![]() |
Prahara di Tanah Leluhur 23 |
KATA PENGANTAR
Cerita ini disusun bukan bermaksud untuk menyamai atau bahkan mensejajarkan diri dengan sang maestro pujangga. Karena penulis yang sedang belajar sangat menyadari jika masih jauh dari semua itu
Karya ini murni dibuat, atas dasar kekaguman penulis kepada sang maestro pujangga yang telah mendahului kita menghadap Yang Maha Agung.
Penulis menyadari sepenuhnya jika penulis masih sedang belajar dan perlu bimbingan dari Ki dan Nyi Sanak semua. Penulis sangat berterima kasih jika Ki dan Nyi Sanak semua berkenan memberikan pencerahan kepada penulis, agar tulisan semakin berkembang lebih baik.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin tidak bisa memenuhi keinginan semua pembaca. Hal ini semata karena kurangnya referensi dan pengalaman menulis. Jika di dalam cerita silat ini masih banyak kejanggalan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
TERIMA KASIH
Padepokan Tanah Leluhur
Juni, 2025
Halaman 1 - 2
*****
Waktu yang berjalan meski lambat namun kian merambat menuju puncaknya semakin terasa kesunyiannya, apalagi ditambah hawa dingin yang semakin menusuk kulit bagi orang-orang yang berada di luar rumah kala itu.
Namun di sekitar tempat itu masih banyak terdengar sekumpulan hewan malam yang saling bersahut-sahutan dengan kawannya dari tempat keberadaannya masing-masing.
Terdengar pula beberapa suara Burung Kedasih dari kejauhan yang menambah suasana malam menjadi semakin mencekam bagi orang-orang yang takut akan kegelapan malam.
Namun semua itu tidak pernah mampu mengusik kegelisahan para prajurit Mataram yang sedang beristirahat dan mendirikan perkemahan sementara guna melepas lelah.
Sementara Ki Rangga Sabungsari yang kebetulan sudah selesai dengan tugas-tugasnya, masih berusaha menyempatkan diri untuk menengok keadaan Umbara yang berada di kesatuan pasukannya.
Sepertinya keadaan anak muda itu sudah semakin membaik setelah mendapatkan perawatan dari para Tabib Mataram yang sangat baik.
Dan karena keadaannya, dirinya belum mendapat tugas apa-apa selama dalam perjalanan kali ini, selain Umbara hanya mendapat tugas untuk segera memperbaiki keadaannya.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Umbara?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari setelah dirinya duduk di sebelah anak muda itu.
“Sudah semakin baik, Paman Sabungsari. Bahkan sudah sangat baik, setelah mendapat perawatan para Tabib yang tidak jemu-jemunya merawatku”.
“Kita wajib mengucapkan syukur kepada Yang Maha Welas Asih”.
“Iya Paman”.
“Bagaimana dengan kemampuan kewadaganmu? apakah sudah kembali seperti sedia kala seutuhnya?”.
“Aku rasa belum, Paman. Tetapi menurut perhitunganku sudah hampir mendekati kemampuanku seperti sedia kala seutuhnya, karena menurut keterangan Tabib yang merawatku, kemungkinan satu atau dua hari lagi kemampuanku sudah kembali seutuhnya”.
“Syukurlah kalau begitu”. sahut Ki Rangga Sabungsari, lalu memandang kejauhan.
Hamparan luasnya langit yang tak terkira dengan taburan bintang yang gemerlap meski dari tempatnya berdiri berselimutkan kegelapan malam.
Keduanya pun terlihat terdiam dengan penalarannya sendiri, sembari memandang kawan-kawannya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
“Kau benar-benar mengejutkanku”. desis Ki Rangga Sabungsari tanpa sadarnya, sembari masih memandangi luasnya langit.
“Maksud Paman Sabungsari?”. sahut Umbara kebingungan.
“Sebelum turun ke medan, aku tidak pernah mengira bahwa kemampuanmu ternyata sudah setinggi itu, Umbara. Jauh dari apa yang aku duga selama ini”.
“Oh… aku kira apa”.
“Dengan umurmu yang masih semuda sekarang, bekalmu dalam memasuki dunia keprajuritan benar-benar telah matang”.
“Ah… Paman Sabungsari terlalu memuji”.
Halaman 3 - 4
“Aku berkata sebenarnya, tapi kau jangan terlena dengan pencapaianmu sekarang sehingga membuatmu merasa cepat puas dan bangga dulu dengan apa yang telah kau capai sekarang. Sebab jika kau sudah memiliki watak cepat puas, maka kau tidak akan pernah berkembang lagi kedepannya”.
“Aku mengerti, Paman”.
“Dan yang perlu kau ingat adalah, dengan semakin tingginya kemampuanmu, maka semakin tinggi pula tanggung jawabmu. Baik sebagai murid maupun sebagai seorang prajurit, jika sekarang belum, semua itu hanya menunggu waktu saja”.
“Iya Paman, aku akan selalu berusaha mengingat pesan Paman Sabungsari dengan sebaik-baiknya”.
“Kau wajib bersyukur kepada Yang Maha Welas Asih, Umbara. Sebab kau termasuk anak yang beruntung, berada di tengah-tengah orang-orang yang luar biasa yang dapat membantumu berkembang lebih baik dalam menggapai gegayuhan”.
“Iya Paman”.
“Pada dasarnya adalah bukan setinggi apa kemampuanmu, namun seberapa jauh kemampuan yang kau kuasai itu dapat berguna bagi sesama. Karena buat apa jika ngangsu kawruh kanuragan hanya untuk merugikan orang lain atau bahkan hanya untuk melakukan kejahatan terhadap sesama”.
“Iya Paman Sabungsari, aku mengerti”.
“Sebagai contoh, seseorang yang tidak memiliki bekal keseimbangan jiwani yang baik, jika dia tidak memiliki bekal kawruh kanuragan saja dapat maling ayam, bagaimana jika dia memiliki bekal kawruh kanuragan yang sangat tinggi? bukankah sudah dapat kau bayangkan sendiri?”.
“Iya Paman, aku mengerti yang Paman Sabungsari maksud”.
“Selain kau harus selalu meningkatkan kemampuan kawruh kanuraganmu, jangan lupakan bahwa kau berkewajiban pula untuk mencari kawruh kajiwan agar penalaran dan keseimbangan batinmu tidak kehilangan arah”.
“Baik Paman”.
“Aku dapat berkata panjang lebar seperti itu kepadamu, sebab aku sudah menganggapmu seperti kemenakanku sendiri. Karena keluargamu, bagiku sudah seperti keluargaku sendiri”.
“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih kepada Paman Sabungsari, karena sudah mau menganggapku seperti keluarga Paman Sabungsari sendiri”.
“Menurut laporan dari para prajurit sandi, kemungkinan besar Pasukan Surabaya akan menyusul gerak mundur pasukan kita, maka dari itu kau harus menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya karena lawan yang kita hadapi jumlahnya hampir dua kali lipat Pasukan Mataram yang berada disini”.
“Baik Paman”.
“Dan jika nanti kembali pecah perang, kau harus mendengarkan perintahku atau orang-orang yang mewakiliku atas nama Senopati Agung Mataram. Sebab menurut perkiraan perang nanti akan berbeda dengan perang sebelumnya, dan kita menunggu perintah selanjutnya dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.
“Aku mengerti, Paman”.
“Baiklah… sepertinya pembicaraan kita lanjutkan besok, dan sebaiknya sekarang kau beristirahat. Agar kesehatanmu segera pulih seperti sedia kala, sehingga tenagamu sudah siap pada saatnya nanti dibutuhkan Mataram”.
“Baik Paman Sabungsari”.
Ki Rangga Sabungsari pun segera bangkit dari tempat duduknya tanpa menanggapi lagi jawaban anak muda itu, lalu bergegas meninggalkan anak dari sahabat baiknya itu, guna memberikan kesempatan untuk beristirahat dengan sebaik-baiknya.
Halaman 5 - 6
*****
Sementara itu, malam kian menapaki waktu yang semakin larut dalam suasana yang semakin dingin menusuk kulit disertai embun tipis yang mulai turun di sebuah jalan setapak yang dikelilingi oleh pategalan dan hutan-hutan kecil di sekitarnya.
Namun hal itu tidak pernah menyurutkan semangat para perempuan yang sedang berjalan menyusuri jalan itu meski di bawah gelapnya malam yang semakin pekat.
Karena ternyata gelapnya malam tidak mampu menghalangi tekad mereka, para perempuan yang memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan orang kebanyakan.
Untuk mempermudah langkah kaki di jalan setapak, maka mereka tidak berjalan secara bergerombol menjadi satu, namun mereka berjalan berpasangan secara beriringan.
Dan kebetulan Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi memilih untuk berada di barisan paling belakang sembari untuk mengawasi keadaan di sepanjang perjalanan.
Untuk mengusir kesunyian, mereka mengisi waktu dengan berbincang-bincang tentang apa saja yang menarik bagi mereka. Dari hal yang menyeramkan hingga hal yang dapat membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Terutama bagi Setiti dan Baruni yang sangat suka berkelakar, hingga sesekali Nyi Rara Wulan harus memperingatkan kepada mereka untuk menjaga sikap.
“Ssstt… Setiti, Baruni. Jaga sikap kalian, ingat! kita sekarang sedang ada dimana?”.
Sembari menutup mulut, keduanya pun masih berusaha menahan mulutnya yang masih saja cekikikan karena kelakar yang mereka lontarkan.
“Maaf Mbokayu, kami terkadang lupa tempat”. sahut Baruni.
“Mulai sekarang kalian harus mengingatnya”.
“Baik Mbokayu”. sahut Setiti.
“Aku tidak melarang kalian untuk berkelakar, tetapi kalian harus ingat bahwa sekarang ini kita sedang mengemban tugas untuk memasuki pertempuran, jadi alangkah kurang pantas jika kita berkelakar secara berlebihan dalam perjalanan”.
“Baik Mbokayu, kami mengerti”.
“Apalagi sekarang kita sedang di tengah pategalan pada malam hari, nanti orang yang mendengarnya dapat berprasangka bahwa kita adalah sekumpulan dedemit yang sedang berkeliaran”.
Sontak saja ucapan Nyi Rara Wulan itu kembali membuat mereka berdua tertawa, tetapi kali ini mereka segera menutup mulut dengan kedua tangannya agar suaranya tidak terdengar keluar.
Sementara Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi yang berjalan beberapa puluh tombak di belakangnya, jarang sekali terdengar membuka suara.
Mungkin perhatian mereka lebih tertuju kepada keadaan sekitar daripada hanya sekedar berkelakar, atau memang ada sesuatu yang sedang mereka pikirkan.
“Sekar Mirah”. ucap Nyi Pandan Wangi lirih.
“Ada apa, Mbokayu?”. sahut Nyi Sekar Mirah lirih pula.
Ibu Bayu Swandana justru terdiam dan menundukkan kepalanya sembari terus melangkahkan kakinya di jalan rerumputan yang sudah mulai basah karena embun malam.
“Aku masih bingung harus memulainya dari mana untuk mengatakannya kepadamu”.
“Terserah, gimana enaknya saja menurut, Mbokayu. Aku akan mencoba menjadi pendengar yang baik”.
Halaman 7 - 8
Terdengar suara tarikan nafas yang dalam dari marunya tersebut.
“Entah kenapa sejak sebelum kita berangkat, hatiku merasa kurang mapan. Dan semakin lama perasaan itu semakin mengusik hatiku saja, bahkan hingga sekarang ini. Tetapi aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya?”.
“Aku dapat mengerti apa yang sedang Mbokayu rasakan, tetapi sekarang ini tidak ada yang dapat kita lakukan, selain hanya dapat memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih agar semua dalam keadaan baik-baik saja”.
“Ya… kau benar”. sahut ibu Bayu Swandana itu, lalu matanya memandang dengan tatapan kosong ke arah langit yang terhampar luas, bertaburan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya.
“Apakah perasaan Mbokayu itu karena Sekar Wangi?”.
“Aku sendiri pun masih ragu, tetapi mungkin iya”.
“Bukankah Mbokayu tadi sudah meminta kepada Kakang Agung Sedayu untuk menengoknya, meski barang sekejap?”.
“Iya… tetapi hatiku masih saja terasa belum mapan jika aku belum mendengar sendiri kabar tentang keadaan Sekar Wangi sekarang ini dari Kakang Agung Sedayu”.
“Aku dapat mengerti perasaan Mbokayu, karena sebenarnya hatiku pun ikut merasa tidak mapan pula jika Mbokayu seperti itu. Apalagi Sekar Wangi sudah aku anggap seperti anakku sendiri, tetapi coba kita sedikit bersabar dengan menunggu kabar dari Kakang Agung Sedayu”.
“Tapi…?”.
“Jika setelah beberapa saat Kakang Agung Sedayu tidak kunjung muncul juga, maka kita akan lontarkan isyarat yang sudah kita sepakati untuk memanggilnya”.
“Baiklah… aku sependapat denganmu”.
Karena pembicaraan yang begitu bersungguh-sungguh, sehingga membuat mereka tidak menyadari bahwa langkah kaki mereka ternyata menjadi melambat dibandingkan dengan rombongan yang berjalan bersama.
Maka sejenak kemudian keduanya segera mempercepat langkah kaki mereka untuk menyusul, agar tidak semakin tertinggal dan dapat menjadi pertanyaan bagi kawan-kawannya.
Meskipun sebenarnya keempat perempuan yang berjalan di depan menyadari hal itu, namun mereka memang sengaja membiarkan dan terus berjalan sewajarnya.
Mereka berpikir, mungkin sedang ada pembicaraan diantara keduanya yang tidak sepantasnya mereka dengar, sehingga akan deksura sekali jika mereka berani mengusiknya.
Kemudian perjalanan malam yang memang sengaja menjauhi padukuhan atau kademangan terdekat agar tidak menarik perhatian bagi siapa saja yang melihat.
Membuat mereka harus menyusuri jalan-jalan yang rumpil dan terkadang licin, sebab mereka harus menyusuri pategalan atau hutan-hutan kecil yang banyak ditumbuhi oleh semak belukar atau pepohonan liar.
Namun semua itu bukan rintangan yang berarti, meski keenam orang itu kesemuanya adalah perempuan. Tetapi mereka adalah para perempuan yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan dalam hal kawruh kanuragan.
Sehingga gelapnya malam justru dapat menjadi kawan yang baik bagi mereka untuk membantu menyamarkan langkah-langkah kaki yang memiliki keperluan tidak biasa seperti keperluan para perempuan kebanyakan.
Dan setelah berjalan beberapa saat, pada akhirnya Nyi Pandan Wangi tidak dapat menahan diri lagi dan menyembunyikan kegelisahannya terhadap marunya tersebut.
Halaman 9 - 10
“Aku tidak dapat terus melangkahkan kakiku dengan dibayangi oleh kegelisahan ini, Sekar Mirah. Aku rasa sebaiknya aku lontarkan isyarat itu untuk memanggil Kakang Agung Sedayu”. ucap Nyi Pandan Wangi dengan suara lirih.
“Baiklah…. kalau begitu kita menjauh dulu dari mereka”. sahut Nyi Sekar Mirah dengan suara lirih pula.
“Iya… katakan saja kepada mereka bahwa aku ingin buang air, tentu mereka dapat mengerti”.
Maka sejenak kemudian ibu Bagus Sadewa pun…
“Rara Wulan?”.
Seketika orang yang merasa namanya dipanggil pun menoleh ke belakang diikuti oleh ketiga adik perempuan angkatnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Ada apa, Mbokayu?”. sahut ibu Arya Nakula bingung.
“Kalian berempat terus saja berjalan, aku akan mengawani Mbokayu Pandan Wangi buang air lebih dulu, nanti kami akan menyusul”.
“Oh… tadinya aku kira ada apa. Baiklah, Mbokayu. Kami akan jalan lebih dulu”. sahut Nyi Rara Wulan, lalu memberikan isyarat kepada ketiga adiknya untuk melanjutkan perjalanan.
Sejenak kemudian kedua adik ipar Ki Untara itupun, segera menjauhkan diri dari rombongan. Meski mereka juga sadar bahwa di belakang mereka masih ada rombongan para cantrik Padepokan Orang Bercambuk.
Namun dengan bekal kemampuan yang mereka miliki dengan tingkatan yang hampir sama, maka sepertinya mereka dapat menghindari pengamatan.
Apalagi kini sekarang mereka sedang menerobos hutan kecil, sehingga sangat membantu sekali dalam mengaburkan pengamatan dari orang-orang yang berada di sekitarnya, baik dari pihak kawan atau bahkan mungkin orang yang kebetulan melintas.
Setelah jarak yang cukup dan dirasa telah menemukan tempat yang tepat, maka keduanya segera melompat ke atas pohon yang cukup besar.
Dengan bekal kemampuan mengurangi bobot pada tubuh, maka memanjat pohon sebesar dua pelukan orang dewasa dapat mereka lakukan meski tanpa bantuan alat apapun.
Lalu keduanya hinggap di atas dahan pohon mahoni yang besar itu dengan posisi sebelah menyebelah, dan setelah merasa mapan, maka Nyi Sekar Mirah segera melontarkan isyarat khusus yang ditujukan kepada suaminya.
Meski mereka di tempat yang dianggap aman, namun keduanya tidak pernah meninggalkan kewaspadaan pada keadaan sekitar. Sebab sangat mungkin sekali keadaaan dapat berkembang dengan demikian cepatnya.
Apalagi mereka sedang di alam liar dan asing, sebuah sikap waspada akan menjadi sebuah kewajiban yang tidak dapat mereka tinggalkan. Pengalaman telah mengajarkan banyak hal kepada mereka, salah satunya adalah hal tersebut.
Beberapa saat menunggu setelah Nyi Sekar Mirah melontarkan isyarat khusus itu, belum juga ada tanda-tanda kemunculan orang yang sedang diarep-arep kedatangannya.
“Kenapa Kakang Agung Sedayu belum muncul pula?”. bertanya Nyi Pandan Wangi dengan suara lirih, dengan raut wajahnya yang mulai digelayuti oleh kegelisahan.
“Entahlah…”.
“Mungkinkah Kakang Agung Sedayu sedang menghadap Ki Patih Singaranu? atau bahkan Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma di Wirasaba? sehingga belum sempat untuk mengetrapkan Aji Pengangen-Angennya untuk memantau keberadaan kita disini?”. sahut ibu Bayu Swandana dengan suara lirih lesu.
Halaman 11 - 12
“Mungkin saja Mbokayu, bukankah biasanya dia memang tidak mengetrapkan Aji Pengangen-Angennya itu jika menghadap kepada para Priyagung Mataram?”.
“Ya… sepertinya memang demikian”.
“Sebaiknya kita tunggu saja dulu, Mbokayu”.
“Memang hanya itu yang dapat kita lakukan sekarang”.
“Coba aku lontarkan isyarat itu sekali lagi, barangkali kali ini Kakang Agung Sedayu dapat menangkap isyarat itu dan kemudian segera muncul di hadapan kita”.
Tanpa menunggu jawaban, lalu ibu Bagus Sadewa pun segera melontarkan isyarat yang telah mereka sepakati bersama untuk kedua kalinya.
Dinginnya angin malam seakan telah menelan suara isyarat yang sangat khusus itu dan hilang tak berbekas dari atas dahan pohon mahoni yang sedang mereka hinggapi.
Karena yang kemudian datang adalah angin malam sepoi-sepoi yang menampar wajah kedua perempuan itu dengan lembutnya, di antara pepohonan dan rimbunnya semak belukar.
Mereka menunggu dalam kediaman dengan perasaan dan penalarannya masing-masing di bawah kegelapan malam yang sudah semakin merambat untuk menggapai puncaknya.
Kali ini Nyi Pandan Wangi lah yang terlihat lebih gelisah, sebab naluri keibuannya lah yang merasa sedang terusik ketika teringat akan anak perempuannya yang sedang ditinggalkannya di rumah.
Bukan dirinya bermaksud untuk tidak percaya dengan para pengawal dan kawulanya yang bersedia mengawani dan menjaga anaknya tersebut, namun entah kenapa perasaannya sekarang mengatakan bahwa ada sesuatu yang kurang baik sedang terjadi di kejauhan sana.
Meski hal itu belum tentu benar-benar terjadi, sebab perasaan itu hanya sekedar bersumber dari firasat seorang ibu terhadap anaknya, yang masih perlu ditelusuri kebenarannya.
Sembari menunggu kedatangan suami mereka, kedua perempuan itu tidak henti-hentinya memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar semua dalam keadaan baik-baik saja.
Namun setelah beberapa lama menunggu…
“Mungkin Kakang Agung Sedayu sedang menghadap Priyagung Mataram atau sedang sibuk mengemban tugasnya, sehingga belum ada waktu untuk memantau keberadaan kita disini”. berkata Nyi Pandan Wangi dengan suara lirih lesu.
“Mungkin…”.
“Sebaiknya kita lanjutkan dulu saja perjalanan, agar tidak menjadi pertanyaan kawan-kawan kita”.
“Baiklah kalau begitu”.
“Nanti jika ada kesempatan, kita coba hubungi Kakang Agung Sedayu lagi. Dan semoga nanti Kakang Agung Sedayu sudah memiliki kesempatan untuk datang menemui kita”.
“Baiklah Mbokayu, marilah…”.
Lalu sejenak kemudian keduanya segera menuruni pohon itu, dan segera menyusul kawan-kawannya yang sudah semakin menjauh dari tempat mereka berdiri.
*****
Sementara di malam yang sudah diliputi hawa dingin yang mulai menusuk kulit, namun dengan suasana penuh ketenangan sebagai gambaran kehidupan yang tentram karta raharja.
Halaman 13 - 14
Hanya sekumpulan hewan malam yang terdengar samar-samar berkeliaran dari kejauhan, dan sesekali terdengar pula suara sekumpulan Burung Emprit yang diusir para petani ketika menghinggapi padi-padi yang tidak lama lagi bakal panen.
Namun suara-suara penuh kedamaian itu seketika lenyap ketika terdengar suara titir yang bersahut-sahutan memecah keheningan malam di Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah kepergian orang-orang yang tak dikenal dan menculik Sekar Wangi, seseorang baru berhasil memukul titir sebagai isyarat bahwa mereka sedang membutuhkan bantuan.
Tentu saja suara titir pada wayah sepi uwong itu menggemparkan semua orang yang mendengarnya, terutama orang-orang yang berada di kademangan induk.
Dan tak lama berselang, orang-orang pun segera berdatangan ke arah sumber suara titir yang pertama kali dibunyikan, yaitu rumah Nyi Pandan Wangi.
Orang-orang yang baru saja datang pun merasa heran dan kebingungan, karena ternyata banyak pengawal yang sudah tergolek kesakitan di pendapa, termasuk Ki Jagabaya pula.
“Apa yang telah terjadi?”. bertanya salah satu pemimpin pengawal yang baru saja datang dengan perasaan heran.
“Kami telah kedatangan lima orang tak dikenal, lalu mereka membuat ontran-ontran tanpa alasan yang jelas. Dan mereka juga telah menculik Sekar Wangi”. sahut Ki Jagabaya sembari menahan sakit hampir di sekujur tubuhnya.
“He…?”.
Orang-orang yang baru saja datang dan mendengar keterangan tersebut menjadi sangat terkejut bukan kepalang, karena mereka tidak pernah menduga sebelumnya bahwa akan ada kejadian seperti ini, terutama kabar tentang penculikan Sekar Wangi.
“Lalu pergi kemanakah para penculik itu?”.
“Kami tidak tahu, sebab pada saat mereka pergi kami sudah tidak berdaya di halaman. Sehingga kami tidak dapat mengamati kemanakah mereka pergi”.
Salah satu pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu terdiam sejenak mendengar keterangan tersebut, sembari memandang berkeliling.
“Lalu apa yang akan kita lakukan, Ki Jagabaya?”.
Namun sebelum orang yang ditanya itu menjawab, semua orang yang berada di tempat itu dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang terlihat sudah sangat sepuh, namun masih terlihat tegar dan tatapan mata yang cukup tajam.
“Ada apa ini?”. bertanya orang sepuh itu sembari memandang berkeliling, dengan tatapan penuh tanda tanya namun dengan sikap yang sangat tenang.
Kemudian orang yang kebetulan berada paling dekat menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi, termasuk penculikan terhadap anak perempuan Nyi Pandan Wangi.
“Kami minta petunjuk kepada Ki Argajaya, apa yang sebaiknya kami lakukan”. berkata Ki Jagabaya dari tempat duduknya.
“Seberapa banyak para pengawal yang tersisa?”.
“Kurang lebih sepertiga dari jumlah pengawal secara keseluruhan yang sudah terbagi dengan tugasnya masing-masing, Ki Argajaya”. kali ini salah satu pemimpin pengawal lah yang menjawab.
“Apakah ada satu atau dua orang yang mampu mengimbangi kemampuan pemimpin rombongan penculik itu?”.
“Aku rasa tidak ada, Ki Argajaya. Dalam pengenalanku yang sangat singkat atas orang itu, dia adalah orang yang berilmu sangat tinggi”. sahut Ki Jagabaya.
Halaman 15 - 16
“Jika demikian, aku rasa kita tidak dapat melakukan pengejaran terhadap para penculik itu, karena jika kita memaksakan diri sama saja kita hanya akan membunuh diri”.
Semua orang yang mendengar ucapan adik Swargi Ki Gede Menoreh itupun hanya dapat terdiam dan secara tidak langsung membenarkan kata-kata itu.
“Maaf… meski sebenarnya aku tidak dapat tinggal diam jika menemui kejadian seperti ini. Tetapi apa mau dikata, sepertinya aku sudah terlalu tua jika harus terlibat masalah seperti ini. Jadi sekarang aku tidak dapat membantu kalian apapun”.
“Tidak apa-apa, Ki Argajaya. Kami semua dapat mengerti”. sahut Ki Jagabaya.
“Meski terkadang perasaanku masih menggebu-nggebu, tetapi wadagku ini sudah tidak mendukung”.
“Ki Argajaya memang sudah sangat sepuh”.
“Bukankah orang tua anak itu sedang pergi?”. sahut orang tua itu mengalihkan pembicaraan.
“Demikianlah Ki Argajaya”.
“Kalian kirim saja utusan untuk melaporkan kejadian ini kepada Agung Sedayu, aku rasa dia tentu memiliki cara penyelesaian yang paling baik”.
“Baik Ki, tetapi bagaimana jika utusan yang kita kirim tidak berhasil menemuinya?”.
“Laporkan saja kejadian ini ke Padepokan Orang Bercambuk, meski seandainya kalian tidak berhasil bertemu dengan Agung Sedayu atau Pandan Wangi, tentu padepokan itu tidak bakal tinggal diam jika mendengar kabar tentang kejadian ini”.
“Apakah dengan demikian, kami langsung saja mengirim utusan ke Padepokan Orang Bercambuk?”.
“Apakah ada tempat lain yang pantas mendapat laporan tentang kejadian ini selain Padepokan Orang Bercambuk?”.
“Maaf Ki Argajaya, maksudku mungkin kami dapat melaporkan kejadian ini ke Kademangan Sangkal Putung atau bahkan ke Mataram lebih dahulu? karena ada kemungkinan pula bahwa Ki Agung Sedayu sedang berada disana, lagipula tempat itu justru lebih dekat dari sini”.
Ayah dari Ki Prastawa itu terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Ki jagabaya guna membuat pertimbangan, sebab masuk akal pula gagasan tersebut.
“Ya sudah, terserah kalian saja jika memang itu adalah cara yang paling baik. Aku hanya ingin berpesan kepada kalian, bahwa sebaiknya kalian segera laksanakan rencana itu”.
“Baik Ki Argajaya, kami mengerti. Agar tidak semakin terlambat, kami akan mengirim utusan itu sekarang juga”.
“Semakin cepat kalian bergerak, maka akan semakin baik. Selain itu kalian jangan lupakan pula keamanan di Tanah Perdikan Menoreh ini, dan jangan sampai kalian harus membayar mahal atas kelengahan yang telah kalian buat”.
“Baik Ki Argajaya, kami mengerti. Kami akan meningkatkan keamanan seluruh tanah ini bersama para pengawal”.
“Sepertinya tidak ada lagi yang dapat aku lakukan disini, jadi sebaiknya aku segera kembali lagi. Kalian berhati-hatilah dalam melaksanakan tugas”.
“Baik Ki Argajaya”.
Kemudian orang yang umurnya sudah semakin merambat senja itu melangkahkan kakinya meninggalkan halaman rumah yang diwariskan oleh kakak kandung satu-satunya yang kini dihuni oleh anak perempuanya bersama keluarganya, yang menjadi pemangku jabatan sementara sebagai kepala perdikan.
Halaman 17 -18
Setelah Ki Argajaya tidak terlihat lagi dari pandangan mata, maka orang-orang yang berada di rumah itu segera mengatur diri, apa yang sebaiknya akan mereka lakukan.
“Tolong siapkan enam orang di antara kalian sekarang juga, yang akan menjadi utusan ke Kademangan Sangkal Putung, Mataram, dan Padepokan Orang Bercambuk yang berada di Jati Anom”. berkata Ki Jagabaya.
“Baik Ki Jagabaya, tetapi maaf Ki Jagabaya. Jika kita melaporkan ini ke Mataram, utusan kita harus menghadap kepada siapa? bukankah kita semua tahu bahwa para pepunden Mataram sedang melawat ke bang wetan?”. sahut salah satu pemimpin pengawal.
“Kalian datanglah ke Kepatihan dan menghadaplah kepada Ki Patih Singaranu”.
“Apakah Ki Jagabaya yakin, bahwa Ki Patih Singaranu berkenan menerima utusan kita? apalagi pada waktu yang tidak wajar untuk menghadap? sebab menurut perhitungan, jika utusan berangkat sekarang dengan berkuda dan tidak ada hambatan di sepanjang perjalanan, maka mereka akan tiba di Kepatihan pada saat masih beberapa lama sebelum matahari terbit”.
Orang tua itu terdiam sejenak, baru kemudian…
“Katakan saja kepada para penjaga Kepatihan bahwa kalian sedang mencari Ki Agung Sedayu, sebab ada keperluan yang sangat penting dan mendesak. Jika mereka masih belum percaya pula, katakan saja seperti apa adanya yang terjadi”.
“Baiklah Ki Jagabaya”.
“Syukur-syukur jika Ki Patih Singaranu juga berkenan menerima kedatangan kalian, maka itu akan menjadi sebuah keberuntungan bagi kalian yang tidak bakal terlupakan dapat bertemu dengan Priyagung Mataram”.
“Baiklah kalau begitu”.
Kemudian mereka pun segera memanggil enam orang pengawal pilihan yang akan diberi tugas menjadi utusan ke Kademangan Sangkal Putung, Padepokan Orang Bercambuk, dan Mataram. Guna melaporkan apa yang baru saja telah terjadi.
Tidak lama kemudian berkumpullah enam orang pengawal terpilih di pendapa guna menerima pesan-pesan dari Ki Jagabaya dan pemimpin Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Kalian pergilah ke Mataram, Kademangan Sangkal Putung, dan Padepokan Orang Bercambuk untuk mencari Ki Agung Sedayu, Nyi Pandan Wangi, atau Nyi Sekar Mirah. Laporkanlah apa yang telah terjadi disini, dan sampaikanlah permintaan maaf kita yang sebesar-besarnya kepada mereka bahwa kita tidak dapat menjaga Sekar Wangi dengan sebaik-baiknya”.
“Baik Ki Jagabaya”. jawab salah satu dari orang-orang yang mendapat kepercayaan menjadi utusan.
“Untuk mempersingkat waktu perjalanan, kalian bagilah tugas itu masing-masing dua orang untuk pergi ke satu tempat yang telah aku sebutkan tadi setelah menyeberangi Kali Praga”. berkata Ki Jagabaya memberikan petunjuk.
Keenam orang pengawal tersebut hanya terdiam dan ada pula yang menganggukkan kepala perlahan sebagai pertanda bahwa mereka telah mengerti apa yang bakal mereka lakukan.
“Tetapi jika kalian tidak berhasil menemui salah satu dari mereka atau bahkan ketiga-tiganya di tempat yang telah aku sebutkan, kalian mintalah pertolongan kepada Padepokan Orang Bercambuk. Dan aku kira mereka tidak bakal tinggal diam jika mendengar kabar ini, tentu mereka akan dengan senang hati mengulurkan pertolongan kepada kita”.
“Maaf Ki Jagabaya, bukankah nanti di perjalanan kami akan berpisah jalan? lalu bagaimanakah kami dapat mengetahui bahwa kami tidak berhasil menemui mereka di tiga tempat tersebut?”.
Halaman 19 - 20
“Meski di awal perjalanan kalian harus berpisah jalan, tetapi kalian berkumpulah lebih dulu di Padepokan Orang Bercambuk sebelum kalian kembali kemari secara bersama-sama”.
“Jika demikian, apakah tidak sebaiknya kami tetap berjalan bersama-sama saja di sepanjang perjalanan?”. sahut salah satu utusan itu merasa heran.
“Kita sedang berkejaran dengan waktu, dan sebisa mungkin berita ini tersampaikan kepada orang yang kita cari. Dan aku menyuruh kalian untuk kembali bersama-sama itu adalah untuk berjaga-jaga akan kemungkinan buruk yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan”.
“Demikian rupanya, baiklah Ki Jagabaya, aku mengerti”.
“Jika kalian semua sudah mengerti, segeralah berangkat agar kalian tidak semakin kehilangan waktu. Sebab waktu yang sesempit apapun akan sangat berarti sekali bagi kita, terutama bagi Sekar Wangi yang sedang dalam penguasaan orang tak dikenal”.
“Baik Ki Jagabaya”.
“Yang perlu kalian ingat adalah bagaimana caranya agar laporan ini tersampaikan sesegera mungkin kepada orang yang kita cari, karena jika kalian terlambat, maka itu artinya bencana, tidak hanya bagi kalian tetapi bagi kita semua”.
“Baik Ki Jagabaya, kami mengerti”.
“Ya sudah, aku persilahkan kalian untuk segera berangkat”. ucap Ki Jagabaya sembari mengangkat tangan kanannya sebagai pertanda mempersilahkan.
Sejenak kemudian mereka berenam pun segera berangkat dengan kuda masing-masing di malam yang semakin dingin yang semakin menusuk kulit, bahkan hingga tulang. Namun semua itu tidak pernah menyurutkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk menjalankan tugasnya.
*****
Sementara itu Priyagung Mataram masih tampak berkumpul di perkemahannya, dan sepertinya masih ada yang perlu mereka bicarakan bersama sebelum merangkai mimpi indah dalam tidurnya masing-masing.
“Bagaimana menurut, Paman bertiga tentang persiapan kita dalam menghadapi Pasukan Surabaya? apakah kita sudah cukup kuat untuk menghadapi mereka?”.
Sebelum menjawab, ketiga Pangeran Mataram itu saling pandang mendapat pertanyaan tersebut. Mereka saling memberikan isyarat untuk menjawab lebih dulu, dan akhirnya.
“Secara jumlah kita masih kalah jauh, Ngger. Sebab berdasarkan laporan dari prajurit sandi, sebelum Mataram mengirimkan pasukan cadangan, jumlah mereka hampir dua kali lipat dari jumlah kita. Jadi kita harus memikirkan siasat dengan cermat agar dapat mengatasi Pasukan Surabaya”. sahut Pangeran Puger.
“Dan dalam waktu yang sangat sempit ini, kita tidak dapat menambah pasukan lagi, seandainya bisa pun, tentu akan terlambat bergabung dengan kita. Sehingga akan sia-sia saja”.
“Angger Panembahan benar, sekarang kita memang tidak memiliki pilihan. Jadi mau tidak mau kita harus dapat berusaha dengan sebaik-baiknya dengan pasukan yang ada”.
“Selisih kita dengan mereka cukup jauh, apakah menurut Paman bertiga kita akan mampu mengatasi Pasukan Surabaya dengan pasukan yang kita miliki sekarang?”.
“Di dalam sebuah perang, jumlah pasukan memang sangat penting, tetapi bukan menjadi sebuah jaminan pula bahwa yang lebih sedikit pasti akan kalah dan yang lebih banyak pasti akan menang. Sebab ada hal lain pula yang dapat mempengaruhi keseimbangan perang, seperti siasat dan bekal orang-orang yang terlibat di dalamnya secara pribadi”. sahut Pangeran Pringgalaya.
Halaman 21 -22
“Lalu bagaimana menurut Paman bertiga tentang kemampuan pasukan kita secara pribadi? apakah kira-kira mereka memiliki kelebihan dari para Prajurit Surabaya?”.
“Aku tidak dapat menilainya secara pasti, Ngger. Apalagi namanya bekal kawruh kanuragan itu dapat berubah dan tidak seiring dengan berjalannya waktu. Sebab hal itu tidak dapat kita sama ratakan, semua itu tergantung kepada pribadi masing-masing sejauh mana ingin meningkatkan kemampuannya”.
“Aku sependapat dengan Adimas Pangeran Pringgalaya, kita tidak dapat menilai bekal kawruh kanuragan seseorang secara keseluruhan hanya dengan sekali saja melihatnya, karena itu dapat menyesatkan”.
“Aku jadi teringat dengan kemampuan Ki Lurah Glagah Putih, aku tidak pernah mengira sebelumnya jika kemampuannya sudah sejauh itu. Secara kepangkatan dia memang tidak lebih dari seorang lurah prajurit, tetapi kemampuannya bahkan telah melewati kemampuan kebanyakan para tumenggung sekalipun”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil ikut menimpali.
“Nah… itu adalah salah satu contoh, bahwa selama ini kita hampir tidak pernah memperhatikannya karena dia tidak lebih dari sekedar lurah prajurit, tetapi ternyata dia mampu melawan dan bahkan membunuh Ki Patih Rangga Permana dalam sebuah perang tanding yang adil”. sahut Pangeran Puger.
“Kemampuan seseorang memang tidak dapat kita lihat hanya dari gelar kepangkatannya saja, dan Ki Lurah Glagah Putih menjadi salah satu contohnya, bahwa kita tidak dapat menilai seseorang hanya dari apa yang tampak saja”.
“Selain Ki Lurah Glagah Putih, bukankah dalam perang kali ini kita pun mendapat kejutan lain pula? karena keponakannya yang belum lama menjadi seorang Prajurit Mataram pun telah mampu mengalahkan seorang Prajurit Wirasaba yang berpangkat tumenggung dalam sebuah perang tanding?”.
“Ya… Paman Pringgalaya benar, tetapi mereka adalah sebuah pengecualian dari penilaian orang kebanyakan, sebab mereka adalah keluarga orang-orang linuwih”.
Sejenak suasana di dalam perkemahan Priyagung Mataram itu menjadi hening dengan penalaran masing-masing, di waktu yang semakin merambat menggapai puncaknya.
“Lalu bagaimana dengan Pasukan Surabaya menurut Paman bertiga? apakah kita akan mampu mengatasi mereka dengan prajurit yang ada?”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma mengalihkan ke pembicaraan utama kembali.
“Sejauh yang aku tahu, pada dasarnya tidak ada seorangpun yang dapat menjamin kemenangan dalam sebuah perang, Ngger. Tetapi yang dapat kita lakukan adalah berusaha sebaik-baiknya dengan segala kemungkinan yang ada. Meski kita wajib pula memiliki perhitungan, tetapi hal itu bukanlah menjadi sebuah jaminan”.
“Ya… aku mengerti, Paman Pringgalaya. Tetapi dari perhitungan yang kita miliki ini, apakah kita masih memiliki kesempatan untuk dapat memenangkan perang nanti, melawan Pasukan Surabaya?”.
“Dengan pasukan yang ada dan siasat yang akan kita gunakan, sepertinya kita masih memiliki harapan untuk dapat memenangkan perang. Dan sebaiknya memang begitu ketika memasuki sebuah perang, kita harus memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa kita akan dapat memenangkan perang. Sebab jika kita sudah merasa ragu ketika akan memasuki medan, itu sama saja artinya kita sudah kalah sebelum perang”.
“Aku sependapat dengan Adimas Pringgalaya. Bagaimanapun keadaan pasukan kita, jika kita sudah siap untuk memasuki medan, kita harus memiliki keyakinan untuk menang. Jika kita ragu, lebih baik kita mundur, daripada nanti kita memasuki medan hanya untuk membunuh diri”.
“Bukankah memang seharusnya demikian?”.
Halaman 23 - 24
“Di dalam medan memang dipenuhi misteri yang kadang tidak masuk dalam penalaran kita, tetapi dengan berbekal keyakinan, paling tidak akan membuat langkah kita lebih ringan ketika memasuki medan yang garang sekalipun”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil ikut menimpali.
“Aku mengerti, Paman. Tetapi secara penalaran wajar, seberapa besar kemungkinan pasukan kita dapat memenangkan perang melawan Pasukan Surabaya, Paman?”.
“Kemungkinan itu memang tidaklah besar, Ngger. Tetapi dari kemungkinan yang sangat kecil itu semoga saja dapat mengantarkan kita menuju kemenangan di akhir pertempuran”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Lalu bagaimana menurut, Paman bertiga dengan segala rencana yang kita persiapkan untuk menghadapi Pasukan Surabaya? apakah rencana itu adalah rencana yang paling baik? atau ada rencana yang lebih baik lagi?”.
“Mengingat keadaan dan jumlah pasukan kita yang ada, aku tidak melihat cara lain yang lebih baik, dari rencana yang telah kita sepakati bersama, Ngger. Dan aku rasa itu adalah rencana yang paling baik yang dapat kita gunakan”.
Salah satu putra Panembahan Senopati itu berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas dan membasahi tenggorokannya yang terasa agak kering setelah beberapa saat bicara.
“Semoga Pasukan Cadangan yang sedang menyusul kita dapat memberikan arti jika nanti benar-benar pecah perang. Bukan maksudku untuk mengecilkan arti pasukan dari kesatuan yang lain. Tetapi karena Pasukan Jalamangkara dan pasukan dari Padepokan Orang Bercambuk adalah pasukan yang memiliki kelebihan dari pasukan lain”. lanjut Pangeran Pringgalaya.
“Semoga saja, Paman. Semoga Pasukan Cadangan yang datang kemudian dapat bahu membahu dengan seluruh pasukan yang ada untuk menggapai tujuan yang sama, yaitu sama-sama menaklukkan Pasukan Surabaya yang terkenal sangat kuat”.
“Pasukan Surabaya terkenal sangat kuat karena banyak diisi oleh orang-orang dari Padepokan Jalatunda yang kita sendiri sudah tahu sejauh mana tataran kemampuan mereka”.
“Adimas Pringgalaya benar, sebagian besar orang-orang Padepokan Jalatunda memang mengabdikan diri di Kadipaten Surabaya. Dan karena kemampuan yang mereka miliki, maka tidak mengherankan jika mereka menduduki jabatan-jabatan penting di sana, termasuk Ki Ageng Jalatunda yang mendapat kehormatan menjadi salah satu penasehat di Surabaya”.
“Apakah dengan kata lain, pasukan kita nanti akan banyak menemui orang-orang Padepokan Jalatunda, Paman?”.
“Demikianlah, Angger Panembahan”. sahut Pangeran Puger.
“Maka dari itu harus kita persiapkan sejak sekarang, Ngger. Sebab orang-orang Jalatunda sangat terkenal suka bermain-main dengan racun yang sangat ganas dan mematikan”.
“Lalu apa saja yang harus kita persiapkan, Paman?”.
“Kita perintahkan kepada para Tabib untuk membuat ramuan obat penawar racun yang paling ganas dan mematikan untuk seluruh pasukan kita”.
“Apakah di sisa waktu yang kita miliki ini, para Tabib dapat memenuhi kebutuhan yang kita perlukan, Paman? bukankah membuat ramuan obat untuk seluruh pasukan itu tidak sedikit?”. sahut Kanjeng Sinuhun dengan perasaan ragu.
“Maka dari itu, Ngger. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya sekarang kita panggil saja kepala Tabib untuk menghadap, agar pembicaraan ini menjadi semakin jelas dan gamblang”.
“Baiklah Paman, kita panggil dia sekarang”. sahut Kanjeng Sinuhun, lalu memberikan isyarat kepada anak buahnya.
Halaman 25 - 26
Tidak lama kemudian muncullah Kepala Tabib yang dibawa Mataram kali ini datang menghadap dengan perasaan penuh tanda tanya.
“Apakah aku telah melakukan kesalahan? sehingga tiba-tiba aku dipanggil menghadap?”. katanya dalam hati dengan penuh tanda tanya, sembari datang menghadap kepada para pepundennya.
“Hamba datang menghadap, dan siap menunggu perintah dari Kanjeng Sinuhun. Tetapi sebelumnya hamba mohon ampun Kanjeng, apakah hamba telah melakukan kesalahan? sehingga diperintahkan untuk menghadap secara tiba-tiba?”. berkata Tabib itu sembari tidak lupa menghaturkan sembah kepada pepundennya.
“Tidak Kyai, kau tidak melakukan kesalahan. Tetapi kami memang ada keperluan denganmu”. sahut Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sembari tersenyum tipis.
Setelah mendengar jawaban tersebut, Tabib itu merasa seakan disiram banyu sewindu, benar-benar membuatnya merasa lega bukan kepalang.
“Hamba mohon petunjuk, Kanjeng”.
“Berdasarkan laporan dari para prajurit sandi, bahwa Pasukan Surabaya banyak berisikan orang-orang dari Padepokan Jalatunda. Sejauh pengetahuan kami, padepokan itu sangat terkenal suka bermain-main dengan racun yang sangat ganas dan mematikan. Dan maksudku memanggilmu adalah, apakah kau dan kawan-kawanmu dapat menyiapkan ramuan obat penawar racun itu sebelum pecah perang dengan Surabaya?”.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, sepertinya kita sudah memilikinya”.
“Tetapi kali ini kita membutuhkan untuk seluruh pasukan, apakah sudah mencukupi?”.
“Ampun Kanjeng, jika sebanyak itu yang kita butuhkan, hamba rasa kekurangannya masih sangat banyak”.
“Apakah kira-kira kau dapat mengupayakan sebanyak yang kita butuhkan? hingga sebelum pecah perang nanti?”.
Kepala Tabib itu menjadi terdiam sembari menundukkan kepalanya guna membuat pertimbangan apa yang sebaiknya harus dilakukannya bersama kawan-kawannya.
“Ampun Kanjeng, hamba tidak dapat mengatakannya sekarang. Sebab kita sekarang sedang berada di tempat asing, sehingga hamba tidak tahu harus kemanakah mencari semua bahan-bahan yang kami butuhkan untuk membuat ramuan obat itu”.
“Aku baru menyadari, bahwa selain membutuhkan kemampuan khusus, untuk meramu obat juga harus memiliki kemampuan pengenalan khusus terhadap lingkungan sekitar guna mencari sumber ramuan obat, terutama obat dengan khasiat khusus”.
“Demikianlah Kanjeng. Pada dasarnya hamba tidak berani memastikan, tetapi meski begitu kami akan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk membuat ramuan obat itu sesuai perintah dari Kanjeng Sinuhun”.
“Ya… aku mengerti, Kyai”.
“Untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaanmu, biarlah nanti kau dibantu para prajurit. Kau tinggal katakan, bahan-bahan apa saja yang kau butuhkan untuk membuat ramuan obat itu, Kyai”. sahut Pangeran Pringgalaya ikut menimpali.
“Terima kasih, Pangeran. Nanti hamba akan membicarakannya lebih dulu dengan para Tabib yang lain, sebelum aku memberitahukan kepada para prajurit yang akan membantu”.
“Apakah Kyai memerlukan bantuan lain? selain itu?”.
“Hamba rasa itu sudah cukup, Kanjeng”.
“Jika demikian, silahkan Kyai segera laksanakan”.
“Sedika dawuh, Kanjeng Sinuhun”.
Halaman 27 -28
*****
Sementara itu terdengar suara kuda yang sepertinya tidak hanya seekor sedang berderap membelah malam yang sunyi dan dingin yang mulai menusuk kulit.
Dengan para penunggangnya yang diliputi oleh ketegangan dari masing-masing orangnya, hingga membuat mereka hampir tidak membuka suara di sepanjang perjalanan.
Kuda-kuda itu terlihat menuju ke arah tepian Kali Praga dan semakin mendekati penyeberangan di sisi utara. Sebab menurut perhitungan mereka, pada waktu seperti ini hanya di tempat itulah yang terdapat Tukang Satangnya.
Tukang Satang yang setia menunggu penumpangnya hanya untuk mencari sesuap nasi bagi keluarganya, meski dirinya tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah pekerjaan yang lebih tepatnya untung untungan.
Karena pada wayah dini hari sangat jarang sekali orang yang akan memiliki keperluan untuk menyeberang, hanya orang-orang yang memiliki keperluan khusus saja yang bakal melakukannya.
Penunggan kuda yang ternyata berjumlah enam orang itu sepertinya sudah terbiasa berkuda di bawah kegelapan malam, sehingga pekatnya malam bukanlah sebuah masalah yang besar bagi mereka.
Selain itu mereka adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sudah sangat terlatih dengan baik di berbagai medan yang bagaimanapun sulitnya.
Sehingga mereka tidak menemui kesulitan yang berarti ketika harus menuruni tepian Kali Progo yang sedikit berpasir dengan tetap berada di atas punggung kudanya masing-masing.
Meski mereka harus melajukan kudanya lebih pelan dan harus lebih berhati-hati agar tidak tergelincir dan jatuh ke tepian Kali Praga yang masih gelap dan hanya disinari oleh cahaya bulan yang tidak dalam puncaknya.
Namun baru saja mereka memasuki tepian dan belum sempat mendekati tempat Tukang Satang berada, mereka telah dikejutkan oleh sesuatu yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
“Kalian akan pergi kemana?”.
Sontak saja membuat keenam penunggang kuda itu segera menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari salah satu sisi tebing yang berada di dekat tepian.
Namun karena jarak, mereka belum dapat melihat dengan jelas wujud orang yang tiba-tiba muncul tersebut, hanya samar-samar mereka melihat bahwa orang itu mengenakan sebuah caping sebagai penutup kepala.
“Kau siapa, Ki Sanak?”. bertanya salah satu pengawal.
“Orang-orang memanggilku, Ki Pringsewu”.
“Apa keperluanmu menghampiri kami?”.
“Aku hanya ingin mengingatkan kepada kalian, bahwa sebaiknya kalian kembali”.
“Apa maksudmu menghentikan perjalanan kami?”.
“Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku ingin mengingatkan kepada kalian bahwa sebaiknya kalian urungkan saja perjalanan kalian dan kembali saja”.
“Kenapa kau melakukannya? memangnya kau tahu kami akan pergi kemana?”.
“Justru karena aku tahu tujuan kalian, maka dari itu aku ingin mengingatkan kalian”.
“Memangnya kami akan pergi kemana?”. sahut salah satu pengawal mencoba memancing pembicaraan.
Halaman 29 - 30
“Kalian akan mencari bantuan, karena baru saja di Tanah Perdikan Menoreh telah terjadi ontran-ontran dan anak perempuan pepunden kalian telah diculik oleh orang-orang tak dikenal”.
Bagaikan disengat ribuan lebah karena saking terkejutnya keenam orang itu mendengar jawaban tersebut, hingga membuat mereka sempat tertegun sesaat.
“Jika kau telah mengetahui apa yang telah terjadi, kenapa kau sekarang berusaha menghentikan perjalanan kami? kau tentu bagian dari para penculik itu”.
“Tidak… aku sama sekali tidak mengenal mereka”.
“Bohong…! kau tentu bagian dari mereka”. sahut pengawal sembari menunjuk ke arah orang bercaping itu berdiri.
“Aku berkata sebenarnya”.
“Jika kau memang bukan bagian dari mereka, tentu kau tidak akan menghentikan perjalanan kami”.
“Percayalah kepadaku, aku tidak bermaksud jahat kepada kalian”.
“Jika kau memang tidak bermaksud jahat, turunlah dulu kemari agar kita dapat saling melihat dan barangkali kita pernah saling mengenal sehingga tidak timbul kesalahpahaman di antara kita”.
Orang bercaping itu tidak menjawab, namun segera melakukan apa yang diminta oleh pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu untuk turun ke tepian.
Namun cara yang digunakan untuk turun oleh orang bercaping itu benar-benar mengejutkan keenam pengawal, hingga membuat mereka tertegun.
Apa yang mereka lihat adalah menjadi peringatan bahwa mereka tentu sedang berhadapan dengan orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sebab baru saja mereka melihat pemeran ilmu meringankan bobot tubuh yang luar biasa.
Meski di bawah kegelapan malam, tetapi karena kini mereka sudah saling berhadapan dan hanya berjarak beberapa langkah saja. Maka kini mereka dapat melihat lebih jelas bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang yang sangat sepuh dan berpakaian compang-camping.
“Apakah kami harus percaya denganmu begitu saja? percaya kepada orang asing yang baru saja kami temui disini? apa kau anggap kami ini adalah anak-anak yang dapat dengan mudahnya kau bujuk untuk mengikuti kemauanmu?”.
“Lalu apa maumu?”.
“Tentu saja kami akan tetap melanjutkan perjalanan kami”.
“Jadi kalian tidak percaya kepadaku?”.
“Semakin lama sikapmu justru semakin mencurigakan, Ki Sanak. Kau tentu bagian dari para penculik itu, sebab kau semakin berkeras hati untuk menghentikan perjalanan kami”.
‘Aku tidak bermaksud buruk sama sekali kepada kalian dan kepada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh”.
“Tetapi sikapmu semakin membuat kami ingin menangkapmu dan menyerahkan kepada Ki Jagabaya untuk dimintai pertanggung jawaban”.
“Memangnya apa yang telah aku lakukan? bukankan aku tidak berniat buruk atau bahkan melakukan hal buruk kepada kalian semua? yang aku lakukan hanyalah memberikan peringatan”.
“Kami tidak memiliki banyak waktu untuk mengawanimu berbincang, dan karena sikapmu sangat mencurigakan, maka kami harus menangkapmu”. sahut pengawal yang sepertinya sebagai pemimpin rombongan.
Selesai berkata demikian, dia segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengepung orang asing yang baru saja mereka temui tetapi sikapnya sangat mencurigakan.
Halaman 31 - 32
Sebelum mereka melakukan perintah kawannya, mereka lebih dulu menambatkan kuda mereka di bagian apa saja yang dianggap baik di sepanjang tepian.
Raut wajah orang yang sedang dikepung itu tampak tetap tenang meski mendapat perlakuan yang demikian dan harus menghadapi enam orang sekaligus.
Sejenak kemudian tepian Kali Praga yang tidak terlalu luas itu menjadi ajang pertarungan pada wayah dini hari, tetapi mungkin lebih tepatnya adalah pengeroyokan bukan sebuah pertarungan, sebab kali ini satu orang harus melawan enam orang sekaligus.
Para pengawal yang masih terbebani oleh tugas yang sedang diemban, berpikir tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di tepian tersebut.
Sehingga mereka berpikir bagaimana cara agar dapat segera menyelesaikan orang itu, lalu segera pula untuk melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Maka pertarungan tidak diawali dari tataran penjajagan layaknya sebuah pertarungan yang kebanyakan terjadi, mereka sudah mulai pertarungan dalam tataran yang sangat tinggi.
Serangan membadai dan bertubi-tubi datang silih berganti dari para pengawal pilihan Tanah Perdikan Menoreh kepada orang yang sudah sangat sepuh itu.
Namun ternyata orang tua itu adalah orang tua yang sangat luar biasa, dan ternyata wujudnya tidak berbanding lurus dengan kemampuan yang ditunjukkan.
Meski secara kewadagan sudah terlihat sangat sepuh, namun kecepatan geraknya dalam menanggapi setiap serangan yang datang benar=benar luar biasa.
Dan setelah beberapa saat terjadi pertarungan, para pengawal yang masih merasa kesulitan untuk menembus pertahanan lawannya, segera meningkatkan tataran kemampuannya selapis demi selapis lebih tinggi, hingga pada akhirnya sampai ke puncak.
Benturan-benturan mulai tidak dapat terhindarkan dari pertarungan yang semakin sengit dan keras, namun jika diperhatikan dengan seksama sepertinya ada yang janggal dalam pertarungan.
Namun mungkin hal itu tidak disadari oleh para pengawal yang sedang dikejar waktu untuk dapat segera menyelesaikan lawannya dalam waktu sesingkat mungkin.
Karena bagi para pengawal bayangan tugas yang mereka emban jauh lebih penting, sehingga mereka kurang begitu memperhatikan hal-hal yang terkesan sepele.
Jika diperhatikan, tampak Ki Pringsewu dalam pertarungan itu tidak terlihat ingin benar-benar menyakiti lawan-lawannya, dan terkesan hanya berusaha mengimbangi meski dirinya sadar harus menghadapi enam orang sekaligus.
Mungkin Ki Pringsewu yakin dengan bekal kawruh kanuragan yang dimilikinya, lagipula para pengawal pun tidak berniat buruk kepadanya. Dan baginya hanya terjadi kesalahpahaman.
Semakin sering terjadi benturan, justru para pengawal yang mulai merintih kesakitan. Sebab mereka seperti sedang mengadu kekuatan watu ireng yang sangat keras.
Para pengawal merasa kaki dan tangan mereka bergetar hebat ketika membentur tubuh Ki Pringsewu yang sudah sangat sepuh tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa.
Hingga akhirnya pemimpin rombongan para pengawal berpikir tidak ada jalan lain, selain menarik senjata yang mereka bawa agar mempercepat pekerjaan.
“Tarik pedang kalian semua”. teriak pemimpin pengawal itu sembari menarik pedangnya sendiri di lambung kiri.
Halaman 33 - 34
“Jangan gegabah, Ki Sanak. Hati-hati dengan senjata kalian”.
“Jika kau menjadi ketakutan, menyerah saja kau, Ki Sanak. Agar urusan di antara kita cepat selesai dan hukumanmu tidak semakin berat jika kau bersikap bersahabat”.
“Bukankah aku tidak bermaksud buruk kepada kalian? jadi apa yang harus aku pertanggung jawabkan?”.
“Terserah katamu, tetapi bagi kami sikapmu sangat mencurigakan dan harus ditangkap. Dan jika kau memang tidak bersalah, tentu pepunden kami tidak akan menghukummu. Sebab pepunden kami adalah orang yang tahu paugeran”.
“Memangnya siapakah pepunden kalian?”.
“Meski belum ada pengangkatan secara resmi di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi setelah kepergian Ki Gede Menoreh belum lama ini. Aku rasa tidak ada calon lain selain anak perempuan semata wayang dari Swargi Ki Argapati yang akan menjadi pemangku jabatan”.
“Tetapi aku tidak mengenalnya, jadi aku tidak yakin dengan pepundenmu itu akan dapat menegakkan paugeran yang berlaku, apalagi dia tidak lebih hanya seorang perempuan”.
“Kau telah menghina pepunden kami”.
“Apa aku telah menghinanya? bukankah aku hanya mengatakan pendapatku tentangnya? orang yang belum aku kenal?”.
“Sudahlah Ki Sanak, kami tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama melayanimu disini, sebab kami sudah ditunggu tugas yang sangat penting dan harus segera dilaksanakan. Bersiaplah”.
Selesai berkata demikian maka pemimpin pengawal itu bersama kawan-kawannya segera bersiap melanjutkan pertarungan dengan senjata ditangan masing-masing.
Sementara Ki Pringsewu sepertinya sudah kehabisan kata-kata untuk mencegah perjalanan para pengawal itu segera bersiap pula, sebab dirinya tidak ingin ditangkap begitu saja karena merasa tidak bersalah dengan apa yang dilakukannya.
Sejenak kemudian para pengawal itu mulai menyerang dengan senjata masing-masing dengan serangan yang semakin cepat dan membadai.
Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu, meski mereka semua sudah menggunakan pedang sebagai senjata.
Kecepatan gerak Ki Pringsewu yang luar biasa masih terasa diluar nalar bagi para pengawal yang sudah sangat terlatih dalam pertarungan yang bagaimanapun kerasnya.
Namun yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan semua pengawal yang sedang bertarung, sebab satu persatu senjata di tangan mereka mulai terpental entah kemana tanpa pernah mereka tahu bagaimana orang tua itu melakukannya.
Sehingga membuat para pengawal itu hanya terdiam membeku sejenak di tempat masing-masing setelah kehilangan senjata dengan wajah penuh kebingungan.
“Sangat berbahaya sekali melamun dalam sebuah pertarungan, sebab dengan demikian kalian dapat kehilangan kepala kalian sewaktu-waktu tanpa kalian sadari”. berkata Ki Pringsewu setelah mengambil jarak.
Bagaikan terbangun dari mimpi buruk, para pengawal itu kemudian bersiap kembali untuk menghadapi segala kemungkinan atas lawannya.
Meski kini mereka telah kehilangan senjata yang terpental entah kemana, namun hal itu tidak membuat para pengawal kehilangan semangat untuk tetap melanjutkan pertarungan.
Halaman 35 - 36
Karena sejenak kemudian mereka kembali menyerang Ki Pringsewu dengan serangan yang garang meski di beberapa bagian tubuh mereka mulai terasa sakit.
“Ternyata kalian adalah para pengawal yang keras kepala”.
Hal ini membuat Ki Pringsewu harus merubah sikapnya, karena dia merasa sedang berhadapan dengan orang-orang yang keras kepala, namun para pengawal yang patuh kepada pepundennya.
Meski sempat kecewa, namun dalam hati Ki Pringsewu mengagumi sikap para pengawal itu yang sangat patuh dengan tugas yang diemban sampai mengesampingkan keselamatan sendiri.
Namun serangan demi serangan para pengawal yang sangat garang itu mulai dapat dipatahkan satu persatu, bahkan mereka harus terlempar beberapa langkah surut.
Rupanya Ki Pringsewu ingin segera mengakhiri pertarungan pula, sehingga segera meningkatkan kemampuannya agar dapat mengalahkan lawan-lawannya.
Meski sempat terlempar secara bergantian, namun para pengawal itu memiliki sikap pantang menyerang. Segera bangkit, lalu melanjutkan pertarungan bersama kawan-kawannya.
Namun tidak lama kemudian mulai terlihat keseimbangan medan pertempuran, dan ternyata keenam para pengawal itu masih terlalu sulit untuk dapat mengalahkan orang yang sudah sangat sepuh.
Semakin lama para pengawal semakin tidak berdaya menghadapi sepak terjang Ki Pringsewu, dan satu persatu mereka terlempar jatuh ke tepian dan tidak dapat bangkit kembali karena perasaan sakit yang mulai menggigit di beberapa bagian tubuh. Tetapi mereka semua dalam keadaan sadar tanpa ada yang pingsan.
Dan kini yang masih terlihat berdiri tegak hanya Ki Pringsewu.
“Kalian beristirahatlah lebih dulu untuk memperbaiki pernafasan kalian agar tidak terdengar tersengal-sengal sebelum kembali”. ucap Ki Pringsewu sembari memandang berkeliling.
Tanpa menunggu jawaban, Ki Pringsewu segera meninggalkan tepian Kali Praga itu dengan gerakan yang sangat cepat dan melompat menuju tebing, lalu menghilang di kegelapan.
*****
Sementara itu tampak lima orang sedang berjalan menyusuri pinggiran hutan di Tanah Perdikan Menoreh di bawah kegelapan malam yang baru saja mencapai puncaknya.
Dan salah satu di antara mereka membawa seorang gadis yang masih sangat muda sekali dalam keadaan tidak sadarkan diri dan terkulai lemah di pundak kanannya.
Gadis kecil itu tidak lain adalah Sekar Wangi yang sedang diculik oleh orang-orang tak dikenal. Dan entah akan dibawa kemanakah cucu Swargi Ki Gede Menoreh tersebut.
Mereka memang sengaja memilih jalan tersebut untuk menghindari pengamatan dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang tentu saja akan segera memburu, setelah apa yang telah mereka lakukan.
Dari tempat mereka berjalan, mereka mendengar suara titir yang semakin riuh bersahut-sahutan membelah malam, hal itu tentu saja dibarengi juga dengan semakin banyaknya orang yang akan berkumpul, lalu memburu mereka berlima.
Namun kelima orang tersebut sudah berjalan semakin jauh dari padukuhan induk, sehingga kemungkinannya semakin kecil bagi orang-orang Menoreh untuk dapat segera menemukan mereka.
Lagipula jika ada yang berhasil menyusul, tidak akan mudah untuk merebut Sekar Wangi dari tangan orang yang tidak dikenal tersebut, apalagi jika mereka hanya terdiri dari para pengawal.
Halaman 37 - 38
“Aku rasa kita sudah cukup jauh, jadi tidak ada salahnya jika kita beristirahat dulu barang sebentar”. ucap orang yang dipanggil guru oleh empat orang yang berjalan bersamanya.
“Akhirnya… aku dapat beristirahat”. sahut orang yang membawa Sekar Wangi penuh kelegaan.
“Kau sandarkan saja anak itu, di pohon besar itu”.
“Baik Guru”.
Setelah menyandarkan gadis kecil yang masih belum sadarkan itu, kemudian mereka mencari tempat istirahat masing-masing di sekitar pohon tersebut.
“Lalu apa rencana Guru sekarang? apakah kita akan membawa anak ini ke padepokan kita?”.
“Sebelum memikirkan rencana selanjutnya, sebaiknya kita bawa anak ini dulu ke tempat yang aman, tapi yang jelas bukan ke padepokan kita, sebab tempat itu terlalu jauh dari sini”.
“Lalu kita akan membawanya kemana, Guru?”.
“Aku memiliki seorang kawan yang dapat aku percaya dapat membantu kita, dan tempatnya tidak terlalu jauh dari sini”.
“Kami hanya dapat manut saja, apapun keputusan Guru”.
“Aku rasa kita tidak perlu berlama-lama lagi di tempat ini. Dan agar langkah kita dapat lebih cepat, sebaiknya kalian bergantian membawa anak itu”.
“Baik Guru”. sahut Rambat mewakili kawan-kawannya.
“Marilah kita berangkat sekarang, mumpung masih gelap dan kita dapat mengurangi pengamatan orang-orang Menoreh. Selain itu agar kita lekas sampai ke tempat kawanku itu”.
Kemudian kelima orang itupun segera beranjak dari tempat istirahatnya masing-masing, dan salah satu dari mereka membawa gadis kecil itu di bahunya.
Baru saja mereka berjalan beberapa langkah dari tempat istirahat, mereka telah dikejutkan oleh sesuatu yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Bahkan orang yang dipanggil guru, yang tentu saja memiliki kelebihan dari murid-muridnya itu merasa terkejut pula dengan apa yang telah terjadi begitu tiba-tiba, hingga tanpa sadar melompat selangkah ke belakang, dan langsung memasang kuda-kuda.
“Tunggu Ki Sanak”. ucap seseorang dari kegelapan malam yang tidak diketahui dari manakah sumber suara itu.
“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan…”. sahut orang yang dipanggil guru itu dengan umpatan yang sangat kotor, sembari meningkatkan kewaspadaan pada keadaan sekitar.
“Kenapa kalian begitu tergesa-gesa, Ki Sanak?”. sahut orang yang masih belum menampakkan diri tersebut.
“Setan Alas… kau jangan bermain-main denganku, pengecut. Jika kau memang jantan, tunjukkanlah wujudmu di hadapanku! jangan beraninya hanya bersembunyi seperti maling yang sedang mengendap-endap mangsanya”.
“Ha.. ha.. ha…”.
Justru orang misterius itu menjawabnya dengan tertawa yang semakin membuat telinga orang yang dipanggil guru itu memerah serta wajah merah padam karena berusaha menahan amarah.
“Setan Alas… keluarlah kau, Ki Sanak. Jangan menjadi seorang pengecut. Jika kau memang merasa jantan, tunjukkan dirimu sebelum aku memaksamu dengan caraku”.
Halaman 39 - 40
“Apa aku tidak salah dengar, Ki Sanak? kau bicara arti sebuah kejantanan, seolah-olah kau adalah orang yang paling jantan di dunia ini, sementara kau sendiri bukanlah orang yang jantan”.
“Setan Alas… apa maksudmu?”. sahut sang guru semakin marah.
“Tanpa aku jawab pun kau pasti sudah mengerti apa yang aku maksud, apa yang baru saja kau lakukan, Ki Sanak?”.
“He… kau tidak usah banyak bicara, Ki Sanak. Segera tunjukkan dirimu atau aku akan memaksamu keluar dari persembunyianmu dengan caraku?”. sahut sang guru sembari berteriak marah.
“Apakah seperti itu sikap orang yang jantan? hanya dapat berteriak-teriak mengancam ketika kalah bicara?”.
“Setan Alas… Genderuwo… Tetekan…”.
Terdengar sumpah serapah yang sangat kotor dari orang yang menculik Sekar Wangi tersebut, lalu dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, dirinya segera mengetrapkan ilmu untuk melacak keberadaan orang yang masih misterius itu.
Aji Sapta Pangrungu, Aji Sapta Pandulu, bahkan hingga Aji Sapta Panggrahita telah ditrapkannya, namun yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkannya.
“Aneh…”. katanya dalam hati penuh keheranan.
“Padahal aku sudah mengetrapkannya hingga ke puncak, tetapi aku tidak dapat melacak keberadaan orang itu sama sekali”. katanya lagi dalam hati.
Tetapi orang yang dipanggil guru itu tidak menyerah begitu saja, untuk meyakinkan dirinya sendiri, dicobanya sekali lagi. Maka segeralah dipusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan ilmunya hingga ke batas kemampuannya.
Namun apa yang terjadi kemudian membuatnya merasa terkejut dan semakin tidak habis pikir dengan apa yang sebenarnya terjadi, hingga membuatnya sejenak terdiam.
“Kenapa kau menjadi terdiam, Ki Sanak?”. bertanya orang yang masih belum menampakkan jati dirinya.
Orang yang ditanya tidak segera menjawab.
“Benar-benar gila, baru kali ini aku tidak dapat melacak keberadaan orang yang bersembunyi di sekitarku”. katanya dalam hati, sembari menggelengkan kepalanya dengan lemah.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi? apakah orang itu memiliki kemampuan yang sudah sundul langit untuk menyamarkan keberadaannya dari pengamatanku, sehingga sumber suaranya yang sepertinya tidak terlalu jauh tidak dapat aku ketahui?”. katanya lagi dalam hati dengan perasaan heran.
“Ada apa, Guru?”. bertanya Rambat yang melihat kejanggalan pada gurunya.
Orang yang ditanya menoleh ke arah muridnya, lalu katanya, “kita harus lebih berhati-hati, kita sedang berhadapan dengan orang yang berilmu sangat tinggi”.
“Baik Guru”.
“He.. Ki Sanak, apakah kau hanya akan terus bersembunyi di tempatmu?”.
“Kenapa sekarang sikapmu tiba-tiba berubah, Ki Sanak? apa yang telah terjadi denganmu?”.
“Setan Alas… sejak tadi kau hanya bicara berputar-putar saja, Ki Sanak. Jika kau tidak segera keluar, maka aku akan memaksamu keluar dengan caraku”.
“Hahaha… apakah kau yakin, kau dapat memaksaku keluar dari persembunyianku?”.
Halaman 41 - 42
Jawaban itu terasa sangat menyakitkan bagi orang yang selama ini sulit dicari bandingnya dalam kawruh kanuragan, sekaligus jawaban itu membuatnya benar-benar tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
“Setan Alas… Genderuwo… Tetekan”.
Terdengarlah kembali umpatan dan sumpah serapah yang sangat kotor dari mulut orang yang sudah lebih dari paruh baya di hadapan murid-muridnya tersebut.
Selesai mengumpat, tanpa menunggu lagi kemudian orang itu segera memusatkan nalar budinya guna mengetrapkan salah satu ilmu simpanannya untuk menyerang orang yang masih bersembunyi dari hadapannya. Meskipun sebenarnya dirinya masih ragu akan sasaran yang bakal dituju.
Namun demi harga diri di hadapan keempat muridnya, sang guru mencoba menyerang salah satu pohon besar yang tumbuh beberapa puluh tombak dari hadapannya, yang menurut perhitungannya adalah tempat yang dijadikan tempat persembunyian.
Sejenak kemudian, muncullah seleret sinar yang berwarna merah gelap keluar dari telapak kanan sang guru dengan kecepatan seperti tatit di angkasa yang menukik tajam dan tanpa ampun.
Tak pelak, pohon besar yang menjadi sasarannya tiba-tiba meledak keras sekali seperti tersambar petir yang sangat garang, lalu batang pohon bagian atasnya pun roboh.
Kelima orang penculik Sekar Wangi pun menunggu dengan penuh ketegangan apa yang bakal terjadi selanjutnya, terutama orang yang melancarkan serangan.
Namun apa yang terjadi kemudian semakin mengejutkannya.
“Luar biasa”. berkata orang yang masih belum mau menampakkan diri dari tempat persembunyiannya tersebut.
Kata-kata itu memang seperti kidung pangalembana, namun bagi sang guru itu adalah sebuah hinaan yang luar biasa, sebab dirinya gagal menyerang sasarannya dengan tepat. Sehingga orang yang tadi dijadikan sasarannya masih dapat selamat dan bahkan tidak terluka sedikitpun pada tubuhnya.
Meski kelima orang itu belum ada yang dapat melihat keadaan orang yang diserang, namun hal itu dapat disimpulkan berdasarkan suara orang yang bersembunyi nada bicaranya tidak berubah, dan tidak terdengar sedang menahan rasa sakit sedikitpun.
“Setan Alas… kau jangan hanya bersembunyi, Ki Sanak. Jika kau memang jantan, hadapi aku! tetapi jika kau memang tidak memiliki keperluan dengan kami, maka kami akan segera pergi”.
“Aku masih belum keluar dari tempat persembunyianku bukan maksudku untuk tidak bersikap jantan, tetapi aku ingin memastikan lebih dulu bahwa aku tidak salah orang”. sahut orang itu dari balik kegelapan malam.
“Memangnya siapa yang kau cari?”.
“Aku sedang mendapat tugas untuk mencari dan menangkap orang-orang pengecut yang sedang menculik seorang gadis kecil yang tidak tahu apa-apa dan kemudian membawanya kembali kepada keluarganya”.
“Lalu apa katamu? setelah bertemu dengan kami?”.
“Ternyata aku tidak salah orang”.
“Lalu kenapa kau masih bersembunyi dan tidak segera menangkap kami? apakah kau sengaja mengulur waktu untuk menunggu bantuan datang?”. sahut sang guru, sebab sedari tadi dirinya hanya mendengar suara seseorang dan tidak lebih.
Jika benar yang mendatanginya hanya seseorang, maka secara naluriah dalam penalarannya mulai berhitung, apa yang sebaiknya bakal dilakukannya.
Halaman 43 - 44
Meski seandainya dirinya kalah dalam kemampuan pribadi, tetapi dirinya merasa menang secara jumlah. Sehingga hatinya yang tadi sempat menciut, kini mulai mengembang kembali.
“Bukankah aku sejak tadi tidak bersembunyi?”.
“Jika tidak bersembunyi, lalu apa namanya jika kau masih belum berada di hadapanku?”.
“Aku tidak bersembunyi, bukankah sejak tadi kau dapat mendengar suaraku? tapi mungkin hanya kau belum dapat melihat keberadaanku”.
“Iblis Laknat… sejak tadi kata-katamu sangat menyakitkan hati, tetapi hal itu membuatku semakin ingin tahu apakah kau hanya seorang pembual ulung atau memang berilmu sangat tinggi atau juga seorang pengecut yang sedang menunggu bantuan kawan-kawanmu”. sahut sang guru yang semakin marah.
“Apakah aku terlihat seperti seorang pengecut?”.
“Sudahlah Ki Sanak, jika kau memang tidak mau menampakkan diri karena ketakutan, anggap saja kita tidak pernah ada urusan. Aku akan pergi sekarang”.
“Sekarang aku atau kau dan murid-muridmu yang ketakutan?”.
“Terserah apa katamu, aku tidak peduli”.
Kemudian orang yang dipanggil guru tersebut memberikan isyarat kepada murid-muridnya untuk segera meninggalkan tempat itu sembari membawa Sekar Wangi.
“Kenapa tiba-tiba menjadi tergesa-gesa, Ki Sanak? apakah kini kau menjadi seorang pengecut yang ketakutan?”.
Namun tidak ada jawaban dari kelima orang penculik itu dan sepertinya tidak mau menanggapi lagi orang misterius yang masih bersembunyi entah dimana.
Mereka segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan yang telah tertunda beberapa lama tanpa mau menggubris lagi orang yang belum dikenal.
“Seperti itukah sikap orang yang berilmu sangat tinggi yang mampu membuat ontran-ontran di Tanah Perdikan Menoreh dan berhasil menculik seorang gadis kecilnya?”. berkata orang yang masih berada di balik kegelapan.
Dirinya memang sengaja menggores harga diri orang yang dipanggil guru itu di hadapan murid-muridnya, dengan tujuan agar mereka mengurungkan niat untuk memulai kembali perjalanannya.
Namun ternyata dugaannya kali ini salah, sebab orang itu bersama keempat muridnya benar-benar tidak menggubrisnya lagi meski telah diusik hati dan harga dirinya. Dan kini orang yang masih bersembunyi itulah yang balik menjadi kebingungan.
“Terserah saja apa katamu, Ki Sanak. Kami sudah tidak peduli lagi apapun yang akan kau katakan”. sahut orang yang dipanggil guru itu sembari melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu bersama murid-muridnya.
“Ternyata kalian hanyalah sekumpulan orang-orang pengecut”.
Meski mendengar kata-kata tersebut, namun kelima orang itu tidak bergeming dan terus saja melangkahkan kakinya di jalan yang rumpil dan gelap.
Namun sesuatu yang tidak pernah mereka duga benar-benar telah mengejutkan kelima orang tersebut, terutama bagi orang yang dipanggil dengan sebutan guru yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Karena sedari tadi dirinya masih mengetrapkan ilmunya guna melacak keberadaan orang yang tak dikenalnya, namun tetap saja tidak dapat menemukan tanda-tanda keberadaannya.
Halaman 45 - 46
Tetapi tiba-tiba saja seseorang telah muncul dari balik sebuah pohon besar yang tumbuh beberapa tombak dari hadapan mereka tanpa pertanda apapun.
Karena hal itu, membuat kelima orang itu mundur selangkah surut ke belakang sembari meningkatkan kewaspadaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dari balik pohon itu muncul seseorang yang sudah terlihat sangat sepuh dan terlihat kurus dengan pakaian compang-camping, sembari memakai caping sebagai penutup kepala.
“Ternyata kau cukup punya nyali juga untuk menampakkan diri di hadapan kami berlima, Ki Sanak? tadinya aku kira kau hanya seorang pengecut yang hanya pandai bermain petak umpet layaknya anak-anak”.
“Apa yang perlu aku takutkan dari kalian berlima?”.
“Setan Alas… ternyata kau adalah orang tua yang paling sombong yang pernah kukenal”.
“Apakah aku terlihat sombong?”.
“Ya… dengan kau sudah berani mengusik kami berlima itu adalah sebuah sikap yang sangat sombong, apalagi kau sudah berani menghadang kami, kesombonganmu kini menjadi berlipat”.
“Tetapi aku tidak merasa demikian”.
“Aku dapat memakluminya, kau dapat berbuat demikian karena kau belum mengenal siapa aku? jika kau sudah mengenalku, tentu kau akan berubah sikap”.
“Maaf Ki Sanak aku hanya orang tua padesan yang tidak pernah mengenal dunia luar, sehingga pengalaman dan pengetahuanku akan orang-orang yang berada di tanah ini begitu sempit”.
“Pantas saja kau berani menyombongkan diri di hadapanku, di hadapan Kyai Samber Geni”.
“Kyai Samber Geni?”. desis orang sepuh itu mengulangi dengan kerut di dahi.
“Ya… aku adalah Kyai Samber Geni, sebaiknya kau segera pergi dari hadapanku sebelum menyesal. Dan mumpung aku masih mau berbaik hati kepadamu, aku akan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita”.
“Terima kasih atas kebaikan Ki Sanak, tetapi bagaimana jika aku menolak untuk pergi?”.
“Sebenarnya aku menjadi merasa iba setelah melihat keadaanmu, tetapi jika kau keras kepala jangan salahkan aku jika kau bakal mengalami nasib buruk”. berkata Kyai Samber Geni yang mulai merasa ada kejanggalan pada orang yang berdiri di hadapannya, namun dia sendiri masih ragu.
“Bukankah nasib baik dan buruk seseorang itu sudah menjadi garis hidup dari Yang Maha Welas Asih?”.
“Sedari tadi kau sudah terlalu banyak bicara, sebut siapa namamu sebelum nyawamu yang hanya selembar melayang, dan kau mati dalam keadaan tanpa nama”.
“Jangan garang begitu, Ki Sanak”.
“Cepat katakan atau kau akan mati tanpa nama, aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu”.
“Orang-orang biasa memanggilku Ki Pringsewu”.
Kemudian Kyai Samber Geni melangkah maju untuk lebih mendekat sembari bersiap untuk memulai serangannya yang pertama kepada orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu.
Ki Pringsewu pun segera meningkatkan kewaspadaannya ketika menyadari bahwa Kyai Samber Geni mulai berjalan mendekatinya, lalu berhenti di beberapa langkah dari hadapannya.
Halaman 47 - 48
Namun apa yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkan semua orang, sebab tanpa peringatan sama sekali, Kyai Samber Geni menyerang Ki Pringsewu dengan senjata rahasia yang sebesar biji kopi dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Beruntunglah bahwa Ki Pringsewu sudah waspada sejak awal, sehingga mampu menghindari serangan tersebut dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan.
“Luar biasa”. desis Ki Pringsewu setelah berhasil menghindari serangan tersebut.
“Ternyata kemampuanmu tidak dapat aku anggap remeh, orang tua. Sebab jika tidak memiliki bekal yang cukup, kau tentu tidak akan berhasil menghindari seranganku”.
“Ah… kau terlalu memuji, Ki Sanak. Hanya kebetulan saja aku dapat menghindari seranganmu itu”. sahut Ki Pringsewu.
“Kenapa kau masih berusaha menghindari seranganku, Ki Sanak? bukankah seranganku itu tidak akan berhasil menyakitimu?”.
“Apa maksudmu, Kyai Samber Geni? aku tidak mengerti. Aku bukanlah orang yang memiliki ilmu kebal, jadi mana mungkin seranganmu tidak akan menyakitiku?”.
“Setan Alas… kau masih berpura-pura saja di hadapanku, Ki Sanak? apa kau kira aku ini adalah anak-anak yang baru ngangsu kawruh kanuragan? sehingga dapat dengan mudah kau bodohi begitu saja?”.
“Aku semakin tidak mengerti dengan maksudmu?”. sahut Ki Pringsewu dengan raut wajah semakin berkerut.
Sementara keempat murid Kyai Samber Geni yang masih belum mengerti pun mulai kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh guru mereka, namun mereka hanya dapat menyaksikan apa yang bakal terjadi selanjutnya.
“Kau dapat berkata demikian jika sedang berhadapan dengan anak-anak, tetapi tidak jika kau sedang berhadapan dengan Kyai Samber Geni”.
“Memangnya apa yang telah aku lakukan?”.
“Aku tidak mau bermain-main dengan wujud semu, jika kau memang jantan, hadapilah aku dengan wujud aslimu. Aku tahu jika wujud aslimu tentu tidak jauh dari tempat ini”.
Setelah mendengar hal itu, keempat murid Kyai Samber Geni segera mengetrapkan kemampuannya guna membuktikan apa yang telah dikatakan gurunya.
Namun sepertinya mereka masih belum mampu membedakan antara wujud asli dengan wujud semu seperti yang telah dikatakan gurunya. Sebab bagi mereka, seperti layaknya wujud asli.
“Apakah aku terlihat seperti wujud semu, Kyai Samber Geni? mungkin penglihatanmu saja yang kurang awas di malam hari”.
“Aku bukanlah anak-anak yang baru ngangsu kawruh kanuragan, jadi tidak dapat dengan mudahnya kau bohongi, meskipun kau akan menyangkalnya seribu kali, tapi aku dapat pastikan bahwa kau sedang bermain-main dengan ilmu semu”.
“Baiklah Kyai Samber Geni, aku tidak dapat ingkar lagi”.
“Meski harus aku akui bahwa ilmu semumu itu memang sudah mendekati sempurna, sebab sudah sangat sulit sekali untuk dibedakan dengan wujud aslinya”.
“Ah… kau terlalu memuji, Ki Sanak. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, kecuali hanya Yang Maha Agung sang pemilik Maha Sempurna”.
“Tetapi percuma saja kau memiliki ilmu semu yang hampir sempurna, sebab kau tidak akan dapat membuat akibat secara kewadagan. Jadi percuma saja jika aku melayanimu, karena hanya akan membuang-buang waktuku dan sebaiknya aku pergi saja daripada aku terlihat semakin dungu di hadapanmu”.
Halaman 49 - 50
Selesai berkata demikian, lalu Kyai Samber Geni segera memberikan isyarat kepada murid-muridnya untuk segera melanjutkan perjalanan kembali.
“Apakah kau yakin jika wujud semu tidak akan dapat membuat akibat secara kewadagan?”.
“Tentu saja… aku bukan anak kemarin sore dalam dunia kanuragan, Ki Pringsewu. Meskipun aku tidak menguasainya, tetapi aku tahu kawuh kanuragan yang ada di sekitarku”.
Selesai berkata demikian, Kyai Samber Geni segera melangkahkan kakinya untuk pergi, yang kini sedang dihadang oleh Ki Pringsewu.
Ketika Kyai Samber Geni hanya tinggal dua langkah dari orang yang menghadangnya, tiba-tiba dia mendapatkan serangan ke arah dada, namun diabaikan begitu saja.
Sebab dalam penalarannya, wujud semu itu hanya mengaburkan pandangan matanya, tetapi tidak akan pernah mampu untuk menyakitinya, meski hanya sekedar ujung kulitnya saja.
Namun apa yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkan kelima orang penculik Sekar Wangi, sebab yang terjadi kemudian adalah Kyai Samber Geni tiba-tiba terpental beberapa langkah surut dan menabrak dua orang muridnya.
Ki Pringsewu yang menyadari bahwa lawannya belum menyadari kemampuannya, maka dirinya tidak menyerang dengan tataran yang tinggi, hanya sekedar sebuah serangan kejutan.
Sontak saja serangan tersebut membuat Kyai Samber Geni mengumpat dengan umpatan yang sangat kotor dan segala sumpah serapah keluar dari mulutnya.
“Setan Alas… Iblis Laknat… Genderuwo… Tetekan…”.
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi seorang pemarah, Kyai?”.
“Setan Alas… kau benar-benar telah menguji kesabaranku, sedari tadi padahal aku sudah berusaha meredam kemarahanku. Tetapi kini aku benar-benar tidak dapat tinggal diam”.
“Bukankah tadi sudah kau katakan bahwa wujud semuku tidak akan mampu menyakitimu? lalu kenapa sekarang kau menjadi berubah sikap?”.
“Setan Alas… kau benar-benar telah mempermainkanku, Ki Pringsewu”. sahut Kyai Samber Geni sembari bangkit berdiri dan memperbaiki keadaannya setelah terpental.
“Aku tidak merasa berbuat demikian”.
“Sudah… kau tidak usah banyak bicara lagi, bersiaplah. Kita akan bertarung, aku sudah kehilangan banyak waktu hanya untuk melayani pokalmu yang sangat menjengkelkan”.
“Marilah”.
Kemudian keduanya pun segera bersiap untuk memulai sebuah pertarungan, sementara keempat orang yang lain sengaja agak menyingkir untuk memberikan arena bagi keduanya.
Kyai Samber Geni yang sudah dikuasai oleh kemarahan mengambil kesempatan untuk menyerang lebih dulu lawannya yang terlihat sudah sangat sepuh.
Bahkan dirinya memulai serangan dengan tataran yang cukup tinggi, dan tidak melalui pertarungan penjajagan. Karena memang dirinya ingin mengakhiri pertarungan dengan cara sesegera mungkin agar tidak semakin kehilangan waktu.
Serangan pertama dengan kecepatan yang sangat tinggi itu siap menerjang dada tanpa ampun, namun ternyata serangan itu hanya menemui tempat kosong, karena lawan Kyai Samber Geni masih berhasil menghindar ke samping.
Halaman 51 - 52
Sebagai orang yang berilmu sangat tinggi dan berpengalaman sangat luas, hal itu sudah diduga oleh Kyai Samber Geni, sehingga ketika menyadari serangannya luput, dirinya segera berputar dengan sangat cepat untuk mengirimkan serangan susulan.
Kali ini tangan kanannya mencoba menyerang tengkuk, namun Ki Pringsewu yang menyadari serangan tersebut segera merendah sembari memutar menyapu kaki lawan.
Kyai Samber Geni segera melompat menghindar sembari menyerang lawannya dengan kaki kirinya bagian dalam, namun serangan itu masih belum menemui sasaran, sebab lawannya melompat surut.
Kemudian pertarungan berlangsung semakin sengit dan semakin meningkat ke tataran yang semakin tinggi, karena Kyai Samber Geni dengan begitu cepatnya meningkatkan kemampuannya.
Meskipun sebelumnya mereka tidak pernah berjanji untuk berperang tanding, tetapi pertarungan itu terlihat layaknya sebuah perang tanding antara dua orang yang sedang mengadu nyawa.
Kini pertarungan berlangsung semakin lama semakin memanas dan sengit, apalagi keduanya meningkatkan kemampuannya dengan cepatnya.
Terutama bagi Kyai Samber Geni ketika tidak dapat dengan segera menembus pertahanan lawannya, maka dirinya segera meningkatkan tataran kemampuannya selapis lebih tinggi tanpa banyak pertimbangan.
Namun setelah pertarungan itu sudah pada tataran yang sangat tinggi, justru membuat Kyai Samber Geni semakin heran. Sebab pada tataran tersebut dirinya masih saja kesulitan untuk menembus pertahanan lawannya yang terlihat sudah sangat sepuh.
Meski lawannya pun belum berhasil pula untuk menembus pertahanannya yang masih rapat. Karena pada keadaan terdesak, masing-masing masih dapat menutup pertahanan dengan cara saling membenturkan ilmunya.
Namun karena sejak awal Kyai Samber Geni sudah dikuasai oleh kemarahan yang memuncak, maka dirinya sangat bernafsu sekali untuk dapat sesegera mungkin mengalahkan lawannya.
Dan semakin lama dirinya bertarung, Kyai Samber Geni semakin merasa heran dengan lawannya. Karena baginya, lawannya itu tidak lebih dari sekedar bayangan semu. Namun olah kridane ing payudan hampir tidak ubahnya wujud asli seseorang.
“Gila… benar-benar gila, baru kali ini aku bertarung dengan sebuah bayangan semu tapi tidak ubahnya seperti aku sedang bertarung dengan wujud asli orangnya”. berkata Kyai Samber Geni dalam hatinya.
“Dan sejak tadi aku sulit sekali melacak keberadaan wujud aslinya ketika terjadi benturan, orang tua ini benar-benar pandai menyembunyikan wujud aslinya”.
“Tentu wujud aslinya sedang bersembunyi di tempat yang aman, dan tidak jauh dari tempat ini”. katanya lagi dalam hati.
Bahkan dalam pertarungannya yang sudah berlangsung sejak beberapa saat yang lalu, dirinya tidak pernah menemui serangannya mengenai tempat kosong, layaknya menyerang bayangan semu.
Hampir setiap serangannya seperti menemui batu karang yang kokoh dan tak tergoyahkan, meski sudah memasuki pertarungan yang semakin sengit pada tataran yang sangat tinggi. Hingga kecepatan gerak mereka hanya tampak seperti bayang-bayang.
Dalam pertarungan yang sangat sengit dan mendebarkan tersebut, raut wajah bayangan semu orang tua itu masih saja tampak tetap tenang meski sedang bertarung dengan orang yang berilmu sangat tinggi.
Halaman 53 - 54
Tidak tampak sama sekali raut wajah kegelisahan apalagi ketakutan ketika mendapat serangan beruntun dan membadai dari lawannya yang terlihat jauh lebih muda.
Bahkan tenaga orang tua itu tidak pernah terlihat susut meski sudah bertarung beberapa lama dalam tataran puncak, tetapi justru lawannya lah yang kini harus berpikir ulang.
“Gila… benar-benar gila, tandang orang tua ini benar-benar tidak dapat dianggap remeh. Aku harus menggunakan cara lain agar dapat segera mengalahkannya”. membatin Kyai Samber Geni.
Setelah beberapa saat bertarung dan mendapat kesempatan untuk mengambil jarak, maka Kyai Samber Geni segera melompat beberapa langkah surut dari lawannya, dan lawannya yang tanggap sengaja memberikan kesempatan.
“Bersiaplah Ki Sanak, aku akan merambah pada salah satu ilmu simpananku”.
“Baiklah”. sahut Ki Pringsewu singkat.
Sejenak kemudian Kyai Samber Geni segera memusatkan nalar budinya, kedua tanganya diletakkan di samping kanan kiri telinga, dengan hanya dua jarinya yang terbuka.
Pandangan matanya tidak pernah dilepaskan pada lawan yang sedang berdiri beberapa langkah di hadapannya, sembari kedua kakinya mulai merendah.
Lalu kedua tangan itu disatukan secara perlahan ke depan dada dengan hanya tangan kanannya yang masih dengan kedua jarinya terbuka dan tangan kirinya memegangi pergelangan tangan satunya.
Tidak lama kemudian muncullah sebuah pameran ilmu tingkat tinggi yang sangat mendebarkan bagi siapa saja mendapat kesempatan untuk melihatnya.
Termasuk keempat muridnya yang menyaksikan itu dengan jantung berdebar-debar semakin kencang sembari sesekali dengan nafas tertahan.
Di depan kedua jari itu muncullah sebuah bola api yang menyala sebesar buah kelapa yang berwarna merah membara yang mampu menerangi keadaan sekitarnya.
“Luar biasa”. desis orang tua yang sudah sangat sepuh itu melihat pameran ilmu yang sedang dilakukan oleh lawannya tersebut.
Namun lawannya tidak peduli dengan apa yang dia lakukan, dan tanpa menunggu lagi dirinya segera menyerang lawannya dengan salah satu ilmu simpanannya.
Ki Pringsewu yang kagum tampak tercenung sejenak melihat hal itu, entah apa yang sedang ada di dalam isi kepalanya karena tidak segera berbuat sesuatu untuk menghadapi serangan lawannya.
“Tubuh orang tua itu tentu akan lumat”. membatin Rambat melihat hal itu sembari dengan nafas tertahan.
Sementara kawan-kawannya pun berpikiran hampir serupa, karena mereka sangat mengenal kemampuan gurunya yang sangat tinggi dan ngedap-edapi.
Apalagi mereka jarang sekali melihat gurunya mengetrapkan ilmunya tersebut ketika menghadapi lawan-lawannya selama ini, sebab selama ini sebelum gurunya bertarung pada tataran tersebut lawan-lawannya sudah dapat dikalahkannya.
Api yang sebesar buah kelapa itu segera meluncur ke arah orang bercaping yang sudah sangat sepuh itu dengan kecepatan layaknya kilat di angkasa.
Dan apa yang terjadi kemudian benar-benar mengejutkan semua orang, terutama keempat murid Kyai Samber Geni yang hanya dapat tertegun tanpa kata.
Halaman 55 - 56
Sebab keempat orang itu tidak akan pernah menduga atas apa yang sedang mereka saksikan bersama di bawah kegelapan malam pinggir hutan Tanah Perdikan Menoreh.
Karena yang terjadi adalah serangan ilmu yang nggegirisi itu seakan hanya mengenai angin kosong ketika mengenai sasarannya, dan justru kemudian terus meluncur hingga mengenai sebuah pohon yang tumbuh di belakang Ki Pringsewu.
Api yang mengenai pohon itu tidak langsung meledak dan berhamburan ke segala penjuru, tetapi bola api tersebut masih tetap saja utuh dalam bentuknya.
Namun api yang terlihat seakan hanya menyentuh pohon itu, seketika membuat pohon itu menjadi gosong. Meski pohon itu tidak roboh, tetapi seketika terlihat menjadi mati gosong dari batang hingga daunya yang tadi terlihat rimbun langsung jatuh berguguran tanpa ampun.
“Setan Alas… Genderuwo… Tetekan…”. seketika terdengar sumpah serapah yang sangat kotor keluar dari mulut Kyai Samber Geni ketika menyadari bahwa serangannya hanya mengenai tempat kosong, ketika mengenai lawannya.
Tetapi Ajian Samber Geni miliknya adalah sebuah ilmu yang dapat dikendalikan sesuai dengan kemauan pemiliknya, sehingga ketika tidak mengenai sasaran, api itu segera diarahkan kembali kepada lawannya yang tampak masih saja berdiri di tempatnya.
Namun kembali terdengar sumpah serapah yang sangat kotor ketika bola api itu tidak mampu menyakiti orang tua bercamping yang sedang berdiri di hadapannya.
“Setan Alas… he orang tua, jika kau jantan, kau jangan hanya bersembunyi dengan bayangan semumu. Marilah lawan aku, apakah kau takut membenturkan ilmumu?”.
“Maaf Ki Sanak, ilmumu benar-benar nggegirisi”.
“Kau jangan merajuk, Orang Tua! lalu apa maksudmu menantang aku bertarung jika kau takut membenturkan ilmumu? apa kau hanya pandai bermain bayangan semu? tetapi kemampuan kanuraganmu layaknya kemampuan anak-anak?”.
“Maafkan aku jika tidak sesuai harapanmu, Kyai Samber Geni. Aku memang hanya dapat bermain-main dengan bayangan semu yang sangat menjemukan ini”.
“Iblis Tua, apa maksudmu?”.
“Apakah sebuah keharusan membenturkan ilmu bagi kita? apakah tidak ada cara penyelesaian yang lebih baik?”.
“He.. Setan Tua, apa maksudmu dengan semua ini? tiba-tiba kau datang menghadang langkahku, menantang bertarung, lalu kini kau tiba-tiba mengatakan tidak mau berbenturan ilmu. Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan itu?”. sahut Kyai Samber Geni yang benar-benar marah dengan sikap yang ditunjukkan lawannya tersebut.
“Kita selesaikan masalah ini dengan cara lain, dan kita tidak perlu saling membenturkan ilmu masing-masing”.
“Apa maksudmu?”. sahut Kyai Samber Geni dengan mata mendelik penuh selidik, dan gigi gemeretakan karena berusaha menahan kemarahannya.
“Kita cari sasaran lain, bukankah itu ada batu?”. berkata Ki Pringsewu sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Kau benar-benar menghinaku dengan permainan anak-anak yang kau usulkan”.
“Aku tidak bermaksud demikian”.
“Baiklah… aku sependapat dengan gagasanmu, tetapi dengan syarat”. sahut Kyai Samber Geni.
“Syarat? syarat apakah itu?”.
Halaman 57 - 58
“Jika aku yang menang, maka kau harus mau menjadi tawananku dengan wujud aslimu”.
“Tetapi jika kau yang kalah?”.
“Aku akan mengembalikan gadis kecil ini ke rumahnya”.
“Licik…”.
“Apa maksudmu?”.
“Seharusnya kau membuat pertaruhan yang lebih adil”.
“Apakah kau yakin dapat mengalahkanku?”.
“Bukankah segala kemungkinan masih dapat terjadi, sebab kita sama-sama belum tahu kemampuan kita masing-masing”.
“Sombong sekali kau, Ki Pringsewu. Sepertinya kau terlalu yakin dengan kemampuanmu yang akan dapat mengalahkanku. Tetapi baiklah, dan jangan salahkan aku jika nanti kau akan menyesali kesombonganmu sendiri”.
“Kita akan sama-sama melihat, Ki Sanak. Tetapi sebelum kita melakukannya, biar lebih adil maka aku ingin meminta kau dan murid-muridmu, selain kalian harus mengembalikan gadis kecil itu, kalian juga harus menyerahkan diri kepada pengawal untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian ini”.
Pada awalnya Kyai Samber Geni sempat merasa ragu, namun kepercayaan dirinya akan kemampuan yang dimiliki membuatnya mengiyakan permintaan tersebut. Sebab dalam hatinya memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak akan mungkin melakukan semua itu karena dia akan mengalahkan lawannya.
Meski cara yang digunakan kali ini sangat terasa aneh baginya, sebab baru kali ini dia melakukannya. Tetapi sebagai orang yang berilmu sangat tinggi dan berpengalaman luas, membuatnya dapat menyesuaikan diri.
Kemudian mereka pun segera mendekati beberapa batu yang dianggap sesuai untuk dijadikan sasaran ilmu masing-masing yang tampak berserakan di sekitar tempat itu.
“Kita pilih batu yang ukurannya hampir sama, agar nantinya kita dapat membuat penilaian yang lebih adil. Siapa yang akan melakukannya lebih dulu?”. bertanya Ki Pringsewu.
“Aku dulu, agar kau tidak perlu bersusah payah mengetrapkan ilmu puncakmu setelah melihat kemampuanku”. sahut Kyai Samber Geni yang sudah berada beberapa tombak di hadapan batu yang akan mereka jadikan sasaran.
“Baiklah, silahkan”. sahut Ki Pringsewu memberikan kesempatan kepada lawannya yang terlihat sangat percaya diri terlebih dahulu untuk menunjukkan kemampuannya.
Sejenak kemudian Kyai Samber Geni pun segera mempersiapkan diri untuk menunjukkan kemampuan puncaknya di hadapan lawan dan murid-muridnya.
Dan dirinya tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri di hadapan orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu, maka dia pun ingin menunjukkan kemampuannya dengan sungguh-sungguh. Kemampuan yang jarang sekali dikeluarkankan jika tidak dalam keadaan yang terpaksa.
Sementara keempat muridnya yang menyaksikan itu juga bersikap hampir sama dengan gurunya, bahwa tentu gurunya akan mampu mengalahkan orang tua tersebut.
“Sepertinya orang tua itu belum pernah tahu kemampuan Guru, sehingga berani membuat perbandingan ilmu dengan pertaruhan yang demikian berat”. desis Rambat tanpa sadarnya.
“Kakang benar, orang tua itu pasti nanti akan menyesal”. sahut Lanjar yang berdiri di sebelahnya sembari pandangan mata merak tidak pernah lepas kepada gurunya.
Halaman 59 - 60
Kyai Samber Geni pun segera memusatkan nalar budinya guna mengetrakan ilmu puncaknya yang sangat tinggi dan nggegirisi di bawah kegelapan malam yang telah melewati wayah madya ratri.
Pada pinggiran sebuah hutan kecil di tlatah Tanah Perdikan Menoreh itu kini sedang dicengkam oleh ketegangan yang sangat, dengan alasannya masing-masing.
Dan justru yang lebih dicengkam ketegangan tersebut adalah keempat murid Kyai Samber Geni yang sekedar menjadi saksi atas apa yang terjadi.
Meski mereka masih memiliki keyakinan atas kemampuan guru mereka sendiri, namun entah kenapa mereka masih saja dicengkam ketegangan tersebut dalam melihat hasil akhir.
Sementara Kyai Samber Geni yang tidak ingin dirinya bakal dipermalukan oleh lawannya, dia memusatkan nalar budinya hingga ke puncak kemampuannya.
Sembari menatap tajam dan hampir tak berkedip pada sebuah batu yang akan dijadikan sasarannya, yang kurang lebih setinggi kambing berdiri di dekat tebing.
Setelah selesai memusatkan nalar budinya, tanpa menunggu lagi Kyai Samber Geni segera menyerang batu itu dengan ilmu puncaknya yang diberi nama Aji Samber Geni, seperti nama gelar yang digunakannya.
Terlihat sebuah ilmu puncak yang berada pada tataran sangat tinggi telah muncul atas kedua jari kanannya, tetapi kali ini tampak berbeda bentuk dengan ilmu yang ditrapkannya beberapa saat tadi untuk menyerang lawannya.
Sebab kali ini bola api itu tampak lebih kecil dan ukurannya pun tidak lebih dari sebuah kepalan orang dewasa. Selain itu warnanya pun tidak terlihat merah membara, namun berwarna putih dan dikelilingi warna merah.
Pancaran ilmu puncak dari Aji Samber Geni itu segera meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi dan membelah udara malam yang terasa sudah semakin dingin dan berkabut tipis.
Tiba-tiba udara di sekitar tempat itu seakan diguncang dengan dahsyatnya ketika pancaran ilmu puncak itu telah mengenai sebuah batu yang menjadi sasarannya.
Bahkan tebing yang berada di belakang batu itu sempat bergetar hebat dan menggugurkan bebatuan, ranting-ranting kering dan apa saja yang berada di tempat itu, kecuali pohon yang besar dan kokoh yang masih mampu bertahan.
Sementara Aji Samber Geni itu seakan merasuk ke dalam batu, lalu menghilang tak berbekas. Namun sejenak kemudian batu itu sekilas menjadi berubah warna seperti batu yang terbakar dengan api membara.
Namun hal itu hanya berlangsung sesaat, karena sejenak kemudian batu itu warnanya kembali seperti semula dan tidak terjadi perubahan apapun lagi.
“Luar biasa”. desis Ki Pringsewu tanpa sadarnya, setelah melihat apa yang terjadi di hadapannya.
“Kau jangan hanya melihatnya dari kejauhan, Ki Pringsewu. Sebaiknya kau periksa dulu apa yang telah terjadi dengan batu itu”.
“Aku sudah melihatnya dari sini”.
“Rambat…! tunjukkan kepada orang tua ini apa yang sebenarnya telah terjadi dengan batu itu, sebelum dia memamerkan ilmunya di hadapan kita semua”. berkata Kyai Samber Geni dengan penuh kepercayaan diri.
“Baik Guru”.
Selesai berkata demikian, Rambat segera mendekati batu yang masih tampak utuh tersebut, lalu dengan telapak tangan kanannya dia menghantamnya pelan.
Halaman 61 - 62
Ternyata batu yang mendapat hantaman pelan itu kemudian berhamburan layaknya tumpukan pasir, dari ujung atas hingga ke bagian paling bawah.
“Kau lihat itu Ki Pringsewu?”.
“Ya… aku melihatnya, Kyai Samber Geni”.
“Jika sekiranya kemampuanmu itu tidak dapat mengalahkanku sebaiknya kau urungkan saja niatmu untuk menunjukkannya kepada kami, agar tidak membuang-buang waktu”.
“Kemampuanmu memang luar biasa, Kyai Samber Geni. Dan aku pun ragu apakah dapat mengalahkanmu, tetapi sebaiknya kita lihat bersama-sama”.
“Ternyata kau memang orang tua yang sangat keras kepala, Ki Pringsewu. Tetapi baiklah, agar kau tidak mati penasaran di sepanjang sisa umurmu”.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Pringsewu segera bersiap. Dirinya segera memusatkan nalar budinya guna mengetrapkan ilmu puncak andalannya.
Namun yang dilakukannya kali ini berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Kyai Samber Geni, sebab dirinya tidak melakukan gerakan apapun untuk mengetrapkan ilmu puncaknya, tetapi hanya memandangi batu yang terlihat lebih besar dari sebelumnya.
Ki Pringsewu pun tampak bersungguh-sungguh, dan menatap batu itu dengan tajamnya. Sejenak kemudian muncullah seleret sinar yang sangat menyilaukan dari kedua matanya, layaknya sinar matahari yang sedang menyinari tanah ini pada puncaknya.
Bersamaan dengan keluarnya sinar tersebut, udara di sekitar tempat itu benar-benar terguncang dengan dahsyatnya. Bahkan karena saking dahsyatnya guncangan itu hingga membuat keempat murid Kyai Samber Geni memegangi dadanya masing-masing.
Karena kekuatan itu tidak hanya sekedar mengguncang udara sekitar, tetapi karena saking dahsyatnya mampu menyakiti siapa saja yang sedang berada di sekitarnya. Dan seakan tubuh mereka tiba-tiba dihimpit dua batu besar.
Bahkan Kyai Samber Geni pun merasakan pula kekuatan yang tidak pernah diduga sebelumnya, namun akibatnya tidak separah seperti apa yang dirasakan para muridnya.
Meski dirinya tidak memiliki sejenis ilmu kebal, namun Kyai Samber Geni segera meningkatkan daya tahan tubuhnya hingga ke puncak untuk melindungi tubuhnya.
Seleret sinar itu meluncur dengan kecepatan sangat tinggi menuju batu yang dijadikan sasaran dengan tanpa ampun, yang kebetulan berukuran sedikit lebih besar dari batu sebelumnya.
Tiba-tiba batu itu meledak dengan hebatnya dan seketika sinar itu telah membuat batu tersebut menjadi butiran-butiran pasir yang menyebar ke segala arah.
Dan tidak hanya itu saja, tebing yang berada di belakangnya yang kebetulan searah dengan arah sinar itu pun ikut meledak dan meninggalkan lubang yang cukup besar.
Bersamaan dengan itu tebing tersebut seperti sedang diguncang oleh lindu prahara yang sangat mengerikan, hingga membuat tebing itu menggugurkan apa saja yang ada.
Benar-benar sebuah pemandangan yang sangat nggegirisi dan ngedap-edapi di malam yang masih dicengkam oleh kegelapan malam dan kabut tipis yang mulai turun sehingga menambah udara menjadi semakin dingin menusuk kulit bahkan hingga ke tulang.
Kyai Samber Geni beserta semua murid-muridnya hanya dapat terdiam membeku dengan isi kepala penuh tanda tanya melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka.
Halaman 63 - 64
Meski mereka melihat semua itu dengan hampir tak berkedip, namun pandangan mata mereka seperti kosong, bahkan tanpa sadarnya ada pula yang mulutnya menganga.
“Maaf Kyai Samber Geni, hanya itu yang dapat aku lakukan. Jika memang aku dianggap kalah, terserah kau saja”. berkata Ki Pringsewu sembari menatap orang-orang yang berdiri di sekitarnya dengan tatapan penuh selidik.
Mendengar pertanyaan tersebut, Kyai Samber Geni seakan dibangunkan dari lamunannya, sehingga tampak tergagap ketika akan menanggapi.
“Eh… em, harus aku akui”.
“Apa yang kau akui?”.
“Kemampuanmu jauh di atas kemampuanku, dan aku mengaku kalah”. sahut Kyai Samber Geni dengan wajah lesu sembari dengan suara bergetar.
“Syukurlah jika aku dianggap menang”.
“Apakah aku boleh bertanya sesuatu?”.
“Katakanlah”.
“Meski aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya, tetapi berdasarkan ciri-ciri yang pernah aku dengar tentangnya, apa yang telah kau tunjukkan itu mengingatkanku kepada seseorang. Seseorang yang berilmu sangat tinggi dan sulit dicari bandingnya, apa hubunganmu dengan murid tertua Orang Bercambuk?”.
“Meski kami tidak berguru pada waktu yang sama, namun aku dapat dikatakan sebagai kakak seperguruannya”.
“Pantas saja, kemampuanmu sangat tinggi”. sahut Kyai Samber Geni, yang kini sikapnya telah berubah luruh.
“Apakah perjanjian kita masih berlaku, Ki Sanak?”.
“Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan ingkar, aku akan menepati janjiku itu, Ki Pringsewu”.
“Syukurlah jika demikian. Tetapi perlu kau tahu, bahwa aku akan selalu mengawasi kalian dari kejauhan. Jadi kalian jangan coba-coba untuk mengelabui aku dengan tindakan yang diluar kesepakatan kita tadi”.
“Ya… aku mengerti”.
“Tetapi sebelum kalian berangkat, ada pertanyaan yang masih mengganjal di kepalaku”.
“Apa itu?”.
“Apa maksud dan tujuanmu menculik gadis kecil itu? apakah kau akan melakukan sesuatu hal yang buruk terhadapnya?”.
“Tidak… aku tidak bermaksud buruk sama sekali terhadap anak itu, tadinya aku hanya bermaksud untuk menculiknya, lalu di lain kesempatan aku ingin menukarnya dengan Kitab Windhujati milik ayahnya”. sahut Kyai Samber Geni yang merasa sudah tidak ada gunanya lagi untuk berbohong.
Seketika wajah Ki Pringsewu berubah, namun hanya berlangsung sesaat. Dan kebetulan gelapnya malam telah membantunya untuk menyamarkan kejadian tersebut, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya tidak begitu menyadarinya.
“Jadi tujuan utamamu yang sebenarnya adalah ingin menguasai Kitab Windhujati? tapi karena kau tidak berhasil menemukannya di rumah itu, maka kau pergunakan segala cara untuk menggapai tujuanmu itu?”.
“Demikianlah”.
“Kenapa kau ingin menguasai kitab itu? bukankah kau sendiri sudah memiliki bekal kanuragan? apa kelebihan Kitab Windhujati dalam pandanganmu?”.
Halaman 65 - 66
“Aku memang sudah memiliki bekal kanuragan sendiri yang aku dapatkan dari guru-guruku. Tetapi menurut pendapatku, kawruh kanuragan yang aku kuasai masih kalah jika dibandingkan dengan ilmu dari jalur Kitab Windhujati”.
“Sehingga membuatmu tergiur untuk menguasainya?”.
“Demikianlah”.
“Kenapa kau tidak datang dengan cara baik-baik?”.
“Mustahil… mana mungkin kitab itu akan diserahkan kepadaku, meski aku datang dengan cara baik-baik?”. sahut Kyai Samber Geni sembari menatap tajam lawan bicaranya.
“Maksudku bukan meminta kitab itu secara mentah-mentah, tetapi kau ikut ngangsu kawruh dari jalur Kitab Windhujati”.
“Aku sudah terlalu tua”.
“Ternyata harga dirimu sangat tinggi, Kyai Samber Geni”.
“Mungkin…”.
“Ya sudah, itu urusanmu dan bukan urusanku. Lalu apa yang kalian lakukan terhadap gadis kecil itu, hingga dia tidak sadarkan diri? apakah kalian telah menekan simpul-simpul syarafnya? hingga dia belum mampu sadarkan diri?”.
“Aku hanya menggunakan ramuan obat khusus yang dapat menghilangkan kesadaran melalui indra penciumannya, dan obat itu nantinya akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa lama. Jika dihitung sejak anak itu pingsan, maka paling lambat sebelum matahari terbit dia akan siuman”.
“Apakah ucapanmu itu dapat aku percaya?”.
“Terserah kepadamu untuk percaya atau tidak, Ki Pringsewu. Tetapi apa yang aku katakan ini adalah yang sebenarnya terjadi dan nanti dapat sama-sama kita buktikan”.
“Baiklah… sekarang aku hanya ingin melihat kau menepati janji yang telah kau ucapkan, untuk membawa gadis kecil itu kembali ke rumahnya, lalu kalian menyerahkan diri kepada para pengawal untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian semua. Dan aku akan mengawasi dari kejauhan”.
“Baiklah”. sahut Kyai Samber Geni lalu menoleh ke arah keempat muridnya. Lalu, “Marilah kita kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh”.
“Baik Guru”. sahut Rambat mewakili kawan-kawannya.
Kemudian mereka pun segera bersiap, dan tak lupa salah satu dari mereka harus membawa Sekar Wangi yang hingga kini masih belum sadarkan diri.
Sementara Ki Pringsewu masih tetap berdiri di tempatnya sembari menyaksikan orang-orang itu mulai berlalu satu persatu dari hadapannya dengan menyusuri jalan setapak yang rumpil.
Meskipun Ki Pringsewu melihat kesungguhan dari ucapan Kyai Samber Geni, namun sebagai orang yang berpengalaman luas di dalam dunia kanuragan, dirinya tidak dapat percaya begitu saja dan melepas mereka tanpa pengawasan.
Biar bagaimanapun keselamatan gadis kecil itu masih ditangan mereka yang dapat saja sewaktu-waktu mereka pergunakan sebagai alat untuk mengingkari janji.
Sehingga hal itu membuat Ki Pringsewu tidak dapat membiarkan begitu saja orang-orang itu tanpa pengawasan, sebab segala kemungkinan masih dapat saja terjadi sebelum apa yang mereka katakan dilaksanakan.
Dalam hati Ki Pringsewu, sebenarnya dirinya sangat ingin mengantarkan anak gadis itu sendiri kembali ke rumah orang tuanya. Namun karena dirinya tidak sedang dalam wujud aslinya, maka hal itu sangat sulit sekali untuk dilakukannya.
Halaman 67 - 68
Oleh sebab itu, mau tidak mau dirinya harus mempercayakan pekerjaan itu kepada Kyai Samber Geni beserta murid-muridnya, yang semula berniat menculiknya.
Sementara kelima penculik Sekar Wangi itu tidak ada pilihan lain selain kembali ke padukuhan induk, setelah Kyai Samber Geni dikalahkan oleh lawannya yang sudah sangat sepuh.
Namun kali ini wajah-wajah mereka nampak lesu dan seperti kehilangan semangat, karena mereka sudah mulai membayangkan yang bakal terjadi atas diri mereka setelah tiba di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah mereka berjalan cukup jauh dan merasa tidak terlihat lagi oleh Ki Pringsewu, salah satu dari mereka mencoba membuka pembicaraan guna mengusir kesunyian.
“Guru… apakah Guru yakin yang kita lakukan ini?”.
“Apa maksudmu?”.
“Apakah Guru yakin kita akan menyerahkan gadis kecil ini, lalu kita menyerahkan diri kepada para pengawal untuk diadili?”.
“Bukankah kita tidak memiliki pilihan?”.
“Ada Guru”.
“Apa maksudmu, Lanjar?”. sahut gurunya dengan wajah heran.
“Kita melarikan diri saja, Guru. Bukankah Ki Pringsewu sudah jauh dari sini? jadi kita ada kesempatan”.
“Kau dapat berkata demikian sebab belum tahu kemampuan bayangan semu sejauh mana”.
“Maksud Guru?”. sahut Lanjar yang kini berganti heran.
“Bagi orang yang menguasai ilmu bayangan semu pada tataran tinggi dapat bergerak dengan kecepatan yang luar biasa dan sulit untuk dilacak kedatangannya dan keberadaannya. Dan bisa saja bayangan semu itu tiba-tiba muncul di hadapan kita tanpa kita tahu kapan datangnya”.
Keempat murid Kyai Samber Geni menjadi terdiam mendengar keterangan tersebut, terutama Lanjar yang semula memiliki gagasan untuk melarikan diri dari lawan gurunya.
“Tetapi sejauh yang aku tahu, bukankah bayangan semu itu terkendala oleh jarak, Guru? semakin jauh dia dengan wujud aslinya maka akan semakin menyusut pula kekuatannya”.
“Ya… aku juga pernah mendengarnya, tetapi aku tidak tahu seberapa jauh jarak yang dimaksud. Sebab sejak tadi aku tidak dapat melacak sama sekali keberadaan wujud asli Ki Pringsewu”.
“Apakah maksud Guru bahwa wujud asli Ki Pringsewu berada di tempat yang jauh dari sini?”.
“Aku belum tahu pasti apakah memang demikian, atau memang karena kemampuan Ki Pringsewu yang sangat tinggilah yang mampu menyembunyikan wujud aslinya dari orang-orang yang berusaha melacak keberadaannya”.
“Maaf Guru, aku mau bertanya tapi tolong jangan marah”.
“Katakanlah”.
“Sekali lagi maaf, Guru. Apakah tataran guru yang sebenarnya masih kalah jauh dengan Ki Pringsewu? sehingga guru sama sekali tidak dapat melacak keberadaannya?”.
“Tidak terlalu jauh, tetapi cukup jauh”.
Sejenak mereka terdiam sembari kaki mereka terus melangkah menyusuri jalan naik turun yang rumpil, bahkan sesekali mereka harus menerobos semak belukar yang tumbuh liar dan menghalangi langkah mereka.
Halaman 69 - 70
“Jika aku tidak salah menilai, mungkin tataran kemampuan Ki Pringsewu itu kurang lebih sama dengan kemampuan murid tertua Orang Bercambuk”.
Murid-muridnya hanya terdiam dan tidak berniat menanggapi.
“Jika sejak awal aku tahu bahwa Ki Pringsewu adalah kakak seperguruan murid Orang Bercambuk, tentu aku akan bersikap lain dengan apa yang aku lakukan tadi”.
“Memangnya Guru akan bersikap bagaimana?”. sahut Rambat yang kali ini ikut menanggapi.
“Tentu saja aku tidak akan berani bersikap deksura kepadanya, sebab aku tahu bahwa aku tidak akan mungkin menang melawannya seorang melawan seorang”.
“Bagaimana jika kita mengeroyoknya, Guru?”.
“Jika dia dalam wujud aslinya, aku rasa kita masih memiliki kemungkinan. Tetapi jika dia tetap dalam bayangan semunya, aku rasa kemungkinan untuk memenangkan pertarungan dapat dibilang hampir mustahil”.
“Sejauh yang aku tahu, ilmu semu itu tidak dapat memberikan akibat kepada orang lain, tetapi tadi aku lihat ilmu bayangan semu Ki Pringsewu tidak demikian, Guru”.
“Kau benar, Rambat. Tetapi ilmu bayangan semu yang dimiliki oleh Ki Pringsewu dan Ki Agung Sedayu itu berbeda wataknya dengan ilmu semu kebanyakan”.
“Apa perbedaan yang paling mendasar dari ilmu-ilmu semu keduanya dengang ilmu semu yang lain, Guru?”. sahut Rambat yang merasa penasaran.
“Sejauh yang aku tahu adalah watak dari ilmu itu sendiri, ilmu semu keduanya dapat memberikan akibat kepada orang lain, dan sangat sulit dilacak keberadaan wujud aslinya pada saat terjadi benturan ilmu”.
“Menurut pendapat Guru, apa yang membuat ilmu semu Ki Pringsewu sangat sulit untuk dilacak keberadaan wujud aslinya?”.
“Ada dua kemungkinan, pertama. Tataran kemampuan Ki Pringsewu jauh diatasku, sehingga dia mampu menyamarkan keberadaan wujud aslinya dariku. Dan yang kedua, wujud aslinya berada di tempat yang jauh”.
“Seberapa jauh, Guru?”.
“Sejauh yang pernah aku dengar, dapat beberapa ratus tombak. Tetapi mungkin pula dapat berjarak sampai ribuan tombak, tetapi aku ragu akan hal itu. Tetapi…”. sahut Kyai Samber Geni yang tidak jadi melanjutkan ucapannya sembari mengingat-ingat.
“Tetapi apa, Guru?”.
“Aku pernah mendengar kabar, tetapi aku sendiripun hingga kini belum dapat mempercayainya. Sebab apa yang aku dengar itu seperti cerita ngayawara yang terlalu dilebih-lebihkan”.
“Kabar apa itu, Guru?”.
“Bayangan semu Ki Agung Sedayu dulu pernah membuat ontran-ontran di Mataram, sementara wujud aslinya katanya sedang berada di Muria”.
“He…”.
Semua murid Kyai Samber Geni benar-benar terkejut mendengar keterangan tersebut, jika saja bukan gurunya sendiri yang berkata, tentu mereka akan menyangkalnya mentah-mentah. Namun kali ini mereka tidak dapat membantahnya begitu saja.
“Apakah Guru percaya?”.
“Bukankah tadi sudah aku katakan, bahwa sampai sekarangpun aku masih tidak percaya. Mungkin pula kabar itu sengaja dihembuskan untuk menakut-nakuti orang yang berseberangan dengannya atau Mataram”.
Halaman 71 -72
“Ya… aku sependapat dengan Guru, cerita itu terlalu ngayawara untuk dicerna oleh orang kebanyakan. Mungkin si pengarang cerita memiliki tujuan khusus kenapa dia melakukannya”.
“Aku rasa tidak ada gunanya kita membicarakan cerita ngayawara itu lebih jauh lagi”.
“Guru benar”.
“Pada awalnya aku sempat ragu ketika Ki Pringsewu mengaku sebagai kakak seperguruannya, tetapi setelah aku ingat-ingat kembali, jalur ilmu mereka memang banyak persamaan satu sama lain. Tetapi masih ada yang mengganjal di pikiranku”. sahut Kyai Samber Geni mencoba mengalihkan pembicaraan di antara mereka.
“Bukankah Guru pernah berkata jika Ki Agung Sedayu adalah murid tertua dari Orang Bercambuk? lalu kakak seperguruan dari mana, Guru?”.
“Nah… itulah yang aku maksud”.
Seketika jawaban tersebut membuat mereka semua menjadi terdiam dalam penalaran mereka masing-masing, namun tidak ada yang mampu mencari jawaban yang paling tepat dan masuk akal dari pertanyaan tersebut.
Sehingga kemudian mereka hanya terus melanjutkan langkah kaki yang sudah semakin dekat dengan padukuhan induk, yang menjadi tempat tujuan.
Hingga akhirnya mereka keluar dari jalan-jalan pategalan yang gelap dan memasuki jalan utama menuju rumah Kepala Perdikan, dimana mereka menculik gadis kecil itu yang hanya tinggal berjarak beberapa ratus tombak lagi.
Tentu saja kedatangan mereka mengejutkan semua orang yang mulai melihatnya, meski mereka belum pernah mengenal sebelumnya. Namun mereka telah mendapat keterangan tentang mereka semua.
Bahkan satu dua orang yang melihat lebih dulu segera tanggap dengan keadaan setelah melihat Sekar Wangi di bahu salah satu dari kelima orang penculik tersebut.
Namun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tidak bersikap gegabah, karena telah mendapat keterangan tentang para penculik yang sangat berbahaya dan berilmu sangat tinggi.
Malam yang sangat sepi dan baru saja tenang ketika memasuki wayah dini hari setelah terjadi ontran-ontran, sepertinya ada kemungkinan bahwa ontran-ontran itu kini akan menyala kembali setelah kedatangan kelima orang itu.
Kelima orang itu hanya melirik orang-orang yang mulai melihatnya sembari terus melangkahkan kaki ke tempat tujuan, bahkan mereka membiarkan saja seseorang yang terkejut ketika melihat kedatangan mereka, lalu segera berlari ke arah yang sama dengan tempat yang mereka tuju.
Sementara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh semakin banyak yang melihat kedatangan rombongan Kyai Samber Geni segera mengambil sikap waspada.
Sebab para penghuni tanah Menoreh sadar sedang berhadapan dengan siapa, sehingga mereka harus mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya apa yang dilakukan.
Sementara seorang pengawal yang tadi berlari memang berniat melaporkan kejadian tersebut kepada Ki Jagabaya yang sementara waktu mendapat kepercayaan untuk membantu memimpin para pengawal yang kebanyakan masih muda selama ditinggal pergi oleh Ki Prastawa yang mendapat tugas ikut melawat ke bang wetan bersama Pasukan Mataram.
Sebenarnya pembagian tugas bagi para pengawal sudah sangat jelas, termasuk kedudukannya masing-masing. Namun Ki Jagabaya adalah salah satu tokoh yang dituakan.
Halaman 73 - 74
Jadi meskipun sebenarnya Ki Jagabaya tidak memiliki kedudukan apapun di jajaran para pengawal, namun suaranya masih menjadi panutan bagi seluruh pengawal karena kedudukannya sebagai salah satu bebahu di Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun para pengawal sudah sangat ingin membuat perhitungan kepada kelima orang itu, tetapi mereka masih teringat akan pesan dari Ki Jagabaya yang memerintahkan mereka agar harus lebih hati-hati, sebab yang sedang mereka hadapi adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Bahkan beberapa saat yang lalu, Ki Jagabaya dan para pengawal tidak berhasil mengalahkan mereka meski dengan jumlah yang lebih dari dua kali lipat.
Sehingga para pengawal untuk sementara hanya membuntuti dan mengawasi saja langkah Kyai Samber Geni dan murid-muridnya selama mereka tidak berbuat apa-apa.
Seorang pengawal yang tadi berlari mendahului segera menemui Ki Jagabaya yang masih kesakitan di pendapa rumah Nyi Pandan Wangi, lalu melaporkan apa yang telah terjadi.
“Ki Jagabaya, Ki Jagabaya”. berkata pengawal itu dengan suara setengah berteriak ketika memasuki regol.
Sontak saja teriakan itu membuat semua orang yang berada di tempat itu terkejut, bahkan beberapa pengawal yang tadinya sedang beristirahat pun menjadi ikut terbangun karena terkejut mendengar suara yang datang begitu tiba-tiba.
“Ada apa? apa yang terjadi?”. sahut Ki Jagabaya dengan raut wajah penasaran dari tempat duduknya, karena keadaan luka-luka pada tubuhnya.
“Para penculik itu datang kembali”. sahut pengawal itu dengan suara nafas yang terdengar masih tersengal-sengal.
“He….?”.
Bagaikan disengat ribuan lebah, semua orang yang berada di tempat itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya dengan tanggapan berbeda-beda.
“Benar Ki Jagabaya, mereka datang kembali kemari. Dan mereka sedang berjalan menuju kemari sembari membawa Sekar Wangi”.
Meski Ki Jagabaya masih dalam keadaan terluka cukup parah setelah pertarungan tadi, namun tidak ada alasan baginya untuk benar-benar beristirahat dengan tenang malam itu.
Kini salah satu bebahu Tanah Perdikan Menoreh itu dituntut untuk berpikir cepat guna mencari cara yang paling baik untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
“Lalu apa yang sekarang harus kita lakukan, Ki Jagabaya?”. bertanya salah satu pemimpin pengawal yang kebetulan di sebelahnya.
“Segera kumpulkan semua pengawal yang berada di tempat ini, lengkap dengan senjata di tangan masing-masing. Mungkin mereka lupa membawa sesuatu yang berharga dari sini, sehingga mereka kembali lagi. Meskipun tadi kita telah dikalahkan mereka, bukan berarti kita hanya akan pasrah ketika diperlakukan buruk”.
“Baik Ki”.
“Semua pengawal yang ada pusatkan saja di tempat ini untuk menghadapi segala kemungkinan”. sambung salah satu bebahu Tanah Perdikan Menoreh tersebut.
Setelah berkata demikian, Ki Jagabaya pun segera bangkit dari tempat duduknya dengan susah payah. Namun salah satu pemimpin pengawal yang kebetulan berada di sebelahnya segera tanggap untuk membantu.
Halaman 75 - 76
Kebetulan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang sangat terlatih untuk menghadapi keadaan yang bagaimanapun pula.
Sehingga tidak butuh waktu lama setelah perintah itu dijatuhkan, maka dengan segera mereka telah berkumpul di halaman rumah yang cukup luas, sembari menunggu orang-orang yang dimaksud.
Dan dalam waktu yang hampir bersamaan persiapan para pengawal, orang-orang yang membawa Sekar Wangi mulai kelihatan memasuki regol yang terbuka.
Langkah kaki rombongan Kyai Samber Geni diiringi oleh pandangan mata yang tajam dan penuh kewaspadaan, namun dalam kesunyian yang mencekam karena belum ada yang membuka suara.
Orang-Orang Tanah Perdikan Menoreh masih menunggu apa yang bakal terjadi dengan penuh tanda tanya akan datangnya kembali para penculik Sekar Wangi.
Meski mereka masih belum berbuat apa-apa, tetapi sangat terlihat sekali suasana yang penuh ketegangan dan dapat setiap saat meledak dengan hebatnya.
Bahkan Ki Jagabaya yang masih terluka cukup parah pun sudah turun dari pendapa untuk menyambut tamu-tamunya yang berjalan semakin mendekat.
Setelah pada jarak yang dianggap cukup, Kyai Samber Geni dan rombongan menghentikan langkah kakinya, lalu menatap ke arah berkeliling.
Terdengar suara tarikan nafasnya yang dalam, lalu…
“Siapakah diantara kalian yang pemimpin rombongan sekaligus sebagai juru bicara?”. bertanya Kyai Samber Geni.
“Aku… akulah yang kebetulan mendapat kepercayaan itu. Ada keperluan apa lagi Ki Sanak datang kembali kemari? apakah Ki Sanak masih belum merasa puas membuat ontran-ontran di tanah ini? apakah Ki Sanak ingin membuat ontran-ontran baru? karena merasa berilmu sangat tinggi dan dapat mengalahkan kami semua? sehingga merasa tidak akan dapat dihentikan segala tingkah pokal Ki Sanak semua?”. sahut Ki Jagabaya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Mendapat pertanyaan tersebut, tanpa sadar Kyai Samber Geni memandang ke arah murid-muridnya, baru kemudian memandang berkeliling dengan sikap waspada.
“Apakah kalian ingin tahu kenapa kami kembali lagi kemari sembari membawa gadis kecil itu?”. sahut Kyai Samber Geni sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Tentu kalian akan membuat ontran-ontran kembali disini, apalagi? tetapi jangan harap kami hanya akan pasrah dengan tingkah pokal kalian itu, meski kami sadar kami semua akan kesulitan untuk dapat mengalahkan kalian”.
“Aku sudah menduga bahwa kalian tentu akan bersikap demikian setelah apa yang terjadi beberapa saat tadi”.
Sontak saja jawaban itu membuat bingung orang-orang Menoreh, bahkan ada yang mulai menduga-duga apa yang sebenarnya telah terjadi? atau mungkin pula mereka masih belum dapat mencerna kata-kata tersebut.
Sejenak di halaman itu menjadi sunyi, namun dalam suasana ketegangan yang semakin mendebarkan jantung dengan segala dugaan di kepala masing-masing.
Setelah sejenak saling terdiam, akhirnya Ki Jagabaya tidak dapat menahan diri lagi untuk tetap berdiam diri di tempatnya, meski dirinya masih dilanda kebingungan, tetapi dia berusaha agar semuanya segera menjadi terang.
“Apapun yang bakal kalian lakukan, aku tidak peduli. Tetapi jika hal itu mengusik kami, termasuk gadis kecil yang kalian bawa itu, maka kami tidak bakal berdiam diri”.
Halaman 77 - 78
Mendengar semua itu, Kyai Samber Geni hanya dapat tersenyum. Namun senyumnya itu bermakna lain bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang masih terluka atas ontran-ontran sebelumnya. Bukan sekedar luka secara kewadagan, tetapi juga luka hati dan harga diri.
“Lanjar?”.
“Iya Guru”.
“Serahkan kembali gadis kecil itu kepada keluarganya”.
“Baik Guru”.
Orang-orang Menoreh benar-benar terkejut mendengar ucapan itu dan seakan hampir tidak percaya dengan apa yang telah mereka dengar dengan telinganya sendiri.
Lanjar yang masih membawa Sekar Wangi di bahunya dan belum sadarkan diri, lalu segera melangkah maju dan mendekati salah satu pengawal yang terlihat paling dekat jaraknya, lalu menyerahkannya tanpa mengucapkan apapun.
Menyaksikan semua itu orang-orang Tanah Perdikan Menoreh hanya dapat terdiam seribu bahasa dan membeku di tempatnya masing-masing.
“Jika aku tidak salah, bukankah kau Ki Jagabaya itu?”. bertanya Kyai Samber Geni sembari menunjuk dengan jari telunjuknya.
“Kau benar, Ki Sanak. Akulah Jagabaya di padukuhan induk ini. Ada keperluan apa kau mencariku?”.
“Aku dan murid-muridku ingin menyerahkan diri dan bertanggung jawab atas apa yang telah kami lakukan”. berkata Kyai Samber Geni, lalu menyerahkan kedua tangannya.
Belum juga rasa terkejut dan tidak percaya mereka reda, kini mereka kembali dikejutkan oleh kejadian berikutnya yang semakin membingungkan semua orang Menoreh.
Sontak saja semua ini membuat semua orang yang berada di halaman kebingungan dan penuh tanda tanya, sehingga mereka tidak dapat segera menanggapi, termasuk Ki Jagabaya yang masih berdiri membeku di tempatnya.
Namun akhirnya…
“Maaf Ki Sanak, bukan maksudku untuk menolak niat baik kalian berlima. Tetapi kami tidak dapat mempercayai kalian begitu saja, setelah apa yang terjadi, dan dalam waktu yang terhitung sangat singkat kalian tiba-tiba kembali dengan semua ini”.
“Aku dapat mengerti jalan pikiranmu, Ki Jagabaya. Tetapi percayalah, bahwa kami tidak ada maksud tersembunyi apapun atas apa yang kami lakukan ini, kecuali semata-mata kami hanya ingin mempertanggung jawabkan perbuatan kami”.
“Baik… aku sangat menghargai niat baik kalian semua, tetapi bagiku terasa sangat janggal sekali setelah kalian membuat ontran-ontran disini, lalu pergi. Dan tidak lama kemudian kalian kembali lagi sendiri tanpa harus kami bersusah payah menangkap kalian semua”.
“Aku mengerti maksudmu, dan aku dapat memakluminya, Ki Jagabaya. Sebab jika aku pada kedudukanmu, tentu akan melakukan hal yang kurang lebih sama dengan apa yang kau lakukan”.
“Lalu apa alasan kalian, tiba-tiba kembali dengan semua ini?”.
“Baiklah… agar semuanya cepat menjadi jelas, akan aku ceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada kami”. sahut Kyai Samber Geni dengan raut wajah tampak bersungguh-sungguh.
Kemudian Gurunya Rambat itu menceritakan secara singkat apa yang telah terjadi kepada mereka, namun runtut dan jelas hingga mereka tiba kembali di tempat itu.
“Ki Pringsewu?”. desis Ki Jagabaya sembari mengingat-ingat kembali nama itu.
Halaman 79 - 80 - 81
“Benar Ki Jagabaya, orang yang sudah sangat sepuh itu mengaku kepadaku bernama, Ki Pringsewu”.
“Aneh…”.
“Apanya yang aneh?”.
“Sepertinya aku belum pernah mendengar namanya selama ini, selain itu pula aku belum pernah mendengar bahwa Ki Agung Sedayu memiliki kakak seperguruan”.
“Aku tidak tahu orang itu berkata yang sebenarnya atau menggunakan asal nama saja untuk mengelabui kita semua. Tetapi sejauh yang aku tahu, meskipun yang aku hadapi itu tidak lebih dari bayangan semu, namun bayangan semu adalah gambaran wujud asli dari pemilik ilmu itu sendiri”.
“Mungkin pengetahuanku saja yang terlalu picik, sehingga tidak tahu bahwa Ki Agung Sedayu memiliki kakak seperguruan yang entah dari mana datangnya”. sahut Ki Jagabaya pada akhirnya, yang tidak ingin berlarut-larut dalam pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya tersebut.
“Ya… mungkin saja”.
“Lalu siapakah kalian?”. bertanya Ki Jagabaya dengan raut wajah yang bersungguh-sungguh.
“Aku adalah Kyai Samber Geni, dan mereka semua adalah murid-muridku”.
“Baiklah Kyai Samber Geni, kami seluruh kawula Tanah Perdikan Menoreh menyambut dengan baik niat baik kalian semua. Dan selanjutnya kami akan berusaha menegakkan paugeran yang berlaku di tempat ini dengan sebaik-baiknya”.
“Kami sudah pasrah”.
“Dan karena kalian telah mengakui kesalahan dan bersikap bersahabat kepada para penegak paugeran, maka kami tidak akan mengikat kedua tangan kalian di belakang. Tetapi untuk sementara kalian akan tetap kami tempatkan di tempat khusus sembari menunggu keputusan yang bakal kami ambil”.
“Baiklah… terserah kalian saja, kami akan menunggunya”
Kemudian Ki Jagabaya pun memanggil beberapa orang untuk mengantarkan Kyai Samber Geni beserta murid-muridnya ke tempat yang dimaksud.
Karena para pelaku kesalahan itu bersikap bersahabat dengan petugas penegak paugeran, maka mereka pun memperlakukannya dengan baik, dan bahkan tidak terlihat seperti sedang mengantarkan para tawanan menempati ruangan khususnya.
Ki Jagabaya menyaksikan orang-orang yang meninggalkan halaman itu dengan perasaan yang campur aduk, tetapi yang tidak pernah dilupakannya adalah rasa syukurnya kepada Yang Maha Welas Asih.
Namun lamunan itu segera buyar karena tiba-tiba mendapat pertanyaan dari salah satu pemimpin pengawal yang sejak tadi berada di sampingnya.
“Ki Jagabaya, lalu bagaimana dengan utusan itu?”.
“Kau benar, hampir saja aku melupakannya”.
“Apakah kita kirim utusan lain guna menyusul mereka? atau kita akan membiarkannya saja utusan itu hingga mereka kembali dengan sendirinya?”.
Bebahu dari Tanah Perdikan Menoreh itu terdiam sejenak untuk membuat pertimbangan guna mencari cara yang paling baik atas apa yang sebaiknya dilakukan.
“Tidak lama lagi matahari akan terbit, aku kira utusan yang tadi berangkat sudah hampir sampai, terutama yang ke Mataram. Jika kita mengirim utusan susulan, aku kira sudah akan terlambat untuk mencegah laporan itu agar tidak sampai kepada orang-orang yang kita tuju. Tetapi jika kita biarkan, apalagi hingga menunggu mereka kembali, aku rasa kita akan dapat dianggap bersalah”.
“Lalu bagaimana menurut, Ki Jagabaya?”.
“Sebaik kita mengirim utusan susulan, agar nantinya kita tidak disalahkan atas kejadian malam ini oleh pepunden kita”.
“Baik Ki Jagabaya”.
Maka orang yang sementara waktu mendapat kepercayaan untuk menjadi pemimpin pengawal itu segera menunjuk empat orang pengawal baru untuk dijadikan utusan, guna menyusul utusan yang sudah diberangkatkan lebih dulu.
- - - o - O - 0 - - -
bersambung ke
Djilid
24
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
wedaran harian serial PdTL jilid 23 sudah dimulai.
BalasHapussilahkan bagi panjenengan yang masih berkenan untuk mengikutinya.
terima kasih.
mantaaap Ki MDP , ditunggu wedaran selanjutnya
BalasHapusAlhamdulillah, maturnuwun Ki. Semoga Ki MDP pinaringan sehat selalu
BalasHapussetelah melalui berbagai pertimbangan, saya minta maaf kepada panjenengan semua yang masih berkenan mengikuti wedaran harian serial PdTL, karena ke depannya kemungkinan wedaran akan menggunakan format 2-1-2.
BalasHapusmaksudnya, 2 hari wedaran - 1 hari libur - 2 hari wedaran.
terima kasih.
Apapun formatnya kami selalu setia ki
HapusAssaalamu'alaikum warahmatullah Ki MDP, muantebs ki...... Semoga sehat selalu njih
BalasHapuswa'alaikum salam...
Hapusamin...
terima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari Panembahan Wonokromo.
Wedaran 2-1-2 itu apa akan dibuat terus melanjutkan naskah di atas, atau muncul di kolom komentar seperti ini dan seperti di gandok KLMM, Ki MDP ?
BalasHapuswedaran di gandok ini melanjutkan naskah di atas yang akan terus diperbaharui sesuai jadwalnya, Ki Bumpbeer.
Hapustadinya saya berencana dengan format 2-1-2, tetapi setelah saya bicarakan dengan Ki Pelangi Singosari, akhirnya dengan berat hati saya menyesuaikan wedaran di gandok Gagakseta 2, yang menggunakan format 1-1-1.
terima kasih.
Tetap setia apapun formatnya, sehat dan semangat selalu untuk Ki MDP beserta team.
BalasHapusAssaalamu'alaikum warahmatullah Ki MDP, semoga selalu diberi kesehatan dan rejeki yang berkah. Saya mohon maaf belum bisa berdonasi, sbb sejak 2019 tdk bekerja, semoga dalam tahun ini ada pekerjaan yang nyangkut, sehingga bisa berdonasi sebagai bentuk penghargaan atas karya panjenengan termasuk untuk padepokan yg sebelah. Mohon do'a nya njih ki 🙏
BalasHapus