* * *
“Ki Lurah Branjangan sedang sakit?”.
“Demikianlah Ki Patih”.
“Kenapa tidak ada yang memberitahukan kepadaku? bukankah Kepatihan justru lebih dekat jika dibandingkan dengan Tanah Perdikan Menoreh?”.
“Aku sendiri tidak tahu, Ki Patih. Namun menurutku, mungkin karena ada keseganan dari Ki Purbarumeksa sebab Ki Lurah Branjangan sudah sangat lama purna tugas, selain itu mungkin pula karena mertuanya itu bukanlah orang yang memiliki jabatan yang tidak terlalu tinggi selama menjadi prajurit”.
“Ada benarnya pula ucapanmu. Tapi menurutku secara pribadi, meskipun Ki Lurah Branjangan bukanlah orang yang berkedudukan tinggi dan kemampuan kanuragan yang tinggi, namun dia tetaplah tokoh besar bagi Mataram. Sebab dia adalah salah satu tokoh yang ikut serta dalam merintis berdirinya Mataram sejak tempat ini masih berupa Alas Mentaok”.
“Aku pun berpikir demikian Ki Patih, karena seorang tokoh besar itu tidak hanya kita lihat dari seberapa tinggi kedudukannya dan kemampuan pribadinya, tapi yang paling penting adalah apa yang telah dia berikan untuk Mataram semasa hidupnya, baik pada saat masih sebagai prajurit maupun setelah purna tugas”.
“Aku sependapat, tapi tidak semua orang memiliki penalaran yang sama dengan kita”. sahut Ki Patih Singaranu sembari mengunyah makanan di mulutnya.
“Kalian jangan sungkan-sungkan jika makan bersamaku, ambilah lauk pauk yang ada dan kalian suka, terutama Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi”.
“Terima kasih Ki Patih”. sahut keduanya hampir berbarengan.
“Sebaiknya pembicaraan tentang Ki Lurah Branjangan kita lanjutkan nanti, sebab aku ingin mendengarkan dulu seluruh laporan yang harus aku dengar, terutama yang berhubungan pasukan Mataram yang berada di Wirasaba serta bagaimana kemungkinan perkembangan keadaan Ki Lurah Glagah Putih?”.
“Berdasarkan keterangan dari kawan Begawan Mayangkara, kemungkinan dalam sepekan ke depan Glagah Putih sudah dapat menemukan kesembuhannya, bahkan sudah dapat berjalan sendiri meskipun kemampuannya secara keseluruhan belum dapat kembali seperti sedia kala”.
“Lalu butuh berapa lama untuk memulihkan keadaan Ki Lurah Glagah Putih seperti sedia kala?”.
“Maaf Ki Patih, aku sendiri belum dapat memastikan. Tapi aku akan selalu berusaha untuk sesegera mungkin dia dapat kembali”.
“Menurutmu bagaimana keadaan Ki Patih Rangga Permana itu sendiri? seberapa parahkah lukanya?”.
“Aku sendiri tidak dapat memastikan, Ki Patih. Namun dalam waktu yang sekejap itu aku sempat melihat bahwa sepertinya dia pun terluka parah pula, sebab ketika aku menyambar tubuhnya, dia sudah tidak mampu sadarkan diri dan terkulai lemah sembari mulutnya terlihat bercak darah”.
“Apakah ada kemungkinan Ki Patih Rangga Permana selamat?”.
“Untuk hal itu aku juga tidak berani menduga-duga, Ki Patih. Tapi berdasarkan bekal kawruh pengobatan yang pernah aku pelajari, sepertinya hanya atas kemurahan Yang Maha Welas Asih lah dia masih mampu bertahan”.
“Aku mengerti maksudmu, lalu bagaimanakah dengan orang yang kemarin sempat ingin menculik Ki Lurah Glagah Putih? apakah kau mengenali orang itu atau paling tidak memiliki gambaran? dan menurutmu apakah ada kemungkinan bahwa dia masih menyimpan dendam setelah Wirasaba jatuh dan terutama dengan terlukanya Ki Patih Rangga Permana?”.
“Maaf Ki Patih, dalam kejadian yang begitu cepatnya, aku sepertinya tidak mampu mengenalinya. Tapi dalam waktu yang sekejap itu aku sempat melihat bahwa orang itu sudah cukup berumur, jika aku tidak salah umurnya tidak terlalu jauh di atas umur kakang Untara”.
“Mungkin kau memiliki gambaran atau dugaan kepada salah satu sosok? dalam pengenalanmu yang sekejap itu?”.
“Awalnya aku sempat menduga bahwa dia adalah Panembahan Madiun yang dulu sempat melarikan diri ke Wirasaba ketika mendapat serangan dari Mataram yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Panembahan Senopati, tapi setelah aku pikir-pikir lagi sepertinya tidak, sebab tokoh ini aku lihat lebih muda”.
“Sembari kau bercerita, jangan lupa kau suapi pula mulutmu itu, Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi jangan merasa sungkan jika makan bersamaku”. sahut Ki Patih Singaranu tersenyum.
“Aku ingat bahwa guru sempat menyinggung sebuah nama, yaitu Ki Ageng Wirasaba, mungkinkah dia? karena berdasarkan cerita yang aku dengar tokoh itu sudah terlalu sepuh jika masih hidup sampai sekarang. Tapi sangat mungkin jika itu adalah salah satu murid atau keturunannya”.
“Aku pernah mendengar nama itu pula, namun aku tidak terlalu tahu akan orang itu. Sebaiknya aku menyampaikan ini kepada Kanjeng Sinuhun agar mencari keterangan tentang orang itu atau segala hal yang berhubungan dengan orang tersebut”.
“Aku rasa memang sebaiknya demikian Ki Patih, sebab ada kemungkinan kita akan bersinggungan dengan orang-orang itu. Apalagi pada saat dia pergi sembari membawa tubuh Ki Patih Rangga Permana, orang itu sempat berucap bahwa Mataram harus bertanggung jawab atas kejadian ini”.
“Aku pun mendengar laporan yang sama dari prajurit sandi, dan aku rasa orang itu tidak main-main dengan ucapannya tersebut, dengan demikian Mataram harus berhati-hati. Sebab cepat atau lambat orang itu pasti akan muncul untuk membuktikan ucapannya kepada kita semua”.
“Tapi menurut dugaanku dia hanyalah seorang diri atau hanya memiliki beberapa kawan saja, sehingga kemungkinan yang paling masuk akal adalah dia tidak akan secara terbuka menyerang pasukan Mataram, Ki Patih. Tapi dia akan menantang perang tanding salah satu pembesar Mataram yang dianggap paling bertanggung jawab”.
“Maksudmu dia akan secara terang-terangan menantang perang tanding Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma?”.
“Mungkin Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sendiri atau orang yang bersedia mewakilinya, tapi aku kira dia akan tetap meminta salah satu Priyagung Mataram. Sebab menurut dugaanku berdasarkan ucapannya, dia merasa sangat terhina atas perlakuan Mataram yang menempatkan Glagah Putih sebagai lawan perang tanding seorang Patih Wirasaba”.
“Masuk akal juga pendapatmu, Ki Agung Sedayu. Sebab secara penalaran wajar, dia akan meminta pengganti sepadan. Priyagung diganti dengan Priyagung pula, tapi apakah tidak ada kemungkinan bahwa dia akan menyimpan dendam pula kepada Ki Lurah Glagah Putih secara pribadi?”.
“Aku kira kemungkinan itu pun ada, tapi sepertinya akan sangat kecil sekali. Sebab Glagah Putih bukanlah salah satu Priyagung Mataram, sehingga menurutku kurang sepadan jika dibandingkan dengan seorang Patih Wirasaba”.
“Meskipun adik sepupumu itu bukanlah salah satu Priyagung Mataram, tapi bukankah dialah yang mampu membuat Ki Patih Rangga Permana terluka parah? bahkan ada kemungkinan lebih parah dari itu?”.
Ki Agung Sedayu terdiam sejenak mendengarkan kata-kata tersebut untuk mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi sembari menyuapi mulutnya.
“Aku kira kemungkinan itu sangat kecil sekali, sebab dia pasti mengetahui keadaan Glagah Putih yang dia kira pasti tidak akan dapat kembali dalam waktu dekat, atau bahkan dia sempat berpikir bahwa Glagah Putih tidak akan mampu bertahan”.
“Jika tidak, mungkin saja dia akan mencari gurunya sebagai gantinya? bukankah itu mungkin?”.
“Jika itu yang terjadi, bukankah dengan demikian akan menjadi sebuah pekerjaan yang sia-sia?”.
“Maksudmu dengan sia-sia?”.
“Bukankah guru Glagah Putih, yaitu Ki Jayaraga telah wafat?”.
“Bukankah Ki Lurah Glagah Putih tidak hanya memiliki guru Ki Jayaraga seorang?”. sahut Ki Patih Singaranu lalu tertawa, yang lain ikut tertawa pula.
Setelah makan malam selesai, maka mereka berpindah kembali ke serambi kiri untuk melanjutkan pembicaraan yang sepertinya masih panjang.
“Ki Agung Sedayu, aku mendapatkan pesan dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma bahwa kau diminta untuk segera menyusul ke Wirasaba”.
Ayah Sekar Wangi itu tidak segera menjawab, tapi lebih dulu memandangi kedua istrinya secara bergantian untuk melihat tanggapan mereka, namun sepertinya sia-sia sebab keduanya sedang sama-sama menundukkan wajahnya.
“Sepertinya sudah ada tugas yang telah menungguku sehubungan dengan menghilangnya Glagah Putih di antara mereka”. sahut Ki Agung Sedayu sembari menarik nafas dalam.
“Sepertinya memang demikian, dan kau akan mengetahuinya sendiri setelah kau menghadap, sebab Kanjeng Sinuhun sendiri tidak menyebutkan tugas apakah itu melalui aku”.
“Apakah aku harus berangkat malam ini pula?”.
“Aku kira tidak harus malam ini juga, namun semakin cepat akan semakin baik. Lagipula dengan kelebihanmu itu aku rasa kau pasti tidak akan menemui kesulitan jika harus berangkat dan kembali kapanpun”.
“Syukurlah jika demikian, sebab aku ingin menyempatkan waktu untuk menjenguk keadaan Ki Lurah Branjangan lebih dulu. Dan untuk kemampuanku yang satu itu adalah semata-mata atas kemurahan Yang Maha Welas Asih, Ki Patih. Lagipula kemampuan itu dapat sewaktu-waktu hilang jika aku melanggar paugeran dari Yang Maha Agung”.
“Begitu rupanya? aku justru baru mengetahuinya, tadinya aku kira kemampuan itu wataknya sama dengan kemampuan kanuragan yang selama ini kau pelajari”.
“Tidak Ki Patih, sebab kemampuan itu adalah semata-mata berdasarkan hasil panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih, dan bukan hasil dari sebuah laku yang harus dijalani seperti kita ngangsu kawruh kanuragan. Sehingga untuk menjaga itu, hanya dalam keadaan terpaksa dan kepada orang-orang khusus sajalah aku dapat memberitahukannya”.
“Seandainya saja dulu kau tidak membuat kesalahan itu, maka kemungkinan besar kau lah yang menduduki jabatanku sekarang, Ki Agung Sedayu”.
“Aku tidak pernah bermimpi untuk kedudukan itu, Ki Patih”.
“Tapi bukankah kau tidak akan menolak jika itu sudah menjadi titah Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma?”.
“Ki Patih benar, tapi aku tidak mau berpikir ngayawara tentang sesuatu yang belum tentu terjadi. Tapi jika Kanjeng Sinuhun sudah memberikan titah kepadaku, barulah aku berkewajiban untuk menjalankan titah itu dengan sebaik-baiknya”.
“Tapi memang pada waktu itu keadaannya terlalu rumit, bahkan sebuah penobatan yang paling rumit sejauh pengetahuanku. Karena ternyata banyak orang berkepentingan mencoba memanfaatkan keadaan, yang justru malah memperkeruh keadaan itu sendiri. Dan dalam keadaan yang demikian, tanpa diduga kau malah terjebak dalam pusaran itu”.
“Aku memang terlalu dungu, Ki Patih”.
“Tapi karena Swargi Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari, Pangeran Purbaya, dan Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma yang masih memiliki kepercayaan tinggi kepadamu, dan mengingat segala jasa pengabdianmu dan gurumu Swargi Kyai Gringsing kepada Mataram, maka mereka tetap membela dan melindungimu. Namun untuk meredam perseteruan yang berkepanjangan dengan Ponorogo, maka dengan sangat terpaksa kau harus dipecat dari keprajuritan”.
“Aku telah berhutang nyawa kepada orang-orang yang telah membelaku. Sebab sejauh pengetahuanku, jika ada orang yang telah membuat kesalahan yang sama dengan apa yang telah aku lakukan, pasti akan mendapatkan hukuman pancung”.
“Mereka adalah orang-orang yang berjantung, sehingga tahu cara berterima kasih atas segala pengabdianmu. Jika aku pada posisi mereka, aku kira aku pun akan melakukan hal yang sama dengan apa yang telah mereka lakukan terhadapmu”.
“Aku tidak pernah merasa berjasa apapun, Ki Patih. Karena apa yang semua aku lakukan itu adalah semata-mata menjalankan kewajiban, baik kewajiban sebagai seorang prajurit maupun sebagai kawula Mataram”.
“Setelah dilaksanakan pemecatan itu lalu berdasarkan gagasan dari Swargi Ki Patih Mandaraka, mengingat kemampuanmu yang sangat tinggi itu maka kau diangkat menjadi seorang yang mendapat kedudukan khusus dengan tugas khusus pula, tapi untuk menghindari perseteruan mencuat lagi maka kabar itu hanya dapat diketahui oleh orang-orang tertentu”.
“Aku sangat beruntung karena tidak mendapatkan hukuman yang seharusnya aku terima dan justru masih mendapatkan kepercayaan dari pepunden Mataram untuk mengabdikan diri”.
“Bahkan kau mendapatkan anugerah dari Kanjeng Sinuhun dengan menerima seorang Putri Triman”.
Tanpa sadar Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi mengangkat wajahnya, lalu saling pandang. Namun tidak terucap sepatah katapun untuk menanggapi.
“Aku minta maaf, Nyi. Sungguh aku tidak bermaksud apa-apa, tapi aku tidak tahu kalian melihat hal itu seperti apa? sebagai anugerah atau bencana. Dan aku tahu bahwa dengan demikian maka kalian harus rela berbagi dengan seorang perempuan lain lagi. Meskipun kalian harus rela berbagi, namun aku percaya bahwa Ki Agung Sedayu adalah seorang suami yang setia dan bertanggung jawab, dan aku yakin semua ini dilakukannya bukan atas dasar ketamakannya, tapi keadaanlah yang telah memaksanya”.
“Bukankah kami tidak memiliki kuasa untuk menolaknya, Ki Patih? sebab menolak pemberian Kanjeng Sinuhun adalah sama artinya dengan penghinaan, dan hukuman bagi orang yang berani bersikap demikian adalah hukuman pancung?”.
“Kau benar, Nyi Sekar Mirah. Makanya tadi aku katakan bahwa aku tidak tahu kalian melihat itu sebagai anugerah atau bencana. Akupun menyadari dalam sebuah rumah tangga yang kalian jalani itu tidak mudah dan harus mau mengerti satu sama lain agar tidak menimbulkan perbedaan pandangan”.
“Pada awalnya memang aku merasa sangat keberatan dengan anugerah Putri Triman itu, Ki Patih. Tapi akhirnya pada suatu ketika, meskipun berat, hatiku mulai terbuka untuk menerima kenyataan ini dengan sepenuh hati”.
“Sejauh pengetahuanku, sebenarnya pada awalnya Kanjeng Sinuhun sempat ingin membatalkan penganugerahan Putri Triman tersebut karena kesalahan yang telah dibuat Ki Agung Sedayu. Tapi Swargi Ki Patih Mandaraka berpesan bahwa, pantang bagi seorang ksatria membatalkan sebuah pemberian yang sudah dijanjikan”.
“Mungkin memang seperti inilah lakon yang harus kami jalani, sehingga tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Semoga saja kami dapat menjadi sebuah keluarga yang baik”. sahut Nyi Sekar Mirah yang sepertinya tidak ingin membicarakannya lebih jauh lagi.
“Baiklah… sepertinya memang lebih baik kita membicarakan yang lain saja. Bukankah malam ini kalian akan menginap di Kepatihan?”.
“Maaf Ki Patih, bukan maksud kami untuk menolak kebaikan Ki Patih Singaranu, tapi sebaiknya lain kali saja sebab malam ini juga kami ingin segera menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit”. sahut ayah Sekar Wangi.
“Apakah sakitnya sudah sangat mengkhawatirkan?”.
“Aku belum dapat memastikannya, tapi berdasarkan keterangan dari utusan yang telah dikirim oleh Ki Purbarumeksa sepertinya demikian, Ki Patih. Apakah ada perintah yang harus aku sampaikan kepada keluarga Ki Lurah Branjangan?”.
“Perintah?”. sahut Ki Patih Singaranu, lalu terdiam.
“Sebaiknya aku menyempatkan diri untuk menjenguk Ki Lurah Branjangan, bukankah kalian tidak keberatan jika aku ikut dalam rombongan kalian?”. ucap Ki Patih Singaranu pada akhirnya.
“Tidak ada yang merasa keberatan sama sekali, Ki Patih, Justru kami merasa sangat terhormat dapat melakukan sebuah perjalanan bersama dengan seorang Priyagung Mataram”. sahut Ki Agung Sedayu sembari tersenyum.
***
Sementara itu Ki Untara hatinya menjadi semakin kurang mapan ketika malam itu sudah mencapai wayah sepi uwong tapi adiknya belum kelihatan batang hidungnya pula.
Meskipun Ki Untara sekarang sangat menyadari kemampuan adiknya yang dulu pada saat masih remaja adalah seorang penakut, namun naluri seorang kakak terhadap adiknya masih tetaplah sama.
“Sebenarnya apa keperluannya? mungkin sebatas keperluan hanya keluarga kecilnya sehingga dia tidak menyampaikan apapun kepadaku, tapi apakah keperluannya benar-benar menyita waktu sehingga belum tiba hingga sekarang? atau dia mengalami hambatan di sepanjang perjalanan?”. katanya dalam hati.
Namun lamunan itu harus berakhir berbarengan dengan kedatangan Nyi Rara Wulan yang mencari ayahnya untuk memberitahukan perkembangan keadaan kakeknya.
“Ayah… Tabib yang merawat Kakek meminta Ayah untuk ke dalam”. Berkata Nyi Rara Wulan perlahan setelah bersimpuh di sebelahnya.
Meskipun semua orang telah mengetahui keadaan Ki Lurah Branjangan, namun tetap saja bagi sebagian orang sempat berdesir pula jantungnya mendengar ucapan ibu Arya Nakula.
“Baiklah…” lalu lanjutnya, “maafkan aku Ki Sanak semua, aku harus aku melihat keadaan kakeknya Rara Wulan dulu”.
“Silahkan Ki, silahkan…”. sahut yang hadir hampir bersamaan.
Ki Purbarumeksa segera bangkit, yang kemudian diikuti oleh anak perempuannya yang mengajak cucunya yang sedari tadi lebih banyak mengawani para tamu.
Sementara Nyi Purbarumeksa yang menggelar tikar daun mendong bersama para tamu perempuan yang datang, di depan pintu bilik Ki Lurah Branjangan dirawat tidak dapat menahan air matanya yang terus mengalir.
Ratri dan ketiga adik angkat Nyi Rara Wulan berusaha menenangkan dan menghibur Nyi Purbarumeksa dengan mengerumuninya yang sejak beberapa saat yang lalu kedua tangannya sering menutupi seluruh wajahnya yang basah.
“Ada apa Kyai?”. bertanya Ki Purbarumeksa kepada Tabib yang merawat ayah mertuanya setelah sampai di dalam bilik.
“Ki Purbarumeksa, sebelumnya aku minta maaf jika nanti apa yang aku ucapkan itu salah”. ucap Tabib itu dengan suara perlahan dan dengan penuh kehati-hatian dalam memilih kata.
“Aku mengerti, Kyai. Kau katakan saja apa yang sebenarnya terjadi agar aku tidak salah dalam mengambil sikap. Dan aku dan keluarga sudah siap menerima kabar apapun tentang keadaan Ki Lurah Branjangan”.
“Sekali lagi aku minta maaf jika aku salah bicara, sebab apa yang akan aku katakan adalah hanya sebatas pengetahuanku, tapi aku tidak tahu itu adalah sebuah kebenaran atau tidak”.
“Baik Kyai, katakanlah”.
Tapi sebelum Tabib itu berbicara lebih lanjut untuk memberikan keterangan, salah satu pengawal telah mengetuk pintu bilik yang setengah terbuka.
“Ada apa?”
“Maaf Ki Purbarumeksa, Ki Patih Singaranu berkenan hadir”.
“He… Ki Patih Singaranu kau bilang?”.
“Benar Ki”.
“Baiklah… aku akan segera datang menemuinya, tapi tolong sampaikan permohonan maafku jika aku ada keperluan dulu”.
Setelah pengawal itu pergi.
“Maaf Kyai, tadi apa yang akan kau katakan?”.
“Begini Ki Purbarumeksa, jika sejauh kawruh pengobatan yang selama ini aku pelajari keadaan Ki Lurah Branjangan sudah tidak memungkinkan lagi untuk mampu bertahan, namun sepertinya ada sesuatu yang masih menahannya sehingga dia tidak dapat segera menggapai alam kelanggengan”.
“Maksud Kyai?”.
“Mungkin dalam beberapa waktu yang lalu, Ki Lurah Branjangan pernah rasan-rasan atau memiliki suatu gegayuhan yang masih belum sempat terlaksanakan hingga sekarang”.
Seketika Ki Purbarumeksa menjadi terdiam sembari mengingat apa saja yang pernah diucapkan atau gegayuhan yang mungkin belum terlaksanakan oleh ayah mertuanya tersebut.
“Sekali lagi aku minta maaf jika aku salah, sebab setelah beberapa lama aku membantu merawatnya dan mengetahui keadaannya, ini bukan sekedar penyakit wajar tapi sudah merambah ke penyakit batin yang harus mendapat perawatan secara batin pula”. ucap Tabib menjelaskan.
“Aku mengerti, Kyai. Tapi sepertinya masalah ini tidak dapat aku pecahkan sendiri, dan sebaiknya aku tanyakan kepada istriku dulu, siapa tahu dia pernah mendengarnya”.
“Silahkan Ki Purbarumeksa, semakin cepat akan semakin baik”.
“Nyi… apakah dalam beberapa waktu terakhir kau pernah mendengar ayah rasan-rasan atau mungkin pernah mengatakan sebuah keinginan yang belum sempat terlaksanakan hingga sekarang ini? coba kau ingat-ingat”. bertanya Ki Purbarumeksa kepada istrinya setelah keluar bilik.
Seketika Nyi Purbarumeksa tercenung mendengar pertanyaan suaminya yang cukup aneh sembari menurunkan kedua tangannya dari wajah, tapi akhirnya dia dapat memaklumi maksud dari pertanyaan tersebut.
Tiba-tiba isak tangis itu berhenti karena nenek Arya Nakula itu berusaha mengingat-ingat apa saja yang telah dikatakan oleh ayahnya dalam beberapa waktu terakhir.
“Pada saat Ayah masih dapat diajak bicara, sempat mengatakan bahwa sekujur tubuhnya sering terasa panas dan kemudian minta dipindahkan biliknya, tapi setelah dipindah katanya tubuhnya masih merasakan panas yang sama”.
“Maaf Nyi, sepertinya bukan itu jawaban yang aku maksud. Coba kau ingat-ingat lagi yang lain”. sahut Tabib itu yang ternyata telah berdiri di belakang Ki Purbarumeksa.
Nyi Purbarumeksa kembali terdiam untuk berusaha mengingat apa saja yang telah dikatakan oleh ayahnya. Dan ternyata memang tidak mudah untuk melakukan hal itu.
“Jika aku tidak salah ingat… Ayah pernah menyebut Glagah Putih beberapa kali dalam waktu yang berbeda ketika dia mengigau dalam tidurnya”. ucap Nyi Purbarumeksa dengan suara perlahan dan penuh keraguan.
Hampir semua yang hadir terkejut mendengarnya, tapi tidak bagi Tabib yang merawatnya justru menjadi terdiam, yang sepertinya mulai mempertimbangkan jawaban tersebut.
“Sepertinya Ki Lurah Branjangan sangat merindukan nama itu dan sudah sangat ingin bertemu”.
“Mungkin sekali, Kyai. Sebab Ayah memang sudah lama tidak bertemu dengan suami anakku itu karena dia terlalu sibuk dengan tugas-tugas keprajuritannya”.
“Semoga saja sekarang dia dapat dipertemukan, agar keadaan Ki Lurah Branjangan lebih baik”.
“Maaf Kyai… tapi sepertinya sekarang pun kita tidak dapat mempertemukannya, sebab kakang Glagah Putih sedang mendapat tugas melawat ke Wirasaba bersama pasukan Mataram”. sahut Nyi Rara Wulan.
Sejenak suasana menjadi hening karena mereka menjadi sibuk pada penalaran masing-masing dengan perasaan lesu karena tidak dapat mencari jalan keluar segera.
“Aku baru ingat…”.
Suara Nyi Purbarumeksa yang tiba-tiba itu mengejutkan hampir semua orang yang hadir.
“Apa yang kau ingat itu Nyi?”. sahut suaminya cepat.
“Aku ingat bahwa Ayah pernah sekali menyebut sebuah nama selain Glagah Putih, yaitu nama kakak sepupunya”.
“Apakah maksud Ibu adalah kakang Agung Sedayu?”.
“Benar nduk”.
“Bukankah Ki Agung Sedayu sedang dalam perjalanan kemari?”. sahut suaminya.
“Benar Ayah, semoga saja kakang Agung Sedayu segera tiba”.
“Baiklah, sembari kita menunggunya, sebaiknya aku menyambut kedatangan Ki Patih Singaranu yang telah tiba, agar tidak dianggap deksura. Meskipun aku sendiri merasa bingung siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepada Mataram, sebab aku merasa tidak mengirimkan utusan sama sekali”.
Tapi betapa terkejutnya Ki Purbarumeksa dan keluarga ketika mendapati tamunya telah bertambah, selain kedatangan Ki Patih Singaranu itu sendiri.
Lalu dengan penuh keramahan dia pun menyambut tamu-tamunya yang baru saja datang, dan tidak lupa mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing.
“Kenapa Ki Purbarumeksa tidak memberikan kabar kepada Mataram tentang sakitnya Ki Lurah Branjangan? aku justru mendengar dari orang lain?”. bertanya Ki Patih Singaranu setelah mereka duduk bersama di pendapa dan bergabung dengan para tamu yang lain.
“Ampun Ki Patih, hamba tidak ingin dianggap deksura”.
“Apakah dengan memberikan kabar tentang sakitnya Ki Lurah Branjangan adalah sebuah sikap deksura? ”.
“Ampun, Ki Patih. Menurut hamba, adalah kurang pantas jika kami menyampaikan kabar ini kepada Mataram sebab Ki Lurah Branjangan dan aku sendiri telah purna tugas, bahkan dalam waktu yang sudah cukup lama”.
“Tapi menurutku itu bukanlah sebuah sikap deksura, Ki Purbarumeksa. Meskipun kalian sudah purna tugas dalam waktu yang cukup lama, tapi dulu kita pernah sama-sama bahu-membahu untuk memperjuangkan tanah ini di bawah panji-panji Mataram, sehingga sampai kapanpun kalian masih tetaplah menjadi keluarga besar Mataram”.
“Terima kasih atas kemurahan hati Ki Patih”.
“Kalian tidak perlu menghormatiku secara berlebihan, sebab sekarang ini kita tidak sedang dalam acara resmi dan aku pun tidak sedang mengenakan baju kebesaran. Anggap saja kita sedang berbincang dengan kawan lama, karena sebenarnya kita semua sama dan kebetulan saja aku mendapatkan keberuntungan yang lebih dari kalian semua”.Hampir semua orang yang hadir terkejut dan kebingungan mendengar ucapan pepunden mereka tersebut, sebab jarang sekali orang yang telah mendapatkan kamukten masih bersikap demikian.
Tapi dalam keterkejutan itu timbullah sebuah kekaguman mereka kepada orang yang mendapat kepercayaan para petinggi Mataram untuk menggantikan kedudukan Swargi Ki Patih Mandaraka yang telah wafat dalam umurnya yang sudah sangat sepuh.
“Lalu sekarang bagaimana dengan Ki Lurah Branjangan?”. tanya Ki Patih Singaranu setelah sejenak suasana menjadi hening.
“Ampun Ki Patih, kami sekeluarga sudah berusaha sejauh yang kami mampu usahakan, namun masih belum ada tanda-tanda membaik tapi justru semakin menurun”.
“Apakah aku diizinkan untuk menjenguknya sekarang?”.
“Silahkan Ki Patih, marilah aku kawani”. sahut Ki Purbarumeksa.
“Ki Agung Sedayu, bukankah kau juga memiliki keperluan yang sama denganku?”.
“Benar Ki Patih”.
“Jika demikian, marilah kita bersama-sama”.
“Em…”. desis ayah Sekar Wangi ragu.
“Bukankah tidak ada larangan jika aku mengajak seorang kawan, Ki Purbarumeksa?”. sahut Ki Patih Singaranu sembari tersenyum.
“Ah… tentu tidak Ki Patih, marilah Ki Agung Sedayu. Kita jenguk Ki Lurah Branjangan bersama-sama”.
Akhirnya mereka pun bangkit dan meninggalkan para tamu yang lain untuk menjenguk Ki Lurah Branjangan yang terbaring di bilik ruang dalam. Sementara ketika mereka sampai di depan bilik telah disambut oleh Nyi Purbarumeksa, Ratri, beserta Nyi Rara Wulan dan ketiga adik angkatnya.
Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, lalu Nyi Rara Wulan pun ikut mengawani Priyagung Mataram itu masuk ke dalam bilik yang kebetulan sedang tidak ada orang karena Tabib yang merawatnya sedang pergi ke pakiwan.
Seketika timbul rasa keprihatinan dalam hati Ki Patih Singaranu dan Ki Agung Sedayu pada saat pertama kali melihat keadaan Ki Lurah Branjangan dalam pembaringannya, setelah sekian lama.
Meskipun mereka belum mendengar keterangan yang lebih lengkap tentang keadaan orang tua itu, namun berdasarkan dari penglihatan mereka sedikit banyak sudah dapat menduga sejauh mana kesulitan Ki Lurah Branjangan, terutama bagi Ki Agung Sedayu yang memiliki sedikit bekal tentang kawruh pengobatan.
“Maaf Ki Purbarumeksa, apakah Ki Lurah Branjangan masih bisa diajak bicara?”. bertanya Ki Agung Sedayu.
“Sudah dalam beberapa hari terakhir ini tidak, tapi tiba-tiba terdengar dia mengerang atau menggeram, dan sesekali terdengar seperti orang mengigau dengan suara yang sangat perlahan”.
“Apakah kau ingin memeriksanya? untuk mengetahui keadaan Ki Lurah Branjangan lebih jauh?”. bertanya Ki Patih Singaranu yang menyadari jika Ki Agung Sedayu adalah salah satu orang yang pandai dalam kawruh pengobatan.
“Aku rasa, aku pun tidak dapat berbuat lebih baik dari Tabib yang sekarang merawatnya, sebab Ki Lurah Branjangan memang sedang dalam keadaan yang sangat sulit”.
“Meskipun aku tidak memiliki bekal kawruh pengobatan. Tapi berdasarkan penalaranku, aku membenarkan apa yang telah dikatakan oleh Ki Agung Sedayu”.
“Aku minta maaf Ki Purbarumeksa, bukan maksudku untuk melemahkan pengharapan kita semua. Namun aku pun tidak dapat menyembunyikan kenyataan ini, tapi semoga saja Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua”.
“Aku bukan kanak-kanak lagi, Ki Agung Sedayu. Jadi kau tidak perlu merasa bersalah jika kau memang mengatakan apa yang kau yakini itu sebuah kebenaran”.
“Lalu apa kata Tabib yang merawatnya?”.
Kemudian Ki Purbarumeksa menceritakan apa yang telah dikatakan oleh Tabib itu secara runtut dan jelas, termasuk menyebut nama ayah Arya Nakula, tapi belum sempat mengatakan nama kedua yang telah disebut.
Kali ini Ki Patih Singaranu dan Ki Agung Sedayu lah yang menjadi saling pandang dalam kediaman sesaat, setelah mendengar keterangan tersebut, tapi bagi Ki Purbarumeksa dan Nyi Rara Wulan yang tidak mengerti maksud keduanya tidak memiliki prasangka apapun atas sikap tersebut.
“Itulah yang mustahil dapat kita lakukan Ki Patih, sebab kita semua tahu bahwa Glagah Putih sedang ikut melawat ke bang wetan bersama pasukan Mataram”.
“Ki Purbarumeksa benar, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? sebab biar bagaimanapun kita harus tetap berusaha merawat Ki Lurah Branjangan dengan sebaik-baiknya”.
“Berdasarkan keterangan dari istriku yang kebetulan mendengarnya secara langsung. Ki Lurah Branjangan memang sempat menyebut nama Glagah Putih beberapa kali, namun sempat pula menyebut sebuah nama lain dalam sekali waktu”.
“Siapakah orang itu, Ki Purbarumeksa?”. bertanya Ki Patih Singaranu penasaran.
Ki Purbarumeksa tidak menjawab dengan mulutnya, namun dengan sikap sedikit membungkuk, dan dengan ibu jarinya lah dia menunjuk orang yang sedang berdiri di hadapannya.
“Aku…?”. ucap ayah Sekar Wangi dengan ragu-ragu.
“Demikianlah Ki Agung Sedayu”.
“Kenapa dengan aku rupanya?”.
“Jangan tanyakan itu kepadaku, Ki Agung Sedayu. Sebab aku sendiri pun tidak tahu mengapa dia menyebut namamu, tapi menurut dugaanku karena selain kau adalah kakak sepupunya kau adalah gurunya Glagah Putih pula”.
“Itu sangat mungkin sekali Ki Purbarumeksa, sebab sejauh sepengetahuanku Ki Lurah Branjangan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan mereka berdua, bahkan jauh sebelum Ki Lurah Glagah Putih menjadi menantumu”.
“Oh iya.. sekarang aku ingat, bahwa Ki Lurah Branjangan pernah bercerita bahwa dia merasa berhutang nyawa kepadamu, sebab kau telah menyelamatkan nyawanya dari keganasan sepak terjang Ki Tumenggung Prabadaru yang memiliki ilmu yang sangat ngedap-ngedapi. Dia sempat bercerita pula, bahwa jika pada saat itu dia tidak mendengarkanmu dan lebih mementingkan harga dirinya maka tentu dia pulang hanya akan tinggal nama”.
“Aku hanya menjalankan kewajiban, Ki Purbarumeksa”.
“Aku mengerti Ki Agung Sedayu, kau memang menjalankan kewajiban. Namun bagi orang lain apa yang kau lakukan itu dapat berarti lain, bahkan suatu ketika dapat menjadi dewa penyelamat bagi orang lain kewajiban yang kau lakukan itu?”.
“Apakah Ayah belum mengenal kakang Agung Sedayu? adalah sebuah kemustahilan jika kakang Agung Sedayu akan membenarkan kata-kata Ayah sembari dengan membusungkan dada?”. sahut Nyi Rara Wulan yang sedari tadi lebih banyak diam.
“He… “. Ki Purbarumeksa terkejut.
“Aku lupa bahwa kau memang lebih mengenalnya daripada aku sendiri nduk”. lanjutnya sembari tersenyum.
“Lalu keterangan apalagi dari Tabib yang merawat Ki Lurah Branjangan?”. sahut Ki Patih Singaranu mengalihkan pembicaraan.
“Tabib itu mengatakan bahwa dia sudah berusaha membantu dengan sebaik-baiknya, tapi penyakit yang sedang diderita oleh Ki Lurah Branjangan itu sepertinya bukan sekedar penyakit lahir, namun sudah masuk penyakit batin, maka harus diobati pula dengan cara batin. Dan katanya lagi, kita disarankan untuk tidak henti-hentinya memanjatkan panuwunan bagi kesembuhannya, jika Ki Lurah Branjangan memang masih diperkenankan untuk melanjutkan sejarah. Tapi jika memang sudah waktunya, kami sekeluarga diminta untuk berusaha merelakannya”. ucap Ki Purbarumeksa dengan suara lirih.
Sejenak suasana di dalam bilik tersebut menjadi hening karena ucapan yang sangat mengharukan dari Ki Purbarumeksa, tapi memang itulah kemungkinan yang dapat terjadi.
Tiba-tiba Ki Patih Singaranu mengusap perlahan tangan kanan Ki Lurah Branjangan yang masih terbaring diam, lalu mencoba untuk mengajak bicara dengan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Setelah sekali lagi membisikkan sesuatu dan ditunggu beberapa saat, tapi kakek Nyi Rara Wulan itu masih tetap tak bergeming sama sekali dalam pembaringannya.
Kemudian Ki Patih Singaranu mencoba menjauhi pembaringan, guna memberikan kesempatan kepada orang lain, yang mungkin ingin menyampaikan sesuatu.
Ki Agung Sedayu yang kebetulan yang berada paling dekat, mengambil kesempatan tersebut. Namun sebelum dirinya menyentuh tubuh orang tua itu, dia lebih dulu berdiam diri di sebelahnya untuk menyempatkan diri memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi orang yang sedang terbaring di hadapannya.
Setelah selesai, dengan perlahan tangan kanannya meraih salah satu tangan Ki Lurah Branjangan dan tetap digenggamnya, kemudian mulai membisikkan sesuatu.
Entah apa yang disampaikan ayah Bagus Sadewa, tapi dia melakukan itu dengan penuh kesabaran dan tidak ingin tergesa-gesa untuk segera usai sembari dengan mata terpejam, sementara yang lain hanya terdiam melihat semua itu.
Dan kejadian yang tidak pernah mereka duga terjadi, Ki Lurah Branjangan mulai terdengar mengerang perlahan dengan matanya yang setengah terbuka, namun yang terlihat hanya bagian yang putihnya saja.
Namun Ki Agung Sedayu tidak menghentikan apa yang sedang dilakukannya, dia tetap melakukan apa yang dia lakukan sejak tadi dan tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi dengan tubuh Ki Lurah Branjangan.
Semakin lama erangan itu semakin sering, bahkan kini sembari kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri secara perlahan dan lemahnya sembari mata dengan tetap setengah terbuka, selain itu tangan yang digenggam anak Ki Sadewa itu menguat.
Tiga orang yang menyaksikan pemandangan itu secara langsung dicengkam ketegangan yang sangat, tapi mereka sendiri tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan, sehingga mereka hanya dapat berdiri mematung dengan penuh tanda tanya.
Yang terlihat kini, tubuh Ki Lurah Branjangan seperti sedang merasakan kesakitan, tapi entah kesakitan yang seperti apa yang sedang dirasakannya. Sebab tubuh yang sudah sangat sepuh itu seakan berusaha memberontak dengan apa yang dilakukan ayah Bagus Sadewa, namun dia tidak memiliki kemampuan yang cukup.
Sehingga tubuh itu hanya dapat mengerang kesakitan bersama dengan tatapan mata kosong dan berusaha bergerak kemanapun yang dia mampu, meskipun pada kenyataannya tubuh itu sangat lemah untuk dapat bergerak.
Ketiga orang yang melihat kejadian itu semakin terpaku, antara bingung harus berbuat apa tapi disisi lain dalam hati mereka tidak sampai hati melihat semua itu. Terutama Nyi Rara Wulan yang hanya dapat memejamkan matanya sembari kedua tangannya berpegangan erat, dan dalam hati hanya dapat memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih hingga tanpa sadar kedua pipinya mulai basah.
Tubuh Ki Lurah Branjangan yang masih dalam pengaruh ayah Bagus Sadewa itu tiba-tiba menghentak layaknya orang yang sedang terkejut. Meskipun menyadari apa yang terjadi, namun Ki Agung Sedayu masih belum menghentikan apa yang sedang dilakukannya sejak beberapa saat tadi.
Setelah tubuh itu menghentak, mulai tidak terdengar lagi suara erangan karena seakan suara itu terputus begitu saja. Tubuh itu seketika menjadi tidak terlihat lagi bergerak, dan terkulai dengan lemahnya di atas pembaringan.
Tangan kanan Ki Agung Sedayu segera meraba kedua mata Ki Lurah Branjangan yang terlihat belum sempurna terpejam, dan kemudian membetulkan pula posisi tidurnya.
“Atas nama Yang Maha Agung serta Maha Welas Asih, Ki Lurah Branjangan telah mendapatkan jalan terbaiknya. Sebab dengan kejadian ini Ki Lurah Branjangan telah lepas dari segala rasa sakit dan kesulitannya selama ini. Semoga Yang Maha Welas Asih mengampuni segala dosa yang pernah dilakukannya dan semoga pula segala kebaikannya dapat menjadi penerang dalam setiap langkahnya di alam kelanggengan”.
“Meskipun dengan wafatnya Ki Lurah Branjangan telah meninggalkan duka dan keprihatinan yang mendalam bagi kami sekeluarga, namun disisi lain aku sebagai menantunya merasa senang karena Ki Lurah Branjangan sudah tidak akan menderita lagi seperti yang selama ini telah dialaminya”.
Sementara itu mulai terdengar suara tangis sesunggukan dari Nyi Rara Wulan yang masih berdiri di dalam bilik sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Nyi Purbarumeksa yang berada di luar bilik tiba-tiba beranjak dari duduknya karena merasa penasaran dengan apa yang sedang terjadi di dalam.
“Apa yang terjadi, nduk?”.
Tapi pertanyaan tersebut tidak segera mendapat jawaban dari anak perempuannya, yang justru itu semakin membuatnya penasaran dengan apa yang terjadi.
Tanpa sadar dia pun mulai memandang berkeliling untuk memandangi satu persatu orang-orang yang berdiri di tempat itu, tapi hatinya tidak merasakan kejanggalan.
Namun ketika pandangan mata perempuan yang sudah lebih dari paruh baya itu mengarah ke pembaringan ayahnya, bagaikan disengat ribuan lebah karena saking terkejutnya.
“Ayah…”.
Seketika Nyi Purbarumeksa memburu dan menjatuhkan diri pada tubuh ayahnya dalam pembaringan yang sudah tidak bernyawa lagi bersamaan dengan pecahnya tangis yang tidak mampu dibendungnya lagi.
Kejadian ini benar-benar mengejutkan semua orang yang mendengarnya dalam waktu yang sudah melewati tengah malam, terutama yang berada di luar bilik yang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tabib yang baru saja kembali dari pakiwan pun dengan langkah tergopoh-gopoh segera memasuki bilik, yang pada saat itu tepat di depan pintu bilik sudah berkumpul Ratri, dan ketiga adik angkat Nyi Rara Wulan yang penasaran namun tidak berani masuk.
Tapi setelah dapat menduga apa yang telah terjadi, dengan memberanikan diri Padmini segera mendekati mbokayu angkatnya tersebut dan berusaha menghibur dan menenangkannya, dan kemudian berusaha mengajaknya keluar, lalu mereka duduk di atas tikar depan bilik.
Sementara itu Ki Untara yang tadi sedang berada di pendapa tiba-tiba telah terlihat pula di depan bilik untuk mencari keterangan apa yang terjadi, sebab sebagai orang yang memiliki panggrahita yang sangat tajam dia dapat menduga.
Seketika berita tentang wafatnya Ki Lurah Branjangan segera meluas, namun sementara masih hanya sebatas dengan cara getok tular dari mulut ke mulut agar tidak mengejutkan semua orang karena waktu yang sudah terlalu larut.
Namun tidak lama kemudian prajurit yang kebetulan sedang bertugas nglanglang sempat singgah pula sebab penasaran rumah itu masih terlihat sibuk dalam waktu yang tidak sewajarnya.
Bahkan kemudian prajurit yang bertugas itu dipanggil oleh Ki Patih Singaranu yang sudah berada di pendapa bersama para tamu yang lain, kecuali pihak keluarga yang menjadi sibuk karena keperluan dan tugasnya masing-masing.
Sejenak kemudian rumah itu memang menjadi sibuk, tapi bagi mereka yang sudah sangat berpengalaman dalam dunia keprajuritan dan kehidupan bebrayan, tidak menjadi gugup menghadapi kejadian yang berkembang begitu cepatnya.
Berhubung waktu yang sudah terlalu larut, maka pelaksanaan penyelenggaraan pemakaman bagi Ki Lurah Branjangan akan dilakukan nanti setelah matahari terbit.
Tapi berdasarkan perintah dari Ki Patih Singaranu, malam itu tetap dibunyikan isyarat bahwa ada seseorang yang telah wafat. Dengan maksud agar nanti pada saat matahari telah terbit, maka segala persiapan yang dibutuhkan telah siap semua, dan hanya tinggal pelaksanaannya saja.
“Maaf Ki Patih, masih ada waktu barang sejenak untuk beristirahat. Apakah Ki Patih berkenan untuk beristirahat di rumah ini atau ingin pulang ke Kepatihan?”. bertanya Ki Untara yang kebetulan mendapat kepercayaan untuk mewakili tuan rumah.
“Dalam waktu yang tinggal beberapa saat saja menjelang matahari terbit, daripada aku harus mondar-mandir, jika disini masih ada tempat bagiku, aku minta izin untuk memejamkan mataku barang sekejap disini saja”.
“Jika Ki Patih berkenan beristirahat disini sudah kami siapkan, yaitu di gandok sebelah kiri”.
“Lalu kalian akan istirahat dimana?”.
“Kami dapat beristirahat dimana pun. Ki Patih tidak perlu memikirkannya”.
“Baiklah… terima kasih. Tentu kalian sudah lelah pula, jadi sebaiknya kalian segera beristirahat, agar besok tubuh kalian tetap segar meskipun waktu kita tidak banyak lagi”.
“Kami pun akan segera beristirahat pula, Ki Patih. Hanya mereka yang bertugas saja yang tetap terjaga”.
Kemudian Ki Patih Singaranu pun diantar oleh salah satu pengawal menuju gandok kiri untuk beristirahat, bersebelahan dengan gandok yang dipersilahkan untuk Ki Gede Matesih.
Sementara para tamu yang lain segera menyesuaikan diri untuk beristirahat, karena kebetulan tamu yang datang melebihi dari jumlah gandok yang ada di rumah tersebut.
Meski mereka sadar sedang dalam keadaan keprihatinan, namun mereka menghadapi semua itu dalam sebuah kewajaran, dan jangan sampai karena kejadian tersebut menjadikan hal-hal yang lain menjadi terbengkalai, termasuk tubuh mereka yang memerlukan istirahat pula.
Maka dalam keadaan yang demikian itu mereka harus membagi tugas, lagipula pemakaman itu sendiri akan dilaksanakan setelah matahari terbit, sehingga pada sisa waktu di penghujung malam kali ini dapat mereka manfaatkan untuk beristirahat, kecuali bagi orang-orang yang bertugas.
Orang-orang yang berada di rumah Ki Purbarumeska sudah mulai membuka matanya ketika terdengar panggilan kewajiban dari kejauhan, bahkan sudah ada pula yang telah selesai membersihkan diri di pakiwan. Sementara pagi itu yang terlihat paling sibuk adalah bagian dapur dengan segala tugasnya masing-masing, bahkan mereka sudah bekerja sejak dini hari, tapi para pembantu di rumah itu tidak gugup dan dapat bekerja dengan sigap dan cekatan.
Hari ini mereka harus memasak jauh lebih banyak dari biasanya sebab selain harus melayani tuan rumah, mereka pun harus melayani para tamu pula.
Ketika matahari telah benar-benar terbit sudah banyak orang telah berkumpul di rumah itu, baik dari para tetangga, bekas prajurit, dan para prajurit yang masih mengabdi, bahkan dari kawan-kawan sanak kadang Ki Purbarumeksa.
Tiba-tiba rumah itu kedatangan orang yang bertumpah ruah dari berbagai kalangan, baik dari Priyagung Mataram hingga kawula alit bercampur menjadi satu.
Mereka memerlukan datang secara langsung untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Lurah Branjangan dan menyampaikan rasa belasungkawa kepada Ki Purbarumeksa sebagai keluarga yang ditinggalkan.
Berhubung Ki Lurah Branjangan adalah bekas prajurit Mataram, maka dia tidak akan dimakamkan di tempat pemakaman orang kebanyakan, tapi akan dimakamkan di tempat khusus bagi para prajurit atau bekas prajurit Mataram.
Bahkan karena mengingat jasa dan pengabdiannya, atas perintah Ki Patih Singaranu yang pagi itu ikut menghadiri acara pemakaman. Maka tempat pemakaman Ki Lurah Branjangan tidak disejajarkan dengan makam para prajurit kebanyakan, atau dapat dibilang sedikit mendapat perlakuan lebih, tapi tidak berlebihan.
Ketika segala persiapan telah siap, maka mereka pun segera memberangkatkan jenazah Ki Lurah Branjangan ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Di bagian depan terdapat rombongan orang yang membawa jenazah yang diikuti rombongan keluarga, dan di belakangnya baru terdapat banyak sekali orang yang ikut mengantarkan. Bahkan karena saking banyaknya orang yang terdiri dari berbagai kalangan itu terlihat seperti ular raksasa yang sedang bergerak.
Ketika rombongan tiba di pemakaman, maka mereka telah disambut oleh rombongan lain yang sudah sejak beberapa waktu lalu telah menunggu. Selain para bebahu dan beberapa Priyagung Mataram, terdapat pula orang-orang penggali makam.
Sebelum jenazah Ki Lurah Branjangan itu benar-benar disemayamkan di tempat peristirahatannya yang terakhir, Ki Patih Singaranu berkenan memberikan sedikit sesorahnya.
“Aku datang ke tempat ini mewakili Mataram, sekali lagi aku mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Ki Lurah Branjangan. Dan tidak lupa aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kalian semua yang telah hadir di tempat ini untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Lurah Branjangan”.
“Kejadian ini sebagai pengingat semua, bahwa segala apa yang ada di dunia ini itu tidak ada yang langgeng. Sebab pada akhirnya, cepat atau lambat kita semua pasti akan mengalaminya pula. Mungkin kita semua hanya menunggu giliran saja”.
“Dalam kesempatan kali ini, aku atas nama Mataram hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Swargi Ki Lurah Branjangan atas segala jasa dan pengabdiannya kepada Mataram selama hidupnya. Meskipun Ki Lurah Branjangan bukanlah orang yang memiliki gelar kepangkatan yang tinggi selama mengabdi kepada Mataram, namun dia tetaplah tokoh besar karena segala jasanya. Dan menurutku secara pribadi, tokoh besar itu tidak dapat hanya kita lihat hanya dari kedudukan yang disandangnya saja, namun seberapa besar yang telah dia korbankan bagi negara dan sesama selama masa hidupnya”.
Semua orang yang hadir di tempat itu hanya dapat terdiam mendengarkan sesorah dari salah satu pepunden mereka tersebut, serta dalam hati mereka hanya dapat membenarkan.
“Semoga penghormatan terakhir ini cukup pantas bagi orang yang sangat berjasa bagi Mataram dan bagi kita semua”.
Pada akhirnya Ki Patih Singaranu mengakhiri sesorahnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pelaksanaan pemakaman dengan penuh kesedihan dan keprihatinan hampir bagi semua orang yang hadir, terutama keluarga.
Setelah beberapa lama, akhirnya selesai pula pemakaman itu. Lalu satu persatu orang mulai meninggalkan tempat tersebut hingga akhirnya hanya tinggal sanak kadang terdekat saja yang tersisa.
Sementara Nyi Purbarumeksa dan anak perempuannya masih duduk bersimpuh di sebelah pusara yang masih merah itu dan tidak dapat menahan air matanya, meskipun sudah tidak terdengar lagi suara isak tangis.
Nyi Purbarumeksa hanya terdiam sembari menaburkan bunga yang masih tersisa dalam keranjang, meskipun dirinya sangat menyadari jika ayahnya memang sudah sangat sepuh, tapi tetap saja kepergiannya untuk selamanya telah meninggalkan kesedihan dan keprihatinan yang mendalam.
Sebagai anak yang sangat dekat dengan ayahnya sejak kecil, membuatnya seakan tidak dapat merelakan begitu saja jika harus kehilangan orang yang sangat disayanginya.
“Ibu… sebaiknya Ibu dapat merelakan kepergian Kakek. Sebab biar bagaimanapun kita semua tidak dapat ngowah-owahi pepesthen dari Yang Maha Agung, meskipun kita semua merasakan kesedihan pula atas kepergian Kakek, namun kita harus tetap mampu menghadapi kenyataan ini dengan penuh kerelaan agar jalan Kakek di alam kelanggengan mendapatkan pepadang”. ucap Nyi Rara Wulan yang berusaha menghibur ibunya.
Namun Nyi Purbarumeksa tidak menanggapi kata-kata itu, dirinya masih terdiam karena hatinya masih terbalut kesedihan yang sangat mendalam sembari menaburkan bunga yang tersisa hingga yang berada di dalam keranjang yang dibawanya habis seluruhnya.
“Marilah Ibu… sebaiknya kita segera pulang”.
Nyi Rara Wulan memang merasa sangat bersedih pula atas kepergian kakeknya, namun pengalamannya yang luas telah menjadikan jiwanya lebih matang dan membuatnya lebih mampu menghadapi kenyataan tersebut dengan lebih tegar dari perempuan kebanyakan.
“Marilah Nyi… kita semua bersedih pula atas kepergian Ki Lurah Branjangan, namun kita jangan sampai terlalu terlarut ke dalam perasaan itu. Ki Lurah Branjangan dan Ayahku yang berkawan baik sejak lama mungkin kini telah bertemu di alam kelanggengan, sebab Ayahku pun beberapa waktu yang lalu telah dipanggil oleh Yang Maha Agung”.
Sejenak Nyi Purbarumeksa menoleh ke arah sumber suara yang masih agak asing baginya, ternyata yang berada di sebelahnya adalah seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi namun masih memancarkan pesona kecantikannya serta dengan tatapan mata yang menenangkan.
“Aku pun baru beberapa waktu yang lalu telah kehilangan Ayahku pula,Nyi. Tapi aku berusaha tegar dalam menghadapi kenyataan itu, sebab biar bagaimanapun kita tidak dapat meminta ataupun menolak pepesthen dari Yang Maha Agung”. berkata Nyi Pandan Wangi dengan suara lembut.
Nyi Purbarumeksa mengangguk, lalu kedua tangannya berusaha mengusap sisa-sisa air mata yang berlinang di pipinya. Dia sesaat memandang ke arah pusara yang merah itu, lalu menarik nafas panjang, bahkan panjang sekali dengan tatapan matanya yang masih tampak sayu.
“Maafkan aku yang terlalu cengeng”.
“Tidak apa-apa Nyi, itu bukan salahmu. Adalah wajar jika kita bersedih ketika kehilangan orang yang sangat kita sayangi, aku percaya bahwa dengan berjalannya waktu kau pasti nanti akan menemukan keseimbangan sehingga mampu melihat kenyataan ini dengan penuh ketegaran”.
“Terima kasih”.
“Marilah Nyi, sepertinya keperluan kita disini telah selesai, sebaiknya kita segera kembali”.
Nyi Purbarumeksa tidak menjawab, namun tubuhnya terlihat mulai bangkit. Sekilas dia memandang berkeliling untuk mengetahui siapa sajakah orang yang masih tinggal.
Ternyata Ki Patih Singaranu masih berada di tempat itu bersama Ki Purbarumeksa itu sendiri dan beberapa bebahu, pengawal, dan para tamu yang datang bersama Nyi Rara Wulan.
Tapi ketika mereka menyadari bahwa tidak ada lagi yang ingin berlama-lama di pemakaman, maka satu persatu mereka mulai meninggalkan tempat itu dengan rombongannya masing-masing.
Sementara Bagus Sadewa yang menyadari keadaan, kali ini selalu berusaha di dekat adik sepupunya guna membantu menghibur sebab sedang dilanda kesedihan karena baru saja ditinggalkan oleh kakek buyutnya.
Namun untuk kali ini Arya Nakula sepertinya tidak merasakan kesedihan yang sangat mendalam seperti dirinya ketika ditinggalkan oleh guru dari ayahnya, yaitu Ki Jayaraga yang justru sangat dekat dengannya sejak dia baru dilahirkan dan sudah dianggapnya seperti kakeknya sendiri.
Mungkin karena mereka jarang sekali mendapat kesempatan untuk bertemu dan berkelakar bersama, sehingga secara tidak langsung hubungan diantara mereka telah terbentang jarak.
Sementara Bayu Swandana yang merasa bukan kanak-kanak lagi, merasa kurang mapan jika terlalu dekat dengan kedua anak itu. Sehingga kali ini dia terlihat lebih sering bersama Putut Padepokan Orang Bercambuk, Putut kakak adik yaitu Darpa dan Darpita.
Karena bagi anak Nyi Pandan Wangi tersebut, dengan bergaul dengan yang lebih dewasa dengannya akan lebih menyenangkan daripada bergaul dengan anak-anak yang lebih muda darinya, apalagi umurnya yang terpaut cukup jauh.
Apalagi anak-anak atau sanak kadang dari para murid utama Swargi Kyai Gringsing mendapat tempat khusus bagi seluruh cantrik Padepokan Orang Bercambuk.
Meskipun hampir semua dari mereka lebih tua atau bahkan jauh lebih tua, namun atas dasar pesan dari Ki Agahan, para cantrik padepokan tetap memiliki rasa hormat yang tinggi kepada Bayu Swandana dan anak-anak murid utama yang lain.
Mungkin ada benarnya pula jika sedikit banyak watak ayahnya telah mengalir dalam darahnya. Seperti ungkapan orang-orang tua yang sering disampaikan kepada anak cucunya, jika buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.
Setelah mereka telah kembali ke rumah Ki Purbarumeksa, maka mereka ditempatkan di ruang dalam. Sebab pendapa rumah itu digunakan untuk menerima tamu yang datang melayat kemudian.
“Ki Purbarumeksa, aku minta maaf sebab aku tidak dapat berlama-lama lagi berada disini, karena tugasku sudah menunggu. Sekali lagi aku atas nama Mataram dan atas namaku pribadi, aku hanya dapat menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Ki Lurah Branjangan”.
“Tidak ada yang dapat kami sampaikan, kecuali aku sekeluarga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kehadiran Ki Patih Singaranu, dan ini benar-benar menjadi sebuah kehormatan bagi kami sekeluarga. Tapi kami akan merasa lebih terhormat lagi jika Ki Patih berkenan makan pagi disini meski hanya dengan lauk pauk seadanya, meskipun sebenarnya sekarang sudah terlalu siang jika disebut makan pagi”. sahut Ki Purbarumeksa dengan senyum tersungging di bibirnya sembari tangannya memberikan isyarat ke arah makanan yang telah disiapkan.
“Baiklah… sepertinya aku tidak mampu menolaknya”.
Kemudian mereka pun makan pagi bersama-sama di waktu yang sudah sedikit melewati matahari sepenggalah, sehingga dapat disebut pula makan pagi menjelang siang.
“Aku minta maaf kepada Ki Sanak dan Nyi Sanak semua, terutama kepada Ki Patih Singaranu. Jika lauk pauk yang dapat kami sediakan hanyalah lauk pauk seadanya, semoga kalian semua tidak menjadi kecewa”.
“Ah… Ki Purbarumeksa jangan begitu, kau kira setiap harinya aku makan apa di Kepatihan? aku makan seperti yang kalian makan pula di rumah ini”. sahut Ki Patih Singaranu.
“Syukurlah jika demikian”.
“Sejak kecil aku yang berasal dari padesan memang sangat suka olahan dari dedaunan hijau, bahkan dulu pernah suatu ketika aku melihat Ibuku sedang membawa beberapa ikat daun ketela pohon dan disapa tetangga menjawab, habis ngarit untuk makan cempe di rumah”. sahut Ki Patih Singaranu, kemudian tertawa mengenang masa kecilnya.
Hampir semua orang yang hadir tidak dapat menahan tertawanya mendengar kelakar Priyagung Mataram yang sangat merakyat ketika membaur bersama kawula alitnya tersebut.
Bahkan banyak pula dari mereka mulai mengagumi sosok Ki Patih Singaranu ini, terutama bagi mereka yang baru mendapatkan kesempatan mengenal secara langsung sehingga dapat menilai dengan penalarannya masing-masing.
Ternyata kamukten yang telah didapatkan tidak membuatnya lupa diri. Sebab banyak contoh pula bahwa setelah mendapatkan kamukten menjadikan seseorang berubah sikap dan kebiasaannya, namun Priyagung satu ini berbeda.
Meskipun rumah itu sedang dilanda kesedihan dan keprihatinan karena wafatnya seseorang, tapi mungkin karena yang wafat adalah orang yang sudah sangat sepuh dan sering sakit-sakitan sehingga tidak meninggalkan kesedihan yang sangat mendalam, bahkan ada di antara mereka yang merasa bersyukur, sebab untuk kini dan seterusnya Ki Lurah Branjangan sudah tidak akan merasakan kesakitan lagi.
Setelah beberapa saat makan pagi itupun selesai, dan sepertinya sudah tidak ada lagi yang akan mampu menahan Ki Patih Singaranu untuk kembali.
“Ki Purbarumeksa.. sekarang perutku sudah kenyang, sepertinya aku tidak dapat menunda lagi langkahku untuk segera kembali”.
“Semoga Ki Patih Singaranu benar-benar kenyang, bukan sekedar berkata demikian hanya untuk menyenangkanku”.
“Ah.. Ki Purbarumeksa jangan terlalu berprasangka”.
Selesai berkata demikian, Ki Patih Singaranu segera mendekati ayah Bagus Sadewa.
“Aku tunggu nanti setelah matahari tenggelam di Kepatihan”.
“Baik Ki Patih.. tapi maaf, Ki Patih. Apakah aku diperkenankan mengajak kawan?”.
“Aku kira itu lebih baik, karena aku memiliki keperluan dengan mereka dan tadi malam aku belum sempat membicarakannya dengan mereka karena keadaan Ki Lurah Branjangan”. sahut Ki Patih Singaranu yang tanggap akan maksud orang yang berdiri di hadapannya.
Sejenak kemudian hampir semua orang melepas kepergian Ki Patih Singaranu di halaman, yang sudah ditunggu oleh beberapa Prajurit Pengawal Kepatihan bersama dengan kudanya.
Dengan kedua tangan dirapatkan di depan dada sembari tubuh mereka sedikit membungkuk, semua orang yang berada di rumah Ki Purbarumeksa itu melepas tamu agungnya. Dan mereka menjaga sikap itu hingga Ki Patih Singaranu bersama Prajurit Pengawal Kepatihan menghilang di balik regol.
“Benar-benar Priyagung yang rendah hati, dan aku merasa sangat beruntung mendapat kesempatan mengenalnya secara langsung”.
“Demikianlah Ki Patih Singaranu adanya, Ki Gede. Dia tidak menjadi mabuk kamukten dengan kedudukannya yang sekarang”. sahut Ki Untara yang kebetulan berada di dekatnya, sembari berjalan kembali masuk ke ruang dalam.
“Pada saat pertama aku melihat Ki Patih Singaranu, yang secara perawakan aku kira dia adalah seorang yang garang. Tapi ternyata aku salah besar”.
“Jika orang yang belum mengenalnya tentu akan berpendapat demikian, Ki Gede. Karena badannya yang gagah dan wajahnya ditumbuhi kumis serta jambang yang lebat akan membuat kesan bahwa dia adalah orang yang garang”.
“Ki Untara benar, tapi ternyata kepribadian seseorang tidak dapat dinilai hanya dari penampilannya saja, dan Ki Patih Singaranu adalah salah satu buktinya”.
“Demikianlah Ki Gede”.
Sejenak kemudian para tamu kembali ke tempatnya di ruang dalam untuk melanjutkan pembicaraan tentang apa saja yang menarik bagi mereka untuk mengisi waktu, sembari menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan yang tersedia.
Sementara para perempuan telah membuat kelompok dan tempatnya sendiri, sebab dengan begitu mereka merasa akan lebih leluasa untuk membicarakan apa saja yang mereka kehendaki tanpa rasa keseganan. Sebab jika perempuan sudah berbincang, terkadang lupa batas.
“Sebagai menantu aku memang sangat sedih karena kehilangan sosok Ki Lurah Branjangan, namun disisi lain aku merasa bersyukur kepada Yang Maha Agung karena dengan demikian maka mulai sekarang dia sudah tidak akan menderita lagi seperti apa yang terjadi beberapa warsa terakhir”.
“Aku mengerti maksud Ki Purbarumeksa, dalam hidup ini kita memang ada kalanya menghadapi sebuah kenyataan dalam sebuah penalaran yang saling bertentangan, seperti apa yang sedang terjadi sekarang ini. Tapi bagi orang yang berpenalaran sempit, sikap syukur seperti ini sering disalah artikan. Sehingga kita harus berhati-hati benar dengan siapa kita berbicara”.
“Aku sependapat dengan Ki Untara, sebab dalam kepala manusia itu dapat berbeda isinya”.
“Meskipun tidak semuanya, namun sikap ini kebanyakan dimiliki oleh perempuan, terutama bagi perempuan yang kurang wawasan dan pengalamannya. Mudah tergesa-gesa dalam mengambil sebuah sikap atas dasar perasaannya saja, dan penalarannya kurang terbuka dalam menanggapi perkembangan keadaan yang terjadi”.
“Kita sebagai laki-laki jika ditanya apakah kita bersedih jika kehilangan anggota keluarga yang kita sayangi? aku kira kita semua pun bersedih pula, namun yang membedakan adalah bahwa ada kalanya penalaran kita sedikit lebih mampu mengekang perasaan kita yang kalut”. sahut Ki Gede Matesih ikut menanggapi.
“Tapi bagi mereka, perempuan selalu benar”. sahut kakek Arya Nakula lalu tertawa, yang lain pun ikut tertawa pula.
“Ki Purbarumeksa…”. ucap Ki Gede Matesih setelah tawa mereka reda.
“Ada apa Ki Gede? ucapanmu itu tiba-tiba membuat jantungku berdebar-debar”.
“Maaf Ki Gede, sepertinya aku tidak dapat berlama-lama lagi berada disini, sebab aku pun masih memiliki tanggung jawab pekerjaan di rumah”.
“Ki Gede Matesih begitu tergesa-gesa? apakah kepulangan Ki Gede tidak dapat ditunda dua atau tiga hari lagi? bukankah jarang sekali kita mendapat kesempatan berkumpul bersama seperti ini”.
“Sebenarnya aku pun merasa sangat beruntung sekali mendapat kesempatan seperti ini, rasa-rasanya aku pun ingin berlama-lama pula jika tidak mengingat tanggung jawab pekerjaan yang aku tinggalkan sejak beberapa waktu yang lalu”.
“Jika aku tidak salah dengar, pekerjaan itu untuk sementara dilimpahkan kepada menantu Ki Gede? bukankah tidak ada bedanya antara menantu atau Ki Gede sendiri yang melakukan pekerjaan tersebut? lagipula dengan demikian akan memberikan kesempatan kepada anak muda untuk belajar”.
“Ki Untara benar, tapi hatiku merasa tidak mapan saja jika terlalu lama meninggalkannya”.
“Bukankah menantu Ki Gede adalah orang yang baik?”.
“Ah… bukan itu maksudku, Ki Untara. Tapi hanyalah sebuah kekhawatiran orang tua terhadap anaknya jika meninggalkannya terlalu lama di rumah”.
“Oh… maafkan aku jika telah berprasangka”.
“Tidak apa-apa Ki Untara, aku dapat mengerti”.
“Sejauh pengenalanku terhadap menantu Ki Gede itu, pada dasarnya dia adalah anak yang baik meskipun terkadang agak kaku. Tapi mungkin saja namanya manusia dapat berubah wataknya seiring dengan berjalannya waktu”.
“Ki Agung Sedayu benar, dia memang orang yang agak kaku. Dan mungkin karena wataknya yang demikian membuatnya tidak banyak bicara, atau bicara hanya seperlunya saja”.
“Sejauh pengenalanku memang demikian, Ki Gede”.
“Maaf Ki Gede, jika kau memang tidak dapat menunda lagi kepulanganmu maka aku pun tidak dapat menghalangi, tapi aku minta paling cepat besok pagi. Tapi jika kau berubah pikiran dan ingin lebih lama lagi berada di rumah ini aku persilahkan dengan tangan terbuka”. ucap Ki Purbarumeksa mengalihkan pembicaraan.
Ki Gede Matesih terdiam sejenak mendengar ucapan tersebut.
“Bukankah Ki Gede tidak sedang dikejar waktu? sehingga harus pulang ke Tanah Perdikan Matesih saat ini pula?”.
“Jika Ki Gede pulang besok pagi, maka akupun demikian pula Ki Purbarumeksa. Kami akan berangkat bersama-sama tapi dengan tujuan yang berbeda, kecuali Ki Gede berkenan singgah di padepokan kecil kami. Bukankah begitu, Ki Agahan?”.
“Benar Ki Untara”.
“Ah… kenapa kini Ki Untara yang menjadi seperti ditundung?”. sahut Ki Purbarumeksa dengan senyum masam.
“Maaf Ki Purbarumeksa, sebab aku memiliki tugas yang sangat penting di padepokan itu”.
“He… benarkah demikian?”.
“Benar Ki Purbarumeksa, aku mendapat perintah untuk menjaga dan merawat ikan-ikan yang coba kami budidayakan di kolam oleh pemimpin padepokan”.
Seketika pecahlah tawa orang-orang yang mendengar kelakar ayah Bagaskara tersebut, kecuali Ki Agahan yang wajahnya menjadi sedikit memerah.
“Mana mungkin aku berani memberikan perintah kepada Ki Untara, nanti aku bisa kualat”. sahut Ki Agahan.
Mereka yang hadir kembali tertawa ketika mendengar jawaban dari pemimpin Padepokan Orang bercambuk tersebut, karena ternyata Ki Untara senang mengganggunya.
“Sepertinya aku sependapat dengan gagasan Ki Untara, besok pagi kita berangkat bersama dari sini tapi dengan tujuan yang berbeda. Sebenarnya aku ingin sekali singgah di Padepokan Orang Bercambuk yang sudah sangat kawentar itu, tapi mungkin pada kesempatan lain aku akan berusaha menyempatkan”.
“Regol padepokan selalu terbuka untuk menerima kedatangan Ki Gede Matesih dan Ki Purbarumeksa sekeluarga, kapanpun kalian akan datang”.
“Tanah Perdikan Matesih terbuka pula bagi kedatangan Ki Sanak semua, kapanpun kalian mau. Bahkan aku merasa terhormat sekali jika kalian bersedia datang ke gubukku yang sangat sederhana”.
“Jika saja umurku jauh lebih muda dari umurku yang sekarang, tentu aku sangat ingin berkunjung kesana kemari, sehingga dapat sedikit menghemat jatah beras di rumah”.
Orang-orang kembali tertawa karena mendengar kelakar dari Ki Purbarumeksa. Ternyata dengan berkumpulnya banyak orang, dapat sejenak melupakan kesedihan dan keprihatinan yang baru saja mereka alami bersama.
“Ki Purbarumeksa, sepertinya nanti aku yang akan minta diri lebih dulu dibandingkan dengan yang lain. Sebab aku mendapat perintah untuk menghadap Ki Patih Singaranu di Kepatihan, nanti setelah matahari terbenam”.
“Baik Ki Agung Sedayu, tadi aku pun sempat mendengarnya pula sekilas. Jika seperti demikian yang terjadi aku tidak berani bersikap deksura dengan menahan kepergianmu”.
“Tapi aku tidak akan pergi sendiri”.
“He…”.
“Maaf Ki Gede, Aku kira sepertinya Ratri sudah tidak memiliki keperluan yang sangat penting dengan Pandan Wangi, sehingga aku akan mengajaknya pergi bersamaku dan Sekar Mirah untuk kawan berbincang di perjalanan”.
“Silahkan Ki Agung Sedayu silahkan, aku kira juga demikian. Mungkin untuk sementara Ratri hanya membutuhkan pesan-pesan dan peringatan sebagai pribadi dan sebagai orang yang hidup bebrayan dengan sesama”.
“Aku hanya dapat berpesan, jika nanti Ratri ada waktu luang sempatkanlah untuk berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin tidak banyak lagi yang dapat kami sampaikan kepadanya, tapi semoga saja masih ada gunanya”.
“Baik Ki Agung Sedayu, nanti akan aku sampaikan kepada Ratri. Semoga saja dia tidak terlalu dungu untuk ngangsu kawruh dari orang-orang yang luar biasa”.
“Kakang Untara… jika nanti aku ada sedikit waktu longgar aku akan menyempatkan singgah di padepokan”.
“Baik Agung Sedayu, kami tunggu kedatanganmu”.
“Itulah yang kami tunggu-tunggu seluruh cantrik padepokan, sebab sudah beberapa lama Ki Agung Sedayu terlalu sibuk dengan tugas sehingga tidak memiliki sedikit waktu longgar untuk sekedar menyambangi padepokan”. sahut Ki Agahan tampak gembira.
“Aku minta maaf, Ki Agahan. Jika selama ini aku jarang sekali dapat menengok padepokan karena kesibukan akan tugas-tugas yang aku emban yang seakan datang silih berganti dari satu tugas ke tugas yang lain”.
“Kami semua dapat mengerti, Ki Agung Sedayu”.
“Jika nanti sempat aku ingin melihat perkembangan kanuragan kalian, semoga saja aku justru tidak ketinggalan dari kemampuan kalian, terutama pemimpin padepokannya”.
“Ah… jangan begitu, Ki Agung Sedayu. Sebenarnya aku masih terlalu dungu untuk dapat menaiki tataran demi tataran, seperti apa yang pernah diajarkan Swargi Kyai Gringsing, Swargi Ki Widura, dan Ki Agung Sedayu sendiri”. sahut Ki Agahan dengan wajah sedikit memerah.
“Seperti itu saja, Ki Agahan beberapa waktu yang lalu sudah mampu mengalahkan Ki Panji Surajaya apalagi jika lantip dalam ngangsu kawruh?”. celetuk Ki Untara, lalu tertawa.
Ki Agahan seakan kehabisan kata untuk menanggapi dan hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah memerah ketika yang lain tertawa.
“Berhubung aku masih memiliki tugas yang entah sampai kapan, maka aku titipkan anak-anak di padepokan. Dan selama aku tidak berada disana aku percayakan semua itu kepada kakang Untara dan Ki Agahan untuk mengarahkan mereka, dan Ki Agahan perlakukanlah mereka seperti para cantrik yang lain tanpa ada penilaian khusus terhadap mereka agar mereka tumbuh dengan sewajarnya tanpa merasa lebih besar dari yang lain”.
“Baik Ki Agung Sedayu, aku akan berusaha menjalankan pesan itu dengan sebaik-baiknya”. sahut Ki Agahan.
“Aku rasa memang seharusnya demikian, Agung Sedayu. Sebab jika sejak kecil kita sudah memanjakannya maka ketika mereka dewasa akan dapat kehilangan pengamatan diri dalam sebuah kewajaran yang mungkin dapat menyesatkan”.
“Itulah yang aku pikirkan kakang Untara, maka aku minta kepada kalian agar tidak segan-segan untuk berlaku keras kepada siapapun mereka, terutama jika mereka melakukan kesalahan dan melanggar wewaler padepokan tanpa melihat siapa dia”.
“Aku sependapat, bagaimana Ki Agahan?”.
“Aku sependapat pula, Ki Untara”.
“Jika tugasmu sudah selesai, kami tunggu kedatanganmu di padepokan. Tapi semoga saja tugasmu itu tidak terlalu lama, sehingga seisi padepokan tidak berharap-harap cemas”.
“Semoga saja tugasku itu tidak memakan waktu terlalu lama, kakang Untara. Sehingga aku dapat segera menyempatkan diri untuk mengunjungi padepokan”.
“Apakah keputusan Ki Gede sudah bulat untuk kembali besok pagi?”. bertanya Ki Untara.
“Benar Ki Untara, sepertinya keputusanku sudah bulat. Dan semoga saja rencana itu tidak tertunda lagi”.
Pembicaraan di pendapa itu masih terus berlanjut dengan membicarakan apa saja yang menarik bagi mereka sembari sesekali diselingi kelakar di antara mereka serta menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan yang tersedia.
Hingga waktu tanpa terasa begitu cepatnya berlalu, ketika mereka menyadari bahwa matahari telah semakin tergelincir jauh di langit sebelah barat.
“Aku minta maaf kepada kalian semua, jika aku tidak dapat berlama-lama lagi berkumpul dengan kalian karena tugas dari Ki Patih Singaranu untuk segera menghadap di Kepatihan”.
“Aku dapat mengerti, maka dari itu aku tidak berani untuk menahanmu lebih lama lagi disini. Semoga Ki Agung Sedayu dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya”.
“Terima kasih Ki Purbarumeksa”.
“Akan aku panggilkan istriku”. sahut Ki Purbarumeksa yang tanggap bahwa tamunya itu tentu segan jika meminta kepadanya untuk memanggil kedua istrinya.
Tidak lama kemudian para perempuan itupun muncul.
“Kenapa Ki Agung Sedayu begitu tergesa-gesa? apakah tidak dapat ditunda besok atau lusa?”. bertanya Nyi Purbarumeksa yang sepertinya sudah menemukan kembali keseimbangan jiwanya setelah kepergian ayahnya.
“Maaf Nyi, aku memang tidak dapat berlama-lama lagi sebab aku mendapat tugas dari Ki Patih Singaranu untuk segera menghadap”.
“Oh.. begitu rupanya, jika demikian aku tidak berani menahanmu lagi. Tapi jika tugas itu sudah selesai jangan segan untuk kembali ke rumah ini, dan tentu kami akan senang sekali”.
“Terima kasih Nyi, mungkin pada kesempatan lain aku akan kembali lagi kemari”.
“Kami akan sangat senang sekali jika kau mengajak serta semua keluargamu, sebab aku pun ingin melihat anakmu yang kecil itu, tentu akan sangat menyenangkan. Dan jika ada kesempatan kau dapat mengajak adik sepupumu pula”.
“Baik Nyi, nanti akan aku sampaikan jika bertemu dengan Glagah Putih agar sering-sering sowan kemari”. sahut ayah Sekar Wangi yang tanggap akan adik sepupunya tersebut jarang sekali sowan kepada mertuanya karena kesibukannya sebagai seorang prajurit.
“Kakang Glagah Putih bukan tidak ingin datang kemari, tapi dia memang terlalu sibuk dengan tugasnya, Ibu. Nanti jika dia ada waktu longgar aku pasti akan mengajaknya untuk mengunjungi Ayah dan Ibu”. sahut Nyi Rara Wulan yang kebetulan berdiri di sebelah ibunya.
“Aku mengerti, nduk”.
Akhirnya Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya meninggalkan rumah Ki Purbarumeksa setelah berpamitan dengan semua orang yang hadir, dan untuk selanjutnya kembali ke Kepatihan menghadap Ki Patih Singaranu.
Ketika tiba di Kepatihan, ternyata prajurit yang bertugas telah mendapat pesan, dan langsung mempersilahkan tamunya itu untuk menuju serambi kiri, tepat ketika matahari baru saja tenggelam.
“Maaf Ki Patih, apakah aku diperintahkan berangkat sekarang juga ke Wirasaba?”.
“Benar Ki Agung Sedayu, tapi sebelum kau berangkat melaksanakan tugas itu, alangkah lebih baiknya jika kita makan malam dulu sembari ada yang ingin aku bicarakan”.
Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya yang sebenarnya merasa sungkan jika terlalu sering diajak makan di Kepatihan tidak dapat menolak ajakan tersebut, dan hanya dapat mengikuti langkah Ki Patih Singaranu dari belakang menuju ruang tempat makan.
“Silahkan.. silahkan… kalian tidak perlu merasa sungkan jika makan bersamaku”.
“Kami hanya khawatir jika terlalu sering makan disini akan membuat kami lupa diri, Ki Patih”.
“Ah.. tentu tidak Nyi Sekar Mirah”. sahut Ki Patih Singaranu yang kemudian tertawa.
Sembari mereka menikmati makan malamnya, maka Ki Patih pun mulai melontarkan pertanyaannya.
“Sehubungan dengan nawala yang pernah dikirimkan kepada Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, apakah Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi sudah menemukan jawaban dari gagasan tersebut?”.
Mendapat pertanyaan tersebut, mereka menjadi saling pandang sebagai sebuah isyarat agar salah satu dari mereka yang mewakili untuk menjawab.
“Maaf Ki Patih, kami memang sudah sempat membicarakan hal itu dengan orang-orang yang berkepentingan serta meminta pertimbangan para sesepuh. Meskipun kami belum mendapat keputusan yang pasti”.
“Maksud Nyi Sekar Mirah?”.
“Pada intinya kami semua sependapat dengan gagasan tersebut, namun kami masih belum dapat menemukan sosok yang paling tepat untuk ditunjuk memimpin pasukan pasukan tersebut. Dan bukankah Ki Patih tahu bahwa aku dan mbokayu Pandan Wangi tidak dapat mengemban tugas itu sebab kami sudah memiliki tanggung jawab lain, yang tentu menyita waktu kami”.
“Apakah kalian belum memiliki pandangan akan sebuah nama yang dapat diusulkan?”.
“Sebenarnya kami sudah membicarakan ini dengan Rara Wulan, dan dia sempat menyanggupi tapi dengan syarat, bahwa dia akan membicarakan masalah itu dengan suaminya lebih dulu”.
“Memang demikian seharusnya, tapi karena kita semua pun mengetahui bagaimana keadaan Ki Lurah Glagah Putih maka sepertinya kita tidak dapat tergesa-gesa dengan rencana tersebut”.
“Demikianlah Ki Patih”.
“Ki Agung Sedayu, sekali lagi kau hanya dapat membuatku kagum atas apa yang dapat kau lakukan terhadap Ki Lurah Branjangan semalam”.
“Aku hanya melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Kanjeng Sunan ketika menghadapi keadaan yang demikian, dan apa yang aku lakukan itu hanyalah membantu memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar Ki Lurah Branjangan segera mendapatkan jawaban atas apa yang sedang dialaminya”.
“Tapi apa yang telah kau lakukan itu terbukti berhasil membantu Ki Lurah Branjangan lepas dari segala penderitaannya selama ini”.
“Itu semua semata-mata atas kemurahan Yang Maha Welas Asih, artinya panuwunan kita semua telah dikabulkan, Ki Patih. Dan aku hanyalah sekedar lantaran saja”.
“Apakah kau akan mengajak serta kedua istrimu ini ke Wirasaba untuk menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma?”.
“Apakah kalian mau ikut?”. bertanya ayah Bagus Sadewa kepada kedua istrinya.
“Sebenarnya terbesit pula keinginan untuk dapat ikut serta, namun jika harus menghadap Kanjeng Sinuhun sepertinya itu akan menjadi sebuah sikap deksura, sebab hanya kakang saja yang mendapatkan perintah untuk menghadap”.
“Aku rasa juga demikian, lalu apakah kalian akan kembali?”.
“Sepertinya tidak perlu, Ki Agung Sedayu”.
“Maksud Ki Patih?”.
“Bukankah kau sendiri dapat berangkat dari sini? maka biarlah mereka menunggunya disini pula jika tidak ingin ikut serta. Dan aku akan menyiapkan bilik khusus bagi kalian, yang akan mendapatkan pengawasan dan penjagaan khusus pula untuk mempermudah pekerjaanmu, Ki Agung Sedayu. Aku rasa dengan demikian kalian dapat selalu terhubung”.
Ki Agung Sedayu hanya dapat saling pandang penuh arti tanpa terucap sepatah katapun dengan kedua istrinya mendengar ucapan Ki Patih Singaranu tersebut.
“Kenapa kalian menjadi heran? apakah ada yang aneh?”.
“Maaf Ki Patih, bukan maksudku. Namun aku masih saja terkejut jika orang lain mengatakan hal itu”.
Ki Patih Singaranu hanya tersenyum.
“Tapi bukankah kepergian kakang itu tidak dapat ditentukan? maksudku kakang sendiri belum tahu kapan akan dapat kembali setelah menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma?”.
“Sepertinya demikian, Sekar Mirah. Karena aku sendiri belum tahu setelah menghadap Kanjeng Sinuhun akan mendapat perintah apa dan itu akan dapat diselesaikan dalam waktu berapa lama”.
“Menurut pendapatku, jika kalian tidak mau menunggu disini, mungkin kalian dapat ikut Ki Agung Sedayu ke Wirasaba tapi menunggu dari kejauhan pada saat dia menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.
“Tapi itu terserah kepada kalian”. lanjut Ki Patih Singaranu ketika melihat mereka hanya saling pandang.
“Terima kasih atas gagasan Ki Patih, dan tidak akan menjadi soal yang perlu diperdebatkan antara mereka ikut atau tidak”.
“Menurut pendapatku, dengan kalian berangkat dari sini, justru tidak akan menimbulkan pertanyaan bagi sebagian orang yang mungkin akan melihat kemampuanmu yang sudah diluar nalar orang kebanyakan itu, Ki Agung Sedayu”.
“Terima kasih atas pengertian Ki Patih mengenai hal itu, lagipula aku tidak mau dianggap deksura dengan menunjukkan kepada orang lain atau bahkan orang yang tidak berkepentingan. Sebab semua itu adalah semata-mata atas kemurahan Yang Maha Welas Asih dan dapat sewaktu-waktu pula diambil jika aku dianggap melanggar paugeran”.
“Aku telah mengenalmu dalam waktu yang cukup lama, sehingga sedikit banyak aku telah mengenal watakmu pula”.
Mereka terdiam beberapa saat karena sembari sibuk menyuapi mulut masing-masing dengan makanan di Kepatihan yang lauk pauknya terdiri dari beberapa jenis.
“Kanjeng Sinuhun pernah rasan-rasan pula kepadaku sehubungan dengan kemampuanmu yang sudah diluar nalar itu. Katanya, jika nanti ada kesempatan dia akan membicarakannya kepadamu. Tapi aku tidak tahu apa maksudnya”.
“Mungkin Kanjeng Sinuhun sempat terbesit pula sebuah keinginan untuk dapat memiliki kemampuan yang sama dengan yang kakang miiki”.
“Mungkin saja, Nyi Sekar Mirah”.
“Apakah Ki Patih Singaranu memiliki keinginan yang sama pula dengan Kanjeng Sinuhun?”.
“Sekar Mirah, jaga ucapanmu! kau bicara dengan siapa?”.
“Maaf Ki Patih”. sahut Nyi Sekar Mirah yang telah menyadari keterlanjurannya.
“Tidak apa-apa, Ki Agung Sedayu. Aku dapat mengerti”. sahut Ki Patih Singaranu sembari tersenyum.
“Aku tidak akan ingkar dengan dugaan Nyi Sekar Mirah. Dan menurut pendapatku, jika orang ditanya apakah ingin memiliki kemampuan itu? hampir semua orang pasti akan menjawab, iya”.
“Jika memang Ki Patih berkenan, aku tidak merasa keberatan. Namun berdasarkan petunjuk dari Swargi Kanjeng Sunan, belum tentu semua orang yang mempelajarinya akan berhasil, sebab apa yang pernah diajarkan kepadaku itu adalah wujud dari sebuah panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih”.
“Aku mengerti, dan jika tidak berhasil pun aku tidak akan pernah menyalahkanmu sebagai guruku, Ki Agung Sedayu”. sahut Ki Patih Singaranu, lalu tertawa.
“Jika hanya demikian, aku kira belum sepantasnya dianggap menjadi sebuah hubungan sebagai murid dan guru, Ki Patih”. sahut ayah Bagus Sadewa dengan wajah sedikit memerah.
Ki Patih Singaranu tersenyum.
“Baiklah.. tapi agar aku tidak dianggap bersikap deksura terhadap pepunden kita, sebaiknya pewarisan ilmu itu nanti kita lakukan setelah Kanjeng Sinuhun meminta itu kepadamu”.
“Terserah kepada Ki Patih Singaranu saja, kapan pun Ki Patih meminta aku akan selalu siap”.
“Apakah ilmu itu memerlukan laku khusus?”.
“Tidak Ki Patih, tapi kita diwajibkan untuk menjaga segala langkah dan laku kita sepanjang hidup. Berdasarkan petunjuk dari Swargi Kanjeng Sunan, dalam pengetrapan ilmu itu dapat saja sewaktu-waktu tidak berhasil jika suatu saat kita melanggar paugeran dari Yang Maha Welas Asih”.
“Begitu rupanya, aku mengerti sekarang”.
Akhirnya mereka pun telah menyelesaikan makan malam itu, setelah itu Ki Patih Singaranu memanggil salah satu pelayan dalam untuk mengantarkan Ki Agung Sedayu menuju biliknya bersama kedua istrinya.
“Aku tunggu hasil laporanmu segera”. berkata Ki Patih Singaranu ketika Ki Agung Sedayu beranjak bangkit dari duduknya.
“Baik Ki Patih”.
Kemudian ketiganya pun melangkahkan kakinya menuju bilik yang telah disiapkan khusus oleh Ki Patih Singaranu dengan diantar salah satu Pelayan Dalam Kepatihan.
“Silahkan Ki Agung Sedayu, Nyi Pandan Wangi, dan Nyi Sekar Mirah. Jika kalian memerlukan sesuatu, kalian dapat memanggil kami kapanpun, dan kami ditugaskan sepanjang waktu”.
“Terima kasih, nanti kami akan memanggil kalian jika memerlukannya”. sahut Ki Agung Sedayu, lalu memasuki bilik dan menguncinya dari dalam.
Sebuah bilik yang sangat bagus dengan segala isinya, yang banyak menggunakan ukiran-ukiran rumit. Jika saja itu adalah sebuah bilik penginapan, tentu itu adalah sebuah penginapan yang mahal.
Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi dalam hati merasa kagum dengan bilik tersebut. Meskipun bukan kali ini saja mereka menginap di Kepatihan, namun bilik yang kali ini mereka tempati berbeda dengan bilik yang selama ini.
“Rasa-rasanya aku tidak ingin kembali”. ucap Nyi Sekar Mirah yang sudah merebahkan diri di amben kayu jati dengan ukiran rumit sembari memejamkan matanya.
“Apakah kau sudah jemu memimpin Kademangan Sangkal Putung?”.
“Ah.. mbokayu mengganggu khayalanku saja”.
“Aku akan bersiap berangkat, lalu apa keputusan kalian? ikut serta atau menunggu disini saja?”.
“Jika kami ikut kakang, bukankah kami hanya akan menjadi makanan nyamuk malam saja karena kami harus menunggu kakang dari kejauhan, tapi jika kami tetap disini maka kami dapat tidur dengan nyenyak. Lagipula tidak akan ada yang dapat kami lakukan selain hanya menunggu kakang menghadap Kanjeng Sinuhun”. sahut Nyi Sekar Mirah yang masih tetap membaringkan tubuhnya.
“Baiklah jika itu keputusan kalian, Jika demikian aku akan berangkat sendiri”.
“Aku ikut kakang”.
“He… kenapa mbokayu tiba-tiba ingin ikut serta?”. sahut Nyi Sekar Mirah terkejut dan dengan serta merta bangkit duduk dari pembaringannya.
“Bukankah sejak tadi aku belum bicara apapun, dan hanya kau saja yang bilang tidak ingin ikut kakang Agung Sedayu?”.
“Ah.. aku kira mbokayu akan sependapat denganku”.
“Lalu sekarang apa keputusanmu setelah tahu jika aku ikut?”.
“Bagaimana pendapat kakang?”.
“Terserah kau saja, Sekar Mirah. Lagipula tidak ada yang dapat kau lakukan disana selain hanya akan menungguku menghadap Kanjeng Sinuhun untuk menerima titah”.
“Tidak apa-apa jika kau memang ingin menikmati pembaringan yang sangat empuk ini, meskipun hanya semalam. Sebab jika nanti kita pulang entah kapan lagi kau dapat menikmatinya lagi”. sahut Nyi Pandan Wangi sembari tersenyum menggoda.
“Ah.. mbokayu pandai sekali menggangguku”.
“Aku harus segera berangkat, kalian mau ikut atau tidak bukan menjadi soal bagiku”. berkata Ki Agung Sedayu mengingatkan dan berusaha menengahi kedua istrinya.
“Baiklah.. aku akn menunggu kakang disini saja, tapi jika ada apa-apa kakang jangan lupa jemput aku kemari”. sahut Nyi Sekar Mirah sembari kembali merebahkan tubuhnya.
“Terserah kau saja, tapi aku akan tetap ikut kakang Agung Sedayu meskipun kau tidak ikut”.
“Terserah mbokayu”.
“Baiklah jika itu kemauanmu, jika demikian aku akan pergi bersama Pandan Wangi”.
“Bukankah jika hanya pergi berdua, maka kalian akan seperti pengantin baru yang sedang berbulan madu?”.
“Ah…”. pekik tertahan ibu Bagus Sadewa mengaduh kesakitan karena mendapat cubitan dari Nyi Pandan Wangi yang tiba-tiba.
Ki Agung Sedayu mendekati ibu Bagus Sadewa itu yang segera bangkit duduk ketika melihat suaminya mendekat, lalu mengecup keningnya sebagai tanda perpisahan.
“Kakang dan mbokayu berhati-hatilah, sementara aku ingin mencoba merangkai mimpi indah sebagai Nyi Patih”. sahut Nyi Sekar Mirah lalu tertawa.
“Ah.. macam kau”.
Tapi pembicaraan itu harus segera berakhir ketika Ki Agung Sedayu sudah memberikan isyarat kepada ibu Sekar Wangi untuk segera bersiap. Dan sejenak kemudian Nyi Sekar Mirah hanya melihat keduanya menghilang dari pandangan mata.
***
Sementara itu di Kendalisada dimana Ki Lurah Glagah Putih yang masih sakit dan belum mampu sadarkan diri dalam beberapa hari terakhir masih tergeletak tak berdaya di pembaringannya.
Karena sebuah alasan, dengan sangat terpaksa dia ditinggalkan oleh kakak sepupunya dan dititipkan kepada Begawan Mayangkara dan istri mudanya.
Hanya sekumpulan hewan-hewan malam sajalah yang memecah kesunyian di sekitar tempat tersebut dalam suasana yang mulai dingin di wayah sepi bocah.
Meskipun berdasarkan keterangan dari Eyang Resi bahwa keadaan Ki Lurah Glagah Putih sudah tidak mengkhawatirkan, namun dalam hati Nyi Anjani masih tetap saja diselimuti oleh kegelisahan jika belum melihatnya sadarkan diri.
“Kenapa Glagah Putih hingga sekarang masih belum mampu sadarkan diri? apakah keadaannya sudah benar-benar membaik? tapi aku harus menunggu sampai kapan hingga dia akan sadarkan diri sejak dia meminum air Mustika Warih itu?”. membatin Nyi Anjani yang sedang duduk dalam kesendirian.
Pertanyaan yang hampir serupa hanya dapat berputar-putar di kepalanya, namun tidak pernah mendapatkan jawaban seperti yang diinginkan dan hanya mampu dipendamnya sendiri, sebab Begawan Mayangkara tadi sempat berkata ada keperluan sebentar.
Nyi Anjani hanya dapat memandang jauh ke luar rumahnya untuk mengurangi segala kepepatan hatinya karena keadaan Ki Lurah Glagah Putih yang masih saja terbaring diam.
Kali ini dirinya benar-benar tidak ada kawan hanya untuk sekedar berbincang, selain karena Begawan Mayangkara yang sedang pergi entah kemana, suaminya pun sedang melepaskan Aji Pengangen-Angennya.
Pada saat terakhir suaminya harus melepas pengetrapan Aji Pengangen-Angennya karena menghadap Ki Patih Singaranu dan kemudian akan dilanjutkan dengan melawat ke Wirasaba untuk menghadap Kanjeng Sinuhun Mataram.
Dan alangkah deksuranya jika sedang menghadap Pepunden Mataram sembari mengetrapkan salah satu kemampuannya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan mendesak.
Dalam kegelisahannya, Nyi Anjani sesekali pandangan matanya tidak dapat lepas dari gandok tempat adik sepupu suaminya itu dibaringkan. Sebab dari pesan yang dia terima, ayah Arya Nakula itu dapat sewaktu-waktu akan sadarkan diri.
Meskipun tidak ada hubungan darah diantara keduanya, namun rasa kekeluargaan itu muncul begitu saja setelah dia menikah dengan ayah Bagus Sadewa.
Bahkan Nyi Anjani benar-benar menganggap Ki Lurah Glagah Putih seperti adiknya sendiri meski secara umur dia sedikit lebih muda, dan begitu pula sebaliknya.
Dalam kegelisahan yang semakin mendalam, Nyi Anjani yang sedang setengah melamun untuk mengisi waktunya sebab tidak ada pekerjaan yang dapat dilakukannya telah dikejutkan oleh sesuatu.
Tiba-tiba dari arah gandok terdengar sesuatu, meskipun suara itu terdengar sangat perlahan namun sebagai seorang yang memiliki pendengaran yang sangat tajam, sudah cukup sebagai pertanda baginya bahwa ada sesuatu yang telah terjadi.
Nyi Anjani pun segera bangkit dan memasuki gandok tempat dimana Ki Lurah Glagah Putih terbaring untuk memeriksa keadaan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Ternyata mulai terdengar Ki Lurah Glagah Putih mengerang perlahan sembari jari-jari tangannya pun mulai bergerak pula, tapi matanya masih terlihat terpejam.
“Glagah Putih”.
Nyi Anjani pun segera mendekat, lalu coba diusap dahi ayah Arya Nakula tersebut. Sepertinya tubuh itu sudah semakin menghangat setelah meminum air Mustika Warih.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih sendiri yang masih terbaring sudah mulai dapat mengenali keadaan sekitarnya, meski baru sekedar dari indera penciumannya.
Tapi dari indera penciuman yang sudah mulai dapat bekerja itu, dia mulai dapat menangkap bau wewangian yang telah masuk melalui lubang hidungnya.
Bau wewangian itu seakan telah memenuhi seluruh indera penciumannya yang kemudian mulai memicu penalarannya bekerja secara perlahan-lahan.
“Bau wangi apakah ini? kenapa bau wangi ini tidak kunjung hilang?”. membatin Ki Lurah Glagah Putih yang masih dalam keadaan terpejam.
Tapi ternyata bau wewangian yang telah ditangkap oleh indera penciumannya tersebut semakin membuatnya bertanya-tanya dalam hati dan sedikit banyak telah membantunya agar segera sadarkan diri dari pingsannya selama beberapa waktu terakhir.
Nyi Anjani yang memiliki panggrahita yang sangat tajam melebihi orang kebanyakan mulai menduga-duga apa yang sedang terjadi dengan Ki Lurah Glagah Putih sembari memperhatikan apa yang terjadi dengannya.
Setelah dirinya menyadari bahwa bau wewangian yang memancar dari tubuhnya itu telah mempengaruhi tubuh Ki Lurah Glagah Putih, maka secara perlahan dia mulai meningkatkan pancaran wewangian tersebut.
Dan ternyata apa yang menjadi dugaannya itu benar, karena kemudian tubuh yang terbaring di hadapan Nyi Anjani tersebut semakin banyak menggerakkan tubuhnya. Berawal dari jari-jarinya, lalu kepalanya yang berusaha menoleh ke kanan dan ke kiri.
Akhirnya Ki Lurah Glagah Putih yang masih dalam keadaan lemah mulai membuka matanya secara perlahan. Pada awalnya mata itu hanya mampu menangkap bayang-bayang buram dalam keremangan cahaya lampu dlupak yang diletakkan di ajug-ajug.
Betapa bahagianya Nyi Anjani yang sejak tadi memperhatikan perubahan tubuh Ki Lurah Glagah Putih yang kini telah benar-benar mampu sadarkan diri dengan membuka kedua matanya.
“Kau sudah sadar, Glagah Putih?”.
Terdengar suara yang begitu lembut dari seorang perempuan yang berada di sebelahnya, ketika dirinya sedang memandangi langit-langit rumah untuk menyakinkan lebih dulu pandangan matanya pada keadaan sekitarnya.
Setelah mendengar suara itu, secara naluriah Ki Lurah Glagah Putih segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Namun pandangan matanya belum mampu bekerja dengan baik, dan masih saja baru dapat menangkap bayang-bayang buram keadaan sekitar termasuk orang yang ada di sebelahnya.
“Kau siapa? aku dimana?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih dengan suara perlahan.
Betapa terkejutnya Nyi Anjani mendengar pertanyaan tersebut keluar dari mulut adik sepupu suaminya tersebut, tiba-tiba muncul berbagai dugaan dalam hatinya. Bahkan penalarannya tiba-tiba sempat berpikir kemungkinan buruk.
“Glagah Putih.. apakah kau tidak mengenali aku?”. bertanya Nyi Anjani yang tanpa sadarnya pipinya mulai basah.
“Maaf, pandangan mataku masih kabur, dan belum dapat melihat dengan jelas. Tapi jika aku tidak salah, dari ciri-ciri yang dapat aku kenali kau adalah mbokayu Anjani”. sahut Ki Lurah Glagah Putih dengan suara yang masih sangat lemah dan perlahan.
Mendengar jawaban tersebut hati Nyi Anjani sedikit lebih tenang, sebab sebelumnya dirinya telah berprasangka tentang kemungkinan yang tidak-tidak.
“Aku haus sekali”.
“Baik Glagah Putih, akan aku ambilkan minuman untukmu. Tunggulah sebentar”. sahut Nyi Anjani sedikit tergagap, lalu mengusap kedua pipinya.
Beruntunglah Nyi Anjani mendengarkan pesan dari Begawan Mayangkara, bahwa nanti jika Ki Lurah Glagah Putih sadarkan diri tentu akan kehausan dan kelaparan.
Dengan demikian dia selalu menyiapkan minuman hangat dan bubur halus yang selalu dipanasi di dapur, sehingga jika Ki Lurah Glagah Putih sewaktu-waktu tersadar hanya tinggal mengambilnya saja dari tempatnya.
Tidak lama kemudian Nyi Anjani telah kembali dari dapur dengan membawa sebuah nampan yang berisi dua mangkuk, yang satu berisi minuman hangat dan yang satu lagi bubur halus.
Karena keadaannya yang masih lemah, meski hanya sekedar untuk minum Ki Lurah Glagah Putih masih harus dibantu oleh istri muda kakak sepupunya.
“Apakah kau sudah mampu menopang tubuhmu sendiri jika aku sandarkan di ujung amben, Glagah Putih?”.
“Tubuhku masih lemah sekali”.
“Baiklah.. aku akan membantumu”.
Adalah di luar penalarannya bahwa selesai berkata demikian, Nyi Anjani membantu tubuh Ki Lurah Glagah Putih untuk duduk, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Lalu dengan tubuh sintalnya tersebut, Nyi Anjani berusaha menopang tubuh Ki Lurah Glagah Putih dari belakang agar tubuh itu tetap dapat duduk dengan benar.
Jantung Ki Lurah Glagah Putih langsung berpacu dengan kencangnya ketika menghadapi kenyataan bahwa sekarang tubuhnya telah berada dalam dekapan istri kakak sepupunya yang sangat cantik dan selalu memancarkan bau wangi.
Beruntunglah bahwa letak duduknya membelakangi tubuh mbokayunya tersebut sehingga tidak melihat perubahan pada wajahnya. Yang awalnya wajah itu masih pucat tiba-tiba menjadi merah padam.
Namun berbeda sekali dengan sikap Nyi Anjani, yang tidak memiliki perasaan apapun selain hanya benar-benar ingin membantu adik sepupu suaminya yang masih mengalami kesulitan jika harus minum dan makan sendiri, selain itu tidak ada orang lain lagi yang dapat membantu.
“Maaf mbokayu, bukan maksudku untuk bersikap deksura kepadamu, tapi keadaanlah yang memaksaku”. berkata Ki Lurah Glagah Putih yang gelisah dalam dekapan Nyi Anjani.
“Aku mengerti Glagah Putih, dan jika kakangmu melihatnya pun tentu dia akan mengerti pula. Jadi kau tidak perlu berpikiran yang terlalu ngayawara, dan aku sendiri pun sudah menganggap kau seperti adikku sendiri”.
“Dimanakah aku sekarang, mbokayu?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih yang berusaha mengalihkan pembicaraan, agar penalarannya tidak semakin ngayawara.
“Di Kendalisada dan kakangmu lah yang membawamu kemari”.
“Apa yang telah terjadi?”.
“Nanti akan aku ceritakan setelah kau selesai minum dan makan, agar nanti kau tidak tersedak karenanya”.
Ki Lurah Glagah Putih tidak menjawab, namun hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh Nyi Anjani yang membantunya minum dan makan, meski hanya untuk beberapa suap dalam dekapan perempuan yang sangat cantik dan wangi tersebut.
Semakin lama keadaan tersebut membuat jantung Ki Lurah Glagah Putih berdebar-debar semakin kencang, bahkan tanpa sadarnya hingga membuat dirinya berkeringat dingin.
“Cukup mbokayu”. ucap ayah Arya Nakula yang semakin tidak nyaman dengan keadaan tersebut.
“Apakah kau yakin?”. sahut Nyi Anjani yang tidak pernah berprasangka apapun.
“Iya mbokayu”. sahut Ki Lurah Glagah Putih yang merasa tubuhnya lebih segar setelah minum beberapa teguk dan makan bubur halus beberapa suap pula.
Setelah itu Nyi Anjani membaringkan kembali tubuh Ki Lurah Glagah Putih yang masih lemah dengan perlahan-lahan, lalu membenarkan letak kain panjang untuk menyelimuti.
Hati Ki Lurah Glagah Putih yang sejak tadi merasa tidak mapan, dan merasa bersalah kini seketika menjadi lega. Seakan dia telah terlepas dari bahaya yang mengancamnya. Selain itu pandangan matanya kini mulai berangsur-angsur membaik, sehingga mulai dapat melihat kecantikan orang yang berada di dekatnya itu dengan lebih jelas dalam cahaya keremangan.
“Apakah sekarang kau sudah merasa lebih baik, Glagah Putih?”. bertanya Nyi Anjani yang kemudian mengambil sebuah dingklik kayu untuk tempat duduknya di sebelah pembaringan.
“Iya mbokayu, aku sudah merasa lebih baik, bahkan pandangan mataku sudah mulai tidak kabur lagi”.
Nyi Anjani yang tidak berprasangka apapun, mengira bahwa keadaan tubuh adik sepupu suaminya itu memang sudah lebih baik. Tapi berbeda dengan Ki Lurah Glagah Putih sendiri yang justru merasa lebih baik karena telah terlepas dari dekapan perempuan cantik yang selalu memancarkan bau wangi dari tubuhnya tersebut.
“Apakah sekarang mbokayu sudah dapat menceritakan kepadaku kenapa aku berada di tempat ini?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih yang berusaha mencairkan suasana.
“Apakah kau benar-benar belum mampu mengingat apa yang telah terjadi atas dirimu, Glagah Putih?”.
“Maaf mbokayu, kepalaku masih terasa pening ketika aku mencoba mengingat lebih keras atas apa yang terjadi”.
“Apakah kau masih merasakan sakit di bagian tubuhmu?”.
“Dadaku masih terasa nyeri, kepalaku masih terasa pening jika aku gunakan untuk berpikir lebih keras, dan tubuhku seakan tidak bertulang sama sekali”.
“Baiklah.. jika demikian aku akan coba menceritakan apa yang telah kau alami dan aku ketahui berdasarkan keterangan dari kakang Agung Sedayu”.
“Kemanakah kakang Agung Sedayu sekarang?”.
“Sabarlah sedikit Glagah Putih, aku akan mencoba menceritakan kepadamu secara perlahan-lahan secara runut atas apa yang telah terjadi padamu agar tidak membuat kepalamu bertambah pening”.
“Baik mbokayu”.
Kemudian Nyi Anjani pun mulai bercerita secara runut, berawal dari Ki Lurah Glagah Putih harus berperang tanding melawan Ki Patih Rangga Permana di Wirasaba, hingga akhirnya dia harus dibawa kakak sepupunya ke Kendalisada setelah terluka parah dan karena ada alasan lain, serta siapa sajakah yang kemudian telah berusaha membantu menolongnya.
Ki Lurah Glagah Putih pun menjadi terdiam beberapa saat setelah mendengar semua cerita itu untuk mencerna dan berusaha mengingat apa saja yang telah dialaminya, dalam kepalanya yang masih terasa pening.
Meskipun dirinya belum mampu mengingat secara keseluruhan, namun secara garis besar sudah mulai dapat mengingatnya kembali, hingga pada saat terakhir sebelum dia pingsan setelah beradu ilmu puncak dengan Ki Patih Rangga Permana.
“Dan kau telah pingsan selama beberapa hari setelah kau beradu ilmu pamungkas dengan Patih Wirasaba”.
“Beberapa hari?”.
“Benar… bahkan jika dihitung sejak pertama kau pingsan, maka kau pingsan sudah hampir sepekan lamanya”.
“Sepekan?”.
“Apakah kau tidak percaya kepadaku?”.
“Maaf… bukan maksudku untuk meragukan mbokayu, tapi aku benar-benar terkejut setelah tahu bahwa ternyata aku pingsan dalam waktu yang begitu lama”.
“Tapi dari semua itu yang paling penting adalah kau wajib berterima kasih kepada Yang Maha Welas Asih atas segala kemurahan-Nya, sebab kau masih diperkenankan berumur panjang setelah mengalami luka parah”.
“Mbokayu Anjani benar, aku memang wajib berterima kasih kepada Yang Maha Welas Asih, selain itu aku juga harus berterima kasih pula kepada semua orang yang telah menolongku. Salah satunya adalah aku berterima kasih kepada mbokayu Anjani yang telah menolongku”.
“Sama-sama, Glagah Putih. Tapi apa yang aku lakukan itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan kakangmu, Eyang Mayangkara, dan kawannya yang aneh itu”.
“Sedikit atau banyak yang telah mbokayu Anjani lakukan itu sangat berguna bagiku, dan aku tetap merasa wajib berterima kasih. Untuk yang lain nanti jika aku telah bertemu dengan mereka”.
“Eyang Mayangkara sekarang sedang pergi karena suatu keperluan, nanti jika dia kembali kau dapat menyampaikannya sendiri. Tapi untuk kawan Eyang Mayangkara aku tidak dapat memberikan keterangan apapun”.
“Maksud mbokayu?”.
“Berdasarkan keterangan dari Eyang Mayangkara, kawannya itu masih belum mau diketahui jati dirinya”.
“Belum mau diketahui jati dirinya?”.
“Demikianlah.. aku juga tidak tahu apa alasannya”.
“Benar-benar orang yang aneh”.
“Aku rasa kau jangan banyak berpikir dan bicara dulu, dan sebaiknya kau perbanyak istirahat, agar tubuhmu segera sehat dan segar kembali”. sahut Nyi Anjani yang ingin memberikan waktu istirahat kepada anak Ki Widura tersebut.
“Meskipun tubuhku masih terasa lemah, tapi tubuhku belum mau diistirahatkan. Mungkin karena aku terlalu lama pingsan sehingga tubuhku seperti baru terbangun dari tidur panjang, tapi jika mbokayu merasa lelah dan ingin istirahat silahkan saja”.
“Aku pun belum merasa mengantuk”. sahut Nyi Anjani yang mengurungkan kembali niatnya untuk bangkit karena tidak sampai hati jika harus meninggalkan adik sepupu suaminya yang baru saja siuman itu dalam kesendirian di gandok.
“Apakah ada pesan dari kakang Agung Sedayu untukku?”.
“Tidak ada pesan khusus untukmu, selain hanya harapan kakang Agung Sedayu dan harapan kami semua agar kau dapat segera pulih dan sembuh seperti sediakala”.
Sejenak suasana menjadi sunyi, tapi dari kejauhan terdengar sekumpulan hewan malam bersahut-sahutan memecah keheningan di sekitar Kendalisada dalam suasana yang mulai berkabut.
“Apakah Rara Wulan sudah tahu keadaanku?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih tiba-tiba.
“Kakang Agung Sedayu tidak sampai hati menyampaikan apa yang telah terjadi kepadamu, sebab Rara Wulan sendiri sedang pulang ke Mataram atas perintah ayahnya”. sahut Nyi Anjani yang belum sampai hati untuk memberitahukan bahwa Ki Lurah Branjangan telah wafat.
“Pulang ke Mataram? apa yang telah terjadi?”.
“Katanya Ki Lurah Branjangan sedang sakit”.
Ayah Arya Nakula itu kemudian menjadi terdiam, seakan penalarannya menjadi pepat dan tiba-tiba seperti ada yang menjadi beban pikirannya.
“Aku merasa bersalah kepada Rara Wulan dan keluarganya, karena kesibukanku sebagai prajurit hingga jarang sekali mendapat kesempatan untuk sowan bersama-sama”.
“Kau memang bersalah, Glagah Putih. Tapi aku rasa kesalahanmu itu bukanlah kesalahanmu semata, sebab kau memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai seorang prajurit. Dan aku yakin jika Rara Wulan dan keluarganya tentu dapat mengerti dengan alasanmu yang jarang sekali dapat sowan”.
“Semoga saja pada saatnya nanti aku ada kesempatan untuk dapat sowan kepada Ki Lurah Branjangan dan Ki Purbarumeksa di Mataram bersama anak istriku”.
Wajah Nyi Anjani sekilas tampak terjadi perubahan, namun hanya sekejap. Tapi beruntunglah pada saat yang bersamaan ayah Arya Nakula itu tidak sedang melihat ke arahnya sehingga tidak menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab.
“Dengan semakin sibuknya Pasukan Mataram melawat ke bang wetan guna memperluas pengaruhnya, semoga saja kau segera mendapat kesempatan itu, Glagah Putih”.
“Mbokayu benar, sejak Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma naik tahta, kini Mataram menjadi semakin sibuk memperluas pengaruhnya, terutama ke bang wetan”.
“Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma memang adalah orang yang memiliki gegayuhan yang sangat tinggi, dan tekadnya dalam mewujudkan gegayuhan itu pun tidak dapat tergoyahkan oleh apapun dan siapapun jika belum kasembadan”.
“Hatinya memang sangat keras dan ketika gegayuhannya belum berhasil maka dia selalu berusaha mencari cara apapun agar gegayuhannya tetap tercapai. Contoh yang dapat kita lihat adalah Kanjeng Sinuhun tidak menyerah begitu saja ketika belum berhasil menaklukkan Kadipaten Surabaya”.
“Memang demikianlah wataknya pepunden kita yang sekarang, mungkin itulah salah satu alasan mengapa dia dulu menjadi pilihan para winasis untuk melanjutkan memimpin Mataram yang sangat besar ini”.
“Mungkin para winasis ingin melihat pula Mataram menjadi lebih besar lagi dari sebelumnya, sehingga karena alasan itulah pada waktu itu Raden Mas Rangsang digadang-gadang menjadi pengganti Kanjeng Panembahan Hanyakrawati yang telah wafat”.
“Sebaiknya aku tinggalkan kau sendiri Glagah Putih, agar kau dapat segera beristirahat. Sehingga semakin cepat pula tubuhmu akan pulih dari luka yang kau derita”.
“Baiklah… aku akan coba memejamkan mataku yang sebenarnya belum terasa mengantuk, agar mbokayu Anjani dapat beristirahat dengan tenang”.
“Aku akan beristirahat di bilikku. Jika kau memerlukan sesuatu, panggil saja aku dari sini. Maka aku akan datang segera”.
“Tapi suaraku masih lemah”.
Nyi Anjani yang segera menyadari keadaan, sejenak kemudian kepalanya memandang ke sekeliling ruangan dan seperti sedang mencari sesuatu.
“Gunakanlah ini, berilah isyarat kepadaku dengan ketukan ganda beberapa kali maka aku akan segera datang kemari”.
“Aku merasa beruntung sekali memiliki mbokayu-mbokayu yang sangat baik, tidak hanya kepadaku tapi terhadap sesama pula”.
“Ah.. kau sudah pandai memuji rupanya”. sahut Nyi Anjani sembari bangkit dari duduknya.
***
Sementara itu Ki Agung Sedayu sedang melangkahkan kakinya menuju perkemahan para prajurit Mataram yang berada di Wirasaba seorang diri.
Dan dirinya harus melewati para prajurit yang bertugas dengan senjata masing-masing di tangan agar dapat menghadap Kanjeng Sinuhun Mataram yang berada di dalam lingkaran penjagaan yang sangat ketat.
Awalnya para prajurit merasa heran ketika melihat seseorang yang berjalan seorang diri dengan langkah wajar dan tenang mendekati mereka di bawah keremangan malam.
“Kau siapa Ki Sanak? dan apa keperluanmu datang kemari?”. bertanya prajurit yang masih muda.
“Maaf jika kedatanganku mengejutkan kalian semua, Ki Sanak. Aku adalah Agung Sedayu, dan kedatanganku kemari adalah karena mendapatkan perintah dari Kanjeng Sinuhun untuk menghadap”.
“He… apakah aku tidak salah dengar?”. sahut prajurit itu terkejut dan penuh rasa heran.
“Sampaikan saja kepada Kanjeng Sinuhun bahwa aku telah datang untuk menghadap”.
Prajurit yang bertugas itu tidak dapat mempercayainya begitu saja keterangan orang yang baru saja dilihatnya tersebut, tapi rupanya penalarannya masih dapat bekerja dengan baik sehingga tidak langsung membuat keputusan sendiri.
“Maaf Ki Sanak, aku tidak dapat begitu saja memenuhi permintaanmu sebelum aku yakin benar. Adi kau laporkan kejadian ini kepada Ki Lurah, biarlah dia yang memutuskan. Sementara aku akan tetap menahannya disini lebih dulu”. berkata prajurit itu kepada kawannya yang lebih muda.
“Baiklah Ki Sanak, aku akan menunggu disini”.
Dalam hati para prajurit yang bertugas itu merasa heran dan bertanya-tanya, siapakah sebenarnya orang yang baru saja datang itu? kenapa dia tampak begitu tenang ketika ditahan oleh para prajurit yang bertugas.
Tidak lama kemudian Ki Lurah yang mendapat laporan tentang apa yang dialami oleh anak buahnya, datang tergopoh-gopoh menyambut orang yang baru saja datang.
“Ki Agung Sedayu rupanya, aku tidak mengira jika kita akan berjumpa disini”. sambut lurah prajurit separuh baya itu dengan ramahnya, layaknya sedang bertemu dengan kawan lama.
“Benar Ki Lurah, aku yang datang”.
“Apakah keperluan Ki Agung Sedayu datang kemari, mungkin saja aku dapat membantu”.
“Kedatanganku kemari adalah untuk memenuhi perintah dari Kanjeng Sinuhun untuk menghadap, seperti yang tadi telah aku katakan kepada anak buahmu, tapi mereka meragukanku”.
“Aku minta maaf atas kedunguan anak buahku, Ki Agung Sedayu. Kebanyakan dari mereka memang belum lama menjadi prajurit, sehingga tidak mengenal siapakah dirimu. Marilah biar aku sendiri yang akan mengantarmu”. sahut lurah prajurit tersebut.
Sementara para prajurit semakin bertanya-tanya ketika melihat lurah prajurit mereka yang keseharianya adalah orang yang garang, tapi begitu ramah dan sangat menghormati orang yang baru saja datang tersebut.
“Apakah Ki Lurah telah terpengaruh guna-guna oleh orang itu? sehingga tiba-tiba begitu ramah?”. desis salah satu prajurit yang bertugas dengan wajah keheranan, setelah melihat kedua orang itu telah berlalu dari hadapannya.
“Akupun tidak tahu yang sebenarnya terjadi, tapi sepertinya Ki Lurah memang sangat menghormati orang yang mengaku bernama Ki Agung Sedayu itu”.
“Sudahlah… sebaiknya kita lanjutkan tugas kita”.
Sementara Ki Agung Sedayu yang kini telah diantar oleh seorang lurah prajurit untuk menghadap tidak mendapat hambatan lagi hingga tiba di perkemahan Kanjeng Sinuhun yang mendapat penjagaan ketat dari Pasukan Khusus Pengawal Raja.
Kali ini sepertinya Ki Agung Sedayu tidak mendapat kesulitan lagi, karena kebetulan beberapa orang dari mereka telah mengenalnya dengan baik. Tapi tetap saja dirinya harus menunggu lagi setelah menyampaikan keperluannya kepada prajurit yang bertugas untuk menghadap atas dasar perintah dari Kanjeng Sinuhun sendiri.
Kebetulan Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dan ketiga Pangeran Mataram sedang berada di tempat, sehingga dapat langsung menyambut kedatangan ayah Sekar Wangi tersebut untuk menghadap.
“Hamba menghaturkan sembah bakti Kanjeng Sinuhun, hamba datang menghadap setelah menerima tidak melalui Ki Patih Singaranu di Mataram”. ucap Ki Agung Sedayu sembari mengangkat kedua tangannya hingga depan wajah.
“Aku terima sembah baktimu, Ki Agung Sedayu. Aku ucapkan terima kasih atas kedatanganmu, dan memang benar akulah yang memintamu datang kemari melalui Ki Patih Singaranu”.
“Tidak lupa hamba menghaturkan sembah bakti pula kepada Pangeran Puger, Pangeran Pringgalaya, dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil”.
“Aku terima sembah baktimu, Ki Agung Sedayu”. sahut ketiga pangeran itu hampir bersamaan.
“Hamba datang menghadap dan siap untuk menerima titah Kanjeng Sinuhun”.
“Tapi sebelum aku menjatuhkan perintah, aku ingin meminta keterangan darimu”.
“Sendika dawuh Kanjeng”.
“Aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau mengetahui tentang hilangnya Ki Lurah Glagah Putih?”. bertanya Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma tanpa berbelit-belit.
“Sebelum hamba menceritakan apa yang terjadi, hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya atas kejadian itu jika dianggap deksura kepada Kanjeng Sinuhun dan para Pepunden Mataram yang lain, namun apa yang hamba lakukan itu adalah karena hamba terpaksa melakukannya dalam waktu yang begitu cepatnya, dan hamba tidak dapat menemukan cara yang lebih baik pada saat itu”.
“Aku mengerti maksudmu, tapi sebaiknya kau ceritakan dulu apa yang terjadi sejauh pengetahuanmu secara runut agar aku dapat mengambil sikap yang benar kemudian”.
Lalu Ki Agung Sedayu mulai menceritakan apa yang terjadi secara runut, dari sejak dirinya harus menyelamatkan adik sepupunya dari orang yang sempat menyambarnya hingga pada saat terakhir dia harus meninggalkan sementara adik sepupunya tersebut di Gunung Kendalisada setelah mendapatkan perawatan atas luka parah yang dideritanya setelah perang tanding.
Keempat Priyagung Mataram itu hanya dapat terdiam mendengar keterangan tersebut, sesekali mereka menganggukkan kepala atau mengerutkan kening mereka.
“Kami merasa sangat bersyukur bahwa Ki Lurah Glagah Putih masih selamat, sebab jika dilihat dari benturan ilmu puncak pada tataran itu, tentu akan sulit dibayangkan akibat yang bakal terjadi pada keduanya”. sahut Pangeran Pringgalaya ketika ayah Sekar Wangi itu telah mengakhiri ceritanya.
“Benar-benar pameran salah satu raksasa ilmu yang pernah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, bahkan harus aku akui bahwa aku pun belum dapat meniti tataran itu hingga sekarang”. sahut Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.
“Menurut perhitunganmu, butuh berapa lama untuk kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih yang terluka parah itu? sebab menurut perhitunganku, luka seperti itu tentu akan membutuhkan waktu yang lama bagi kesembuhannya”. bertanya Pangeran Pringgalaya yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ampun Pangeran, hamba tidak dapat memastikan. Tapi berdasarkan keterangan dari kawan Begawan Mayangkara yang tidak ingin diketahui jati dirinya, setelah Glagah Putih meminum air Mustika Warih itu paling cepat butuh waktu sepekan baru dapat berjalan, sementara untuk pemulihan kesehatan dan kemampuannya secara utuh aku belum dapat memperkirakannya”.
“Luar biasa”. desis Pepunden Mataram tanpa sadarnya.
“Aku tidak pernah menduga bahwa akan secepat itu kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih. Sebab secara penalaran wajar, luka yang seperti itu butuh waktu yang lama atau paling tidak membutuhkan waktu empat puluh hari”.
“Kita semua wajib berterima kasih kepada Yang Maha Welas Asih atas segala kemurahan yang telah dilimpahkan kepada kita semua hingga saat ini”.
“Kakangmas Pangeran Puger benar, kita semua memang wajib berterima kasih kepada Yang Maha Agung. Sebab apapun yang kita lakukan tidak akan pernah terjadi jika tanpa seizin-Nya”.
“Selain itu, sejak awal kami juga telah menduga bahwa hilangnya Ki Lurah Glagah Putih tentu ada campur tangan darimu, namun kami tidak mau hanya menduga-duga saja tanpa bukti. Maka aku perintahkan kau datang kemari untuk memastikannya”.
“Sekali lagi hamba mohon ampun Kanjeng Sinuhun. Dan jika apa yang telah hamba lakukan itu dianggap sebagai sebuah kesalahan, maka hamba siap menerima hukuman”. sahut Ki Agung Sedayu sembari kedua tangannya menghaturkan sembah seraya sedikit membungkukkan badannya.
“Bagaimana menurut Paman bertiga?”.
Ketiganya menjadi saling pandang, namun akhirnya salah satu dari mereka membuka suara untuk memberikan pendapatnya.
“Menurut pendapatku, Ki Agung Sedayu dapat dianggap bersalah karena melakukan itu tanpa ada perintah atau meminta izin dulu sebelum berbuat, tapi dapat dianggap tidak bersalah jika memang keadaannya sudah sangat mendesak dan harus ada tindakan segera, sedangkan jika harus meminta izin dulu maka dia akan kehilangan waktu yang sangat berharga”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Bagaimana menurut Paman Pangeran Puger dan Paman Pangeran Demang Tanpa Nangkil?”.
“Kurang lebih sama dengan pendapat Adimas Pringgalaya”.
“Aku pun demikian angger Panembahan”.
“Terima kasih Paman”. lalu lanjutnya, “berdasarkan keterangan yang kau sampaikan itu, aku tidak menganggap kau bersalah. Tapi bukan berarti kau benar-benar luput dari kesalahan, apakah kau tahu kesalahan apa yang aku maksud?”.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, hamba tidak tahu”. sahut Ki Agung Sedayu dengan kepala semakin menunduk.
“Kesalahanmu adalah kau tidak segera melaporkannya kepadaku setelah kejadian itu, bahkan kau justru menunggu perintah dariku untuk menghadap”.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, hamba mengaku bersalah”.
“Baiklah Ki Agung Sedayu, kali ini aku maafkan kesalahanmu. Namun aku tidak ingin mendengarnya lagi untuk kedua kalinya”.
“Sendika dawuh Kanjeng Sinuhun”.
“Sekarang aku ingin tahu alasanmu, kenapa kau baru menghadap setelah menerima perintahku?”.
“Ampun Kanjeng, sebenarnya hamba ingin segera menghadap, namun hamba harus merawat Glagah Putih yang terluka parah lebih dulu. Setelah dia dapat aku tinggal, aku mendapat kabar bahwa Ki Lurah Branjangan sedang sakit keras hingga akhirnya wafat”.
“He… Ki Lurah Branjangan wafat?”. sahut Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma terkejut hampir bersamaan dengan tiga Pangeran Mataram yang duduk di sebelahnya.
“Benar Kanjeng Sinuhun”.
“Kapan wafatnya Ki Lurah Branjangan?”.
“Tadi malam menjelang pagi, dan telah diselenggarakan pemakaman tadi pagi setelah matahari terbit. Dan dihadiri oleh Ki Patih Singaranu dan beberapa pejabat tinggi Mataram lainnya”.
“Syukurlah jika Ki Patih Singaranu telah hadir, paling tidak dapat mewakili aku untuk menyampaikan penghormatan terakhir kepada Ki Lurah Branjangan yang jasanya tidak dapat dihitung lagi bagi tegaknya bumi Mataram”.
“Demikianlah Kanjeng”.
“Aku jadi ingat sesuatu, yang kurang lebih sama”.
Ki Agung Sedayu yang tidak berani bertanya maksud dari ucapan pepundennya tersebut, hanya dapat menunggu apa yang akan dikatakan dengan kepala tetap menunduk.
“Ketahuilah… bahwa Ki Prastawa telah gugur”.
“Ki Prastawa?”. sahut Ki Agung Sedayu terkejut.
Bahkan tanpa sadarnya dia mengangkat wajahnya, tapi segera ditundukkannya kembali ketika menyadari bahwa Kanjeng Sinuhun sedang memandang ke arahnya pula.
“Benar… Ki Prastawa telah gugur dan telah diselenggarakan pemakaman baginya semalam dan aku sendiri ikut menyampaikan penghormatan terakhir kepadanya”.
“Ampun Kanjeng Panembahan, bukankah perang telah berakhir sejak beberapa hari yang lalu?”.
“Dia telah terluka parah pada saat perang di hari terakhir, kami sudah berusaha merawatnya, namun Yang Maha Agung rupanya berkehendak lain”.
“Hamba mewakili seluruh kawula Tanah Perdikan Menoreh menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas kebaikan Kanjeng Panembahan dan seluruh prajurit Mataram yang telah memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Prastawa”.
“Aku pun atas nama pribadi dan atas nama Mataram menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas segala jasanya kepada Mataram selama hidupnya. Jika kau ingin melihat pusaranya biarlah nanti diantarkan oleh prajurit yang bertugas”.
“Sendika dawuh Kanjeng”.
“Mungkin nanti setelah kau selesai menghadap, kau ingin menjenguk pula keadaan kemenakanmu yang terluka? yang belum lama ini telah siuman”.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, apakah yang Kanjeng maksud adalah Umbara?”. sahut ayah Bagus Sadewa terkejut.
“Benar Ki Agung Sedayu, Umbara telah terluka setelah berperang tanding melawan salah satu senopati dari Wirasaba, yang bernama Ki Tumenggung Randuwana”.
“Sendika dawuh Kanjeng”.
“Aku memerintahkanmu untuk menghadap selain aku ingin mencari keterangan tentang keberadaan Ki Lurah Glagah Putih, memang ada tugas lain untukmu, Ki Agung Sedayu”.
“Sendika dawuh Kanjeng”.
“Menurut perhitungan kami, orang yang telah membawa pergi Ki Patih Rangga Permana sepertinya menyimpan dendam kepada Mataram, terutama kepada kami berempat. Bukan maksud kami menjadi ketakutan karenanya, tapi ada kepentingan yang lebih besar yang harus kami pikirkan jika dibandingkan hanya memikirkan orang itu dengan segala kemungkinan akibatnya”.
“Dalam sekilas pengenalan kami terhadap orang itu, tentu dia adalah orang yang berilmu sangat tinggi, dan berdasarkan hasil pembicaraan kami berempat, kau adalah orang yang paling tepat untuk membayangi orang itu, Ki Agung Sedayu”. sambung Pangeran Pringgalaya.
“Apakah kau siap, Ki Agung Sedayu?”.
“Hamba selalu menjunjung tinggi segala titah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.
“Dan perlu kau tahu, bahwa berdasarkan laporan dari prajurit sandi pada perkembangan terakhir telah melihat adanya gejolak di Kadipaten Surabaya setelah Wirasaba jatuh ke tangan kita. Dan kita belum dapat menduga apa maksud gejolak itu, karena sepertinya sengaja mereka samarkan agar tidak menarik perhatian. Namun menurut perkiraan, itu adalah sebuah gejolak yang dipersiapkan untuk memasuki sebuah perang”.
“Meskipun kita belum dapat memastikan, namun jika melihat segala kemungkinan, ada kemungkinan pula bahwa Surabaya sedang mempersiapkan diri untuk menyerang kita yang telah menduduki Wirasaba ini”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Memang kita wajib mewaspadai setiap perkembangan yang ada agar kita dapat mengambil sikap dengan benar, sehingga kita tidak terjerumus ke dalam kesulitan karena kebodohan kita sendiri”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Kita sama-sama tahu bahwa kita tidak dapat memandang sebelah mata kekuatan Surabaya jika mereka benar-benar menyerang kita, apalagi jika mereka mengerahkan seluruh kekuatan. Tentu kita akan mengalami kesulitan atau bahkan nasib yang paling buruk sekalipun, maka dari itu kita harus berhitung secara cermat”.
“Maka dari itu aku selalu berpesan kepada para prajurit sandi untuk selalu berhati-hati dalam mencari keterangan dan harus dapat bergerak senyap dan cepat, agar kami tidak kehilangan waktu ketika mendapat laporan itu. Sebab dalam keadaan yang gawat, waktu yang hanya sekejap pun akan sangat berarti sekali”.
“Angger Panembahan benar, dan segala kemungkinan dapat terjadi kapanpun dan dimanapun, apalagi kekuatan kita sekarang sudah jauh berkurang setelah menaklukkan Wirasaba, sehingga kita harus berhitung ulang”.
“Ya.. kekuatan kita disini sudah jauh berkurang, maka dari itu kita harus segera menemukan jalan yang paling baik sebelum kita terjerumus kedalam kesulitan atau bahkan nasib buruk”.
“Berdasarkan laporan, pergerakan yang dilakukan Surabaya itu semakin lama semakin terlihat jelas bahwa mereka memang sedang mempersiapkan pasukan segelar sepapan. Dan menurut pendapatku, kemungkinan besar mereka tidak dapat menerima jatuhnya Wirasaba ke tangan kita sehingga mereka akan berusaha menyerang balik”.
“Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?”.
“Tentu mereka sudah mempelajari sejauh mana kekuatan kita disini, sehingga jika kita menunggu mereka menyerang kita, tentu sama saja artinya kita membunuh diri”.
“Apakah dengan demikian kita akan melepas kemenangan kita disini? sedangkan kita sudah mengorbankan segalanya untuk gegayuhan ini?”.
“Kita ada dua pilihan, angger Panembahan”.
“Maksud Paman Pangeran Pringgalaya?”.
“Kita melepas kemenangan ini sementara? atau kita membunuh diri? dan jika kita membunuh diri, justru kita akan menjadi kehilangan semuanya. Dan segala apa yang telah kita korbankan justru akan menjadi sia-sia”.
“Maksud Paman dengan melepas kemenangan sementara?”.
“Dengan sangat terpaksa, untuk sementara kita harus menarik seluruh pasukan Mataram dari sini sembari kita memikirkan jalan keluar yang paling baik”.
“Bukankah itu sama artinya dengan tinggal gelanggang colong playu, Paman?”.
“Cobalah angger Panembahan pertimbangkan lagi”.
Sejenak Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma hanya dapat terdiam mendengar gagasan dan pamannya yang sekaligus bertugas sebagai penasehat baginya selama perang berlangsung.
“Keadaan kita sekarang memang serba salah, Paman. Tapi yang jelas aku tidak mau melihat prajuritku hanya akan menjadi bebanten jika perang pecah kembali. Karena biar bagaimanapun aku bertanggung jawab atas seluruh pasukanku”.
“Demikianlah ngger, dan kami semua yang berada disini hanya dapat menyampaikan gagasan-gagasan yang paling baik menurut kami, tapi pada akhirnya segala keputusan ada di tangan Angger Panembahan sendiri”.
“Baik Paman, aku mengerti. Dan aku ucapkan terima kasih atas segala gagasan yang kalian sampaikan, sebab semua itu bukan hanya untuk kepentingan pribadiku, tapi untuk kepentingan pasukan Mataram secara keseluruhan”.
Sementara pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi setelah permasalahan pokok telah mereka bicarakan bersama, sehingga sejenak kemudian Ki Agung Sedayu dipersilahkan untuk undur diri dengan memikul tugas baru.
Tapi sebelum ayah Bagus Sadewa itu benar-benar meninggalkan perkemahan para prajurit Mataram, lebih dulu dia menyempatkan diri untuk menjenguk kemenakannya yang terluka.
Tabib yang merawat Umbara yang kebetulan sudah saling mengenal dengan menjadi sangat terkejut ketika melihat Ki Agung Sedayu ke tempat tersebut.
“Apakah kedatanganmu ke Wirasaba karena mendengar kemenakanmu terluka parah?”. bertanya Tabib itu.
“Tidak Kyai, kedatanganku kemari adalah karena mendapatkan perintah dari Kanjeng Sinuhun untuk menghadap. Justru aku tahu jika telah Umbara terluka dari Kanjeng Sinuhun pada saat tadi aku menghadap”.
“Umbara telah terluka setelah melawan seorang Tumenggung Wirasaba, dan semalam dia baru dapat sadarkan diri sejak terjadi benturan ilmu puncak dengan lawannya”.
“Umbara memang masih sangat hijau dalam dunia kanuragan, sehingga dia belum memiliki pertimbangan yang matang pada saat mengambil sikap. Beruntunglah Yang Maha Welas Asih masih melimpahkan kemurahan-Nya pada anak itu”.
“Ki Agung Sedayu benar, tapi selain itu ternyata bekal kemampuannya benar-benar telah mengejutkan semua orang. Tapi jika melihat siapakah gurunya, maka kami semua tidak menjadi heran lagi”. ucap Tabib itu dengan lirikan menggoda.
“Ah.. bukan aku gurunya, Kyai”.
“He.. bukankah dia adalah salah satu cantrik di Padepokan Orang Bercambuk?”.
“Kyai benar. Namun karena kesibukanku, justru aku jarang sekali dapat menengok padepokan kecil itu”.
“Oh.. begitu rupanya, ternyata tanpa bimbingan dari Ki Agung Sedayu pun Umbara telah tumbuh menjadi anak muda yang perkasa dan telah mengejutkan semua orang dengan kemampuannya, apalagi jika mendapat bimbingan langsung dari murid utama Swargi Kyai Gringsing?”.
“Ah.. Kyai terlalu berlebihan, bekal kanuragan yang kami miliki sama seperti yang dimiliki oleh orang kebanyakan, dan tidak ada kelebihan pada kami yang pantas kami banggakan”.
“Ya.. ya.. marilah aku antarkan kau jika ingin menjenguk kemenakanmu itu. Setelah dia sadarkan diri, keadaannya sudah semakin membaik”. sahut Tabib tersebut yang tidak ingin berdebat lebih lama lagi.
“Syukurlah jika demikian, kita wajib berterima kasih kepada Yang Maha Welas Asih atas segala kemurahan-Nya kepada kita semua”.
Umbara terlihat terdiam di pembaringannya, dan sepertinya dia sedang tertidur ketika pamannya datang. Memang Tabib yang merawatnya telah berpesan agar waktunya lebih baik digunakan untuk banyak beristirahat agar semakin membantu mempercepat kesembuhannya.
“Aku akan membangunkannya”. ucap Tabib tersebut.
“Tidak perlu Kyai, biarkanlah dia beristirahat. Aku tidak ingin mengganggunya”.
“Baiklah jika demikian”.
“Yang penting aku sudah melihat keadaannya dan mendengar keterangan apa yang telah terjadi kepadanya sudah lebih dari cukup bagiku, Kyai”.
“Sejak Umbara terluka, orang yang paling sering menjenguknya adalah Ki Rangga Sabungsari. Bahkan dia pernah berkata bahwa, dirinya seringkali dirundung kegelisahan selama anak itu berada di pembaringan dalam perawatan kami”.
“Ki Rangga Sabungsari?”.
“Benar Ki Agung Sedayu. Bahkan jika aku perhatikan, sikap yang ditunjukkan oleh Ki Rangga Sabungsari seperti sudah selayaknya menganggap Umbara seperti anaknya sendiri”.
“Keduanya memang sudah saling mengenal sejak lama, bahkan sejak Umbara masih kecil. Lagipula rumah kakang Untara di Jati Anom bersatu dengan barak prajurit, sehingga tidak mustahil jika anak itu mengenal baik para prajurit, terutama yang dulu sering bersama Ayahnya”.
“Biasanya pada waktu seperti sekarang ini, dia sudah datang kemari untuk mengawani Umbara barang sejenak, tapi entah kenapa malam ini dia belum kelihatan batang hidungnya”.
“Mungkin dia mendapat tugas yang harus segera diselesaikannya, sehingga belum sempat datang kemari”.
“Mungkin demikian”.
“Maaf Kyai, aku tidak dapat berlama-lama lagi berada di tempat ini, karena aku sendiri pun masih memiliki tugas yang harus segera aku selesaikan”.
“Begitu tergesa-gesa? apakah kau benar-benar tidak ingin bicara dengan Umbara? atau menunggu barang sejenak agar dapat bertemu dengan Ki Rangga Sabungsari?”.
“Mungkin pada kesempatan lain, Kyai. Aku titip salam saja bagi keduanya, Sebab aku masih memiliki keperluan lain yang tidak kalah pentingnya”.
“Baiklah Ki Agung Sedayu, jika demikian aku tidak dapat menahanmu lagi. Nanti akan aku sampaikan pada Umbara setelah dia bangun dan nanti akan aku sampaikan pula salammu kepada Ki Rangga Sabungsari jika bertemu dengannya”.
Setelah itu dia pergi menemui pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, selain untuk menyampaikan rasa belasungkawa atas gugurnya Ki Prastawa, dia juga meminta tolong untuk diantarkan ke tempat dimana anak Ki Argajaya itu dimakamkan.
Dengan diantarkan oleh dua orang pemimpin pengawal pengganti sementara kedudukan Ki Prastawa yang telah gugur, mereka berjalan menuju pemakaman dalam cahaya keremangan malam sebab mereka memang sengaja tidak membawa penerangan agar tidak menarik perhatian.
Meskipun mereka tidak membawa penerangan, namun bukan sebuah masalah yang sulit bagi mereka untuk dapat menemukan makam yang mereka cari.
Sebuah pusara yang masih tampak merah di antara pusara yang lain sudah cukup sebagai tanda bagi mereka, setelah Ki Agung Sedayu selesai memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih bagi Ki Prastawa, maka dia segera bangkit.
“Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian mengantarku, namun aku tidak dapat kembali bersama kalian sebab aku harus melanjutkan tugasku yang tidak dapat aku katakan kepada kalian”.
“Ki Agung Sedayu tidak perlu berterima kasih kepada kami, karena ini adalah bagian dari kewajiban kami. Jika itu memang kemauanmu, baiklah. Kami akan segera kembali ke pasukan jika tenaga kami sudah tidak dibutuhkan lagi”.
Selesai berkata demikian, kedua pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun segera meninggalkan suami Nyi Pandan Wangi itu dalam kesendirian di antara para prajurit Mataram yang telah gugur selama perang terjadi.
Setelah kedua orang itu semakin jauh meninggalkan tempat itu, maka Ki Agung Sedayu pun segera meninggalkan tempat itu pula untuk segera menemui istrinya yang telah dia tinggalkan di suatu tempat yang aman.
“Ada apa kakang?”. bertanya Nyi Pandan Wangi, setelah melihat suaminya datang dengan raut wajah sedikit murung.
Terdengar sebuah tarikan nafas yang begitu berat sebelum Ki Agung Sedayu menjawab pertanyaan dari istrinya, sembari memandangi langit malam yang jauh disana.
“Apakah Kanjeng Sinuhun menjatuhkan titah yang begitu berat untuk kakang laksanakan?”.
“Bukan itu masalahnya, Pandan Wangi”.
“Lalu apa masalahnya, kakang?”.
“Sebelum aku memberitahukannya kepadamu, aku harap kejadian demi kejadian yang kita alami ini akan semakin membuat kita semua menjadi semakin kuat dan membuat kita semakin mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung, dan bukan justru malah sebaliknya”.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi, kakang?”. sahut Nyi Pandan Wangi yang semakin penasaran dan tanda tanya.
“Umbara telah terluka parah, tapi sekarang keadaannya sudah semakin membaik. Sementara adik sepupumu…”.
“Prastawa kenapa kakang? apa yang telah terjadi dengannya?”.
“Prastawa telah gugur”.
Bagaikan disengat ribuan lebah, Nyi Pandan Wangi terkejut bukan kepalang. Hingga dia bingung harus berkata apa dan harus berbuat apa mendengar kabar tersebut, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas dan seakan tidak bertulang. Tidak terasa pipinya pun mulai basah tanpa dapat ditahan.
“Prastawa…”.
Ki Agung Sedayu yang tanggap keadaan pun segera memeluk istrinya tersebut sembari mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang seraya mengusap kepalanya.
“Tabahkanlah hatimu, Pandan Wangi”.
“Kakang…”.
Hanya itu yang mampu terucap dari mulut ibu Bayu Swandana dalam pelukan suaminya di bawah pohon-pohon besar dan cahaya keremangan malam, sebab pada waktu itu kebetulan bersamaan dengan munculnya bulan sabit.
“Beberapa waktu terakhir ini kita memang telah kehilangan bagian keluarga dan orang-orang terdekat yang sangat kita sayangi dalam jarak waktu yang berdekatan, namun kita sebagai manusia tidak pernah dapat meminta ataupun menolak segala kehendak dari Yang Maha Agung itu”.
“Dan semua itu sebagai pengingat kita, bahwa hidup ini hanya gilir gumanti ibarat cakra manggilingan. Adakalanya hidup kita berada di atas dan terkadang di bawah. Maka dari itu jika kita sedang berada di atas aja dumeh, sebab jika suatu saat hidup kita jatuh pun mungkin saja kita masih dapat tetap dalam hidup yang ajeg kepenak”.
“Jangan terlalu senang jika kita sedang menemukan keberuntungan dan jangan merasa paling menderita jika kita sedang menemukan kesulitan. Hidup itu ada bahagia ada duka, ada senang ada susah, ada beruntung ada celaka. Tapi pada akhirnya kita semua akan mati juga, dan kita semua hanya menunggu giliran”.
Mendengar ucapan suaminya tersebut, Nyi Pandan Wangi semakin tenggelam dalam pelukannya, dan seakan dia dapat melupakan sejenak segala beban hidup yang ada di pundaknya dengan penuh kenyamanan dan ketenangan bersama dengan orang yang sangat dia sayangi.
Padepokan Tanah Leluhur
Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar