PdTL 18

 



*  *  *


Hamparan langit yang begitu luas membentang dari ujung barat ke timur dan dari ujung utara ke selatan pada pagi yang cerah pada saat di sisi sebelah timur mulai terlihat semburat merah, sebagai pertanda hari baru telah datang.

Sekumpulan burung pagi semakin riuh berkicau dengan riangnya sembari mencari mangsa di sekitar hutan kecil yang tidak jauh dari tempat para prajurit Mataram yang sedang beristirahat, setelah perjalanan sepanjang malam dari Wirasaba.

Sementara Ki Agung Sedayu telah kembali lagi menemui kedua istrinya yang memang sengaja menunggunya di sekitar hutan kecil sebelah padang perdu yang tidak begitu luas.

“Bagaimana Kakang? apakah gagasan kakang dapat diterima oleh Kanjeng Sinuhun?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang sudah tidak sabar, ketika melihat suaminya baru saja datang.

“Ya.. Kanjeng Sinuhun telah menerima gagasan itu dengan tangan terbuka tapi kemudian Kanjeng Sinuhun pun sepertinya sependapat dengan apa yang telah disampaikan oleh Ki Patih Singaranu, bahwa kemudian tugas ini dilimpahkan kepadaku untuk mengatur semuanya”.

“Benar-benar tugas yang sangat berat dan berbahaya”. desis Nyi Pandan Wangi tanpa sadarnya.

“Kau benar, tapi kita juga tidak dapat ingkar bahwa kita harus segera mungkin untuk menemukan cara agar dapat mengatasi Pasukan Surabaya sebelum mereka menggulung Mataram”.

“Aku mengerti Kakang. Tapi secara penalaran wajar, perintah itu telah menempatkan orang yang mengemban tugas tersebut seperti sebutir telur yang berada di ujung tanduk. Bahkan sejak sebelum orang tersebut memulai tugasnya”.

“Tapi ini adalah salah satu cara yang dianggap paling baik, dibandingkan cara yang lain untuk meredam Pasukan Surabaya. Meskipun kita harus siap pula dengan segala akibatnya jika cara itu menemui kegagalan”.

“Selain para Pepunden Surabaya yang berilmu tinggi, jangan lupakan pula orang-orang dari Perguruan Jalatunda, Kakang. Karena selain mereka berilmu tinggi, orang-orang Jalatunda dikenal pula dengan suka bermain-main dengan racun yang sangat ganas”.

“Mbokayu benar, bahkan aku pernah mendengar pula cerita tentang Ki Ageng Jalatunda yang dikenal sebagai orang yang sudah kalis dari rasa sakit atau bahkan kematian. Tapi aku sendiri tidak tahu cerita itu sengaja dihembuskan dengan maksud untuk menakut-nakuti orang yang berseberangan atau apapun itu”.

“Aku pernah mendengar pula bahwa Ki Ageng Jalatunda adalah orang yang berilmu sangat tinggi dan tidak dapat dibunuh oleh lawan-lawannya, sebab dia memiliki ilmu yang sejenis dengan Aji Rawa Rontek dan Aji Pancasona”.

“Aji Rawa Rontek dan Aji Pancasona?”. sahut kedua istrinya dengan sangat terkejut mendengar hal tersebut.

“Ya.. kalian tidak salah dengar, tapi tidak dari salah satunya apalagi dari kedua jenis ilmu itu. Tapi masih jenis yang sama karena jenis ilmu itu pun mampu menghindarkan seseorang dari rasa sakit dan bahkan kematian dari serangan lawannya yang paling mematikan sekalipun, dan yang menjadi persoalan adalah dia tidak terpengaruh oleh tanah atau angin untuk mengembalikan tubuhnya seperti semula”.

“Luar biasa”. sahut kedua perempuan itu tanpa sadarnya.

“Aji Rawa Rontek dan Aji Pancasona saja sudah ngedap-edapi dan sangat merepotkan lawan-lawannya, lalu dengan cara apa kita akan mampu mengatasi ilmu dengan jenis yang baru kita dengar sekarang ini?”. sambung Nyi Sekar Mirah.

“Semua ilmu yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna, dan setinggi apapun ilmu tersebut pasti memiliki kelemahan”.

“Aku mengerti, Kakang. Tapi hingga kapan kita dapat mengetahui kelemahan itu? lagi pula dengan semakin kencangnya gejolak antara Mataram dengan Surabaya, bukankah tidak menutup kemungkinan bahwa cepat atau lambat akan membuat Mataram menempatkan wakilnya guna menghadapi Ki Ageng Jalatunda?”.

“Kau benar, Pandan Wangi. Semoga saja pada saatnya nanti Yang Maha Welas Asih telah memberikan jalan terang kepada Pasukan Mataram untuk dapat menemukan wewadi tersebut, sehingga Mataram tidak akan menemukan kegagalan lagi untuk sekian kalinya ketika berhadapan dengan pasukan dari Adipati Jayalengkara tersebut”.

“Jika dalam Pasukan Surabaya itu ada murid-murid utama Ki Ageng Jalatunda, bukankah sangat mungkin pula kemampuannya tidak akan jauh dari kemampuan gurunya itu sendiri? termasuk kemampuan menguasai jenis ilmu yang dapat menghindari segala bentuk rasa sakit atau bahkan kematian?”.

“Kau benar, Sekar Mirah. Makanya Mataram menggunakan siasat seperti yang sudah kita sepakati bersama. Meskipun dengan cara itu tidak dapat menjadi jaminan bagi Mataram untuk dapat memenangkan pertempuran, tapi jika berhasil sesuai rencana maka setidaknya akan mampu banyak mengurangi Pasukan Surabaya”.

“Lalu bagaimana jika kita berhasil dengan rencana tersebut, tapi Mataram masih menyisakan murid-murid utama Perguruan Jalatunda yang memiliki kemampuan seperti gurunya? tapi dengan orang yang tersisa tersebut, mereka mampu menggulung Mataram hingga tumpas tapis warata bumi?”.

“Itu kita pikirkan sembari berjalan”.

“Aku pernah mendengar kabar, jika Ki Ageng Jalatunda itu masih ada hubungannya dengan legenda sumur Jalatunda?”.

“Aku pernah mendengar cerita itu pula, Sekar Mirah. Bahwa Perguruan Jalatunda sangat mempercayai bahkan mengkeramatkan Sumur Jalatunda. Sumur yang katanya adalah sumur yang tak berujung, dulu dianggap sebagai tempatnya Begawan Antaboga yang sangat melegenda”.

“Sumur tak berujung?”. ucap kedua istrinya hampir bersamaan.

“Apakah kakang percaya dengan cerita itu?”. tanya Nyi Sekar Mirah penasaran.

“Antara percaya dan tidak, sebab sampai sekarang pun aku belum dapat membuktikan sendiri kebenarannya. Jadi aku belum dapat membuat penilaian apapun”.

“Secara penalaran wajar, cerita tentang sebuah sumur yang tak berujung pasti akan dianggap hanyalah cerita ngayawara. Tapi jika itu hanya sekedar cerita ngayawara, kenapa sudah banyak orang yang membicarakannya?”.

“Biarkan saja orang lain bicara apa saja tentang Sumur Jalatunda menurut selera mereka masing-masing, tapi kita sendiri harus memiliki sikap yang jelas dan tidak terpengaruh itu semua sebelum kita membuktikan kebenarannya. Dan jangan sampai kita seperti setetes air di daun talas”.

“Tapi apakah sumur itu benar-benar sumur yang tak berujung dalam arti yang sebenarnya?”.

“Aku kurang yakin, mungkin hanya karena sumur itu sangat dalam sehingga tidak dapat dilihat dengan jelas dasarnya dari atas, lalu dikatakanlah sebagai sumur yang tak berujung dengan maksud untuk menambah daya tarik tersendiri ketika diceritakan kepada orang lain”.

“Ada benarnya kakang. Selain untuk menarik perhatian orang, maka cerita ngayawara itu akan menambah wibawa dan kengerian Padepokan Jalatunda itu sendiri dimata orang luar”.

“Segala kemungkinan masih dapat terjadi, selama kita belum tahu kebenaran yang sebenarnya. Sebab kita semua masih sebatas bicara kemungkinan-kemungkinan berdasarkan pendapat pribadi sesuai selera masing-masing, akan berbeda jika kita sudah berbicara pada sebuah kenyataan”.

“Ya.. semua itu memang baru sebatas kemungkinan, jadi.. apapun masih mungkin terjadi”. sahut Nyi Sekar Mirah membenarkan ucapan suaminya.

“Dan aku pernah mendengar pula desas-desus bahwa setiap bulan purnama sidi, Perguruan Jalatunda mengadakan semacam ritual khusus di sekitar sumur tersebut, sebab dari dalam Sumur Jalatunda itu akan muncul sosok ular yang sangat besar tepat pada saat puncak madya ratri”.

“Ular besar?”. sahut kedua istrinya terkejut.

“Demikianlah cerita yang pernah aku dengar”.

“Aku jadi teringat akan Perguruan Nagaraga yang sama-sama mempercayai ular besar sebagai sumber kekuatan mereka, yang pada akhirnya harus mati di tangan Raden Rangga, meskipun pada akhirnya mereka secara tidak langsung dianggap mati sampyuh karena Raden Rangga sendiri tidak mampu bertahan dari serangan bisa ular yang sangat mematikan tersebut setelah mendapatkan perawatan beberapa lama setelah tiba di Mataram”.

“Kau benar Sekar Mirah, dan mungkinkah kedua perguruan itu masih memiliki hubungan, Kakang?”.

“Aku belum dapat mengambil kesimpulan akan hal itu, tapi sumber mereka yang hampir sama membuat kemungkinan itu semakin kuat. Bahkan pada saat-saat terakhir aku pernah mendengar bahwa Ki Ageng Jalatunda telah menjalani laku dalam menyempurnakan ilmunya tersebut di dalam Sumur Jalatunda”.

“Bukankah tadi Kakang bilang, bahwa sumur itu adalah sumur yang tak berujung? lalu bagaimana itu dapat terjadi?”.

“Aku pun tidak tahu, Sekar Mirah. Sebab aku hanya sekedar mendengar desas-desus yang ada dan belum pernah sama sekali membuktikannya sendiri”.

“Benar-benar aneh dan sudah di luar nalar jika benar terjadi demikian. Bahkan aku yang merasa memiliki bekal kawruh kanuragan saja tidak dapat mencerna semua itu”.

“Sebaiknya untuk sementara kita lupakan dulu tentang hal itu, sebab yang perlu kita pikirkan sekarang adalah orang-orang Jalatunda itu sendiri yang menjadi bagian dari Pasukan Surabaya. Sebab sejauh pengetahuanku ada beberapa murid utama dari Ki Ageng Jalatunda yang menjadi orang-orang penting di Kadipaten Surabaya”.

“Kakang benar”.

“Berdasarkan keterangan yang aku dapat baru dua orang murid utama tertua, yaitu Ki Tumenggung Wisabaya dan Ki Tumenggung Surawisa, kebetulan mereka adalah kakak adik. Dan kemungkinan keduanya akan ikut dalam Pasukan Surabaya yang ingin menyerang Mataram kali ini”.

“Apakah ada kemungkinan bahwa Ki Ageng Jalatunda sendiri akan ikut Pasukan Surabaya dalam lawatan tersebut, kakang?”.

“Aku rasa tidak, sebab menurut perhitunganku dia sudah terlalu sepuh untuk bergabung dengan sebuah pasukan segelar sepapan yang bakal menyerang Mataram, meskipun sebagai orang yang berilmu sangat tinggi dia belum dianggap terlalu sepuh, karena berdasar keterangan yang aku dapat umurnya kurang lebih seperti kakang Untara, jika lebih pun tidak akan banyak”.

“Syukurlah jika demikian, karena paling tidak akan mengurangi perhatian Pasukan Mataram. Sebab dengan kehadiran Ki Ageng Jalatunda yang memiliki kemampuan yang ngedap-edapi, tentu akan membuat Mataram harus memberikan perhatian lebih kepada orang tersebut”.

“Kau jangan lupakan kemampuan tiga Pangeran Mataram yang ada, Sekar Mirah, sebab jika Ki Ageng Jalatunda benar-benar ikut dalam pasukan itu, aku percaya bahwa salah satu dari ketiga Pangeran itu tentu akan mampu mengatasinya, atau paling tidak akan mampu membayanginya”.

“Ya Kakang… aku justru hampir melupakan ketiga Priyagung Mataram tersebut. Aku jadi tergelitik akan sebuah pertanyaan?”.

“Apa maksudmu, Sekar Mirah?”. sahut Ki Agung Sedayu sembari mengerutkan keningnya karena penasaran.

“Menurut Kakang… siapakah di antara ketiga Pangeran tersebut yang lebih unggul?”.

“Aku tidak tahu secara pasti karena aku sendiri pun belum pernah menyaksikan ketiganya menunjukkan kemampuan mereka masing-masing hingga ke tataran puncak”.

“Jika secara penalaran wajar, mungkinkah Pangeran Puger yang secara umur paling tua dari ketiganya yang lebih unggul?”.

“Sebagai putra dari Kanjeng Panembahan Senopati, bukan berarti mereka adalah orang-orang yang hanya tahu kehidupan di sekitar Kotaraja saja. Darah yang mengalir kepada ketiganya membuat orang-orang tersebut senang pula menjalani segala laku prihatin sejak masih sangat muda, ngangsu kawruh dari satu tempat ke tempat yang lain untuk selalu meningkatkan kemampuan dalam hal apapun sehingga membuat mereka bertiga adalah Priyagung Mataram yang sangat lengkap secara kemampuan maupun secara pengalamannya”.

“Lalu siapakah yang menurut Kakang lebih unggul?”.

“Jika berdasarkan kabar burung yang pernah aku dengar, justru Pangeran Pringgalaya lah yang memiliki kelebihan di antara ketiganya. Tapi aku kira jika tataran mereka berselisih pun, tentu tidak akan terlalu jauh”.

“Memang kemampuan seseorang tidak hanya dapat diukur dari segi umurnya saja, tapi banyak hal yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menapaki tataran demi tataran kawruh kanuragan”.

“Lalu bagaimana dengan tugas Kakang sendiri yang mendapat perintah untuk membayangi orang yang telah membawa Ki Patih Rangga Permana?”. sahut Nyi Pandan Wangi yang berusaha mengingatkan suaminya.

“Bahkan sampai sekarang aku belum mendapat gambaran, harus darimana memulainya. Sebab masih belum ada keterangan jelas pula siapakah orang yang harus aku bayangi dan kemanakah aku harus mencarinya?”.

“Lalu sampai kapankah kita harus menunggu, Kakang?”.

“Aku belum tahu, tapi yang jelas aku akan selalu berusaha”.

“Lalu bagaimanakah dengan Mataram yang harus mengirimkan pasukan cadangan? apakah Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung akan dilibatkan?”.

“Berhubung Mataram dituntut untuk dapat bergerak secepatnya, aku rasa Mataram hanya akan memerintahkan pasukan yang berada di Kotaraja dan sekitarnya. Sebab jika terlalu jauh dari Kotaraja tentu akan memakan waktu, lagi pula Kanjeng Sinuhun akan meminta bantuan pula kepada Pajang”.

“Apakah semua itu sudah cukup, Kakang?”.

“Aku rasa demikian, tapi kita harus melihat pula perkembangan yang terjadi agar kita tidak salah dalam memperhitungkan segalanya. Maka dari itu kita sembari menunggu laporan dari para prajurit sandi yang bertugas di Surabaya dan sekitarnya secara berkelanjutan untuk lebih pastinya”.

“Aku kira memang sebaiknya demikian, agar kita tidak salah dalam berhitung terhadap pasukan lawan”.

“Kita tunggu saja titah dari Kanjeng Sinuhun, agar kita pun tidak salah dalam melangkah”.

“Kakang benar, sebab sebaik-baiknya keputusan kita masih lebih baik adalah keputusan dari Kanjeng Sinuhun itu sendiri”. sahut Nyi Pandan Wangi.

“Lalu apa yang akan kita lakukan disini? apakah kita hanya akan menghabiskan waktu sepanjang hari di tempat ini?”. bertanya Nyi Sekar Mirah meminta pendapat.

“Selama kita menunggu titik terang akan tugasku, sebaiknya kita disini dulu sembari mengawasi keadaan. Sebab ada kemungkinan pula orang yang membawa Ki Patih Rangga Permana itu akan datang setelah tahu bahwa Pasukan Mataram telah menarik diri”.

“Apakah itu mungkin, Kakang?”.

“Dalam keadaan yang masih serba gelap seperti ini, aku rasa segala kemungkinan masih dapat terjadi. Meskipun dalam penalaran wajar masih hanya sebatas kemungkinan kecil”.

“Tapi setinggi-tingginya kemampuan seseorang, bukankah tidak masuk akal jika dia berani menyusul Pasukan Mataram dengan seorang diri atau hanya dengan beberapa orang kawan saja?”.

“Mungkin saja Sekar Mirah, sebab seseorang yang sudah dibutakan oleh perasaan marah dan dendam akan dapat membuat orang tersebut berbuat apa saja yang diluar penalaran, bahkan hingga tidak memperdulikan lagi keselamatan dirinya sendiri”.

Ibu Bagus Sadewa itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya menanggapi jawaban dari suaminya, tanpa sadar dia melihat ke arah kejauhan di sisi timur yang mulai menampakkan tanda-tanda hari baru akan dimulai.

Dan sejenak kemudian ketiganya hanya dapat berdiam diri diantara riuhnya suara sekumpulan burung berkicau yang berterbangan kesana dan kemari di sekitar mereka.

Mereka seakan terlarut dengan penalaran masing-masing. Kediaman yang disebabkan oleh kebingungan antara mereka harus segera melaksanakan titah, tapi disisi lain mereka harus segera mencari titik terang.

***

Sementara itu penunggang kuda yang sedang berusaha mengikuti jejak pepundennya sepertinya sudah semakin tertinggal jauh, bahkan kini tidak terlihat.

Mereka tidak dapat ingkar, bahwa dua kuda harus ditunggangi tiga orang dan salah satunya terpaksa satu kuda ditunggangi berdua tidak akan mampu mengejar laju seekor kuda yang hanya ditunggangi seorang saja.

Tapi hal itu tidak membuat mereka menjadi berputus asa, dengan penuh kesabaran ketiganya terus menyusuri jalan sembari memperhatikan jejak yang barangkali dapat mereka kenali, selain itu mereka juga memiliki dasar penalaran yang dapat mereka gunakan sebagai salah satu petunjuk.

Sebab dalam dugaan mereka, pepunden mereka tentu tidak akan berbuat lain selain hanya akan berusaha mencari Panembahan Hanyakrakusuma yang terdapat dalam pasukan segelar sepapan Mataram yang sedang berusaha menarik diri dari Wirasaba.

Sebagai para cantriknya, ketiganya digelisahkan oleh kemungkinan buruk yang bakal terjadi sehubungan dengan apa yang akan diperbuat pepundennya tersebut, apalagi dia hanya berangkat seorang diri.

“Kita jangan sampai terlambat, adi Wandana”. ucap salah satu dari ketiganya yang berkuda seorang diri.

“Tapi apalah daya kita, Kakang Wiramba? kita tidak dapat memacu kuda kita lebih kencang lagi karena keadaan”. sahut kawannya.

“Tapi kita harus tetap berusaha”.

“Aku mengerti, tapi menurut perhitunganku. Jika kita terlambat pun kita tidak akan berselisih waktu terlalu jauh dengan Kyai, sebab sekarang kita sudah mendekati Kademangan Trowulan”.

“Kau jangan berpikir bahwa selisih waktu yang tidak terlalu panjang itu bukan sebuah masalah, sebab seberapapun waktu yang kita miliki akan sangat berarti sekali. Karena dapat saja dalam waktu yang hanya sekejap itu kita telah melewatkan kejadian yang sangat penting”. sahut Ki Wiramba dengan wajah penuh ketegangan.

“Aku mengerti maksud Kakang, sebaiknya kita memang sedikit memaksa kuda kita untuk berpacu”.

“Semoga saja kuda kita ini bukanlah kuda-kuda yang lemah”.

Pembicaraan di atas punggung kuda itu sepertinya tidak berlanjut lagi karena mereka sedang dalam kegelisahan sehingga membuat ketiganya sama-sama dalam ketegangan.

Hingga tanpa mereka sadari bahwa dalam perjalanan mereka ada yang sedang memperhatikan dari balik pohon-pohon pategalan, beberapa puluh langkah di depan.

Entah apa yang para pengintai cari dari ketiga orang tersebut, tapi sepertinya ingin memastikan dulu dengan siapakah mereka berhadapan sebelum bertindak.

Namun tiba-tiba dua kuda yang sedang ditunggangi oleh tiga orang itu sangat terkejut dan meringkik sangat keras, bahkan hingga sama-sama mengangkat dua kaki depannya. Beruntunglah mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan.

Sehingga kejadian yang demikian tersebut tidak membuat mereka terlempar dari kudanya masing-masing, meskipun seorang penunggang kuda yang di belakang secara gerak naluriah langsung melompat dari punggung kudanya.

“Setan Alas”. terdengar umpatan yang sangat kotor keluar dari Ki Wiramba dan kawannya sembari berusaha mengendalikan kudanya yang tiba-tiba menjadi liar.

“Maafkan kami jika telah mengejutkan Kakang bertiga”.

“Apa maksud kalian berbuat demikian?”. bentak Ki Wiramba kepada orang yang mencegatnya.

“Maaf Kakang Wiramba, beberapa saat yang lalu kami sempat melihat Kyai yang melintas di sekitar tempat ini. Tapi kami terlambat menyadarinya sehingga Kyai sudah terlanjur jauh dan tak mungkin lagi dapat kami kejar”.

“Lalu apa yang kalian lakukan sekarang?”.

“Dalam penalaran kami, Kakang bertiga tentu akan menyusul Kyai yang kami lihat hanya berkuda seorang diri”.

“Lalu kemana saja kalian selama ini? bahkan kalian tidak menyampaikan laporan apapun kepada Kyai, terutama pada saat perkembangan terakhir?”.

“Maaf Kakang, bukan maksud kami untuk mengabaikan tugas yang kami laksanakan, namun keadaanlah yang memaksa kami berbuat demikian”.

“Apa maksudmu?”.

“Pada saat-saat terakhir kami telah dicurigai oleh sekelompok prajurit Mataram yang sedang bertugas, dan kami diamankan oleh mereka. Menurut penalaran kami, dapat saja kami melawan dan melepaskan diri dari mereka, namun jika kami berbuat demikian maka justru akan memperkeruh keadaan dan kita dapat kehilangan keterangan penting yang kita cari”.

“Lalu apa yang terjadi? dan bagaimana sekarang kalian dapat berada di tempat ini?”.

“Beruntunglah kami dapat meyakinkan para prajurit Mataram, bahwa kami bukan para telik sandi dari Surabaya. Sehingga mereka melepaskan kami kembali setelah beberapa lama kami ditahan”.

“Lalu kenapa kalian tidak segera melaporkan apa yang telah terjadi kepada Kyai setelah kalian dibebaskan?”.

“Kami pikir, kami pasti akan kehilangan waktu jika harus melaporkan apa yang terjadi. Lagipula menurut perhitungan kami, Kakang Wandana tentu sudah melakukannya. Jadi kami putuskan untuk menunggu kalian di sekitar tempat ini, sebab kami yakin Kyai akan menyusul Pasukan Mataram yang menarik diri”.

“Baiklah… sekarang kita tidak memiliki banyak waktu lagi, sebaiknya kita segera menyusul Kyai. Semoga saja kita tidak terlambat”.

“Tapi sepertinya kita tidak akan terlambat, Kakang Wiramba. Sebab Pasukan Mataram yang disusul oleh Kyai sudah tidak jauh lagi dari tempat ini. Mereka sedang beristirahat di sebuah padang perdu yang tidak begitu luas di balik hutan kecil itu”. sahut orang tersebut sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.

“Syukurlah jika demikian, tapi sebaiknya kita segera menyusul Kyai agar tidak semakin terlambat”.

“Apakah kalian hanya berjalan kaki?”. bertanya Ki Wandana yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri.

“Benar Kakang, tapi aku rasa tidak akan menjadi soal, sebab tujuan kita sudah tidak jauh lagi”.

“Marilah.. sebaiknya kita segera berangkat, agar tidak menjadi semakin terlambat”.

Kemudian orang-orang yang sejak semula telah berkuda pun segera turun dari kuda masing-masing, lalu menarik tali kekangnya guna mengawani berjalan kaki kedua kawannya yang tiba-tiba mencegat dalam perjalanan tapi tidak berkuda.

***

Sementara itu Pasukan Mataram yang mendapat serangan dari tamu yang tak diundang yang datang begitu tiba-tiba, membuat pasukan segelar sepapan itu menjadi gempar pada saat matahari mulai mengintip di balik gunung sebelah timur.

Bagi para prajurit yang merasa belum memiliki kemampuan kanuragan tinggi segera berusaha menyelamatkan diri, sementara beberapa Senopati Mataram berusaha menghadang agar tidak memporak-porandakan seluruh pasukan.

Namun beberapa saat kemudian angin puting beliung itu membuat semua orang yang melihatnya menjadi tertegun, sebab angin itu kemudian hanya berputar-putar dengan dahsyatnya di satu tempat dan tampak tidak bergerak lagi.

Seketika para Senopati Mataram yang berusaha akan menghadang menjadi saling pandang dengan rasa penuh keheranan mendapati kenyataan tersebut.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”. bertanya salah satu dari mereka.

“Aku pun tidak tahu, tapi aku rasa ini adalah sebuah pertanda yang tidak baik bagi kita semua”. sahut kawan di sebelahnya.

“Ya… aku rasa juga demikian, dan sepertinya ada orang yang berilmu sangat tinggi ingin menunjukkan sesuatu, tapi yang jelas bukan menunjukkan sikap yang bersahabat”.

“Apakah dia lupa bahwa kita disini terdiri dari pasukan segelar sepapan?”.

“Aku kira dia sudah memperhitungkannya, tapi mungkin ada alasan lain yang mendorongnya berani melakukan semua ini. Atau mungkin saja dia merasa sebagai orang berilmu sangat tinggi dan tidak terkalahkan, makanya dia berani melakukan semua ini”.

“Mungkin kau benar”.

Tapi pembicaraan itu harus terhenti, sebab sejenak kemudian ada kejadian yang membuat jantung semua orang yang berada di tempat itu semakin berdebar-debar.

“Kalian para prajurit Mataram jangan ikut campur, sebab kedatanganku kemari adalah hanya memiliki keperluan dengan Panembahan Hanyakrakusuma”.

Suara yang berasal dari dalam angin puting beliung itu dilambari dengan tenaga cadangan yang sangat tinggi dan mengetrapkan ilmu Gelap Ngampar telah membahana di sekitar tempat tersebut.

Namun yang terjadi sebenarnya adalah tidak hanya membahana suaranya saja. Sebab pada kenyataannya suara itu mampu memekakkan telinga dan seakan-akan menusuk-nusuk dengan duri kemarung yang sangat tajam.

Selain itu mampu membuat dada orang-orang yang mendengarnya terasa nyeri sekali dan membuat hampir sekujur tubuh menjadi melemah, terutama bagi orang-orang yang belum memiliki bekal kanuragan yang tinggi.

Bahkan bagi orang-orang yang berilmu tinggi pun memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaan guna melindungi diri mereka dari serangan yang tidak kasat mata tersebut, sebab serangan itu datang begitu tiba-tiba.

“He… Panembahan Hanyakrakusuma, keluarlah kau! aku datang kemari untuk menemuimu guna meminta pertanggung jawabanmu. Kau jangan menjadi seorang pengecut yang hanya pandai bersembunyi dibalik punggung para prajuritmu, terutama ketiga pamanmu itu”.

Suara yang berasal dari dalam angin puting beliung itu terdengar kembali dengan pengetrapan ilmu Gelap Ngampar yang dilambari dengan tenaga cadangan yang sangat tinggi sehingga menjadi semakin menyakitkan bagi orang-orang yang belum memiliki cukup bekal, setelah menunggu tidak ada yang menanggapi ucapannya.

Sementara para Senopati Mataram sendiri masih kebingungan dengan apa yang harus mereka lakukan, tapi salah satu dari mereka segera memerintahkan prajurit penghubung untuk melaporkan apa yang terjadi kepada pepunden mereka.

Meskipun mereka pun menyadari bahwa pepunden mereka tentu sudah mengetahui apa yang telah terjadi. Namun menurutnya, itu lebih baik daripada tidak melaporkan apa yang terjadi.

“Laporkanlah segera kejadian ini kepada Kanjeng Sinuhun”. ucap salah satu senopati tersebut sembari berjaga-jaga di tempat yang tidak jauh dari keberadaan angin puting beliung yang masih saja berputar-putar dengan dahsyatnya.

“Baik Ki Tumenggung”.

Namun baru saja prajurit itu akan beranjak dari tempatnya, dia telah melihat kedatangan pepunden tertinggi Mataram itu bersama ketiga paman pangerannya.

“Apakah seperti ini subhasita yang berlaku di bang wetan jika akan menemui seseorang?”. berkata Pangeran Pringgalaya yang berusaha mengimbangi dengan jenis ilmu yang sama.

“Kau jangan banyak bicara Pangeran Pringgalaya, aku tidak memiliki kepentingan denganmu, tapi kedatanganku ini hanya untuk bertemu dengan Panembahan Hanyakrakusuma selaku Senopati Agung Mataram”. sahut orang misterius yang masih dalam pusaran angin tersebut.

“Itu tergantung pada kepentinganmu, Ki Sanak”.

“Jika kalian memang adalah para Priyagung Mataram yang pantas dijadikan teladan, seharusnya kalian dapat bersikap jantan dalam menghadapi kenyataan ini”.

“Sikap jantan yang bagaimana yang Ki Sanak maksud? apakah yang kau lakukan ini adalah sikap jantan yang kau maksud? dengan deksuranya membuat pengeram-eram di hadapan kami”.

“Aku melakukan semua ini adalah semata-mata agar kalian memperhatikan aku dan tidak memandang rendah kepadaku. Karena pasti akan berbeda sekali jika aku datang dengan sikap wajar, tentu kalian akan mempersulit usahaku untuk menemui Panembahan Hanyakrakusuma. Maka dari itu aku punya caraku sendiri untuk memenuhi kepentinganku”.

“Sudah aku katakan, Ki Sanak. Semua itu tergantung dengan kepentinganmu itu sendiri”.

“Kau bukanlah pepundenku atau orang yang termasuk wajib aku hormati, Pangeran Pringgalaya. Jadi kau tidak dapat melarang atau memerintahku sesuka hatimu seperti kau memberikan perintah kepada para prajuritmu”.

“Jika kau dapat meminta orang lain untuk bersikap jantan terhadapmu, seharusnya kau pun dapat berbuat sebaliknya pula. Bukan justru malah bersikap deksura seperti yang sedang kau lakukan seperti sekarang ini, Ki Sanak”.

“Ternyata kau pandai bersilat lidah, Pangeran Pringgalaya. Baiklah aku akan bersikap jantan, tapi ingat kalian harus bersikap jantan pula. Kedatanganku kemari tidak memiliki urusan dengan kalian semua orang-orang Mataram, kecuali hanya dengan Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Sudah aku katakan, Ki Sanak. Semua itu tergantung akan kepentinganmu kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.

Sementara para prajurit Mataram yang memiliki bekal kanuragan belum terlalu tinggi semakin merasakan kesakitan di kedua telinga dan dada mereka, bahkan ada beberapa yang sudah jatuh terduduk karena merasakan tubuhnya yang mulai melemah.

Karena pengaruh suara yang justru semakin membahana di sekitar tempat tersebut dengan ilmu sejenis Gelap Ngampar dilambari tenaga cadangan yang sangat tinggi berasal dari dua orang berilmu sangat tinggi tersebut.

Mereka sudah berusaha menjauh dari kedua sumber suara tersebut, namun masih tetap saja belum dapat menghindarkan rasa sakit itu sepenuhnya.

Berbeda sekali dengan orang-orang yang memiliki bekal kanuragan yang tinggi, mereka memiliki kemampuan untuk melindungi diri mereka sendiri, meskipun berada tidak jauh dari sumber suara.

“Apa maksudmu dengan tergantung kepentinganku?”.

“Tanpa perlu aku jelaskan panjang lebar pun, kau tentu sudah tahu maksudku, Ki Sanak”.

“Kau memang pandai sekali bersilat lidah, Pangeran Pringgalaya. Tapi jangan kau kira sedang berhadapan dengan anak ingusan yang sedang belajar bicara, sehingga dapat selalu kau cecar dengan segala ucapanmu”.

“Aku tidak pernah merasa demikian, Ki Sanak. Lalu sekarang apa maumu? apakah kau akan tetap bersembunyi dalam ilmumu yang nggegirisi itu untuk menakut-nakuti kami semua disini? atau kau ingin menyelesaikan keperluanmu?”.

“Baiklah… aku akan melepaskan ilmuku ini, tapi aku minta kalian semua tidak perlu ikut campur. Sebab aku hanya memiliki keperluan dengan Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Aku akan terima keinginanmu itu jika kita sudah saling berhadapan tanpa adanya pameran ilmu apapun”. sahut Kanjeng Sinuhun dengan suara yang wajar, yang sedari tadi berdiam diri.

“Baiklah Panembahan, aku hargai sikapmu”.

“Katakan saja apa kepentinganmu, Ki Sanak. Agar aku pun dapat mengambil sikap dengan benar. Lagi pula aku tidak memiliki banyak waktu jika hanya untuk melayanimu”.

Sejenak kemudian, angin puting beliung itu secara perlahan mulai melambat pusarannya, bahkan benda-benda berat yang tadi sempat terangkat mulai berjatuhan satu persatu.

Udara pagi yang dingin dan semakin dingin karena pusaran angin itu menjadi mulai berkurang secara perlahan, debu-debu di sekitar padang perdu itu pun mulai berterbangan ke segala arah karena sudah semakin melambatnya pusaran angin tersebut.

Daun kering, ranting-ranting pohon, dan debu-debu padang perdu serta benda apa saja yang tadi ikut terangkat masih membuat suasana menjadi gelap sekitar tempat itu pada saat-saat terakhir pelepasan ilmu yang sangat nggegirisi tersebut.

Ketika pemandangan sudah semakin terang, tampak berdirilah seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

Setelah pemandangan menjadi terang, maka menjadi semakin jelas lah wujud dari tamu yang tak diundang tersebut untuk dilihat dengan mata wadag tanpa terhalang apapun.

Semua prajurit Mataram yang melihatnya hanya tertegun di tempatnya masing-masing, entah apa yang ada dalam isi kepala mereka sehingga berbuat demikian menyaksikan orang yang baru saja datang tersebut.

Tak terkecuali para Pepunden Mataram yang ikut menjadi tertegun pula, namun sebagai orang yang memiliki bekal kanuragan tinggi dan pengalaman luas, tidak membuat mereka terlarut dalam keheranan yang berlebihan.

“Sekarang katakanlah siapa dirimu dan apa kepentinganmu denganku, Ki Sanak”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram setelah ilmu angin puting beliung itu sudah benar-benar dilepaskan.

“Kedatanganku kemari adalah untuk meminta pertanggung jawabanmu, Panembahan”. sahut orang tersebut.

“Tunggu dulu, Ki Sanak. Aku merasa kita belum pernah saling mengenal sebelumnya, tapi dengan tiba-tiba kau datang dan meminta pertanggungan jawabku, apa aku tidak salah dengar?”.

“Kita memang belum pernah saling mengenal sebelumnya, dan selama ini kita tidak pernah terlibat dalam kepentingan apapun. Tapi belum lama ini kau telah membuat kesalahan yang besar kepadaku, maka dari itu hari ini aku datang untuk meminta pertanggungan jawabmu”.

“Sebaiknya kau perkenalkan dulu siapa dirimu dan apa kepentinganmu, Ki Sanak. Agar masalahnya menjadi jelas, dengan demikian kami pun dapat mengambil sikap dengan benar”. sahut Pangeran Pringgalaya yang tidak sabar bertele-tele.

“Sepertinya percuma saja jika aku menyebutkan namaku, sebab kalian juga tidak akan tahu jika aku sebutkan namaku, karena nama pemberian dari orang tuaku itu sudah terlalu lama tidak aku gunakan lagi”.

“Lalu kami harus menyebutmu dengan sebutan apa?”.

“Baiklah… meskipun sebenarnya itu bukan nama atau gelarku sendiri, namun orang-orang lebih mengenalku dengan sebutan Ki Ageng Wirasaba, dan kebetulan aku adalah paman gurunya dari Ki Patih Rangga Permana”.

“Ki Ageng Wirasaba? paman guru Ki Patih Rangga Permana?”.

Hampir semua orang yang mendengarnya mengulang kembali nama yang telah disebutkan oleh orang yang baru saja datang dengan penuh ketegangan dan jantung berdebaran, tidak terkecuali para Pepunden Mataram yang menjadi sangat terkejut.

Karena ternyata nama tersebut memang sangat menggetarkan orang-orang Mataram yang mendengarnya. Dan pantas saja jika pada saat kedatangannya ingin menunjukkan sesuatu kepada semua orang Mataram bahwa dia adalah sebagai orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga tidak dapat dipandang sebelah mata.

Pasti dia memiliki alasannya sendiri, kenapa dia memilih cara tersebut ketika menyambangi Pasukan Mataram yang sedang menikmati waktu istirahat setelah sepanjang malam melakukan perjalanan yang sangat panjang.

“Lalu sekarang apa kepentinganmu denganku, Ki Ageng Wirasaba?”. bertanya Kanjeng Sinuhun, meskipun sudah mulai dapat menduga.

“Kau jangan pura-pura dungu dihadapanku, Panembahan”.

“Apa maksudmu, Ki Ageng?”.

“Bukankah setelah kau tahu siapakah aku, dengan serta merta kau tentu tahu pula kepentinganku datang menemuimu”.

“Mungkin aku sudah memiliki dugaan, tapi bukankah akan lebih pasti lagi jika itu keluar dari mulutmu? sebab bukan lagi hanya sebatas dugaan”.

“Harus aku akui bahwa pada umurmu yang masih sangat muda, tapi kau sudah memiliki penalaran yang cukup baik, Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Ki Ageng Wirasaba terlalu memuji”.

“Baiklah… akan aku katakan maksud kedatanganku, aku ingin meminta pertanggung jawabanmu atas gugurnya Ki Patih Rangga Permana yang telah kalian semua hinakan sebelumnya”.

“Ki Patih Rangga Permana gugur?”.

“Benar Panembahan, kau tidak salah dengar”.

“Aku ikut berbela sungkawa atas gugurnya Ki Patih Rangga Permana, Ki Ageng”.

“Terima kasih… tapi sekarang aku tidak perlu lagi basa-basi mulut manismu, Panembahan. Sebab sekarang aku ingin meminta pertanggungan jawabmu”.

“Pertanggungan jawab? pertanggungan jawab yang seperti apa yang kau maksud, Ki Ageng Wirasaba? bukankah gugurnya Ki Patih Rangga Permana adalah akibat yang wajar dalam sebuah perang tanding? apakah dengan gugurnya seseorang di dalam perang tanding yang adil itu adalah sebuah kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan?”.

“Bukan perang tandingnya yang aku permasalahkan, tapi caranya perang tanding itulah  tidak dapat aku terima”.

“Bukankah perang tanding itu dilakukan dengan cara yang seadil-adilnya? sesuai dengan paugeran perang tanding yang berlaku? dan kami merasa tidak pernah berbuat licik atau mencampuri sama sekali perang tanding tersebut, lalu apa lagi yang kau permasalahkan?”.

“Dalam perang tanding itu kalian benar-benar telah menghina seluruh kawula Wirasaba”.

“Maksud Ki Ageng?”.

“Kau jangan berpura-pura dungu, Panembahan. Apakah bukan sebuah penghinaan namanya jika seorang Patih Wirasaba yang sangat dihormati, hanya disejajarkan dengan lawan yang tidak lebih hanya sekedar seorang lurah prajurit?”. ucap Ki Ageng Wirasaba sembari matanya menatap tajam.

“Dalam perang segalanya bisa terjadi, Ki Ageng. Dan ada kalanya kita akan dihadapkan pada sebuah keadaan yang tidak dapat kita hindari, termasuk lawan yang harus dihadapi”.

“Namun dalam perang tanding itu bukan karena sebuah keadaan yang tidak dapat dihindarkan, tapi semua itu memang sudah kalian rencanakan sebelumnya. Kalian memang sengaja ingin menghina seluruh kawula Wirasaba dengan cara tersebut”.

“Sepertinya Ki Ageng Wirasaba adalah orang yang terlalu perasa, sehingga mudah sekali tersinggung”.

“Mungkin kau dapat mengarang cerita apapun tentang itu jika kepada orang lain, Panembahan. Tapi tidak kepadaku. Sebab aku menyaksikan semua itu dengan mata kepalaku sendiri sejak belum dimulainya perang tanding hingga perang tanding itu selesai”.

Para Priyagung Mataram itu tampak terkejut dengan ucapan tersebut, hal itu ditandai dengan adanya perubahan pada wajah mereka meskipun hanya sesaat.

“Aku tidak akan merasa terhina seperti ini jika kau memang merasa keberatan untuk menghadapinya, tapi paling tidak kau tunjuk salah satu dari pamanmu itu untuk menghadapi Ki Patih Rangga Permana”.

“Dan menurutku apa yang kalian lakukan itu adalah sebuah sikap penghinaan yang serendah-rendahnya tidak hanya kepada Ki Patih Rangga Permana, tapi bagi seluruh kawula Wirasaba, dan salah satu kawulanya adalah aku yang merasa sangat terhina. Baik sebagai kawula Wirasaba maupun  sebagai paman gurunya”.

“Lalu apa maumu sekarang, Ki Ageng Wirasaba?”.

“Aku meminta pertanggung jawabanmu atas penghinaan itu”.

“Lalu apa yang harus aku lakukan?”.

“Jika kau memang seorang Pepunden Mataram yang pantas untuk dijadikan teladan seluruh kawulamu, seharusnya kau bersikap jantan, dan aku menantangmu berperang tanding”.

Tanpa sadar Kanjeng Sinuhun Mataram menoleh ke arah ketiga pamannya yang berdiri di sebelah kanan kirinya, secara tersirat dia meminta pertimbangan.

“Apakah kau hanyalah seorang pepunden ingusan yang hanya berani bersembunyi dibalik punggung pamomongmu ketika mendapat tantangan berperang tanding dari lawanmu?”. ucap Ki Ageng Wirasaba yang berusaha menggores harga diri lawannya.

Sebelum menjawab, ketiga Pangeran itu sejak beberapa saat yang lalu tampak sesekali memandang berkeliling. Entah apa yang sedang mereka cari, namun sepertinya mereka masih belum dapat menemukannya.

Namun pada akhirnya…

“Begini Ki Ageng Wirasaba, sepertinya alangkah kurang tepat jika kau menantang berperang tanding Panembahan Hanyakrakusuma, sebab ini bukan gagasannya, tapi semua itu adalah semata-mata dari gagasanku pribadi”.

“Jadi maksudmu, apakah kau yang akan menjawab tantangan perang tanding dariku, Pangeran Pringgalaya?”.

“Sebenarnya memang demikian Ki Ageng Wirasaba, tapi……”.

“Tapi apa, Pangeran Pringgalaya? kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti orang dungu?”.

“Tapi ada orang lain yang merasa jauh lebih berkepentingan denganmu, Ki Ageng Wirasaba”.

“He…”.

Bagaikan mendengar petir yang meledak di hadapannya, Ki Ageng Wirasaba benar-benar terkejut dengan jawaban tersebut. Bahkan seakan dirinya belum dapat percaya dengan apa yang telah didengarnya baru saja.

“Apakah para Pepunden Mataram hanya berisikan orang-orang pengecut? berisikan orang-orang cengeng yang tidak berani melihat wutahe ludira gumulundunge mustaka totohane pati?”.

“Apakah penalaran Ki Ageng Wirasaba sedemikian sempit? sehingga mengartikan penolakanku ini sebagai sebuah sikap seorang pengecut?”.

“Apa maksudmu, Pangeran Pringgalaya? bukankah apapun alasannya, pada akhirnya kau menolaknya juga?”.

“Aku tidak pernah ingkar akan tanggung jawabku, tapi untuk sementara aku harus melupakan hal itu, sebab ada orang yang lebih berkepentingan denganmu”.

“Kau memang sangat licin Pangeran Pringgalaya, tapi baiklah. Silahkan saja jika salah satu dari saudaramu itu yang akan kau ajukan mewakilimu untuk menghadapiku, mungkin kau memang benar-benar seorang pengecut yang ulung”.

“Tidak pula dari keduanya, Ki Ageng Wirasaba”.

“Setan Alas, Iblis Laknat”.

Terdengar sumpah serapah dari Ki Ageng Wirasaba yang sangat kotor mendengar jawaban dari Pangeran Pringgalaya yang sangat menyinggung harga dirinya.

“Rupanya kau adalah orang tua yang pemarah, Ki Ageng”.

“Katakanlah siapa orangnya Pangeran Pringgalaya, namun jangan salahkan aku jika nanti orang yang kau ajukan itu tidak lebih hanya sekedar lurah prajurit, maka aku akan mengamuk di tempat ini dan menyerang siapapun tanpa memperdulikan lagi segala paugeran yang ada. Dan jika para prajuritmu menjadi korban, itu adalah salahmu dan bukan tanggung jawabku”. sahut Ki Ageng Wirasaba yang sudah mulai terpancing kemarahannya.

“Tentu tidak, lagi pula Ki Ageng tentu tahu bahwa seorang lurah prajurit yang memiliki kemampuan seperti yang menjadi lawan Ki Patih Rangga Permana itu sangat terbatas, atau bahkan tidak akan ada duanya”.

“Apakah kau akan mengajukan Ki Tumenggung Suratani untuk mewakilimu?”.

“Tidak Ki Ageng, lagipula Ki Tumenggung Suratani sekarang masih dalam masa-masa penyembuhan dari luka yang dialaminya setelah berperang tanding melawan Ki Tumenggung Ganggasura pada saat kemarin pecah perang”.

“Lalu siapakah orangnya? aku tidak memiliki banyak waktu hanya untuk sekedar menunggu”.

“Sabarlah sedikit, Ki Ageng”.

“Apa kau hanya ingin mempermainkanku dengan akal bulusmu, Pangeran Pringgalaya?”.

“Tidak Ki Ageng Wirasaba, aku tidak pernah berniat sedikitpun untuk mempermainkanmu, sama sekali tidak”.

“Lalu apa lagi yang kau tunggu? panggil orang yang kau maksud itu kemari sekarang juga”.

Wajah-wajah para Pepunden Mataram itu tampak gelisah, sembari setiap kali memandang berkeliling untuk mencari orang yang mereka maksud di antara sekumpulan para prajurit Mataram yang ikut kebingungan pula.

“Siapakah yang sebenarnya dicari oleh Kanjeng Sinuhun dan ketiga pamannya tersebut?”.

Pertanyaan yang hampir sama mulai menghinggapi para prajurit Mataram dalam suasana ketegangan dan kebingungan akan apa yang sebenarnya terjadi dan dicari.

***

Sementara itu di tempat lain di waktu yang hampir bersamaan Ki Lurah Glagah Putih hampir menyelesaikan makan paginya di Gunung Kendalisada dengan dikawani oleh Begawan Mayangkara dan istri muda dari kakak sepupunya.

“Apakah kau akan nambah lagi, Glagah Putih?”.

“Tidak mbokayu, terima kasih. Aku sudah cukup kenyang setelah agak dipaksa oleh mbokayu untuk menghabiskan dua mangkuk”.

“Kau memang harus banyak makan, agar tenagamu segera pulih. Jika tidak sedikit aku paksa kau tentu tidak makan sebanyak ini”.

“Bukan maksudku untuk menolak niat baik, mbokayu. Tapi karena selera makanku belum kembali, sehingga mulutku masih terasa pahit ketika memakan bubur itu”.

“Aku mengerti, semua itu karena kau memang masih dalam masa-masa pemulihan. Tapi jika tidak kau paksa makan, makan kau akan semakin lama untuk menemukan kesembuhanmu kembali, sebab dengan semakin banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuhmu makan akan semakin membantu kesembuhanmu pula”.

“Terima kasih atas segala pertolongan dan perhatian mbokayu kepadaku selama ini”.

“Kau tidak perlu berterima kasih, Glagah Putih. Bukankah kita adalah keluarga?”.

“Mbokayu benar, tapi sudah sepantasnya jika aku tetap mengucapkan terima kasih kepada mbokayu meskipun kita sudah menjadi keluarga sekalipun”.

“Baiklah.. terserah kau saja. Jika makan pagi kalian sudah selesai maka akan aku segera bereskan”.

“Silahkan mbokayu”.

“Apakah Eyang memerlukan sesuatu?”.

“Tidak Anjani, aku sudah cukup”. sahut Begawan Mayangkara setelah menyeruput minuman hangatnya yang memang tinggal sedikit di dalam mangkuk.

“Jika demikian aku akan membawa semuanya ke dalam”. sahut Nyi Anjani sembari membereskan peralatan makan di atas nampan untuk diangkut semua ke dapur.

Sejenak kemudian Nyi Anjani pun beranjak dari tempat duduknya di pendapa yang tidak begitu besar tersebut untuk kemudian pergi ke dapur dan membereskan semua peralatan makan yang baru saja digunakan bersama.

Kebetulan tidak jauh dari rumah itu ada sumber air meskipun hanya mengalir kecil, tapi itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuni rumah tersebut akan air bersih.

Semua peralatan makan yang kotor itu dimasukkan pada sebuah keranjang yang terbuat dari bambu apus dan beranyaman tidak terlalu rapat, yang kemudian dibawa ke sumber air yang berupa pancuran kecil untuk dibersihkan semua.

Dan di sekitar sumber air tersebut masih banyak terdapat batu wadas dan jalan tanah yang cukup licin, namun hal tersebut tidak menjadi soal bagi Nyi Anjani, sebab dirinya sudah mengenal sekitar tempat itu dengan sangat baik karena sudah lama dan terbiasa tinggal di rumah tersebut.

Ternyata Nyi Anjani sebagai orang yang berilmu tinggi tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang perempuan yang biasa dengan segala bentuk pekerjaan di dapur, dari olah-olah, penyuguhan, hingga membersihkan kembali segala peralatan dan tempatnya.

Namun entah apa yang sedang ada di dalam isi kepalanya, sehingga salah satu mangkuk yang telah selesai dibersihkannya ditempatkan agak miring pada tumpukan. Sehingga mangkuk itu pun jatuh di atas batu wadas yang berada di dekat pancuran.

“Praak”.

Sejenak Nyi Anjani menjadi tertegun melihat mangkuknya jatuh dan pecah berantakan, bukan mangkuk tersebut yang dia sesali. Namun entah mengapa hatinya tiba-tiba menjadi kurang mapan.

Tapi Nyi Anjani sendiri pun tidak tahu mengapa ada perasaan yang kurang mapan datang tiba-tiba merasuki hatinya, padahal dia merasa tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan selama beberapa waktu terakhir.

“Kenapa tiba-tiba hatiku menjadi kurang mapan? apa yang sebenarnya telah terjadi?”. membatin Nyi Anjani.

Namun Nyi Anjani tidak mau terlarut dalam perasaan yang hanya berdasarkan firasat yang tidak mendasar, sebab semua itu baru sebatas dugaan-dugaan yang tak berujung.

“Mungkin karena aku kurang hati-hati saja ketika menaruh mangkuk-mangkuk ini, hingga ada yang terjatuh”. membatin Nyi Anjani pada akhirnya, berusaha menepis hatinya yang tiba-tiba kurang mapan tersebut.

***

Sementara itu di Kepatihan Mataram, Ki Patih Singaranu yang tidak ingin terlambat untuk melaksanakan perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma, telah memanggil Senopati Mataram dari pasukan cadangan pada saat matahari baru mengintip dari balik gunung di sisi timur

Ki Patih Singaranu memang mendapat tugas mempersiapkan pasukan cadangan yang akan dikirim untuk menyusul Pasukan Mataram yang dalam dugaan akan mendapatkan serangan balik dari Pasukan Surabaya yang tidak menerima penaklukkan Kadipaten Wirasaba oleh Mataram.

Karena dengan keadaan Pasukan Mataram yang sekarang, tentu mereka akan mengalami kesulitan jika harus bertempur melawan Pasukan Surabaya yang masih utuh.

Sebab dalam Pasukan Mataram yang sekarang, selain banyaknya para prajurit yang masih terluka, baik luka ringan maupun luka berat. Tidak sedikit pula yang telah gugur, sehingga meskipun pasukan itu masih sebagai sebuah pasukan segelar sepapan, namun dengan kata lain adalah pasukan yang terluka.

“Apakah kalian dapat menduga, ada apa kalian aku panggil sepagi ini?”. bertanya Ki Patih Singaranu membuka pembicaraan.

Kedua senopati tersebut sesaat hanya dapat saling pandang, namun akhirnya salah satu dari mereka membuka suara mewakili yang lain untuk menjawab.

“Ampun Ki Patih, kami belum tahu”. sahut salah satu senopati tersebut sembari menghaturkan sembahnya.

“Ketahuilah.. bahwa ada tugas telah menanti kalian. Dan hari ini pula kalian diperintahkan oleh Kanjeng Sinuhun Mataram untuk menyusul pasukan yang telah melawat ke bang wetan. Sebab ada dugaan kuat akan ada serangan balik dari Pasukan Surabaya yang tidak menerima penaklukkan Wirasaba oleh Mataram beberapa waktu yang lalu”.

Kedua senopati itu hanya dapat terdiam dan menundukkan kepala masing-masing mendengar perintah dari pepunden yang duduk di hadapan mereka tersebut.

“Kita sudah tidak memiliki banyak waktu lagi, jadi kalian harus berangkat sesegera mungkin, atau paling lambat nanti setelah matahari terbenam”.

Kedua senopati itu hanya terdiam dan menundukkan kepala dalam-dalam sembari menunggu perintah selanjutnya dari orang yang duduk di hadapan mereka.

“Ki Tumenggung Sanggayudha, apakah ada yang ingin kau sampaikan?”. bertanya Ki Patih Singaranu kepada prajurit yang telah menggantikan kedudukan Ki Tirtayudha yang telah purna tugas dari keprajuritan.

“Ampun Ki Patih, apakah pasukan cadangan yang kami pimpin akan diberangkatkan langsung menuju Wirasaba?”.

“Tidak Ki Tumenggung Sanggayudha, pasukanmu diperintahkan untuk berangkat menuju sekitaran Pajang, dan pasukanmu itu akan diarahkan oleh para prajurit penghubung dimanakah kalian harus menunggu dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan dibawah pimpinan Kanjeng Sinuhun”.

“Sendika dawuh, Ki Patih”.

“Apakah pasukan dibawah kesatuanmu itu mencukupi?”.

“Ampun Ki Patih, hamba rasa jika pasukan cadangan yang diberangkatkan bermaksud sebagai sebuah sikap berjaga-jaga untuk menghadapi Pasukan Surabaya yang besar, hamba rasa masih belum cukup jika nanti benar-benar pecah perang”.

“Pasukan kalian diberangkatkan itu adalah semata-mata sebuah sikap pencegahan dari ancaman Pasukan Surabaya yang kuat dugaan akan mengejar Pasukan Mataram dibawah pimpinan Kanjeng Sinuhun yang sekarang sedang menarik diri. Tapi semoga saja dugaan kita itu salah, sehingga tidak akan ada perang lanjutan”.

“Kami pun berharap demikian pula, Ki Patih”.

“Tapi aku kira untuk mengurangi pengawasan dari para telik sandi lawan, sebaiknya Pasukan Jalamangkara diberangkatkan setelah matahari terbenam”.

“Sendika dawuh, Ki Patih”.

“Apakah pasukan dibawah pimpinanmu siap diberangkatkan hari ini, Ki Tumenggung Sanggayudha?”.

“Hamba kira siap, Ki Patih. Apalagi pasukan masih memiliki waktu hingga nanti matahari terbenam”.

“Syukurlah jika demikian”.

“Karena biar bagaimanapun pasukanmu akan menjadi tumpuan harapan baru bagi pasukan Kanjeng Sinuhun yang sudah tidak lagi utuh sebagai sebuah pasukan segelar sepapan. Dan selain itu, untuk memenuhi kekurangan pasukan, Kanjeng Sinuhun akan meminta bantuan kepada Pajang”.

“Pajang?”.

“Apakah ada yang salah, Ki Tumenggung Sanggayudha?”.

“Ampun Ki Patih, hamba tidak pernah bermaksud apapun, namun menurut pengetahuan hamba bukankah pasukan Pajang sekarang sudah tidak sekuat Pajang beberapa waktu yang lampau?”.

“Kau benar Ki Tumenggung, Pajang yang sekarang memang tidak sekuat Pajang beberapa waktu yang lampau, namun bukankah itu akan lebih baik daripada kita tidak mendapatkan bantuan sama sekali? dan aku kira Kanjeng Sinuhun tentu sudah memiliki pertimbangannya sendiri akan hal itu”.

“Hamba sependapat, Ki Patih. Memang alangkah lebih baiknya jika kita masih mendapatkan bantuan yang bagaimanapun bentuknya, daripada tidak sama sekali. Sebab dalam keadaan yang gawat bantuan sekecil apapun akan sangat berarti sekali”.

“Ki Tumenggung Sanggayudha benar, maka dari itu kita harus cermat dalam memperhitungkan segala kemungkinan, bahkan hingga kemungkinan paling kecil sekalipun. Sebab dalam sebuah perang segala kemungkinan dapat terjadi, bahkan terkadang terjadi dengan demikian cepatnya”.

“Benar sekali, Ki Patih”.

“Jika tidak ada lagi yang ingin kau sampaikan, aku persilahkan kalian untuk mempersiapkan diri bersama pasukan yang ada. Aku tunggu laporan kalian nanti sore, dan aku sendiri yang akan melepas keberangkatan kalian”.

“Sendika dawuh, Ki Patih. Kami mohon diri dan selanjutnya melaksanakan titah dari Kanjeng Sinuhun dengan sebaik-baiknya”. sahut Ki Tumenggung Sanggayudha sembari menghaturkan sembah, lalu bergegas meninggalkan tempat bersama kawannya tersebut.

***

Sementara itu Pangeran Pringgalaya dan para Pepunden Mataram yang lain, masih dalam keadaan kebingungan mencari sosok yang dicarinya, namun belum dapat menemukannya juga setelah beberapa saat menunggu dan mencari.

“Kalian jangan mempermainkan aku?”. ucap Ki Ageng Wirasaba yang semakin tidak sabar.

“Siapakah yang berani mempermainkan Ki Ageng Wirasaba? aku hanya minta Ki Ageng sedikit bersabar”. sahut Pangeran Pringgalaya sembari pandangan matanya tidak lepas akan keadaan yang ada di sekitarnya.

“Dari tadi kau bilang sabar.. sabar.. , sampai kapan aku harus bersabar Pangeran Pringgalaya?”.

“Apakah Ki Ageng bukanlah seorang penyabar? dan bahkan sebagai seseorang yang berwatak pemarah?”.

“Persetan.. terserah apa yang kau katakan, Pangeran Pringgalaya. Tapi yang jelas aku tidak dapat menunggu lebih lama lagi, dan aku akan mulai menghitung, jika sampai hitungan yang ke sepuluh kau belum pula ada kepastian maka jangan salahkan aku jika aku akan berbuat apa saja menurut kehendakku”.

Mendengar ucapan dari Ki Ageng Wirasaba tersebut para Pepunden Mataram menjadi semakin menegang, sebab mereka percaya bahwa orang di hadapannya tersebut tidak akan pernah main-main dengan ucapannya.

Sementara para prajurit Mataram yang hampir mengelilingi paman guru Ki Patih Rangga Permana pun hanya dapat menunggu apa yang terjadi selanjutnya tanpa dapat berbuat apa-apa sebelum mendapatkan perintah dari pepunden mereka. Namun mereka semua tidak dapat ingkar bahwa dalam hati kecil mereka pun ikut merasakan ketegangan pula atas kehadiran orang tersebut.

“Satu”. ucap Ki Ageng Wirasaba yang telah mulai menghitungnya di hadapan orang-orang Mataram yang perhatiannya telah terpusat kepadanya.

“Dua”.

“Tiga”.

“Empat”.

“Lima”.

“Enam”.

“Tujuh”.

Ternyata orang-orang Mataram tidak dapat menyembunyikan kegelisahan mereka dalam suasana yang semakin lama menjadi semakin menegangkan.

Meskipun para Pepunden Mataram tidak pernah merasa takut sedikitpun dengan apa yang akan dilakukan oleh orang yang berdiri di hadapan mereka, Namun atas pertimbangan akan kepentingan yang lebih besar maka mereka harus berhitung cermat.

Sebab hambatan yang bagaimanapun kecilnya tentu akan dapat mempengaruhi rencana secara keseluruhan yang telah disusun dengan penuh pertimbangan.

Dan atas dasar itulah para Pepunden Mataram berusaha sejauh mungkin untuk menghindari hambatan yang bakal terjadi atas kehadiran yang begitu tiba-tiba dari Ki Ageng Wirasaba.

Tapi bagi Ki Ageng Wirasaba, sikap tersebut dianggap sebagai sebuah sikap yang tidak jantan atau bahkan sebuah sikap deksura dan berusaha mempermainkannya. Maka dari itu dirinya pun telah mengambil sikapnya sendiri, sesuai dengan apa yang dia mau.

“Delapan”.

“Sembilan”.

“Se… “.

“Tunggu, Ki Ageng. Orang yang kita tunggu telah datang”. potong Pangeran Pringgalaya, ketika Ki Ageng Wirasaba hampir menyelesaikan hitungannya.

“Apa maksudmu, Pangeran Pringgalaya?”.

“Lihatlah Ki Ageng, orang itulah yang kita tunggu”. sahut Pangeran Pringgalaya sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.

Sebenarnyalah memang benar apa yang telah dikatakan oleh Pangeran Pringgalaya, sebab pada arah yang ditunjuk muncullah seseorang dari rimbunnya semak belukar hutan kecil dengan berjalan kaki dan bersikap wajar.

Orang tersebut menuruni jalan yang tidak begitu terjal seperti layaknya orang kebanyakan, bahkan tidak menunjukkan sama sekali kelebihan apapun.

“Siapakah dia?”. bertanya Ki Ageng Wirasaba dengan wajah penuh keheranan, itu dapat dilihat dari keningnya yang mengerut semakin dalam.

“Ki Ageng dapat bertanya sendiri kepada orangnya langsung”.

“Setan Alas…”. terdengar sumpah serapah yang sangat kotor dari orang yang lebih dari paruh baya tersebut karena mendengar jawaban yang tidak menyenangkan baginya, dari salah satu Pepunden Mataram.

Sementara orang yang ditunggu-tunggu itu menjadi semakin dekat ke tempat berkumpulnya Pasukan Mataram yang mendapat gangguan dari Ki Ageng Wirasaba.

“Ampun Kanjeng Panembahan, jika hamba datang terlambat”. berkata orang tersebut sembari menghaturkan sembah ketika sudah berada di hadapan pepundennya.

“Belum terlambat, tapi hampir saja terlambat”. sahut Pangeran Pringgalaya yang mendahului Kanjeng Sinuhun Mataram yang sudah siap untuk membuka mulut.

Disisi lain Ki Ageng Wirasaba pun dengan serta merta memperhatikan orang yang baru saja datang tersebut dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan penuh tanda tanya yang memenuhi isi kepalanya.

“Hamba mohon ampun atas keterlambatan ini Pangeran”.

“Sebaiknyanya kita bicarakan masalah ini nanti saja, sebab Ki Ageng Wirasaba sepertinya sudah tidak sabar lagi menunggumu guna bermain mul-mulan”.

“Sendika dawuh, Pangeran Pringgalaya”.

“Kau siapa Ki Sanak? sebab berdasarkan ciri-ciri yang aku lihat kau bukanlah seorang prajurit, tapi para pepundenmu begitu percaya diri menjerumuskanmu agar mereka dapat menghindar dari pertanggungan jawab yang aku minta”.

“Maafkan aku, Ki Ageng Wirasaba. Sepertinya namaku memang kurang dikenal orang lain, berbeda sekali dengan nama Ki Ageng Wirasaba yang sangat kawentar di seluruh tanah ini”.

“Kau tidak perlu menanggapi kata-kataku, tapi kau jawab saja pertanyaanku. Siapakah kau sebenarnya, Ki Sanak?”.

“Aku Agung Sedayu”.

“Tunggu.. tunggu.. sepertinya namamu tidak asing di telingaku, dan setelah aku ingat-ingat, berdasarkan ciri-cirimu sepertinya aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi aku lupa entah dimana?”.

“Namaku bukanlah nama yang dikenal banyak orang, Ki Ageng. Apalagi di wilayah bang wetan ini”.

“Kau tidak perlu merajuk di hadapanku, Ki Sanak”.

“Apakah aku berusaha merajuk?”.

“Aku ingat sekarang, bahwa kau adalah salah satu guru dari lurah prajurit yang telah membunuh Ki Patih Rangga Permana. Dengan kata lain kau adalah salah satu murid utama orang bercambuk”.

“Aku tidak akan ingkar bahwa apa yang kau katakan itu memang benar adanya, Ki Ageng”.

“Jika demikian, berarti kau pula yang kemarin sempat bersilang jalan denganku ketika aku akan berusaha membawa tubuh lurah prajurit itu setelah terjadi benturan ilmu puncak dengan Ki Patih Rangga Permana”.

“Ternyata Ki Ageng lah yang berusaha membawa tubuh Glagah Putih yang sudah tidak berdaya itu? meskipun aku tidak tahu maksud sebenarnya, tapi jika dilihat apa yang telah Ki Ageng lakukan, tentu Ki Ageng memiliki maksud yang tidak baik”.

“Aku tidak dapat ingkar, tapi pada kenyataannya kau telah berhasil memaksaku untuk mengurungkan niatku. Jika pada saat itu aku tidak mengingat keadaan Ki Patih Rangga Permana yang sangat gawat, tentu aku dapat memaksakan kehendakku terhadapmu, meskipun pada akhirnya dia pun tidak dapat tertolong”.

“Aku ikut menyampaikan rasa duka cita yang mendalam atas gugurnya Ki Patih Rangga Permana, Ki Ageng. Dan semoga dia mendapatkan jalan terang di alam kelanggengan”.

“Terima kasih… tapi jika melihat keadaan Ki Patih Rangga Permana yang demikian, aku kira muridmu pun tidak akan jauh lebih baik nasibnya. Jika pun dia mampu bertahan dan selamat, tentu dia akan membutuhkan waktu yang sangat lama, atau kemungkinan lainnya adalah dia tidak akan mampu menemukan kesehatannya kembali, dengan kata lain bakal meninggalkan cacat pada tubuhnya pada sisa umurnya”.

“Kita memang dapat menduga apa saja, Ki Ageng. Tapi semua itu tergantung atas kemurahan Yang Maha Welas Asih”.

Sementara orang-orang yang mendengar ucapan Ki Ageng Wirasaba pun menjadi sangat terkejut, sebab apa yang dikatakan tersebut memang sangat mungkin sekali terjadi.

Tak terkecuali Umbara, yang sebagai kemenakannya benar-benar sangat terguncang jiwanya mendengar semua itu. Namun dia pun sadar bahwa dirinya tidak dapat berbuat apa-apa, lagipula dia pun belum melihat secara langsung keadaan pamannya tersebut.

“Benarkah ucapan Ki Ageng Wirasaba itu?”. membatin Umbara dalam kebingungannya yang sangat.

“Apakah kau percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Wirasaba itu, Umbara?”. tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah samping kanannya.

“Antara percaya dan tidak, Paman Sabungsari”.

“Kau tak perlu memikirkannya terlalu dalam, sebab kita belum tahu keadaan yang sebenarnya dari pamanmu itu. Sebaiknya kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi kesembuhan pamanmu Glagah Putih”.

“Iya Paman. Semoga saja Yang Maha Welas Asih masih berkenan memberikan kekuatan dan kemurahan-Nya bagi paman Glagah Putih yang sekarang entah dimana keberadaannya”.

Sementara itu Ki Ageng Wirasaba yang sangat yakin akan dugaannya tentang keadaan Ki Lurah Glagah Putih, kemudian masih melanjutkan kata-katanya.

“Kita memang selalu percaya akan kebesaran Yang Maha Agung kepada setiap makhluknya, Ki Sanak. Tapi bukankah kita tidak dapat ingkar pula atas penalaran wajar yang sangat mungkin terjadi atas diri kita dan orang-orang sekitar kita?”.

“Ki Ageng Wirasaba benar, maka dari itu sebaiknya semua itu kita pasrahkan saja kepada Yang Maha Agung sebagai pemilik sumber dari segala sumber yang ada di dunia ini”.

“Apakah kau sudah menjadi berputus asa atas apa yang telah terjadi dengan muridmu? sehingga sekarang kau dapat dengan mudahnya berkata demikian?”.

“Apakah aku terlihat berputus asa? bukankah kita semua diwajibkan untuk selalu berusaha hingga sampai batas kemampuan kita masing-masing?”.

“Lalu apa yang sudah kau lakukan terhadap muridmu itu?”.

“Aku sudah berusaha, Ki Ageng. Tapi bukankah kemampuan kita yang meskipun sudah sundul langit sekalipun akan menjadi betapa kerdilnya ketika berhadapan dengan kehendak Yang Maha Agung?”.

“Berarti benar dugaanku, bahwa muridmu tentu sekarang sedang tergolek tak berdaya di pembaringannya dengan ditunggui oleh keluarga dan sanak kadangnya”.

Berdesir pula jantung ayah Bagus Sadewa mendengar ucapan orang yang berdiri di hadapannya meskipun dia sendiri sudah mengetahui secara pasti keadaan adik sepupu sekaligus muridnya tersebut, namun dengan cepat dia berusaha menguasai dirinya dari perasaan yang kurang mapan.

“Silahkan Ki Ageng Wirasaba berkata apa saja tentang muridku itu, karena semua itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang sedang Ki Ageng bicarakan”.

“Aku tidak perduli lagi atas muridmu, sebab sekarang aku ingin melaksanakan apa yang menjadi tujuanku datang kemari. Meskipun pada kenyataannya para Pepunden Mataram ternyata tidak lebih dari hanya sekedar sekumpulan orang pengecut dan licik”.

“Kenapa Ki Ageng berkata demikian?”.

“Kau pura-pura dungu atau memang benar-benar dungu, Ki Sanak? apakah masih kurang jelas jika salah satu dari mereka tidak berani menghadapiku dalam perang tanding? dan justru mereka mengumpankanmu kepadaku”.

“Apakah dengan demikian sudah dapat dikatakan sebagai sikap pengecut dan licik?”.

“Bagiku iya, sebab mereka telah berusaha menggores harga diriku dengan menyebut kau lah yang lebih berkepentingan denganku atas gugurnya Patih Wirasaba. Beruntunglah bahwa aku memang sangat berkepentingan denganmu. Jika tidak, maka aku akan memaksa salah satu dari Priyagung Mataram itu memasuki perang tanding”.

“Kenapa Ki Ageng memiliki dendam setinggi langit atas gugurnya Ki Patih Rangga Permana? bukankah dia gugur dalam sebuah perang tanding yang adil?”.

“Setan Alas… bukalah telingamu lebar-lebar, Ki Sanak. Bukan perang tandingnya yang aku permasalahkan, tapi penghinaan mereka lah yang tidak dapat aku terima. Dalam sepanjang sejarah tanah ini, pernahkan kau mendengar dari orang tua atau guru-gurumu seorang patih dihadapkan dengan lawan seorang lurah prajurit?”.

“Bukankah dalam sebuah perang besar, segala kemungkinan dapat saja terjadi, Ki Ageng? termasuk patih harus berhadapan dengan seorang lurah prajurit? selama itu dilakukan oleh kedua belah pihak  dengan sama-sama menjunjung tinggi paugeran perang tanding yang adil”.

“Tapi bagiku, ini sebuah penghinaan yang serendah-rendahnya bagi seluruh kawula Wirasaba, apalagi kepadaku selaku paman gurunya. Sebab Patih Wirasaba hanya disejajarkan dengan seorang lurah prajurit”.

“Mataram tidak pernah bermaksud menghina siapapun, Ki Ageng Wirasaba. Tapi…”.

“Diam kau Pangeran Pringgalaya”. potong Ki Ageng Wirasaba cepat, sembari membelalakkan matanya. “aku tidak butuh lagi sesorahmu yang penuh tipu muslihat itu. Dan seharusnya kaulah yang harus bertanggung jawab atas semua ini”.

“Jangan garang begitu, Ki Ageng”.

“Aku bersikap seperti ini tentu karena ada penyebabnya, dan kau lah penyebab semua ini, Pangeran Pringgalaya”.

“Sudahlah Ki Ageng, kita tidak dapat mempersoalkan lagi apa yang telah terjadi. Lagipula kita tidak akan mungkin bisa mengubah semua yang telah terjadi”.

“Maka dari itu aku datang kemari untuk meminta pertanggung jawabanmu, Pangeran Pringgalaya. Namun ternyata kau tidak ubahnya seorang pengecut, seperti kuthuk yang melihat burung elang, tapi penuh kelicikan”.

“Terserah apapun tanggapan, Ki Ageng”.

“Tapi ingat, Pangeran Pringgalaya. Aku akan menantangmu berperang tanding setelah aku menyelesaikan orang ini”.

“Baiklah Ki Ageng, kau dapat menyusulku jika urusanmu dengan guru Ki Lurah Glagah Putih itu telah selesai”.

“Apa maksudmu?”.

“Tentu saja aku tidak dapat menungui kalian berdua menyelesaikan urusan kalian hingga selesai. Sebab aku masih memiliki tanggung jawab lain, yaitu seluruh Pasukan Mataram”.

Sontak saja jawaban Pangeran Pringgalaya tersebut membuat Ki Ageng Wirasaba mengumpat sejadi-jadinya dengan umpatan yang sangat kotor.

“Benar-benar Iblis, sangat licin dan licik”.

“Ki Ageng tidak perlu khawatir, aku akan selalu setia menunggu kapan pun Ki Ageng dapat menyusulku setelah urusan kalian berdua selesai lebih dulu”.

Selesai berkata demikian, Pangeran Pringgalaya memberikan isyarat kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma, dan yang lain untuk segera meninggalkan tempat itu.

“Sebaiknya kita bicarakan nanti saja, Ngger”. ucap Pangeran Pringgalaya ketika melihat Kanjeng Sinuhun Mataram terlihat akan menyampaikan sesuatu.

Kemudian seluruh Pasukan Mataram pun segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali setelah harus tertunda beberapa saat karena harus beristirahat dan sedikit hambatan sehubungan dengan kedatangan paman guru Ki Patih Rangga Permana.

Sementara Umbara masih termangu ketika mendapat perintah untuk segera meninggalkan tempat itu, karena sebenarnya dirinya ingin menyaksikan apa yang bakal terjadi. Apalagi yang akan berperang tanding itu adalah pamannya sendiri.

Tetapi lebih dari itu, pamannya adalah salah satu guru yang sangat dihormatinya dalam ngangsu kawruh kanuragan, baik dari jalur keluarga yang berasal dari Ki Sadewa maupun dari jalur Perguruan Orang bercambuk.

Sehingga terbesit dalam hatinya untuk dapat menyaksikan secara langsung kemampuan pamannya, sebab menurutnya tentu pamannya akan menunjukkan tataran yang sebenarnya hingga ke tataran puncak, yang selama ini hanya dapat didengarnya saja dari para orang tua.

Namun disisi lain dia tidak dapat membantah pula perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma yang menginginkan seluruh Pasukan Mataram untuk segera meninggalkan tempat.

“Kita memang belum beruntung, Umbara”.

“Maksud Paman Sabungsari?”. sahut Umbara yang sedari tadi pandangan matanya hampir tidak pernah dilepaskan terhadap sosok yang sangat dihormatinya.

“Kita sama-sama tidak beruntung, karena kita tidak dapat menyaksikan secara langsung perang tanding itu. Apalagi jika melihat lawannya yang dihadapi, tentu pamanmu Agung Sedayu bakal menunjukkan kemampuannya hingga ke tataran puncak, yang hal tersebut jarang sekali terjadi”.

“Paman Sabungsari benar, bahkan aku sendiri pun seumur hidup belum pernah melihat itu dari Paman Agung Sedayu. Sebab jika bukan dalam keadaan seperti ini, tentu akan sulit sekali untuk meminta Paman Agung Sedayu untuk menunjukkan kemampuan yang sebenarnya hingga ke tataran puncak”.

“Memang begitulah watak pamanmu itu, dia justru lebih senang orang lain memandang rendah kemampuannya daripada dia harus menunjukkan kemampuannya di hadapan orang lain”.

“Paman Sabungsari benar”.

“Berbeda sekali dengan watak mendiang adik seperguruannya, yang lebih senang menunjukkan kemampuannya di hadapan siapa saja tanpa ada rasa keseganan sedikit pun”.

“Mungkin kita belum beruntung saja, tetapi aku yakin bahwa suatu saat nanti kita dapat menyaksikannya secara langsung. Meskipun aku sendiri belum dapat menduga kapan waktunya”.

“Semoga saja Paman”.

Sementara Pasukan Mataram yang berjumlah segelar sepapan itu telah benar-benar memulai langkahnya untuk meninggalkan padang perdu yang bakal dijadikan tempat berperang tanding dari dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Termasuk Umbara yang sebenarnya berat untuk meninggalkan tempat tersebut, tapi disisi lain dia tidak dapat mengabaikan perintah dari pepunden tertinggi Mataram begitu saja.

Pasukan yang sudah mulai tampak bergerak kembali setelah beberapa saat harus tertunda itu, berjalan seperti layaknya seekor ular raksasa yang sedang bergerak menyusuri setiap jengkal tanah dan seakan siap  memangsa siapa pun yang ada di depannya jika berani mengusiknya.

Barisan tidak berubah sama sekali dengan barisan ketika mereka mulai berangkat pertama kali dari Wirasaba kemarin ketika menarik seluruh pasukan yang ada.

Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma bersama ketiga paman pangerannya berada di kepala barisan, dengan pengawalan dari Pasukan Khusus Pengawal Raja yang sangat setia.

Kemudian disusul oleh barisan para prajurit dari kesatuannya masing-masing dan para Pasukan Pengawal dari beberapa daerah yang memiliki kemampuan memasuki medan yang garang.

Dan barisan itu terus memanjang ke belakang hingga pada barisan terakhir, yang di dalamnya terdapat pula para tawanan perang Mataram yang berasal dari orang-orang Wirasaba.

Sementara dua orang linuwih yang berdiri berhadapan itu masih saja terdiam ketika seluruh Pasukan Mataram meninggalkan tempat itu satu persatu dalam barisan dan kesatuannya masing-masing hingga barisan yang terakhir.

Ki Ageng Wirasaba terdiam memang karena berusaha menahan segala gejolak dalam jantungnya yang seakan mau meledak mendapati kenyataan tersebut.

Sementara Ki Agung Sedayu kenapa masih terdiam adalah dirinya memang sengaja menunggu apa yang bakal dilakukan orang yang berdiri di hadapannya dengan tingkat kewaspadaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dan setelah berjalan cukup jauh dari dari dua orang yang akan berperang tanding, Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma tidak dapat menahan diri lagi untuk bicara kepada pamannya.

“Maaf Paman Pringgalaya, tolong jelaskan maksud semua ini? dan mengapa tidak ada dari kita yang diperintahkan untuk mengawani Ki Agung Sedayu? bukan maksudku untuk tidak percaya akan kemampuannya, tapi kita harus berpikir tentang kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi”.

“Angger Panembahan benar, tapi percayalah bahwa Ki Agung Sedayu pun tidak datang sendiri”. sahut Pangeran Pringgalaya sembari tersenyum penuh arti.

“Jika memang dia tidak datang sendiri, kenapa kawannya itu tidak menampakkan diri?”.

“Dia tidak benar-benar membawa kawan dalam arti sebenarnya, tetapi istri-istrinya lah yang diajak untuk mengawaninya guna membayangi Ki Ageng Wirasaba”.

“He…”. sahut Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma yang terkejut mendengar keterangan tersebut.

Dan tanpa disadari sempat berdesir pula hatinya, sehingga membuat wajahnya berubah sesaat. Sebab tiba-tiba saja pepunden seluruh kawula Mataram itu teringat akan sesuatu.

“Ki Agung Sedayu hanya mengajak dua istrinya”. sahut Pangeran Pringgalaya yang memiliki panggrahita yang sangat tajam sehingga tanggap maksud dari kemenakannya tersebut.

“Oh… begitu rupanya”.

“Demikianlah Angger Panembahan, dan mereka bersembunyi tidak jauh dari tempat kita tadi, tetapi mereka dapat selalu mengawasi apa saja yang terjadi di sekitar padang perdu tersebut dari tempat persembunyian mereka”.

“Oh.. begitu rupanya, syukurlah jika demikian. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi tentang kemungkinan buruk yang mungkin saja dapat terjadi kemudian”.

“Lalu bagaimana dengan langkah kita selanjutnya, Ngger?”.

“Kita akan terus melanjutkan perjalanan sembari menunggu bantuan pasukan yang akan segera dikirim oleh Ki Patih Singaranu dari Mataram, Paman. Selain itu kita akan menunggu jawaban dari Pajang sehubungan dengan permintaan kita untuk meminta bantuan yang kita sampaikan melalui Prajurit Penghubung”.

***

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang kini sudah mendapatkan lawan untuk berperang tanding masih saja terdiam dalam gejolak perasaannya yang seakan membuat jantungnya meledak mendapati kenyataan yang tidak pernah dibayangkannya.

Sementara Ki Agung Sedayu masih menunggu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh orang yang mengaku sebagai paman guru Ki Patih Rangga Permana tersebut.

“Apakah kau tahu kenapa aku mau melawanmu dalam sebuah perang tanding, Ki Sanak?”.

“Karena muridku telah membunuh murid kakak seperguruanmu yang telah mendapat kamukten dalam hidupnya sebagai seorang Patih Wirasaba yang sangat dihormati”.

“Sebenarnya aku memang merasa sangat tergelitik untuk mencoba langsung kemampuan muridmu itu. Tapi aku rasa hanya sebuah kemustahilan, sebab kemampuannya tentu sudah tidak akan utuh lagi setelah perang tanding itu”.

“Bukankah dengan Ki Ageng bertempur melawannya justru akan menjatuhkan harga diri, Ki Ageng sendiri?”.

“Aku tahu maksudmu, tapi kemampuannya benar-benar telah menggores harga diriku. Sebab apapun keadaannya kemudian, tapi pada kenyataannya muridmu yang tidak lebih dari sekedar seorang lurah prajurit mampu mengalahkan seorang patih, bahkan hingga mampu membunuhnya dalam sebuah perang tanding”.

“Ki Ageng tidak perlu mencarinya lagi, sebab urusan murid biarlah menjadi urusan murid, dan urusan guru biarlah menjadi urusan guru”.

“Ternyata dibalik ketenangan sikapmu, tersimpan kesombongan yang tiada taranya, Ki Sanak. Karena kau sudah merasa pantas berhadapan denganku dalam sebuah perang tanding”.

“Terserah dengan pendapat Ki Ageng yang bagaimanapun juga, tetapi bukankah itu adalah wajar dalam sebuah hubungan antara murid dengan gurunya? dan setiap guru akan membela muridnya? apalagi jika itu semata-mata bukan kesalahan muridnya, tapi harus menanggung akibatnya”.

“Baiklah… untuk sementara aku akan melupakannya, sebab aku pun memiliki keperluan pribadi yang tidak kalah pentingnya denganmu, Ki Sanak”.

“Apa maksud, Ki Ageng dengan kepentingan pribadi? bukankah selama ini kita belum pernah saling mengenal? apalagi sampai saling berseberangan secara pribadi?”.

“Kau benar, memang bukan kau yang membuat kesalahan, tapi mendiang gurumu lah yang melakukannya”.

“Mendiang guruku?”. desis Ki Agung Sedayu mengulangi.

“Ya benar… mendiang gurumu”.

“Apa yang telah dilakukan oleh mendiang guruku?”.

“Mendiang gurumu telah membunuh orang yang sangat kami hormati di keluarga besar perguruan kami, sekaligus putra guru besar kami. Meskipun harus aku akui bahwa di tempat itu bukanlah satu-satunya tempat aku ngangsu kawruh kanuragan, tapi ikatan keluarga dalam perguruan kami tidak pernah luntur”.

“Siapakah nama guru Ki Ageng itu? barangkali aku pernah mengenalnya secara pribadi, atau paling tidak aku pernah mendengar namanya”.

“Raden Rangga Surapada, atau yang dikenal juga sebagai Raden Lembu Gandang Anom”.

“Raden Rangga Surapada? apakah yang Ki Ageng maksud adalah orang yang masih memiliki Trah Majapahit itu?”.

“Jika kau masih meragukannya, lihatlah ini”.

Selesai berkata demikian, Ki Ageng Wirasaba segera menyingkap bajunya di bagian dada. Dengan dada tengadah dia menunjukkan sebuah pertanda khusus.

“Kuncup Bunga Menur”. desis Ki Agung Sedayu tanpa sadarnya.

“Jika kau memang benar-benar murid Orang Bercambuk, tanpa aku jelaskan pun kau tentu sudah tahu maksud dari pertanda ini”. sahut Ki Ageng Wirasaba, lalu merapikan bajunya kembali.

“Ya.. aku mengerti”.

“Meskipun secara jalur ilmu Perguruan Windhujati lebih tua dari jalur perguruan kami, tapi bukan berarti yang lebih tua akan selalu menang dalam sebuah perbandingan ilmu kanuragan”.

“Aku sependapat”.

“Lagipula aku ingin membuktikan apakah kau benar-benar murid Orang Bercambuk, dan sejauh manakah kau dapat menyerap seluruh kawruh kanuragan dari Perguruan Windhujati”.

“Aku tidak seperti mendiang guruku, Ki Ageng. Sebab apa yang aku lakukan tidak lebih hanya dapat berusaha melangkah setapak demi setapak dalam ngangsu kawruh kanuragan”.

“Akan sama-sama kita buktikan sekarang”.

“Apakah tidak ada penyelesaian yang lebih baik lagi, Ki Ageng?”.

“Apakah tiba-tiba kau menjadi ketakutan? seperti inikah sikap seorang murid Orang Bercambuk yang telah mewarisi seluruh kawruh kanuragan dari jalur Perguruan Windhujati yang sudah sangat kawentar?”.

“Bukan itu maksudku, Ki Ageng. Bukankah alangkah lebih baiknya jika masalah ini kita bicarakan baik-baik tanpa harus mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang? apalagi jika mengorbankan salah satu di antara kita”.

“Bicara baik-baik kau bilang? kau bicara demikian setelah dua orang penting dan sangat aku hormati meregang nyawa di tangan guru dan muridmu?”.

“Bukankah itu adalah akibat yang wajar dalam sebuah perang tanding? lagipula kedua perang tanding itu dilakukan dengan adil dan sama-sama menjunjung tinggi paugeran”.

“Justru itu telah menggores harga diriku sebagai orang yang merasa tunggal guru dan ngangsu kawruh di sumber yang sama. Selain itu penghinaan kalian orang-orang Mataram tidak dapat aku terima, sebab Patih Wirasaba hanya disejajarkan dengan seorang lurah prajurit”.

Ki Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam mendengar jawaban orang yang berdiri di hadapannya tersebut, sebab sepertinya mereka berdua sudah tidak akan dapat menghindari lagi kekerasan sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah.

“Bersiaplah Ki Sanak! dan jika kalian ingin mengeroyokku bersama-sama, aku tidak keberatan”.

“Apa maksud Ki Ageng?”.

“Kau jangan berusaha membodohi aku, Ki Sanak. Bukankah kau telah mengajak dua orang untuk mengawanimu? dan kini sedang bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan dan semak belukar itu?”. sahut Ki Ageng Wirasaba sembari menunjuk ke arah yang dimaksudnya.

Sebenarnyalah bahwa arah yang ditunjuk oleh Ki Ageng Wirasaba memang tepat, Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah masih berusaha menyembunyikan keberadaannya di balik semak belukar yang tumbuh di pinggir hutan kecil tersebut.

Pada awalnya kedua istri Ki Agung Sedayu itu terkejut dengan ucapan Ki Ageng Wirasaba, tapi kemudian mereka menyadari bahwa orang tersebut adalah orang yang berilmu sangat tinggi sehingga mereka memakluminya.

“Sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi kita bersembunyi di tempat ini, mbokayu”. berkata Nyi Sekar Mirah yang masih berada di tempat persembunyiannya.

“Lalu bagaimana menurutmu?”.

“Aku rasa sebaiknya kita mendekat ke arena saja, tapi tidak perlu terlalu dekat pula, yang penting kita terlihat menampakkan diri pada Ki Ageng Wirasaba”.

“Baiklah aku sependapat, marilah... “.

Dua orang perempuan perkasa dengan pakaian khususnya dan senjata andalan masing-masing itu segera menyibak semak belukar yang menghalangi jalan, lalu mendekat ke tepi hutan kecil yang tak terhalangi semak belukar.

“Ternyata yang bersembunyi adalah dua harimau betina, aku tidak pernah menduga ini sebelumnya. Karena jarang sekali orang akan mengajak perempuan ketika menjalankan tugas, kecuali dengan orang-orang khusus dan dalam keadaan khusus pula”.

“Ki Ageng tidak perlu memikirkannya, sebab kehadiran mereka berdua tidak lebih hanya untuk mengawani aku dan sebatas menjadi saksi saja apa yang bakal terjadi di tempat ini, bukankah itu adil? sebab Ki Ageng pun membawa kawan pula? justru kawan Ki Ageng berjumlah lima orang”.

“Sebenarnya aku tidak membawa seorang kawan pun, tapi atas kemauan mereka sendirilah kemudian menyusulku kemari. Dan mereka pun tidak akan berbuat apa-apa disini, mereka hanya mengkhawatirkanku yang menyusul Pasukan Mataram”.

“Bukankah pada intinya akan sama saja? sebab pada akhirnya kita semua disini memiliki kawan masing-masing?”.

“Terserah saja apa tanggapanmu, tapi aku tidak ingin menunda lagi perang tanding di antara kita. Sejak tadi kita sudah terlalu banyak bicara, bersiaplah Ki Sanak”.

“Apa boleh buat”. desis Ki Agung Sedayu yang menyadari bahwa tidak akan mampu lagi untuk mencegah perang tanding di antara mereka berdua.

Sejenak kemudian keduanya segera mempersiapkan diri untuk memulai perang tanding, sebagai jalan terakhir guna menyelesaikan masalah yang sebenarnya ditimbulkan oleh orang lain, tapi masih memiliki hubungan dalam sebuah perguruan.

Ki Ageng Wirasaba yang menyadari siapakah lawannya, tidak mau memandang sebelah mata. Maka dari itu dia tidak memulai pertarungan dengan tataran demi tataran sebagai sebuah sikap penjajagan.

Dengan diawali dengan lompatan panjang, paman guru Ki Patih Rangga Permana itu menyerang kening dengan serangan terjulur lurus langsung dengan kecepatan yang sangat tinggi dengan kepalan tangan kanannya.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Ki Agung Sedayu tidak menjadi gugup mendapatkan serangan yang secepat tatit pada serangan pertama serta dibarengi suara desir angin yang menandakan bahwa lawannya sudah melambari serangan tersebut dengan tenaga cadangan.

Dengan memiringkan tubuhnya, dia pun berhasil menghindari serangan tersebut. Namun apa yang dilakukannya itu sudah diduga oleh lawannya yang segera mengirimkan serangan susulan kaki kirinya ke arah punggung dengan gerakan  memutar.

Ayah Bagus Sadewa yang merasa belum ingin terjadi benturan di antara mereka, segera merendahkan tubuhnya sembari menyapu kaki lawan dengan gerakan memutar.

Kemudian pertarungan antara dua orang yang berilmu sangat tinggi itu menjadi semakin sengit karena mereka masih mampu bertahan dan menyerang dengan sama baiknya.

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang ingin segera menaklukkan lawannya segera meningkatkan tataran kemampuanya langsung beberapa lapis lebih tinggi setelah tubuhnya sudah semakin banyak mengeluarkan titik-titik peluh.

Ki Agung Sedayu yang sebelumnya tidak menduga lawannya akan meningkatkan tataran kemampuannya demikian cepatnya tiba-tiba menjadi terdesak beberapa saat dengan serangan lawan yang semakin cepat dan keras.

Namun setelah ditingkatkannya pula tataran kemampuannya, maka dia pun secara perlahan dapat membebaskan diri dari tekanan serangan lawannya laksana air bah datangnya bergulung-gulung dalam pertarungan jarak dekat.

Ketika lawannya sudah merambah tenaga cadangan yang semakin tinggi, Ki Agung Sedayu yang tidak ingin mengambil resiko segera mengetrapkan ilmu kebalnya untuk melindungi diri, tetapi tidak langsung pada tataran puncaknya.

Meskipun dalam aliran Perguruan Windhujati itu sendiri terdapat pula tentang kawruh ilmu kebal, namun ayah Sekar Wangi telah lebih dulu mempelajari ilmu kebal yang bersumber dari jalur perguruan Ki Waskita yang dulu sempat meminjamkan kitabnya.

Sehingga membuatnya tidak mempelajari jenis ilmu yang sama wataknya, meskipun dirinya adalah murid tertua dari jajaran murid utama cucu Empu Windujati, atau yang lebih dikenal dengan Kyai Gringsing atau Orang Bercambuk.

Semakin lama pertarungan berjalan dengan semakin sengitnya, maka benturan demi benturan pun semakin tidak dapat dihindari lagi oleh kedua orang yang berilmu sangat tinggi tersebut ketika bertahan atau menyerang.

“Setelah beberapa saat kita bertarung, aku mulai dapat melihat bahwa apa yang kau tunjukkan itu memang ciri-ciri tata gerak dari aliran Perguruan Windujati, meskipun pada perkembangannya sudah tidak murni lagi. Tapi aku ingin melihat hingga sejauh mana kau menguasai tataran Perguruan Windujati”. ucap Ki Ageng Wirasaba setelah mengambil jarak dari lawannya.

“Sudah aku katakan, Ki Ageng. Bahwa apa yang dapat aku kuasai itu belum sebaik mendiang guruku”. sahut Ki Agung Sedayu yang sengaja memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menilai keadaan sesuai dengan apa yang telah dilihatnya.

“Bersiaplah Ki Sanak… aku tidak ingin bermain-main lagi seperti anak kemarin sore yang baru belajar loncat-loncatan saja ketika menghadapi pertempuran yang sesungguhnya. Lagipula itu tidak akan pernah menyelesaikan pertarungan ini”.

Ki Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam mendengar ucapan lawannya, yang sepertinya memang akan segera membuktikan apa yang sudah terucap.

Namun dalam itu dia tidak pernah meninggalkan kewaspadaan sedikitpun, sebab untuk menghadapi orang yang berilmu sangat tinggi kelengahan sekecil apapun dapat berarti petaka.

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang telah merambah ke tataran ilmunya yang semakin tinggi telah memusatkan nalar budinya guna mengetrapkan salah satu ilmu simpanannya yang disalurkan melalui kedua tangannya.

Tiba-tiba dari kedua tangan orang berumur lebih dari paruh baya tersebut muncul cahaya seperti petir kecil yang dapat digunakan untuk menyerang kapan saja.

Dengan serta merta tanpa sadarnya pameran ilmu itu membuat kedua istri Ki Agung Sedayu mulai diliputi ketegangan dan jantung berdebaran semakin kencang.

Apalagi bagi kedua perempuan perkasa itu belum pernah menyaksikan sendiri secara langsung jenis ilmu yang seperti demikian, kecuali hanya sebatas mendengar ceritanya saja sekilas pada waktu yang lampau.

Lalu tanpa menunggu lagi, Ki Ageng Wirasaba pun segera mengayunkan kedua tangannya secara beruntun ke arah lawan yang berdiri tegak di hadapannya.

Seketika terdengar dua suara ledakan sangat keras dan mampu mengguncangkan udara di sekitar, namun apa yang sebenarnya terjadi membuat semua orang yang menyaksikan membelalakkan matanya, saking tidak percayanya.

Karena ternyata suara ledakan itu berasal dari sebuah pohon yang terkena serangan tersebut yang kebetulan berada di garis lurus serangan dari Ki Ageng Wirasaba.

Pohon Mahoni ukuran pelukan satu orang dewasa itu seketika meledak dan roboh, serta pohon itu kemudian menjadi hangus terbakar seperti tersambar petir yang ganas.

Sementara ayah Bagus Sadewa masih mampu membebaskan dirinya dari serangan maut dengan kecepatan tinggi tersebut dengan mengetrapkan ilmu meringankan tubuh pada tataran puncak.

“Luar biasa”. desisnya, ketika melihat akibat yang ditimbulkan dari serangan tersebut.

“Kau jangan senang dulu, Ki Sanak. Kau masih mampu menghindari seranganku itu hanya sebuah kebetulan atau kau memang benar-benar mampu melakukannya”. ucap Ki Ageng Wirasaba sembari menggeram karena serangannya hanya mengenai sebuah pohon.

“Kebetulan Yang Maha Welas Asih masih memberiku kekuatan untuk menghindari serangan Ki Ageng yang luar biasa itu”.

“Kau tidak perlu lagi sesorah di hadapanku, Ki Sanak. Sekarang kita berdiri sebagai lawan”.

Ki Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam, dalam sekali mendengar ucapan orang yang berdiri di hadapannya sebagai lawan berperang tanding.

“Bersiaplah”.

Tanpa menunggu jawaban, sejenak kemudian Ki Ageng Wirasaba pun kembali memusatkan nalar budinya guna mengetrapkan ilmunya kembali.

Kali ini serangan laksana petir itu datang bertubi-tubi menyerang lawannya tanpa ampun, sehingga mengakibatkan suara ledakan demi ledakan tidak terelakkan lagi.

Pameran ilmu dengan berlandaskan tenaga cadangan pada tataran  yang sangat tinggi itu datang tanpa ampun, siap melumat  apa saja dan siapa saja yang ada.

Justru orang-orang yang menyaksikan perang tanding itulah yang lebih diselimuti oleh ketegangan, bahkan rasa-rasanya jantung mereka telah terlepas dari tempatnya.

Namun bagaimanapun juga mereka hanya sebatas menjadi saksi pertarungan antara hidup dan mati dua orang yang berilmu sangat tinggi tersebut, selain itu mereka tidak memiliki hak sekecil apapun untuk mengganggu jalannya perang tanding, apapun yang bakal terjadi nantinya.

Sebenarnyalah Ki Agung Sedayu masih mampu menghindari setiap serangan yang datang mengarah kepadanya, meskipun serangan itu datangnya bertubi-tubi dan seakan mengetahui kemana pun dia akan bergerak.

Tetapi dengan kemampuannya yang sangat tinggi membuat dirinya mampu bergerak lebih cepat dari semua serangan yang datang dari lawannya.

“Apakah murid-murid Windhujati hanya dapat loncat-loncatan saja?”. sembari masih menyerang, Ki Ageng Wirasaba berkata setengah berteriak ketika menyadari serangannya tidak ada yang menemui sasaran satupun terhadap lawannya, namun lawannya tidak segera membalas menyerangnya dari jarak jauh.

“Aku memang belum memiliki kesempatan untuk mengetrapkan ilmuku sembari menghindari serangan dari Ki Ageng yang sangat nggegirisi ini”.

“Omong kosong… ternyata kau memang adalah orang yang sombong tiada taranya, apakah kau kira aku tidak tahu maksudmu yang tersembunyi?”.

“Apakah aku adalah orang yang sombong?”.

“Ya… kau adalah orang yang sombong. Sebab sejak tadi kau hanya berusaha berloncatan saja seperti seekor tupai, tanpa sama sekali membalas seranganku”.

“Bukankah sudah aku katakan bahwa aku belum memiliki kesempatan?”.

“Kau dapat berkata demikian di hadapan orang lain, tapi tidak di hadapanku. Karena sedikit banyak aku sudah dapat menduga sejauh mana tataran kemampuanmu”.

“Lalu Ki Ageng mau apa?”.

“Kita bertarung secara jantan, dengan saling menyerang. Bukan hanya bermain loncat-loncatan”.

Ki Agung Sedayu menarik nafas dalam.

“Baiklah… semoga saja apa yang dapat aku tunjukkan tidak akan pernah mengecewakan Ki Ageng Wirasaba”.

Kemudian keduanya kembali mempersiapkan diri untuk pertarungan selanjutnya, dan tentu saja mereka sama-sama telah meningkatkan tataran kemampuan semakin tinggi, tetapi belum sampai ke puncak.

Ki Agung Sedayu yang sempat melihat bahwa lawannya yang kembali memusatkan nalar budinya sempat tertegun, sebab dia tau bahwa apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut akan merambat pada sebuah jenis ilmu yang sangat nggegirisi.

Tiba-tiba saja tersebar bau wangi yang semerbak di sekitar tempat tersebut, bahkan orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun dapat mencium bau tersebut, meskipun pengaruhnya tidak sekuat di arena.

“Apakah mbokayu mencium bau semerbak ini?”.

“Aku menciumnya pula, Sekar Mirah”.

“Sepertinya ini memang salah satu jenis ilmu dari perguruan Ki Ageng Wirasaba yang sekarang sudah hampir tidak ada yang dapat mengenali lagi”.

“Beruntunglah kakang Agung Sedayu meskipun tidak berada di jalur perguruan yang sama, tapi mendapat kesempatan mempelajari jenis ilmu yang sama. Meskipun pada pengembangannya bisa berbeda wataknya, tapi itu tergantung pula pada orang yang telah menguasai ilmu tersebut”.

“Mbokayu benar”.

Sementara Ki Agung Sedayu yang berada di arena, merasakan sekali pengaruh ilmu yang menyerang melalui indra penciuman, lalu melemahkan penalaran dan sekujur tubuhnya.

Sebab jika seseorang terkena serangan jenis ilmu itu maka seketika tubuhnya akan kehilangan keseimbangan dan keadaannya akan semakin melemah, baik secara kemampuan wadag maupun penalarannya.

Ketika Ki Ageng Wirasaba melihat lawannya mulai terpengaruh serangan ilmunya pada tataran yang sangat tinggi, tanpa menunggu lagi dia segera menyerang.

Serangan yang begitu tiba-tiba dan dilakukan dengan kecepatan yang sangat tinggi, membuat Ki Agung Sedayu yang masih dalam pengaruh ilmu lawannya menjadi sangat terkejut. Bahkan dirinya tidak mampu lagi menghindar ketika kaki lawan menerjang dada dengan lompatan panjang.

Seketika ayah Sekar Wangi itu terlempar ke belakang beberapa langkah, lalu berguling beberapa kali untuk tetap menjaga jarak dengan lawannya yang mungkin saja kembali menyerang tanpa menunggu dirinya bangkit lebih dulu.

Namun kali ini dugaannya salah, karena ternyata lawannya dengan setia menunggunya untuk bangkit lebih dulu sembari bertolak pinggang menikmati kemenangan kecilnya.

“Ternyata tepat dugaanku.. kau memiliki bekal ilmu kebal, Ki Sanak. Jika tidak, maka sekarang ini sudah aku pastikan bahwa tulang-tulang di dadamu sudah berpatahan, atau paling tidak tulang-tulangmu akan mengalami keretakan karena terjanganku”.

Sebenarnya serangan itu memang sangat berbahaya sekali. Karena selain kecepatannya yang seperti burung Sikatan, serangan tersebut dilambari tenaga cadangan yang tinggi pula.

Bahkan jika serangan itu ditujukan pada batu atau sebuah pohon, tentu akan hancur dan roboh seketika. Beruntunglah yang mendapat serangan itu adalah orang yang memiliki bekal ilmu kebal.

Tetapi meskipun ayah Bagus Sadewa itu sudah mengetrapkan ilmu kebalnya, namun dia tidak dapat ingkar bahwa serangan lawannya mampu menembus ilmu kebalnya. Sebab dadanya sempat merasakan nyeri.

Sehingga sebelum dia melanjutkan lagi pertarungan, maka ditingkatkannya ilmu kebalnya hampir ke tataran puncak untuk mengurangi segala kemungkinan buruk.

“Marilah kita lanjutkan kembali pertarungan ini, Ki Sanak”. berkata Ki Ageng Wirasaba setelah melihat lawannya sudah mampu bangkit kembali.

Tetapi ada hal yang kurang disadari oleh paman guru Ki Patih Rangga Permana tersebut, bahwa sebenarnya lawannya tersebut telah berhasil menutup indranya dari pengaruh ilmu yang sangat nggegirisi tersebut.

Namun Ki Agung Sedayu memang dengan sengaja tidak langsung menunjukkan keberhasilannya, dengan maksud untuk menjajagi tataran kemampuan lawan sekaligus memperhitungkan kelengahan yang mungkin saja dilakukan lawannya.

Kemudian Ki Ageng Wirasaba pun segera menyerang kembali lawannya dengan serangan membadai dalam tataran ilmu yang semakin tinggi, baik secara kemampuan maupun kecepatan.

Seakan Ki Ageng Wirasaba tidak ingin memberikan kesempatan sedikitpun kepada lawannya hanya untuk sekedar menarik nafas dengan tenang.

Semakin lama pertarungan itu semakin meningkat ke tataran yang semakin tinggi, itu dapat dilihat dari keduanya yang seakan sudah tidak menjejakkan kakinya di tanah dan hanya terlihat seperti bayangan yang berterbangan di atas padang perdu yang tidak begitu luas tersebut.

“Setan Alas…”.

Terdengar Ki Ageng Wirasaba mengumpat dengan umpatan yang sangat kotor, di sela-sela pertarungan yang masih berjalan dengan sengitnya. Setelah menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi kepada lawannya.

“Kenapa tiba-tiba Ki Ageng mengumpat?”.

“Ternyata kau telah mempermainkan aku, dengan berpura-pura tubuhmu melemah karena seranganku melalui indra penciuman. Padahal kau memiliki kemampuan untuk menutupnya, sehingga kini kau mampu bertarung dengan wajar dan tak terlihat terganggu oleh apapun”.

“Oh.. itu rupanya. Tapi aku tidak berniat sedikitpun untuk mempermainkan Ki Ageng”.

“Meskipun kau tidak berniat, tapi sikapmu telah menunjukkan demikian. Jadi sama saja artinya”.

Namun pembicaraan di sela-sela pertempuran itu harus terputus karena kemudian keduanya harus memusatkan perhatian terhadap pertarungan yang semakin sengit dan berbahaya.

Beberapa saat kemudian, Ki Ageng Wirasaba berusaha mengambil jarak dari lawannya dengan lompatan panjang beberapa langkah ke belakang.

“Meskipun aku adalah murid dari Raden Rangga Surapada, namun dia bukanlah satu-satunya guru yang pernah aku suwitani dalam ngangsu kawruh kanuragan. Sehingga perbendaharaan ilmuku menjadi semakin lengkap dan kemudian luluh menjadi satu, jadi jangan kau kira akan mampu mengenali setiap jenis ilmu simpananku”.

“Aku mengerti”.

“Bersiaplah… aku akan merambah pada salah satu ilmuku”.

Tanpa menunggu jawaban, Ki Ageng Wirasaba segera mengambil sikap untuk memusatkan nalar budinya guna mengetrapkan salah satu ilmu simpanannya.

Sejenak kemudian dia pun melenting ke udara beberapa kali, namun ketika dia telah menjejakkan kakinya di tanah membuat orang yang melihatnya menjadi terkejut. Sebab kini sosok Ki Ageng Wirasaba telah berubah menjadi dua, dan berdiri saling menyebelah.

“Apakah ilmu ini sejenis dengan ilmu yang dimiliki oleh Swargi Ki Patih Mandaraka yang mampu membelah diri menjadi dua? atau ilmu yang masih sejenis dengan Aji Candrabirawa dalam babad pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Salya?”.

“Aku belum tahu, Mbokayu. Tapi aku kira masih sejenis ilmu semu yang dimiliki pula oleh Kakang Agung Sedayu. Coba kita lihat melalui pengamatan batin”. sahut Nyi Sekar Mirah yang juga penasaran akan ilmu lawan suaminya.

“Luar biasa… bahkan aku sendiri pun tidak dapat membedakan mana wadag yang asli dan yang bukan”. sahut Nyi Pandan Wangi setelah selesai mengamati melalui penglihatan batinnya.

“Aku pun demikian, Mbokayu”. sahut Nyi Sekar Mirah dengan perasaan kecewa.

“Semoga saja kakang Agung Sedayu dapat dengan segera mengatasi ajian itu. Sebab jika tidak, maka kali ini kakang Agung Sedayu benar-benar dalam keadaan bahaya sekali”.

“Marilah kita sama-sama nenuwun”.

Sementara Ki Agung Sedayu yang kini melihat lawannya mengetrapkan sejenis ilmu semu itu sempat tertegun sesaat dan mengerutkan keningnya.

“Aji Kalanetra”. desisnya.

“Ilmu ini memang adalah ilmu yang sama dengan ilmu yang digunakan oleh Ki Patih Rangga Permana, namun pada perkembangannya tatarannya lah yang membedakan. Sebab aku lebih memiliki kesempatan untuk lebih menyempurnakan ilmu ini dengan segala syarat laku prihatin yang sangat berat”.

“Oh… begitu rupanya”.

“Jadi jangan kau kira akan dengan mudahnya dapat menemukan kelemahan ilmu ini, kecuali kau benar-benar memiliki pengamatan batin yang sangat tinggi”.

“Benar-benar luar biasa, baru kali ini aku melihat pameran ilmu yang sangat ngedap-edapi, bahkan nyaris sempurna”.

“Jika sekarang kau menjadi ketakutan, menyerahlah! sebab dengan demikian pekerjaanku akan lebih cepat selesai. Dan aku berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya ketika mengirim selembar nyawamu ke alam kelanggengan”.

“Apakah menurut Ki Ageng, aku harus menyerah?”.

“Terserah kau saja, itu hanya sebuah pilihan yang dapat aku tawarkan untuk kepergianmu menuju ke alam kelanggengan. Dengan cara baik-baik atau dengan caraku?”.

“Apakah menurut Ki Ageng, perang tanding itu sama saja artinya dengan kematian dari salah satunya?”.

“Iya… sebab aku telah kehilangan dua orang yang sangat aku hormati dari perang tanding”.

“Jika dalam sebuah perang tanding itu menyisakan dendam dari orang-orang terdekat orang yang terbunuh, bukankah itu tidak pernah akan ada habisnya? jadi di dalam hidup ini yang ada hanyalah ajang untuk saling membalas dendam tanpa pernah berkesudahan?”.

“Terserah apa pendapatmu, Ki Sanak. Tapi yang jelas aku tidak dapat menerima semua ini begitu saja, terutama apa yang telah terjadi pada Ki Patih Rangga Permana. Bagiku itu adalah sebuah penghinaan yang tidak dapat aku maafkan”.

Ki Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam, bahkan dalam sekali untuk mengurangi segala kepepatan hatinya yang seakan hidupnya tidak pernah dapat lepas dari api dendam yang hampir tidak pernah berkesudahan dari orang-orang yang datang silih berganti dengan alasannya masing-masing.

“Bersiaplah… jangan sebut aku berbuat licik karena tiba-tiba menyerangmu tanpa peringatan dulu”. berkata Ki Ageng Wirasaba yang sudah tidak sabar ingin memulai kembali pertarungan.

Bekas pemimpin Pasukan Khusus yang berkedudukan di Menoreh itu tidak menjawab, namun segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi salah satu ilmu yang ngedap-ngedapi dari lawan, yaitu Aji Kalanetra.

Namun entah mengapa dirinya tidak segera mengetrapkan jenis ilmu yang hampir sama untuk menghadapi ilmu semu lawan yang sudah hampir sempurna tersebut.

“Mengapa kakang Agung Sedayu masih belum mengetrapkan Aji Pengangen-Angennya?”.

“Aku juga tidak tahu, Sekar Mirah. Mungkin kakang Agung Sedayu masih memiliki pertimbangan lain untuk menghadapi Aji Kalanetra dari Ki Ageng Wirasaba”.

Sementara Ki Agung Sedayu yang tidak mau mengambil resiko, segera meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke tataran puncak.  Sehingga tak terelakkan membuat sekujur tubuhnya memancarkan hawa panas terhadap sekitarnya.

Namun rupanya hawa panas itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap dua sosok Ki Ageng Wirasaba yang kali ini menyerangnya dengan garangnya.

Dua sosok wujud semu itu dapat menyerang silih berganti dan saling mengisi satu sama lain dengan sangat luwesnya dan tanpa terlihat kecanggungan sedikitpun.

Sebagai orang yang menguasai pula ilmu semu, Ki Agung Sedayu tidak menjadi gugup dan kebingungan meski harus menghadapi dua sosok semu sekaligus.

“Luar biasa”. desisnya dalam hati.

“Dua sosok semu ini hampir sempurna, wataknya mirip dengan Aji Pengangen-Angen yang aku miliki. Tetapi ada perbedaan yang mendasar dari keduanya”. batinnya, di sela-sela pertempurannya melawan dua sosok semu tersebut.

Sementara wujud asli dari Ki Ageng Wirasaba yang belum melibatkan diri masih sempat tersenyum dengan kemenangan kecilnya, karena melihat lawannya kini menjadi sibuk menghadapi wujud semunya.

Sebab pada pengetrapan Aji Kalanetra, justru pada wujud aslinya seakan-akan hilang dari pandangan mata untuk mengelabuhi lawan dan dapat menyerang kapan saja tanpa diketahui keberadaannya.

Terutama bagi orang yang belum memiliki bekal kawruh kanuragan yang tinggi, maka ilmu ini tentu akan benar-benar menjadi petaka. Sebab tidak dapat mengetahui keberadaan lawannya yang siap setiap saat untuk njulung tungkul.

Sementara Ki Agung Sedayu mulai dapat menilai Aji Kalanetra yang ternyata mampu memberikan akibat kewadagan ketika wujud semu itu diisi dengan pancaran ilmu oleh pemiliknya, tapi di lain waktu dapat tiba-tiba hanya sebatas bayangan dalam arti sebenarnya dan tidak membawa akibat secara kewadagan jika dikosongkan pancaran ilmunya.

Setiap benturan yang terjadi benar-benar luar biasa, sebab udara di sekitar seakan tiba-tiba meledak. Bahkan tidak hanya sekali, tapi hampir setiap terjadi benturan maka terdengar ledakan dan sesekali memancarkan percikan cahaya menyilaukan pula.

Sekitar arena perang tanding di padang perdu yang tak seberapa luas itu sering terguncang dan sesekali meledak dan menumpahkan segala isinya dari dalam.

Daun-daun kering, debu, dan apa saja yang berada di tempat tersebut berhamburan ke segala sisi, hingga membuat tempat itu seakan sedang diterjang badai yang sangat besar.

Tanah tempat mereka berpijak pun seakan telah dibajak oleh beberapa lembu secara tidak beraturan, akibat dari benturan kekuatan dari dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Setelah beberapa saat bertempur, Ki Agung Sedayu semakin terdesak ketika harus menghadapi dua wujud semu yang sudah hampir sempurna, hingga membuatnya hampir mendekati salah satu sisi hutan kecil di padang perdu tersebut.

Beberapa kali tubuh ayah Sekar Wangi itu telah terkena serangan dari bayangan semu tersebut, bahkan seakan telah mampu menembus ilmu kebalnya yang sudah berada di tataran puncak, tapi belum mampu sampai menyakitinya.

Setelah sejenak menikmati kemenangan kecilnya, tiba-tiba wujud asli Ki Ageng Wirasaba yang sudah mengetrapkan ilmu yang mampu meredam segala bentuk bunyi itu akan ikut melibatkan diri ke dalam pertarungan yang semakin sengit.

Namun apa yang tidak pernah diduga terjadi kemudian, sebelum Ki Ageng Wirasaba benar-benar ikut melibatkan diri ke dalam pameran ilmu yang semakin tinggi dan ngedap-edapi.

Ki Agung Sedayu yang sebenarnya mampu melihat wujud asli dari lawanya dengan tepat, tidak ingin semakin terjebak ke dalam kesulitan jika wujud asli tersebut ikut melibatkan diri.

Maka dari itu dia berusaha melepaskan diri dari terjangan serangan lawan-lawan semunya dengan melentingkan tubuhnya beberapa kali di udara untuk kemudian mengambil jarak.

Dan ketika menjejakkan kakinya di tanah.

“Ternyata Kyai mendapat lawan yang luar biasa”. ucap salah satu orang yang menyaksikan perang tanding, yang berseberangan tempatnya dengan Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah berdiri.

“Tentu saja lawan Kyai adalah orang yang berilmu sangat tinggi. He…  bukankah kalian juga tahu, bahwa lawan Kyai itu adalah salah satu guru lurah prajurit yang telah membunuh Ki Patih Rangga Permana?”.

“Kakang Wiramba benar, lalu?”.

“Bukankah tanpa dijelaskan pun kalian tentunya sudah tahu, bahwa kemampuan orang ini tentu masih di atas muridnya itu”.

Mereka tidak menjawab selain hanya menganggukkan kepala, setelah itu mereka kembali memusatkan perhatiannya ke arena perang tanding yang semakin menegangkan.

Sebab sudah pada tataran setinggi itu pun mereka semua yang menyaksikan masih belum dapat melihat tanda-tanda siapakah yang bakal keluar sebagai pemenangnya.

Sementara wujud asli Ki Ageng Wirasaba yang sebenarnya tadi sudah bersiap untuk melibatkan diri, menjadi tertegun di tempatnya setelah melihat apa yang telah terjadi.

“He… Aji Kakang Kawah Adi Ari-Ari?”. berkata salah satu wujud semu Ki Ageng Wirasaba tersebut.

“Sepertinya kita ada persamaan, Ki Ageng. Meskipun aku adalah salah satu murid dari Perguruan Windhujati, namun bukan berarti itu adalah satu-satunya tempat aku ngangsu kawruh kanuragan, yang kemudian luluh menjadi satu dalam setiap langkahku”.

“Baiklah.. jika demikian marilah kita mencoba bermain-main dengan wujud semu ini, semoga saja menjadi sebuah permainan yang menarik”.

Sejenak kemudian, terjadilah pertempuran yang sama-sama mengetrapkan ilmu semu, dan kebetulan sama-sama berjumlah tiga sosok dengan wujud aslinya. Dan salah satu wujud semu dari Ki Ageng Wirasaba pun segera menyerang wujud asli Ki Agung Sedayu yang berdiri tidak jauh darinya.

Sementara Ki Ageng Wirasaba yang sebelumnya tidak menduga bahwa lawan dapat mengetahui wujud aslinya dengan tepat menjadi terkejut ketika tiba-tiba mendapat serangan.

“Ternyata aku salah duga”.

“Apa maksud Ki Ageng?”. sahut wujud semu ayah Bagus Sadewa di sela-sela pertarungan yang semakin cepat dan garang, yang kini menjadi lawannya.

“Ternyata pengamatan batinmu sangat tajam, sehingga dapat melihat keberadaanku dengan tepat. Tanpa harus meraba-raba lebih dulu untuk memastikan”.

“Sebenarnya aku sudah dapat melihatnya sejak awal, tapi aku tidak ingin membuat Ki Ageng menjadi kecewa”.

“Iblis Laknat”.

Terdengar kembali umpatan yang sangat kotor.

“Ternyata kau benar-benar mau mempermainkan aku, Ki Sanak”.

“Apakah aku salah jika tidak ingin mengecewakan Ki Ageng?”.

“Tapi dengan demikian kau membiarkan aku terbuai dengan kemenangan kecilku, sehingga tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan benar. Dengan demikian suatu saat kau sengaja menunggu kelengahanku itu untuk membunuhku”.

“Tidak Ki Ageng, tidak. Lagipula aku tidak pernah memiliki niat sebiji sawi pun untuk membunuh”.

“Omong kosong… pasti itu hanyalah mulut manismu saja sembari menunggu kelengahanku, dan jika kau mendapatkan kesempatan itu nanti, maka kau akan melakukannya tanpa ampun seperti kau menyembelih seekor ayam”.

“Jangan terlalu berburuk sangka, Ki Ageng. Tetapi aku pun tidak dapat ingkar bahwa aku tidak akan dapat memaksakan pendapatku ini kepada Ki Ageng. Karena mungkin kita memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda”.

Pembicaraan di sela-sela pertarungan itu tidak berlanjut lagi, karena kemudian mereka harus memusatkan perhatiannya pada pertarungan yang sedang berlangsung.

Apalagi kini terdapat tiga arena perang tanding yang berasal dari dua orang yang berilmu sangat tinggi dan sama-sama mampu mengetrapkan sejenis ilmu semu yang menjadi tiga, termasuk sosok wujud aslinya.

Meskipun di salah satu arena, seperti terlihat sedang bertarung seorang diri, sebab wujud asli dari pengetrapan Aji Kalanetra hilang dari pandangan mata wajar.

“Ternyata kakang Agung Sedayu dapat melihat lawannya yang tak kasat mata dengan tepat, padahal awalnya aku tidak dapat meraba keberadaannya”.

“Aku pun demikian, jadi memang harus kita akui, Mbokayu. Bahwa kemampuan kita ini semakin jauh dibawah kakang Agung Sedayu yang semakin luar biasa”.

“Ya… kau benar”.

Sementara dalam arena perang tanding, kini Ki Ageng Wirasaba sama-sama telah berhadapan dengan wujud asli dengan lawannya. menjadikan pertempuran berjalan semakin sengit.

Sebab dengan saling berhadapan secara kewadagan, tidak akan ada lagi yang merasa tertipu oleh wujud semu yang kadang terisi pancaran ilmu, tapi dengan tiba-tiba dapat dikosongkan. Sehingga membuat wujud semu itu tidak lebih dari sekedar bayangan tanpa arti sama sekali.

Namun setelah beberapa lama bertempur dengan mengetrapkan wujud semu masing-masing, mereka memiliki kesimpulan yang hampir sama.

“Aku rasa sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi bermain-main dengan ilmu semu ini, sebab kita sama-sama memiliki jenis ilmu dan tataran yang hampir sama. Jadi aku kira kita tidak akan dapat menyelesaikan perang tanding dengan ilmu ini”.

“Lalu apa mau, Ki Ageng?”.

“Bersiaplah… aku akan merambah pada ilmu simpananku yang lain. Dan berhati-hatilah, sebab selama ini belum pernah ada yang mampu bertahan jika aku sudah mengetrapkan ilmu ini. Bahkan orang yang memiliki bekal ilmu kebal sekalipun”.

“Luar biasa”. desis Ki Agung Sedayu tanpa sadarnya.

Sementara itu, ibu Bayu Swandana dan ibu Bagus Sadewa yang belum tahu apa yang akan dilakukan oleh lawan suaminya menjadi semakin diliputi ketegangan yang sangat.

Sebab mereka sadar bahwa Ki Ageng Wirasaba tentu akan mengetrapkan kemampuannya yang semakin ngedap-edapi, nggegirisi, dan pastinya akan sangat berbahaya sekali bagi siapapun yang berani menjadi lawannya.

Dalam hati, keduanya hanya dapat membantu suaminya untuk nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar suami yang sangat mereka kasihi selalu mendapatkan limpahan perlindungan dalam setiap langkahnya.

Sementara di arena perang tanding tiba-tiba angin berhembus entah dari mana asalnya secara perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin menguat dan kencang.

Dedaunan, debu, ranting-ranting, serta benda-benda apa saja mulai terangkat oleh kekuatan angin yang semakin besar dan kuat di sekitaran tempat tersebut.

Bahkan pepohonan dan tumbuhan perdu yang belum seberapa besarnya tidak mampu melindungi dirinya dari kekuatan angin yang sangat besar dan semakin kuat.

Angin yang sangat kuat itu semakin lama membentuk angin pusaran sebesar beberapa kali lipat dari besar sebuah gardu perondan, berputar-putar mengelilingi dan melindungi pemiliknya yang berada di dalamnya.

Namun apa yang tak pernah terduga sebelumnya, bahwa angin pusaran tersebut mampu menyedot apa saja dan siapa saja yang berada di sekitarnya dengan kekuatan yang sangat besar sekali sesuai dengan kehendak pemiliknya.

Itu dapat dilihat ketika Ki Ageng Wirasaba menunjukkan kepada semua orang yang hadir di tempat itu dengan menyedot sebuah pohon mahoni sebesar pelukan orang dewasa yang tumbuh tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Pada awalnya pohon mahoni itu bergetar dengan hebatnya ketika dilanda kekuatan yang sangat besar, tapi semakin lama pohon itu terangkat pula dan akhirnya tersedot masuk ke dalam pusaran angin yang sangat ngedap-edapi dan nggegirisi tersebut.

Belum lama orang-orang yang menyaksikan pertunjukan tersebut dibuat terkejut dan takjub akan kekuatan ilmu Ki Ageng Wirasaba yang jarang sekali dikeluarkannya untuk menghadapi lawannya, sejenak kemudian semua orang kembali dikejutkan oleh kedahsyatan ilmu yang sangat langka tersebut.

Tiba-tiba angin pusaran itu tampak semakin berwarna, tetapi bukanlah warna merah karena darah yang mengalir ataupun warna cokelat tua karena hancurnya sebuah pohon mahoni yang beberapa saat tadi telah tersedot masuk ke dalam pusaran.

Namun warna itu semakin lama menyelimuti seluruh bagian angin pusaran, ternyata warna itu adalah warna api yang sedang membara dan sedang membakar dan menghanguskan pohon mahoni itu tanpa ampun.

Tidak lama kemudian pohon mahoni itu pun mengalami nasib yang sangat buruk, sebab menjadi lumat terbakar habis dan hanya tinggal tersisa abunya saja.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kejadian tersebut telah membuat semua orang yang melihatnya bergidik ngeri, bukan saja dari pihak lawan tapi kawannya sendiri pun dapat ikut merasakan kengerian yang diakibatkan oleh ilmu tersebut.

“Selama aku nyantrik di kaki Gunung Welirang, baru kali ini aku mendapat kesempatan menyaksikan kemampuan Kyai yang sangat mengerikan”. berkata cantrik dari Ki Ageng Wirasaba yang tertua.

“Bukankah nasib Kakang Wiramba tidak jauh berbeda dengan kami semua?”. sahut salah satu kawannya.

“Ya… nasib kita memang hampir sama”.

“Sejak awal Kyai sudah mengatakannya kepada kita, bahwa Kyai memang sudah tidak ingin menerima seorang murid satupun di padepokannya. Tetapi karena merasa kasihan, maka Kyai pun mengizinkan kita semua untuk ikut tinggal di padepokannya selama ini, tapi dengan syarat tidak menjanjikan kawruh kanuragan”.

“Kakang Wiramba benar, Kyai memang sudah mengatakan jika sudah tidak berkenan lagi untuk menerima seorang murid pun. Jadi wajar saja jika kita tidak pernah tahu sejauh mana kawruh kanuragan yang dimiliki oleh Kyai”.

“Dan aku masih ingat dengan jelas bahwa Kyai mengatakan, hanya akan memberikan bekal kawruh kanuragan jika pada saat berkenan saja, maka dari itu wajar saja jika kemampuan kita tidak dapat meningkat dengan pesat layaknya seseorang yang berguru dengan sungguh-sungguh”.

“Tapi biar bagaimanapun, selama ini kita telah banyak berhutang budi kepada Kyai”.

“Ya… kau benar adi”.

Meskipun sebagai orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan dan pengalaman yang sangat luas, kedua istri Ki Agung Sedayu pun tidak dapat menyembunyikan kegelisahan dari wajah cantiknya pada umurnya yang sudah tidak muda lagi.

“Benar-benar pertunjukan ilmu yang sangat ngedap-edapi, semoga saja Kakang Agung Sedayu dapat segera menemukan cara untuk mengatasinya”.

“Tapi bagaimana jika…?”. sahut Nyi Sekar Mirah yang tidak dapat melanjutkan ucapannya, karena tiba-tiba dalam tenggorokannya terasa kelu.

“Ah… kau jangan menakut-nakuti aku, Sekar Mirah”. sahut Nyi Pandan Wangi yang semakin gelisah wajahnya, sembari menatap tajam ke arah ibu Bagus Sadewa tersebut.

“Maafkan aku, Mbokayu. Aku sama sekali tidak bermaksud, tapi entah mengapa tadi tiba-tiba terlintas pikiran itu”. sahut Nyi Sekar Mirah menyadari keterlanjurannya, kemudian merangkul ibu Bayu Swandana dan mendekatkan wajahnya.

“Sebaiknya kita selalu nenuwun”.

Sementara di arena perang tanding itu sendiri, Ki Agung Sedayu masih tertegun memandangi apa yang telah ditunjukkan oleh lawannya di hadapannya.

Seketika isi kepalanya diingatkan kembali akan masa lalu yang berhubungan dengan ilmu tersebut, baik hanya sekedar mendengar cerita dari mendiang gurunya atau para sesepuh, atau bahkan pengalaman yang pernah dialaminya sendiri.

“Benar-benar ilmu yang luar biasa”. desisnya dalam kekaguman, setelah melihat sendiri secara langsung kedahsyatan ilmu dari lawan perang tandingnya.

“Dua sumber ilmu yang memiliki watak berbeda, tapi dapat diluluhkan menjadi satu untuk saling melengkapi. Dan yang lebih luar biasanya lagi adalah orangnya terlindungi di dalamnya, jika pemiliknya dapat mengembangkannya lagi maka akan semakin mengerikan saja ilmu ini”.

“Ki Sanak, aku memberikan kesempatan terakhir kepadamu. Jika kau ingin menyerah setelah melihat ilmu simpananku ini, maka dengan senang hati aku akan melepaskan ilmu ini. Tapi jika kau tetap keras kepala, maka jangan salahkan aku jika aku akan melumatmu seperti pohon mahoni tadi hingga menjadi debu”. berkata Ki Ageng Wirasaba dengan dilambari tenaga cadangan.

Namun Ki Agung Sedayu tidak segera menjawab, hanya suara tarikan nafasnya saja yang terdengar sangat dalam sembari memandangi pertunjukkan ilmu dari lawannya yang sangat nggegirisi dengan hampir tidak berkedip.

“Aku masih cukup bersabar menghadapimu, dan jangan kau sesali jika nanti kau sampai mati bersama dengan kesombonganmu yang tiada tara itu”.

“Harus aku akui bahwa ilmu Ki Ageng ini adalah sebuah pameran ilmu yang sangat ngedap-edapi dan nggegirisi, tapi jika Yang Maha Agung masih melindungiku maka aku masih akan diberi petunjuk untuk melepaskan diri dari segala akibat yang dapat aku terima dari kedahsyatan ilmu yang Ki Ageng miliki”.

“Kau sudah tidak memiliki harapan lagi, Ki Sanak”.

“Bukankah aku masih dapat berharap kepada pertolongan dari Yang Maha Welas Asih?”.

“Kau pikir Yang Maha Welas Asih akan selalu mengabulkan semua panuwunmu? kau pikir kau siapa?”.

“Memang tidak selalu, Ki Ageng. Tapi bukankah kita sebagai hambanya diwajibkan untuk selalu berusaha meminta perlindungan dan kemurahan-Nya? dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan suka maupun duka”.

“Simpan saja sesorahmu itu untuk anak istrimu, Ki Sanak. Sebab aku tidak memerlukan sesorahmu itu”.

Ki Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam, dan mungkin saja dengan demikian dapat sedikit mengurangi kepepatan hatinya menghadapi orang yang memiliki keyakinan kuat atas apa yang dilakukannya berdasarkan kebenarannya sendiri.

Dalam hati kecilnya meronta, kenapa harus ada pertumpahan darah yang tidak ada habisnya? bukankah akan lebih indah jika dalam kehidupan bebrayan ini semua orang memiliki sikap saling menghargai dan menghormati hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain?.

Dengan demikian maka tidak akan ada lagi orang yang memiliki sikap merasa paling berharga dan paling tinggi dari orang lain atas segala yang ada dalam kehidupan ini? baik dalam bebrayan alit maupun dalam bebrayan agung.

Jika semua itu benar-benar terjadi dalam kehidupan bebrayan ini maka akan terasa hidup ini penuh dengan kedamaian dan tidak akan pernah ada lagi rasa iri, dengki, sakit hati, terhadap manusia lain yang menjadi cikal bakal terjadinya prahara di tanah leluhur.

Namun disisi lain, jika dalam kehidupan bebrayan ini penuh dengan kedamaian. Maka mungkin kehidupan bebrayan ini akan menjadi datar-datar saja dan terkesan akan membosankan karena tidak akan ada lagi gejolak, atau bahkan ontran-ontran.

Sehingga itu mungkin akan membuat tidak akan terlihat lagi para prajurit, pasukan pengawal, para bebahu, atau bahkan seorang raja sekalipun sebagai pepunden tertinggi untuk mengatur dan menjaga keamanan daerahnya masing-masing.

Bahkan mungkin juga kehidupan bebrayan ini sudah tidak memerlukan lagi paugeran-paugeran yang harus dipatuhi oleh semua orang agar tidak melanggar hak dan kewajiban seseorang di dalam kepentingan bersama. Karena semuanya telah berjalan selaras dan seimbang dalam arti yang sebenarnya.

Sementara Ki Agung Sedayu masih dalam ketegangan, mendapati lawannya telah mengetrapkan ilmu yang sangat ngedap-edapi dan nggegirisi dan seakan sudah siap untuk melumatnya tanpa ampun sama sekali.

Dilihatnya pepohonan yang tumbuh dan benda-benda apa saja di padang perdu, sekitar angin pusaran itu pun tidak mampu menyelamatkan dirinya dari keganasan ilmu tersebut hingga akhirnya menjadi abu, lalu berterbangan kemanapun.

“Dulu aku pernah menghadapi lawan dengan jenis ilmu yang hampir sama, semoga saja kali ini pun aku dapat mengatasinya”. membatin Ki Agung Sedayu sembari tidak henti-hentinya dia memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih untuk meminta pertolongan.

Selesai berpikir demikian, maka ayah Bagus Sadewa itupun semakin memantapkan hatinya untuk menghadapi lawannya yang sudah tidak sabar ingin melumatnya hidup-hidup.

“Jika kau memang keras kepala, maka sekarang hadapilah aku dengan segenap kemampuanmu, Ki Sanak”.

Selesai berkata demikian, maka Ki Ageng Wirasaba pun segera menyerang lawannya dengan ilmu angin pusarannya yang berselimutkan api yang menyala-nyala dengan ganasnya.

Tiba-tiba Ki Agung Sedayu merasakan sebuah kekuatan yang sangat besar berusaha menariknya secara paksa, semakin lama kekuatan angin pusaran yang berusaha menyedotnya itu semakin besar dan sangat sulit untuk dielakkan.

Menyadari hal itu, dia pun segera berusaha melepaskan diri dengan lompatan panjang dan berjungkir balik di udara beberapa kali ke belakang untuk menjaga jarak.

Tetapi baru saja dirinya menapakkan kakinya di tanah, serangan itu telah datang kembali, bahkan kali ini kekuatannya lebih besar lagi dibandingkan dengan sebelumnya.

Ketika Ki Agung Sedayu akan berusaha melompat untuk kedua kalinya mengambil jarak, namun ketika sudah akan melayang di udara justru tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan karena tarikan kekuatan angin pusaran yang berusaha menyedotnya sangat kuat sekali.

Maka tak terelakkanlah saling tarik menarik kekuatan yang tidak dapat dilihat dengan secara kewadagan. Sehingga menjadikan menjadikan pertarungan itu adalah sebuah pertarungan yang aneh bagi orang yang belum memiliki bekal kanuragan yang cukup.

Sementara Ki Agung Sedayu yang terlambat menyadari hal tersebut pada akhirnya tidak memiliki cukup kekuatan untuk tetap bertahan di atas tumpuan kakinya.

Setelah sejenak terjadi tarik menarik, maka pada akhirnya dirinya tersedot pula oleh kekuatan yang sangat besar tersebut ketika badan membelakangi lawan.

Kejadian ini tidak hanya membuat terkejut Ki Agung Sedayu, tapi hampir semua orang yang ikut menyaksikan pun ikut terkejut pula dengan pendapat dan tanggapannya masing-masing.

“Kakang”.

Terdengar suara Nyi Pandan Wangi yang terpekik tertahan, tapi segera ditutup dengan kedua tangannya. Kedua matanya pun tak kuasa untuk melihat kelanjutan yang bakal terjadi.

Sementara Nyi Sekar Mirah terlihat sebagai sosok lebih tegar, padahal sebenarnya jantungnya pun seakan telah terlepas dari tempatnya melihat apa yang telah terjadi pada suaminya. Namun dia masih berusaha melihat kenyataan dengan tanpa meninggalkan penalaran yang wajar.

“Kita sama-sama nenuwun, Mbokayu”. berkata Nyi Sekar Mirah sembari memeluk ibu Sekar Wangi yang sepertinya memiliki hati lebih lembut.

Nyi Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi kepalanya saja yang kemudian disandarkan ke pundak ibu Bagus Sadewa yang sejak tadi perhatiannya hampir tidak pernah dilepaskan dari arena perang tanding yang semakin menegangkan.

Sementara Ki Agung Sedayu yang telah kehilangan keseimbangan harus berpikir cepat untuk mengatasi kesulitannya agar tidak semakin terjerumus ke dalam kesulitan yang lebih besar atau bahkan nasib buruk sekalipun.

Ketika tubuhnya benar-benar akan tersedot, maka dengan segera dia berusaha menjatuhkan diri ke tanah, lalu berguling beberapa kali untuk melepaskan diri.

Dan setelah dirasa pengaruh dari kekuatan ilmu lawannya tidak memburunya, maka dengan segera dia melentingkan tubuhnya, lalu berdiri dengan tegak di hadapan paman guru Ki Patih Rangga Permana tersebut.

“Apakah cara inilah yang diajarkan oleh Perguruan Windhujati yang kawentar itu kepada murid-muridnya untuk menghadapi lawannya dalam sebuah perang tanding?”. ucap Ki Ageng Wirasaba dengan nada penuh ejekan, melihat tindak-tanduk lawannya.

“Apakah kalian hanya diajarkan berguling-guling di tanah, untuk menghadapi ilmu lawan?”. berkata lagi Ki Ageng Wirasaba yang menikmati kemenangan kecilnya.

“Perguruan Windhujati tidak pernah mengajarkan cara seperti itu, Ki Ageng. Mungkin aku saja yang terlalu dungu dalam ngangsu kawruh kanuragan yang bersumber dari Perguruan Windhujati, sehingga hanya itu yang dapat aku lakukan ketika menghadapi ilmu angin pusaran berapi dari Ki Ageng yang sangat nggegirisi”. sahut Ki Agung Sedayu yang kini telah berdiri tegak sembari menggenggam senjata andalannya dengan kedua tangannya pada pangkal dan ujungnya.

“Apakah Perguruan Windhujati sekarang hanyalah menjadi sebuah perguruan gembala? maka dari itu kau pun menunjukkan cambukmu yang telah usang itu?”.

“Aku tidak tahu, Ki Ageng. Tetapi inilah yang aku dapatkan dari guruku ketika ngangsu kawruh kanuragan yang bersumber dari Perguruan Windhujati”.

“Ternyata selain kau adalah orang yang sombong tiada taranya, kau pun terlalu dungu, Ki Sanak. Sebab kau tidak pernah mau mengenal sejarah dari ilmu yang kau pelajari. Harusnya kau tahu ciri khusus yang ada pada Perguruan Windhujati sebagai salah satu sumber ilmumu”.

“Memangnya ciri khusus apakah yang Ki Ageng maksud?”.

“Kau cari saja sendiri, sebab itu bukan urusanku”.

Pertanyaan memancing itu ternyata tidak berhasil mendapat jawaban seperti yang diinginkan, sehingga membuat Ki Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam mendengar jawaban ketus dari lawannya tersebut.

“Kepentinganku denganmu hanya untuk meminta pertanggung jawaban atas kematian orang-orang yang sangat aku hormati, dan bukan untuk kepentingan yang lain, jadi… bersiaplah!”.

“Baiklah jika memang itu kemauan Ki Ageng”.

Sejenak kemudian angin pusaran yang berselimutkan kobaran api itu kembali menunjukkan kekuatannya, sementara Ki Agung Sedayu yang sudah sempat mempelajari kelengahan ilmu lawan menurut penalarannya itu pun sudah bersiap pula.

Maka ketika angin pusaran itu kembali berusaha menyedotnya, Ki Agung Sedayu pun segera memusatkan nalar budinya dan mengungkap tenaga cadangannya guna mengetrapkan ilmu puncak dari jalur Perguruan Windhujati sembari memutar cambuknya di atas kepala.

Namun kali ini Ki Agung Sedayu tidak langsung melepaskan tenaga cadangannya hingga ke puncak, sebagai sebuah sikap penjajagan terhadap akibat yang bakal ditimbulkan.

Sejenak kemudian cambuk itu pun segera diayunkan dengan cara sendal pancing, dan tidak terdengar suara meledak seperti guntur yang sangat memekakkan telinga. Namun suaranya hanya terdengar berdesis seperti ular.

Namun justru akibat yang ditimbulkan oleh ilmu puncak dari Perguruan Orang Bercambuk itu sangat luar biasa, apalagi ilmu itu dilepaskan oleh Ki Agung Sedayu sebagai murid tertua diantara murid-murid utama Swargi Kyai Gringsing.

Orang yang memiliki pengalaman luas dan tataran ilmu yang sangat tinggi. Sehingga membuat dirinya menjadi semakin matang, baik secara pribadi maupun secar kawruh kanuragan.

Dari ujung cambuk itu muncullah sinar kebiru-biruan ketika diayunkan dengan cara sendal pancing bersamaan dengan Ki Ageng Wirasaba yang menyerang lawan, dengan angin pusarannya.

Ilmu puncak yang getarannya mampu mengguncang keadaan udara sekitar tersebut meluncur secepat tatit ke arah lawannya yang terlindungi oleh ilmu angin pusaran, yang berada beberapa tombak di hadapannya.

Namun apa yang terjadi tidak pernah diduga oleh siapapun, kecuali Ki Ageng Wirasaba itu sendiri yang sudah sangat mengenali watak dari ilmunya.

Maka dari itu angin pusaran yang berselimutkan kobaran api yang sangat panas itu pun tidak berusaha menghindar atau melawan ilmu puncak lawan yang datang tanpa ampun.

Sejenak kemudian apa yang terjadi telah membuat semua orang yang melihatnya hanya dapat membelalakkan matanya dengan perasaan yang penuh dengan ketidak percayaan.

Karena ternyata ilmu puncak yang dilepaskan oleh Ki Agung Sedayu itu seakan ditepis oleh angin pusaran tersebut, dan kemudian membelokkan arahnya ke arah lain.

Sehingga terdengarlah ledakan yang sangat dahsyat ketika ilmu puncak yang telah berbelok arah itu telah menerjang sebuah pohon randu alas yang tumbuh di pinggir hutan kecil tersebut.

Pohon randu itu pun kemudian berderak, sebelum akhirnya roboh ke tanah dengan menyisakan batang yang tampak hangus karena keganasan ilmu puncak Padepokan Orang Bercambuk.

“Gila…”. desis Nyi Sekar Mirah tanpa sadarnya menyaksikan apa yang telah terjadi di hadapannya.

“Luar biasa”. sahut Nyi Pandan Wangi yang sudah memusatkan lagi perhatiannya ke arena setelah tadi hatinya sempat terguncang beberapa saat.

“Benar-benar jenis ilmu yang sudah di luar nalar”.

“Aku pun berpikir demikian, Sekar Mirah”.

“Jika kakang Agung Sedayu tidak dapat menyerang angin pusaran itu dengan ilmu puncaknya? lalu harus dengan cara apa lagi kakang Agung Sedayu akan dapat mengatasi kemampuan Ki Ageng Wirasaba yang sangat mengerikan itu?”.

“Aku pun tidak tahu”. sahut Nyi Pandan Wangi yang mulai tampak kebingungan harus berkata apa.

Tanpa sadar penalaran dua orang perempuan perkasa itu pun tiba-tiba menjadi kemana-mana atas suami mereka. Namun mereka sadar bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa, apapun yang bakal terjadi. Sebab suami mereka sudah saling bersepakat dengan Ki Ageng Wirasaba untuk berperang tanding.

Jadi mereka harus menghormati segala paugeran yang berlaku dalam sebuah perang tanding, kecuali jika ada dari pihak lawan yang mencoba berbuat licik, dengan maksud agar dapat memenangkan pertarungan tersebut.

Apakah kali ini suaminya akan mampu mengalahkan lawannya yang memiliki ilmu yang sangat ngedap-edapi dan mengerikan itu? lalu dengan cara apakah suaminya akan mampu mengalahkannya? apakah kali ini suaminya masih mampu untuk mengalahkan lawan berperang tandingnya untuk ke sekian kalinya?.

Perang tanding kali ini benar-benar menyisakan ketegangan yang sangat, tidak hanya bagi yang terlibat saja secara langsung, tetapi bagi siapapun yang melihatnya.




Padepokan Tanah Leluhur


Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar