dengan Ki Cangkring Giri sudah mencapai pada saat-saat yang mendebarkan, sebab keduanya sudah merambah kemampuan mereka hingga ke puncak.
Meskipun sebelumnya mereka belum pernah berjanji, namun sepertinya keduanya telah sepakat untuk segera mengakhiri pertempuran.
Apalagi bagi Ki Rangga Sabungsari yang telah digelisahkan akan keadaan Umbara yang sekarang entah bagaimana nasibnya setelah terluka dalam yang cukup parah. Umbara memang tidak ada hubungan darah dengannya, namun seperti mempunyai ikatan batin yang kuat karena sudah saling mengenal sejak lama, bahkan sejak anak muda itu masih kanak-kanak.
Ki Cangkring Giri segera mempersiapkan diri dengan merendahkan tubuhnya, lalu sedikit memutar memiringkan tubuhnya dengan tangan kiri ditarik ke belakang, sedangkan tangan kanannya ditempelkan di depan dada guna memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan tenaga cadangan hingga ke puncak guna mengetrapkan ilmu pamungkasnya.
Sementara Ki Rangga Sabungsari yang tidak mau kehilangan waktu sekejap pun segera memusatkan nalar budinya pula untuk mengungkapkan tenaga cadangannya hingga ke puncak untuk dapat melepaskan ilmu pamungkasnya.
Menantu dari Ki Rangga Wibawa yang sekarang sudah purna tugas karena umurnya tersebut menatap tajam ke arah lawannya yang akan menjadi sasaran.
Dalam waktu yang hampir bersamaan keduanya melepaskan ilmu pamungkas masing-masing. Dan akibatnya sangat dahsyat sekali bagi keduanya maupun tempat sekitarnya.
Terdengar ledakan yang sangat keras, seperti suara guntur di langit yang sedang mengamuk. Seketika tempat itu seperti diguncang oleh kekuatan raksasa, Bahkan tanah tempat benturan terjadi menjadi seperti bekas dibajak dengan tidak beraturan.
Ki Cangkring Giri terlempar beberapa langkah ke belakang akibat pantulan ilmu yang telah dilepaskannya, lalu terguling di atas tanah sebelum akhirnya terdiam.
Orang-orang Wirasaba segera berlari menghampiri untuk melihat keadaannya. Setelah salah satu orang memeriksanya, ternyata pemimpin Padepokan Cangkringan tersebut masih masih sadarkan diri, namun keadaannya sangat lemah. Bahkan untuk mengangkat kepalanya saja dia merasa berat.
Segera saja tubuh itu diangkat beberapa orang, untuk dibawa ke belakang garis pertempuran oleh kawan-kawannya agar segera mendapat perawatan yang lebih baik.
Sementara Ki Rangga Sabungsari terlempar pula beberapa langkah ke belakang akibat ilmunya yang memantul kembali ke arah sumbernya setelah terjadi benturan.
Tubuhnya terjatuh dalam keadaan terlentang, namun kepalanya tidak terbentur langsung ke tanah yang keras karena pada saat akan membentur tanah, tubuhnya bagian atas sedikit terangkat sebab penalaran pada dirinya masih utuh.
Kawan-kawannya yang berada di sekitarnya pun segera berlari menghampiri untuk melihat apa yang terjadi dengan orang yang menjadi pengganti sementara Ki Tumenggung Prayabuana dengan penuh ketegangan dan jantung yang berdebar-debar.
Ki Rangga terlihat masih sadarkan diri meski dengan keadaan yang sangat lemah, namun tidak selemah Ki Cangkring Giri yang menjadi lawannya.
“Tolong ambilkan obat di pinggang kiriku, dua butir”. berkata Ki Rangga Sabungsari dengan suara lemah.
Prajurit yang berada di sebelahnya pun segera melakukan permintaan itu, lalu membantu memasukkan dua butir obat yang berwarna coklat kehitaman itu ke dalam mulut.
Ternyata obat itu mudah sekali mencair ketika sudah masuk ke mulut dan terkena air liur, sehingga tidak memerlukan bantuan air untuk dapat menelannya.
“Tolong bantu aku duduk”. berkata Ki Rangga Sabungsari masih dengan suara lemah. Lalu lanjutnya, “aku akan mencoba memperbaiki keadaanku sendiri.
Setelah mampu duduk dengan bantuan kawannya, Ki Rangga Sabungsari segera memperbaiki keadaannya dengan memusatkan nalar budinya dengan dikawani beberapa orang prajurit yang dengan setia menjaga keamanan dari segala kemungkinan gangguan musuh apapun bentuknya hingga selesai.
Setelah beberapa saat akhirnya Ki Rangga Sabungsari pun selesai memperbaiki keadaannya yang tadi sempat terguncang. Meskipun tubuhnya masih lemah, namun sekarang sudah tidak membahayakan kesehatannya.
Ternyata keadaan Ki Rangga Sabungsari masih sedemikian lemahnya, untuk berdiri saja harus mendapatkan bantuan dari orang lain. Akhirnya dirinya harus menerima kenyataan bahwa harus meninggalkan medan menuju belakang garis pertempuran agar mendapat perawatan yang lebih baik dengan dipapah dari sebelah kanan dan kiri.
“Ki Cangkring Giri gugur, Ki Cangkring Giri gugur”. teriak salah satu prajurit Mataram yang kemudian disambut kawannya yang lain sehingga teriakan itu semakin keras terdengar hampir di seantero medan yang masih berkecamuk.
Kali ini para prajurit Wirasaba tidak dapat membalas teriakan tersebut. Mereka hanya tertunduk lesu karena orang-orang linuwih dan pilih tanding yang berpihak kepada Wirasaba satu persatu telah gugur di medan yang semakin garang.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih telah kembali lagi ke arena perang tanding yang tadi sempat ditinggalkannya karena saking gelisahnya mendengar kemenakannya terluka parah.
Ki Patih Rangga Permana yang menunggu lawannya, sudah semakin tidak dapat menahan diri, seakan jantungnya akan meledak jika perasaannya tidak segera tersalurkan karena laporan demi laporan tentang orang kepercayaannya melalui prajurit penghubung, mulai gugur satu per satu.
Belum lagi mereka akan memulai kembali perang tanding, seorang prajurit penghubung Wirasaba datang kembali ingin menghadap.
“Ada apa lagi?”. bertanya Ki Patih Rangga Permana dengan wajah penuh ketegangan, karena menahan perasaannya.
“Ampun, Ki Patih. Ki Cangkring Giri telah gugur?”.
“Siapa yang telah membunuhnya?”.
“Seorang prajurit Mataram yang berpangkat rangga, bernama Ki Rangga Sabungsari. Dalam sebuah perang tanding”.
Saking campur aduknya perasaan Ki Patih Rangga Permana yang menahan gejolak jantungnya agar tidak benar-benar meledak karenanya, hingga kebingungan harus berkata apa untuk menanggapi laporan.
“Apakah kau sudah siap Ki Lurah Glagah Putih?”. bertanya Ki Patih Rangga Permana dengan gigi gemeretak dan tatapan mata tajam sangat tajam.
“Sudah Ki Patih”.
“Keluarkanlah senjatamu! agar aku nanti tidak disebut licik jika nanti terjadi sesuatu kepadamu, karena aku juga akan mulai menggunakan senjataku”.
Ki Lurah Glagah Putih yang melihat wajah lawannya masih terlihat merah padam dan senjata trisula panjang. tidak mau bermain-main lagi. Karena lawannya pasti berniat ingin segera menyelesaikannya, setelah mendengar berbagai laporan yang terjadi di medan.
Segeralah dicabut senjata andalannya yang diwarisi dari orang yang sangat dihormatinya selama ini. yaitu senjata khusus berupa ikat pinggang dengan timang besi.
Pada awalnya Ki Patih Rangga Permana sempat heran dengan senjata lawannya, namun sebagai seorang yang berilmu tinggi dan berwawasan luas, dirinya menjadi tanggap dengan senjata lawan yang merupakan senjata aneh.
“Berhati-hatilah, Ki Lurah Glagah Putih. Aku sudah tidak akan menahan diri lagi”. ucap paman Kanjeng Adipati Wirasaba memberi peringatan kepada lawannya.
“Baiklah, Ki Patih Rangga Permana. Aku akan mencoba melayanimu dengan segenap kemampuanku”.
Dengan menjinjing trisula panjangnya, Patih Wirasaba tersebut menatap tajam ke arah lawan.
“Dengan kenyataan bahwa kemenakanmu dapat membunuh salah satu prajuritku dengan pangkat tumenggung, kini aku dapat memperkirakan kemampuanmu pasti sudah di atasnya, meskipun pada awalnya aku sempat memandangmu sebelah mata”.
“Tapi aku tidak pernah merasa demikian”.
“Aku tidak ingin berdebat, siapkan saja lahir dan batinmu untuk menghadapi perang tanding ini. Semoga saja kau tidak sekedar diumpankan kepadaku dan hanya sekedar dijadikan tumbal oleh pepundenmu, Panembahan Hanyakrakusuma”.
“Aku selalu memasrahkan segala hidup matiku kepada Yang Maha Agung. Apapun yang akan terjadi nanti, biarlah Yang Maha Welas Asih yang mengatur segalanya. Karena sebaik-baiknya rencana manusia, tetaplah masih lebih baik rencana dari Yang Maha Agung, Ki Patih Rangga Permana”.
Meskipun masih dalam keadaan penuh gejolak di dalam dadanya, sempat tergetar pula jantung Ki Patih Rangga Permana mendengar ucapan lawan, yang ternyata sudah pupus kawruh lahir dan batinnya meskipun pada umurnya yang masih cukup muda.
Kemudian dua orang yang berilmu sangat tinggi dengan kedudukan yang jauh berbeda secara kasta kepangkatan itu segera bersiap kembali untuk memulai perang tanding yang tadi sempat tertunda beberapa saat.
Namun sebelum mereka benar-benar mulai, dari kejauhan sudah terdengar suara sangkakala sebagai pertanda bahwa segala bentuk perang pada hari ini harus segera dihentikan sesuai dengan paugeran peperangan, kecuali kepada orang-orang yang masih terikat oleh perang tanding.
Matahari sebagai lambang kehidupan sudah terlihat semakin rendah di sebelah barat, tidak lama lagi tempat itu akan menjadi gelap dengan datangnya malam pada hari kedua perang antara Mataram dengan Wirasaba yang telah menyisakan orang-orang yang terluka bahkan harus kehilangan selembar nyawa mereka karena harus gugur di tanah padang perdu tersebut.
Ki Patih Rangga Permana yang sudah bisa menahan diri, kembali memulai perang tanding dengan tataran ilmunya yang sangat tinggi, sepak terjangnya semakin cepat bagaikan tubuhnya sudah tidak berbobot lagi menerjang lawannya dengan serangan membadai.
Trisulanya berputar-putar dengan sangat cepatnya yang disertai suara berdesing pada senjata itu menambah kengerian bagi siapapun yang menjadi lawannya.
Namun Ki Lurah Glagah Putih bukanlah seorang prajurit yang baru belajar kanuragan, sehingga tidak menjadi gugup menghadapi serangan demi serangan lawan yang hampir setiap gerakannya berarti maut.
Menantu Ki Purbarumeksa tersebut meningkatkan kemampuan kecepatannya pula untuk mengimbangi lawan, dan untuk melindungi dirinya dari segala kemungkinan buruk, dia mulai menerapkan ilmu kebalnya, meskipun belum sampai ke puncak. sebuah ilmu yang diwarisinya dari kakak sepupunya yang sekaligus menjadi gurunya, yaitu Ki Agung Sedayu.
Ternyata tidak mudah bagi Ki Patih Rangga Permana yang sudah mengetrapkan kemampuannya yang sangat tinggi untuk dapat menembus pertahanan lawannya, meskipun sudah menggunakan senjata trisula yang sangat nggegirisi karena sudah dilambari dengan tenaga cadangan.
Patih dari Wirasaba itu sempat terkejut karena tangannya terasa bergetar pada saat senjata andalannya berbenturan dengan senjata lawan yang sangat aneh, yaitu berupa ikat pinggang dengan timang besi di salah satu ujungnya.
Trisulanya yang seakan telah berbenturan dengan sepotong wesi gligen yang sangat kuat. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Ki Patih Rangga Permana segera menyadari bahwa bukan senjata itulah yang tiba-tiba berubah menjadi wesi gligen, namun kemampuan lawannya lah yang membuat senjatanya bisa menjadikan seperti itu.
Sementara tempat itu semakin lama menjadi semakin gelap karena mulai memasuki malam, beberapa prajurit dari dua pasukan yang berselisih pun mulai menyiapkan penerangan dengan oncor dari biji jarak yang ditempatkan pada sekitar arena perang tanding.
Para prajurit yang bertugas mengumpulkan kawan-kawannya yang masih di bekas medan karena terluka ataupun gugur mulai berlalu-lalang dengan membawa oncor biji jarak dan secarik kain putih yang diikatkan pada sepotong kayu serta tanpa membawa senjata sama sekali.
Benar-benar suasana yang jauh dari kata permusuhan satu sama lain, bahkan sesekali mereka saling membantu pekerjaan orang-orang yang siang tadi saling berselisih dan saling bertempur untuk menyabung nyawa, dengan mengatasnamakan menjalankan perintah pepunden mereka masing-masing.
Meskipun pada hari itu segala bentuk peperangan harus dihentikan sesuai dengan paugeran perang, namun Mataram dan Wirasaba tidak pernah meninggalkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar, karena segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam suasana peperangan.
Para senopati dari masing-masing pasukan telah membagi tugas setiap prajuritnya tanpa ada yang terlewatkan, semuanya saling bahu-membahu dan saling melengkapi untuk dapat menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Sementara beberapa prajurit dan senopati tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan perang tanding yang masih berlangsung antara dua orang yang berilmu sangat tinggi.
Bagi para prajurit Wirasaba yang awalnya berpikir bahwa Ki Patih Rangga Permana pasti akan dengan mudah mengalahkan lawannya yang tidak lebih dari seorang lurah prajurit, sepertinya harus berpikir ulang dengan pemikiran tersebut, karena hingga saat ini lurah prajurit Mataram itu masih mampu bertahan.
“Ternyata lurah prajurit dari Mataram itu memiliki kemampuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata, karena hingga saat ini dian masih mampu bertahan terhadap ilmunya Ki Patih Rangga Permana yang sangat nggegirisi”. gumam salah satu prajurit Wirasaba yang mendapat kesempatan menyaksikan perang tanding.
“Kau benar, lurah prajurit itu memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari lurah prajurit kebanyakan. Tapi aku masih yakin bahwa Ki Patih Rangga Permana pasti akan dapat menyelesaikan lawannya”. sahut kawannya yang berdiri di sebelahnya.
“Ya.. aku juga berpikir demikian”.
Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu menjadi semakin menegang dan berdebar-debar, ketika perang tanding itu mulai merambah kemampuan yang semakin tinggi. Bahkan bagi orang-orang yang merasa belum mencapai tataran itu menjadi semakin kagum karena mendapat kesempatan untuk menyaksikan pameran ilmu yang diluar penalaran mereka.
Sementara di dalam arena perang tanding terjadi sebuah keanehan, pertempuran yang sejak tadi terlihat berjalan seimbang tiba-tiba mulai bergeser seperti berat sebelah.
Kecepatan gerakan Ki Lurah Glagah Putih sepertinya mulai melambat. Pertahanannya mulai terbuka, sehingga lawannya mulai dapat menembusnya.
Bahkan ayah Arya Nakula itu harus terlempar beberapa langkah ke belakang ketika tidak mampu menghindari terjangan kaki lawan yang terjulur lurus ke dadanya.
Panembahan Hanyakrakusuma dan Pangeran Pringgalaya sebagai orang yang berilmu sangat tinggi segera dapat menyadari keanehan yang terjadi di arena perang tanding.
Tapi keduanya belum dapat menyimpulkan apa-apa, mereka masih menunggu apa yang terjadi selanjutnya agar dapat memberikan penilaian secara wajar.
“Apakah hanya ini kemampuanmu, Ki Lurah?”. teriak Ki Patih Rangga Permana yang merasa di atas angin.
Ki Lurah Glagah Putih yang tadi terlempar tubuhnya tidak dapat segera bangkit, karena merasa kepalanya masih terasa pening setelah terlempar di atas tanah yang keras dan berdebu. Namun dengan perlahan-lahan akhirnya dia bisa bangkit pula.
Kejadian ini tidak luput dari pandangan para prajurit Wirasaba yang menyaksikan perang tanding. Sehingga membuat mereka berpikir bahwa lawan Patih Wirasaba tersebut tentu tidak lama lagi untuk mampu bertahan.
Ki Lurah Glagah Putih sempat memegangi dadanya yang tadi sempat terkena terjangan lawan. Beruntunglah dia menguasai ilmu kebal, sehingga dadanya tidak menjadi remuk karenanya.
Sejenak kemudian perang tanding kembali berkobar lagi. Namun kali ini sepertinya kemampuan menantu Ki Purbarumeksa itu tidak pada tataran yang seharusnya.
Sekarang pertahanannya menjadi lebih sering dapat ditembus lawan, Bahkan Ki Lurah Glagah Putih harus mau menerima kenyataan bahwa dirinya terlempar kembali pada saat kaki kiri lawan menerjang punggungnya.
Ki Lurah Glagah Putih merasa kepalanya menjadi semakin pening serta pandangan matanya menjadi buram serta tubuhnya seakan-akan menjadi melemah. Beruntunglah ilmu kebalnya masih mampu melindungi dirinya meskipun tadi dapat ditembus oleh serangan lawan.
Ki Lurah Glagah Putih masih dapat memaklumi jika ilmu kebalnya masih dapat ditembus oleh lawannya, karena memang dia belum mengetrapkan ilmu kebalnya pada tataran puncaknya, namun dia merasa ada yang tidak wajar pada dirinya.
Sembari berpikir keras untuk memecahkan masalah apa yang sedang terjadi kepada dirinya, dia mulai bangkit berdiri dengan perlahan-lahan.
Kepalanya masih terasa pening, pandangan matanya mulai buram, kemampuan tubuhnya seperti melemah, dan ditambah punggungnya terasa sakit sekali setelah serangan lawan yang mampu melemparkan dirinya untuk kedua kalinya tadi mampu menembus ilmu kebalnya.
“Apakah hanya ini kemampuanmu, Ki Lurah? jika kau tidak mampu lagi melawanku lagi, lebih baik menyerahlah! kau tidak perlu menjadi ketakutan, karena aku tidak akan membunuhmu”.
“Aku masih mampu melawanmu, Ki Patih”.
“Kau tidak perlu memaksakan diri, agar kau tidak memancingku untuk berubah pikiran”.
“Tapi aku masih sanggup, Ki Patih Rangga Permana”.
“Setan Alas, Genderuwo, tetekan. Kau hanya membuatku marah saja dengan sikapmu yang keras kepala, Ki Lurah. Kau sudah aku beri hati malah ngrogoh ampela”. berkata Ki Patih Rangga Permana yang sekarang menjadi sangat marah, karena niat baiknya tidak disambut baik pula.
–o-0-O-0-o–
Bersambung ke
Djilid
10
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar