PdTL 15

 


Debu-debu di sepanjang jalan yang dilalui oleh rombongan berkuda itu semakin berhamburan ketika mereka melintas pada saat teriknya sinar matahari yang mulai menyengat kulit.

Keringat pun mulai membasahi tubuh sebagian orang yang berada dalam rombongan, terutama bagi tubuh yang masih muda. Meskipun di sepanjang perjalanan mereka hanya duduk di atas punggung kuda, tapi itu termasuk pekerjaan yang melelahkan pula jika dilakukan dalam waktu yang lama.

Apalagi beberapa saat yang lalu matahari telah melewati puncaknya, sehingga panasnya terasa seakan membakar kulit, dan beberapa diantaranya dari balik baju mereka mulai berkeringat.

“Apakah kita memerlukan istirahat, Ki Gede? sebab perjalanan kita tinggal ujungnya saja”. bertanya Ki Untara yang berada dalam rombongan di barisan paling depan.

“Aku kira jika kita tidak lama lagi dapat tiba di tempat tujuan, sebaiknya kita lanjutkan saja, Ki Untara. Lagipula menurutku yang lain tidak akan merasa keberatan. Selain itu, Nyi Rara Wulan tentu ingin segera dapat bertemu dengan keluarganya”.

“Baiklah Ki Gede, aku sependapat”.

Kemudian Ki Untara memberikan isyarat kepada rombongan yang berada di belakangnya untuk tetap melanjutkan perjalanan, dan semua orang yang berada dalam pun segera mengerti dan tidak merasa keberatan sama sekali.

Sementara Nyi Rara Wulan yang mendapat isyarat itu pula seakan baru menyadari bahwa dirinya tidak lama lagi akan segera sampai ke rumah orang tuanya.

“Ternyata aku terlalu terhanyut dengan diriku sendiri, sehingga hampir tidak menyadari bahwa tidak lama lagi akan sampai”.

Kebetulan rombongan itu hampir tidak menemui rintangan yang berarti di sepanjang perjalanan, sehingga perjalanan mereka hampir tepat dengan perkiraan.

Tidak lama setelah matahari melewati puncaknya, mereka telah mulai memasuki wilayah Kotaraja. Dan mereka hanya tinggal mencari rumah Ki Purbarumeksa yang menjadi tujuan.

***

Sementara orang yang mendapat tugas dari Ki Purbarumeksa untuk segera menyusul kawannya yang diutus ke Tanah Perdikan Menoreh menjadi terheran-heran.

Baru saja dia dan seorang kawannya keluar regol halaman beberapa puluh langkah dengan menunggangi kuda, dirinya sudah dihadapkan dengan sebuah pemandangan yang membuatnya kebingungan.

Karena pada saat itu dirinya telah melihat rombongan berkuda yang sepertinya sedang menuju ke arahnya, tapi karena dia merasa asing dengan mereka, maka dirinya dengan sengaja memberikan jalan kepada mereka.

Ki Untara dan Ki Gede Matesih yang berada di barisan paling depan pun sempat saling tersenyum ketika berpapasan, tapi karena merasa saling tidak ada kepentingan, kejadian itu hanya sepintas.

Setelah dua belah pihak berkuda yang berlawanan arah itu saling memberikan jalan, lalu dengan tanpa perasaan apapun mereka segera melanjutkan perjalanan masing-masing.

Kuda-kuda itu hanya dapat melaju secara perlahan setelah memasuki daerah Kotaraja, sebab banyak orang yang berlalu lalang sehingga mereka yang menaiki kuda harus dapat menyesuaikan diri.

Sementara utusan Ki Purbarumeksa yang melanjutkan perjalanan tiba-tiba hati mereka menjadi kurang mapan ketika berpapasan dengan rombongan berkuda sekali lagi.

“Apakah kakang tidak merasa aneh?”. bertanya utusan Ki Purbarumeksa yang akan menyusul ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Merasa aneh? aneh kenapa?”.

“Bukankah kakang melihatnya pula bahwa kita telah berpapasan dengan dua rombongan berkuda yang berjarak tidak terlalu jauh?”.

“Ya adi.. aku merasa agak aneh pula. Namun aku tidak berani berprasangka agar aku sendiri tidak tersesat dengan pemikiran yang salah nantinya”.

“Bukan untuk berprasangka, kakang. Tapi mungkin kakang memiliki sedikit dugaan akan mereka, sebab jika dilihat dari arah yang mereka tuju, mereka sepertinya akan menuju rumah Ki Purbarumeksa”.

“Aku juga menduga demikian adi, tapi bukankah bukan urusan kita jika memang itu benar adanya?”.

Utusan yang lebih muda itu hanya dapat terdiam mendengar jawaban tersebut, tapi dia sendiri pun tidak dapat ingkar bahwa sepertinya ada sesuatu yang kurang mapan di hatinya, tapi entah perasaan apakah itu.

Belum sempat kedua orang itu merenungi hal tersebut, mereka kembali berpapasan dengan rombongan ketiga. Tapi kali ini rombongan berkuda yang mereka lihat adalah rombongan yang berisikan perempuan.

Para perempuan penunggang kuda yang mengenakan pakaian khususnya, kecantikan mereka seakan tidak berkurang karena balutan pakaian tersebut, tapi justru semakin menambah pesona kecantikan yang ada.

“Perempuan-perempuan yang perkasa, kakang”.

“Kau benar adi, mereka seperti para Srikandi yang dapat kita lihat dalam dunia nyata”.

Kedua utusan itupun kembali harus saling mengalah ketika berpapasan dengan rombongan yang berlawanan arah untuk ketiga kalinya, karena mereka menyadari bahwa jalan yang mereka lalui tidak cukup besar.

Mereka pun kembali menebar senyum ketika saling berpapasan dengan rombongan tersebut, yang kali ini kebetulan adalah rombongan yang berisikan perempuan semua.

Setelah mereka saling berlalu dalam beberapa puluh langkah, kedua utusan itu sempat membicarakan kejadian yang baru saja mereka alami.

“Sepertinya mereka adalah sebuah rombongan yang sengaja dipecah agar tidak terlalu menarik perhatian banyak orang”. desis utusan Ki Purbarumeksa yang lebih tua.

“Mungkin sekali kakang”.

“Meskipun aku belum pernah mengenal mereka, tapi setelah aku lihat gelagat yang mereka tunjukkan secara sekilas, sepertinya mereka bukanlah rombongan orang-orang jahat”.

“Ya… semoga saja, kakang”.

Lalu keduanya kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tersendat tersebut dengan menarik kembali tali kekang kudanya masing-masing, tapi hanya untuk melaju secara perlahan.

Karena jika mereka berkuda masih di kawasan Kotaraja, maka siapapun tidak akan dapat memacu kuda mereka terlalu kencang. Karena selain akan sangat berbahaya, mereka tentu akan berurusan dengan para prajurit yang bertugas jika memicu sebuah keributan atau kejahatan.

Setelah mereka sudah akan mendekati jalan yang sedikit berbelok, kembali mereka berpapasan dengan rombongan berkuda lagi. Tapi kali ini semua penunggang kudanya tidak seperti sebelumnya, sebab kali ini laki-laki semua.

Setelah mereka saling berpapasan, mereka menjadi saling terkejut, karena ada di antara mereka yang saling mengenal, sehingga mereka memerlukan waktu sejenak untuk berhenti.

“Kalian akan kemana, adi Pagah?”.

“He.. kakang Warta? kak kah itu? apakah aku tidak salah lihat? apakah kau mendapat kawan baru di perjalanan?”.

“Kau bertanya seperti kau menanyai seorang pencuri saja, adi”.

“Maaf kakang”. sahut Ki Pagah yang menyadari kesalahannya, “sebab aku sudah tidak sabar mendengar keterangan darimu”.

“Aku akan pulang ke rumah Ki Purbarumeksa, kau sendiri akan pergi kemana? apakah kau mendapat tugas baru?”.

“Ki Purbarumeksa dan istrinya yang yang khawatir dan sudah tidak sabar menunggu kedatanganmu, maka aku diperintahkan untuk menyusul kakang”.

“Setelah kita bertemu disini, apakah kalian akan melanjutkan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh?”.

“Lalu apa yang harus aku lakukan jika kita sudah bertemu disini”.

“Jika demikian marilah kita kembali bersama-sama”.

“Maaf kakang, apakah kau tidak membawa hasil dalam menjalankan tugasmu?”.

“Maksudmu?”. sahut Ki Warta heran.

“Bukankah kau mendapat tugas ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menyusul Nyi Rara Wulan? tapi aku tidak melihatnya bersamamu dalam rombongan ini?”.

Ki Warta dan adiknya, yaitu Ki Parta hanya dapat tertawa berkepanjangan mendengar pertanyaan itu, sementara kawan seperjalanan keduanya hanya tersenyum. Hal itu justru membuat semakin kebingungan Ki Punjul dan kawannya.

“Apa yang kalian tertawakan?”.

“Tentu saja aku tertawa mendengar pertanyaanmu, karena aku baru menyadari bahwa kau belum pernah melihat apalagi mengenal Nyi Rara Wulan, sehingga kau dapat berkata demikian”.

“Aku memang belum pernah melihat apalagi mengenalnya, aku dan kawanku ini baru sebatas mendengar ceritanya saja darimu atau dari Ki Purbarumeksa suami istri”.

“Jika demikian, kalian sebaiknya kembali saja bersamaku. Sebab pekerjaanmu akan sia-sia saja jika tetap pergi kesana, dan kau tidak akan dapat menemukan orang yang kalian cari tersebut di Tanah Perdikan Menoreh”.

“Apakah Nyi Rara Wulan sedang tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh?”. bertanya Ki Punjul semakin kebingungan.

“Sudahlah adi, sebaiknya kita segera kembali agar tidak membuat Ki Purbarumeksa semakin gelisah”.

Meskipun dengan hati yang kurang mapan dan wajah kebingungan, akhirnya Ki Punjul dan seorang kawannya mengikuti saja ucapan kawannya yang sudah lama mengabdi pada keluarga Ki Purbarumeksa tersebut.

Setelah rombongan Ki Warta melintas, maka keduanya segera menarik tali kekang kudanya, lalu mengekor di belakangnya. Setelah itu hampir tidak ada lagi yang membuka suara.

Sementara Ki Untara yang berada dalam rombongan barisan paling depan telah tiba di depan regol rumah Ki Purbarumeksa yang dijaga oleh dua orang.

Mereka pun segera turun dari kuda, kemudian mendekati petugas yang berjaga di depan regol dengan tidak mengurangi segala subhasita yang berlaku.

“Maaf Ki Sanak, apakah Ki Purbarumeksa ada?”.

Petugas yang masih merasa asing dengan orang yang baru saja datang tersebut tidak segera menjawab, namun mereka malah justru balik bertanya.

“Maaf Ki Sanak, dengan siapakah aku berhadapan?”.

“Tolong sampaikan kepada Ki Purbarumeksa bahwa aku Untara dari Jati Anom, semoga saja dia masih ingat kepadaku”.

“Baik Ki Sanak”. sahut salah satu petugas tersebut.

Meskipun dengan perasaan sedikit ragu, namun salah satu petugas itu menyampaikannya pula kepada tuan rumah yang kebetulan sedang berada di dalam.

Tidak lama kemudian, muncullah sepasang suami istri yang sudah lewat paruh baya datang tergopoh-gopoh untuk menyambut tamu-tamu yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

“Maafkan aku yang sangat deksura dalam menyambut tamu, Ki Untara. Dan maafkan pula penjaga yang bertugas karena tidak menyadari sedang berhadapan dengan siapa”.

“Ah… tidak apa-apa Ki Purbarumeksa, lagipula aku bukanlah priyagung yang harus mendapatkan sambutan yang paling baik”. sahut Ki Untara sembari tersenyum.

“Kau jangan terlalu merendah, dulu di seluruh tlatah Mataram ini siapakah yang tidak mengenal Ki Tumenggung Untara? salah satu senopati terbaik Mataram”.

“Ki Purbarumeksa terlalu berlebihan, lagipula aku sudah cukup lama mengundurkan diri dari hiruk-pikuknya dunia keprajuritan sehingga sekarang ini kemungkinan kecil sekali bahwa masih ada yang mengingat namaku lagi”.

“Aku tidak merasa berlebihan dengan apa yang aku katakan, hanya Ki Untara lah yang terlalu merendah. Tapi kedatangan Ki Untara yang tiba-tiba ini, benar-benar telah mengejutkanku dan seisi rumah ini”. ucap Ki Purbarumeksa yang masih merasa heran.

Tapi sebelum Ki Untara menjawab, Nyi Purbarumeksa dengan cepat mendahului.

“Maafkan kami Ki Untara dan Ki Sanak semua, bukankah tidak pantas jika kita tetap berbicara panjang lebar disini dalam keadaan berdiri? dan alangkah baiknya pembicaraannya dilanjutkan di pendapa saja sembari Ki Sanak semua dapat melepas dahaga setelah perjalanan jauh dari Jati Anom”.

“Maafkan aku Ki Untara, karena saking gembiranya menyambut kedatangan kalian, aku hingga lupa mempersilahkan kalian semua untuk masuk”. sahut Ki Purbarumeksa yang segera menyadari kesalahannya tersebut.

Kemudian mereka pun segera menaiki pendapa setelah menambatkan kuda di tempat yang disediakan, sementara Nyi Purbarumeksa segera pergi ke dapur untuk memerintahkan pembantunya menyiapkan segala hidangan.

“Hatiku benar-benar berdebar untuk mendengarkan keterangan, atas kedatangan Ki Untara dan rombongan datang kemari. Tapi semoga saja berita yang dibawa adalah sebuah berita yang baik”.

“Maafkan aku Ki Purbarumeksa, sebelum aku menyampaikan keperluanku alangkah lebih baiknya jika aku memperkenalkan lebih dahulu orang-orang yang datang bersamaku”.

“Justru aku yang seharusnya minta maaf, karena saking gugupnya aku menyambut kedatangan kalian sehingga lupa saling memperkenalkan diri”. setelah memperbaiki letak duduknya, “Ki Sanak semua, aku adalah Purbarumeksa, ayah dari Rara Wulan. Dan aku persilahkan kalian memperkenalkan diri satu persatu”.

“Terima kasih Ki Purbarumeksa, aku adalah Wikan dari Tanah Perdikan Matesih”.

“Ki Wikan dari Tanah Perdikan Matesih? bukankah tempat itu berada di sebelah utara dari Tanah Perdikan Menoreh? ”. sahut Ki Purbarumeksa penuh tanda tanya.

“Benar Ki Purbarumeksa”.

“Ki Gede rupanya senang membuat orang penuh tanda tanya”. sahut Ki Untara sembari tersenyum.

Tapi pembicaraan itu terputus ketika terdengar derap kaki kuda berhenti di depan regol, dan tak lama kemudian datanglah seorang petugas melapor.

“He… Arya Nakula kau bilang?”. berkata Ki Purbarumeksa sangat terkejut dengan apa yang didengarnya.

“Benar Ki, tapi dalam rombongan itu semuanya hanya terdapat laki-laki tanpa ada seorang perempuan pun”’.

Dengan wajah penuh keheranan, tanpa sadar Ki Purbarumeksa memandang ke arah Ki Untara yang duduk tidak jauh dari hadapannya, namun ayah Umbara yang tanggap akan maksudnya tidak berkata apa-apa selain hanya tersenyum.

Ki Purbarumeksa yang sudah tidak sabar ingin bertemu cucunya itu memerintahkan kepada anak buahnya agar rombongan tersebut segera dipersilahkan masuk.

“Kau datang bersama siapa ngger? mana Ayah dan Ibumu? apakah mereka tidak dapat datang kemari bersamamu?”.

Karena saking tidak sabarnya menunggu keterangan dari Arya Nakula, pertanyaan yang bertubi-tubi tak mampu dibendung oleh Ki Purbarumeksa  ketika melihat cucunya dan rombongan telah memasuki regol sembari menuntun kudanya.

“Kakang sabarlah sedikit, berilah waktu pada cucumu itu untuk minum dulu sebelum menjawab segala pertanyaanmu”. sahut Nyi Purbarumeksa yang datang dari belakang setelah menghidangkan minuman hangat bagi para tamunya.

Kakek Arya Nakula tidak dapat berbuat lain selain mengikuti ucapan istrinya tersebut, kemudian memberikan waktu cucunya dan rombongan yang baru saja datang tersebut untuk beristirahat.

“Ternyata Ki Untara senang berteka-teki pula, sehingga membuat Ki Purbarumeksa semakin kebingungan”. celetuk Ki Gede Matesih.

“Sebenarnya apa yang sedang terjadi? apakah kalian benar-benar ingin melihat jantungku segera meledak karena tidak mampu berdebar lebih kencang lagi?”. berkata Ki Purbarumeksa ketika semuanya sudah duduk di pendapa.

“Maafkan aku Ki Purbarumeksa, bukan maksudku untuk berbuat demikian. Namun aku sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi”.

Ki Purbarumeksa suami istri menjadi semakin kebingungan mendengar jawaban tersebut, namun memang tidak lama kemudian kembali terdengar derap kaki kuda yang sepertinya sedang menuju tempat itu.

“Sebentar lagi Ki Purbarumeksa akan mengetahuinya”.

Benar saja, sejenak kemudian suara derap kaki kuda itu telah berhenti di depan regol, lalu muncullah anak perempuan kesayangan mereka yang sudah lama tidak bertemu. Dengan langkah tergopoh-gopoh mereka pun segera menyambutnya.

“Apa maksud dari semua ini nduk? kenapa tiba-tiba banyak sekali orang yang datang kemari? bukankah tidak terjadi sesuatu kepadamu selama ini dan di sepanjang perjalananmu? mana suamimu? kenapa dia tidak ikut bersamamu?”.

“Kau memang aneh Nyi, tadi aku kau larang berbuat demikian kepada cucumu. Kau bilang aku harus sabar, tapi sekarang kau sendiri lakukan itu kepada anakmu”.

“Jangan kau bandingkan antara cucumu dan anakmu Ki, Karena anakmu tentu sudah terbiasa dengan perjalanan jauh”.

“Kau dapat berbuat demikian jika anakmu itu datang sendirian, tapi bukankah anakmu itu tidak datang sendiri. Berilah waktu kepada mereka untuk sedikit melepas dahaga dulu”.

“Tentu mereka dapat mengerti bahwa aku sudah sangat merindukan anakku ini Ki, lagipula mereka adalah para perempuan perkasa yang sudah terbiasa menjalani laku prihatin”.

“Itulah yang tidak pernah berubah dari Ibumu nduk, maunya menang sendiri. Dan kita tidak akan pernah mendapatkan tempat untuk dapat menyanggahnya”.

Nyi Rara Wulan dan ketiga adik angkatnya hanya bisa tersenyum.

“Kakang Glagah Putih tidak ikut bersama kami karena sedang mengemban tugas keprajuritan dari Mataram untuk ikut melawat ke bang wetan”. sahut Nyi Rara Wulan sembari menuntun kudanya untuk ditambatkan.

“Oh… Begitu rupanya”.

“Sejak tadi pagi aku sudah sangat gelisah, aku khawatir jika Ki Warta dan Ki Parta tidak berhasil menjalankan tugasnya, sehingga baru saja aku telah menyuruh Ayahmu untuk mengutus orang lain untuk menyusulnya”.

“Menyusul? apakah dua orang berkuda yang sempat berpapasan dengan kami itu Ibu?”.

“Kau benar, kau melihatnya?”.

“Ya.. aku sempat melihatnya, tapi karena aku merasa tidak mengenal mereka sama sekali, maka aku tidak berkata apa-apa”.

“Adalah wajar jika kau tidak mengenalnya sama sekali, karena mereka belum lama bekerja di rumah ini. Kedatangan mereka adalah menggantikan orang sebelumnya yang meminta izin karena ada keperluan dalam waktu yang cukup lama”.

“Apakah dengan demikian mereka akan tetap pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?”. bertanya Nyi Purbarumeksa.

“Oh… begitu rupanya. Ibu tidak perlu khawatir, tentu mereka akan berpapasan dengan Ki Warta yang masih di belakang”.

“Syukurlah…”.

“Lalu bagaimana keadaan Kakek sekarang?”.

“Ya… begitulah keadaan kakekmu, nduk. Aku sudah berusaha memanggil Tabib yang paling baik, namun….”.

“Aku percaya bahwa Ayah dan Ibu tentu sudah berusaha untuk merawat Kakek dengan sebaik-baiknya. Aku ingin segera melihat keadaan kakek”.

“Mereka ini siapa nduk? sepertinya aku baru melihatnya”.

“Maafkan aku, Ayah dan Ibu. Aku sampai lupa memperkenalkan mereka kepada kalian, mereka adalah adik angkatku yang dulu pernah aku ceritakan”. sahut Nyi Rara Wulan yang segera menyadari kesalahannya.

Kemudian mereka pun saling memperkenalkan diri, lalu saling menanyakan keselamatan masing-masing pula, yang memang sudah menjadi kebiasaan.

Bersamaan dengan itu, rombongan terakhir pun tiba pula. Kemudian mereka mulai memasuki regol sembari menuntun kuda mereka masing-masing.

“Sebenarnya apa yang telah terjadi nduk? sehingga tiba-tiba rumah ini kedatangan banyak tamu?”.

“Mungkin sebuah kebetulan bahwa pada saat Ki Warta datang, mereka semua sedang berkumpul di Tanah Perdikan Menoreh, Ayah. Sehingga ketika mereka mendengar kabar tentang keadaan Kakek, maka mereka ingin ikut menjenguknya pula”.

“Pantas saja dalam beberapa hari terakhir, burung prenjak tidak henti-hentinya berkicau di sekitaran rumah ini. Ternyata menjadi pertanda bahwa rumah ini akan kedatangan banyak tamu”.

“Masih ada lagi yang menyusul di belakang”. sahut Nyi Rara Wulan sembari tersenyum.

“He… masih ada lagi? apakah sebanyak ini pula nduk?”. sahut Nyi Purbarumeksa terkejut.

“Tidak Ibu.. yang bakal menyusul hanyalah kakang Agung Sedayu, mbokayu Sekar Mirah, dan mbokayu Pandan Wangi”.

“Jantungku masih berdebar-debar dengan kejadian ini, tapi ternyata masih ada lagi yang bakal menyusul”.

“Tapi kali ini Ayah sedang tidak bermimpi”.

“Justru karena itu, jadi aku masih merasa masih belum percaya akan kedatangan tamu sebanyak ini”.

“Aku akan melihat keadaan Kakek dulu, dan sebaiknya Ayah mengawani tamu-tamu kita itu di pendapa. Jangan sampai kita menjadi tuan rumah yang deksura”.

“Baiklah, aku akan segera mengawani mereka”.

“Biarlah Ratri, Padmini, Setiti, dan Baruni ikut bersamaku”. berkata Nyi Rara Wulan yang kemudian memberikan isyarat kepada ketiganya agar mengikutinya ke ruang dalam.

Kemudian para perempuan langsung masuk ke ruang dalam, tempat Ki Lurah Branjangan dibaringkan. Sementara para laki-laki melanjutkan pembicaraan mereka.

“Maafkan aku Ki Sanak semua, bahwa pembicaraan kita harus terputus”. berkata Ki Purbarumeksa ketika telah duduk diantara para tamunya yang baru saja datang.

“Tidak apa-apa Ki Purbarumeksa, kami semua dapat mengerti”.

“Tadi aku masih belum mengerti maksud dari Ki Untara, siapakah sebenarnya Ki Wikan ini?”.

“Kita pasti akan merasa asing dengan nama Ki Wikan, bahkan hampir tidak akan mengenalnya. Tapi pasti kita tidak akan merasa asing dengan nama gelarnya, yaitu Ki Gede Matesih”.

“Ah… Ki Gede Matesih rupanya. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kedatangan Ki Gede Matesih, adalah sebuah kehormatan bagi kami sekeluarga telah kedatangan tamu besar”.

“Aku mengucapkan terima kasih pula atas sambutan dari Ki Purbarumeksa bekas seorang senopati besar Mataram”.

“Ki Purbarumeksa, selain tiga adik angkat, salah satu perempuan yang datang bersama Rara Wulan itu adalah putri Ki Gede Matesih, bernama Ratri”.

“Lalu siapakah Ki Sanak yang duduk di sebelah kiri Ki Untara?”.

“Aku adalah Agahan, Ki Purbarumeksa. Salah satu cantrik dari Padepokan Orang Bercambuk”.

Orang yang mendengar itu hanya dapat tersenyum, kecuali tuan rumah yang memang belum tahu. Tapi sebagai seorang yang memiliki panggraita yang sangat tajam segera dapat menangkap sebuah kejanggalan yang sedang terjadi.

“Sebentar… sepertinya aku tidak asing dengan nama Ki Sanak, tapi sepertinya aku sudah sering dihinggapi penyakit pikun”.

Ada yang tersenyum bahkan tertawa pendek menanggapi ucapan kakek Arya Nakula tersebut, kecuali yang bersangkutan saja yang wajahnya sempat memerah.

“Tapi kali ini sepertinya Ki Purbarumeksa tidak akan mendapatkan jawaban yang dimaksud, karena tidak akan mungkin bahwa Ki Agahan mau menyatakan diri sebagai pemimpin Padepokan Orang Bercambuk yang baru”.

“Oh… ternyata ini orangnya. Sudah beberapa lama aku memang mendengar bahwa sejak Ki Widura dipanggil Yang Maha Agung, padepokan itu telah mendapat pemimpin baru yang diangkat dari salah satu cantrik tertua karena Glagah Putih dan Ki Agung Sedayu masih terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, aku merasa beruntung justru dapat langsung bertemu dengan orangnya”.

“Ki Purbarumeksa benar, karena dari murid-murid utama Kyai Gringsing yang tersisa, yaitu Agung Sedayu dan Glagah Putih masih disibukkan dengan tugas-tugasnya sehingga mau tidak mau Padepokan Orang Bercambuk harus mencari orang lain, dan akhirnya pilihan itu jatuh pada Ki Agahan”.

“Bukankah belum lama telah terjadi ontran-ontran di Padepokan Orang Bercambuk? jika aku tidak salah dengar, berawal dengan terbunuhnya Ki Panji Surajaya oleh Ki Agahan, lalu berlanjut dengan datangnya kraman dari gurunya, yaitu Ki Waja Kencana? tapi mungkin apa yang aku dengar masih kurang lengkap dengan apa yang sebenarnya telah terjadi”.

“Demikianlah Ki Purbarumeksa”. sahut Ki Untara yang kemudian menceritakan kejadian itu lebih lengkap, meskipun hanya secara garis besarnya saja.

“He… apakah aku tidak salah dengar?”.

“Demikianlah Ki Purbarumeksa”.

Tanpa sadar kakek Arya Nakula pun segera memandangi anak Ki Agung Sedayu yang menundukkan wajahnya ketika menyadari namanya disebut.

“Benar-benar anak orang linuwih”. desis mertua Ki Lurah Glagah Putih tanpa sadarnya.

“Benar Ki, seperti buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”.

Tapi berbeda sekali dengan sikap yang ditunjukkan oleh Bayu Swandana ketika mendengarnya, meskipun dirinya tidak berkata apa-apa, namun terlihat sebuah sikap yang memancarkan bahwa sepertinya kurang senang.

“Hanya sebuah kebetulan saja kakang Bagus Sadewa dapat berbuat demikian, jadi tak perlu disanjung secara berlebihan. Orang lain pun aku rasa dapat melakukannya pula apa yang telah dilakukannya”. katanya dalam hati.

Tapi sepertinya orang-orang yang berada di tempat itu tidak begitu memperhatikan sikap cucu laki-laki Swargi Ki Gede Menoreh yang sembari menikmati beberapa potong makanan yang tersedia, seperti pondoh jagung, kerupuk gendar, tape ketan, dan masih beberapa yang lain lagi.

“Apalagi sekarang padepokan itu seperti akan memasuki sebuah babak baru, dengan hadirnya Bagus Sadewa dan Bayu Swandana sebagai cantrik baru di Padepokan Orang Bercambuk, setelah kedua anakku lebih dulu”.

“Sejauh pengetahuanku, padepokan itu bukanlah sebuah padepokan yang besar, namun bobotnya hampir tidak pernah berkurang sejak kepergian Swargi Kyai Gringsing. Dan disadari ataupun tidak, padepokan itu secara tidak langsung telah menarik minat bibit-bibit penerus yang sangat mumpuni. Dan aku percaya pula bahwa padepokan itu nantinya akan lebih berkembang di bawah pimpinan Ki Agahan”.

“Semoga saja Ki Purbarumeksa, aku hanya dapat berusaha dengan sebaik-baiknya sejauh kemampuanku”.

“Maaf Ki Purbarumeksa, bagaimana dengan keadaan Ki Lurah Branjangan sekarang? apakah keadaannya sudah lebih baik?”.

Kakek Arya Nakula sejenak menjadi terdiam mendengar pertanyaan tersebut, meskipun dengan berat hati, tapi biar bagaimanapun dirinya harus menyampaikan keadaan mertuanya itu dengan apa adanya.

“Kami sudah berusaha Ki Untara, tapi…”.

Namun pembicaraan tersebut harus terputus ketika datang Nyi Purbarumeksa dan Nyi Rara Wulan mempersilahkan kepada semua tamunya untuk makan di ruang dalam.

“Aku minta maaf kepada Ki Sanak semua jika kami terlambat untuk mempersilahkan makan, karena semuanya datang dengan begitu tiba-tiba”.

“Kamilah yang minta maaf Nyi, karena dengan kedatangan kami telah merepotkan seisi rumah ini”. sahut Ki Untara yang mewakili semua tamu yang datang.

“Ah… tidak Ki Untara, kami tidak pernah merasa direpotkan. Dan kami justru senang sekali kalian semua berkenan datang ke gubuk kami ini. Marilah Ki Sanak semua, kalian tidak perlu sungkan”. ucap Nyi Purbarumeksa dengan penuh keramahan.

***

Sementara itu keadaan putra satu-satunya Ki Argajaya yang ikut melawat ke Wirasaba sebagai pengganti pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, tidak kalah gawatnya dengan Ki Lurah Branjangan, yang membedakan hanyalah penyebabnya.

Setelah berperang tanding melawan pemimpin Padepokan Maruta Sungsang, ternyata telah membawa akibat yang sangat buruk bagi keadaan Ki Prastawa meskipun telah mendapatkan perawatan yang paling baik dari para Tabib Keprajuritan Mataram.

Namun karena daya tahan tubuhnya yang luar biasa, Ki Prastawa masih mampu bertahan atas lukanya yang sangat parah, dan dengan bertambahnya waktu justru keadaannya bisa dibilang semakin mengkhawatirkan.

Tapi keadaan tersebut tidak membuat para Tabib yang merawatnya menjadi berputus asa, mereka tetap berusaha sejauh kemampuan mereka sembari tidak henti-hentinya memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar usaha yang mereka lakukan mendapatkan hasil yang paling baik.

Dan tidak lupa  Tabib yang merawat seluruh pasukan Mataram selalu memberikan laporan kepada prajurit yang bertugas, yang kemudian laporan tersebut diteruskan kepada senopati tertinggi Mataram, yaitu Panembahan Hanyakrakusuma.

Dengan demikian pepunden seluruh kawula Mataram itu dapat segera mengambil sikap dengan benar sehubungan dengan perkembangan keadaan yang terjadi atas setiap prajurit dalam pasukannya, setelah mengetahui keadaan seluruh pasukannya dengan benar. Sebab laporan yang salah, maka akan dapat menyesatkan.

Dan hal itu tidak hanya akan merugikan salah satu orang saja, namun akan menjadi sebuah kerugian bagi seluruh pasukan. Sebab masalah sekecil apapun yang terjadi pada salah satu kelompok, adalah masalah pula bagi semua.

Sementara Panembahan Hanyakrakusuma dan ketiga Pangeran Mataram pun tidak dapat menyembunyikan rasa keprihatinan yang sangat mendalam atas apa yang terjadi, setelah mendapatkan laporan tentang perkembangan terakhir. Salah satunya adalah tentang keadaan Ki Prastawa yang semakin sulit.

Dan berhubung pepunden Mataram itu merasa tidak ada pekerjaan yang mendesak untuk dikerjakan, maka dirinya memerlukan datang untuk menjenguk para prajuritnya beserta para pengawal yang menjadi bagian pasukannya.

Ki Tumenggung Suratani sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa keadaannya semakin membaik,  sementara masih banyak pula yang masih terluka parah, termasuk Ki Prastawa.

“Bagaimana keadaan Ki Prastawa, Kyai?”. bertanya Kanjeng Sinuhun Mataram setelah tiba di tempat perawatan.

“Ampun Kanjeng Sinuhun, kami sudah berusaha sejauh yang dapat kami upayakan. Namun keadaannya masih sulit”. jawab Tabib yang merawat.

“Apakah lukanya benar-benar parah?”.

“Demikianlah Kanjeng Sinuhun”.

Seketika Panembahan Hanyakrakusuma dan ketiga pangeran yang menyertainya menjadi terdiam dalam keprihatinan, namun itu hanya berlangsung sesaat.

“Ampun Kanjeng Sinuhun, bukan maksud hamba untuk deksura dan mendahului suratan dari Yang Maha Agung. Namun jika hamba mencocokkan tanda-tanda dari Ki Prastawa sepertinya dia akan sulit untuk terus bertahan, tapi semoga saja dugaan hamba ini salah”.

“Memangnya apa dasar Kyai dapat berkata demikian?”.

“Ampun Kanjeng, sekali lagi hamba mohon ampun jika nanti hamba salah bicara”.

“Katakanlah Kyai”.

“Hamba telah mendengar kesaksian dari dua orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa sebelum terjadi perang tanding, Ki Prastawa lebih banyak melamun bahkan sejak keberangkatan, selain itu dia lebih sering membicarakan tanah kelahirannya. Selain itu…”.

“Selain itu apa Kyai? lanjutkan saja”.

“Katanya Ki Prastawa sempat bercerita bahwa dia telah bermimpi telah didatangi Ki Gede Menoreh dua kali, yang pada intinya dari mimpi itu hampir sama bahwa dirinya diperintahkan untuk segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh”.

Bagaikan disengat ribuan lebah, Panembahan Hanyakrakusuma beserta ketiga pangeran yang menyertainya, sehingga keempat Priyagung Mataram itu hanya dapat terdiam.

“Ampun Kanjeng, sekali lagi hamba mohon ampun jika telah salah bicara”. berkata Tabib yang merasa bersalah.

“Tidak Kyai, kau tidak bersalah. Maaf jika telah membuatmu salah paham menanggapi kediamanku, tapi ada sesuatu yang belum sempat aku sampaikan. Sebenarnya aku memang sengaja menahannya agar tidak mengganggu perhatian kita terhadap perang yang kita hadapi”.

“Hamba tahu bahwa apa yang Kanjeng Panembahan lakukan pasti untuk kebaikan kita semua”.

“Tapi sepertinya sekarang aku tidak perlu lagi menahannya, karena perang yang kita hadapi telah usai, bukankah demikian paman?”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma meminta pertimbangan kepada ketiga pamannya.

“Aku rasa demikian Angger Panembahan, lagipula tidak ada keuntungan yang akan kita dapatkan jika kita tetap menahannya”. sahut Pangeran Pringgalaya.

“Kenapa aku dan Paman Pangeran bertiga menjadi terkejut setelah mendengar kau menyebutkan nama Ki Gede Menoreh? ketahuilah Kyai, bahwa pada saat terakhir ketika aku akan berangkat menyusul pasukan Mataram. Aku telah mendapatkan warta lelayu, bahwa Ki Gede Menoreh telah wafat”.

Kali ini Tabib itulah yang menjadi sangat terkejut bukan kepalang mendengar keterangan dari pepundennya, seakan tenggorokannya tiba-tiba menjadi tercekat sehingga tak dapat bicara sepatah kata apapun.

Tanpa sadar Tabib tersebut lalu memandangi tubuh Ki Prastawa yang masih tergolek tak berdaya dalam pembaringannya. Sebelum mendengar keterangan tersebut, pandangannya adalah pandangan pengharapan, namun kini telah berubah menjadi sebuah pandangan yang sayu.

“Kemarin aku memang sengaja menahan berita ini agar tidak mengganggu persiapan kita dalam menghadapi Wirasaba, terutama bagi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sebab sedikit banyak tentu akan mengguncang ketahanan jiwani mereka, dan jika itu terjadi maka justru akan sangat membahayakan, dan itu yang tidak aku inginkan.”.

“Hamba mengerti Kanjeng”.

“Ki Gede Menoreh adalah salah satu contoh pemimpin yang sangat dihormati dan disayangi oleh seluruh kawulanya, maka kepergiannya tentu akan meninggalkan keprihatinan yang sangat mendalam, tidak hanya bagi seluruh kawulanya tapi bagi hampir semua orang yang pernah mengenalnya, termasuk aku sendiri. Bahkan jika aku tidak terkendala dengan perang ini, aku akan menyempatkan diri untuk menyampaikan rasa belasungkawa dengan hadir di Tanah Perdikan Menoreh”.

Sejenak suasana menjadi hening, sementara keempat Priyagung Mataram itu mengedarkan pandangan matanya ke arah sekeliling sembari memeriksa siapa saja yang sedang mendapatkan perawatan baik yang luka ringan, luka sedang, bahkan luka parah.

“Lalu bagaimana dengan keadaan anak dari Ki Untara, Kyai?”. kali ini Pangeran Pringgalaya lah yang bertanya.

“Dengan segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, Umbara telah mampu melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya Kanjeng Pangeran”.

“Syukurlah jika demikian, tadi aku lihat Ki Tumenggung Suratani pun sudah mulai berangsur membaik”.

“Demikianlah Kanjeng Pangeran”.

Namun keempat Priyagung Mataram itu tidak berlama-lama lagi berada di tempat itu, sehingga tidak lama kemudian mereka pun segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke perkemahan khusus bagi mereka.

“Salah satu orang yang sangat berjasa bagi tegaknya panji-panji Mataram sekarang dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan, Paman Pangeran”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram, setelah mereka duduk di tempat khusus mereka.

“Itulah salah satu akibat dari perang yang mau tidak mau harus kita terima meskipun sebenarnya kita semua tidak pernah menginginkannya, ngger”.

“Kakangmas Pangeran Puger benar, meskipun ketika berangkat perang kita semua telah menyatakan diri untuk siap rela berkorban segalanya, namun ketika perang telah usai dan kita menghadapi kenyataan ini, rasa-rasanya betapa beratnya semua ini”.

“Aku pun dapat merasakan segala kesedihan dan keprihatinan ini, paman. Tapi biar bagaimanapun kita harus dapat menepiskan segala perasaan itu untuk sementara waktu”.

“Aku  sependapat dengan angger Panembahan, sebab jika kita terlalu terlarut dengan segala perasaan itu justru dapat merugikan diri kita sendiri. Meskipun perang telah usai, namun tetap saja kita masih dalam suasana perang, dan apapun masih dapat terjadi”.

“Maka dari itu, meskipun kita dalam suasana yang bagaimanapun sedihnya, karena telah kehilangan banyak kawan seperjuangan, namun jangan sampai meninggalkan kewaspadaan dan pengamatan diri pada perkembangan keadaan yang terjadi, dan sangat mungkin sekali para telik sandi dari pihak yang tidak bersahabat dengan Mataram berkeliaran di sekitar kita”.

“Aku jadi teringat akan kejadian pada saat perang tanding Ki Lurah Glagah Putih yang hingga kini masih mengganggu pikiranku, apakah ada yang dapat menduga siapakah yang telah membawa keduanya? dan menurut penalaranku mereka adalah dua pihak yang berseberangan”.

“Jika salah satunya adalah orang yang berpihak kepada Mataram, aku rasa dugaan kita hampir sama. Namun untuk orang yang berasal dari pihak Wirasaba aku belum memiliki gambaran sama sekali, aku minta petunjuk Paman Pangeran bertiga”.

“Jika melihat kemampuan orang tersebut, menurut dugaanku kemampuannya paling tidak sama atau bahkan lebih tinggi dari Ki Patih Rangga Permana itu sendiri, jadi ada kemungkinan bahwa orang itu adalah gurunya. Namun menurut perhitunganku, gurunya itu sudah terlalu sepuh jika dia masih hidup”.

“Serba sedikit aku juga pernah mendengarnya pula Kakangmas Pangeran Puger, gurunya memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, tapi dia sudah lama sekali lebih senang tinggal  di padepokannya yang sepi itu, dan memang sudah sangat sepuh. Jadi seandainya dia masih hidup pun kemungkinannya sangat kecil sekali jika orang itu yang melakukannya”.

“Pada saat ini memang sangat mungkin sekali namanya jarang sekali dikenal orang, karena selain umurnya dirinya juga sudah terlalu lama mengasingkan diri dari kerasnya dunia kanuragan. Orang yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Wirasaba Sepuh itu sejauh pengetahuanku sudah tiada lebih dari satu dasawarsa yang lampau”.

“Mungkin Ki Ageng Wirasaba Sepuh memiliki anak atau murid?”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma.

“Sejauh pengetahuanku, setelah Ki Ageng Wirasaba Sepuh tiada kedudukannya digantikan oleh adik seperguruannya yang kemudian lebih senang menggunakan nama Ki Ageng Wirasaba. Namun orang itu juga sudah lama sekali namanya hampir tidak pernah terdengar”.

“Apakah masih ada nama lain selain satu nama itu yang mungkin perlu mendapatkan perhatian kita?”.

“Secara penalaran wajar kemungkinan adalah sisa-sisa orang Wirasaba yang berhasil melarikan diri atau bahkan dari orang-orang Kadipaten Surabaya yang tidak dapat menerima kekalahan Wirasaba begitu saja dari Mataram”.

“Memang sangat mungkin sekali, di antaranya adalah orang kepercayaan yang berhasil melarikan keluarga istana Wirasaba, yaitu Ki Tumenggung Gagak Saba yang kita sama-sama belum tahu sejauh mana kemampuannya. Jika dari Surabaya, kebanyakan dari orang-orang Padepokan Jalatunda”.

“Sebaiknya kita mengingatkan kepada para prajurit sandi untuk lebih berhati-hati dalam setiap langkah untuk mencari sumber keterangan, selain itu mereka juga harus dapat bergerak secepat mungkin untuk melaporkan apa yang terjadi, agar kita dapat lebih cepat pula dalam mengambil sikap. Sebab dalam keadaan yang gawat, waktu yang sekejap mata pun akan sangat berarti”.

“Angger Panembahan apakah belum mendapatkan laporan tentang keberadaan Ki Lurah Glagah Putih?”. berkata Pangeran Pringgalaya mengalihkan pembicaraan.

“Berdasarkan laporan para prajurit sandi yang berada di hampir seluruh bang wetan ini masih belum Paman”.

Sejenak suasana menjadi hening sesaat, sebab kepala mereka sibuk dengan penalaran masing-masing, tentang apa saja yang berkaitan dengan apa yang sedang mereka alami.

***

Sementara itu Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya yang berniat menyusul rombongan Ki Untara yang sudah lebih dulu ke Mataram baru saja tiba di tepian Kali Praga di sisi penyeberangan sebelah selatan, ketika matahari tepat berada di puncaknya.

Hari itu sepertinya memang tidak begitu banyak orang yang ingin menyeberang, sebab bukan hari pasaran. Sehingga tidak banyak orang yang berkepentingan dengan Tukang Satang sebagai juru mudi rakit.

Ketika ketiga orang tersebut tiba, rakit yang ada sedang berada di sisi seberang, sehingga mereka pun harus sedikit bersabar untuk menunggu beberapa saat.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mereka pun dapat menyeberang dengan bantuan Tukang Satang yang terlihat sudah sangat berumur dengan tubuhnya yang terlihat kurus.

“Sepertinya hari ini adalah keberuntunganku, karena jika bukan hari pasaran maka penyeberangan akan sepi”. desis Tukang Satang tersebut sembari tersenyum.

“Beruntung sekali kau Ki Sanak, apakah hari ini kau telah menyeberangkan rombongan pengantin dan pengiringnya yang banyak?”. sahut Ki Agung Sedayu menanggapi.

“Ah… tidak Ki Sanak, bukan seperti itu. Tapi yang aku seberangkan tadi pagi adalah rombongan berkuda yang katanya akan ke Mataram karena ingin menjenguk saudaranya yang sedang sakit, bahkan aku diberinya upah lebih dari yang seharusnya”.

“Mungkin itulah yang dinamakan keberuntungan yang tidak pernah terduga, Ki Sanak”.

“Padahal sejak kemarin aku sempat merasa kebingungan harus mendapatkan uang dari mana untuk hari lusa ke tempat adikku yang akan menikahkan anaknya”.

“Berarti Yang Maha Welas Asih telah mendengarkan panuwun dari Ki Sanak yang sedang kesusahan keuangan”.

Tanpa terasa rakit yang mereka tumpangi telah tiba di tempat tujuan, sehingga pembicaraan itupun harus terputus. Setelah membayar upah penyeberangan mereka pun segera menuruni rakit sembari menuntun kuda.

“Ki Sanak, apakah kau tidak salah membayar upahnya?”. bertanya Tukang Satang itu heran.

“Memangnya salahku apa Ki Sanak?”.

“Sepertinya kau memberikan uang lebih dari yang seharusnya aku terima”.

“Semoga saja dapat kau jadikan tambahan untuk keperluanmu”. sahut Ki Agung Sedayu sembari tersenyum.

“Terima kasih Ki Sanak, terima kasih. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi perjalanan kalian sehingga tidak mendapatkan rintangan sampai tujuan”. sahut Tukang Satang yang sudah berumur itu sembari sembari sedikit membungkukkan badannya.

Kemudian ketiganya segera menunggangi kuda untuk melanjutkan perjalanan di bawah sinar matahari yang semakin terik dengan menaiki tanah tepian Kali Praga yang cukup menanjak namun landai.

Sesekali mereka masih sempat berpapasan dengan orang-orang melintas dengan keperluannya masing-masing, baik yang seorang demi seorang maupun yang berkelompok.

Tiba-tiba Ki Agung Sedayu yang berkuda paling depan merasa hatinya kurang mapan, tapi entah apa penyebabnya. Sementara kedua istrinya sepertinya tidak merasa seperti yang dirasakannya. Tapi entah mengapa perasaan itu semakin lama semakin kuat.

Dalam kebimbangan yang semakin mengusik hatinya, ayah Bagus Sadewa itu kemudian menyempatkan diri untuk memusatkan nalar budinya dari atas punggung kudanya.

Ternyata apa yang telah dilakukannya tersebut tidak luput dari perhatian kedua istrinya yang sama-sama memiliki panggrahita yang sangat tajam sebagai perempuan yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.

“Ada apa kakang?”. bertanya Nyi Sekar Mirah, setelah melihat suaminya selesai memusatkan nalar budinya.

“Entah kenapa hatiku tiba-tiba menjadi kurang mapan”.

“Apakah kakang mendapatkan sebuah isyarat yang kurang baik?”. bertanya Nyi Pandan Wangi yang sudah sangat memahami watak suaminya tersebut.

“Entahlah…”.

“Semoga saja perjalanan kita tidak mendapatkan gangguan, dan selamat hingga tujuan”.

“Aku belum tahu tentang apa yang telah mengusik hatiku, tapi sebaiknya kita lebih hati-hati. Semoga hanya sekedar perasaanku yang ngayawara saja”.

“Apakah kakang masih memantau Glagah Putih?”.

“Iya… dia masih belum mampu sadarkan diri”.

Sebenarnyalah Ki Agung Sedayu tiba-tiba mendapat sebuah isyarat yang tertuju pada sebuah nama, namun dia belum berani mengungkapkannya kepada siapapun karena dia sendiri belum yakin dengan isyarat yang telah diterimanya.

Maka dia masih berusaha menutupinya agar tidak menimbulkan kegelisahan kedua istrinya, terutama Nyi Pandan Wangi. Apalagi belum lama mereka melewati kenyataan yang sangat menegangkan dalam waktu yang sangat berdekatan, dan mereka seakan baru saja dapat bernafas lega.

Sehingga ayah Sekar Wangi itu tidak mau memberikan beban pikiran baru kepada mereka, apalagi dirinya belum benar-benar yakin dengan isyarat yang diterimanya. Jika nanti dia salah dalam mengurai isyarat itu bukankah akan menimbulkan masalah baru?.

“Sebaiknya aku melihatnya lebih dulu, agar mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, supaya aku tidak salah dalam mengurai sebuah isyarat terhadap kejadian yang sebenarnya”. membatin Ki Agung Sedayu di atas kuda yang melaju sedang.

Sementara beberapa puluh tombak dari mereka berkuda, ada seseorang yang telah berlari dengan kecepatan penuh agar dapat segera sampai di tempat kawan-kawannya berkumpul.

“Kakang…”. berkata orang yang baru saja datang namun harus terputus karena nafasnya masih tersengal-sengal.

“Ada apa?”.

Setelah memperbaiki aliran nafasnya, orang tersebut pun segera menjawab, “ada tiga orang berkuda yang sepertinya akan melintas jalan ini kakang, dan jika aku tidak salah lihat dua diantaranya adalah perempuan”.

“Apakah mereka membawa barang bawaan yang pantas?”.

“Aku tidak dapat melihat lebih lengkap karena jarak yang cukup jauh, kakang. Tapi bukankah kuda-kuda yang mereka bawa paling tidak dapat kita jadikan sasaran jika mereka memang tidak membawa barang bawaan yang pantas?”.

“Benar juga apa yang kau katakan, tapi apa kau yakin jika mereka hanya berjumlah tiga orang? tidak seperti rombongan tadi pagi yang ternyata terdiri dari rombongan besar yang memang sengaja dipecah?”.

“Dari tempatku tadi berdiri aku yakin bahwa tidak ada rombongan lain yang berdiri di belakangnya”.

“Jika mereka hanya bertiga dan kita lebih dari sepuluh orang, maka secara penalaran wajar sangat kecil sekali kemungkinan kita gagal. Baiklah, sebaiknya kita segera bersiap dan jangan sampai buruan kita itu lepas.”.

Sepertinya perintah itu tidak perlu diulangi lagi, sebab mereka segera melaksanakan tugas masing-masing sesuai rencana yang telah disepakati bersama sebelumnya.

Jika dilihat mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan yang demikian, sehingga tidak menjadi gugup dalam menanggapi setiap keadaan yang berkembang, sebab sebelumnya mereka harus mengurungkan niat karena buruan mereka berjumlah terlalu banyak.

Meskipun mereka bukanlah rombongan orang-orang pengecut, namun mereka tetap harus mampu berhitung dengan cermat antara hasil dan akibat yang bakal mereka tanggung.

Dalam sebuah pekerjaan kasar dan kotor  yang penuh resiko, jika tanpa membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang, maka mereka seakan hanya membunuh diri.

Sejenak kemudian mereka telah bersiap di tempat dan tugasnya masing-masing, seperti sekumpulan serigala lapar dan garang yang sedang menunggu mangsanya.

***

Sementara itu Ki Untara dan kawan-kawannya akhirnya mendapat kesempatan untuk menjenguk Ki Lurah Branjangan secara langsung di pembaringannya, tapi mereka harus menunggu giliran sebab tidak mungkin jika orang sebanyak itu bertumpah ruah di dalam satu bilik.

“Beginilah keadaan Ki Lurah Branjangan sekarang, Ki Untara. Jadi maafkan ayah mertuaku jika tidak dapat menyambutmu dengan baik”. berkata kakek Arya Nakula memberikan keterangan.

“Aku mengerti, Ki Purbarumeksa. Dan aku rasa semua dapat memakluminya”. sahut Ki Untara yang telah berdiri di sebelah pembaringan Ki Lurah Branjangan, bagian atas.

Sementara bekas pemimpin Pasukan Khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh itu terlihat seperti orang tidur setelah belum lama diberi obat oleh Tabib yang membantu merawatnya, namun suara nafasnya terdengar sangat lemah.

“Ki Lurah Branjangan, aku Untara. Hormatku untukmu, semoga Yang Maha Welas Asih segera memberikan kesembuhan bagimu agar kau dapat segera bermain dengan cucu buyutmu yang sekarang datang bersamaku”. ucap Ki Untara dengan suara perlahan di dekat telinga.

“Kami semua sangat berharap kau dapat segera sembuh, sehingga kami semua dapat mendengarkan petuah dan kelakarmu yang sangat menyenangkan itu”.

Tanpa diduga, Ki Lurah Branjangan mulai menggerakkan kepalanya sedikit ke kanan dan ke kiri secara perlahan sembari mengeluarkan suara rintihan yang perlahan pula tapi kedua matanya tetap dalam keadaan terpejam.

“Cucu buyutmu, Arya Nakula datang untuk menjengukmu, Ki Lurah”. ucap Ki Untara kembali di dekat telinga setelah melihat tubuh itu bereaksi setelah mendengarnya.

Tapi kali ini tidak terlihat lagi reaksi dari tubuh yang sudah sangat kurus dan sepuh tersebut, dan tubuh itu kembali seperti orang yang sedang tertidur pulas.

Kemudian Ki Untara mempersilahkan Nyi Rara Wulan dan Arya Nakula untuk segera mendekat, mungkin ada sesuatu yang mereka ingin sampaikan.

“Kakek… aku Wulan cucu Kakek. Aku datang bersama Arya Nakula cucu buyut Kakek datang kemari untuk menjenguk”. berkata Nyi Rara Wulan perlahan di dekat telinga sembari mengusap-usap tangan kanan Ki Lurah Branjangan.

“Semoga Yang Maha Welas Asih segera menyembuhkan segala penyakit yang Kakek rasakan”.

Nyi Rara Wulan sembari meraih tangan anaknya untuk turut serta mengusap perlahan tangan Ki Lurah Branjangan. Tanpa terasa dari wajah cantik itu mulai basah, meskipun sudah coba ditahan dengan sekuat tenaga.

Sementara Arya Nakula yang belum lama kehilangan Ki Jayaraga pun harus kembali mengalami kejadian yang cukup menyedihkan, meskipun dengan keadaan yang berbeda. Sebab kali ini kakek buyutnya yang secara darah keturunan secara langsung lah sedang mengalami keadaan yang sangat memprihatinkan.

Meskipun tidak ada kemustahilan jika Yang Maha Welas Asih masih memberikan kemurahan-Nya, namun jika dilihat secara penalaran wajar itu sangat sulit.

Bahkan berdasarkan keterangan dari Tabib yang merawatnya, keadaan Ki Lurah Branjangan memang sudah sangat lemah pada usianya yang sekarang sudah sangat sepuh.

Tapi biar bagaimanapun, kita sebagai manusia tetap diwajibkan untuk selalu berusaha dan tidak diperkenankan hanya sekedar berpangku tangan tanpa melakukan sebuah usaha atas keadaan sepahit apapun yang sedang kita alami.

Tubuh yang kini seakan hanya tulang berbalut kulit tersebut, sudah dalam waktu yang cukup lama hanya dapat terbaring lemah di atas pembaringan, bahkan dalam keadaan sudah tidak dapat lagi melayani dirinya sendiri.

Tidak terlihat lagi sisa-sisa sebagai seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sebagai seorang yang dulu pernah menjadi kepercayaan Swargi Panembahan Senopati sebagai bekas pemimpin yang membawahi Pasukan Khusus Mataram.

Hanya beberapa orang tertentu dan orang-orang terdekatnya lah yang kini masih mengingat segala kemampuan dan pengabdiannya terhadap Mataram yang kini telah menjadi sebuah daerah yang sangat maju dari segala sisi.

“Begitulah keadaan Ki Lurah Branjangan sekarang, Ki Untara”. berkata kakek Arya Nakula dengan suara lesu.

“Aku mengerti Ki Purbarumeksa, biar bagaimanapun kita sebagai manusia banyak memiliki keterbatasan. Meskipun pada saatnya kita adalah orang yang memiliki kemampuan sundul langit sekalipun, tapi pada saat yang lain, mau tidak mau dan suka tidak suka kita harus melihat kenyataan bahwa di dunia tidak ada yang kekal”.

“Aku sependapat”.

“Di dunia ini kita semua itu ibarat hanya mampir ngombe, untuk kemudian kita harus kembali ke alam kelanggengan pada saatnya nanti. Dan semua itu hanyalah menunggu giliran saja”.

Mereka semua yang mendengar tidak menanggapi ucapan Ki Untara tersebut, kecuali hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala saja sebagai pertanda sependapat.

Setelah mereka merasa waktunya cukup di dalam bilik tersebut, maka mereka segera bergegas keluar untuk memberikan kesempatan kepada orang lain agar dapat menjenguk pula, karena kebetulan memang cukup banyak orang yang datang secara bersamaan, sehingga tidak dapat masuk bilik berbarengan.

***

Sementara itu Ki Agung Sedayu yang masih dalam perjalanan, hatinya merasa semakin kurang mapan ketika kudanya melaju semakin jauh meninggalkan tepian Kali Praga.

Sementara Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang tidak memiliki kemampuan sebagaimana suaminya pun mulai merasakan hatinya kurang mapan, meskipun keduanya belum tahu yang bakal terjadi, namun sebagai orang yang memiliki panggrahita yang sangat tajam merasa sepertinya akan ada sesuatu yang kurang baik.

Dengan demikian ketiganya berusaha untuk lebih berhati-hati dan waspada, meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki bekal kawruh kanuragan, tapi mereka tidak ingin deksura sehingga kehilangan pengamatan diri dalam penalaran wajar.

Sebab mereka menyadari bahwa di atas langit masih ada langit, sehingga pegangan tersebut menjadikan mereka tidak pernah jumawa dengan apa yang telah mereka miliki dan tidak pernah merendahkan orang lain.

Namanya perjalanan hidup manusia itu pasti tidak selalu dinaungi keberuntungan, adakalanya pasti akan ada kesialan. Dan sangat mungkin pula jika kesialan tersebut berawal dari sikap kita yang deksura terhadap orang lain.

Derap kaki-kaki kuda yang terdengar ajeg, tiba-tiba dikejutkan orang sekelompok orang yang muncul dari balik gerumbul yang terdapat di samping jalan.

Kejadian tersebut sontak saja membuat kuda-kuda yang ditunggangi menjadi meringkik keras, bahkan kaki depannya hingga terangkat beberapa puluh jengkal dari tanah.

Beruntunglah bahwa Ki Agung Sedayu dan kedua istrinya sejak awal sudah mulai waspada dan berhati-hati dalam menghadapi keadaan yang berkembang begitu cepat.

Dengan demikian tidak menjadi gugup dalam menyikapi kejadian yang sangat tiba-tiba tersebut, dan dapat segera menenangkan kuda mereka yang terkejut. Sehingga kuda-kuda itu tidak menerjang orang-orang yang menghadang.

“Siapakah kalian Ki Sanak? dan apa maksud kalian menghentikan perjalanan kami secara tiba-tiba?”.

Orang-orang yang berdiri menghadang justru tertawa mendengar pertanyaan tersebut, sembari tangan kirinya berkacak pinggang dan tangan kanannya memelintir kumis lebatnya, salah satu diantaranya maju beberapa langkah.

“Kalian tidak perlu tahu siapa kami, tapi yang perlu kalian tahu adalah apa keperluan kami”.

“Baiklah, katakan keperluan kalian”.

“Jika kau ingin melanjutkan perjalanan, tinggalkanlah kudamu dan dua perempuan di belakangmu itu”.

Seketika bulu kuduk Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi meremang, bukan karena menjadi ketakutan, tapi lebih karena mereka membayangkan nasib yang sangat buruk yang bakal terjadi jika itu dialami oleh perempuan yang tidak memiliki bekal kawruh kanuragan yang mampu menghentikan kekejian itu.

“Maaf Ki Sanak, tapi aku tidak dapat menuruti kemauanmu dengan meninggalkan kedua adikku ini”.

“Apakah kau sadar dengan ucapanmu itu?”.

“Ya.. aku sadar”.

“Apakah kau menyadari pula bahwa penolakanmu itu justru akan mengantarmu kepada nasib yang paling buruk? padahal aku sudah cukup berbaik hati kepadamu dengan melepasmu begitu saja dalam keadaan baik-baik saja?”.

“Tapi aku tidak dapat meninggalkan kedua adikku begitu saja”.

“Ternyata baru kali ini aku bertemu dengan orang yang paling sombong sedunia, apakah kau pikir dengan kalian bertiga akan mampu menghentikan kami, bahkan dua di antaranya hanyalah perempuan. Jangan kau kira dengan kedua adikmu itu mengenakan pakaian khusus akan membuatku silau? kau salah Ki Sanak, lagipula setinggi apapun kemampuan perempuan, bagiku dia tetaplah seorang perempuan”.

Tanpa terasa telinga Nyi Sekar Mirah mulai memerah mendengar ucapan yang berada di hadapannya, namun pengalamannya yang luas mampu membuatnya sedikit menahan diri.

“Bukan maksud kami untuk menyombongkan diri Ki Sanak, namun kami hanya berusaha mempertahankan apa yang kami miliki, itu saja tidak lebih”.

“Tapi bagiku itu sama saja kau berani menyombongkan diri di hadapan kami semua, bukankah kau dapat berhitung? kalian dan kami berapa jumlahnya? bukankah itu sama artinya dengan kalian ingin membunuh diri”.

“Mana ada orang yang akalnya sehat ingin membunuh diri?”.

“Berarti secara tidak langsung kau mengatakan bahwa kalian termasuk orang-orang gila, karena penalaran kalian sudah tidak dapat digunakan dengan baik”. sahut pemimpin perampok itu lalu tertawa berkepanjangan yang diikuti anak buahnya.

“Terserah apa yang kalian katakan, tapi yang jelas kami tidak dapat memenuhi permintaan kalian”.

Pemimpin perampok itu terdiam sembari membelalakkan matanya lebar-lebar mendengar jawaban tersebut, sepertinya kesabarannya sudah habis dan tidak ingin menunda lagi pekerjaannya yang sudah di depan mata.

“Jika kalian memang memiliki kemampuan untuk menghentikan kami, turunlah dari kuda kalian dan marilah kita buktikan siapa yang dapat meninggalkan tempat ini dengan kepala tegak”.

Ki Agung Sedayu yang tidak ingin menunda lagi perjalanannya, segera turun dari kudanya yang berjarak beberapa tombak dari orang yang menghadangnya, lalu diikuti oleh kedua istrinya.

Dan dengan langkah yang tetap tenang mereka menambatkan kuda mereka lebih dahulu pada pohon liar yang tumbuh di samping jalan yang mereka lalui.

“Ternyata kalian memang orang-orang sombong yang pernah aku kenal, dan baru kali ini ada orang yang berani menyombongkan diri di hadapanku, bahkan dua diantaranya hanyalah perempuan”.

“Maaf Ki Sanak, kami tidak punya banyak waktu untuk melayani kalian. Jadi lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan”.

Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah memang sempat terkejut dengan sikap suaminya yang tidak seperti orang yang selama ini mereka kenal, namun kemudian mulai mengerti.

“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan… kalian benar-benar menghinaku di hadapan kawan-kawanku. Kalian akan segera tahu akibatnya”. berkata orang yang berkumis dan berjambang lebat itu yang sepertinya sebagai pemimpin rombongan.

Dengan memberi sebuah isyarat kepada kawan-kawannya, rombongan yang berjumlah sekitar tiga belas orang tersebut segera mengepung Ki Agung Sedayu dan kedua istrinya.

Rombongan itu sepertinya memang tidak ingin kehilangan buruan, sehingga mereka menutup rapat segala celah yang dapat dimanfaatkan untuk kemungkinan melarikan diri.

Maka Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya berada dalam lingkaran, dengan demikian ketiganya menjadi beradu punggung agar dapat bertahan dan saling melindungi satu sama lain, tapi selain itu adalah penyebabnya adalah arena yang sangat sempit membuat mereka harus berbuat demikian.

“Kita harus segera selesaikan kedua perempuan itu agar kita lebih mudah meringkus laki-laki ini”. teriak pemimpin rombongan kepada kawan-kawannya.

Sejenak kemudian, orang-orang yang mengepung tersebut mulai bergerak mengitari tiga orang korbannya dengan tujuan untuk menakut-nakuti agar mereka kehilangan pengamatan diri, dengan demikian maka akan mempermudah pekerjaan mereka.

Namun mereka tidak pernah mengira bahwa calon korban mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dibandingkan orang kebanyakan, dan tentu saja tidak dapat dengan mudah untuk ditaklukkan.

“Kalian berhati-hatilah, jika memungkinkan kita jangan sampai menunjukkan ciri-ciri kita. Sebab kita belum tahu siapakah mereka dan tujuan mereka yang sebenarnya”. ucap Ki Agung Sedayu setengah berbisik kepada kedua istrinya.

“Baik kakang”. sahut keduanya hampir bersamaan.

“Apa yang kau katakan Ki Sanak? apakah kau menjadi ketakutan? jika kau mau menyerah sekarang, maka aku masih mengampunimu dan aku persilahkan kau tinggalkan tempat ini sebelum terjadi nasib buruk kepadamu”.

“Dilihat dari ciri-ciri kalian, aku rasa kalian bukan berasal dari daerah sekitar sini. Jika aku tidak salah, sepertinya kalian adalah orang-orang yang berasal dari bang wetan”.

“Ternyata pengalamanmu cukup luas pula Ki Sanak, dan aku akui bahwa kami memang berasal dari bang wetan”.

“Apakah tujuan kalian sebenarnya hingga jauh-jauh datang ke tempat ini?”.

“Itu bukan urusan kalian”.

“Tapi sejak sekarang menjadi urusan kami, sebab kedatangan kalian untuk melakukan kejahatan dan kesewenang-wenangan kepada sesama”.

“He… apa hakmu melarangku? apakah nyawamu sudah rangkap seribu sehingga berani sesorah demikian di hadapanku? perlu kalian ketahui bahwa aku adalah gegedug dari bang wetan yang sangat ditakuti, sebab aku tidak pernah menaruh belas kasihan kepada setiap korbanku”.

“Ternyata hatimu sudah terlalu kelam melebihi sebuah batu hitam sekalipun, sehingga pekerjaanmu harus segera dihentikan ”.

Mendengar ucapan Ki Agung Sedayu, orang-orang yang menghadang itu menjadi tertawa, terutama pemimpinnya yang terlihat tertawa paling keras.

“Apakah kau sudah kehilangan penalaran karena ketakutanmu, sehingga berani berkata demikian? he… bukalah matamu lebar-lebar Ki Sanak, kau hanya bertiga sedangkan kami tiga belas orang”.

“Jika Yang Maha Welas Asih sudah berkehendak, apapun dapat terjadi meskipun itu dianggap sebuah kemustahilan”.

“Ternyata kau masih saja dapat bermimpi dalam keadaan seperti ini, tapi baiklah. Aku akan membangunkanmu, agar kau tak bermimpi terlalu ngayawara lagi”.

Sejenak kemudian pertempuran itu segera dimulai dengan pemimpinnya langsung menyerang Ki Agung Sedayu yang dianggap memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan dua perempuan yang datang bersamanya.

Dengan tangan mengepal, serangan pertama itu cukup berbahaya karena langsung mengarah ke jantung, Sementara Ki Agung Sedayu yang tidak memiliki banyak ruang gerak masih berusaha menghindar dengan sedikit berkelit ke samping.

Menyadari serangan tersebut tidak mengenai sasaran, maka tangan itu kemudian berputar mengejar, ayah Bagus Sadewa yang sudah menduga segera merendahkan tubuhnya sembari berputar dia melakukan serangan balasan.

Mendapat serangan tersebut, orang yang berwajah garang itu pun melompat ke belakang mengambil jarak, namun Ki Agung Sedayu tidak dapat memburu orang pertama karena kemudian kawan-kawannya telah memburu dengan serangan-serangan yang tidak kalah berbahayanya.

Seketika pertempuran menjadi pecah, dan perbedaan jumlah orang yang sangat jauh membuat Ki Agung Sedayu menjadi sangat sibuk melayani setiap serangan yang datang.

Namun setelah beberapa saat pertempuran itu telah berlangsung, maka sedikit banyak ayah Sekar Wangi mulai dapat membuat penilaian tentang kemampuan lawan-lawannya.

“Sebaiknya kita membuat arena sendiri agar lebih leluasa”. berkata Ki Agung Sedayu melalui Aji Pameling kepada kedua istrinya yang sibuk dengan lawan-lawannya.

Mereka yang tanggap pun memberikan isyarat, mengiyakan gagasan suaminya. Sebab mereka memang kurang leluasa untuk bergerak jika saling beradu punggung dalam sebuah kepungan lawan yang sangat banyak.

Sejenak kemudian ketiganya mulai menyerang lawan-lawannya dengan garang, semua itu memang sengaja dilakukan agar mereka dapat memecah kepungan sehingga secara tidak langsung akan memberikan jalan dan jarak yang kemudian membuat tiga arena pertempuran sendiri.

Sebagai orang yang berilmu tinggi, ketiganya tidak mau meremehkan lawan. Meskipun bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, tapi dalam keadaan demikian, mereka harus sesegera mungkin dapat mengurangi lawan agar tidak semakin menemui kesulitan.

Dengan penalaran demikian maka mereka pun semakin meningkatkan kemampuan semakin tinggi, mereka tidak mau membuat kesalahan sekecil apapun dalam keadaan demikian, karena kesalahan sekecil apapun dapat menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan atau bahkan nasib buruk sekalipun.

Pertempuran yang kini menjadi tiga arena itu terlihat sama garangnya, bahkan para perampok yang berhadapan dengan Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah tidak pernah mengira bahwa mereka akan bertemu dengan lawan yang begitu tangguh dan tanggon dalam melawan masing-masing empat orang.

Bahkan setelah beberapa lama salah satu dari mereka harus terlempar ketika terlambat menghindari terjangan kaki Nyi Sekar Mirah sembari menghindari serangan yang lain.

Meskipun dengan cepat dia dapat segera bangkit dan kembali melanjutkan pertempuran, namun itu cukup menjadi sebuah pertanda bahwa mereka tidak dapat meremehkan kemampuan lawannya yang tidak lebih dari seorang perempuan.

“Apakah kau telah kerasukan Iblis betina, Nyi Sanak?”.

“Apa menurutmu hanya Iblis lah satu-satunya tempat untuk ngangsu kawruh kanuragan?”.

“Setan Alas… ternyata lidahmu sangat tajam melebihi sebilah pedang”.  sahut lawan Nyi Sekar Mirah menjadi semakin marah.

Sementara dalam selang waktu yang terhitung singkat, dua lawan Ki Agung Sedayu pun harus terlempar dari arena, seorang terjatuh di tanah berdebu dan seorang lagi menubruk pohon liar di pinggir jalan tersebut.

Tulang mereka seakan retak pada bekas serangan yang tak mampu mereka hindari, tapi rasa sakit itu seakan terlupakan karena kemarahan yang memuncak dan membuat mereka segera bangkit untuk kembali menyerang lawannya dengan lebih garang.

Meskipun ketiga orang itu harus melawan banyak orang, tapi jika dilihat dari keseimbangan pertempuran seperti tidak terlihat berat sebelah karena bekal kemampuan yang dimiliki.

Tidak lama kemudian, salah satu lawan Ki Agung Sedayu keluar arena kembali dibarengi dengan teriakan umpatan yang sangat kotor keluar dari mulutnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, lawan Nyi Pandan Wangi pun terlempar dari arena pula.

“Pantas saja tadi kau berani sesorah dihadapanku Ki Sanak, ternyata kau memiliki bekal kanuragan yang tinggi. Tapi jangan salahkan aku jika dengan demikian aku tidak lagi menahan diri untuk membunuhmu”. ucap pimpinan perampok itu.

“Bukankah kita sama-sama memiliki bekal?”.

“Ya.. aku tahu, tapi aku tidak mengira jika bekalmu cukup tinggi”.

“Mungkin karena kau terlalu merendahkan orang lain, sehingga kau kehilangan penilaian dan pengamatan diri secara wajar”.

“Kau jangan besar kepala dulu Ki Sanak, sebab aku belum menunjukkan kemampuanku yang sebenarnya, dan jangan kau samakan kemampuanku dengan anak buahku”.

“Bukankah kita sebelumnya belum pernah saling mengenal? lalu bagaimana aku dapat mengetahui sejauh mana kemampuanmu?”. sahut Ki Agung Sedayu sembari tetap bertempur dengan garangnya.

Tapi para perampok itu lama-lama harus melihat kenyataan, bahwa lawan mereka kali ini tidak dapat dengan mudahnya untuk ditaklukkan. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, karena sudah beberapa kali mereka harus terlempar dari arena masing-masing dengan meninggalkan kesakitannya sendiri.

“Cabut senjata kalian semua! jika mereka nanti terbunuh bukan salah kita”. teriak pemimpin perampok itu.

“Kalian jangan kehilangan akal, Ki Sanak. Senjata itu sangat berbahaya”. sahut Ki Agung Sedayu yang melihat semua lawanya telah bersenjata.

Pertempuran di tiga arena itu seakan berhenti sejenak, tapi masih pada tempat masing-masing berdiri dan tetap dalam kewaspadaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Jika kalian menjadi ketakutan, menyerahlah”.

“Lalu apa yang akan kami dapatkan jika kami menyerah?”.

“Aku akan mengampunimu dan mengizinkanmu meninggalkan tempat ini dengan berjalan kaki seorang diri”.

“Lalu bagaimana dengan kedua adikku, dan kuda-kuda kami?”.

“Itu bukan urusanmu, karena itu akan menjadi urusanku”.

“Kenapa kalian menginginkan kami berdua?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang sedari tadi lebih banyak diam.

“Meskipun jika dilihat kalian sudah tidak muda lagi, namun kalian masih sangat menarik untuk kawan bermain di atas ranjang, apalagi kami sudah lama tidak disentuh seorang perempuan”.

“Ternyata selain pekerjaanmu yang kotor, pikiranmu sangat kotor pula Ki Sanak, pantas saja tidak ada perempuan yang bersedia bersamamu”.

“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan… baru kali ini ada seorang perempuan yang terang-terangan berani menghinaku, bahkan di hadapan kawan-kawanku”.

“Bukankah aku berkata sesuai dengan kenyataan? kau memang adalah orang yang kotor lahir batinmu?”.

“Dasar perempuan binal, aku robek mulutmu”.Pemimpin perampok itu tidak dapat menahan kemarahannya, sehingga dia berusaha untuk menghampiri Nyi Sekar Mirah yang berada di arena pertempuran lain.

“Kau mau kemana Ki Sanak?”. berkata Ki Agung Sedayu berusaha menghentikan langkahnya.

“Aku akan merobek perempuan binal itu”.

“Tapi urusan kita belum selesai”.

“Anak Iblis…”.

Baru saja berkata demikian dan tanpa peringatan lebih dulu dia langsung menyerang dengan senjata kebanggaannya, yaitu sepasang celurit. Tapi jika dilihat bukan seperti celurit kebanyakan.

Celurit yang terbuat dari  baja pilihan itu jauh lebih panjang, dan bertangkai ukiran kayu yang ujungnya berbentuk kepala ular naga berwarna hitam kelam.

Ki Agung Sedayu yang tidak memiliki kesempatan untuk menghindar lebih jauh karena berada dalam kepungan, segera meningkatkan kemampuannya.

Dengan pergerakan yang demikian cepatnya dan hampir tidak dapat diikuti oleh mata wadag, terdengar suara teriakan kesakitan dan umpatan yang sangat kotor keluar dari mulut pemimpin perampok itu setelah menyadari bahwa senjata kebanggaannya kini telah berpindah tangan.

“Hati-hatilah dengan senjatamu Ki Sanak”. berkata Ki Agung Sedayu yang kini telah menguasai sepasang celurit.

“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan… kalian jangan hanya diam saja, bunuh orang itu jika masih melawan”.

Seketika perampok yang kini telah bersenjata semua segera menyerang di arenanya masing-masing dengan penuh kegarangan tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri.

Nyi Pandan Wangi segera saja mencabut sepasang pedangnya yang disangkutkan di lambung, sementara Nyi Sekar Mirah yang membawa senjata andalannya justru menyerang salah satu lawannya dan merebut pedangnya.

Ibu Bagus Sadewa melakukan itu sebab ingat akan pesan suaminya yang jika memungkinkan jangan sampai memperlihatkan ciri-ciri mereka, yang tidak menunjukkan senjata andalannya pula.

Karena biar bagaimanapun senjata andalan keduanya adalah sebuah senjata yang sangat langka, dengan demikian akan dapat dengan mudah dikenali siapakah orangnya. Apalagi kedua senjata itu pernah memiliki nama besar.

Berbeda sekali dengan senjata sepasang pedang tipis, bukanlah sebuah senjata yang sangat langka dan masih mungkin dimiliki oleh beberapa orang di sepanjang tanah ini.

“Perempuan binal, kembalikan pedangku”. teriak pemiliknya.

“Ambil saja jika kau mampu Ki Sanak”. sahut Nyi Sekar Mirah yang kemudian disibukkan oleh serangan lawan-lawannya yang bersenjata pedang.

Sementara orang yang telah kehilangan pedangnya telah menarik sepasang belatinya, dengan penuh kemarahan dia menyerang silih berganti bersama kawan-kawannya.

Kemampuan Nyi Sekar Mirah ternyata memang tidak dapat dipandang sebelah mata, meskipun harus menghadapi empat orang dan bersenjatakan sebilah pedang hasil rampasan, tapi tidak terlihat ketimpangan dalam keseimbangan medan.

Bahkan setelah beberapa saat pertempuran telah berkobar kembali, dua orang lawannya harus kehilangan senjatanya ketika terbentur oleh kekuatan yang tak mampu mereka lawan. Tangan dua orang yang kehilangan pedangnya terasa bergetar panas setelah benturan, namun mereka masih tidak menyerah, setelah mengambil pedangnya, mereka kembali menyerang.

Dalam tiga arena itu keadaannya kurang lebih hampir sama, yang sedikit berbeda hanya di arena Ki Agung Sedayu karena kebetulan salah satu lawannya adalah pemimpin perampok tersebut. Namun Setelah beberapa lama pun dia harus melihat kembali kenyataan bahwa meskipun mereka dengan jumlah yang jauh lebih banyak tidak mampu menundukkan tiga orang.

Apalagi senjata pemimpin itu sejak awal telah berpindah tangan ke lawannya, sehingga dia hanya dapat menggunakan sepasang belati yang sepertinya kesulitan untuk mengimbangi sepasang celurit yang jauh lebih berbahaya di tangan lawannya.

Sementara beberapa orang yang ingin melintasi jalan tersebut menjadi ketakutan ketika melihat pertarungan yang memenuhi jalan, sehingga mereka harus mengambil jalan memutar agar tidak terkena akibatnya.

Dalam pertempuran yang masih terlihat garang, tanpa mereka sadari matahari sudah semakin tergelincir jauh di sisi barat, hal itu ditandai dengan semakin ramainya suara garengpung di sekitar pategalan sepanjang jalan tersebut.

Tapi akhirnya tiba pula pada saat-saat yang paling menentukan dari pertempuran itu, satu persatu para perampok itu terlempar kembali untuk kesekian kalinya dan tidak dapat bangun kembali untuk melanjutkan pertempuran.

Dan para perampok itu harus menerima kenyataan yang paling pahit dalam hidupnya karena telah dikalahkan oleh tiga orang, dan dua diantaranya adalah perempuan.

Mereka sudah tidak mampu bangkit karena ada yang terluka terkena senjata lawan dan menitikkan darah, ada pula yang merasa seluruh tulang di sekujur tubuhnya seakan remuk, bahkan ada pula yang pingsan tapi sepertinya tidak ada yang terbunuh.

Dan pemimpin perampok itu sendiri pun sudah tidak berdaya untuk melanjutkan pertempuran karena pada saat terakhir tubuhnya telah terlempar dengan kerasnya dan membentuk pohon mahoni yang tumbuh di pinggir jalan.

Ki Agung Sedayu yang tidak ingin kehilangan banyak waktu, segera menghampiri tubuh yang masih menggeliat dan mengerang kesakitan.

“Siapakah sebenarnya kalian Ki Sanak?”.

Orang itu tidak segera menjawab, maka Ki Agung Sedayu yang tidak mau bertele-tele segera meraih kepalanya tepat di tengkuknya sembari menatapnya dengan tajam.

“Katakanlah siapakah kalian dan apa tujuan kalian sebenarnya? jika kau tidak mau menjawabnya, maka jangan salahkan aku jika aku akan mengorek keterangan dengan caraku”.

Seketika orang itu berteriak dan berusaha membebaskan diri dari cengkeraman pada tengkuknya, tapi ternyata dia tidak dapat melakukannya dan justru dia semakin kesakitan.

“Apakah kau masih tidak mau menjawab?”. bertanya Ki Agung Sedayu sekali lagi tanpa mengurangi cengkeramannya.

“Baik.. baik.. aku akan mengatakannya, tapi tolong lepaskan dulu tanganmu”.

“Sekarang katakanlah…!”. sahut Ki Agung Sedayu yang telah melepaskan cengkeramannya.

“Aku adalah Ki Tunggak Segulung, dan mereka semua adalah anak buahku. Kami adalah orang-orang yang terbiasa dengan pekerjaan kotor, seperti ngrampok, maling, orang bayaran dengan imbalan yang pantas dan pekerjaan sejenisnya”.

“Kalian berasal dari mana?”.

“Kami bukan berasal dari tempat yang sama, meskipun tidak semua. Tapi kami sama-sama berasal dari bang wetan, tepatnya di sekitaran Liman Benawi”.

“Liman Benawi?”.

“Benar Ki Sanak”.

“Jika aku tidak salah, bukankah itu sebuah daerah di kaki Gunung Liman?”.

“Demikianlah…”.

“Lalu apa tujuan kalian hingga ke tempat ini?”.

“Bukankah sudah aku katakan bahwa kami adalah sekumpulan perampok dan pekerjaan kotor lainnya”.

“Aku tahu itu, tapi aku tidak dapat mempercayaimu begitu saja jika kalian hanya bertujuan merampok. Karena jika dari keterangan yang kau katakan itu, tidak mungkin jika kau tidak memiliki tujuan lain selain merampok dengan menempuh jarak yang sangat jauh hingga ke daerah ini”.

“Aku berkata yang sebenarnya”.

“Aku tidak percaya jika kalian hanya bertujuan untuk itu tanpa ada tujuan lain selain kalian melakukan pekerjaan kotor tersebut”.

“Sebab kami dapat sampai ke tempat ini adalah karena adanya peperangan di bang wetan antara Mataram dan Wirasaba, sehingga membuat hampir seluruh kawula yang berada di sekitarnya harus menyingkir. Dengan demikian hilang pula penghasilan yang selama ini kami dapatkan dari mereka”.

“Apa kalian tidak memiliki pekerjaan lain, selain itu?”.

“Tidak ada, lagipula pekerjaan itu sudah kami jalani dalam waktu yang lama, sehingga kami tidak dapat melihat pekerjaan lain, selain pekerjaan yang biasa kami lakukan ini”.

“Lalu apa yang kalian lakukan kepada para korban, jika mereka tidak mengirimkan upeti atau tidak dapat memenuhi permintaan sesuai keinginan kalian?”.

“Kami tidak segan-segan memaksa mereka dengan kekerasan atau berbuat apa saja agar mereka memenuhi keinginan kami, bahkan jika terpaksa kami dapat membunuhnya”.

“Perbuatan kalian sudah benar-benar tidak dapat dimaafkan, bukankah daerah itu termasuk wilayah Kadipaten Wirasaba? apakah para prajurit Wirasaba tidak pernah mengambil tindakan untuk menghentikan perbuatan kalian yang sewenang-wenang?”.

“Tempat kami cukup jauh dari Kotaraja, lagipula prajurit yang bertugas di tempatku selalu mendapat jatah, sehingga mereka tidak pernah mengusik kami”.

“Apakah kalian tidak pernah berpikir bahwa pekerjaan yang kalian lakukan itu kotor dan sangat merugikan sesama?”.

“Kami memang pernah berpikir demikian, namun kami tidak memiliki pilihan”.

“Bagaimana jika itu terjadi sebaliknya, kalian yang justru menjadi korbannya? dan jika itu terjadi pada keluarga atau sanak kadang kalian sendiri? apa yang akan kalian lakukan?”.

“Tentu saja kami akan melawannya”.

“Tapi bagaimana jika kalian tidak mampu melawannya, seperti yang terjadi pada korban-korban kalian? dan seperti apa yang terjadi sekarang pada kalian? aku pun dapat dengan membunuh kalian semua sekarang ini jika aku mau”.

Seketika Ki Tunggak Segulung terdiam, dia mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut orang yang ada di hadapannya dengan lebih mendalam.

“Aku tidak pernah main-main dengan kata-kataku, Ki Sanak”.

“Aku tidak pernah ingkar akan segala kesalahan yang pernah aku lakukan, jika memang itu maumu lakukan saja. Karena aku pernah membunuh, mungkin pada saatnya aku pun harus mati terbunuh pula oleh orang lain”.

“Apa kau benar-benar sudah rela jika harus mati sekarang?”.

“Bukankah setiap manusia pada akhirnya akan mati juga? hanya waktunya saja yang membedakan”.

“Apakah kau tidak menyesal?”.

“Untuk apa aku harus menyesal? bukankah itu adalah akibat yang wajar di dunia ini, seorang pembunuh akan mati terbunuh?”.

“Kenapa kau tidak berpikir lain selain menerima kematianmu, bertobat misalnya? bukankah dengan demikian akan dapat sedikit mengurangi segala dosamu?”.

“Apakah kau pernah tahu seberapa besar dan kecilnya sebuah dosa? dan sudah berkurang atau belum segala dosa yang pernah kau lakukan jika berbuat kebaikan?”.

Kali ini Ki Agung Sedayu lah yang menjadi terdiam, dalam hati dia mengakui bahwa Ki Tunggak Segulung adalah orang yang teguh dalam pandangan hidup yang telah diyakininya.

Tapi biar bagaimanapun Ki Agung Sedayu tetaplah Ki Agung Sedayu. Meskipun dirinya pernah membunuh, namun semua itu dilakukannya sebab sudah tidak dapat ditemukan cara penyelesaian yang lebih baik.

Namun kini keadaannya sangat berbeda, meskipun mereka adalah orang-orang yang sudah malang melintang di dunia yang paling kotor dan sudah banyak merugikan sesama, bahkan hingga tega membunuh jika tujuan mereka tak tercapai. Tapi masih ada kemungkinan untuk dicarikan cara yang lebih baik.

“Apakah kau tidak pernah menyesal dengan apa yang pernah kau lakukan itu?”.

“Untuk apa aku menyesal? menyesal atau tidak bagiku sama saja, sebab jika aku menyesal pun tidak akan pernah dapat merubah semua itu, lagipula aku bukan anak-anak lagi yang mudah menyesal atau menangisi sebuah kesalahan”.

Sejauh ingatan Ki Agung Sedayu, baru kali ini dirinya bertemu dengan orang yang berwatak demikian, yaitu sebuah pandangan hidup yang berbeda dari orang kebanyakan.

Kemudian Ki Agung Sedayu mendekati kedua istrinya yang sedari tadi berdiri di belakangnya dan mengawasi semua orang yang tadinya berniat merampok. Dengan suara seakan berbisik mereka membicarakan sesuatu.

Sepertinya ada sebuah keputusan yang mereka sepakati bersama setelah pembicaraan itu selesai, maka ayah Bagus Sadewa itu segera mendekati Ki Tunggak Segulung kembali.

“Sudah aku putuskan, bahwa kalian akan kami bawa ke Mataram sebagai seorang tawanan”.

“Terserah kau saja Ki Sanak”. sahut Ki Tunggak Segulung dengan suara datar dan terkesan tidak ada kekhawatiran atau ketakutan sama sekali akan nasibnya nanti.

“Karena kalian sekarang menjadi tawanan kami mau tidak mau maka tangan kalian akan kami ikat, dan berhubung kami tidak membawa tali pengikat, aku minta kalian semua lepaskan ikat kepala sebagai gantinya, lalu ikatlah tangan kawan-kawan kalian”.

Ternyata Ki Tunggak Segulung dan seluruh anak buahnya tidak ada yang berusaha memberontak sama sekali, meskipun mereka diam tidak menanggapi, namun mereka melakukan apa yang diperintahkan.

Sejenak kemudian rombongan itu mulai berjalan beriringan, bahkan Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya berjalan kaki pula sembari menuntun kuda. Tpi agar lebih leluasa mengawasi tawanan, dirinya berjalan sendiri paling depan, sementara kedua istrinya berjalan di barisan paling belakang.

Sementara di sisi sebelah barat cahaya kemerah-merahan sudah mulai tampak menghiasi luasnya cakrawala, sebagai pertanda bahwa tidak lama lagi gelap akan turun.

***

Sementara dalam waktu yang hampir bersamaan, seorang Tabib yang lebih muda menghampiri kawannya yang selaku pemimpin Tabib yang merawat seluruh pasukan Mataram.

Dengan langkah agak tergopoh-gopoh dan wajah penuh kegelisahan dia segera melaporkan apa yang telah terjadi, agar tidak dianggap bersalah jika nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Kakang… Sepertinya keadaan Ki Prastawa semakin memburuk, coba kakang periksa lagi keadaannya”.

“Baik adi…”. sahut Tabib yang lebih tua itu cepat.

Segeralah mereka bergegas menghampiri tubuh Ki Prastawa yang masih dalam pembaringan. Setelah memeriksanya kembali seluruh tubuhnya, raut wajahnya mulai menegang.

“Tolong panggilkan satu atau dua orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh”. ucap Tabib lebih tua.

Tanpa bertanya, Tabib yang lebih muda segera bergegas memanggil seorang prajurit yang bertugas guna memanggil orang yang dimaksud.

Kebetulan Ki Rangga Sabungsari yang memang akan memasuki tempat perawatan untuk menjenguk Umbara melihat apa yang terjadi meskipun tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan.

“Ada apa Kyai? apakah aku diizinkan untuk mengetahuinya?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari penasaran.

“Keadaan Ki Prastawa semakin memburuk, Ki Rangga”.

“He…”. seru Ki Rangga Sabungsari yang masih saja terkejut mendengar keterangan itu meskipun sebelumnya dia sudah mendapat gambaran tentang perkembangan keadaan Ki Prastawa yang sudah semakin sulit.

Dengan langkah tergopoh-gopoh, suami Nyi Raras itu pun tidak mau ketinggalan untuk dapat segera melihat keadaan anak semata wayang dari Ki Argajaya.

“Apa yang terjadi Kyai?”.

Tabib itu menoleh ke arah sumber suara orang yang bertanya, terdengar suara tarikan nafasnya yang panjang dan berat sebelum dia menjawabnya.

Tabib yang sudah akan membuka mulutnya untuk menjawab melihat dua orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang dapat dikatakan pula sebagai wakilnya Ki Prastawa dalam keikutsertaannya melawat ke bang wetan.

“Apakah Kyai memanggil kami berdua?”. bertanya salah satu pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan rasa penasaran.

“Benar Ki Sanak, aku memang ada keperluan dengan kalian berdua. Sebab ada sesuatu yang harus aku sampaikan kepada kalian berdua selaku wakil Ki Prastawa dalam pasukan selama bertugas di Wirasaba ini”.

“Katakanlah Kyai”.

“Aku dan kawanku selaku prajurit yang bertugas merawat Ki Prastawa minta maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian semua, terutama kepada Tanah Perdikan Menoreh yang diwakili oleh kalian berdua, bahwa…”.

Suara itu tiba-tiba terputus dan seakan tenggorokannya tercekat karena timbulnya perasaan yang tidak sampai hati untuk menyampaikan sebuah kenyataan yang sangat pahit kepada orang-orang di hadapannya.

“Katakan saja Kyai, agar semuanya menjadi jelas, dan dengan demikian kami dapat mengambil sikap dengan benar”. sahut Ki Rangga Sabungsari yang mulai dapat menduga apa yang sebenarnya telah terjadi.

“Dengan berat hati aku harus mengatakan bahwa Yang Maha Welas Asih telah memanggil Ki Prastawa”. berkata Tabib itu dengan suara berat.

Orang-orang yang berada di tempat itu menjadi terdiam mendengar keterangan tersebut, hati mereka seketika bergejolak mendapati kenyataan.

“Kami semua yang bertugas merawatnya sudah berusaha sejauh kemampuan yang kami miliki, namun jika Yang Maha Agung sudah berkehendak maka kami tidak dapat berbuat apa-apa”.

“Kami mengerti Kyai, kalian tentu sudah berusaha yang terbaik. Tapi Yang Maha Agung memang berkata lain, dan kita tidak dapat meminta atau pun menolaknya”. sahut salah satu pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Rangga Sabungsari lalu memanggil prajurit yang bertugas.

“Tolong laporkan apa yang terjadi kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma, dan tolong sampaikan pula bahwa kami semua yang berada disini menunggu perintah selanjutnya”.

“Baik Ki Rangga, apakah ada yang lain?”.

“Aku rasa sementara itu dulu”.

“Baik Ki Rangga”. sahut prajurit penghubung yang bertugas tersebut, kemudian meninggalkan tempat itu untuk menjalankan tugasnya segera.

Setibanya di tempat Panembahan Hanyakrakusuma, kebetulan mendapat kesempatan untuk dapat langsung menghadap setelah menyampaikan bahwa ada keperluan untuk melaporkan warta lelayu yang baru saja terjadi.

“Ampun Kanjeng Panembahan, jika hamba telah deksura datang menghadap”. berkata prajurit penghubung itu setelah berhasil menghadap sembari tidak lupa menghaturkan sembah.

“Katakanlah apa yang ingin kau laporkan, sebab aku pun menduga telah terjadi sesuatu yang sangat penting”.

“Ampun Kanjeng Panembahan, hamba diutus oleh Tabib keprajuritan untuk melaporkan bahwa baru saja Ki Prastawa selaku pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah dipanggil oleh yang Maha Agung”.

“Ki Prastawa kau bilang?”.

Kanjeng Sinuhun Mataram masih saja terkejut meskipun sebelumnya telah melihat sendiri perkembangan keadaan Ki Prastawa di tempat perawatan.

“Demikianlah Kanjeng Sinuhun, dan kami siap menunggu perintah selanjutnya”.

“Siapkanlah penyelenggaraan pemakaman selayaknya seorang prajurit Mataram yang telah gugur, dan untuk menghormati semua jasa-jasanya bagi tegaknya panji-panji Mataram, maka aku sendiri nanti akan menghadiri pemakaman itu”.

“Sendika dawuh Kanjeng Sinuhun”.

Setelah selesai, prajurit penghubung itu segera kembali ke tempat perawatan dan menyampaikan apa yang telah disampaikan oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

“Baiklah.. sesuai dengan perintah, kita segera persiapkan semua keperluan agar Kanjeng Sinuhun tidak menunggu terlalu lama”.

“Tolong kau sampaikan kepada para prajurit yang bertugas untuk menyiapkan tempat bagi tubuh Ki Prastawa yang telah gugur”. berkata Ki Rangga Sabungsari kepada prajurit penghubung.

“Baik Ki Rangga”.

Tidak lama kemudian setelah berita tentang gugurnya Ki Prastawa, maka beberapa orang memerlukan datang untuk menyampaikan belasungkawa kepada kawan seperjuangan.

Beberapa senopati dari setiap kesatuan datang mewakili kawan-kawannya untuk menyampaikan belasungkawa, sehingga tempat perawatan tiba-tiba menjadi agak ramai.

Namun Tabib yang merawat sempat berpesan jika jangan ada yang memasuki tempat perawatan, kecuali hanya orang-orang yang berkepentingan agar tidak mengganggu tugasnya, sehingga mereka dipersilahkan untuk menunggu di luar.

Sementara Ki Tumenggung Suratani yang sudah mulai sembuh dan dapat berjalan meskipun tubuhnya masih lemah mendengar pula apa yang telah terjadi.

“Aku ingin ikut memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Prastawa”. ucapnya kepada perwira bawahannya yang kebetulan sedang menjenguknya.

“Tapi keadaan Ki Tumenggung Suratani masih sangat lemah”. sahutnya mengingatkan.

“Aku sudah dapat berjalan”.

“Apakah Ki Tumenggung yakin? untuk berjalan saja terkadang masih sempoyongan”.

“Tolong kau carikan saja sebuah tongkat kayu atau apa saja untuk dapat membantu menopang langkah kakiku”.

“Baiklah Ki Tumenggung”. sahut perwira itu yang sepertinya sudah tidak dapat menahan lagi atasannya tersebut.

Tidak lama kemudian, salah satu prajurit telah datang membawa sebuah tongkat kayu bagi Ki Tumenggung Suratani. Dan dengan dibantu anak buahnya, dia pun berdiri.

Beberapa anak buahnya yang tidak sampai hati untuk melepas begitu saja akhirnya berjalan di sebelah kanan dan kiri untuk mendampingi dan menjaga agar tetap baik-baik saja dalam keadaannya yang masih sangat lemah.

Ki Tumenggung Suratani keadaannya memang masih sangat lemah, namun berdasarkan keterangan dari Tabib yang merawatnya, bahwa sebenarnya luka dalamnya sudah tidak mengkhawatirkan lagi karena hanya tinggal masa pemulihan daya tahan tubuhnya saja.

Lagipula bagi seorang Ki Tumenggung Suratani jika hanya berdiam diri di pembaringan adalah sebuah pekerjaan yang membosankan dan terlebih lagi tubuhnya seakan-akan menjadi kaku dan tidak bertenaga.

Setelah segala persiapan penyelenggaraan pemakaman Ki Prastawa telah siap, termasuk penerangan dengan membawa beberapa oncor dari biji jarak di sekitar pemakaman karena malam telah menjelang.

Hampir dalam waktu yang bersamaan, orang-orang pun datang untuk memberikan penghormatan terakhir telah berkumpul pula di tempat penyelenggaraan pemakaman, termasuk Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sendiri dan tiga Pangeran Mataram yang menyertainya.

“Malam ini sekali lagi kita harus memberikan penghormatan terakhir kepada kawan seperjuangan kita”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram memulai sesorahnya.

“Aku atas nama Mataram hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ki Prastawa yang telah gugur hari ini atas segala jasa-jasanya bagi tegaknya panji-panji Mataram selama hidupnya, dan tidak lupa mari kita sama-sama memintakan ampunan kepada Yang Maha Welas Asih atas segala dosa dan kesalahan selama hidupnya”.

“Dan bersamaan dengan ini aku meminta ketulusan kalian semua untuk memintakan pengampunan pula bagi Ki Argapati atau Gede Menoreh yang juga telah dipanggil oleh Yang Maha Agung di rumahnya, yaitu Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lalu karena sakit pada umurnya yang sudah sangat sepuh”.

Orang-orang yang mendengar keterangan tersebut menjadi sangat terkejut, karena bagi orang yang telah lama mengabdi di Mataram tentu sudah tidak asing lagi dengan nama itu, bahkan nama itu adalah salah satu tokoh yang memiliki nama besar bahkan sejak Mataram masih berupa Alas Mentaok, meskipun dia bukanlah bagian dari prajurit Mataram.

Meskipun dia bukanlah bagian dari seorang prajurit Mataram, namun jasa-jasanya bagi tegaknya bumi Mataram sudah tidak terhitung lagi, sehingga tidak berlebihan jika Mataram begitu menghormati dan mengagungkan namanya.

“Dan aku minta kepada kalian semua, bahwa kita jangan menyia-nyiakan segala pengorbanan kawan-kawan kita semua. Dalam pasukan Mataram itu adalah sebuah kesatuan, jadi tidak ada yang lebih besar atau lebih berjasa dari yang lain. Kita semua dapat berdiri disini adalah semata-mata karena kita semua bersatu, bukan karena perjuangan satu dua orang saja”.

Semua orang yang hadir hanya dapat terdiam mendengarkan sesorah pepunden mereka, bahkan ada beberapa di antaranya mengagumi sikap tersebut.

Sebuah sikap pemimpin yang penuh ketegasan, kepedulian, tidak membeda-bedakan kawulanya dan sebuah sikap yang pantang menyerah sebelum gegayuhannya tercapai.

“Aku sangat menyadari bahwa apa yang aku sampaikan ini pasti tidak akan mampu mewakili segala pengabdian, perjuangan, dan pengorbanan kalian semua. Tapi yang perlu kalian semua ketahui adalah bahwa apa yang aku sampaikan ini benar-benar tulus dari hatiku yang paling dalam yang mewakili seluruh kawula Mataram”. ucap Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma menutup sesorahnya.

Setelah sesorah dari pepunden seluruh kawula Mataram selesai, maka dilanjutkan dengan penyelenggaraan pemakaman Ki Prastawa sebagai pemimpin tertinggi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh selayaknya seorang prajurit yang telah gugur di medan.

Suasana prihatin yang kembali harus dirasakan seluruh pasukan Mataram karena harus kehilangan salah satu putra terbaiknya. Meskipun dia bukanlah bagian dari prajurit, namun dia kapanpun selalu ada jika Mataram memanggilnya.

Karena dalam pasukan Mataram yang kuat tidak hanya terdiri atas kesatuan prajurit saja, tapi dibantu pula oleh pasukan daerah yang memang memiliki kelebihan dalam bertempur, salah satunya adalah pasukan Tanah Perdikan Menoreh, pasukan Kademangan Sangkal Putung, dan masih banyak lagi.

Mereka bahu membahu untuk menjaga tegaknya bumi Mataram, baik dari ancaman serangan musuh maupun melaksanakan gegayuhan pepunden mereka untuk mempersatukan luasnya tanah ini di bawah panji-panji Mataram.

Setelah acara penyelenggaraan pemakaman itu selesai, diawali oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dan ketiga Pangeran Mataram, maka satu persatu orang meninggalkan tempat itu di waktu menjelang wayah sepi uwong.

Namun masih ada beberapa orang yang terlihat masih berdiri di tempat itu, terutama orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang merasa paling kehilangan, karena kali ini pemimpin mereka lah yang harus mengisi pusara tersebut.

“Aku tidak pernah menduga bahwa perjalanan Ki Prastawa hanya sampai disini, tapi kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam sebuah perang. Tidak ada jaminan bahwa orang yang memiliki kemampuan lebih pasti akan selamat”.

“Kakang benar, tapi inilah kenyataan yang harus kita terima akibat dari sebuah perang meski bagaimanapun pahitnya. Mungkin kurang lebih beginilah yang orang lain rasakan ketika kehilangan orang terdekatnya ketika gugur di medan”.

“Kau benar adi, tapi kesedihan kita kali ini menjadi berlipat ketika tadi Kanjeng Sinuhun menyampaikan bahwa ternyata pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh telah lebih dulu dipanggil Yang Maha Agung”.

“Ki Gede Menoreh bukan hanya sekedar seorang pemimpin bagi kita. Tapi juga sebagai seorang ayah, pamomong, bahkan terkadang dapat menjadi kawan berbincang tentang apa saja”.

“Aku pun merasa sangat kehilangan atas kepergian Ki Prastawa, namun hatiku tidak dapat berbohong bahwa hatiku jauh lebih kehilangan atas kepergian Ki Gede Menoreh meskipun umurnya memang sudah sangat sepuh”.

“Akupun demikian, kakang”.

Pembicaraan itu kemudian terputus ketika ada beberapa orang menghampiri mereka, yang bermaksud ingin secara langsung menyampaikan rasa belasungkawa.

“Ki Sanak, aku atas nama pribadi dan kesatuanku ingin menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas gugurnya Ki Prastawa dan wafatnya Ki Gede Menoreh”.

“Atas nama seluruh kawula Tanah Perdikan Menoreh kami mengucapkan terima kasih Ki Tumenggung Suratani”.

“Aku tidak pernah menduga bahwa umur keduanya hanya sebatas itu, tapi itulah kehendak Yang Maha Agung yang harus kita semua terima. Dan sebelum aku berangkat kemari masih sempat berbicara dengan Ki Gede Menoreh pun tidak merasakan firasat buruk apapun tentangnya”.

“Kami pun yang sebagai kawulanya tidak pernah menduga wafatnya Ki Gede Menoreh akan secepat itu. Hanya yang sedikit aku sesali adalah kenapa pada saat wafatnya Ki Argapati aku sedang mendapat tugas kemari, sehingga aku tidak dapat memberikan penghormatan terakhir kepadanya”.

“Kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita sendiri ataupun orang-orang di sekitar kita”.

“Ki Tumenggung Suratani benar, mungkin memang inilah kehendak dari Yang Maha Agung yang harus kita jalani. Mau tidak mau kita semua harus dapat menerima dengan penuh rasa rela ikhlas dan legawa”.

“Meskipun aku belum lama mengenalnya secara pribadi, namun menurut pendapatku Ki Gede Menoreh adalah seorang pemimpin yang dapat kita jadikan panutan, selain karena jasanya juga karena kepribadiannya yang sangat baik terhadap sesama”.

“Aku sebagai orang luar dari Tanah Perdikan Menoreh yang telah telah mengenalnya secara pribadi dalam waktu yang cukup lama sependapat dengan Ki Tumenggung Suratani, Ki Gede Menoreh memang seseorang yang sangat luar biasa”. sahut Ki Rangga Sabungsari yang sedari tadi lebih banyak berdiam diri.

“Ki Prastawa meskipun bukanlah pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh, namun jasanya tidak terhitung pula bagi tanah kelahirannya maupun Mataram, hanya sangat disayangkan bahwa pernah ada noda hitam dalam sejarah hidupnya”. sahut salah satu pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita sebagai manusia memang tempatnya salah, lupa, tamak, dan dungu. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapinya setelah menyadari kesalahan tersebut”.

“Bahkan terkadang kita membuat kesalahan tanpa kita sadari atau benar-benar bermaksud demikian, baik kesalahan kecil ataupun kesalahan besar. Seperti yang pernah terjadi pada Ki Agung Sedayu beberapa warsa yang lampau”.

“Ki Rangga Sabungsari telah mengingatkan kita semua terhadap sebuah contoh nyata, bahwa sebuah kesalahan dapat terjadi pada siapapun dan dimanapun. Beruntunglah bahwa pada waktu itu terjadi pada seorang Ki Agung Sedayu, akupun tidak dapat membayangkan jika itu terjadi pada orang lain, karena tentu akan berbeda sekali akhir ceritanya”.

“Mungkin ada benarnya juga petuah orang-orang tua, bahwa semakin tinggi kita mendaki maka akan semakin tinggi pula angin bertiup. Tapi beruntunglah bahwa para petinggi Mataram masih mempertimbangkan pengabdiannya selama ini, bahkan termasuk jasa-jasa gurunya yang tak terhitung lagi”.

“Semoga saja kita tidak pernah lupa untuk selalu meminta perlindungan dan petunjuk kepada Yang Maha Welas Asih atas apapun yang kita lakukan, kapanpun dan dimanapun agar langkah kita tidak dirundung kegelapan”. sahut Ki Tumenggung Suratani mengakhiri pembicaraan.

Karena sejenak kemudian mereka membubarkan diri untuk kembali ke tempat dan tugas masing-masing, Dan sepertinya hanya Ki Tumenggung Suratani lah yang harus kembali ke pembaringan.

Sementara Ki Rangga Sabungsari kembali ke tempat perawatan karena niatnya semula harus tertunda karena adanya kejadian gugurnya Ki Prastawa.

Suami Nyi Raras itu ingin menjenguk sekaligus ingin melihat perkembangan Umbara sejauh mana, karena setelah perang tanding melawan Ki Tumenggung Randuwana anak muda itu masih belum mampu sadarkan diri.

“Bagaimana perkembangan Umbara Kyai?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari yang melihat Tabib yang paling dituakan ketika baru memasuki tempat perawatan.

Karena memang dalam sebuah pasukan yang besar segelar sepapan tidaklah mungkin jika hanya membawa seorang Tabib, tentu saja akan sangat kewalahan jika harus merawat banyak orang dalam waktu yang bersamaan.

Dan kebetulan dalam lawatan kali ini, pasukan Mataram telah membawa beberapa Tabib yang kurang lebih hampir lima belas orang. Dan dalam jumlah sebanyak itu pasti ada salah satu yang paling dituakan atau dengan kata lain sebagai senopatinya.

“Atas kemurahan Yang Maha Welas Asih, keadaan Umbara sudah semakin membaik Ki Rangga”.

“Apakah aku diperbolehkan untuk menjenguknya sekarang?”.

“Sebenarnya sekarang sudah bukan waktu menjenguk, tapi… silahkan Ki Rangga, tapi jangan terlalu lama”. sahut Tabib yang dituakan tersebut.

“Terima kasih Kyai”.

Kemudian Ki Rangga Sabungsari segera menghampiri tempat dimana anak muda itu dibaringkan seperti waktu-waktu sebelumnya bahkan sejak pertama tidak sadarkan diri.

“Benar-benar anak yang luar biasa”. batinnya.

Sembari mengamati sekujur tubuh anak pertama Ki Untara tersebut, tiba-tiba penalaran Ki Rangga Sabungsari kesana kemari membayangkan apa saja.

“Aku tidak pernah menduga bahwa kemampuannya sudah sejauh ini, dulu pada umur yang sama dengannya aku saja belum mampu mencapai tataran yang sama dengannya. Benar-benar bibit unggul Padepokan Orang Bercambuk. Jika dia tidak cepat bosan dalam ngangsu kawruh dan mau lebih bekerja keras, bukan tidak mungkin bahwa suatu saat dia akan mampu melampaui paman-pamannya”. membatinya lagi.

“Paman Sabungsari”.

Bagaikan disengat ribuan kalajengking, mendengar panggilan itu dengan suara lirih yang membuyarkan segala lamunan salah satu Senopati Mataram tersebut, sebab dia tidak menduga bahwa anak muda itu telah mampu sadarkan diri.

“Kau sudah siuman, ngger? sejak kapan kau sudah mampu sadarkan diri? apakah aku mengganggu istirahatmu?”. pertanyaan bertubi-tubi seketika keluar dari mulut Ki Rangga Sabungsari karena saking senangnya sembari mendekatkan tubuhnya.

“Aku haus Paman”.

“Baik ngger, aku akan mengambilkan minum untukmu. Tapi sebaiknya aku memanggil Tabib yang merawatmu lebih dulu agar aku tidak dipersalahkan”.

Lalu dengan sebuah isyarat, Ki Rangga Sabungsari memanggil salah satu tabib yang berada paling dekat dengannya, maka dengan segera Tabib itu pun datang.

“Umbara sudah sadar Kyai, apakah dia sudah sadar sebelumnya atau baru sekarang sadarnya? dan apakah aku diperbolehkan untuk memberinya minum?”.

Sebelum menjawab, Tabib itu lebih dulu memeriksa tubuh anak muda itu. Lalu setelah mengetahui keadaannya, dia berusaha membantu Umbara untuk dapat duduk.

“Silahkan Ki Rangga bantu Umbara untuk minum, tapi jangan banyak-banyak dulu agar tidak mengejutkan tubuhnya. Sementara aku akan membantunya agar tetap dalam keadaan duduk agar lebih mudah baginya untuk minum”.

“Baik Kyai”.

“Setahuku Umbara baru sekarang ini mampu sadarkan diri, sejak pertama dia dibawa kemari, sehingga pantas saja jika dia merasa sangat kehausan sebab sudah beberapa hari dia tidak makan dan minum sama sekali”. berkata Tabib itu sembari menopang tubuh Umbara yang masih sangat lemah.

Setelah minum tubuh anak muda itu kembali dibaringkan, raut wajahnya masih nampak pucat, pandangan matanya pun masih sering kabur dan belum utuh.

“Apa kau masih merasakan sakit di bagian tubuhmu, Umbara?”. bertanya Tabib yang merawatnya.

“Dadaku masih terasa nyeri Ki, tapi tidak terlalu”.

“Selain bagian dada, apakah ada bagian tubuhmu lain yang masih terasa sakit?”.

“Tidak ada Ki, hanya mataku saja masih kabur saat melihat dan tubuhku terasa masih lemah sekali seakan tak bertulang”. sahut Umbara dengan suara lirih.

“Kita semua wajib mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung bahwa kau mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhan, dan rasa sakit pada dadamu itu semoga segera sembuh pula setelah kau rajin meminum obat yang kami berikan”.

“Terima kasih Ki”.

“Kau tak perlu berterima kasih kepadaku Umbara, tapi berterima kasihlah kepada Yang Maha Welas Asih yang telah memberikan kesembuhan bagimu dan bagi kawan-kawan kita semua”.

Umbara menjawabnya hanya dengan kedipan matanya, karena suaranya pun masih sangat lemah. Bahkan kadang hanya terlihat mulutnya saja yang bergerak tanpa terdengar suaranya.

“Baiklah aku akan menyiapkan kau bubur halus, agar tubuhmu segera menjadi segar kembali. Sekarang keadaanmu masih lemah karena salah satu penyebabnya adalah karena sudah beberapa hari tubuhmu tidak kemasukan apa-apa”.

“Terima kasih Kyai”. sahut Ki Rangga Sabungsari.

Tabib itu hanya tersenyum menanggapi, kemudian segera meninggalkan tempat itu untuk membuatkan bubur halus khusus untuk Umbara yang baru saja sadarkan diri dari pingsannya setelah beberapa hari.

“Umbara… aku minta maaf karena kelengahanku kemarin kau harus berhadapan dengan Ki Tumenggung Randuwana, yang seharusnya itu belum saatnya. Tapi beruntunglah bahwa Yang Maha Welas Asih masih menyelamatkanmu dari lawan yang memiliki ilmu sangat tinggi itu”.

“Bukan salah paman Sabungsari, tapi akulah yang terlalu deksura berani menghadapi Ki Tumenggung Randuwana. Tapi beruntunglah bahwa dia adalah seorang prajurit yang baik”.

“Tapi biar bagaimanapun kau adalah bagian dari tanggung jawabku terlepas kau memang adalah salah satu anak buahku, kau sudah aku anggap seperti anak sendiri”.

“Terima kasih paman”.

***

Sementara di rumah Ki Purbarumeksa, para tamu yang datang sejak siang masih berkumpul di pendapa sembari membicarakan apa saja yang menarik bagi mereka. Dari pembicaraan yang biasa saja, sungguh-sungguh, hingga yang hanya sekedar berkelakar.

Sedangkan para tamu perempuan lebih memilih berada di ruang dalam bersama dengan Nyi Purbarumeksa dan Nyi Rara Wulan, yang sepertinya memiliki bahan pembicaraan mereka sendiri dan tidak mau terganggu.

“Maaf Ki Purbarumeksa, sejak tadi sepertinya aku tidak melihat Teja Prabawa? kemanakah dia sekarang”.

Terdengar sebuah tarikan nafas panjang dari kakek Arya Nakula sebelum menjawab, setelah dia memperbaiki letak duduknya barulah dia memberikan penjelasan.

“Mungkin aku adalah salah satu contoh orang tua yang kurang baik Ki Untara, sebab aku tidak dapat membimbing anak-anakku menjadi anak yang berguna. Bahkan sekarang aku sendiri pun tidak tahu keberadaannya”.

“Maafkan aku jika pertanyaanku ini telah membuat hati Ki Purbarumeksa menjadi kurang mapan”.

“Ki Untara tidak bersalah dan tidak perlu minta maaf pula, karena pada kenyataannya memang demikian. Aku gagal membimbing anakku yang satu itu”.

“Aku rasa itu bukan kesalahan Ki Purbarumeksa semata, tapi terkadang seorang anak memang memiliki pandangannya sendiri dalam melihat jalan hidupnya. Dan sebagai seorang laki-laki, mungkin Teja Prabawa melihat hal itu”.

“Mungkin kita sebagai sesama laki-laki dapat mengerti semua itu Ki Untara, namun Ibunya hatinya sering terguncang jika teringat anaknya itu. Bahkan terkadang aku sampai bingung harus bersikap seperti apa dalam menghadapinya”.

“Sebagai seorang laki-laki ada kalanya Teja Prabawa perlu pengalaman yang bagaimanapun bentuknya dalam hidupnya, agar membuatnya menjadi manusia yang lebih dewasa”.

“Ki Untara benar, mungkin karena dulu aku dan ibunya terlalu memanjakannya, sehingga membuatnya kehilangan pandangan hidup hidup bebrayan dalam sebuah kewajaran. Sudah sekian lama dia meninggalkan rumah ini dan pergi entah kemana? memilih jalan hidup sesuai dengan pandangan hidup yang diyakininya”.

“Semoga saja dari pengalaman hidupnya akan sedikit banyak dapat membantunya untuk menjadi laki-laki yang lebih baik pada saat dia kembali, bukan malah sebaliknya”.

“Aku pun berharap demikian”.

Tiba-tiba Ki Untara terdiam karena teringat akan sesuatu, setelah meneguk minumannya hingga habis dia pun memandang ke arah regol yang terlihat sepi.

“Apa keperluan Agung Sedayu menyita banyak waktu, sehingga dia belum tiba disini?”. membatin ayah Bagaskara.

“Semoga saja Ki Agung Sedayu tidak menemui hambatan yang berarti selama dalam perjalanan”. desis Ki Untara tanpa sadarnya.

“Aku kira tidak akan ada hambatan yang berarti bagi Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya, Ki Untara”.

“Aku tahu jika dia memiliki kelebihan, Ki Gede. Tapi bukan berarti dengan kemampuannya itu dapat menjamin keselamatan dirinya dalam setiap langkahnya, karena jika dia terlalu menyombongkan diri dan kehilangan pengamatan diri, bukankah justru akan membawanya dalam kesulitan?”.

“Ki Untara benar, kemampuan setinggi apapun tidak akan mampu menjamin nasib seseorang setiap saat. Sebab manusia itu masih sering dihinggapi watak lupa dan apes”. sahut Ki Gede Matesih membenarkan.

“Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua, baik yang sedang berada di tempat ini maupun yang masih dalam perjalanan menuju kemari. Ki Sanak semua silahkan sembari menikmati makanan dan minuman ala kadarnya ini”. sahut Ki Purbarumeksa berusaha menengahi, lalu menyeruput minumannya hingga habis.

Apa yang dilakukan oleh tuan rumah itu kemudian diikuti pula oleh para tamunya, menikmati hidangan yang telah disuguhkan para pembantu.

“Apakah kau akan ikut nyantrik di Padepokan Orang Bercambuk pula ngger?”. bertanya Ki Purbarumeksa kepada cucunya yang kebetulan duduk di sebelahnya.

“Ayah dan Ibu belum mengizinkan”.

“Kenapa Ayah dan Ibumu belum mengizinkan? bukankah kau sudah besar? apa karena ibumu merasa kesepian? jika kau pergi nyantrik karena Ayahmu lebih sering disibukkan dengan tugas-tugasnya”.

“Aku tidak tahu Kek”.

“Tapi jika Ayah dan Ibumu mengizinkan, apa kau akan diizinkan oleh Ki Agahan selaku pemimpin Padepokan Orang Bercambuk?”. bertanya Ki Purbarumeksa yang sengaja mengganggu cucunya.

Arya Nakula yang mendapat pertanyaan itu menjadi terkejut, seketika dia memandang ke arah kakeknya dan Ki Agahan secara bergantian, tapi entah apa maksudnya.

“Anakmas Arya Nakula tidak perlu khawatir, kapanpun kau berminat, maka regol padepokan selalu terbuka lebar untukmu”. sahut Ki Agahan sembari tersenyum yang tidak sampai hati melihat kebingungan anak Ki Lurah Glagah Putih tersebut.

“Kakek dengar sendiri, bukankah Ki Agahan sangat baik sekali kepadaku. Tapi memang Ayah dan Ibu lah yang belum memberiku izin untuk nyantrik”.

“Sekarang Kakek tanya kepadamu, nyantrik itu karena banyak kawan atau karena kau memang ingin ngangsu kawruh?”.

“Bukankah selain aku ngangsu kawruh, aku pun akan banyak kawan pula disana Kek?”.

“Tapi bukankah jika kau ikut nyantrik disana tidak ada kawan sebayamu, karena umur mereka sudah jauh di atasmu?”.

“Aku ada kawan yang sebaya Kek, karena kakang Bagus Sadewa pun sudah ikut nyantrik disana”. sahut Arya Nakula sembari menunjuk ke arah kakak sepupunya tersebut.

“Bagus Sadewa?”.

“Demikianlah Ki Purbarumeksa, Bagus Sadewa sudah sejak beberapa waktu yang lalu ikut nyantrik di padepokan”.

“Aku kira pada waktu kejadian kemarin itu Bagus Sadewa secara kebetulan saja sedang berada disana, dan aku baru tahu sekarang jika ternyata Bagus Sadewa sudah menjadi bagian keluarga besar Padepokan Orang Bercambuk secara utuh”.

“Tapi bagi kami selaku pengurus padepokan, untuk cantrik yang sebaya dengan anakmas Bagus Sadewa belum ada sebuah kewajiban untuk mengikuti seluruh kegiatan di padepokan dan masih kami berikan kebebasan untuk memilih”.

“Ki Agahan sebagai pemimpin padepokan sangat bijaksana sekali, justru aku tidak terpikirkan sebelumnya”.

“Ah… Ki Purbarumeksa terlalu memuji, apapun yang berhubungan dengan kepentingan padepokan selalu aku bicarakan bersama dengan para putut padepokan, selain itu juga dengan murid-murid utama Swargi Kyai Gringsing jika ada kesempatan kami bertemu, dan juga Ki Untara sebagai sesepuhnya”.

Namun pembicaraan itu terputus ketika Nyi Rara wulan tiba-tiba datang seorang diri ke pendapa, ada berbagai dugaan tiba-tiba muncul dari hampir semua orang yang hadir.

***

Sementara itu Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya perjalanannya menjadi jauh lebih lambat dari perkiraan karena harus berhadapan dengan para perampok dan kemudian harus menawan mereka untuk kemudian diserahkan kepada Mataram sebagai pihak yang paling berhak untuk memberikan hukuman apa saja yang paling pantas bagi mereka.

Terlebih lagi mereka yang sebenarnya pada saat keberangkatan berkuda harus ikut berjalan kaki pula mengikuti para tawanan yang  terpaksa mereka bawa. Sehingga mereka baru mendekati wilayah Kotaraja Mataram pada saat lewat wayah sepi bocah.

Tiba-tiba Ki Agung Sedayu menghentikan iring-iringan ketika memasuki jalan simpang sebelum melewati dinding Kotaraja, karena sepertinya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan bersama kedua istrinya.

“Bagaimana menurut kalian, kita pergi ke Kepatihan dulu atau ke rumah Rara Wulan dulu? jika kita ke Kepatihan dulu tentu saja kita akan membuat cemas banyak orang yang berada di rumah Ki Purbarumeksa, tapi jika kita ke rumah Ki Purbarumeksa lebih dulu tentu akan mengejutkan banyak orang jika kita membawa begitu banyak orang tawanan”.

“Menurutku lebih baik kita ke Kepatihan dulu saja kakang, karena kita membawa banyak tawanan. Bagaimana menurut mbokayu?”.

“Aku kira itu adalah gagasan yang paling baik, karena akan terasa tidak wajar dan tentu akan menjadi perhatian banyak orang jika kita memasuki padukuhan-padukuhan di Kotaraja dengan membawa banyak tawanan untuk berkunjung ke sebuah rumah dan bukan ke Kepatihan atau gardu prajurit yang bertugas untuk menyerahkan para tawanan”.

“Baiklah… aku sependapat dengan kalian, jika demikian apa boleh buat, dengan terpaksa kita ke Kepatihan dulu meskipun kita tahu sedang dicemaskan oleh banyak orang”.

Setelah pembicaraan selesai, akhirnya diputuskan bahwa mereka akan pergi ke Kepatihan dulu. Selain mereka akan menyerahkan para tawanan, mereka pun masih ada keperluan lain.

Ternyata benar seperti dugaan mereka sebelumnya, bahwa mereka pasti kan menarik perhatian banyak orang, termasuk para prajurit yang sedang bertugas.

Bahkan beberapa prajurit yang bertugas di gerbang Kotaraja sebelah utara yang melihat iring-iringan kecil itu dalam hati mulai bertanya-tanya, hingga saling pandang dengan kawannya.

“Maaf Ki Sanak jika kami mengganggu perjalanan kalian, tapi aku harus menjalankan tugasku sebagai seorang prajurit. Tolong sebutkan siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian datang kemari dengan membawa rombongan yang sangat mencurigakan ini?”. bertanya salah satu prajurit yang nampak masih muda.

“Perkenalkanlah Ki Sanak, aku adalah Agung Sedayu membawa tiga belas orang tawanan yang akan kami serahkan kepada Ki Patih Singaranu di Kepatihan”.

“Ki Patih Singaranu? di Kepatihan? sepertinya kau kebanyakan makan kecubung, hingga ucapanmu ngelantur”.

“Apakah ada yang salah dengan ucapanku?”. bertanya Ki Agung Sedayu heran.

“Ternyata kau memang benar-benar mabuk kecubung Ki Sanak, sebab kau sendiri tidak tahu kesalahanmu dimana. Dengar baik-baik Ki Sanak, kau pikir dengan mudahnya kau akan dapat menghadap Ki Patih Singaranu di Kepatihan? kau pikir kau siapa, he…?”.

Barulah kini Ki Agung Sedayu tanggap akan apa yang sebenarnya terjadi, tapi biar bagaimanapun Ki Agung Sedayu adalah orang yang tidak mudah marah jika ada yang menghinanya.

“Ki Sanak, kau pikir kau siapa, he…? baru menjadi prajurit kemarin sore saja sudah berani merendahkan orang lain seenak wudelmu?”. sahut Nyi Sekar Mirah yang tidak sabar.

“He.. perempuan binal, berani sekali kau menghinaku demikian. jika aku tidak sedang bertugas maka akan aku robek mulut kotormu itu sekarang juga”.

“Jika kau memang jantan, buktikanlah ucapanmu. Jangan hanya bisa membual dan membentak perempuan saja kerjamu”.

“Perempuan Iblis… aku benar-benar akan merobek mulutmu yang sangat kotor itu”. sahut prajurit itu dengan penuh kemarahan.

Ternyata prajurit muda itu benar-benar membuktikan ucapannya dan langsung melompat menyerang Nyi Sekar Mirah ketika mulutnya baru saja terkatup.

Dengan adanya kejadian itu para prajurit yang bertugas di gerbang Kotaraja yang berjumlah sekitar lima orang seketika menjadi mengerumuni tempat itu.

Namun mereka menjadi kebingungan ketika kawannya sedang bertempur melawan seorang perempuan dengan pakaian khusus dan di punggungnya seperti membawa tongkat yang dibungkus oleh selongsong dari kulit hewan.

Tapi yang membuat mereka bertambah heran adalah kawannya yang seorang laki-laki diam saya kawannya bertempur melawan salah satu prajurit. sebab Ki Agung Sedayu dan yang lain memang hanya diam saja menyaksikan itu.

Kejadian itu semakin lama menarik perhatian banyak orang, baik dari prajurit yang bertugas maupun para kawula alit. Dan mereka semua penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Namun tiba-tiba ada sesuatu yang mengejutkan mereka semua.

“Hentikan…!!”.

Teriakan dengan suara lantang itu seakan menyadarkan mereka untuk segera mengakhirinya, dan seketika hampir semua orang berpaling ke arah sumber suara itu berasal.

“Apa yang terjadi?”. bertanya orang yang baru saja berteriak sembari mendekati arena pertempuran.

“Ampun Ki Tumenggung, kami telah menemukan orang-orang yang tidak tahu diri dan berani menantang prajurit yang sedang menjalankan tugas”.

“Memangnya apa yang telah mereka lakukan?”.

“Mereka datang beriring-iringan, dan katanya membawa tawanan itu”. ucap prajurit itu sembari menunjuk ke arah rombongan Ki Tunggak Segulung berdiri. “Lalu mereka katanya akan menghadap Ki Patih Singaranu di Kepatihan”.

“Lalu apa yang terjadi?”.

“Mereka….”. ucapan prajurit itu terputus tiba-tiba karena merasa kebingungan apa yang harus dikatakannya.

“Dia mengatakan bahwa kami adalah orang-orang yang sedang mabuk kecubung, sehingga ucapan kami ngayawara dan tidak tahu diri karena ingin menghadap Ki Patih Singaranu”. sahut Nyi Sekar Mirah yang sudah tidak dapat menahan diri.

“Sebagai seorang prajurit, pantang untuk berbohong. Apakah yang dikatakan Nyi Sanak itu benar?”.

Seketika prajurit muda itu langsung pucat mendapat pertanyaan tersebut, karena dia merasa dalam posisi yang serba salah. Dia tidak berani berbohong kepada atasannya tapi disisi lain jika dia berkata jujur maka akan jatuh harga dirinya.

“Em… em…”.

“Apakah atasanmu pernah mengajarkan cara seperti itu ketika menjawab pertanyaan?”.

“Tidak Ki Tumenggung”.

“Sekarang aku tanya kepadamu, apakah kau mengenal orang yang kau hadang perjalanannya ini?”.

Seketika prajurit itu memperhatikan orang-orang yang mereka hadang dengan lebih teliti secara bergantian dengan penuh rasa kebingungan, namun sepertinya dia memang merasa belum pernah mengenal sebelumnya.

Lalu dia hanya dapat menggelengkan kepalanya saja, “Tidak Ki Tumenggung”. ucap prajurit itu pada akhirnya.

“Kemana pemimpin kalian?”.”.

“Ki Lurah sedang tugas nglanglang, Ki Tumenggung”.

Para prajurit yang bertugas memang kebanyakan masih muda, dan belum banyak mengenal seluk beluk dunianya keprajuritan di Mataram. Maka mereka belum disertakan dalam pasukan perang yang melawat ke bang wetan.

“Untunglah kepala kalian masih utuh karena kebodohan kalian ini, apakah kau tahu bahwa perempuan yang kau lawan itu adalah orang yang dulu telah berhasil membunuh Ki Saba Lintang Pemimpin Perguruan Kedung Jati dalam sebuah perang tanding di perang Demak? setelah menjadi buruan Mataram sekian lama?”.

Para prajurit itu seketika menjadi gemetar ketakutan, setelah mengetahui dengan siapakah mereka berhadapan. Tapi apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur.

“Beruntunglah kalian bahwa mereka bukanlah orang-orang yang sombong dan pemarah, segeralah minta maaf kepada mereka agar kalian tetap selamat”.

Segera saja para prajurit yang sebelumnya terlihat sangat deksura tiba-tiba berubah sikapnya setelah mendengar keterangan dari seorang Tumenggung yang sangat mereka hormati.

Ternyata Ki Tunggak Segulung pun pernah mendengar tentang kematian Ki Saba Lintang itu oleh seorang perempuan, tapi baru kali inilah dia dapat bertemu langsung.

“Jadi… jadi… Nyi Sanak inilah yang telah membunuh Ki Saba Lintang? lalu yang dibungkus selongsong itu tongkat baja putih?”. ucap Ki Tunggak Segulung dengan suara bergetar.

“Kalian siapa Ki Sanak?”. justru Ki Tumenggung yang menyahut mendahului Nyi Sekar Mirah yang sudah akan membuka mulut.

“Kami tawanan mereka Ki Tumenggung, dan katanya kami akan diadili di Mataram, makanya kami dibawa kemari”.

“Apakah yang kalian lakukan terhadap mereka bertiga sehingga mereka menangkap dan menawan kalian semua?”.

“Kami berusaha merampok mereka”.

“Merampok? hanya dengan kawan-kawanmu ini?”.

“Demikianlah Ki Tumenggung”.

“Ternyata kau termasuk orang-orang dungu itu, Ki Sanak. Jangankan hanya kalian, pasukan segelar sepapan pun belum tentu mampu menghentikan mereka bertiga. Dan pasti kalian akan lari terbirit-birit pula jika tahu nama besarnya”. ucap Ki Tumenggung sengaja dengan suara lantang agar didengarkan mereka semua.

“Ah… Ki Tumenggung terlalu berlebihan”. sahut Ki Agung Sedayu yang sedari tadi lebih banyak diam.

“Aku berkata sebenarnya Ki Agung Sedayu, tapi itulah yang membedakan kalian dengan orang lain. Justru kalian tidak ingin kelebihan kalian itu diketahui oleh orang lain jika tidak dalam keadaan terpaksa”.

“Aku memang memiliki sedikit bekal kawruh kanuragan, Ki Tumenggung Wirataruna. Namun tidak setinggi seperti apa yang kau katakan itu”.

“Ternyata aku lupa bahwa sedang berhadapan dengan Ki Agung Sedayu, yang selalu berusaha membumi meskipun sudah mampu menggapai bintang di langit”.

“Bukankah memang tidak ada yang pantas untuk kita sombongkan Ki Tumenggung?”.

“Ya.. ya… silahkan jika kalian sekarang ingin melanjutkan perjalanan, karena hambatan itu sudah selesai”.

“Aku mengucapkan terima kasih Ki Tumenggung”.

“Kau tak perlu berterima kasih, lagi pula sebenarnya kau tidak memerlukan bantuanku, tapi kebetulan saja aku lewat jalan ini dan melihat keributan sehingga menarik perhatianku yang awalnya aku tidak tahu menahu perkaranya”.

“Semoga saja Ki Patih Singaranu masih berkenan menerimaku, yang sebenarnya pada waktu yang tidak tepat”.

“Aku rasa Ki Patih Singaranu tidak akan memiliki alasan untuk menolak kedatanganmu kapanpun, Ki Agung Sedayu. Dan tolong sampaikan salam hormatku untuk Ki Patih”.

“Ah…”. sahut ayah Sekar Wangi dengan wajah memerah.

“Baiklah.. aku akan menyampaikan salam hormat itu kepada Ki Patih Singaranu dari Ki Tumenggung Wirataruna”.

Kemudian mereka pun segera membubarkan diri dan berpisah untuk keperluan dan tujuan masing-masing, dan Ki Agung Sedayu akan melanjutkan perjalanannya ke Kepatihan.

Sepertinya perjalanan Ki Agung Sedayu dan rombongan, kali ini tidak menemui hambatan berarti lagi. Sehingga tidak lama kemudian telah sampailah di depan regol Kepatihan.

“Ki Agung Sedayu rupanya, tadi aku kira siapa malam-malam begini datang bersama rombongan. Pasti ada sesuatu yang sangat penting jika melihat waktu kedatanganmu”. berkata prajurit yang sepertinya sudah sangat mengenal tamunya.

“Apakah Ki Patih Singaranu ada?”.

“Ada…”.

“Apakah Ki Patih masih berkenan menerima kedatanganku pada waktu yang tidak sepantasnya ini?”.

“Aku tidak tahu Ki Agung Sedayu, tapi sebaiknya aku sampaikan dulu ke pelayan dalam agar permohonanmu untuk menghadap dapat segera diketahui, untuk hasilnya aku tidak tahu menahu. Tapi aku kira Ki Patih Singaranu tidak akan menolak”.

“Baiklah aku akan menunggu disini dan aku minta tolong kepada kalian bawa para tawanan ini. Mereka adalah para perampok yang meresahkan kawula alit, sehingga aku pikir akan lebih baik jika aku membawanya kemari”.

“Baiklah… silahkan kalian tambatkan kuda disana lebih dulu dan tunggulah”. sahut prajurit itu menunjuk ke arah tempat penambatan kuda bagi para tamu di halaman samping Kepatihan.

Mereka bertiga kini merasa terlepas bebannya karena sudah menyerahkan para perampok itu ke tempat yang tepat, meskipun dalam hati mereka pun menyadari bahwa tidak pernah dapat menumpas segala bentuk kejahatan, tapi paling tidak sudah mengurangi sejauh mereka mampu.

Sembari menunggu, mereka bertiga pun menyempatkan untuk membersihkan diri ala kadarnya agar pada saat menghadap, keadaan mereka sedikit lebih baik.

Kebetulan Ki Patih Singaranu yang masih belum masuk ke biliknya menjadi terkejut ketika Pelayan Dalam datang di waktu yang cukup larut untuk menghadap.

“Ada apa?”.

“Ampun Ki Patih Singaranu, hamba hanya ingin menyampaikan permohonan menghadap dari Ki Agung Sedayu”. ucap Pelayan Dalam itu sembari menghaturkan sembah.

“Ki Agung Sedayu kau bilang?”.

“Benar Ki Patih”.

“Apakah dia datang sendirian?”.

“Tidak Ki Patih, dia datang bersama kedua istrinya dan beberapa orang tawanan”.

“Tawanan?”. desis Ki Patih heran.

“Baiklah… aku tunggu Ki Agung Sedayu dan kedua istrinya di serambi kiri, sementara para tawanan kalian tempatkan dulu di tempat khusus, baru nanti aku akan memutuskan”.

“Sendika dawuh Ki Patih”.

Pelayan Dalam itupun segera undur diri, lalu menyampaikan hasil permohonannya kepada yang berkepentingan yang masih menunggu di luar.

“Permohonan kalian untuk menghadap diterima oleh Ki Patih Singaranu dan kalian ditunggu di serambi kiri, bukankah Ki Agung Sedayu belum lupa letaknya?”.

“Ah… kau pandai sekali menggangguku”. sahut ayah Sekar Wangi sembari tersenyum.

Kemudian mereka pun segera melangkahkan kaki mereka menuju serambi kiri tanpa diantarkan oleh Pelayan Dalam, karena bagi Pelayan Kepatihan Ki Agung Sedayu sudah seperti di rumahnya sendiri sejak Swargi Ki Patih Mandaraka masih ada.

“Ampun Ki Patih, jika kami dengan sangat deksura telah berani mohon menghadap pada waktu yang tidak sepantasnya dan mengganggu waktu istirahat Ki Patih Singaranu”. berkata Ki Agung Sedayu sembari menghaturkan sembah bersama kedua istrinya.

Ki Patih Singaranu tersenyum.

“Ki Agung Sedayu, sekarang ini tidak ada orang lain lagi selain hanya kita berempat, aku minta kau tidak menghormatiku terlalu berlebihan”.

“Bukankah seharusnya memang demikian Ki Patih?”.

“Tapi aku tidak ingin diperlakukan oleh kalian demikian, kecuali dalam acara resmi atau ada orang lain di antara kita. Lagipula aku hanyalah anak padesan yang beruntung saja menerima anugerah kedudukan ini, maka aku tidak ingin lupa diri”.

“Terima kasih atas segala kemurahan hati Ki Patih Singaranu”.

“Sudahlah Ki Agung Sedayu, untuk sementara kita lupakan dulu segala subhasita itu, dan sekarang kita berbincang layaknya kawan lama. Bukankah ini sudah pernah aku sampaikan waktu aku berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh?”.

“Benar.. Ki Patih pernah mengatakannya, tapi aku tidak mau dianggap deksura karena melupakan segala paugeran dan subhasita ketika menghadap priyagung”.

Kemudian pembicaraan mereka saling menanyakan keselamatan lebih dulu sebelum membicarakan inti dari keperluannya masing-masing, sebab mereka sama-sama memiliki keperluan. Tapi pembicaraan itu harus terputus ketika ada Pelayan Dalam memberikan isyarat kepada Ki Patih Singaranu.

“Aku tahu bahwa pembicaraan kita sangat penting, tapi yang lebih penting adalah kita harus mengisi perut kita dulu. Dan aku yakin bahwa kalian tentu tidak mampir di kedai selama dalam perjalanan kemari, marilah kita makan sama-sama di ruang makan”.

Ketiganya saling pandang, meskipun sebenarnya ada rasa sungkan di hati mereka, namun tetap saja mereka tak kuasa untuk menolak ajakan tersebut. Sehingga pembicaraan mereka dilanjutkan sembari menikmati makan malam.

“Marilah kita makan dengan lauk seadanya, kalian tidak perlu sungkan, anggap saja kalian sedang makan bersama kawan. Sembari kita membicarakan keperluan kita masing-masing, tapi sebaiknya aku mendengarkan laporan dari Ki Agung Sedayu lebih dulu”.

Kemudian ayah Bagus Sadewa itupun mulai berbicara tentang apa saja yang terjadi sejak wafatnya Ki Gede Menoreh sembari menyuapi mulutnya.

“Aku turut berbela sungkawa atas wafat Ki Jayaraga, tapi kenapa kalian tidak mengirimkan utusan ke Mataram untuk menyampaikan kabar wafatnya Ki Jayaraga?”.

“Maaf Ki Patih, bukan maksudku mengecilkan arti seorang Ki Jayaraga. Meskipun jasanya bagi Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram tidak terhitung lagi, tapi dia bukanlah orang yang memiliki kedudukan. Sehingga kami tidak berani menyampaikan ini secara resmi ke Mataram”.

“Baiklah.. alasanmu dapat aku mengerti”.

“Lalu aku ingin melaporkan sesuatu yang sangat penting, tapi sebelumnya aku mohon ampun kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma jika apa yang telah aku lakukan itu sangat deksura. Tapi apa yang aku lakukan itu bukan bermaksud untuk menyombongkan diri tapi adalah semata-mata karena aku terpaksa di waktu yang sangat sempit dan dalam keadaan gawat”.

“Memangnya apa yang telah kau lakukan?”.

“Atas kemurahan Yang Maha Welas Asih, aku diperkenankan untuk dapat melihat perang di Wirasaba, sehingga aku dapat memantau jalannya perang antara Mataram dan Wirasaba dari kejauhan”.

“Lalu apa yang terjadi?”.

“Sebenarnya aku tidak merasa berhak untuk ikut campur dalam perang tanding Glagah Putih, namun aku terpaksa melakukannya karena ternyata pada saat-saat terakhir setelah mereka saling beradu ilmu puncak, tiba-tiba ada seseorang yang berusaha menyambar tubuh Glagah Putih yang sudah tak sadarkan diri”.

“Lalu…?”.

“Dengan terpaksa aku harus segera bertindak cepat, tanpa sempat meminta izin Kanjeng Sinuhun yang berada di sekitar arena perang tanding untuk dapat merebut kembali Glagah Putih, tapi karena aku kalah cepat maka aku pun menyambar tubuh Ki Patih Rangga Permana yang sudah tak sadarkan diri pula, tapi akhirnya kami sepakat untuk menukarnya”.

“Lalu kau bawa kemana tubuh Ki Lurah Glagah Putih? kenapa kau tidak merawatnya di tempat perawatan prajurit Mataram seperti yang lain?”.

“Menurut panggrahitaku Glagah Putih sudah terluka sangat parah dan membutuhkan perawatan dengan segera, sehingga aku memutuskan untuk mengamankan dan merawatnya lebih dulu”.

“Apa menurutmu, Tabib Mataram tidak akan ada yang mampu untuk merawat Ki Lurah Glagah Putih?”.

“Maaf Ki Patih, bukan maksudku untuk mengecilkan arti kemampuan para Tabib Mataram, tapi kali ini luka yang diderita Glagah Putih sangat parah, bahkan hingga membuat sukmanya oncat dari tubuhnya”.

“Sukmanya oncat?”.

Ki Patih Singaranu benar-benar terkejut mendengar keterangan tersebut, seandainya saja yang bicara bukan Ki Agung Sedayu maka mustahil baginya untuk dapat percaya begitu saja.

“Benar Ki Patih, sukma Glagah Putih oncat dari tubuhnya. Bahkan aku sempat meminta bantuan kepada Begawan Mayangkara dan dia pun angkat tangan, tapi beruntunglah bahwa dia memiliki kawan yang dapat membantu”.

“Begawan Mayangkara sampai menyerah?”.

“Benar Ki Patih”.

“Lalu siapakah kawan dari Begawan Mayangkara itu?”.

“Itulah masalahnya, Ki Patih. Kawan Begawan Mayangkara itu tidak mau jati dirinya diketahui oleh siapapun, baik dari namanya maupun dia berasal”.

“Aneh.. benar-benar aneh. Lalu bagaimana dengan keadaan Ki Lurah Glagah Putih sekarang?”.

“Atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih melalui lantaran kawan Begawan Mayangkara, sekarang Glagah Putih sudah dapat melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya setelah sukmanya berhasil kembali ke tubuhnya dan meminum obat dari kawan Begawan Mayangkara itu pula, meskipun hingga kini dia belum mampu sadarkan diri tapi hanya tinggal menunggunya saja”.

“Lalu dimana Ki Lurah Glagah Putih sekarang berada?”.

“Kendalisada”.

“Kendalisada? apakah kau tinggal sendirian disana?”.

“Tidak Ki Patih, disana ada Anjani dan Begawan Mayangkara”.

“Lalu kenapa tidak kau tunggui adik sepupumu itu?”.

“Sebab aku harus menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit keras pada umurnya yang sudah semakin sepuh”.





Padepokan tanah Leluhur


Terima Kasih


2 komentar:

  1. Selamat sore ki Jibril. mohon dikirimkan buku PdTL jilid 14 dan 15 ke copas14job@gmail.com. Donasi segera menyusul. Terima kasih kiai

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf Ki Willy, dalam catatan saya, PdTL 14 dan 15 sudah saya kirim ke alamat email panjenengan, tapi mungkin karena suatu sebab tidak masuk.

      untuk mengurangi kesalahan tersebut, coba Ki Willy email ke saya dulu.

      terima kasih.

      🙏🙏🙏

      Hapus