PdTL 03

PdTL 03 


“Maaf Kyai, jika malam-malam begini aku mengganggu istirahatmu”. berkata tamu yang baru datang itu setelah mereka duduk di kursi kayu.

“Hahaha…”. Kyai Pujangkara yang mendengar ucapan tamunya itu justru tertawa. Setelah tertawanya reda, “kau seperti baru mengenal aku kemarin saja Senggana”

Orang yang di panggil Senggana itu wajahnya sempat memerah, namun hanya sekejap. Lalu katanya, “Bukan begitu maksudku Kyai”.

Senggana yang sebenarnya masih ingin melanjutkan kata-katanya seketika diurungkan karena terdengar kembali Kyai Pujangkara tertawa, setelah tertawanya reda barulah dia berkata.

“Maaf Kyai, sebelum aku membicarakan keperluanku, terlebih dahulu aku menghaturkan sungkem bakti, karena sudah sekian lama aku tidak sowan”. ucap Senggana sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan badannya sedikit membungkuk.

“Aku terima sungkem baktimu pada orang tua Senggana, dan terimalah pangestuku. Aku bisa memaklumi kenapa kau sudah sekian lama tidak mengunjungiku di Gunung Tidar ini, kau pasti sibuk dengan tugas-tugasmu, apalagi tugas utamamu”.

“Terima Kasih atas pengertian Kyai”.

“Maaf Senggana jika aku nungkak krama kepadamu, karena aku merasa sudah mengenalmu sejak kau masih kecil dan pernah ikut momong kau dulu meskipun hanya sepenginang sirih ibaratnya, tapi semoga aku tidak akan terkena tulasarik”. berkata Kyai Pujangkara.

“Aku lebih senang seperti ini Kyai, lagipula memang sudah seharusnya seperti ini, justru jika Kyai berbuat sebaliknya aku yang takut terkena tulasarik”.

“Syukurlah jika kau bisa menerima dengan sepenuh hati, meskipun kau sekarang sudah berumur bahkan melebihi umur orang kebanyakan dan bergelar Begawan Mayangkara di Gunung Kendalisada tapi aku tetap merasa kau seperti anakku sendiri”.

“Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas pengakuan Kyai Pujangkara yang menganggap aku seperti anak sendiri”.

“Kedatanganmu kemari itu hanya sekedar ingin mengunjungiku atau ada keperluan apa kau jauh-jauh datang dari Kendalisada mencariku hingga datang ke gubukku ini?”.

“Pertama aku jauh-jauh datang dari Kendalisada memang sudah lama sekali ingin mengunjungi Kyai, tapi selain itu aku juga ada keperluan”.

“Keperluan apa?”. tanya Kyai Pujangkara sembari mengernyitkan keningnya.

“Aku ingin menanyakan arti pasumpenan Kyai?”.

“Tanya arti mimpi?”

“Benar Kyai, karena beberapa waktu terakhir ini aku seperti dihantui mimpi-mimpi yang hadir dalam tidurku”.

Kyai Pujangkara yang mendengar keterangan Begawan Mayangkara atau yang sering disebut Resi Mayangkara itu justru tertawa. Setelah tertawanya reda, “Bukankah kau sendiri adalah orang yang waskitha, pasti kau sendiri bisa mengurai arti mimpi-mimpimu itu?”.

“Aku sudah mencoba mengurainya sendiri Kyai, tapi aku sendiri masih belum yakin bahwa itu jawaban yang benar”.

“Begitu rupanya, coba kau katakan apa mimpimu itu, siapa tahu aku bisa membantu mengurainya”. ucap Kyai Pujangkara yang terlihat mulai bersungguh-sungguh.

“Yang pertama aku bermimpi menemukan dua anak burung elang jantan yang berwarna hampir serupa di tengah hutan yang aku sendiri tidak tahu dimana itu. Yang kedua, dua anak burung elang itu masing-masing hinggap dengan tenangnya di kedua tanganku dalam keadaan aku duduk bersila menatap matahari terbit, tapi pada waktu matahari kira-kira sepenggalah keduanya terbang entah kemana. Yang Ketiga, ada dua pasang burung elang dewasa yang terbang di sekitarku dan seakan-akan mengawasiku. Dan yang ke empat atau yang terakhir, menjelang matahari terbenam dalam keadaanku duduk bersila entah darimana datangnya tiba-tiba ada dua pasang burung elang yang baru dewasa hinggap di tanganku dengan masing-masing berkalung janur kuning”.

“Berdasarkan petuah para sesepuh yang pernah aku dengar, mimpi itu dibagi menjadi tiga berdasarkan jenisnya, yaitu puspayoni, gandhayoni, dan puspatajem dan biasanya ditengarai dengan kapan waktu kita mendapatkan mimpi itu sendiri. Kau bermimpi pada waktu kapan?”.

“Menjelang pagi Kyai”.

“O…Selain itu, apa masih ada yang lain? atau kau masih punya suatu gegayuhan yang belum terlaksana?”.

“Untuk masalah pasumpenan seingatku hanya itu saja Kyai, tapi selain itu ada hal yang lain yang bersifat pribadi yang ingin aku tanyakan kepada Kyai”.

“Apa itu Senggana?”

“Seperti yang sudah Kyai tanyakan tadi, aku sebenarnya memang mempunyai gegayuhan yang hingga saat ini belum terlaksana”.

“Katakanlah, semoga saja aku bisa membantu”.

“Begini Kyai, sebenarnya aku ini sudah bosan melihat isi jagad ini, tapi mengapa hingga saat ini Yang Maha Agung masih memberiku umur panjang? apa kira-kira Kyai bisa membantuku untuk mempercepat?”.

Kyai Pujangkara yang mendengar pertanyaan Begawan Mayangkara menjadi terdiam beberapa saat, dan dia berusaha mencari jawaban yang tepat.

“Ketahuilah Senggana, meskipun oleh orang kebanyakan aku dianggap mempunyai kelebihan, tapi jangan kau kira aku ini bisa menentukan umur seseorang”.

Untuk beberapa saat suasana di rumah itu menjadi hening, karena masing-masing disibukkan dengan angan-angannya sendiri, hanya terdengar hewan-hewan malam saja dari kejauhan.

“Jika begitu, aku ingin mengetahui lebih dulu arti pasumpenan yang tadi sudah aku sampaikan Kyai?”. setelah mereka saling terdiam beberapa saat.

Kyai Pujangkara yang mendengar pertanyaan Begawan Mayangkara menarik nafas dalam-dalam beberapa kali.

“Jika aku teliti arti mimpimu itu memang saling berkaitan satu sama lain. Tapi pada intinya ada hubungannya dengan gegayuhanmu yang belum terlaksana”

Resi Mayangkara yang mendengar jawaban Kyai Pujangkara menjadi terkejut karena merasa orang yang berada di hadapannya itu mengetahui isi hatinya lalu mengangkat wajahnya tapi segera ditundukkannya kembali, karena pada saat yang sama Kyai Pujangkara menatapnya pula.

“Kedepannya kau akan menemukan dua sosok pemuda menjelang dewasa yang hampir mirip, tapi beda Ayah dan beda Ibu. Dan kau mendapat tugas membantu momong keduanya meskipun hanya sekejap mata ibaratnya, sebelum mereka melanjutkan kehidupan mereka sendiri, tapi pada akhirnya entah bagaimana caranya mereka akan kembali lagi padamu untuk kau nikahkan, karena itulah tugas utamamu yang terakhir. Barulah setelah itu tugasmu di alam padang ini bisa dikatakan selesai”.

Begawan Mayangkara yang mendengar keterangan Kyai Pujangkara menjadi terdiam karena meresapi setiap kata yang diucapkan orang yang sangat dihormatinya itu.

“Terima kasih atas segala penjelasan Kyai yang kini membuatku menjadi tenang”.

“Syukurlah jika kau bisa menerimanya”.

“Maaf Kyai, setelah Kyai menjelaskan arti pasumpenanku, sehubungan dengan gegayuhanku yang belum bisa terlaksana karena memang belum waktunya, apa sekiranya Kyai bisa membantu karena aku ingin merasakan lebih dahulu bagaimana rasanya pecahnya panca indra pada tubuhku ini?”.

Kembali Kyai Pujangkara terdiam untuk beberapa saat sembari matanya terpejam dan kedua tangannya menyangga dagu layaknya orang yang sedang mengheningkan cipta.

“Senggana”.

“Sendika Kyai”.

“Ketahuilah, tentang gegayuhanmu yang hingga kini belum terlaksana karena memang belum waktunya sehingga membuatmu ingin mencoba merasakan pecahnya panca indra sebelum waktunya. Senggana, cobalah kau ingat-ingat ajian yang pernah aku ajarkan dulu padamu, yaitu ajian Asmaraghotra. Jika panyuwunmu itu diterima oleh Yang Maha Agung kau akan menemukan jawabannya”.

“Iya Kyai, aku masih ingat. Tapi selama ini aku belum pernah mencobanya, apakah menurut Kyai aku akan bisa berhasil?”. bertanya Resi Mayangkara yang ragu pada dirinya sendiri.

“Menurutku tidak menjadi soal meskipun kau belum pernah mencobanya, tapi yang paling penting adalah saat kau mengetrapkan ajian Asmaraghotra harus dalam kepasrahan yang seutuhnya kepada Yang Maha Agung, semoga panyuwunmu itu bisa diterima” 

“Baiklah Kyai, aku akan mencobanya”.

Tidak lama kemudian Resi Mayangkara bersiap memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ajian Asmaraghotra di atas bangku kayu dengan duduk bersila dan menangkupkan kedua tangannya didepan dada.

Kyai Pujangkara memperhatikan dengan seksama setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh tamunya itu. Hampir setiap gerak hingga suara nafasnya tidak luput dari pengamatanya.

Setelah beberapa saat Begawan Mayangkara memusatkan nalar budinya, suara nafasnya semakin lama semakin melambat hingga akhirnya tidak terdengar lagi.

Pada saat Begawan Mayangkara atau yang pada masa kecilnya itu bernama Senggana tak terdengar lagi suara hembusan nafasnya, seketika itu pula tubuhnya seakan-akan menghilang dari hadapan Kyai Pujangkara.

“Syukurlah jika panyuwunnya bisa diterima oleh Yang Maha Agung”. ucap Kyai Pujangkara perlahan.

Tapi sejenak kemudian dia seakan baru menyadari sesuatu. Lalu katanya dalam hati, “e..lhadalah..aku baru ingat jika dia baru pertama kalinya mengetrapkan ajian Asmaraghotra, bagaimana jika nanti dia kesasar, nanti malah akan menambah pekerjaanku saja”.

Kyai Pujangkara yang ditinggalkan oleh Resi Mayangkara itu menjadi bimbang dan seperti merasa meninggalkan seorang anak kecil di pinggir jurang yang sangat dalam.

“Sebaiknya aku menyusulnya”. berkata Kyai Pujangkara lagi dalam hati.

Sejenak kemudian orang linuwih itu seakan-akan ikut menghilang pula dari tempat duduknya.

*  *  *

Sementara itu di Padepokan Orang Bercambuk, pada waktu menjelang madya ratri, Nyi Pandan Wangi masih menunggui anak laki-lakinya yang belum sadarkan diri dengan duduk di sebuah dingklik di ujung bilik yang dikawani oleh Nyi Rara Wulan dan Nyi Sekar Mirah Yang keadaannya sudah semakin membaik setelah terluka dalam.

Tubuhnya masih lemah, tapi hanya tinggal masa pemulihan saja karena luka dalamnya sudah sangat tertolong oleh obat yang tadi telah diminumnya.

“Sebaiknya kau beristirahat saja Sekar Mirah, karena keadaanmu masih lemah” ucap Nyi Pandan Wangi.

“Aku sudah lebih baik mbokayu, apalagi tadi siang hampir sepanjang hari aku hanya beristirahat saja”

“Mungkin kau Rara Wulan, yang perlu beristirahat. Apalagi waktu sudah memasuki tengah malam”

“Baiklah mbokayu, aku akan istirahat lebih dulu” ucap Nyi Rara Wulan yang kemudian bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan mereka berdua menjaga Bayu Swandana.

“Apakah mbokayu tidak ingin beristirahat?” tanya Nyi Sekar Mirah setelah Nyi Lurah Glagah Putih meninggalkan mereka.

“Nanti saja, apalagi aku belum merasa mengantuk”

Sejenak kemudian suasana di bilik itu menjadi sunyi, karena kedua orang yang masih terjaga itu disibukkan dengan angan-angan mereka masing-masing.

“Sekar Mirah” berkata Nyi Pandan Wangi tiba-tiba yang membuat Nyi Sekar Mirah kemudian menatapnya. Lalu lanjutnya, “Apa kau mendapat nawala pula dari Kanjeng Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma?”

“Iya mbokayu, lalu bagaimana menurut pendapatmu?”

“Berdasarkan keterangan prajurit yang bertugas menyampaikan nawala, itu adalah sebuah gagasan bukan sebuah perintah. Tapi aku rasa itu adalah sebuah gagasan yang sangat baik”

“Benar mbokayu, dengan Mataram memiliki Pasukan Khusus Perempuan akan semakin memperkuat wibawa Mataram, karena ada kalanya seorang perempuan akan sangat berguna sekali untuk membantu tugas-tugas keprajuritan”

“Kau benar Sekar Mirah, tapi darimana kita akan memulainya?”

“Bagaimana jika kesatuan itu ditempatkan di Sangkal Putung? karena di Tanah Perdikan Menoreh sudah ada kesatuan Prajurit Khusus, sedangkan di Jati Anom sudah ada barak kesatuan prajurit pula”

Nyi Pandan Wangi lalu mencoba meresapi gagasan adik ipar mendiang suaminya itu. Lalu katanya, “sebaiknya kita meminta pendapat pada para sesepuh lebih dahulu sebelum mengambil sikap”.

“Aku sependapat mbokayu, itu akan lebih baik”.

Tiba-tiba Bayu Swandana yang terbaring di atas amben bambu beralaskan tikar daun pandan nampak menggeliat dan terdengar suara menggeram perlahan dari mulutnya.

Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah hanya memandangnya saja anak laki-laki yang agak gemuk itu dengan hati berdebar. Ternyata kejadian itu hanya berlangsung beberapa saat saja, lalu tertidur kembali dengan nyenyaknya.

“Racun warangan itu memang sangat berbahaya sekali”.

“Kau benar Sekar Mirah, untunglah Ki Agahan bergerak cepat. Karena jika terlambat sekejap saja akan berakibat sangat buruk bagi Bayu Swandana, meskipun tetap ada kemungkinan nyawanya bisa diselamatkan, tetapi racun warangan itu akan merusak hampir seluruh pembuluh darah dan urat-urat syarafnya sehingga bisa mengakibatkan kelumpuhan”.

Kedua perempuan itu dalam hati sangat bersyukur kepada Yang Maha Agung atas segala perlindunganNya, meskipun mereka baru saja mengalami bencana tetapi masih diberi petunjuk untuk melewati dengan cara sebaik-baiknya.

Angan-angan mereka seketika buyar saat terdengar pintu bilik diketuk tiga kali secara perlahan.

“Siapa?”.

“Aku Nyi, Ki Agahan”.

Setelah mendengar jawaban dari luar bilik, Nyi Pandan Wangi bergegas berdiri dari dingkliknya, lalu berjalan untuk membukakan pintu yang diselarak dari dalam.

“Ada apa Ki Agahan?” bertanya Nyi Pandan Wangi setelah membuka pintu.

“Nyi Pandan Wangi, apakah anakmas Bayu Swandana sempat terbangun setelah tadi meminum obat yang terakhir?”

“Tidak Ki Agahan, tapi dia sempat menggeliat beberapa kali dan terdengar dia menggeram dengan suara perlahan”.

“Ternyata racun warangan yang bersemayam di tubuhnya itu sangatlah berbahaya Nyi, untunglah anakmas Bayu Swandana memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa, sehingga sangat membantu sekali dalam penyembuhannya”.

“Tapi semua itu tidak lepas dari tindakan cepat yang dilakukan oleh Ki Agahan dalam mengatasinya”.

“Ah, aku hanya berusaha saja Nyi. Lagipula obat yang tadi dibawa oleh Nyi Sekar Mirah adalah obat yang sangat luar biasa, bahkan aku tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk meramu obat seperti itu”.

“Itu adalah obat yang sengaja dibuat langsung oleh kakang Agung Sedayu untuk Sekar Mirah guna menjaga dirinya dari kemungkinan buruk, misalkan saja seperti kejadian sekarang ini”

“Ki Agung Sedayu memang adalah orang yang sangat aneh dan luar biasa, penalaran kami belum mampu menangkap apa yang bisa dilakukannya yang seakan-akan kemampuannya sundul langit”.

“Jangankan Ki Agahan, kami yang orang-orang terdekatnya pun masih sering dibuatnya kebingungan oleh kakang Agung Sedayu”. jawab Nyi Sekar Mirah dari dalam bilik yang masih terduduk pada dingkliknya.

“Dan anakmas Bagus Sadewa sepertinya mulai menunjukkan tanda-tanda kelebihan yang sama dengan ayahnya”

“Jika aku lihat Bagus Sadewa, meskipun banyak kesamaan dengan ayahnya tapi yang paling mencolok perbedaannya adalah dia bukanlah anak yang peragu seperti ayahnya”

“Meskipun aku belum mengenalnya terlalu jauh tapi aku rasa, aku setuju dengan yang kau ucapkan itu Sekar Mirah. Apalagi setelah aku mendengar laporan pada apa yang dapat dilakukannya tadi malam”.

“Aku sebagai ibunya saja tidak pernah menduga tadi malam Bagus Sadewa dapat melakukan itu”.

Diam-diam mereka bertiga mulai mengagumi anak yang masih terhitung ingusan itu didalam hati. Meskipun sekarang dia masih sangat muda, tetapi sudah mulai menunjukkan kelebihan dari orang lain.

“Ki Agahan, apakah racun di dalam tubuh Bayu Swandana masih berbahaya?” bertanya Nyi Pandan Wangi setelah beberapa saat mereka saling terdiam.

Ki Agahan menarik nafas dalam beberapa kali mendengar ucapan ibu Bayu Swandana itu. Lalu katanya, “Nyi Pandan Wangi sudah tidak perlu khawatir lagi, karena setelah anakmas Bayu Swandana tadi meminum obat yang kedua kali, keadaannya sudah melewati masa yang gawat, dan secara perlahan tapi pasti racun itu mulai memudar karena obat yang di tubuhnya sudah mulai menawarkan semua racun itu, dan kita hanya perlu menunggu saja”.

“Kita patut bersyukur kepada Yang Maha Agung atas segala kemurahanNya kepada kita semua”. ucap Nyi Pandan Wangi.

“Benar sekali Nyi, baiklah aku mohon diri dulu, jika nanti ada apa-apa silahkan panggil saja aku kapan pun”. ucap Ki Agahan.

“Baiklah Ki Agahan, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih”

“Aku hanya menjalankan kewajiban bagi sesama Nyi”. jawab Ki Agahan sembari tersenyum, lalu meninggalkan bilik itu.

Sementara Ki Untara yang terluka masih berbaring di biliknya yang dikawani anaknya secara bergiliran.

Apakah Ayah memerlukan sesuatu?” bertanya Bagaskara.

“Aku ingin minum obat dulu sebelum tidur, sesuai pesan Ki Agahan, apakah obat itu masih ada?” bertanya Ki Untara yang masih dalam keadaan terbaring di atas amben dengan mata terpejam.

“Masih Ayah, sudah aku siapkan di dalam mangkuk, tinggal mencampurnya saja dengan air sebelum diminum”. jawab Bagaskara yang kemudian menyiapkan obat itu untuk ayahnya.

Setelah obat yang berbentuk seperti serbuk itu dicampur dan diaduk dengan air secukupnya agar nantinya lebih mudah untuk dicerna di dalam tubuh, lalu Bagaskara meminumkan pada ayahnya yang kemudian duduk di atas amben.

Sebenarnya luka yang dirasakan Ki Untara itu pada tubuh bagian depan dari dada ke atas kecuali tangan, tapi yang paling parah adalah di bagian wajahnya yang seakan-akan terkena luka bakar dari dalam.

Bahkan menurut pesan Ki Agahan, untuk sementara waktu Ki Untara dilarang membuka matanya terlebih dahulu karena akan membahayakan urat-urat di sekitar matanya, karena jika Ki Untara memaksakan diri membuka matanya bahkan untuk waktu beberapa lama akan dapat mengalami kebutaan.

Beruntunglah ayah Umbara adalah orang yang mau mendengarkan orang yang mengobatinya, sehingga Ki Agahan tidak perlu menutup matanya dengan secarik kain yang diikatkan pada kepala untuk menjaga Ki Untara tetap dalam keadaan mata terpejam.

Pagi itu saat matahari terbit, seisi Padepokan Orang Bercambuk melakukan pekerjaan mereka sehari-hari seperti biasa kecuali orang-orang yang masih terluka, tidak terkesan bahwa tempat itu baru saja mengalami bencana yang menguras tenaga dan pikiran.

Udara di tempat itu terasa dingin dengan kabut yang masih menyelimuti sekitar padepokan. Burung-burung liar berkicau dengan nyaringnya dan berterbangan kesana-kemari di sekitar pategalan.

Cantrik yang bertugas di depan pintu regol baru saja mendapat kiriman minuman hangat, yaitu wedang jahe dengan gula kelapa dan beberapa potong jenang alot yang membuat mereka gembira sembari menyambut dinginnya pagi.

Beberapa saat kemudian, salah satu cantrik yang bertugas di pintu regol mengerutkan keningnya setelah meneguk wedang jahenya yang masih hangat.

Cantrik itu melihat sesuatu yang kurang mapan di depan matanya yang berjarak beberapa puluh langkah. “sepertinya ada yang kurang wajar”. katanya dalam hati.

“Kau kenapa kakang, pag-pagi begini sudah melamun?”. tanya kawannya yang lebih muda.

“Kau lihatlah adi!”. kata cantrik yang baru saja mendapat pertanyaan sembari memberi isyarat dengan sedikit menggerakan kepalanya.

Cantrik yang mendapat jawaban seperti itu segera menoleh ke arah yang dimaksud.

“Kau benar kakang”. jawab cantrik yang lebih muda itu setelah sesaat memperhatikan yang ditunjukkan oleh kawannya, “lalu apa yang akan kita lakukan kakang?”

“Kita lihat saja dulu apa yang akan dia lakukan”

Tidak lama kemudian orang yang berpakaian kumal dan robek di beberapa bagian dengan memakai sebuah caping di kepalanya serta membawa sabit dan keranjang bambu untuk mencari rumput, yang sejak tadi diperhatikan oleh kedua cantrik itu sampai di tempat mereka.

“Ki Sanak, tolong sampaikan pesan pada Ki Lurah Glagah Putih. keris luk sembilan mencari warangka yang hilang”.

Kedua cantrik yang mendengar ucapan orang itu tidak menjawab tapi malah saling pandang dalam kebingungan.

“Sampaikan saja pesanku, dia pasti sudah tahu maksudnya”.

Cantrik yang lebih tua itu seakan tersadar dari kebingungannya setelah mendengar orang yang baru saja datang itu kembali bicara.

“Baiklah Ki Sanak, silahkan tunggu”

Cantrik yang lebih tua itu lalu memberikan isyarat kepada kawannya yang lebih muda untuk segera memanggilkan Ki Lurah Glagah Putih. Tidak berapa lama cantrik yang lebih muda itu keluar kembali beserta orang yang dipanggil.

“Elang akan terbang tinggi ke arah matahari terbit. Sang singa masih di kandangnya belum mengaum” berkata orang yang baru datang itu ketika sudah berhadapan dengan orang yang dicarinya.

“Kemana arah arus kali Praga dan kali Opak?” ucap Ki Lurah Glagah Putih.

“Arus kali Praga dan Kali Opak mengalir deras ke arah muara untuk menjernihkan air muara yang keruh”

“Elang akan segera hinggap di sarang tanpa suara”

Setelah mendengar ucapan Ki Lurah Glagah Putih, orang itu mengangguk hormat lalu segera pergi meninggalkan tempat itu. Kedua cantrik yang mendengar percakapan mereka hanya terheran dan kebingungan tanpa berani bertanya.

Setelah menemui tamunya ayah Arya Nakula itu segera kembali ke ruang dalam, sepertinya akan mencari istrinya.

Nyi Rara Wulan yang sedang bersama gurunya dan Nyi Pandan Wangi di bilik Bayu Swandana yang masih terbaring di atas amben yang belum sadarkan diri sedikit terkejut saat melihat wajah suaminya yang tampak menegang.

“Ada apa kakang, apakah ada yang penting?”.

“Benar Rara, kebetulan ada mbokayu berdua jadi aku cukup bicara sekali saja”.

“Ada apa Glagah Putih?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang penasaran.

“Aku terpaksa mendahului perjalanan kalian karena aku mendapat tugas mendadak, karena baru saja ada petugas sandi yang memberitahukan tugas itu”. ucap Ki Lurah Glagah Putih yang membuat ketiga perempuan itu saling pandang dengan wajah penuh pertanyaan.

“Aku mendapat tugas mendadak melawat ke timur bersama pasukan prajurit sandi untuk kemudian bergabung bersama pasukan Mataram yang sudah ada disana, lalu bagaimana dengan kalian?”.

“Kapan kau akan berangkat?”. bertanya Nyi Pandan Wangi.

“Malam ini aku diperintahkan ke Mataram,menghadap Ki Patih Singaranu untuk menerima titah”.

“Jika prajurit sandi sudah mulai bergerak, tidak lama lagi prajurit perang pasti akan segera digerakkan pula”.

Orang-orang yang berada di tempat itu seakan-akan baru menyadari jika perang seperti tidak pernah ada habisnya di tanah mereka berpijak, selalu ada saja alasan yang digunakan untuk membenarkan adanya perang.

“Baiklah Glagah Putih, laksanakanlah tugasmu dengan sebaik-baiknya, nanti kami akan menyesuaikan”. ucap ibu Bayu Swandana setelah beberapa saat saling terdiam.

“Sebelum kau berangkat sebaiknya kau temui dulu kakang Untara dan Ki Agahan”. Nyi Sekar Mirah menimpali.

“Iya mbokayu, aku pasti akan menemui mereka lebih dahulu. Sebaiknya aku mencari menemui mereka sekarang”.

“Ya”. jawab ketiga perempuan itu hampir berbarengan.

Kemudian Ki Lurah Glagah Putih bergegas keluar dari bilik itu untuk menemui Ki Untara yang masih terluka dan terbaring di biliknya.

“Silahkan masuk paman”. Berkata Umbara yang melihat adik sepupu ayahnya itu sudah berdiri di depan pintu bilik yang memang sengaja dibiarkan sedikit terbuka.

“Bagaimana keadaan kakang Untara sekarang?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih setelah duduk di ujung amben tempat Ki Untara terbaring.

“Sudah jauh lebih baik setelah meminum ramuan obat yang dibuat Ki Agahan, Glagah Putih”.

“Syukurlah kakang, aku tidak pernah menduga sebelumnya jika Ki Agahan juga mempelajari kawruh tentang pengobatan”

“Aku juga demikian, tapi setelah aku merasakan sendiri obat yang diramunya aku menjadi yakin jika dia mendapat kesempatan lebih untuk belajar, bukan tidak mungkin dia akan bisa menjadi tabib yang mumpuni”.

“Benar sekali kakang”.

“Bagaimana keadaan Bayu Swandana sekarang?”

“Masih belum sadarkan diri, tapi berdasarkan keterangan dari Ki Agahan itu hanya menunggu waktu saja karena masa-masa gawatnya telat lewat dan hanya tinggal proses penyembuhannya dari dalam secara tuntas, setelah itu baru akan diberikan obat untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya”.

“Syukurlah kalau begitu”.

“Begini kakang, aku mendapat tugas mendadak dari Mataram dan malam ini  juga aku harus menghadap Ki Patih Singaranu di kepatihan”.

Ki Untara yang mendengar keterangan adik sepupunya itu menarik nafas dalam beberapa kali sebelum menjawab, “itulah resiko yang harus kau sandang jika menjadi seorang prajurit Glagah Putih, kau harus menyadari kapanpun dan dimanapun kau harus selalu siap untuk mengemban segala titah”.

“Aku selalu menyadarinya sepenuh hati”.

“Sepertinya Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma ingin melanjutkan gegayuhan ayahnya yang belum sempat terlaksana”.

“Benar kakang, Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma ingin memperluas wilayahnya hingga bang wetan, karena Mataram merasa kesulitan untuk menaklukkan Kadipaten Surabaya secara langsung maka ibarat orang mau menebang sebuah pohon besar harus memangkas dahan-dahannya terlebih dahulu”.

“Kadipaten Surabaya memang sebuah daerah yang sangat kuat apalagi mendapat dukungan dari beberapa padepokan dan daerah sekitarnya, itu terbukti dengan Mataram mengalami beberapa kali kegagalan saat menaklukkan mereka, tapi ternyata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma tidak kehabisan akal untuk menyiasatinya”.

“Maka dari itu setelah Mataram menaklukkan Malang dan Pasuruan, sekarang sedang mengarahkan perhatiannya ke Kadipaten Wirasaba”.

“Kadipaten Wirasaba? daerah yang sangat kuat pula, tapi jika Mataram mampu menguasainya akan sangat penting pengaruhnya sebagai pancadan sebelum benar-benar menyerang Kadipaten Surabaya”.

“Maka dari itu prajurit sandi ditugaskan bergerak lebih dahulu untuk babat alas ke Kadipaten Wirasaba kakang, agar pasukan Mataram bisa benar-benar membuat perhitungan terhadap kekuatan lawan yang akan dihadapi”.

“Saat ini Mataram memang sudah jauh berkembang, baik secara pemerintahan, luas wilayahnya maupun kekuatan prajuritnya. Semoga, Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dapat mencapai gegayuhannya tanpa harus menimbulkan banyak korban”.

“Meskipun sulit, tapi kita semua wajib berusaha kakang. Karena pada dasarnya sebuah wilayah tidak akan dengan serta merta secara sukarela menyerahkan wilayahnya pada orang atau pemimpin wilayah lain”.

“Kau benar Glagah Putih, tapi kita tetap harus berusaha menghindari korban sebanyak mungkin, apalagi para kawula alit”.

Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar nasehat kakak sepupunya itu hanya bisa mengangguk-angguk saja beberapa kali tanpa menjawab.

Ketika mereka terdiam, tiba-tiba Ki Lurah Glagah Putih mengerutkan keningnya karena samar-samar dari kejauhan terdengar suara derap kaki kuda.

“Padepokan ini tiba-tiba saja menjadi banyak kedatangan tamu” desis Ki Untara.

Tidak lama kemudian dua orang penunggang kuda telah muncul di depan pintu regol Padepokan Orang Bercambuk, setelah mereka turun dari kudanya lalu bertanya kepada cantrik yang bertugas.

“Maaf Ki Sanak, apakah Nyi Sekar Mirah ada? kami prajurit Mataram yang mengemban tugas”.

Kedua cantrik yang mendengar keterangan orang yang baru saja datang tersenyum, lalu salah satu cantrik itu menjawab, “ada Ki Sanak, akan aku panggilkan silahkan kalian tunggu di pendapa”.

“Terima kasih”

Ternyata tidak perlu menunggu lama kedua prajurit itu segera bertemu dengan orang yang mereka cari. Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, kedua prajurit itu menyampaikan keperluannya.

“Maafkan kami jika berani menyusul Nyi Sekar Mirah kemari karena berdasarkan keterangan salah satu bebahu Kademangan Sangkal Putung kau sudah beberapa hari belum pulang”.

“Tidak apa-apa Ki Sanak, aku bisa mengerti”.

“Dan kami minta maaf jika kedatangan kami mengganggu, tapi kami hanya mengemban tugas dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma untuk menyampaikan nawala ini”. berkata salah satu prajurit itu sembari menyerahkan sebuah nawala yang masih terbungkus rapi.

Nyi Sekar Mirah lalu membuka nawala itu dan kemudian membacanya, nampak sesekali dia mengerutkan keningnya lalu mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ternyata kita sebagai kawula Mataram tidak bisa lepas dari tugas dan tanggung jawab”. berkata Nyi Sekar Mirah sembari menarik nafas dalam beberapa kali. Lalu katanya lagi “selain Ki Sanak berdua menyampaikan nawala ini, apakah ada pesan yang lain lagi?”.

“Sejauh pengetahuan kami tidak ada lagi Nyi, hanya itu saja”.

Pembicaraan mereka kemudian terputus saat seorang cantrik menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan, tapi setelah menikmati hidangan itu kedua prajurit segera mohon diri.

“Kalian begitu tergesa-gesa?” berkata Nyi Sekar Mirah.

“Kami hanya menjalankan tugas Nyi, berhubung tugas kami sudah selesai alangkah tidak baik jika kami menunda-nunda waktu untuk kembali”.

Nyi Sekar Mirah yang mendengar jawaban salah satu prajurit itu tersenyum, lalu katanya, “baiklah Ki Sanak, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas nawala yang kau sampaikan dan tolong sampaikan salam hormatku kepada Ki Patih Singaranu”

“Baik Nyi, nanti akan aku sampaikan”.

Kemudian kedua prajurit itu bergegas kembali ke Mataram dengan berkuda, seperti saat keduanya datang. Setelah Nyi Sekar Mirah melepas kedua tamunya kembali, dia pun segera masuk ke ruang dalam.

“Ada kabar apa Sekar Mirah?”. bertanya Nyi Pandan Wangi setelah melihat adik mendiang suaminya kembali.

“Dua orang Prajurit Mataram menyampaikan nawala untuk Kademangan Sangkal Putung mbokayu”.

“Nawala?”

“Benar mbokayu, nawala itu berisi perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma agar aku segera mempersiapkan pasukan cadangan dari Kademangan Sangkal Putung yang akan segera diberangkatkan ke bang wetan”.

“Tanah Perdikan Menoreh pasti akan menerima perintah itu pula”

“Mbokayu benar, tadi dalam nawala yang aku baca, selain Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, ada beberapa daerah lain yang dianggap mampu untuk memasuki peperangan dilibatkan pula. Seperti Ganjur, Tanah Perdikan Matesih, Pegunungan Sewu dan masih banyak lagi”.

“Aku jadi teringat akan Ratri yang telah kembali ke tanah kelahirannya”.

“Oh iya, aku jadi teringat pula akan murid mbokayu itu, semoga dia dalam keadaan baik-baik saja”

“Sekar Mirah, apakah nantinya kau sendiri yang akan memimpin pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung?”.

“Seharusnya memang demikian, tapi….”.

“Tapi mengapa mbokayu Sekar Mirah?” bertanya Nyi Rara Wulan yang ikut menimpali.

“Tetapi aku rasa kurang pantas jika aku ikut dalam rombongan pasukan yang berperang jika dalam rombongan hanya aku sendiri yang perempuan, kecuali ada sangkut  paut keluarga”.

“Benar juga pendapatmu, tapi aku rasa tidak akan menjadi soal karena pasukan Kademangan Sangkal Putung bisa digabungkan bersama pasukan yang berada di Jati Anom yang sekarang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prayabuana”.

“Tadi aku juga sempat berpikir demikian, tapi aku sendiri sebagai orang yang dituakan di kademangan  merasa kurang mapan jika aku tidak mendampingi kawulaku memasuki peperangan”.

“Sebaiknya kita bisa mengesampingkan harga diri untuk kepentingan yang lebih besar”.

“Mbokayu Pandan Wangi benar, tapi alangkah lebih baiknya jika nanti kita bicarakan dengan yang lain”. ucap Nyi Rara Wulan.

Sementara itu beberapa saat setelah matahari tenggelam di Istana Kepatihan, ada seseorang yang berpakaian kurang layak dan memakai caping bambu di kepalanya sembari memikul aku bakar di punggungnya terlihat memasuki pintu gerbang.

Prajurit yang sedang bertugas dengan sigap menghentikan orang asing itu. Setelah orang itu mengamati keadaan sekitar dia pun sedikit membuka capingnya.

“Adi Gambir, jika kau mengenalku tolong sampaikan kedatanganku kepada Ki Patih Singaranu”. berkata orang itu setengah berbisik.

Orang yang dipanggil Gambir terkejut setelah menyadari siapa yang datang setelah melihat wajah yang sangat dikenalnya.

“Marilah Ki Lurah, aku akan menyampaikannya kepada pelayan dalam”.

Ki Patih Singaranu yang memang sudah menunggu tamunya itu segera menyuruh pelayan dalam untuk mengantarnya ke serambi samping dalam istana kepatihan.

Ki Patih pun tersenyum ketika melihat wujud tamu yang ditunggunya itu, “ternyata kau masih suka bermain petak umpet Ki Lurah Glagah Putih”.

Sembari menghaturkan sembah, “Ampun Ki Patih, hamba hanya belajar membiasakan diri agar nantinya jika diperlukan tidak menjadi gugup”.

“Ya..ya sebuah gagasan yang bagus Ki Lurah. Sebelum aku menyampaikan perintah alangkah lebih baiknya jika kita makan malam bersama dahulu”.

“Tapi Ki Patih…”.

“Kau tidak boleh menolaknya”. sergah Ki Patih Singaranu cepat.

Kemudian mereka memasuki ruang makan di kepatihan yang memang telah disiapkan bagi mereka dengan masakan yang sangat lengkap.

Mereka mulai menyantap makanan sembari berbicara tentang kejadian di Padepokan Orang Bercambuk berapa hari yang lalu, dengan runtut Ki Lurah Glagah Putih melaporkan kejadian itu kepada orang kedua di Mataram tersebut.

“Apakah menurutmu tidak ada dugaan ada ontran-ontran lagi dibalik peristiwa itu?” bertanya Ki Patih Singaranu setelah mendengarkan semua laporan.

“Memang tidak menutup kemungkinan itu ada tapi hamba rasa tidak Ki Patih, misalkan pun ada tidak dalam waktu dekat”.

“Apakah kau mengenal sumber ilmu orang itu atau dari perguruan mana mereka berasal?”.

“Sejauh pengetahuan hamba, baru kali ini bertemu dengan jenis ilmu ini, apalagi topeng waja yang menjadi senjata pusakanya yang ngedap-edapi itu seperti hanya ada dalam dongeng pewayangan babad ramayana saja Ki Patih”.

“Kau benar Ki Lurah, aku juga sering mendengar dari dongeng orang-orang tua jenis pusaka yang sama hanya ada dalam babad pewayangan ramayana yang dimiliki Raden Bukbis, dan kebetulan pula mempunyai pengapesan yang sama”.

“Pada saat pertarungan terjadi, penalaran hamba justru tidak sampai memikirkan pengapesan pusaka sejauh itu karena pada waktu itu hamba diselimuti kekhawatiran yang sangat, sehingga memburamkan penalaran yang bening”.

“Lalu siapa yang menyingkirkan Ki Waja Kencana itu?”.

“Bagus Sadewa Ki Patih”.

“Bagus Sadewa?”. bertanya Ki Patih sembari mengerutkan keningnya untuk mengingat-ingat.

“Mungkin nama itu masih asing bagi Ki Patih, tapi tidak dengan ayahnya”.

“Maksud Ki Lurah?”. bertanya Ki Patih Singaranu yang semakin kebingungan.

Ki Lurah Glagah Putih hanya bisa tersenyum melihat kebingungan orang yang berada di hadapannya. lalu, “Bagus Sadewa adalah anak kakang Agung Sedayu”.

“Bukankah dia masih sangat muda?”. Ki Patih semakin heran.

“Demikianlah Ki Patih”.

Ki Patih Singaranu yang mendengar jawaban itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan tidak habis mengerti dengan apa yang telah dilakukan oleh Bagus Sadewa.

“Sekarang pada umurnya yang masih sangat muda anak itu sudah mengejutkan orang-orang tua, memang tidak dapat kita pungkiri karena dalam tubuhnya mengalir darah orang-orang linuwih”.

“Benar Ki Patih”.

“Sekarang aku akan menyampaikan tugas kepada Ki Lurah, kau ditugaskan menyusul prajurit sandi yang sudah lebih dahulu diberangkatkan untuk mengamati Kadipaten Wirasaba”.

“Sendika dawuh Ki Patih”.

“Kita membutuhkan keterangan yang sejelas mungkin tentang kekuatan Kadipaten Wirasaba serta kekuatan pendukung di belakangnya agar kita tidak terjerumus dalam kebodohan kita sendiri, karena berdasarkan keterang petugas sandi daerah itu sudah mulai dimasuki orang asing yang membawa senjata yang sangat aneh, yaitu besi panjang yang dapat melontarkan biji besi yang sangat panas dan mematikan”.

“Hamba juga sudah beberapa kali mendengar tentang senjata yang sangat aneh itu”.

“Kita bukan hanya sekedar berhati-hati terhadap senjata itu Ki Lurah, tapi kita juga harus mewaspadai orang-orang di belakangnya”.

“Hamba Ki Patih”.

“Jangan lupa pula dengan beberapa padepokan di bang wetan yang mendukung kekuatan Kadipaten Wirasaba harus mendapat perhatian khusus pula, karena sebuah padepokan bisa saja mengelabui pengamatan kita”.

“Hamba sependapat dengan Ki Patih, apalagi di daerah bang wetan salah satu padepokan yang sangat kawentar adalah Padepokan Jalatunda yang dipimpin oleh Ki Ageng Jalatunda dapat mengaburkan pengamatan karena murid-muridnya sudah tersebar luas di sekitarnya”.

“Kau wajib berhati-hati jika nantinya bersinggungan dengan padepokan itu Ki Lurah, karena ilmu mereka sudah sangat kawentar nggegirisi, bahkan sudah banyak orang yang menyebut jika Ki Ageng Jalatunda adalah orang yang sudah kalis dari segala rasa sakit bahkan kematian”.

“Apakah benar ada ilmu yang seperti itu Ki Patih?”

“Aku juga meragukannya Ki Lurah, menurut penalaranku itu hanya orang-orang disekitarnya saja yang menggambarkan ilmu Ki Ageng Jalatunda yang saking tingginya dan seakan-akan sundul langit. Karena setinggi apapun ilmu itu pasti mempunyai kelemahan”.

“Ya..ya..Ki Patih Benar, karena segala kesempurnaan hanya milik Yang Maha Agung”.

“Mungkin itulah salah satu alasan mengapa Kadipaten Surabaya sangat sulit untuk ditaklukkan oleh Mataram, tapi Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sudah menyiapkan siasat untuk itu dan itu akan dilaksanakan setelah kita berhasil menguasai Kadipaten Wirasaba”.

Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar keterangan secara naluriah mengangkat wajahnya, tapi segera ditundukkannya lagi karena menyadari pada saat yang bersamaan Ki Patih Singaranu menatapnya pula.

Orang Kedua di Mataram yang menggantikan Ki Patih Mandaraka yang wafat itu tersenyum melihat gerak-gerik lawan bicaranya.

“Aku tahu jika kau penasaran dengan hal itu, dan karena aku menganggap kau adalah salah satu prajurit yang bisa dipercaya, maka akan aku bocorkan sedikit akan hal itu tapi tidak perlu kau sebarkan rencana ini pada yang lain kecuali orang yang berkepentingan”.

“Hamba hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kepercayaan Ki Patih Singaranu”.

“Jika nanti kita sudah berhasil menaklukkan Kadipaten Wirasaba, Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma akan memerintahkan kakak sepupumu untuk membayangi kekuatan Ki Ageng Jalatunda pada saat kita menyerang Kadipaten Surabaya, karena pada saat ini kita tidak bisa mengganggu kakak sepupumu itu”.

Kemudian kedua orang itu menyelesaikan makannya lebih dahulu yang sudah hampir selesai.

“Apakah ada pertanyaan Ki Lurah?”.

“Ampun Ki Patih, apakah ada kemungkinan penaklukkan Kadipaten Wirasaba dilakukan segera?”.

“Aku hampir saja lupa, aku mengerti maksud dari pertanyaanmu itu Ki Lurah. Jadi selain kau diberangkatkan lebih dulu untuk mengamati keadaan, selanjutnya kau dan prajurit sandi yang lain diperintahkan untuk menunggu pasukan Mataram yang segelar sepapan yang akan segera diberangkatkan ke Kadipaten Wirasaba”.

Ki Patih Singaranu lalu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, ternyata sebuah lencana yang dibuat dari logam secara khusus. “Ki Lurah, Meskipun kedudukanmu adalah prajurit yang hanya berpangkat lurah, tapi di mata para petinggi Mataram kau mempunyai penilaian khusus,. Maka dari itu kau mendapat kepercayaan untuk membawa ini”.

“Hamba hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kepercayaan ini, semoga hamba bisa menjalankan kepercayaan ini dengan sebaik-baiknya”. jawab ayah Arya Nakula itu sembari menerima lencana tersebut.

“Jika dalam keadaan terpaksa kau bisa meminta bantuan pasukan dari manapun yang berada di bawah pemerintahan Mataram, jika siapapun ada yang menolak permintaanmu laporkan kepadaku”.

“Sendika dawuh Ki Patih”.

“Sekarang aku persilahkan Ki Lurah untuk beristirahat, karena besok pagi kau akan berangkat ke bang wetan disertai dua orang prajurit, dan besok pagi aku akan melepas keberangkatan kalian”.

Sejenak kemudian Ki Lurah Glagah putih telah berada di dalam sebuah bilik yang berada di bagian belakang gandok sebelah kanan yang menghadap longkangan. Dari bilik itu Ki Lurah Glagah Putih dapat melihat longkangan yang diatur dengan manis. Beberapa batang pohon bunga yang sengaja ditanam bergerombol menurut jenisnya.

Pagi-pagi sekali Ki Lurah Glagah Putih sudah terbangun, segera dia membersihkan diri ke pakiwan untuk kemudian menjalankan kewajiban kepada Yang Maha Agung.

Rasa segan yang dialami ayah Arya Nakula itu ketika diperkenankan bermalam di Dalem Kepatihan adalah ketika pagi-pagi setelah bangun tidur, karena tidak ada kerja yang bisa dilakukannya karena semuanya sudah dikerjakan oleh para abdi Dalem Kepatihan.

Ketika matahari baru beberapa saat terbit, ada pelayan dalam yang datang menemui Ki Lurah Glagah Putih yang sedang berjalan-jalan di sekitar taman kepatihan.

“Selamat pagi Ki Lurah, Jika Ki Lurah sudah siap Ki Patih Singaranu sudah menunggu di serambi kanan”.

“Terima kasih, aku sudah siap dan akan segera menghadap Ki Patih”.

Ketika Ki Lurah Glagah Putih sampai di tempat yang di maksud, ternyata Ki Patih serta dua orang prajurit yang akan menyertainya melawat ke bang wetan sudah menunggu.

“Maaf Ki Patih, jika hamba datang terlambat”. berkata Ki Lurah Glagah Putih sembari menghaturkan sembah, yang kemudian ikut duduk bersila di sebelah dua orang prajurit yang sudah lebih dulu datang.

Ki Patih Singaranu yang mendengar ucapan prajuritnya itu hanya tersenyum, “tidak Ki Lurah, karena kita tidak ada yang memburu waktu, tapi jika bisa kita lakukan lebih awal mengapa harus menunggu nanti”.

“Hamba Ki Patih”. jawab ketiga prajurit itu hampir berbarengan.

“Berhubung sudah berkumpul semua, aku akan langsung berbicara tentang tugas kalian”.

“Kami akan berusaha menjalankan segala titah dengan sebaik-baiknya Ki Patih”. jawab mereka hampir bersamaan sembari badannya sedikit membungkuk dan menghaturkan sembah.

“Aku atas nama Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma, memerintahkan kalian untuk melawat ke Kadipaten Wirasaba, selain kalian bertugas untuk mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan tentang kekuatan Wirasaba, kalian juga ditugaskan membantu pasukan Mataram menaklukkan daerah tersebut jika nanti perang pecah, khususnya untuk Ki Lurah Glagah Putih”.

“Hamba Ki Patih”.

“Karena setelah keberangkatan kalian, pasukan Mataram dengan segelar sepapan akan segera menyusul kalian, jadi kalian harus selalu terhubung dengan para prajurit penghubung dengan cara dan isyarat yang telah disepakati”.

“Sendika dawuh Ki Patih”.

“Ki Lurah Glagah Putih, kau akan disertai Ki Lurah Jatisrana yang akan mengantarmu kepada pemimpin prajurit sandi yang sudah ditugaskan di sana untuk kemudian kau bergabung dengan mereka, apakah kalian ada pertanyaan?”.

“Ampun Ki Patih, kami rasa sudah cukup jelas”. jawab Ki Lurah Glagah Putih.

“Jika demikian, setelah makan pagi aku akan melepas keberangkatan kalian”. Lalu Ki Patih Singaranu memberikan isyarat kepada pelayan dalam.

Dengan membawa sesuatu di atas nampan, pelayan dalam itu mendekat kepada Ki Patih Singaranu dengan jalan berjongkok, lalu menghaturkannya.

“Ki Lurah Glagah Putih, bawalah yang tidak seberapa ini sebagai tambahan bekal di perjalanan”. ucap Ki Patih Singaranu sembari menyerahkan sebuah kantong kecil yang diikat sebuah tali kain berisi beberapa keping uang.

Ki Lurah Glagah Putih yang namanya disebut justru menjadi termangu-mangu. “kau tidak perlu sungkan Ki Lurah, memang tidak seberapa tapi mungkin bisa berguna di perjalananmu nanti”.

“Hamba hanya dapat mengucapkan terima kasih Ki Patih”. jawab Ki Lurah Glagah Putih sembari menerima pemberian itu.

“Ki Lurah Jatisrana, ini untuk tambahan bekalmu dan bekal kawanmu itu”.

“Hamba Ki Patih, tapi bekal yang kemarin waktu hamba berangkat masih ada Ki Patih”. jawabnya sedikit terkejut namanya disebut.

“Terimalah Ki Lurah Jatisrana, mungkin saja akan berguna di perjalananmu. Karena sebagai prajurit sandi kau tidak cukup hanya berbekal untuk membeli makanan dan minuman saja di sepanjang perjalanan, tapi terkadang kau perlu pula untuk membayar orang agar mendapatkan keterangan yang kau perlukan”.

“Kami hanya bisa mengucapkan terima kasih Ki Patih”.

“Sekarang aku persilahkan kalian makan pagi terlebih dahulu sebelum berangkat, karena aku tidak ikut bepergian jadi merasa masih terlalu pagi jika ikut kalian makan”. berkata Ki Patih Singaranu yang kemudian memberikan isyarat kepada pelayan dalam untuk mengantarkan mereka.

Setelah mereka selesai makan pagi, mereka kembali ke tempat Ki Patih Singaranu yang masih berada di serambi.

“Tunggulah sebentar, abdi kepatihan sedang menyiapkan kuda bagi kalian agar perjalanan kalian lebih cepat”.

Tidak lama mereka menunggu, pelayan dalam datang untuk memberitahukan bahwa kuda-kuda yang akan dipergunakan sudah siap di halaman.

Mereka pun kemudian bergegas keluar Istana Kepatihan, dimana kuda-kuda itu ditambatkan di halaman. Setelah mohon diri ketiga prajurit itu kemudian berangkat untuk melawat ke bang wetan, tepatnya ke Kadipaten Wirasaba.

*  *  *

Sementara beberapa kademangan dan pasukan Mataram yang berada di beberapa daerah sudah mulai menunjukkan kesibukannya setelah mendapat perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma untuk melawat ke bang wetan.

Tanah Perdikan Menoreh termasuk salah satu daerah yang ikut menjadi sibuk dengan perintah tersebut. Ki Gede Menoreh yang sudah sangat sepuh itu pun memanggil Prastawa sebagai kepala pemimpin pengawal.

“Prastawa, aku memanggilmu karena tadi siang telah datang utusan dari Mataram dengan membawa perintah untuk kita segera menyiapkan pasukan yang akan diberangkatkan ke bang wetan”.

“Kapan pasukan itu akan diberangkatkan, Paman?”.“Pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang akan bergabung dengan kesatuan Pasukan Khusus harus tiba di Mataram sepekan lagi”.

“Begitu cepatnya”. Ki Prastawa berdesis.

“Demikianlah Prastawa, tetapi bagaimanapun juga kita harus selalu menjunjung tinggi segala perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Sepertinya sudah lebih dari sepekan mbokayu Pandan Wangi belum juga ada tanda-tanda akan pulang”.

“Mungkin dia belum bisa melepas kerinduannya dengan keluarga disana sehingga belum berniat untuk kembali”.

“Iya Paman, semoga saja mbokayu Pandan Wangi dan rombongan tidak menemui hambatan di sepanjang perjalanan”.

“Semoga saja Prastawa, mari kita sama-sama nenuwun”. Ki argapati berhenti sejenak, lalu katanya lagi, “Aku juga sudah membuat hubungan dengan Pasukan Khusus, agar nanti malam kita bisa bicarakan bersama persiapannya”.

“Baik Paman, nanti malam aku akan kembali lagi bersama Ayah”.

“Baiklah, aku tunggu nanti malam”.

Ketika malam waktu wayah sepi bocah tiba, di pendapa rumah Ki Gede Menoreh sudah berkumpul orang-orang yang diundang, Ki Prastawa, Ki Argajaya, beberapa bebahu Tanah Perdikan Menoreh serta perwakilan dari Pasukan Khusus yang kebetulan dihadiri langsung oleh Ki Tumenggung Suratani bersama dua pengawal kepercayaannya.

Setelah mereka menanyakan keselamatan masing-masing, baru kemudian mereka sempat berkelakar sebelum memulai acara utama, yang akan membicarakan persiapan pasukan secara bersama antara prajurit Pasukan Khusus dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mendapat waktu sangat sempit.

“Ki Tumenggung Suratani, aku minta maaf yang telah deksura berani mengundangmu datang kemari”. berkata Ki Gede Menoreh yang memulai pembicaraan.

“Ah..jangan begitu Ki Gede, sudah sepantasnya memang demikian. Aku atas nama Pasukan Khusus justru mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede dan seluruh kawula Tanah Perdikan Menoreh yang senantiasa menjaga hubungan baik ini”.

“Syukurlah jika Ki Tumenggung Suratani menyambutnya dengan Baik”.

“Ki Gede, meskipun aku belum terlalu lama bertugas di Tanah Perdikan Menoreh ini, tapi aku merasa ada rasa kekeluargaan yang begitu kuat yang terjalin antara Pasukan Khusus dengan seluruh kawula tanah perdikan ini”.

“Haha…panggraita Ki Tumenggung memang sangat tajam”. Ki Argapati menanggapi.

“Bukan begitu Ki Gede, aku hanya mencocokkan cerita-cerita yang berkembang disini lalu mendorongku pada sebuah kesimpulan”.

“Demikianlah Ki Tumenggung, mungkin karena pemimpin Pasukan Khusus yang dulu, terbiasa berbaur dengan kawula tanah ini sehingga rasa kekeluargaan itu tumbuh dengan sendirinya”.

Orang-orang yang mendengar ucapan Ki Gede Menoreh itu hanya mengangguk-anggukan kepala saja, kemudian pembicaraan mereka sempat terputus ketika dua pembantu Ki Argapati  menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Setelah mereka menikmati hidangan yang disuguhkan beberapa saat, lalu mereka mulai membicarakan masalah utama pertemuan itu.

“Bagaimana menurut Ki Tumenggung persiapan pasukan yang akan kita lakukan bersama?”. bertanya Ki Gede Menoreh yang terlihat sudah semakin sepuh itu.

“Aku rasa pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh sudah sangat siap memasuki arena peperangan, karena aku tahu meskipun mereka bukan prajurit tapi kemampuan mereka bisa disejajarkan dengan para prajurit, dan kita hanya perlu mengatur kapan waktunya keberangkatan ke Mataram secara bersama-sama”.

“Berhubung tanah perdikan ini pemangku jabatan sementaranya adalah seorang perempuan, apakah perlu disertakan? bagaimana baiknya menurut pendapat Ki Tumenggung Suratani”.

“Menurut penalaranku, jika ikut akan baik tapi jika tidak pun tidak menjadi masalah karena kedudukan itu bisa ditutupi dengan keberadaan Ki Prastawa sebagai kepala pemimpin pengawal”.

“Syukurlah jika demikian, apalagi hingga hari ini Pandan Wangi belum juga pulang dari Jati Anom”.

“Itu tidak akan menjadi soal Ki Gede, sebaiknya kita siapkan orang-orang yang ada saja, agar tidak mengganggu persiapan”.

“Aku setuju Ki Tumenggung, kapan pasukan akan di berangkatkan?”

“Jika menurut perintah, sepekan lagi kita sudah harus berada di Mataram, berhubung pasukan ini cukup besar, aku kira tiga hari lagi harusnya sudah ada pasukan yang diberangkatkan”.

“Apakah kita akan mengerahkan seluruh pasukan, Ki Tumenggung?”. bertanya Ki Prastawa yang sedari tadi lebih banyak berdiam diri.

“Tidak Ki Prastawa, kita harus tetap menjaga kelangsungan keamanan tanah ini, aku kira kita harus meninggalkan sepertiga dari seluruh pasukan untuk itu”.

“Baiklah Ki Tumenggung Suratani, sepertinya kita mempunyai gagasan yang sama sehingga tidak menimbulkan gejolak yang harus dibicarakan lagi”.

Setelah beberapa lama, akhirnya pembicaraan mereka sampai pada ujung pertemuan. Lalu Ki  Tumenggung Suratani mohon diri dari tempat Ki Gede Menoreh selepas wayah sepi wong.

 *  *  *

Sementara di Padepokan Orang Bercambuk, selepas wayah sepi wong Bayu Swandana mulai membuka matanya perlahan-lahan, pandangannya masih buram melihat keadaan sekitarnya, apalagi ruangan itu hanya terdapat satu lampu dlupak yang diletakkan di ujung bilik.

Dia mulai mengingat-ingat apa yang terjadi dengan dirinya sembari mengerjap-ngerjapkan matanya, ketika dia akan bergerak badannya masih terasa sangat lemah, bahkan untuk menggerakkan kepalanya saja masih dengan susah payah.

Cucu Ki Gede Menoreh itu hanya bisa mendengus lemah saat menyadari keadaannya, rasa haus yang sangat membuat tenggorokannya seakan-akan terasa kering, tapi untuk menggerakkan badannya saja dia masih merasa kesulitan.

Tetapi Bayu Swandana adalah anak dari mendiang Ki Swandaru yang tidak pernah menyerah pada keadaan, semakin lama dia pun mulai bisa menggerakkan tangan kanannya meskipun masih sangat perlahan.

Gerakan tangan Bayu Swandana itu rupanya mengejutkan Nyi Pandan Wangi yang tertidur di sebelahnya karena salah satu ujung tangannya menempel  pada tangan anaknya yang bergerak itu.

“Kau sudah sadar ngger? apakah kau membutuhkan sesuatu?”. bertanya Nyi Pandan Wangi yang tanpa dia sadari dari ujung matanya mulai basah.

“Ada apa mbokayu Pandan Wangi?”. bertanya Nyi Rara Wulan yang ikut terbangun pula dari tidurnya di dingklik bersandar dinding bilik.

“Rara Wulan, tolong panggilkan Ki Agahan”.

“Baik mbokayu”.

Tidak lama kemudian ibu Arya Nakula itu kembali bersama dengan orang yang dicarinya.

“Maaf Nyi, aku akan memeriksa keadaan anakmas bayu Swandana dulu”.

“Silahkan Ki Agahan”. jawab kedua perempuan itu hampir bersamaan, karena kebetulan malam itu Nyi Sekar Mirah beristirahat di biliknya sendiri.

Ki Agahan lalu mulai meraba beberapa titik urat-urat nadi Bayu Swandana dengan seksama dan hati-hati.

“Aku akan mengambil air hangat dulu Nyi, Sepertinya anakmas Bayu Swandana sangat kehausan setelah beberapa lama tidak sadarkan diri”.

“Biar aku saja Ki Agahan, sekalian aku juga ingin mengambil minuman hangat”.

“Maaf Nyi  Lurah, aku tidak berniat menyuruh”.

“Tidak apa-apa Ki Agahan, kebetulan aku juga merasa haus”.

“Terima kasih Nyi”.

“Ki Agahan, bagaimana keadaan Bayu Swandana sekarang?”.

“Nyi Pandan Wangi sudah tidak perlu merasa khawatir lagi, sebenarnya racun yang ada di tubuhnya sudah teratasi oleh obat penawar, tapi untuk lebih meyakinkan kita tunggu perkembangannya besok”.

“Jika racunnya sudah habis, tapi mengapa aku lihat tubuhnya masih sangat sulit untuk digerakkan?”.

“Itu adalah akibat yang wajar dari pengaruh obat yang bekerja menawarkan racun di dalam tubuhnya Nyi, tapi jika nanti racunnya sudah benar-benar tuntas aku akan memberinya obat penguat daya tahan tubuh agar tubuhnya bisa segera segar kembali”.

“Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih Ki Agahan, ternyata Ki Agahan sangat berbakat pula dalam ilmu pengobatan”.

Pembicaraan mereka terputus saat Nyi Lurah Glagah Putih memasuki bilik yang kali ini bersama Nyi Sekar Mirah setelah tadi sempat beristirahat beberapa saat.

“Bagaimana keadaan Bayu Swandana Ki Agahan?”. bertanya Nyi Sekar Mirah.

Orang yang mendapat pertanyaan itu kemudian menjelaskan seperti apa yang dia sampaikan pada Nyi Pandan Wangi tadi.

“Kita semua wajib bersyukur  kepada Yang Maha Agung, dan mari kita sama-sama nenuwun”. ucap Nyi Pandan Wangi setelah Ki Agahan selesai bicara.

“Maaf Nyi, aku minta tolong dibantu untuk mendudukkan anakmas Bayu Swandana, untuk memudahkan dia minum”.

Nyi Pandan Wangi lalu duduk di belakang Bayu Swandana dan menjaga posisinya agar tetap dalam keadaan duduk, supaya tidak tersedak saat dia minum.

“Agar tubuhnya tidak menjadi terkejut, aku harus sedikit demi sedikit memberinya minum secara bertahap”.

“Kami percayakan semuanya pada Ki Agahan”.

“Ki Agahan, bagaimana dengan luka kakang Untara?”. bertanya Nyi Sekar Mirah.

“Sudah semakin membaik Nyi, dan kebetulan Ki Untara mau mengikuti pesanku agar jangan sampai membuka matanya dulu, karena jika memaksakan diri bisa berakibat sangat buruk, sepertinya besok  dia sudah bisa mulai membuka matanya”.

“Luar biasa sekali ilmu Ki Waja Kencana, bahkan hanya beradu pandang mata tidak sampai sekejap saja sudah mengakibatkan kakang Untara terluka berat”. Nyi Pandan Wangi menimpali.

“Benar sekali Nyi Pandan Wangi, aku sendiri pun tidak pernah mengira jika padepokan ini akan kedatangan tamu yang mempunyai ilmu yang sangat aneh dan ngedap-edapi seperti itu”.

“Meskipun begitu kita wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung, karena kita bisa melewati bencana itu”.

Orang-orang yang mendengarnya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja menyetujui yang disampaikan putri satu-satunya Ki Gede Menoreh tersebut.

*  *  *

Sementara di tempat lain, pada sebuah padukuhan kecil Gunung Tidar, malam itu rumah tua yang nampak sepi hanya diterangi lampu minyak yang hanya mampu menerangi seisi ruangan saja.

Rumah tua Kyai Pujangkara yang sering mendapat bantuan dari anak tetangga untuk mengurus rumah, sawah, dan sebuah kolam ikan yang berada di belakang rumah pada saat pemilik rumahnya bepergian, salah satunya adalah menyalakan lampu ketika malam tiba.

Meskipun pada awalnya anak tetangga merasakan banyak hal-hal aneh yang di luar penalarannya, tapi dia tidak pernah berani bertanya sesuai dengan pesan orang tuanya.

Menjelang wayah madya ratri, tiba-tiba Kyai Pujangkara telah kembali dan terlihat duduk pada kursi kayu khususnya dengan mata masih terpejam.

Setelah beberapa saat Kyai yang aneh itu mengurai pemusatan nalar budinya, baru kemudian dia mulai membuka matanya secara perlahan.

“Untunglah aku masih sempat menyusulnya, sehingga dia tidak jadi tersesat jalan”. membatin Kyai Pujangkara.

Tidak lama kemudian Begawan Mayangkara pun kembali pula dengan keadaan yang sama pada saat dia pergi, duduk bersila di bangku kayunya.

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas bantuan Kyai, beruntunglah Kyai menyusulku, jika tidak aku tidak tahu akan tersesat sampai dimana”.

“Berterima kasihlah kepada Yang Maha Agung, Senggana. Karena aku hanya sekedar lantaran saja’.

“Iya Kyai”.

“Sekarang apakah kau sudah puas dengan jawaban yang kau cari itu?”.

“Sudah Kyai, sekarang aku menjadi benar-benar tenang menunggu hari-hari terakhirku, karena apa yang menjadi pertanyaan besar dalam hidupku selama ini sudah terjawab”.

“Kini kau tinggal melaksanakan tugas yang sudah tersirat pada mimpimu itu pada waktunya nanti”.

“Maaf Kyai, aku mohon petunjuk bagaimana harus memulai melaksanakan semua itu”.

Kyai Pujangkara yang mendapat pertanyaan itu terdiam sejenak, setelah mengangguk-angguk beberapa kali baru dia menjawab.

“Senggana, setelah aku teliti pada saatnya nanti kau harus menjalani laku prihatin, yaitu tapa ngrame”.

“Tapa ngrame?”.

“Benar Senggana, ikutilah kata hatimu, cepat atau lambat kau pasti akan menemukan jawabannya”.

“Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan petunjuk Kyai, dan aku minta restu agar aku bisa melaksanakan semua itu dengan sebaik-baiknya”.

“Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan minuman hangat agar tubuhmu menjadi segar, karena pengetrapan ajian Asmaraghotra memang sangat menguras tenaga, apalagi yang baru pertama kali”. ucap Kyai Pujangkara yang kemudian bergegas berdiri.

“Biarlah aku saja Kyai yang membuat minumannya”.

“Hahaha…alangkah deksuranya aku sebagai tuan rumah jika menyuruhmu, tapi silahkan saja jika kau mau mengawaniku di dapur”. berkata Kyai Pujangkara sembari berjalan menuju dapur.

Ternyata mereka tidak perlu menunggu lama hingga airnya mendidih, karena di dapur itu banyak terdapat ranting kering dan blarak daun kelapa.

Setelah mereka selesai membuat minuman hangat, mereka kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan pembicaraan yang tadi terputus.

“Maaf Kyai, jika diizinkan aku ingin nyuwitha disini barang satu atau dua hari”. ucap Begawan Mayangkara memulai pembicaraan lagi.

“Silahkan saja Senggana, tapi beginilah keadaan gubukku ini”.

“Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini Kyai, aku hanya ingin sejenak menghindar dari tempat tinggalku karena aku merasa kurang mapan saja saat ini dengan suasana di tempatku”.

“Apakah ada masalah di tempat tinggalmu?”. bertanya Kyai Pujangkara sedikit heran.

“Tidak ada masalah apa-apa Kyai, hanya suasananya saja yang sedang kurang mapan bagiku karena ada sepasang pengantin baru”.

“Pengantin baru katamu? pengantin siapa?”. bertanya Kyai Pujangkara yang semakin heran, karena selama ini yang dia ketahui dia hanya tinggal sendiri di Kendalisada.

“Anjani”.

“O…apakah dia yang dulu menjadi selirnya Raden Mas Rangsang sebelum naik tahta?”.

“Benar Kyai, tapi pada saat dulu Pangeran Pati akan naik tahta di Mataram terjadi ontran-ontran, dia memilih menyingkir ke tempatku hingga saat ini”.

“Mungkin dia merasa aman saat berada di tempatmu, apalagi dulu sebelum menjadi selir sempat mendapat bimbinganmu”.

“Dan setelah ontran-ontran itu selesai dia tetap memilih untuk tinggal di Kendalisada, hingga akhirnya sekarang dia telah mendapatkan pasangan hidupnya lagi setelah dilepas oleh Raden Mas Rangsang sebagai selirnya sebelum naik tahta”.

“Ya..ya..aku pernah mendengarnya pula”.

 *  *  *

Dalam pada itu, di Padepokan Orang Bercambuk pada waktu matahari baru saja terbit, Bayu Swandana sudah mulai terlihat membuka mata di pembaringannya.

Ki Agahan yang merawatnya dengan sabar selalu melihat perkembangan kesehatan cucu Ki Gede Menoreh tersebut.

“Agar tubuhnya tidak terkejut, aku akan menyuruh seorang cantrik untuk membuatkan bubur halus untuk makan anakmas Bayu Swandana. Karena sudah beberapa hari perutnya tidak terisi makanan sama sekali”.

“Biar aku saja Ki Agahan, sekalian aku ingin ke pakiwan”.

“Ah..aku tidak bermaksud menyuruh Nyi Pandan Wangi”. ucap Ki Agahan yang menjadi sedikit segan.

“Tidak apa-apa Ki Agahan, lagipula aku akan membuatkan bubur untuk anakku sendiri, apakah itu salah?”.

Ki Agahan yang mendapat pertanyaan tersebut tidak menjawab, tapi wajahnya menjadi sedikit memerah.

“Aku juga ikut ke dapur, apakah kalian mau jika aku memasak nasi  jagung?”

“Pasti itu akan terasa enak sekali Sekar Mirah, karena aku sudah lama sekali tidak memakannya”. jawab NyI Pandan Wangi.

“Mbokayu Sekar Mirah sangat pandai menggugah selera makan orang, aku sudah lama pula tidak memakan nasi jagung dengan urap daun singkong dan daun lembayung serta ikan asin yang digoreng”. Nyi Rara Wulan ikut menimpali.

“Bukankah jagungnya harus ditumbuk halus lebih dahulu Nyi? apakah itu tidak akan memakan waktu yang panjang?”. bertanya Ki Agahan.

“Ki Agahan tidak perlu khawatir, karena kemarin aku sudah meminta tolong pada salah satu cantrik untuk menumbukkan jagung, dan sekarang pasti sudah siap”.

“Betapa senangnya jika aku bisa ikut menikmatinya”. berkata Ki Agahan yang kemudian tertawa.

Ketiga perempuan yang mendengar kelakar Ki Agahan pun kemudian ikut tertawa. Lalu mereka bergegas pergi meninggalkan bilik tempat Bayu Swandana berbaring.

Tidak lama setelah ketiga perempuan itu keluar, Bagus Sadewa dan Arya Nakula memasuki bilik itu yang pintunya memang sengaja tidak diselarak dari dalam.

“Bagaimana keadaan adi Bayu Swandana paman Agahan?”. bertanya Bagus Sadewa.

“Sudah mulai sembuh ngger.  silahkan, silahkan masuk”. jawab Ki Agahan ramah.

“Ternyata paman Agahan sangat pandai mengobati orang yang terluka”. berkata Arya Nakula.

“Aku hanya berusaha saja ngger, tapi Yang Maha Agunglah yang memberinya kesembuhan”. jawab Ki agahan sembari tersenyum.

Bayu Swandana yang masih dalam keadaan lemah melihat kedatangan dua anak itu tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pucat.

Setelah beberapa lama mereka berbicara sembari berkelakar, Nyi Pandan Wangi memasuki bilik itu sembari membawa semangkuk bubur halus.

“Kalian disini rupanya, apakah kalian mau makan bubur halus?”. bertanya Nyi Pandan Wangi.

“Tidak bibi, jika aku makan bubur halus aku rasanya seperti orang sakit”.

“Hehe…bukan begitu ngger, bubur halus itu untuk siapa saja dan bukan untuk orang yang sakit saja”.

“Tidak Bibi, untuk kakang Bayu Swandana saja supaya lekas sehat”. jawab Arya Nakula.

Kemudian Nyi Pandan Wangi membantu Bayu Swandana untuk duduk, karena akan makan lalu menyuapinya dengan sabar.

“Bibi Pandan Wangi, mengapa kakang Bayu Swandana sudah besar tapi makannya masih saja harus disuap?”. bertanya Arya Nakula polos.

Nyi Pandan Wangi yang mendapat pertanyaan itu tersenyum. Lalu katanya, “karena kakang Bayu Swandana masih sakit ngger”.

“Jangan kau kira aku anak yang manja Arya Nakula”. berkata Bayu Swandana yang merasa dianggap manja.

Semakin lama bubur halus yang berada di mangkuk itu habis pula di tangan Nyi Pandan Wangi.

“Apakah kau akan nambah lagi ngger?”. bertanya Nyi Pandan Wangi Pada anaknya.

“Tidak Ibu”

“Nanti setelah kau selesai makan, kau harus minum obat yang berguna untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuhmu segera ngger”. ucap Ki Agahan.

“Terima kasih Paman”. ucap Bayu Swandana.

Beberapa saat kemudian Nyi Rara wulan datang untuk memberitahukan bahwa nasi jagung sudah masak dan sudah siap di ruang dalam.

“Nasi jagung? bagaimana rasanya Ibu?”. bertanya Arya Nakula yang merasa belum pernah memakannya.

“Rasakan saja sendiri ngger, nanti kau akan mengetahuinya sendiri”.

Orang-orang yang berada di bilik itu kemudian bergegas ke ruang dalam kecuali Bayu Swandana yang masih terbaring sakit, untuk menikmati nasi jagung lengkap dengan segala lauk pauknya.

Arya Nakula yang masih merasa aneh dengan apa yang akan dimakan, mengambil sedikit saja untuk mencicipi lebih dahulu ke dalam piring yang terbuat dari tanah liat itu dengan urap daun singkong dan lembayung serta sepotong ikan asin.

“Ternyata nikmat juga nasi jagung ini”. ucap Arya Nakula yang membuat orang-orang disekitarnya tersenyum.

“Apakah kau menyukainya ngger?”. bertanya Nyi Rara Wulan pada anak satu-satunya.

“Iya ibu, rasanya aku ingin nambah lagi”.

“Nanti jika kita sudah pulang, jika kau menginginkannya, kau harus menumbuk jagungnya lebih dahulu”. ucap ibu Arya Nakula.

“Baiklah Ibu, nanti aku akan minta bantuan Kakek Jayaraga”.

“Kakek akan membantu mengawasi kau menumbuk ngger”. jawab Ki Jayaraga yang membuat orang-orang yang mendengarnya tertawa.

“Nasi jagung ini memang terasa nikmat sekali, lain kali kita bisa membuatnya lagi”. ucap Bagaskara.

“Kakang Bagaskara harus menumbuk jagungnya dulu jika ingin makan nasi jagung”. Arya Nakula menimpali.

“Jika aku yang menumbuk jagungnya, tidak hanya untuk sebakul tapi untuk seisi padepokan”. kelakar Bagaskara yang tidak mau kalah, lalu tertawa berkepanjangan.

Setelah mereka selesai makan pagi yang sangat nikmat bersama orang-orang terdekat, kemudian mereka kembali ke tugasnya masing-masing.

Ki Agahan menjenguk Ki Untara yang masih terluka dan berbaring di biliknya.

“Apakah Ki Untara sudah makan pagi?”. bertanya Ki Agahan setelah berada dalam bilik.

“Baru saja selesai”.

“Sehubungan dengan luka Ki Untara, apa yang masih dirasakan?”.

“Panas pada tubuhku sudah jauh menurun, bahkan sudah hampir tidak terasa lagi”.

“Bagaimana pada sekitar wajah?”.

“Aku rasa sudah tidak tidak lagi terasa panas dan aliran darahnya sudah mulai lancar”.

“Jika demikian, sekarang silahkan Ki Untara minum obat lagi, tunggulah beberapa saat baru kemudian cobalah mulai membuka mata”.

“Baiklah”.

Ki Untara minum obat yang diberikan oleh Ki Agahan, lalu kembali berbaring di amben bambu dengan mata masih dalam keadaan tertutup.

Tiba-tiba pintu bilik tidak diselarak dari dalam itu terdengar diketuk.

“Silahkan ngger, masuklah kalian berdua”. berkata Ki Agahan yang melihat Bagus Sadewa dan Arya Nakula sudah berdiri di depan pintu bilik.

“Terima kasih Paman Agahan. Bagaimana keadaan Paman Untara sekarang?”. bertanya Bagus Sadewa setelah berada di samping Ki Untara.

“Sudah jauh lebih baik, sebentar lagi aku sudah diizinkan Ki Agahan untuk membuka mata”.

“Syukurlah kalau begitu. aku ikut berprihatin akan keadaan Paman Untara”. ucap Bagus Sadewa.

“Terima kasih ngger. Bagaimana dengan keadaan Bayu Swandana?”. Ki Untara balik bertanya.

“Sudah mulai sembuh Paman, berkat pengobatan Paman Agahan”.

“Paman Agahan sudah mulai mengikuti jejak Ayahmu yang juga pandai dalam ilmu pengobatan”.

“Ah..aku hanya bisa berusaha saja Ki Untara”.

Ki Untara yang mendengar ucapan Ki Agahan hanya tertawa berkepanjangan. Lalu katanya, “penyakit Kyai Gringsing sudah melekat pada Ki Agahan rupanya”. kedua orang tua itu pun tertawa.

“Ki Untara, sekarang aku persilakan kau membuka mata secara perlahan-lahan”. ucap Ki Agahan setelah tertawa mereka mereda.

Kemudian Ki Untara pun secara perlahan-lahan membuka kedua matanya sesuai petunjuk pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu sepeninggal Ki Widura.

Pertama-tama Ki Untara hanya melihat langit-langit bilik dengan pandangan yang masih kurang jelas, setelah mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali secara perlahan, pandangan matanya menjadi semakin jelas.

Ki Agahan sengaja membiarkan saja beberapa saat apa yang dilakukan oleh ayah Umbara untuk menyadari keadaannya, “bagaimana Ki Untara?”.

Ki Untara tidak segera menjawab, tapi dia bangkit dari pembaringannya untuk duduk di pinggir amben. Dia masih ingin meyakinkan keadaannya sebelum memberikan jawaban.

“Aku rasa aku sudah sembuh benar Ki Agahan. Bahkan aku rasa pandangan mataku sekarang lebih jelas dari biasanya”.

“Syukurlah…kita semua wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung atas segala kemurahanNya”.

“Benar sekali Ki Agahan, kita semua wajib bersyukur”.

“Kami ikut merasa senang atas kesembuhan Paman Untara”. ucap Bagus Sadewa.

“Terima Kasih ngger”.

“Daya tahan tubuh Ki Untara memang luar biasa. aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika itu menimpa orang lain”.

“Hanya atas welas asihNya sajalah aku bisa melewati semua ini Ki Agahan”.

Untuk beberapa saat kemudian mereka berbincang apa saja yang menarik bagi mereka, hingga pada suatu ketika Ki Untara teringat akan sesuatu.

“Bagus Sadewa, ada sesuatu yang menggelitik hatiku yang ingin aku tanyakan padamu”.

“Katakan saja paman, semoga aku bisa menjawabnya”.

“Apa yang membuatmu bisa mengalahkan Ki Waja Kencana dengan caramu itu?”.

“Aku juga tidak tahu Paman, tiba-tiba saja aku teringat akan dongeng dari Ayah waktu dulu aku masih kecil tentang dongeng pewayangan yang menceritakan tentang anak Prabu Dasamuka yang bernama Raden Bukbis yang memiliki senjata pusaka yang hampir sama dengan Ki Waja Kencana”.

“Kami para orang tua benar-benar terkejut dengan apa yang kau lakukan itu, bahkan kami orang-orang tua tidak sempat mempunyai penalaran hingga sejauh itu”.

“Mungkin hanya kebetulan saja Paman, aku mengingatnya. Lalu aku mencoba memberanikan diri untuk membantu”.

Ki Untara dan Ki Agahan yang mendengar jawaban dari Bagus Sadewa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja dan tidak habis mengerti meskipun sudah mendengar sendiri jawaban dari anak tersebut.

 *  *  *

Sementara itu di Kotaraja Mataram sudah mulai nampak kesibukan para prajurit yang ikut mengemban tugas ke bang wetan. Sebagian prajurit dari beberapa daerah di sekitar Mataram sudah mulai ada yang berdatangan.

Pasukan prajurit yang berasal dari berbagai daerah itu ditempatkan di barak-barak pasukan yang sudah disediakan. Mereka menunggu pasukan lain yang akan datang selanjutnya sembari menunggu titah selanjutnya.

Pasukan dari Kademangan Ganjur yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Sanggawira, yang kebetulan anak dari Ki Tumenggung Ranawira bekas senopati Mataram yang dulu sangat disegani tapi sudah purna tugas karena umurnya.

Jika orang yang belum pernah mengenal keduanya memang akan merasa aneh karena kedudukan mereka. Tapi jika mereka mengetahui jika dulu Ki Tumenggung Ranawira sudah mempunyai seorang anak pada saat umurnya masih terhitung muda tidak akan menjadi heran.

Ki Tumenggung Sanggawira sudah menjadi seorang lurah prajurit saat ayahnya diangkat oleh petinggi Mataram menjadi seorang Tumenggung. Jadi tidak mengherankan jika sekarang dia sudah menjadi Tumenggung setelah sekian lama ayahnya purna tugas dari keprajuritan.

Kedatangan para prajurit Mataram itu disambut dengan baik oleh para perwira yang bertugas menerima pasukan yang datang. Mereka ditempatkan pada barak-barak sesuai dengan kelompoknya masing-masing agar tidak terjadi tumpah suh jika nanti semakin banyak pasukan prajurit yang berdatangan.

Setiap pasukan di bawah tanggung jawab setiap senopatinya masing-masing, baik untuk persenjataan, perbekalan dan keperluan lainnya yang kemudian akan dilaporkan kepada petinggi Mataram.

Semakin hari Kotaraja Mataram menjadi semakin ramai dengan kedatangan para prajurit dari berbagai daerah yang akan mengemban titah dari Kanjeng Sinuhun Mataram.

Para prajurit yang berasal dari berbagai daerah itu menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar Kotaraja pada waktu senggang untuk mengusir kejenuhan setelah selesai melaksanakan tugas.

Mereka yang jarang mendapatkan kesempatan pergi ke Kotaraja sangat gembira. Tentu karena pemandangan yang  sangat berbeda dengan daerah-daerah yang jauh dari keramaian, karena di daerah lebih banyak akan pemandangan sawah atau pategalan yang menghampar.

Di Kotaraja mereka dapat menemukan berbagai keramaian hingga hampir ke sudut-sudut kotanya, bahkan hingga malam telah tiba masih banyak para penjual yang menjajakan dagangannya, dari berbagai jenis makanan hingga hasil kerajinan tangan.

Alun-alun Kotaraja sangat asri dengan beberapa pohon besar yang tumbuh. Pada sore itu salah satu sudut ada penjual kacang rebus dan jagung bakar yang sedang sibuk melayani pembeli. 

Keramaian puncak alun-alun biasanya terjadi pada sore hari, karena orang-orang Kotaraja akan lebih senang berjalan-jalan bersama keluarganya setelah pada siang hari mereka menyelesaikan pekerjaan masing-masing.

Kedatangan para pasukan prajurit Mataram yang berasal dari berbagai daerah menambah keramaian Kotaraja. Apalagi bagi sebagian prajurit yang baru pertama kali merasa gembira sekali, dan mereka tidak mau melewatkan kesempatan melihat-lihat keindahannya.

Pada hari terakhir yang ditetapkan untuk seluruh pasukan prajurit yang akan diberangkatkan menuju medan perang tampak sudah mulai berdatangan dari pagi.

Setiap pasukan yang baru saja datang segera melaporkan kedatangannya yang diwakili oleh senopatinya masing-masing kepada perwira yang mengurusnya untuk kemudian laporan akan diteruskan kepada pejabat tertinggi Mataram.

Sementara itu di ruang dalam Istana sedang berkumpul beberapa orang petinggi Mataram yang sedang mengadakan pembicaraan, tetapi bukanlah dalam acara resmi.

“Sepertinya aku sendiri yang harus memimpin pasukan ini”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

“Ampun Kanjeng Panembahan, apa tidak sebaiknya yang memimpin pasukan ke Kadipaten Wirasaba dipercayakan kepada orang lain. Hamba rasa, siapapun yang ditunjuk akan mampu menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya”. ucap Ki Patih Singaranu menimpali.

“Apakah Ki Patih lupa? gegayuhanku yang ingin menaklukkan Kadipaten Surabaya harus mengalami kegagalan beberapa kali, sehingga aku harus mengalihkan perhatianku lebih dahulu pada kekuatan yang ada di sekitarnya”.

“Ampun Kanjeng, kita memang mengalami kegagalan beberapa kali saat ingin menaklukkan Surabaya, tapi dengan begitu kita bisa membuat perhitungan ulang, bagaimana caranya agar kita bisa menaklukkan Surabaya dengan kekuatan kita”.

“Bagaimana menurut Eyang Pangeran?”.

“Begini Wayahmas, aku rasa ada benarnya apa yang dikatakan oleh Ki Patih Singaranu, sepertinya kali ini Senopati Agung tidak perlu Wayahmas sendiri yang turun ke medan. Apalagi jarak yang sangat panjang bersama iring-iringan pasukan yang pasti tidak akan mampu bergerak cepat pasti akan memakan waktu yang lama perlu dipertimbangkan lagi”. jawab Pangeran Singasari.

“Menurut Eyang Pangeran, berapa lama pasukan Mataram akan tiba di Kadipaten Wirasaba?”.

“Jika aku tidak salah hitung, kemungkinan seluruh pasukan Mataram akan tiba di Kadipaten Wirasaba sekitar dua pekan, karena jika kita berkuda sekitar tiga hari tiga malam tanpa henti kecuali untuk sekedar memberi waktu istirahat kuda-kuda kita”. jawab Pangeran Singasari.

“Maka dari itu Anakmas juga harus mempertimbangkan, bukan sekedar atas nama pribadi tapi juga sebagai pepunden seluruh kawula Mataram. Karena jika Anakmas meninggalkan Istana sama seperti terjadi kekosongan kekuasaan”. berkata Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

Sejenak suasana menjadi hening di ruangan itu, masing-masing sibuk dengan penalarannya. Kanjeng Sinuhun Mataram yang meminta pendapat beberapa orang terdekatnya menjadi sedikit bimbang.

“Bukan maksudku untuk meragukan kemampuan para prajurit, karena aku sendiri pun juga seorang prajurit. Tapi menurut penalaranku untuk sementara sepertinya aku akan lebih berguna jika ikut turun langsung ke Medan”. berkata Kanjeng Panembahan sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Segala titah dari Kanjeng Sinuhun akan kami junjung tinggi”. ucap Ki Patih Singaranu.

“Aku putuskan, aku sendiri yang akan memimpin pasukan segelar sepapan Mataram melawat ke Kadipaten Wirasaba. Dan untuk mengisi kekosongan kekuasaan selama aku pergi, aku percayakan kepada Ki Patih Singaranu yang akan dibantu Eyang Pangeran Singasari”.

“Sendika dawuh Kanjeng”. jawab orang-orang yang hadir hampir bersamaan, meskipun sebenarnya ada pula yang merasa kurang mapan dengan keputusan itu, tapi tidak berani menyampaikannya.

“Tapi…karena berbagai pertimbangan, aku akan menyusul pasukan yang akan berangkat lebih dahulu. Dan aku minta kepada kalian semua untuk merahasiakan keikutsertaanku pada yang lain hingga mereka akan mengetahuinya sediri kehadiranku disana”.

“Sepertinya itu adalah keputusan yang bijaksana. Karena ketika pasukan kita menyadari akan kehadiran Kanjeng Sinuhun secara tiba-tiba di medan akan bisa memberikan kekuatan jiwani yang sangat luar biasa”.

“Besok pagi aku persilahkan seluruh pasukan untuk mulai bergerak, Senopati yang akan memimpin pasukan segelar sepapan itu aku percayakan pada Ki Tumenggung Suratani dari Pasukan Khusus sebelum kedatanganku dan rombongan kemudian yang masih kita rahasiakan”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

“Ki Patih Singaranu”.

“Hamba Kanjeng Panembahan”.

“Tolong sampaikan kepada perwira yang mengurus kedatangan para prajurit, nanti siang para senopati setiap kesatuan yang besok akan berangkat ke Wirasaba aku tunggu di ruang Paseban”.

“Sendika dawuh Kanjeng”.

Sementara itu di luar Istana prajurit semakin banyak berdatangan dan  menjelang matahari berada di puncaknya seluruh pasukan sudah berdatangan semua.

Tanah Perdikan Menoreh termasuk pasukan yang sangat besar karena bergabung dengan Pasukan Khusus. Meskipun pasukan itu sangat besar tapi dari ciri-ciri yang mereka kenakan dapat dibedakan dengan jelas.

Selain perbedaan pakaian yang mereka kenakan, tidak lupa semua pasukan membawa ciri-ciri dan pertanda masing-masing, seperti kelebet, umbul-umbul. Agar lebih memudahkan mencarinya pada saat dibutuhkan.

Setiap pasukan ditempatkan dengan kelompok yang sama pada barak-barak yang telah disediakan. Tapi mereka tetap dipersilahkan untuk saling berhubungan dengan kelompok dari pasukan lain pada waktu senggang untuk saling memperkenalkan diri.

Menjelang waktu tengah hari prajurit penghubung memberitahukan bahwa senopati dari setiap pasukan diperintahkan untuk menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma di ruang paseban.

Pada saat waktu yang telah ditentukan, semua senopati dari masing-masing pasukan sudah berkumpul di ruang paseban untuk menerima titah selanjutnya.

Kanjeng Sinuhun Mataram kemudian memberikan sesorahnya di hadapan para senopati yang hadir dengan disaksikan para petinggi dari keluarga kerajaan.

“Aku atas nama Mataram sangat berterima kasih kepada kalian semua yang hadir dan bersedia mengemban tugas yang sangat berat ini”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dengan penuh wibawa.

“Besok pagi aku persilahkan kalian semua untuk berangkat ke Kadipaten Wirasaba. Ki Tumenggung Suratani dari Pasukan Khusus Tanah Perdikan Menoreh aku percaya sebagai Senopati tertinggi, aku harap kalian semua bisa menerima keputusanku ini”.

Sembari menghaturkan sembah Ki Tumenggung berkata, “hamba mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kepercayaan ini, dan semoga hamba bisa menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya”.

“Kalian akan dipandu oleh para prajurit sandi Mataram sebagai penghubung yang sudah disebar di sepanjang perjalanan kalian. Apakah kalian ada pertanyaan?”.

Para senopati yang hadir hanya terdiam, mereka sendiri tidak tahu apa yang akan mereka tanyakan karena bagi mereka sudah cukup jelas apa yang telah disampaikan.

“Besok aku sendiri yang akan melepas keberangkatan kalian semua di alun-alun. Jika tidak ada lagi yang kalian sampaikan, pertemuan ini aku tutup. Mari kita sama-sama nenuwun agar gegayuhan kita semua mendapat izin dari Yang Maha Agung”. ucap Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

Orang-orang yang hadir di ruangan itu kemudian membubarkan diri dan kembali ke tempat masing-masing. Para senopati dari setiap kesatuan kemudian memberitahukan kepada pasukannya apa yang harus mereka lakukan.

*  *  *

Sementara di Padepokan Orang Bercambuk, Bayu Swandana dan Ki Untara sudah mulai sembuh dari lukanya masing-masing. Mereka mulai berjalan-jalan di sekitar dalam padepokan untuk mengusir kejenuhan setelah beberapa hari seperti terkurung di biliknya.

Ketika Ki Untara telah sembuh dari lukanya, maka tidak terlihat dia baru saja sembuh dari luka berat, sangat berbeda dengan Bayu Swandana yang tubuhnya masih nampak lemah.

Bayu Swandana yang masih sangat lemah berjalan perlahan-lahan di dekat kolam ikan di halaman samping belakang dengan dikawani ibunya dan beberapa orang lain.

“Apakah kau sudah tidak merasa sakit sama sekali ngger?”. bertanya Nyi Pandan Wangi kepada anaknya.

“Sudah tidak ada Ibu, tapi tubuhku masih terasa lemah sekali”.

“Sabarlah ngger, kau memerlukan waktu untuk bisa sehat seperti biasanya”.

“Beruntunglah Anakmas Bayu Swandana memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa, sehingga sangat membantu dalam kesembuhannya. Dengan rutin minum obat, aku rasa tidak akan lama lagi dia akan menemukan kesehatannya kembali”. berkata Ki Agahan yang berjalan di depannya.

“Aku sangat berterima kasih pada paman Agahan yang telah mengobatiku hingga nyawaku bisa tertolong”.

“Aku hanya bisa berusaha, tapi Yang Maha Agunglah yang memberikan kesembuhan itu”.

“Kami sangat berterima kasih sekali atas segala usaha yang Ki Agahan lakukan. Semakin cepat sehat akan semakin baik, karena dengan begitu aku bisa mengatur kembali kepulanganku ke Tanah Perdikan Menoreh”. Nyi Pandan Wangi ikut menimpali.

“Ibu sudah tidak perlu mengkhawatirkan aku lagi. Aku sudah sembuh”.

“Aku tahu ngger, tapi aku belum sampai hati jika meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini”.

“Aku sudah bukan kanak-kanak lagi Ibu”.

Nyi Pandan Wangi yang mendengar jawaban anak laki-lakinya itu hanya bisa menarik nafas dalam beberapa kali. Meskipun Bayu Swandana memang sudah bukan kanak-kanak lagi tapi naluri seorang ibu terhadap anaknya tidak bisa disembunyikannya.

“Ibu lupa ngger, jika kau sekarang sudah mulai tumbuh dewasa”. berkata Nyi Pandan Wangi sembari mengusap-usap kepala anaknya tersebut.

“Pandan Wangi, apa kau sudah memikirkan kepulanganmu?”. bertanya Ki Untara.

“Aku tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini Kakang, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Ayah terlalu lama”.

“Jika kau mau pulang, sebaiknya paling cepat besok lusa. Karena besok adalah hari keberangkatan pasukan Mataram segelar sepapan yang akan melawat ke bang wetan”. ucap Ki Untara.

“Aku hampir saja melupakannya”.

*  *  *

Sementara pasukan Mataram yang besok akan melakukan perjalanan panjang menjadi sibuk dengan segala persiapannya, baik perlengkapan secara pribadi maupun secara keseluruhan pasukan.

Beberapa pedati yang ditarik lembu telah dipersiapkan untuk mengangkut perbekalan dan persenjataan serta perlengkapan lainnya.

Berbagai rontek dan kelebet dengan tunggul-tunggulnya tidak lupa telah dipersiapkan pula untuk dibawa memasuki medan peperangan.

Malam itu setelah waktu menjalankan kewajiban selesai, seluruh pasukan mendapat jatah nasi ransum dari juru masak yang berada di Istana Mataram.

“Kalian harus ingat, jika sudah berangkat menuju medan kita tidak akan mendapat bantuan para perempuan sebagai juru masak”. berkata seorang lurah prajurit yang bertugas di dapur.

Ketika waktu sudah semakin malam, para prajurit diperintahkan untuk segera istirahat dengan sebaik-baiknya, karena mulai besok tenaga mereka akan mulai diperas.

Hanya para prajurit yang bertugas sajalah yang tetap terjaga di sepanjang malam di tempatnya masing-masing yang dibagi beberapa kelompok.

Sepertinya seluruh prajurit yang besok akan berangkat melawat ke bang wetan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dengan segera beristirahat, lagipula pada malam itu prajurit yang bertugas bukanlah prajurit yang besok akan berangkat.

Pagi itu seluruh prajurit sudah terbangun pada waktu panggilan kewajiban kepada Yang Maha Agung. setelah membersihkan diri ke pakiwan mereka secara bergantian menjalankannya karena tempatnya yang tidak mencukupi.

Para petugas dapur adalah orang yang menjadi paling sibuk. Karena sejak dini hari mereka sudah harus bangun, lalu menyiapkan makan pagi bagi seluruh pasukan segelar sepapan.

Menyiapkan makan pagi bagi pasukan segelar sepapan bukanlah pekerjaan yang mudah, tapi mereka tidak ada yang mengeluh meskipun masih ada beberapa orang yang tampak masih mengantuk karena waktu tidurnya harus terganggu.

“Aku lihat mbokayu masih tampak mengantuk sekali?”. berkata salah satu orang kepada orang di depannya.

“Kemarin aku harus bantu momong cucuku, karena Ibunya belum sehat benar setelah kemarin melahirkan”. berkata seorang perempuan yang sudah melewati paruh baya.

“Anak yang tinggal bersamamu itu sudah melahirkan rupanya?”. perempuan yang lain menimpali.

“Benar adi, sekarang aku sudah memiliki tiga cucu”.

“Selamat mbokayu, atas kelahiran cucu barumu”.

“Terima kasih”.

Pembicaraan mereka tidak berlangsung lama karena kesibukan mereka masing-masing. Apalagi waktu semakin merambat menjelang pagi membuat mereka tidak memiliki waktu longgar karena pada waktu matahari terbit, makan pagi harus sudah siap semua.

Beruntunglah para petugas dapur adalah orang-orang yang berpengalaman, sehingga meskipun seakan-akan dikejar waktu mereka tidak menjadi gugup dan bisa menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Ketika matahari benar-benar terbit, nasi ransum bagi para prajurit segelar sepapan yang akan berangkat akhirnya sudah bisa di bagikan.

“Apakah aku bisa mendapat jatah ganda?”. bertanya salah satu prajurit kepada petugas yang membagikan nasi ransum.

“Ah..ternyata kau masih saja mempunyai perut gentong”. kawannya sendiri yang menimpali, lalu tertawa.

Kawan-kawannya yang ikut mendengar pun tidak bisa menahan tertawanya.

“Bukan salahku, tapi nasi ransumnya saja yang terlalu sedikit”. jawab prajurit yang dibilang berperut gentong.

“Ah..macam kau”.

Tapi prajurit yang bertugas membagikan nasi ransum ternyata baik hati dengan mengabulkan permintaan itu sembari tersenyum. Lalu katanya, “jika nanti masih ada sisa, apakah kau masih menginginkannya?”.

Prajurit yang tadi meminta jatah ganda wajahnya menjadi sedikit bersemu merah. Katanya, “terima kasih Ki Sanak, ini sudah cukup”.

“Beruntung sekali kau bertemu dengan petugas pembagi nasi ransum yang sangat baik”. celetuk kawannya.

Beberapa saat setelah mereka menikmati makan pagi, seluruh prajurit yang akan berangkat diperintahkan segera bersiap-siap untuk segera berangkat.

Seluruh pasukan dikumpulkan di alun-alun untuk mendengar sesorah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sebelum pasukan itu benar-benar diberangkatkan.

Selain untuk sekedar mendengarkan sesorah, Kanjeng Sinuhun ingin menyampaikan rasa terima kasihnya secara langsung kepada seluruh pasukan setia Mataram.

Akhirnya Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sampai pada penghujung sesorahnya di hadapan pasukan dan seluruh kawula Mataram yang ingin menyaksikan pemandangan yang jarang sekali terjadi.

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih pada kalian semua yang telah bersedia dengan penuh kesadaran untuk selalu patuh dan rela berkorban bagi kelangsungan kehidupan bebrayan, baik bebrayan alit maupun bebrayan agung di bawah panji-panji Mataram”.

Wibawa yang begitu besar tercermin dari pemimpin tertinggi Mataram tersebut, hingga semua orang yang mendengarnya tampak hening dan tidak ada yang berani bersuara sedikitpun.

“Dengan berakhirnya sesorahku ini, aku persilahkan kalian berangkat mengemban tugas negara yang begitu berat”.

Pasukan yang besar itu mulai bergerak meninggalkan alun-alun Kotaraja Mataram seperti ular besar yang memanjang dengan sangat teratur.

Pada bagian paling depan terdapat Ki Tumenggung Suratani dari Pasukan Khusus yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh sebagai senopati tertinggi pasukan bersama para pasukan berkuda dan pengiringnya.

Kemudian pada tubuh pasukan terdapat pasukan Mataram yang terdiri dari berbagai daerah, seperti pasukan yang berkedudukan di Jati Anom, Pegunungan Sewu, Tanah Perdikan Pesantenan, Ganjur dan masih banyak lagi.

Pasukan pengawal dan Wiratani dari beberapa daerah berada di belakangnya lagi, seperti dari Kademangan Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh, Kademangan Ganjur, dan masih banyak lagi.

Para prajurit yang membawa perbekalan berada di garis paling belakang bersama beberapa beberapa pedati yang mengangkut segala barang-barang perbekalan yang selalu didampingi beberapa senopati pilihan.

Semakin lama pasukan itu semakin jauh meninggalkan Mataram. Meninggalkan semua yang mereka miliki bahkan keluarga yang paling dikasihi sekalipun untuk melaksanakan tugas negara yang sangat berat.

Setiap orang yang menjadi prajurit selalu menyadari dengan sepenuh hati apa yang mereka lakukan. Karena sejak pertama mereka memasuki dunia keprajuritan sudah disampaikan oleh para perwira tentang sebab akibatnya.

Masing-masing prajurit memiliki bayangannya sendiri tentang perjalanan yang mereka tempuh. Ada sebagian yang merasa senang karena baru pertama kali mendapatkan tugas yang sangat jauh dari daerah asalnya.

*  *  *

Sementara di Padepokan Orang Bercambuk, malam itu beberapa orang sedang bercakap-cakap di pendapa dengan dikawani minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Kebetulan sekali sekarang kita bisa berkumpul. Aku ingin menyampaikan sesuatu beserta meminta pendapat kalian”. ucap Nyi Pandan Wangi mengawali pembicaraan.

“Silahkan sampaikan saja Nyi Pandan Wangi, barangkali kami bisa membantu”. ucap Ki Agahan.

“Sebelum kemarin aku berangkat kemari, aku mendapatkan nawala dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma yang isinya adalah menyampaikan sebuah gagasan bahwa Mataram ingin membentuk pasukan khusus yang anggotanya semua adalah perempuan. Bagaimana menurut kalian?”. bertanya Nyi Pandan Wangi kepada semua orang yang hadir.

“Selain itu memang perintah dari Kanjeng Sinuhun, aku rasa itu sebuah gagasan yang sangat baik”. ucap Ki Untara.

“Kakang Untara, nawala itu tidak berupa perintah, tapi hanya sekedar gagasan”.

“Meskipun hanya sekedar gagasan, aku rasa itu adalah sebuah gagasan yang sangat baik untuk menampung para perempuan yang mempunyai gegayuhan mengabdikan diri pada Mataram sebagai prajurit tapi selama ini belum mendapatkan tempat”.

“Ki Untara benar, apalagi selama ini meskipun Mataram belum pernah membentuk Pasukan Khusus Perempuan tapi terbukti dalam beberapa perang besar Mataram telah memakai jasa perempuan”. ucap Ki Jayaraga ikut menimpali.

“Bahkan pada beberapa kesempatan sangat membantu menentukan perang itu sendiri, salah satu contohnya adalah pemimpin perguruan yang sangat besar seperti Perguruan Kedung Jati berakhir di tangan seorang perempuan yang berpihak kepada Mataram”. berkata Ki Agahan yang tidak mau kalah untuk menimpali.

“Aku hanya berusaha membantu saja Ki Agahan, apalagi aku memang orang yang paling berkepentingan dengan Ki Saba Lintang yang telah mencemarkan nama perguruan karena ketamakannya”. ucap Nyi Sekar Mirah yang menanggapi ucapan Ki Agahan.

“Mungkin dengan Mataram memberikan wadah bagi para perempuan untuk menjadi prajurit, bisa membantu menyalurkan gegayuhan mereka yang terpendam selama ini”.

“Aku setuju dengan Ki Untara, meskipun selama ini adatnya seorang perempuan hanya berada di dapur, tapi aku rasa gagasan itu tidak akan menyalahi adat yang sudah berjalan”. berkata Ki Jayaraga lagi.

“Siapa yang akan ditunjuk sebagai penanggung jawab atas pasukan itu?”.

“Aku belum tahu kakang, dan aku baru serba sedikit membicarakannya dengan Sekar Mirah. Karena yang ditunjuk Mataram untuk membentuk pasukan itu hanya Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung”. jawab Nyi Pandan Wangi.

“Penunjukkan itu mungkin karena Kanjeng Sinuhun sudah tahu sepak terjang dari kalian berdua Nyi”.

“Dan penunjukan itu untuk memberikan contoh bagi calon prajurit bahwa pemimpin mereka adalah orang yang memang pantas untuk dibanggakan”.

“Aku dan mbokayu Pandan Wangi tidak mungkin bisa meninggalkan tanggung jawab yang sudah berjalan. Mungkin kami bisa membantu serba sedikit di sela-sela tugas kami. Tapi itu juga tergantung pasukan itu akan ditempatkan dimana”. ucap Nyi Sekar Mirah memberikan pendapatnya.

Tanpa sadar orang-orang yang hadir menoleh ke arah Nyi Rara Wulan dan membuatnya terkejut.

“Ah..aku tidak berbakat menjadi pemimpin”. ucap Nyi Rara Wulan sekenanya.

Orang-orang yang mendengar ucapan ibu Arya Nakula itu hanya tertawa, membuat orang yang ditertawakan itu wajahnya semakin bersemu merah.

“Meskipun ini adalah sebuah gagasan yang sangat baik, tapi tidak mudah pula dalam pelaksanaannya, apalagi untuk mencari seorang pemimpin pasukan seorang perempuan”. ucap Ki Jayaraga.

“Karena pemimpin yang dicari adalah orang yang benar-benar mumpuni dalam olah kanuragan dan siap menjadi prajurit seutuhnya makanya harus mencari sosok yang tepat”. Ki Untara menambahkan.

“Mungkin ada nama yang bisa diusulkan”. ucap Ki Agahan.

“Benar sekali Ki Agahan. Siapa tahu kalian mempunyai nama yang bisa diusulkan untuk menjawab masalah ini. Mungkin juga ada beberapa nama”. berkata Nyi Pandan Wangi.

Sejenak suasana menjadi hening pada waktu yang semakin merangkak tengah malam dengan semilir angin yang hawanya mulai dingin.

“Memang tidak mudah. Apalagi sosok perempuan yang mumpuni dalam kanuragan itu tidaklah banyak”. desis Ki Jayaraga sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Rara Wulan, bukankah muridmu itu termasuk nama yang bisa diusulkan?”. bertanya Nyi Sekar Mirah.

“Aku tidak yakin pada Damarpati mbokayu, karena sejak kepergian kakeknya dia seperti orang yang tidak lagi memiliki gegayuhan tinggi. Dan setelah dia berumah tangga, dia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama keluarga apalagi dia sekarang mempunyai anak kecil”.

“Damarpati sudah punya anak katamu?”. bertanya Nyi Sekar Mirah sedikit terkejut.

“Benar mbokayu, anaknya baru berumur sekitar satu warsa”. Nyi Rara Wulan menjelaskan.

“Kasihan anak itu. Semoga saja dia bisa menemukan kebahagiannya di Tanah Perdikan Menoreh”.

“Benar Sekar Mirah. Aku juga kasihan melihat anak itu. Sebenarnya dia adalah anak yang baik tapi nasibnya saja yang kurang baik”. Nyi Pandan Wangi ikut menanggapi.

“Berbeda dengan Ratri yang punya gegayuhan tinggi, selain itu memang dia adalah anak Ki Gede Matesih yang mempunyai kekuasaan di daerah asalnya. Secara tidak langsung telah membentuk jiwa kepemimpinannya”. ucap Nyi Sekar Mirah.

“Mungkin masa lalu Damarpati yang buruk telah mengguncang jiwanya, sehingga membuatnya tidak mempunyai gegayuhan yang tinggi lagi”. ucap Nyi Rara Wulan.

“Mungkin masih ada nama yang lain?”. bertanya Nyi Sekar Mirah kepada semua yang duduk di pendapa itu.

Karena saking menariknya pembicaraan di pendapa, tanpa terasa malam sudah mencapai puncaknya dengan masih menyisakan pertanyaan bagi orang-orang yang hadir, siapakah nama yang pantas untuk menjadi pemimpin Pasukan Khusus Perempuan yang akan dibentuk.

Mereka kemudian membubarkan diri untuk beristirahat ke biliknya masing-masing, setelah membersihkan diri di pakiwan.

Sejak Arya Nakula bertemu kakak sepupunya Bagus Sadewa, seakan-akan kedua anak itu seperti tidak terpisahkan, dan anak Ki Lurah Glagah Putih lebih senang tidur satu dengan anak Nyi Sekar Mirah meskipun di dalam biliknya dikawani oleh Lodra pula.

Awalnya Arya Nakula memang ada perasaan takut dan gelisah terhadap Lodra. Tapi setelah beberapa hari sering melihatnya, perasaan itu mulai terkikis secara perlahan meskipun masih ada pula perasaan takut.

Ketika kedua anak itu memasuki bilik mereka secara perlahan, Arya Nakula merasakan sesuatu yang terasa janggal.

“Kakang, aku tidak melihat Lodra?”. berkata Arya Nakula sembari menoleh kesana kemari untuk memeriksa.

“Jika Lodra tidak terlihat, berarti dia sedang pergi mencari mangsa”.

“Apakah Lodra pernah memangsa ternak padukuhan sekitar?”.

“Sejauh pengetahuanku belum pernah. Tapi aku juga berharap jangan sampai itu terjadi, karena jika itu terjadi paman Agahan tidak akan mengizinkanku lagi memeliharanya”.

“Kenapa begitu Kakang?”.

“Karena itulah syarat yang harus aku penuhi jika ingin tetap bisa memelihara Lodra disini”.

“O…begitu rupanya”.

“Sudahlah, tak perlu kau pikirkan lagi tentang itu. Sebaiknya kita tidur”. berkata Bagus Sadewa sembari merebahkan badannya di amben bambu.

Arya Nakula pun mengikuti saja apa yang dikatakan kakak sepupunya tanpa menjawab. Dibaringkanlah tubuhnya yang memang sudah mengantuk, tidak berapa lama dia pun telah terlelap ke alam mimpi.

Ketika panggilan kewajiban kepada Yang Maha Agung terdengar berkumandang, orang-orang di Padepokan Orang Bercambuk telah terbangun.

Setelah mereka menjalankan kewajiban sebagai hambaNya, dilanjutkan dengan melakukan pekerjaan rutin sehari-hari oleh seisi padepokan yang telah diatur oleh para cantrik sendiri dan disetujui oleh pemimpin padepokan.

Sebagian cantrik bertugas untuk mengisi jambangan dengan menimba air dari sumur dengan senggot, sebagian membersihkan seluruh ruangan, sebagian pula bertugas di dapur serta tugas-tugas lainnya.

Pagi itu Bayu Swandana sudah mulai tampak lebih segar meskipun di wajahnya masih sedikit terlihat pucat. Tubuhnya sudah tidak selemah kemarin.

Dengan segala usaha pengobatan dari Ki Agahan yang tidak kenal lelah, anak mendiang Ki Swandaru itu perlahan-lahan mulai menunjukkan kesembuhannya.

Selain pengobatan yang dilakukan Ki Agahan, Bayu Swandana sendiri memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa sehingga mampu bertahan terhadap racun yang sangat ganas sekalipun.

Untuk melemaskan otot-otot yang baru saja sembuh, pagi itu Bayu Swandana berjalan-jalan mengitari padepokan dengan dikawani oleh ibunya.

“Sekarang kau sudah tidak tampak lemah dan pucat ngger”. ucap Nyi Pandan Wangi.

“Aku juga merasa sudah lebih baik Ibu”.

“Syukurlah ngger, lukamu itu kemarin membuat Ibu sangat gelisah dan khawatir”.

“Ibu sudah tidak perlu lagi memperlakukanku seperti kanak-kanak, sekarang aku sudah besar”.

“Iya..iya..ngger”. kata Nyi Pandan Wangi sembari mengusap-usap kepala anak yang sangat dikasihinya tersebut.

Setelah mereka membersihkan diri di pakiwan secara bergiliran dengan yang lain, lalu mereka bersiap makan pagi secara bersama-sama di ruang dalam.

“Kau mau makan bubur halus lagi atau makan nasi biasa?”. tanya Nyi Pandan Wangi pada anaknya.

“Aku sudah sembuh Ibu, lagipula aku tidak merasa kenyang jika makan bubur halus”.

“Pantas saja tubuh kakang Bayu Swandana gemuk, ternyata makannya banyak”. celetuk Arya Nakula menggoda.

Yang mendengar kelakar anak Nyi Rara Wulan hanya bisa tertawa.

“Awas kau jika nanti aku sudah sembuh”.

“Aku hanya bergurau kakang”. jawab Arya Nakula sembari tersenyum menggoda.

Bayu Swandana yang melihat tingkah laku Arya Nakula matanya melotot, yang membuat anak itu bersembunyi di balik ibunya.

“Ternyata Arya Nakula berani juga menggoda Bayu Swandana”. ucap Nyi Sekar Mirah yang melihat tingkah laku keponakannya itu sembari tersenyum.

Kemudian mereka menikmati makan pagi bersama-sama. Bayu Swandana yang baru saja sembuh ternyata makan dengan lahapnya, bahkan dia nambah lagi nasi yang tadi diambilkan oleh ibunya.

Nasi putih yang masih mengepul, ayam goreng, ikan nila, sayur bayam beserta sambal rawit goreng memang sangat menggugah selera makan, apalagi yang baru saja sembuh dari sakit.

“Nambah lagi ngger, biar kau cepat sembuh”. berkata Ki Jayaraga yang melihat anak Nyi Pandan Wangi begitu lahap.

“Maafkan anakku jika makannya sangat lahap”. berkata Nyi Pandan Wangi yang menjadi sungkan karena anaknya.

“Tidak apa-apa Nyi Pandan Wangi, kami semua bisa mengerti. Anakmas Bayu Swandana memang sedang masa pertumbuhan”. ucap Ki Agahan menimpali.

Setelah mereka selesai makan mereka berkumpul di pendapa sembari menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Selera makanmu sudah mulai pulih, apakah kau sudah sehat benar ngger?”. tanya Nyi Pandan Wangi pada anaknya yang berada di sebelahnya.

“Sudah Ibu, tenagaku sudah mulai kembali”.

“Oh..aku tahu sekarang. Mengapa kemarin Bayu Swandana masih terlihat pucat meskipun telah terbebas dari racun yang garang itu”. ucap Nyi Sekar Mirah.

“Memangnya ada apa Sekar Mirah?”. tanya Nyi Pandan Wangi.

“Aku menduga, mengapa kemarin Bayu Swandana masih pucat, kemungkinan besar dia telah kerasukan setan kali”.

“Kau jangan sembarangan bicara Sekar Mirah, jangan membuatku berdebar-debar”. berkata Nyi Pandan Wangi yang menjadi gelisah.

“Aku berkata sebenarnya mbokayu”.

“Ah..kau jangan mengada-ada. Sepertinya tidak mungkin karena selama disini Bayu Swandana belum pernah keluar-keluar dari padepokan ini apalagi sampai ke kali segala”. kata Nyi Pandan Wangi yang gelisah.

“Aku juga tidak merasa ada yang aneh Bibi”. Bayu Swandana ikut menimpali.

“Tapi aku yakin sekali jika Bayu Swandana kerasukan setan kali”. berkata Nyi Sekar Mirah yang tidak mau kalah.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?”. kata Nyi Pandan Wangi yang semakin gelisah.

Orang-orang yang ikut mendengarnya pun menjadi gelisah akan ucapan Nyi Sekar Mirah.

“Mbokayu tidak perlu khawatir lagi karena setan kalinya sudah pergi”.

“Yang benar kau Sekar Mirah?” kata Nyi Pandan Wangi yang masih menegang.

“Benar mbokayu, setan kalinya sudah terusir dengan dua piring nasi penuh. Karena setan kalinya adalah kaliren”. Nyi Sekar Mirah menjelaskan.

Nyi Pandan Wangi yang mendengar keterangan adik mendiang suaminya itu secara naluriah mencubitnya dengan kuat, hingga orang yang dicubitnya berteriak.

“Ampun mbokayu, ampun…”.

“Kau senang sekali membuatku gelisah”. kata Nyi Pandan Wangi yang masih meluapkan kekesalannya.

Orang-orang yang mendengar kelakar Nyi Sekar Mirah hanya bisa tertawa berkepanjangan.

“Pandan Wangi, kapan rencanamu pulang?”. tanya Ki Untara setelah tertawa mereka reda.

“Bagaimana yang lain jika kita pulang besok pagi?”. tanya Nyi Pandan Wangi pada rombongan yang berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Kami akan menyesuaikan dengan Nyi Pandan Wangi, karena pengangguran sepertiku ini tidak ada tugas yang menanti”. jawab Ki Jayaraga.

Anak Ki Gede Menoreh itu lalu menoleh ke arah Nyi Rara Wulan. “Kau bagaimana Rara Wulan?”.

“Aku sependapat dengan Ki Jayaraga karena aku juga sama-sama pengangguran”. jawab Nyi Rara Wulan.

“Aku rasa kita sepakat besok pagi pulang ke Tanah Perdikan Menoreh. Semoga saja tidak ada hambatan lagi”.

“Apakah kalian belum mempunyai pandangan nama lagi yang bisa diusulkan untuk mengisi pemimpin prajurit Pasukan Khusus Perempuan?”. bertanya Ki Untara yang menyinggung lagi pembicaraan semalam.

“Belum kakang, memang sebaiknya masalah ini harus bisa segera diselesaikan. Agar kita juga bisa segera membuat laporan kepada Mataram tentang jawaban kita”. Nyi Pandan Wangi menimpali.

“Kau benar Pandan Wangi. Dengan begitu Mataram akan segera bisa mengambil sikap, apalagi Mataram sekarang memang sedang membutuhkan banyak prajurit sehubungan dengan gegayuhan untuk menaklukkan seluruh tanah ini di bawah panji-panji Mataram.

“Rara Wulan, bukankah kau mempunyai beberapa saudara angkat perempuan?”. bertanya Nyi Sekar Mirah tiba-tiba.

“Mbokayu Sekar Mirah benar, tapi aku sendiri sudah lama sekali tidak bertemu dengan mereka dan aku sekarang tidak tahu mereka ada dimana”.

“Sayang sekali…”. ucap Nyi Sekar  Mirah sedikit kecewa.

“Tapi nanti jika kita tidak menemukan jalan yang lebih mudah, aku akan coba untuk menghubungi mereka”.

“Baiklah, tapi apakah kau akan datang sendiri kesana untuk mencari mereka?”. tanya Nyi Pandan Wangi.

“Aku juga belum tahu mbokayu, sebenarnya aku sudah sangat rindu dengan mereka, tapi sepertinya aku kurang mapan jika pergi kesana tanpa kakang Glagah Putih, sedangkan kita tidak pernah tahu kapan dia akan pulang”.

“Mungkin kau bisa mengirim utusan Rara Wulan, jika kita sampaikan keadaan kita aku kira mereka akan bisa mengerti”.

“Sekar Mirah benar Rara Wulan. nanti utusan itu selain membawa pesanmu juga atas nama Ki Gede Menoreh yang mengharapkan kedatangan mereka”. ucap Nyi Pandan Wangi.

“Baiklah mbokayu, nanti bisa kita bicarakan lagi bersama Ki Gede Menoreh untuk mematangkan rencana ini”.

Kemudian pembicaraan di pendapa itu mulai bergeser ke hal-hal yang menarik bagi mereka dan pada saat tertentu terdengar mereka berkelakar satu sama lain.

 *  *  *

Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang berkuda bersama dua orang kawannya terlihat akan memasuki rumah yang jauh dari keramaian karena letaknya yang agak menjauh dari tetangga-tetangganya setelah matahari tenggelam beberapa saat.

“Kita akan beristirahat disini Ki Lurah, baru besok kita akan mulai pengamatan”. berkata Ki Lurah Jatisrana.

“Baiklah Ki Lurah Jatisrana”.

Mereka turun dari kudanya ketika akan memasuki halaman sebuah rumah yang sederhana, lalu menuntun ke arah belakang rumah untuk menambatkannya. Ki Lurah Jatisrana mendahului yang lain dengan mengetuk pintu butulan yang berada di samping rumah terlebih dahulu.

“Siapa?”. sebuah pertanyaan terdengar dari dalam.

“Jaya mukti jaya pati lebur dadi siji”. jawab Ki Lurah Jatisrana.

Terdengar langkah kaki mendekati pintu yang diselarak dari dalam. Ketika pintu dibuka terlihat orang yang umurnya sekitar paruh baya berbadan agak gemuk dan perut sedikit membuncit menyambut tamunya.

“Silahkan Ki Lurah, silahkan masuk Ki Sanak semua”.

Setelah mereka semua masuk, pemilik rumah segera menyelarakkan pintunya kembali. ruangan itu hanya diterangi oleh lampu minyak di atas meja bambu pada tengah ruangan.

“Selamat datang Ki Lurah Glagah Putih di rumah kawanku ini”. berkata tuan rumah.

“Terima kasih Ki Sanak”.

“Perkenalkanlah Ki Lurah Glagah Putih, ini adalah prajurit sandi Mataram pula tapi tugasnya lebih banyak dihabiskan di daerah bang wetan ini namanya Ki Lurah Mangun Tirta, tapi dalam tugas sandi disini dia memakai nama Ki Jalasara”. berkata Ki Lurah Jatisrana menjelaskan”.

“Sebaiknya Ki Lurah Glagah Putih pun memakai nama samaran pula saat bertugas disini untuk menjaga segala kemungkinan”. berkata Ki Lurah Mangun Tirta atau Ki Jalasara.

“Baiklah Ki Lurah Mangun Tirta, aku mengerti”.

“Kalian pasti lelah, tapi sebaiknya kalian membersihkan diri dulu ke pakiwan sebelum kita makan malam bersama”.

Mereka yang baru saja datang kemudian secara bergantian pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri, karena pakiwannya hanya ada satu.

Malam itu mereka makan bersama di atas amben bambu yang berada di sudut ruangan sembari bercakap-cakap.

“Berdasarkan laporan, Kadipaten Wirasaba sepertinya sudah mengetahui tentang pasukan yang akan menyerang. Dengan begitu mereka semakin meningkatkan kesiap-siagaan tertinggi”.

“Kita harus hati-hati dalam mencari keterangan, karena prajurit Wirasaba pasti sudah mulai memperketat penjagaannya”. ucap Ki Lurah Glagah Putih menimpali.

“Mulai besok kau akan diperkenalkan daerah ini oleh prajurit yang sudah lebih lama disini, setelah kau mengenal medannya baru kita berbicara kemungkinan-kemungkinan lain”.

“Selain kekuatan prajurit Wirasaba sendiri, apakah ada kekuatan di belakangnya yang membayangi? Kadipaten Surabaya misalnya?”

“Kemungkinan itu selalu ada karena Kadipaten Wirasaba termasuk wilayah di bawah kekuasaan Kadipaten Surabaya. Tapi sekarang ini Surabaya juga harus berhitung dengan adanya kemungkinan pemberontakan dari Tuban”.

“Apakah Tuban juga ingin melawan Surabaya?”.

“Berdasarkan laporan yang aku terima, ada kemungkinan ke arah sana tapi baru sekedar desas-desus”. jawab Ki Jalasara.

“Sebaiknya Ki Lurah Glagah Putih siapkan sebuah nama sejak sekarang, akan kami pun langsung dapat menyesuaikan”. ucap Ki Lurah Jatisrana.

Ki Lurah Glagah Putih pun mengerutkan keningnya untuk mencari sebuah nama yang sesuai untuk dipakainya selama bertugas di Kadipaten Wirasaba.

“Bagaimana jika nama Wiguna?”.

“Aku rasa itu nama yang baik dan sesuai”. jawab Ki Jalasara.

Setelah mereka selesai makan malam dan menikmati minuman hangat, Ki Jalasara mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.

“Kalian pasti lelah, sekarang aku persilahkan kalian beristirahat di bilik. Kalian tidak perlu khawatir tentang keamanan karena di sekitar rumah ini banyak berkeliaran prajurit sandi yang telah di sebar”. berkata Ki Jalasara menjelaskan.

“Terima kasih”. berkata orang-orang yang baru saja datang hampir berbarengan.

Sebenarnya Ki Lurah Glagah Putih memang merasa tubuhnya sangat lelah setelah melakukan perjalanan yang sangat panjang dari Mataram.

Bahkan perjalanan sebenarnya sedikit terlambat dari perkiraan karena sempat terhambat di perjalanan. Beruntunglah mereka memakai pakaian orang kebanyakan sehingga masih bisa berkelit dengan jawaban yang sengaja di buat-buat.

Ki Lurah Glagah Putih masuk bilik yang terdapat amben bambu. Tanpa pikir panjang dia langsung merebahkan tubuhnya yang sangat lelah tersebut. Tidak butuh waktu lama, dia pun segera terlelap.

Pagi itu ayah Arya Nakula terbangun karena mendengar suara panggilan kewajiban kepada Yang Maha Agung sebagai hambanya. Segeralah dia bangun dari amben dan bergegas pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri.

Air di jambangan pagi itu terasa sangat menyejukan sehingga membuat matanya yang tadi masih terasa sedikit mengantuk menjadi langsung segar.

Setelah selesai melaksanakan kewajiban Ki Lurah Glagah Putih duduk di amben ruang tengah bergabung dengan Ki Jalasara yang sudah menyediakan minuman hangat.

“Apakah Ki Jalasara berjaga dari semalam?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih membuka pembicaraan.

“Menjelang dini hari aku sempat tertidur sejenak”.

“Terima kasih minuman hangatnya Ki Jalasara”.

“Maafkan aku Ki Lurah, disini aku hanya bisa menyediakan minuman hangat. Karena tugas yang sering berpindah-pindah membuatku tidak telaten untuk membawa bahan makanan yang bisa dimasak”.

“Tidak apa-apa, aku bisa mengerti”.

Setelah matahari terbit, mereka akan mulai memperkenalkan daerah Wirasaba kepada Ki Lurah Glagah Putih yang baru saja datang dari Mataram dengan berjalan kaki.

Ki Lurah Glagah Putih berjalan kaki bersama Ki Lurah Jatisrana, sedangkan yang lain mempunyai tugasnya sendiri.

“Kau harus segera mengenali medan dengan sebaik-baiknya agar mempermudah tugas-tugas kita. Rumah yang kita tempati itu ikut wilayah Kademangan Majasanga, tepatnya di padukuhan Majatirta”.

Sembari berjalan Ki Lurah Glagah Putih hanya mendengarkan saja keterangan kawannya itu dengan sebaik-baiknya.

Ketika mereka mulai memasuki gerbang kota Kadipaten Wirasaba, mereka tidak terburu-buru melangkahkan kakinya.

Ternyata Kadipaten Wirasaba adalah daerah yang sangat ramai. Banyak sekali orang berlalu-lalang karena kepentingannya masing-masing. Ada yang berjalan sendiri-sendiri dan ada pula yang berjalan secara berkelompok.

Beberapa lama setelah mereka berjalan, mereka melihat sebuah kedai sederhana yang terletak agak jauh dari pasar. Ki Lurah Jatisrana lalu mengajak Ki Wiguna untuk masuk kedai itu.

Ternyata di dalam kedai itu hanya ada beberapa orang saja, dan masih banyak bangku yang kosong. Mereka memilih duduk di sudut kiri yang terlihat kosong.

Tak lama mereka duduk, seorang pelayan yang masih muda menghampiri mereka untuk menanyakan pesanan. setelah beberapa saat pelayan itu kembali dengan membawa pesanan.

“Kakang, apakah kademanganmu mendapat perintah pula untuk menyiapkan pasukan pengawal  membantu mengatasi serangan dari Mataram?”. berkata salah seorang pengunjung kedai yang berbadan sedang dengan kumis lebat.

“Benar adi, dari dua pekan yang lalu kademanganku telah mendapat perintah itu”. jawab orang agak gemuk dan tinggi yang duduk di sebelahnya.

“Yang aku dengar, Mataram benar-benar akan mengerahkan kekuatannya untuk menaklukkan kadipaten kita ini. sebab kegagalan mereka menaklukkan Kadipaten Surabaya sehingga akan dilampiaskan ke Wirasaba”.

Ki Wiguna dan kawannya mendengarkan pembicaraan itu dengan jelas sembari menikmati makanan yang disuguhkan tanpa menarik perhatian orang-orang yang sedang berbicara.

“Sepertinya Sinuhun di Mataram yang sekarang sangat gila kekuasaan, buktinya dia masih saja menyerang bang wetan meskipun sudah mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas dan pernah mengalami beberapa kali kegagalan”. berkata orang yang dipanggil kakang.

“Aku juga tidak mengerti penalaran para penguasa kakang, sejauh pengetahuanku, di tanah ini tidak pernah ada habisnya perang yang terjadi”.

“Kau benar adi, menurutku perang hanya lambang ketamakan penguasa yang tidak pernah puas dan tidak pernah bersyukur kepada Yang Maha Agung”.

“Dan pada akhirnya kawula alit seperti kita ini yang akan merasakan akibat perang yang paling pahit kakang”.

“Tapi itulah akibat yang harus kita sandang sebagai trah pidak-pidarakan. Apakah kau sudah mendapat kabar kapan Mataram akan datang menyerang Wirasaba?”.

“Aku belum tahu, tapi menurut dugaanku tidak akan lama lagi karena berdasarkan keterangan yang aku dengar dari saudaraku yang menjadi prajurit, Mataram sudah mempersiapkan segalanya untuk perang”.

Ki Wiguna dan kawannya kemudian memutuskan untuk meninggalkan kedai setelah mereka menyelesaikan makan dan membayarnya serta mendapat keterangan yang dianggap cukup.

“Ternyata hampir semua kawula alit tidak pernah menginginkan terjadinya perang. Karena perang itu sendiri lebih banyak menyengsarakan daripada membahagiakan”. ucap Ki Wiguna setelah berjalan agak jauh dari kedai itu.

“Benar Ki Lurah”.

“Perang tidak akan pernah bisa kita hindari jika kita sama-sama berdiri di atas kebenaran masing-masing. Perang akan bisa dicegah jika kita sama-sama berdiri di atas kebenaran dari sumberNya, yaitu kebenaran dari Yang Maha Agung, karena perang adalah cara terburuk yang bisa kita tempuh untuk menyelesaikan masalah”. berkata Ki Lurah Glagah Putih yang sementara berganti nama menjadi Ki Wiguna.



– o-O-o –


Bersambung Ke

Djilid



4




Padepokan Tanah Leluhur


Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar