PdTL 06

 





    Udara pagi yang dingin masih menyelimuti seluruh tlatah Tanah Perdikan Menoreh ketika terdengar panggilan kewajiban berkumandang, burung-burung pun serentak seakan ikut terbangun karenanya.

Rumah Nyi Pandan Wangi pun terlihat mulai terlihat para penghuninya yang telah terbangun satu persatu termasuk para tamu dari Kotaraja, yaitu rombongan Ki Patih Singaranu.

Para pembantu yang biasa bekerja di dapur mulai menjadi sibuk karena harus menyiapkan minuman hangat serta makan pagi bagi orang-orang yang berada di rumah tersebut.

Ki Patih Singaranu duduk di pendapa dengan beralaskan tikar daun mendong yang telah dianyam sedemikian rupa setelah selesai menjalankan kewajiban dengan dikawani Ki Agung Sedayu, Ki Untara dan yang lain.

“Alangkah segarnya pagi ini”. berkata Ki Patih Singaranu memulai pembicaraan.

“Apalagi dengan dikawani wedang jahe yang masih hangat alangkah nikmatnya Ki Patih”.

“Benar sekali Ki Untara”.

“Silahkan Ki Patih, mumpung wedang jahenya masih hangat”.

“Terima kasih”. ucap Ki Patih seraya meneguk wedang jahenya yang baru saja disuguhkan oleh pembantu di rumah Nyi Pandan Wangi.

“Maaf Ki Patih, aku ingin bertanya sehubungan dengan nawala yang telah diterima oleh Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung”.

“Apakah yang akan kau tanyakan itu adalah tentang rencana pembentukan Pasukan Khusus Perempuan?”.

“Benar Ki Patih, mumpung aku bertemu dengan Ki Patih aku ingin petunjuk lebih lanjut, agar kami tidak salah dalam mengambil sikap nantinya”.

“Apa yang ingin kau tanyakan Ki Agung Sedayu?”.

“Yang pertama, apakah pasukan yang akan dibentuk itu harus dipimpin oleh perempuan? kedua, apakah pasukan ini akan menjadi bagian resmi dari prajurit Mataram?”. bertanya Ki Agung Sedayu.

“Pertama, sebenarnya pasukan ini tidak wajib untuk dipimpin seorang perempuan, tapi alangkah kurang mapannya jika di antara pasukan perempuan dipimpin oleh seorang laki-laki. Kedua, jika pasukan ini telah siap dibentuk, oleh Panembahan Hanyakrakusuma akan dimasukkan ke dalam anggota prajurit resmi Mataram, agar kesejahteraan bagi mereka tetap terjaga pula”.

“Terima kasih atas petunjuk Ki Patih”.

“Apakah kau sudah mempunyai gambaran?”

“Belum Ki Patih, karena baru kemarin aku mendapat berita ini dan belum sempat membicarakannya, kami telah disibukkan oleh kepergian Ki Gede Menoreh”.

“Maafkan aku Ki Agung Sedayu, kau bicarakan saja masalah ini lain waktu jika suasana di rumah ini sudah membaik, alangkah tidak baik jika kalian membicarakan masalah ini dalam suasana masih berkabung”.

“Baiklah Ki Patih, nanti kami akan mencari waktu yang paling baik untuk membicarakan ini dengan yang lain”.

Dalam suasana pembicaraan yang semakin menarik di pagi yang sangat menyegarkan dengan disertai tetesan embun pagi yang mulai berjatuhan ke bumi, Ki Agung Sedayu yang memiliki kemampuan melebihi orang kebanyakan dari kejauhan sayup-sayup mendengar sebuah suara yang mendayu-dayu.

Sejenak dia mendengarkan suara tersebut dengan seksama tanpa menunjukkan perubahan sikap pada orang-orang di sekitarnya yang nampak belum menyadarinya.

“Maaf Ki Patih, aku ingin ke pakiwan dulu”.

“Silahkan..silahkan…”.

Ki Agung Sedayu lalu bergegas meninggalkan orang-orang yang berada di pendapa tersebut menuju pakiwan yang berada di halaman belakang, tapi sesampainya di dekat pakiwan dia melihat ke sekitarnya untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya.

Ketika menurutnya tidak ada yang memperhatikannya, Ki Agung Sedayu pun segera melompat melewati dinding pembatas rumah dan menghilang.

Sementara itu di sebuah lereng bukit Tanah Perdikan Menoreh yang berada jauh dari pemukiman terdapat seseorang yang sedang memainkan seruling bambunya dengan nada nglangut dan sedih di atas sebuah batu seukuran dua kali kepala kerbau.

Namun tiba-tiba orang itu menghentikan permainan serulingnya ketika menyadari ada seseorang yang datang ke tempat tersebut yang memang sengaja tidak menyembunyikan kedatangannya.

“Aku sudah menduga jika kau akan datang Agung Sedayu setelah mendengar suara serulingku yang jelek”.

“Aku pun telah menduga pula jika yang memainkan seruling itu adalah kau”.

“Aku memang sengaja memainkan seruling ini dengan harapan kau akan datang”.

“Sekarang apa keperluanmu setelah kita bertemu?”.

“Sebelumnya aku minta maaf jika melupakan segala subasitha dengan memanggilmu dengan caraku”.

“Aku tidak mempermasalahkannya”.

“Aku ingin ikut menyampaikan berbela sungkawa atas kepergian paman Argapati. Sebenarnya kemarin aku ingin menyempatkan datang saat penyelenggaraan pemakaman paman, tapi niat itu aku urungkan setelah aku melihat banyak orang yang tidak aku kenal”.

“Terima kasih, tidak apa-apa jika kau memang merasa berat untuk melakukannya, aku pun bisa memakluminya. Lagipula sama saja sekarang kau telah menyampaikannya kepadaku”.

“Kau jangan salah sangka kepadaku Agung Sedayu, aku tidak pernah keberatan jika harus bertemu dengan mereka, tapi aku hanya tidak yakin jika mereka akan mengenalku, sehingga aku hanya akan menjadi orang asing disana, selain itu aku juga menduga bahwa kau pasti menjadi sibuk karena kepergian paman”.

“Mereka pasti akan mengenalimu”.

“Mereka mengenalku bukan karena mereka benar-benar mengenalku, tapi pasti karena bayang-bayang Swargi Ayah, dan itu yang aku tidak mau”.

Ki Agung Sedayu hanya bisa menarik nafas beberapa kali setelah mendengar jawaban dari orang yang berada beberapa langkah di depannya tersebut.

“Secara lahir aku memang ingin mengucapkan bela sungkawa kepadamu Agung Sedayu, tapi perlu kau tahu bahwa secara batin aku justru merasa bahagia dengan kepergian paman Argapati, dengan begitu dia telah menemukan kebahagiaannya yang sejati tanpa harus mengotori tangannya lagi dengan mengatasnamakan menegakkan paugeran yang berlaku menurut pandangan kalian sendiri”.

“Pandangan hidup kita memang berbeda, bukankah kau sudah mengetahuinya pula?”.

“Pandangan hidup kalian memang terlalu picik, kalian ingin menggapai hidup penuh dengan kedamaian tapi kalian sendiri semakin meruncingkan senjata kalian dan meningkatkan kemampuan kanuragan kalian hanya untuk saling membunuh sesama dengan mengatasnamakan menegakkan paugeran”.

Kata-kata itu membuat Ki Agung Sedayu merasa seakan-akan sedang di tempat yang serba salah apa yang dilakukannya, dia membenarkan kata-kata tersebut, tapi disisi lain dia juga merasa tidak bisa tinggal diam ketika ada gejolak di hadapannya, apalagi yang mengganggu kepentingan sesama.

Ki Agung Sedayu membayangkan betapa indahnya hidup ini dan penuh kedamaian jika di antara sesama bisa hidup berdampingan, bisa saling menghargai dan saling menghormati tanpa merusak kepentingan hidup bebrayan, bisa saling asah asih asuh kepada siapapun dan dimanapun.

Seketika lamunan ayah Bagus Sadewa itu buyar karena orang di hadapannya kembali bicara.

“Berapa banyak anak yang kehilangan ayahnya? berapa banyak perempuan yang menjadi janda karena kehilangan suaminya? berapa banyak keluarga yang telah kehilangan sanak-kadangnya karena telah kalian bunuh?”.

Sekali lagi salah satu murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu tidak tahu harus menjawab apa, kata-kata itu benar-benar menusuk hingga ke jantungnya.

“Setelah semua itu terjadi, aku yakin jika kalian pasti akan membela diri dengan mengatasnamakan menegakkan paugeran, tapi paugeran itu kalian sendiri yang membuatnya dan bukanlah paugeran dari Yang Maha Adil serta Maha Welas Asih”.

“Kami membunuh mereka hanya jika benar-benar dalam keadaan terpaksa, karena jika kami tidak melakukannya maka mereka akan merusak paugeran bebrayan yang jauh lebih besar”.

“Sampai kapan itu akan selesai jika kalian masih tetap berdiri pada kebenaran masing-masing? apakah kalian akan menunggu hingga semua orang habis karena saling membunuh?”.

Sejenak tidak ada yang membuka suara karena sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Semakin kita merasa benar, disitulah kesalahannya”.

Ki Agung Sedayu benar-benar tidak mampu untuk menjawab lagi, sejenak suasana menjadi hening, hanya sekumpulan burung-burung liar yang hinggap dan berterbangan saja yang tetap bersuara dengan riangnya.

“Sudahlah, aku harus pergi. Tidak ada gunanya aku berlama-lama berada disini, lagipula tamumu pasti sudah menunggu. Sampaikan saja salamku kepada mbokayu, aku minta maaf jika tidak dapat datang menemuinya dan tolong sampaikan bahwa aku ikut berbela sungkawa atas kepergian paman Argapati”.

Tanpa menunggu jawaban orang itu pun pergi meninggalkan tempat itu dengan membawa seruling bambu kesayangannya, dan menghilang di balik pategalan yang rapat.

“Baiklah, nanti akan aku sampaikan”. berkata Ki Agung Sedayu sebelum orang tersebut benar-benar menghilang dari pandangan mata wadag.

Ki Agung Sedayu hanya memandangi kepergian orang itu dengan termangu-mangu, berbagai perasaan menghinggapinya setelah mendengar kata-kata orang tersebut.

Tidak lama kemudian setelah orang itu benar-benar pergi, Ki Agung Sedayu memutuskan untuk segera pulang ketika matahari telah terbit beberapa saat tadi dan menemui tamu-tamunya yang masih berada di rumah kembali.

Ternyata tidak ada yang menyadari kepergian dan kedatangannya kembali, maka segera saja dia kembali ke pendapa.

“Maaf Ki Patih jika aku terlalu lama”.

“Tidak apa-apa Ki Agung Sedayu”. jawab Ki Patih Singaranu sembari tersenyum.

Tapi pembicaraan yang akan dilanjutkan kembali segera terputus karena datang seorang pembantu yang memberitahukan jika makan pagi sudah siap.

“Baiklah mbok, bawa saja kemari”. jawab ayah Bagus Sadewa.

Lalu pembantu tersebut bergegas ke dapur lalu kembali lagi bersama beberapa kawan untuk membawa makan pagi bagi semua orang yang berada di pendapa.

“Marilah Ki Patih dan rombongan, kita makan pagi bersama-sama meskipun hanya makanan seadanya orang-orang padesan”. berkata Ki Agung Sedayu mempersilahkan para tamunya untuk segera menikmati makan pagi yang telah disuguhkan.

“Ah…kami orang padesan pula Ki Agung Sedayu”. berkata Ki Patih Singaranu menimpali.

Kemudian orang-orang yang berada di pendapa tersebut menikmati makan pagi bersama-sama, seperti tanpa terlihat adanya perbedaan antara orang paling penting kedua Mataram setelah Panembahan Hanyakrakusuma dengan para kawula Tanah Perdikan Menoreh.

“Alangkah nikmatnya makan pagi kali ini, sudah lama sekali aku tidak makan ikan asin dan sayur urap, apalagi bumbu urapnya disertai ulekan daun jeruk wangi, betapa nikmatnya”.

“Syukurlah jika Ki Patih menyukainya”. Ki Untara menimpali.

“Makanan seperti ini sangat melekat pada waktu aku kecil, bahkan terkadang biyungku memasak seperti ini serta membuat nasi jagung, setelah membeli gerit di pasar”.

“Sesekali kami pun memasak nasi jagung pula Ki Patih”. jawab Ki Untara yang mulai menyuapi mulutnya dengan makanan.

Pembicaraan mereka terputus karena mulut mereka mulai sibuk mengunyah makanan yang disuguhkan oleh para pembantu rumah Nyi Pandan Wangi.

Setelah mereka benar-benar selesai makan, maka barulah mereka melanjutkan pembicaraan sembari sesekali diselingi dengan kelakar untuk lebih mencairkan suasana.

“Maaf Ki Patih, bagaimana dengan pasukan Mataram yang melawat ke bang wetan?”. bertanya Ki Agung Sedayu.

“Panembahan Hanyakrakusuma yang tidak mau menemui kegagalan kembali seperti waktu penaklukan ke Kadipaten Surabaya, maka Kanjeng Sinuhun sendiri yang memimpin pasukan tersebut”.

“Kanjeng Sinuhun Mataram yang sekarang memang adalah orang yang sangat keras hatinya dalam meraih gegayuhannya, dan dia tidak mau hanya dianggap bisa memberikan perintah saja, tapi juga ingin membuktikan bahwa dia juga bisa membuktikannya kepada seluruh kawulanya di seluruh tlatah Mataram”. berkata Ki Untara ikut menimpali.

“Ki Untara benar, meskipun sebenarnya beberapa petinggi Mataram sudah berusaha mengingatkannya untuk tidak turun langsung ke medan, tapi sepertinya Panembahan Hanyakrakusuma tidak dapat dicegah”. ucap Ki Patih lalu menggelengkan kepalanya perlahan.

“Aku rasa dia lebih mirip dengan kakeknya secara watak, seseorang yang mempunyai gegayuhan tinggi dan tidak dapat dicegah jika sudah mempunyai sebuah gegayuhan”.

“Aku rasa juga begitu Ki Untara”.

“Ki Agung Sedayu, jika keadaannya sudah memungkinkan aku tunggu kedatanganmu di Istana Kepatihan, karena ada tugas yang telah menantimu”.

“Baik Ki Patih, nanti setelah acara tujuh hari kepergian Ki Gede Menoreh aku akan segera menghadap ke Kepatihan”. jawab Ki Agung Sedayu sembari menarik nafas dalam-dalam.

Ayah Bagus Sadewa tersebut merasa tugas-tugas yang dibebankan di pundaknya tidak pernah ada habisnya, bahkan semakin lama justru terasa semakin berat.

Meskipun Ki Patih Singaranu belum memberikan keterangan terkait tugas apa yang telah menantinya, tapi dia serba sedikit sudah dapat meraba tugas apa yang akan diembannya.

“Terima kasih, aku tahu jika kau pasti sudah dapat menduga tugas apa itu, karena memang tidak ada orang lain lagi yang dapat mengemban tugas ini sebaik dirimu”.

“Ki Patih terlalu berlebihan, semua prajurit pasti bisa pula untuk melaksanakan tugas itu”.

“Kau benar, semua prajurit tentu dapat melaksanakannya, tapi hasilnya tidak akan sebaik jika kau yang melaksanakan tugas tersebut”.

“Semoga saja aku dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya Ki Patih”. jawab Ki Agung Sedayu pada akhirnya.

“Sebentar aku akan kembali ke Mataram”.

“Begitu tergesa-gesa Ki Patih?”. bertanya Ki Untara.

“Sebenarnya aku sangat senang bisa berlama-lama berada disini, tapi keadaan tidak memungkinkan karena tugas-tugasku yang lain sudah menunggu.”.

“Kami sangat menyadari jika Ki Patih pasti mempunyai kesibukan yang luar biasa, dengan menyempatkan waktunya untuk bisa datang kemari saja kami sudah sangat berterima kasih”. ayah Bagus Sadewa menimpali.

*  *  *

Sementara itu Ki Wiguna dan kawan-kawannya sedang berbincang di rumah yang sama pada waktu dia datang pertama kali di Kadipaten Wirasaba sembari menikmati minuman hangat tanpa sepotong makanan.

“Ki Wiguna, berdasarkan laporan prajurit yang bertugas pasukan Mataram segelar sepapan paling lambat akan tiba di Wirasaba besok lusa”.

“Siapa yang menjadi Senopati Agung pasukan itu?”.

“Ki Tumenggung Suratani dari Kesatuan Pasukan Khusus yang berkedudukan di Menoreh”. jawab Ki Lurah Jatisrana.

“Kita harus selalu membuat hubungan dengan mereka agar tidak terjadi kesalahpahaman atau bahkan tumpang suh nantinya”.

“Kami mengerti Ki Wiguna”. jawab Ki Jalasara.

“Serta jangan lupa pula kalian berikan laporan tentang keadaan dan perkembangan terakhir yang kita dapat selama berada disini”.

“Baik Ki Wiguna, apakah ada pesan lain yang harus kami sampaikan?”. bertanya Ki Lurah Jatisrana.

“Aku rasa sementara itu dulu, laporan lain akan menyusul segera sehubungan dengan perkembangan yang ada”.

“Berdasarkan laporan yang aku terima sepertinya Wirasaba benar-benar ingin memukul mundur pasukan Mataram”. Ki Surata ikut menimpali.

“Pasukan Wirasaba pasti akan bela pati kepada daerah kelahirannya serta pemimpinnya”.

“Lagi pula mana ada daerah yang bersedia menjadi daerah taklukkan dengan suka rela? karena pikiran semua orang pasti akan hidup sengsara jika hidupnya menjadi bagian dari daerah taklukkan itu sendiri”.

“Ki Wiguna benar”. Ki Jalasara menimpali.

“Aku jadi teringat, dulu Tanah Perdikan Menoreh juga sering mendapat serangan dari pihak-pihak yang berseberangan dengan Mataram sebagai pancadan untuk menggoyang kewibawaan Mataram, beruntunglah Yang Maha Agung masih melindungi kami semua”.

“Jika aku tidak salah dengar, dulu Tanah Perdikan Menoreh adalah daerah yang sangat kuat, selain para pasukan pengawalnya yang mumpuni disana terdapat pula barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu sebelum dia mendapat hukuman karena dianggap membuat sebuah kesalahan yang sangat besar”. ucap Ki Surata.

“Meskipun aku belum pernah mengenalnya secara pribadi, tapi berdasarkan cerita dari mulut ke mulut pemimpin Pasukan Khusus yang dulu mempunyai kemampuan di luar penalaran kita semua”. Ki Jalasara menimpali.

“Bukankah Ki Wiguna juga berasal dari Tanah Perdikan Menoreh, apakah kalian masih ada hubungannya?”. bertanya Ki Surata yang memang belum terlalu mengenal Ki Wiguna.

“Dia adalah kakak sepupuku, sekaligus guruku”.

“He…jadi kau adalah muridnya?”. bertanya Ki Surata terkejut, begitu pula dengan yang lain.

Karena yang orang-orang itu tahu, mereka hanya mempunyai hubungan sebagai saudara saja tanpa tahu jika keduanya juga mempunyai hubungan sebagai guru dan murid.

“Nama Ki Agung Sedayu semakin kawentar di bang wetan sejak kejadian di Istana Mataram pada saat Raden Mas Rangsang akan naik tahta, karena dengan adanya kejadian itu telah membuat murka Kanjeng Ratu Lung Ayu”.

“Kau benar, meskipun pada dasarnya kakang Agung Sedayu tidak ada niat sebiji sawipun untuk menjatuhkan kewibawaan Mataram apalagi untuk memberontak, tapi memang apa yang telah dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang sangat besar. Beruntunglah ada beberapa petinggi Mataram yang tetap membelanya sehingga hukuman yang diterimanya tidak seberat yang seharusnya”.

“Ki Wiguna benar, jika yang melakukan itu bukanlah Ki Agung Sedayu akan beda lagi ceritanya, karena para petinggi Mataram pasti mempertimbangkan jasa-jasa besarnya kepada Mataram yang tidak terhitung”.

“Jika aku tidak salah, gurunya yang dulu dikenal sebagai Orang Bercambuk aku rasa juga ikut berjasa memperingan hukuman tersebut, karena gurunya semasa hidupnya sangat berjasa pula atas tegaknya Mataram pada saat-saat awal berdiri”. ucap Ki Lurah Jatisrana ikut menimpali.

“Aku juga dulu sering mendengar cerita dari orang-orang tua bahwa Orang Bercambuk adalah orang yang berilmu sangat tinggi, bahkan aku pernah mendengar tapi aku sendiri tidak tahu benar atau tidaknya jika kemampuan Orang Bercambuk itu masih di atas Panembahan Senopati yang kawentar dengan ilmunya yang tak terbatas, tapi dia tidak pernah mau menyombongkan diri”.

“Aku pernah mendengarnya pula Ki Jalasara”. ucap Ki Jatisrana.

“Kyai Gringsing memang adalah orang yang aneh”.

“Oh iya, aku baru ingat jika Orang Bercambuk itu disebut pula sebagai Kyai Gringsing”. ucap Ki Jalasara.

“Dan aku merasa beruntung bisa bertemu bahkan bekerja sama dengan murid orang linuwih tapi selalu bersikap andap asor”.

“Yang mempunyai kelebihan adalah mereka, bukan aku”. ucap Ki Wiguna yang merasa namanya disebut.

Orang-orang yang mendengar ucapan ayah Arya Nakula tersebut hanya tertawa.

“Apakah ada yang salah pada diriku”.

“Tidak Ki Wiguna, tapi kamilah yang bersalah”. jawab Ki Jatisrana yang kemudian kembali tertawa.

“Pantas saja aku sering mendengar namamu sering disebut oleh para perwira tinggi di Mataram”. berkata Ki Jalasara.

“Mungkin hanya kebetulan saja namaku disebut Ki Jalasara”. Ki Wiguna menimpali.

“Ah… mana mungkin hanya sebuah kebetulan?”. ucap Ki Jalasara yang kemudian tertawa masam.

“Secara pangkat keprajuritan memang tidak lebih dari seorang Lurah prajurit, tapi kemampuannya bisa disejajarkan dengan para Tumenggung terbaik”. ucap Ki Lurah Jatisrana.

“Ah… kalian terlalu ngayawara rupanya, aku tidak pernah merasa lebih baik dari kalian yang ada disini”. ucap Ki Wiguna yang merasa pakewuh karena namanya selalu disanjung.

“Tapi yang membuatku heran, dengan kemampuan yang kau miliki, kau masih saja berpangkat Lurah, Ki Wiguna”.

“Aku tidak pernah memikirkan itu Ki Lurah Jatisrana, aku hanya berusaha menjalankan kewajibanku dengan sebaik-baiknya”.

“Ki Lurah Jatisrana benar, aku pun baru menyadarinya”. ucap Ki Jalasara menimpali.

*  *  *

Sementara itu di Kotaraja Kadipaten Wirasaba semakin banyak orang yang berdatangan sehubungan dengan adanya rencana penyerangan pasukan Mataram.

Seluruh pasukan dipusatkan di Kotaraja, selain itu juga beberapa padepokan telah memenuhi permintaan Kanjeng Adipati Wirasaba untuk bersama-sama melawan Mataram.

Para perwira prajurit  yang bertugas menerima kedatangan para tamu semakin menjadi sibuk karenanya, prajurit dan orang-orang dari padepokan ditempatkan di tempat berbeda agar lebih mudah untuk mengaturnya.

“Kanjeng Adipati sangat berterima kasih sekali atas kesediaan kalian semua untuk memenuhi undangannya. Silahkan kalian untuk sementara menempati tempat yang telah disediakan”. ucap seorang perwira prajurit. “jika kalian memerlukan sesuatu silahkan hubungi prajurit yang bertugas”.

“Kapan pasukan Mataram akan tiba?”. bertanya orang yang bertubuh agak gemuk dengan kumis dan jambang yang melintang.

“Berdasarkan laporan, kemungkinan pasukan Mataram akan tiba di Wirasaba besok lusa”. jawab prajurit yang bertugas.

“Aku rasa Mataram keladuk wani kurang deduga dengan menyerang Kadipaten Surabaya dan Kadipaten Wirasaba”.

“Apa alasanmu bisa berkata seperti itu Ki Cangkring Giri?”. ucap seorang yang berumur lebih dari separuh baya.

“Mataram tidak pernah melihat kekuatan kita secara keseluruhan, bukankah mereka telah mengalami beberapa kali kegagalan pada saat berusaha menaklukkan Surabaya dan pada akhirnya pasukan Mataram itu melarikan diri dalam keadaan tercerai-berai Kyai Maruta?”.

“Aku mendengar berita itu pula, tapi aku rasa Mataram mempunyai perhitungannya sendiri sehingga masih berani untuk menyambangi daerah kita ini”.

“Tapi perhitungan yang tanpa didasari pengetahuan tentang kekuatan lawan, bukankah itu sama artinya dengan membunuh diri? apalagi aku dengar pasukan Mataram itu sekarang hanya dipimpin oleh seorang Tumenggung?”. jawab Ki Cangkring Giri.

“Semoga saja kita bisa mengusir mereka dan membuat mereka jera untuk mengusik daerah kita ini”.

“Aku tidak pernah mempersoalkan siapa pun lawanku, karena aku yakin aku tetap bisa mengalahkan lawanku meskipun Panembahan Hanyakrakusuma sekalipun yang turun ke medan”. ucap seseorang yang bertubuh kekar dengan kumis melintang tanpa jambang.

Orang-orang yang mendengar ucapan orang tersebut sejenak memandanginya.

“Apakah kalian meragukan kemampuan ilmuku?”.

“Tidak Ki Alap-alap Jati Ombo”. jawab Kyai Maruta dengan senyum masam.

“Kita memang harus membuat pasukan Mataram menjadi jera, agar mereka tahu siapa kita”. ucap Ki Cangkring Giri menimpali.

“Aku sudah tidak sabar ingin membantai pasukan Mataram yang sombong itu, tindakan mereka sudah menyinggung harga diriku sebagai pemimpin padepokan di daerah ini”.

“Bukan hanya kau saja yang merasa di rendahkan oleh Mataram Ki Alap-alap Jati Ombo, tapi kita semua kawula Wirasaba”.

Pembicaraan mereka kemudian terputus saat seorang perwira prajurit datang dan memberitahukan bahwa nanti siang selepas matahari melewati puncaknya, semua pemimpin padepokan diperintahkan untuk berkumpul di ruang paseban oleh Kanjeng Adipati.

“Kami akan datang”. berkata Kyai Maruta mewakili orang-orang yang hadir di tempat itu.

Setelah prajurit yang baru saja datang merasa telah melaksanakan tugasnya, disertai para perwira prajurit yang lebih dulu berada di tempat itu segera meninggalkan barak untuk memberikan kesempatan mereka untuk beristirahat sebelum mereka menghadiri undangan Kanjeng Adipati di ruang paseban.

Para pemimpin padepokan itu pun kemudian tidak lagi melanjutkan pembicaraan karena kesibukan masing-masing, apalagi bagi mereka yang baru saja datang.

Pada waktu yang telah ditentukan, semua orang yang mendapat undangan Kanjeng Adipati telah berkumpul di ruang paseban tanpa terkecuali.

Para pemimpin padepokan beserta senopati prajurit dari berbagai kesatuan telah berkumpul untuk mendengarkan petunjuk-petunjuk yang diperlukan.

Kanjeng Adipati lalu berdiri di depan dampar kencananya untuk memberikan sesorah.

“Aku mengucapkan selamat datang kepada semua orang yang telah bersedia datang memenuhi undanganku, dan tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada semua pemimpin padepokan yang bersedia membantu Kadipaten Wirasaba yang akan menghadapi kesulitan sehubungan dengan penyerangan pasukan Mataram yang segelar sepapan untuk merebut kekuasaan dari tanganku”.

Semua orang-orang yang hadir hanya diam saja mendengarkan sesorah itu.

“Tahta yang aku terima dengan syah dari yang berhak, tiba-tiba saja akan direbut oleh penguasa dari Mataram dengan jalan peperangan”.

Sejenak Kanjeng Adipati terdiam sembari memandangi setiap orang yang hadir di ruangan.

“Meskipun aku adalah pemangku jabatan tertinggi di Wirasaba ini, tapi aku pun menyadari segala kekuranganku dan tanpa aku sebut kalian pun pasti sudah mengetahuinya. Maka dari itu untuk menghadapi serangan pasukan Mataram, Senopati Agung aku limpahkan kepada Paman Patih Rangga Permana”.

Masih belum ada suara dari  semua yang hadir untuk menanggapi ucapan pemimpin tertinggi Kadipaten Wirasaba tersebut.

“Untuk selanjutnya aku persilahkan Paman Patih Rangga Permana untuk menyampaikan segala petunjuk dan apa yang sebaiknya yang kita lakukan untuk menyongsong pasukan Mataram”.

Ki Patih Rangga Permana yang merasa telah ditunjuk oleh Kanjeng Adipati segera berdiri.

“Terima kasih Kanjeng Adipati”. berkata Ki Rangga Permana sembari membungkukkan badannya dan menghaturkan sembah ke arah kemenakannya tersebut sebelum berdiri.

Kanjeng Adipati menanggapinya dengan menganggukkan kepalanya sekali.

“Aku juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Ki Sanak semua yang telah bersedia datang memenuhi permintaan Kanjeng Adipati untuk menghadapi serangan pasukan Mataram secara bersama-sama”.

Suasana nampak hening sejenak ketika Ki Patih Rangga Permana mengedarkan pandangan matanya ke setiap orang yang hadir, Setelah menarik nafas dalam beberapa kali baru dia melanjutkan.

“Berdasarkan laporan terakhir prajurit sandi, pasukan Mataram akan tiba di Wirasaba besok lusa, aku harap kita sudah benar-benar bersiap pada saat itu tiba. Semoga kita bisa mempertahankan daerah ini dan bisa memukul mundur pasukan Mataram secara bersama-sama. Apakah ada pertanyaan?”.

“Ampun Ki Patih” berkata seorang prajurit sembari menghaturkan sembah, “dimanakah kita akan menghadapi pasukan Mataram? apakah kita akan benar-benar menyambut mereka dari balik dinding Kotaraja?”.

“Sebenarnya aku sudah akan mengatakannya tapi kau sudah lebih dahulu bertanya Ki Tumenggung Ganggasura. Jika berdasarkan pertimbanganku sebaiknya kita menyambut pasukan Mataram di luar dinding Kotaraja, karena aku tidak ingin melihat semua bangunan di seluruh Kotaraja yang telah dibangun dengan susah payah harus dikorbankan dalam peperangan ini”.

“Aku sependapat dengan Paman Patih, Kadipaten kita yang megah ini tidak layak dikorbankan untuk ketamakan Mataram, lagipula aku tidak rela jika peninggalan Ayahanda ini harus mengalami kehancuran”.

“Sebaiknya kita memang menentukan wilayah yang layak untuk dijadikan tempat garis peperangan, paling tidak beberapa ratus tombak dari Kotaraja”. 

“Ampun Ki Patih, beberapa ratus tombak di luar dinding Kotaraja ada padang rumput yang luas dan gersang pada musim kemarau seperti ini dekat pinggir hutan kecil sebelah timur Kademangan Majasanga yang mungkin bisa kita jadikan tempat untuk membuat garis peperangan”.

“Aku juga berpendapat demikian Ki Tumenggung Randuwana, maka dari itu hari ini setiap pemimpin pasukan aku kumpulkan untuk mempersiapkan semuanya. Dan menurut perhitunganku pasukan Mataram yang besok lusa akan tiba tidak akan langsung menabuh bende peperangan sehingga kita cukup waktu untuk membuat segala persiapan”.

Ki Patih Rangga Permana terdiam sejenak lalu lanjutnya, “aku minta dari semua padepokan yang membantu pasukan Wirasaba dapat menyesuaikan diri dalam perang gelar dan mematuhi segala perintah dari Senopati Agung, sehingga tidak menjadi perang brubuh yang nantinya justru akan merugikan kita semuanya”.

Beberapa pemimpin padepokan sempat saling berbisik setelah mendengar ucapan Ki Patih Rangga Permana, tapi entah apa yang mereka bicarakan.

“Aku menyadari jika kalian yang bukan berasal dari lingkungan prajurit tidak terbiasa dengan perang gelar, meskipun tidak semuanya. Tapi semua ini harus kita lakukan untuk kepentingan bersama, jika ada kendala sebaiknya kalian sampaikan saja untuk kita cari bersama-sama cara penyelesaiannya”.

“Ampun Ki Patih, aku memang tidak terbiasa dengan lingkungan keprajuritan dan perang gelar, maka dari itu aku tidak mau dibuat pening sendiri karena memikirkan gelar perang sehingga justru akan membuatku lupa untuk mengalahkan lawan sebanyak-banyaknya”.

“Aku sudah memikirkan hal itu Ki Alap-alap Jati Ombo”. Ki Patih Rangga Permana lalu berkata seterusnya kepada semua yang hadir.

“Setiap pemimpin padepokan yang terjun ke medan perang akan selalu didampingi seorang senopati prajurit yang telah lebih berpengalaman dalam perang gelar agar bisa selalu mengingatkan apa yang harus dilakukan jika orang-orang yang berada di dalam pasukannya melakukan kesalahan, serta sebagai penyambung lidah atas perintah dari Senopati Agung jika nantinya ada perubahan di medan secara tiba-tiba”.

Semua orang yang mendengar keterangan Ki Patih Rangga Permana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mereka mengerti apa yang harus dilakukan saat perang melawan Mataram benar-benar pecah.

“Untuk sementara kita belum dapat menentukan gelar perang apa yang akan kita pakai untuk menghadapi Mataram, karena kita harus menunggu laporan terakhir dari para prajurit sandi yang telah disebar di bawah pimpinan Ki Tumenggung Randuwana”.

“Hamba rasa itu adalah keputusan yang paling bijaksana Ki Patih”. Ki Tumenggung Ganggasura.

“Sebaiknya perhatian kita sekarang dipusatkan pada persiapan pasukan kita di sebelah timur Kademangan Majasanga. Kita harus membuat perkemahan sementara di daerah tersebut beserta mempersiapkan segala macam senjata yang diperlukan”.

Semua orang yang hadir hanya terdiam, tanda setuju.

“Ki Tumenggung Ganggasura, perintahkan kepada para prajurit untuk mempersiapkan segala sesuatu yang kita perlukan di sebelah timur Kademangan Majasanga, dan jangan lupa selalu laporkan perkembangan yang terjadi agar aku bisa selalu memantaunya”.

“Sendika dawuh Ki Patih”. jawab Ki Tumenggung Ganggasura sembari menghaturkan sembah.

“Aku rasa pertemuan kali ini cukup sampai disini, untuk selanjutnya bisa saja ada perintah dengan tiba-tiba tergantung dengan perkembangan yang ada”.

*  *  *

Sementara malam itu di Tanah Perdikan Menoreh mulai nampak diselimuti kegelapan, lampu-lampu minyak mulai terlihat menyala di rumah-rumah yang berpenghuni, banjar-banjar padukuhan, serta di gardu-gardu peronda.

Suasana terlihat lebih sepi dibandingkan dengan hari-hari biasanya, selain karena banyaknya para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ikut bertugas melawat ke bang wetan, suasana kepergian Ki Gede Menoreh, atau yang pada masa mudanya lebih dikenal sebagai Arya Teja masih menimbulkan rasa kesedihan dan prihatin bagi seluruh kawula Menoreh.

Tapi semua itu tidak membuat para pengawal menjadi lengah dan melupakan tugas-tugasnya, mereka tetap menjalankan tugas mereka masing-masing dengan sebaik-baiknya.

Hanya rumah Swargi Ki Gede Menoreh saja yang masih nampak terlihat banyak orang, selain pihak keluarga yang sedang berkumpul karena banyak pula kawula Menoreh yang merasa memerlukan datang untuk menyatakan turut berduka meskipun Ki Argapati sendiri telah dimakamkan.

Meskipun orang-orang yang datang tidak sebanyak pada waktu kepergian Ki Argapati, namun di pendapa masih cukup banyak pula orang yang memerlukan datang, tapi kebanyakan para bebahu Tanah Perdikan Menoreh dan sesepuh saja.

Ki Agung Sedayu beserta keluarga dari Jati Anom mengawani para tamu yang sedang berkumpul di pendapa tersebut dengan disuguhi minuman hangat dan beberapa potong makanan sembari membicarakan apa saja tentang hal-hal yang menarik bagi mereka.

“Sepertinya sekarang kita tidak perlu khawatir lagi ketika memasuki musim kemarau jika kita bekerja di sawah, karena air dari bendungan Pucung itu sudah sangat memadai, meskipun kadang kita harus bergantian untuk mengairinya”. berkata seorang yang berumur lebih dari paruh baya.

“Kakang benar, ternyata bendungan Pucung yang dulu pernah mendapat gangguan dari Ki Tumenggung Wirataruna yang akan membuat sendang buatan di pesanggrahan barunya, tapi sekarang sudah tidak terganggu lagi oleh hal-hal yang serupa, kita hanya tinggal merawatnya dan sesekali memperbaiki jika ada kerusakan yang timbul kemudian”. sahut orang yang gemuk.

“Bendungan Pucung memang memberikan arti yang sangat penting bagi bidang pertanian di tlatah Menoreh dan sekitarnya”.

Tapi para tamu yang berada di pendapa tidak berlangsung lama, karena mereka menyadari jika mereka harus memberikan waktu untuk beristirahat bagi pemilik rumah yang sedang berduka, dan ketika memasuki penghujung wayah sepi wong, para tamu segera meminta diri dengan berbagai alasan.

“Maaf Ki Agung Sedayu, berhubung waktu sudah semakin malam kami minta diri, lagipula kalian juga memerlukan waktu istirahat. Jika kami berada disini sepanjang malam maka hanya akan mengganggu waktu istirahat kalian yang tentu sudah sangat lelah”. berkata salah seorang bebahu yang mewakili kawan-kawannya.

“Begitu tergesa-gesa? kami sekeluarga justru mengucapkan terima kasih atas kedatangan kalian, dengan begitu kami bisa sedikit melupakan kesedihan”.

“Tapi sebaiknya kita lanjutkan besok lagi”.

“Ya baiklah, sekali lagi kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas semuanya”.

“Kau tidak perlu berterima kasih, bukankah disini kami hanya menghabiskan minuman hangat dan beberapa potong makanan?”. kemudian orang itu tertawa, yang mendengarnya pun ikut tertawa pula.

Sejenak kemudian para tamu itu pun benar-benar minta diri semua, yang masih tinggal hanya pihak keluarga, para pembantu dan para pengawal yang bertugas.

Keluarga dari Jati Anom dan saudara-saudara angkat  Nyi Lurah Glagah Putih malam itu dipersilahkan untuk beristirahat di beberapa gandok sebelah kanan dan kiri yang masih kosong.

Arya Nakula pun ikut bermalam pula di salah satu gandok yang kosong bersama dengan kakak sepupunya, kali ini dia tidak menjadi terkejut lagi jika tidur bersama Bagus Sadewa, karena tidak seperti di Padepokan Orang Bercambuk yang terdapat Lodra.

“Sekarang aku tidak lagi merasa cemas atau bahkan ketakutan pada saat tidur bersama kakang”. ucap Arya Nakula.

Bagus Sadewa pun mengerutkan keningnya sembari memandangi adik sepupunya tersebut.

Arya Nakula yang melihat sikap kakak sepupunya itu menjadi tertawa. Lalu katanya, “Karena kakang tidak mengajak Lodra serta, sehingga aku bisa tidur nyenyak tanpa dibayangi kecemasan ataupun ketakutan”.

“Apakah kau tidak menjadi ketakutan jika aku tiba-tiba menerkammu seperti Lodra pada saat kau tidur nyenyak?”.

“Apakah kakang berkata sebenarnya?”.

Sekarang justru Bagus Sadewa lah yang tertawa mendengar tanggapan adik sepupunya.

“Ah…ternyata kakang hanya menggangguku”. sahut Arya Nakula dengan wajah bersungut-sungut.

“Sudah malam, tidurlah”. ucap Bagus Sadewa tersenyum.

“Aku juga akan tidur, lagipula aku memang sudah lelah”.

Kemudian keduanya pun segera merebahkan tubuh mereka di atas amben yang beralaskan tikar daun mendong yang dianyam secara khusus.

Sementara di ruang dalam, tepatnya di salah satu bilik masih ada suara orang yang masih berbincang meskipun dengan suara perlahan, agar tidak mengganggu yang lain yang akan beristirahat.

“Silahkan kalian jika akan beristirahat lebih dahulu aku yang akan menjaga Sekar Wangi disini”. ucap Nyi Anjani sembari merebahkan dirinya di samping Sekar Wangi yang sudah tertidur dengan pulasnya.

Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah saling pandang.

“Bukankah kalian bisa beristirahat di bilik sebelah, seperti mbokayu Pandan Wangi semalam?”. ucap Nyi Anjani lagi dengan senyum menggoda.

“Aduh…” suara Nyi Anjani mengaduh setelah sebuah cubitan dari Nyi Pandan Wangi mendarat di lengannya sebelah kanan.

“Ampun mbokayu”. berkata Nyi Anjani yang masih dengan senyum menggodanya.

Ki Agung Sedayu dan Nyi Sekar Mirah hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku keduanya.

“Apakah kau tidak apa-apa Anjani jika kami bertiga beristirahat di bilik sebelah?”. bertanya Nyi Sekar Mirah.

“Ah.. kau ingin menggangguku pula”. ucap Nyi Pandan Wangi dengan wajah bersungut-sungut.

“Bukankah kita tidak menyalahi paugeran mbokayu? mungkin kita merasa belum mapan dengan apa yang akan kita lakukan, tapi bukankah kita tidak dianggap bersalah jika mencobanya?”.

“Mbokayu Sekar Mirah benar, tapi terserah saja kepada mbokayu Pandan Wangi”.

“Kakang sendiri bagaimana?”. bertanya Nyi Sekar Mirah kepada suaminya tersebut.

“Ah.. kenapa dengan aku? bukankah kau sendiri yang mempunyai gagasan itu?”. jawab Ki Agung Sedayu sembari tersenyum kecut.

“Kakang masih saja suka berbelit-belit”. ucap Nyi Sekar Mirah yang membuat wajah Nyi Pandan Wangi memerah dan semakin menundukkan wajahnya.

“Justru karena aku menghargai kalian semua dan berusaha menempatkan kalian pada kedudukan yang sama antara hak dan kewajiban, aku menyerahkan masalah ini kepada kalian, tapi aku harap jangan menjadi beban agar tidak terjadi goncangan di hati kalian”.

“Bagaimana pendapat mbokayu Pandan Wangi?”. tanya Nyi Sekar Mirah.

Nyi Pandan Wangi mendengar pertanyaan tersebut justru terdiam dan hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Berbagai pertimbangan ada di kepalanya.

“Bagaimana mbokayu?”. desak Nyi Sekar Mirah lagi setelah melihat ibu Sekar Wangi tersebut masih berdiam diri.

“Aku…” ucapan Nyi Pandan Wangi seketika terputus karena keraguan tiba-tiba menyelimuti hatinya.

“Lama-lama mbokayu Pandan Wangi tertular penyakit kakang Agung Sedayu”. ucap Nyi Sekar Mirah yang mulai merasa gemas.

Yang mendengarnya pun tertawa, kecuali Nyi Pandan Wangi yang wajahnya masih memerah.

Nyi Sekar Mirah pun bangkit dari tempat duduknya yang berada pada bibir pembaringan, lalu di dekatilah ibu Sekar Wangi tersebut dari arah belakang dan kemudian dipeluknya.

“Apakah mbokayu keberatan?”. bertanya ibu Bagus Sadewa setengah berbisik.

Ibu Bayu Swandana yang merasa tidak dapat mengelak lagi pun akhirnya menjawab.

“Terserah kakang Agung Sedayu saja”.

“Mbokayu Pandan Wangi tidak perlu khawatir, aku tidak akan mengganggu waktu istirahat kalian”. Lalu Nyi Anjani mencium kening Sekar Wangi yang tidur dengan pulasnya di sampingnya, “bukankah begitu nduk?”.

Nyi Anjani yang merebahkan badannya dalam posisi miring di sebelah Sekar Wangi pun sekali lagi menjadi terkejut ketika sebuah cubitan mendarat lagi di bagian atas pinggangnya sebelah kanan.

“Aku berkata sebenarnya mbokayu”. ucap Nyi Anjani sembari tersenyum menggoda.

“Kakang hanya diam saja, mereka telah menggangguku”.

Ki Agung Sedayu yang duduk di bibir pembaringan hanya bisa tersenyum melihat segala pokal ketiga istrinya. lalu katanya, “terus aku harus bagaimana?”. lalu tertawa.

“Sudahlah mbokayu, mari kita istirahat saja di bilik sebelah. Nanti kakang Agung Sedayu biar segera menyusul”. ucap Nyi Sekar Mirah sembari menarik lengan ibu Bayu Swandana.

Nyi Pandan Wangi sejenak memandang ke arah suaminya yang kebetulan memandang ke arahnya pula, dari sorot matanya seolah-olah meminta pertimbangan, tapi sepertinya tidak mendapat jawaban yang seperti dia inginkan, dengan penuh keraguan akhirnya dia mengikuti pula langkah Ibu Bagus Sadewa yang masih menarik lengan kanannya.

Setelah langkah kedua perempuan perkasa itu hilang dari pandangan setelah melewati pintu bilik, sejenak kemudian Ki Agung Sedayu mendekati Nyi Anjani yang berbaring di dekat bibir pembaringan.

“Anjani”.

Nyi Anjani yang mendengar ucapan suaminya segera bangkit, lalu duduk tepat di depan suaminya.

“Aku mengerti kakang, segeralah susul mereka. Kakang jangan sampai mengecewakan mbokayu berdua”. ucap Nyi Anjani dengan manisnya.

“Terima kasih Anjani”. ucap Ki Agung Sedayu lalu mencium kening istri mudanya tersebut dengan penuh kasih.

*  *  *

Sementara itu pada waktu menjelang Matahari terbit yang sangat cerah tempat peristirahatan sementara pasukan segelar sepapan Mataram mulai terbangun satu persatu. Mereka mulai menyibukkan diri dengan tugas masing-masing.

Meskipun ada beberapa prajurit yang merasa malas pula untuk beranjak dari mimpi indahnya, tapi akhirnya mereka bangun pula saat salah satu perwira yang bertugas menghampiri tempat mereka beristirahat beralaskan ketepe yang terbuat dari daun kelapa.

“Perwira itu telah membuyarkan mimpi indahku”. berkata salah satu prajurit yang masih muda dengan wajah bersungut-sungut.

“Ah.. macam kau”. kawan di sebelahnya menimpali.

“Aku tadi sedang bermimpi akan dikawinkan dengan salah satu anak Ki Demang tempat tinggalku, tapi semuanya gagal pada saat aku terbangun”.

“Kau saja yang terlalu malas, sekarang sudah waktunya bangun. Bahkan seharusnya sejak beberapa saat tadi”.

“Aku menyesal”.

“Apa yang kau sesalkan?”.

“Aku menyesal tidak jadi dikawinkan”.

“Sebaiknya kau segera bangun, agar kau tidak bermimpi terlalu ngayawara”.

“Bukankah kita harus bergantian ke sungai untuk membersihkan diri?”. ucap prajurit yang masih muda tersebut.

“Tapi jika kau masih saja merebahkan tubuhmu, maka kau akan semakin merasa malas untuk bangkit”.

Pembicaraan itu kemudian tidak berlanjut lagi karena prajurit yang masih muda itu segera bangkit dan meninggalkan tempat itu meskipun dengan perasaan yang malas.

Prajurit yang bertugas di dapur dan perbekalanlah yang menjadi sibuk pada saat-saat akan menjelang waktu makan, karena mereka harus menyiapkan jatah makan bagi seluruh pasukan. Berbeda sekali dengan para prajurit yang bertugas akan memasuki garis peperangan, karena tidak ada yang harus mereka lakukan selain membersihkan diri dan selanjutnya hanya menunggu nasi ransum menjadi masak.

Setelah mereka menunggu beberapa saat, akhirnya para prajurit yang bertugas membawa nasi ransum mulai terlihat berkeliling sembari membawa sebuah tenggok yang terbuat dari anyaman bambu yang berisi nasi ransum yang telah masak.

“Akhirnya aku bisa menenangkan isi perutku yang sudah mulai memberontak sejak saat aku tadi membuka mata”. celetuk salah satu prajurit sembari mengusap-usap perutnya yang sedikit buncit.

“Ah.. macam kau. Bukankah semalam kau mendapat jatah lebih setelah di dapur masih ada jatah yang tersisa?”.

“Tapi setelah itu aku mendapat panggilan alam, sehingga isi perutku telah menjadi kosong kembali”. jawab prajurit itu lalu tertawa.

“Aku menjadi kasihan kepada anak istrimu”.

“Apa hubungannya dengan anak istriku?”.

“Bukankah anak istrimu pasti jatah makannya akan menjadi berkurang jika harus selalu memenuhi isi perutmu yang seperti gentong?”. jawab salah satu kawannya lalu tertawa, yang lain pun ikut tertawa.

“Beruntunglah aku mendapatkan istri yang makannya hanya sedikit”. jawab prajurit yang perutnya sedikit buncit, lalu kembali tertawa lepas.

“Mungkin istrimu sedang menjalani sebuah laku, agar kau tidak lagi berselera makan”.

Kelakar mereka terputus ketika prajurit yang membawakan nasi ransum telah tiba di depan mereka, kemudian mereka menjadi sibuk menyuapi mulutnya masing-masing dengan nasi yang masih mengepul meskipun dengan lauk seadanya.

Setelah seluruh pasukan Mataram yang segelar sepapan tersebut selesai makan pagi dan beristirahat sejenak, para prajurit penghubung memberitahukan bahwa tidak lama lagi mereka akan melanjutkan perjalanan kembali.

*  *  *

Dalam pada itu, di rumah yang ditinggali oleh Ki Wiguna dan kawan-kawannya yang sesama prajurit sandi, mereka sedang membicarakan perkembangan terakhir dari keterangan yang mereka dapatkan dari seluruh prajurit yang bertugas.

Sembari menikmati minuman hangat dan ketela rebus yang masih mengepul, mereka secara bergantian menyampaikan hasil pengamatan dan kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang mungkin dapat terjadi.

“Kemarin sudah terlihat para prajurit Wirasaba telah melakukan kegiatan di daerah sekitar sebelah timur Kademangan Majasanga, sepertinya mereka  sudah mulai membuat persiapan-persiapan perang dalam rangka menyambut kedatangan pasukan Mataram”. ucap Ki Surata memulai pembicaraan.

“Sepertinya Wirasaba telah menentukan sebelah timur Kademangan Majasanga itu sebagai garis peperangan”. sahut Ki Jalasara.

“Sepertinya memang demikian”.

“Aku kira Kanjeng Adipati Wirasaba tidak ingin singgasananya menjadi berlumuran darah”.

“Kau benar Ki Wiguna, selain memang bukan tempat untuk menjadikannya sebagai garis peperangan, dengan begitu singgasananya akan menjadi sangat wingit sekali prabawanya setelah berlumuran darah”.

“Kanjeng Adipati Wirasaba memang masih sangat muda, bahkan lebih muda pada saat dulu Raden Mas Rangsang naik tahta, tapi penalarannya memang sangat luar biasa”. sahut Ki Surata.

“Bibit, bebet, dan bobot yang mengalir dari darah ayahnya sebagai seorang penguasa pasti memberikan banyak pengaruh, meskipun ayahnya telah wafat pada saat Pangeran Arya masih sangatlah muda, tapi watak dan sifatnya pasti sedikit banyak akan menurun”. ucap Ki Lurah Jatisrana.

“Darah keturunan memang tidak bisa dipungkiri, contohnya seperti anak-anakku sendiri, terkadang mereka mengingatkanku pada waktu masih muda”.

“Anakku juga begitu Ki Jalasara, segala pokalnya sering mengingatkanku pada waktu dulu, dan aku terkadang merasa seperti melihat cermin diriku yang berjalan”. sahut Ki Lurah Glagah Putih.

“Aku kira banyak orang tua atau bahkan hampir semua orang tua merasa demikian”. sahut Ki Jalasara sembari tersenyum.

Sejenak suasana menjadi hening ketika tidak ada yang membuka suara karena sibuk dengan pikiran masing-masing, bayangan tentang keluarga dan anak masing-masing.

Kawanan burung liar yang berkicau serta berterbangan di sekitar tempat itu menambah keasrian alam pada pagi itu, suasana penuh kedamaian sejenak merasuk ke setiap orang yang masih berdiam diri tersebut.

“Bukankah besok pasukan Mataram sudah tiba di Wirasaba?”. bertanya Ki Surata memecah suasana.

“Benar Ki Surata, tapi kita belum tahu apakah pasukan itu sudah bergabung dengan Panembahan Hanyakrakusuma beserta pasukan kecilnya yang menyusul kemudian”. sahut Ki Lurah Glagah Putih.

“Apakah dari kawan kita belum ada yang mendapatkan keterangan tentang kedatangan Panembahan Hanyakrakusuma?”.

Hampir semua orang saling pandang, lalu menggeleng lemah.

“Jika menurut perhitungan, pasukan Ki Tumenggung Suratani dan pasukan kecil Panembahan Hanyakrakusuma tidak akan berselisih jauh”.

“Seharusnya memang demikian, karena pasukan kecil yang menyusul kemudian memang untuk mengimbangi waktu kedatangan pasukan segelar sepapan yang sudah diberangkatkan lebih dahulu”. sahut Ki Wiguna.

“Atau mungkin saja pasukan kecil yang menyusul kemudian telah menemui hambatan di sepanjang perjalanan”.

“Ya.. itu sangat mungkin sekali”.

“Tapi aku kira pasukan kecil itu jika menemui hambatan di perjalanan akan dengan sangat cepat dapat mengatasi keadaan karena berisikan orang-orang yang pilih tanding, selain Panembahan Hanyakrakusuma sendiri tentu orang-orang yang menyertainya bukanlah orang-orang sembarangan”.

Orang-orang yang mendengar ucapan Ki Lurah Glagah Putih hanya mengangguk-anggukkan kepala saja tanpa menjawab tanda mereka sependapat.

Setelah mereka nampak terdiam Ki Wiguna kembali membuka suara, “hari ini kita membagi tugas seperti biasa. Sebagian tetap mengawasi pergerakan setiap pasukan Wirasaba pada titik-titik penting dan titik yang sangat mungkin untuk menjadi bagian pergerakan pasukan mereka. Kita jangan sampai lengah sedikitpun, karena sekecil apapun pergerakan yang mereka lakukan mungkin akan sangat berarti bagi kita”.

“Baik Ki Wiguna, aku akan menyebarkan para prajurit sandi di sekitaran sebelah timur Kademangan Majasanga, Kotaraja, dan sekitarnya”. sahut Ki Surata.

“Ki Lurah Jatisrana, selalu buatlah hubungan dengan pasukan Mataram yang akan datang, karena kita harus menyiapkan tempat bagi mereka yang sekaligus kita jadikan sebagai tempat garis peperangan untuk menaklukkan Wirasaba”.

“Apakah kita sudah mendapatkan tempat yang paling baik, kemana pasukan Mataram yang segelar sepapan itu akan kita arahkan?”. sahut Ki Lurah Jatisrana.

“Sepertinya kita tidak akan mengalami kesulitan untuk mencari tempat yang paling baik karena secara tidak langsung kita telah terbantu oleh pergerakan pasukan Wirasaba yang sudah terlebih dahulu menentukan tempatnya, sehingga kita hanya perlu menyesuaikan pasukan lawan”. jawab Ki Wiguna.

“Apakah itu berarti bahwa kita akan mengarahkan pasukan Mataram ke perbatasan Kademangan Majasanga pada sisi sebelah timur?”.

“Benar Ki Lurah Jatisrana”.

“Sebaiknya kita segera menyiapkan segala sesuatunya, karena kita harus berpacu dengan waktu seiring dengan kedatangan pasukan Mataram”.

“Benar Ki Jalasara, kita harus segera bertindak agar tidak ada keterlambatan pada waktu pasukan yang segelar sepapan itu tiba pula di Wirasaba”. sahut Ki Lurah Glagah Putih. Lanjutnya, “apakah kalian sudah jelas dengan tugas masing-masing?”.

“Sudah Ki Wiguna”. jawab mereka yang hadir hampir berbarengan.

“Jika sudah jelas, sebaiknya kita segera kembali pada tugas masing-masing. Jangan lupa untuk selalu menyampaikan segala perkembangan pada kelompok yang lain agar kita tetap dalam satu perintah”.

*  *  *

Dalam pada itu pasukan Wirasaba tidak kalah sibuk untuk mempersiapkan segalanya untuk menghadapi perang melawan pasukan Mataram yang akan segera datang.

Setiap prajurit telah mendapatkan tugas masing-masing, dari mempersiapkan segala alat yang akan dipergunakan nantinya dalam perang, seperti anak panah beserta busurnya, pedang, tombak, bandil, perisai dan masih banyak lagi.

Selain mereka harus mempersiapkan segala senjata, mereka harus pula membuat perkemahan sementara bagi sepasukan prajurit segelar sepapan Wirasaba yang akan menghadapi perang melawan pasukan yang mereka anggap akan menjadi penjajah bagi wilayah mereka.

Kini sisi sebelah timur Kademangan Majasanga yang masih terpisahkan oleh bulak panjang dan area persawahan yang belum lama panen semakin ramai oleh pasukan Wirasaba.

Selain tempat itu dimanfaatkan sebagai perkemahan sementara tapi juga dimanfaatkan sebagai pertahanan pasukan segelar sepapan yang akan berperang.

Kesibukan pasukan Wirasaba tidak menjadi surut meskipun kegelapan malam mulai mengaburkan segala pandangan mata secara wadag.

Oncor dari biji jarak segera mulai dinyalakan di berbagai tempat untuk membantu penerangan, lagipula tugas seluruh prajurit semakin malam justru seperti semakin bertambah saja.

“Apakah benar besok pasukan Mataram akan tiba?”. ucap salah satu prajurit yang nampak masih muda.

“Berdasarkan pengamatan prajurit sandi, sepertinya demikian”. sahut kawan di sebelahnya yang membawa sebuah oncor.

“Apakah mereka akan langsung menyerang?”.

“Aku kira tidak. Mereka pasti butuh waktu istirahat setelah melakukan perjalanan yang sangat panjang dari Mataram”.

“Jika demikian, bukankah sebaiknya kita menyerang mereka lebih dahulu sebelum mereka menyerang kita?”. ucap prajurit yang masih muda itu.

Kawannya yang mendengarnya mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “meskipun kita akan berperang untuk saling mengalahkan tapi di dalam perang itu sendiri ada paugerannya, dan paugeran itu harus kita sama-sama hormati”. sahut prajurit yang terlihat jauh lebih tua yang berjalan bersamanya sembari menyalakan oncor-oncor yang terdapat di seluruh perkemahan.

“Untuk apa harus ada paugeran jika pada akhirnya kita akan saling membunuh?”.

“Kau jangan salah mengartikan sebuah perang. Perang bukanlah tempat untuk saling membunuh tanpa ukuran, tapi tempat untuk saling mengalahkan, jika mereka saling membunuh itu pasti karena keterpaksaan dan bukan niat kita untuk benar-benar saling membunuh sejak awal perang pecah”.

“Tapi aku sering mendengar cerita dari orang-orang di sekitarku bahwa perang itu adalah untuk saling membunuh”.

“Kita memang tidak bisa menjadi orang yang paling munafik di atas muka bumi ini, karena banyak contoh perang yang menjadi tempat untuk saling membunuh, tapi mereka itu adalah termasuk golongan orang-orang yang tidak dapat mengendalikan goncangan jiwanya pada saat memasuki perang yang sangat garang, sehingga kehilangan penalaran”.

“Jarang sekali aku bertemu dengan orang yang mempunyai pemikiran luas seperti kakang”.

“Mungkin karena aku jauh lebih tua dari kau”.

“Ah.. belum tentu kakang, umur tidak bisa kita jadikan tolok ukur. Aku banyak bertemu pula dengan orang-orang yang sebaya dengan kau, tapi mempunyai pemikiran yang berbeda sekali dengan kau”.

Pembicaraan mereka terputus karena disibukkan dengan tugas masing-masing, begitu pula dengan para prajurit lain yang semakin menjadi sibuk pula.

Suasana yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah teriakan.

“Kanjeng Adipati dan Ki Patih Rangga Permana berkenan hadir”. berkata seorang  prajurit pengawal Kanjeng Adipati yang berjalan mendahului dengan suara lantang.

Seketika para prajurit yang sedang sibuk tersebut meninggalkan pekerjaan mereka lalu segera membentuk barisan yang memanjang untuk memberikan penghormatan kepada pepunden yang sangat mereka hormati tersebut.

“Terima kasih atas penghormatan kalian, tapi sebaiknya kalian lanjutkan saja kerja kalian. Kami hanya ingin melihat-lihat saja perkembangan persiapan kita”. ucap Ki Patih Rangga Permana sembari mengangkat tinggi tangan kanannya.

Namun para prajurit tidak segera meninggalkan tempat masing-masing, mereka masih ragu-ragu untuk beranjak karena berhadapan dengan para pembesar Kadipaten Wirasaba dan beberapa pemimpin padepokan yang menyertai.

Ki Patih yang menyadari keadaan kemudian berkata, “kembalilah pada kerja kalian, kami hanya sekedar melihat sejenak. Sekarang kami akan segera kembali”.

Tidak berapa lama rombongan Kanjeng Adipati meninggalkan tempat itu untuk kemudian kembali lagi ke Kotaraja, yang berjarak tidak terlalu jauh dari perkemahan.

Sesampainya di Kotaraja rombongan tersebut segera kembali ke tempat masing-masing, kecuali Kanjeng Adipati dan Ki Patih Rangga Permana yang masih menyempatkan waktu untuk berbincang.

“Bagaimana menurut paman tentang persiapan kita?”. Kanjeng Adipati membuka pembicaraan.

“Aku rasa sudah cukup baik ngger, meskipun untuk membuat segala persiapan itu tidak mudah, tapi lebih tidak mudah lagi adalah bagaimana kita mengatur orang-orang yang terlibat didalamnya”.

“Bagaimana menurut paman dengan orang-orang yang bersedia membantu kita sekarang ini?”.

“Apakah yang kau maksud adalah orang-orang yang berasal dari padepokan?”.

“Benar Paman, apakah mereka termasuk orang-orang yang tidak mudah diatur?”.

“Orang-orang yang berasal dari padepokan dengan yang berasal dari pasukan prajurit itu sangat jauh berbeda. Jika dari kesatuan prajurit, maka mereka memang disiapkan untuk menjalankan perintah atasan, tapi jika orang yang berasal dari padepokan kita tidak bisa dengan mudah menebaknya karena mereka mempunyai wataknya sendiri dan bukanlah orang-orang yang akan selalu menjalankan perintah tanpa pertimbangan”.

“Aku mengerti Paman”.

“Apalagi lingkungan padepokan itu sangat beragam macamnya serta wataknya selain itu mereka masih ada kemungkinan dipengaruhi oleh tradisi yang turun temurun pula, jika suatu padepokan tersebut sudah berdiri dalam jangka yang lama”.

“Meskipun aku tidak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang cantrik padepokan, tapi aku dapat membayangkannya Paman”.

“Demikianlah kira-kira ngger. Selama ini mereka baik-baik saja di depan kita, tapi kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam kepala mereka”. Ki Patih Rangga Permana berhenti sejenak.

“Meskipun mereka baik-baik saja di depan kita, tapi jangan membuat kita menjadi terlena dengan mempercayai mereka sepenuhnya. Jika mereka memang baik-baik saja untuk seterusnya itu memang yang kita semua harapkan, tapi jika mereka tiba-tiba menyimpang kita sudah tidak menjadi terkejut”.

“Segala petunjuk Paman akan selalu aku ingat dengan sebaik-baiknya. Aku yang masih harus banyak belajar mengucapkan terima kasih karena Paman tidak pernah bosan untuk membimbingku hingga saat ini”.

“Aku hanya menjalankan kewajiban ngger”.

“Tapi meskipun begitu aku merasa wajib menyampaikan rasa terima kasih kepada Paman, karena berkat segala jasa Pamanlah aku bisa melangkah sejauh ini”.

Setelah sejenak suasana menjadi hening, tiba-tiba Ki Patih Rangga Permana merasakan sesuatu yang dirasa kurang mapan, tapi entah apa.

“Mengapa aku tiba-tiba seperti merasakan suatu firasat yang kurang mapan”. katanya dalam hati.

Ki Patih Wirasaba itu mencoba menguraikan apa yang sebenarnya telah mengganggu hatinya tersebut.

“Apa yang sedang Paman pikirkan?”. bertanya Kanjeng Adipati yang membuat pamannya tersebut menjadi sedikit tergagap.

“Ah.. tidak ngger, tiba-tiba saja kenangan-kenangan masa lalu terlintas di pikiranku, bahkan yang sudah berpuluh-puluh tahun yang lampau”. jawab Ki Patih Rangga Permana sekenanya.

“Jika sudah tidak ada lagi yang akan kita bicarakan, sebaiknya kita beristirahat Paman”.

“Aku rasa sudah tidak ada yang penting lagi yang bisa kita bicarakan. Sebaiknya kita memang beristirahat ngger”.

Kemudian kedua orang tersebut segera bergegas ke tempat peristirahatan masing-masing, yang kebetulan sudah memasuki waktu tengah malam.

*  *  *

Dalam pada itu, Ki Lurah Glagah Putih masih dalam perjalanan akan kembali ke rumah yang dijadikan markas sementara bersama kawan-kawannya sesama prajurit sandi setelah nglanglang di sekitar Kotaraja Wirasaba.

Tapi tinggal beberapa puluh langkah lagi mereka akan sampai pada rumah yang dituju bersama dengan Ki Surata.

“Hampir saja tadi rahasiaku sebagai prajurit sandi dari Mataram terbongkar”.

“Kau memang sangat cerdik Ki Surata”.

“Aku bisa melakukan semua itu bukan karena aku cerdik, tapi karena aku memang sudah lama bertugas disini, jadi aku sudah banyak belajar membaur dengan orang-orang disini, sehingga aku tidak terlihat seperti orang asing disini. Meskipun awalnya mereka sempat meragukanku tapi akhirnya mereka mencoba untuk percaya setelah aku dapat berusaha meyakinkan mereka”.

“Itu juga salah satu kecerdikan”.

“Jika itu sebuah kecerdikan paling tidak kita sudah ada gambaran sebelumnya apa yang akan kita perbuat, tapi tadi aku tidak”.

“Mungkin kau mempunyai semacam ajian Welut Putih”.

Ki Surata yang mendengarnya justru tertawa. Lalu katanya, “kau benar Ki Wiguna, aku baru mengingatnya”.

Ki Wiguna nampak mengerutkan keningnya ketika Ki Surata terlihat bersungguh-sungguh. Tanpa sadar ayah Arya Nakula pun bertanya, “ajian apakah itu”.

“Ajian ndelalah”. sahut Ki Surata lalu kembali tertawa.

Ki Lurah Glagah Putih yang tadinya terlihat bersungguh-sungguh ikut tertawa kawannya tersebut sembari berjalan pulang dan semakin dekat dengan tujuan.

Tiba-tiba Ki Wiguna merasakan sesuatu yang kurang mapan, maka segera saja dia mengetrapkan ajian Sapta Pangrungu dan Sapta Pandulu untuk memeriksa keadaan sekitar.

Ketika Ki Wiguna mencoba untuk mencari sumber getar lembut yang mengganggunya, justru seakan-akan menghilang. “Mungkin hanya perasaanku saja”. katanya dalam hati.

Melihat sikap Ki Surata yang seperti tidak terusik oleh sesuatu, ayah Arya Nakula itu pun segera menepis perasaannya kemudian menyusul kembali langkah kawannya yang tadi membuatnya sempat tertinggal beberapa langkah.

Setibanya di rumah yang mereka tuju, Ki Surata yang berjalan di depan segera mengetuk pintu butulan dengan ketukan ganda berturut, tapi tidak ada jawaban.

“Jaya mukti jaya pati lebur dadi siji”. berkata Ki Surata.

Sejenak kemudian baru terdengar suara langkah kaki yang mendekati pintu yang telah diketuk oleh Ki Surata, terdengar selarak pintu telah dibuka, terlihatlah orang yang membukakan pintu tersenyum”.

Tapi pada saat yang bersamaan Ki Wiguna telah merasakan kembali desir halus yang tadi sempat mengganggunya.

“Silahkan masuk”. berkata Ki Jalasara yang kebetulan malam itu bertugas di rumah tersebut.

Segera saja Ki Surata melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, tapi Ki Wiguna masih terlihat termangu-mangu.

“Kau kenapa masih berdiam diri di luar Ki Wiguna? silahkan masuk”. ajak Ki Jalasara.

“Kalian masuklah dulu, aku masih ingin mencari angin segar di luar”.

“Baiklah, jika nanti kau akan masuk gunakanlah sandi yang telah kita sepakati”. sahut Ki Jalasara.

“Baiklah”.

Kedua kawannya pun tidak memaksa, mereka kemudian mendahului masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu dan kembali memasang selaraknya dari dalam.

Sejenak kemudian Ki Wiguna segera mengetrapkan ajian Sapta Pangrungu dan Sapta Pandulu hingga ke puncak, tapi hasilnya masih saja mengecewakannya.

Lalu terbersit di benaknya untuk mencoba aji Panggraita, maka segera saja diterapkannya hingga ke puncak, sembari mengamati alam sekitar Ki Wiguna masih mencoba mencari sesuatu yang telah mengusik hatinya.

Samar-samar ayah Arya Nakula menangkap sesuatu, meskipun terkadang menghilang.

Dengan mengetrapkan aji Sapta Panggraita hingga ke puncak, Ki Lurah Glagah Putih mencoba menelusuri sumber desir yang sangat halus tersebut. Jika saja bukan orang yang berilmu sangat tinggi, maka dia tidak akan menyadari akan kehadiran seseorang.

Menantu Ki Tumenggung Purbarumeksa yang kini sudah purna tugas karena umurnya itu terus menelusuri sumber suara yang mengganggunya hingga menuntunnya memasuki sebuah pategalan yang berjarak beberapa ratus langkah dari rumah yang ditinggalinya.

“Kakang Agung Sedayu pernah bercerita tentang sebuah isyarat khusus yang sering digunakan oleh sebuah perguruan atau yang mempunyai sumber yang sama dengan perguruan tersebut pada masa kejayaan Majapahit dan Demak beberapa puluh warsa yang lampau, tapi sekarang sudah sangat jarang sekali terdengar lagi”. katanya dalam hati.

Sembari mencari sumber suara desir yang sangat halus, yang bisa pula dikatakan sebagai sebuah isyarat yang sangat khusus itu Ki Lurah Glagah Putih semakin masuk ke dalam pategalan yang semakin gelap.

Sinar bulan yang belum bulat sempurna itu memang tidak mampu menembus kegelapan pategalan yang tidak begitu pepat meskipun berada di pinggiran sebuah hutan kecil.

Tapi kegelapan malam yang sangat pekat sekalipun tidak menjadi soal bagi Ki Lurah Glagah Putih yang memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi melebihi orang kebanyakan.

Setelah beberapa saat dia mencari, tapi belum juga bisa ditemukannya apa yang dicari.

“Apakah ini adalah sebuah jebakan?”. katanya membatin.

Hati ayah Arya Nakula sejenak menjadi ragu, berbagai dugaan sempat berputar-putar di kepalanya.

“Tadi setelah aku mengetrapkan ajian Sapta Panggraita, suara itu jelas-jelas menuntunku kemari, tapi setelah aku sampai disini seakan-akan sumber suara itu menghilang tanpa bekas dan aku tidak bisa melacak kepergiannya sama sekali”.

Hanya terdengar sekumpulan hewan-hewan malam yang bergema, seperti suara jangkrik, dan suara-suara anjing liar serta burung gagak dari kejauhan.

Setelah beberapa saat Ki Lurah Glagah Putih menunggu tapi tidak menemukan apa yang dicarinya, dia memutuskan untuk segera kembali.

“Mungkin aku telah salah mengurai sebuah isyarat”.

Namun ketika baru beranjak beberapa langkah, Ki Lurah Glagah Putih terkejut bukan kepalang bagai mendengar guntur di dekat telinganya.

“Kau mau kemana Ki Sanak?”. 

Terdengar suara orang tua yang parau, yang entah darimana datangnya sumber suara tersebut. Suara yang membuat Ki Wiguna menjadi sangat terkejut. Dia pun segera mencari sumber suara tersebut dengan tetap mengetrapkan aji Sapta Panggraita.

“Aneh, aku tidak dapat menemukan keberadaanya”. katanya dalam hati.

“Maaf Ki Sanak, siapa kau sebenarnya? dan apa keperluanmu denganku?”. bertanya Ki Wiguna kepada sumber suara yang entah darimana sumbernya tersebut.

Sejenak suasana menjadi hening kembali karena tidak ada jawaban dari orang yang ditanya.

“Maaf Ki Sanak, sebaiknya aku segera pergi karena aku tidak punya waktu bermain-main. Apalagi dengan orang yang tidak aku kenal dan tidak mau memperkenalkan diri”. berkata Ki Wiguna yang menjadi tidak sabar.

Masih belum ada jawaban, tanpa perlu menunggu lagi Ki Lurah Glagah Putih pun segera melangkahkan kakinya untuk segera meninggalkan pategalan itu.

“Rupanya kau adalah orang yang tidak bisa sedikit bersabar Ki Sanak”. suara itu terdengar kembali.

“Karena aku merasa tidak mempunyai keperluan dengan kau Ki Sanak”.

“Tapi aku mempunyai keperluan denganmu”. sahut suara itu.

“Jika kau memang mempunyai keperluan denganku, aku persilahkan kau menampakkan diri dan kemudian memperkenalkan diri, jangan hanya bersembunyi seperti anak-anak yang sedang bermain petak umpet”.

Ki Lurah Glagah Putih tetap dalam kewaspadaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Dengan tetap mengetrapkan aji Sapta Panggraita, ayah Arya Nakula masih mencoba mencari sumber suara itu dan bahkan kedatangannya jika orang yang belum dikenalnya itu benar-benar menampakkan diri.

Tiba-tiba dari balik pohon Mundung, muncul seseorang yang tinggi besar, bahkah tingginya hampir satu setengah tinggi dari Ki Lurah Glagah Putih itu sendiri.

Wajah yang kelihatan sangat garang karena ditumbuhi kumis dan jambang yang sangat lebat serta ikat kepala yang dikaitkan dengan asal saja di kepalanya.

Hati Ki Lurah Glagah Putih pun menjadi berdebar-debar setelah melihat dengan siapa dia berhadapan. Bukan karena melihat tubuh orang yang berada di hadapannya tinggi besar dan berwajah garang, tapi cara kedatangan orang tersebut mengisyaratkan bahwa dia adalah orang yang berilmu sangat tinggi.

“Silahkan kau perkenalkan dirimu dan apa kepentinganmu menemui aku”.

“Hahaha.. aku adalah penghuni pohon Mundung ini, dan seharusnya aku yang bertanya apa keperluanmu? karena kau lah yang datang kemari menemui aku dan bukan aku yang menemuimu”.

“Aku bukanlah anak-anak yang dapat kau takut-takuti dengan cerita ngayawaramu sebagai penghuni pohon Mundung”.

“Apakah itu cerita ngayawara? mungkin kau tidak pernah mendengarkan cerita orang-orang tua tentang makhluk yang tidak kasat mata? atau kau saja yang tidak pernah mempercayainya?”. bertanya orang itu masih dengan suara yang parau.

“Sudahlah Ki Sanak, kau tidak perlu berbelit-belit. Apa keperluanmu?”.

“Bukankah tadi sudah aku katakan, seharusnya aku yang bertanya apa keperluanmu karena kaulah yang datang kemari?”.

“Baiklah Ki Sanak aku minta maaf, sepertinya aku tersesat hingga memasuki pategalan ini”.

“Apakah kau yakin jika kedatanganmu kemari adalah karena tersesat?”.

Dada Ki Lurah Glagah Putih pun berdesir mendengar ucapan orang yang berada di hadapannya, yang seakan telah mengetahui maksud dari kedatangannya. Tapi dia masih berusaha untuk mengelak, “bukankah aku lebih mengetahui apa yang aku lakukan daripada orang lain?”.

“Bukankah kedatanganmu kemari untuk mencari seseorang yang telah mengirimkan sebuah isyarat khusus?”.

Wajah Ki Lurah Glagah Putih memerah sejenak, tapi karena dalam kegelapan malam yang pekat perubahan itu tidak begitu terlihat jelas.

“Baiklah, aku akan mengakuinya jika apa yang kau katakan itu benar”. sahut Ki Lurah Glagah Putih yang merasa tidak bisa menghindar lagi. Lalu katanya, “tapi sepertinya aku salah orang, sebaiknya aku segera kembali”.

“Apa yang membuatmu berkata demikian?”.

“Disini aku hanya menemui kau, sedangkan aku merasa tidak pernah mengenal dirimu sebelumnya?”.

“Bukankah ada kemungkinan pula meskipun kita belum pernah saling mengenal sebelumnya tapi kita bersumber dari perguruan yang sama?”.

“Kau benar, dan kemungkinan itu bisa saja terjadi”.

“Kalau begitu sebut nama perguruanmu, mungkin saja kita bersumber dari ilmu yang sama”.

Ki Lurah Glagah Putih tampak termangu-mangu sejenak, di hatinya masih ada keragu-raguan untuk menyebut sumber ilmunya kepada orang asing.

“Apakah kau keberatan untuk menyebutnya?”. tanya orang itu yang sepertinya dapat membaca gelagat orang di hadapannya.

Setelah menarik nafas dalam beberapa kali, Ki Lurah Glagah Putih pun kemudian berkata, “Baiklah aku akan menyebutnya, tapi kau juga harus menyebut dari perguruan mana kau berasal”.

“Baiklah, aku sependapat”.

“Aku berasal bukan dari sebuah padepokan tapi ilmu yang aku kuasai bersumber dari jalur Perguruan Ki Sadewa”.

“Sayang sekali, aku tidak pernah mendengarnya apalagi mengenalnya, mungkin perguruanmu memang bukanlah sebuah perguruan yang mempunyai nama besar”.

“Lalu dari manakah kau berasal? karena menurut guruku isyarat khusus yang kau gunakan itu bersumber dari jalur yang sama atau paling tidak masih sesama golongan”.

“Belum tentu, mungkin saja gurumu itu adalah orang yang mempunyai pandangan sempit dan pengalaman yang sedikit sehingga tidak pernah mengetahui nama-nama besar yang pernah menggetarkan tanah ini”.

Kembali hatinya berdesir setelah mendengar ucapan orang yang di hadapannya, tapi selain itu semakin lama dia perhatikan ada sesuatu yang kurang mapan pada orang tersebut menurutnya tapi tidak dikatakannya.

“Sekarang katakanlah darimana kau berasal”.

“Aku berasal dari Perguruan Jalatunda yang padepokannya berada di Kadipaten Surabaya”.

“Berarti kita memang tidak saling mengenal dan tidak saling berkepentingan, sebaiknya aku segera meninggalkan tempat ini. Selamat tinggal Ki Sanak”.

“Kau begitu tergesa-gesa Ki Sanak?”.

“Karena aku merasa tidak mempunyai keperluan, untuk apa aku berlama-lama disini”. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari bergegas meninggalkan tempat itu.

“Tunggu”. seru orang itu.

Tapi ayah Arya Nakula tersebut tidak mau mendengarnya dan terus berjalan semakin menjauh, tapi belum juga sampai sepuluh langkah dia kembali terkejut.

“Tunggu Glagah Putih”.

Ki Lurah Glagah Putih yang sangat terkejut segera menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan penuh dengan tanda tanya dan mata hampir tidak berkedip.

“Baiklah, aku menyerah”. berkata orang tersebut dengan suara yang sudah tidak parau lagi.

“Dari tadi aku sebenarnya sudah mulai curiga, tapi aku masih ragu dengan pengamatanku sendiri”.

“Rupanya aku memang tidak berbakat menjadi pemain sandiwara”. sahut orang itu lalu tertawa.

Bersamaan dengan tertawanya reda, wujud orang yang kelihatan sangat garang itu pun berubah pula, berubah seperti wujud aslinya meskipun masih saja dalam wujud semu.

“Bukan karena kakang tidak berbakat, tapi karena kakang bersandiwaranya di hadapanku yang telah mengenal kakang sekian puluh warsa. Meskipun pada awalnya aku pun dapat dikelabui tapi karena pengenalan kita yang sekian lama membuatku tetap mengenali ciri khusus pada kakang”.

“Ya.. mungkin kau benar”.

“Tadi yang membuatku ragu adalah wujud kakang”.

“Aku memang sedang mencoba mengembangkan ilmuku, aji Pengangen-angen yang aku kuasai sedang aku kembangkan untuk dapat berubah wujudnya sesuai dengan yang aku kehendaki”.

“Kakang hanya membuatku semakin kagum saja.”.

“Kau pun dapat melakukannya jika kau mau belajar dan berusaha”.

“Semoga Yang Maha Agung mengijinkanku kakang”.

“Bagaimana dengan tugasmu selama disini?”.

“Beruntunglah Yang Maha Welas Asih selalu menuntunku untuk berbuat dengan sebaik-baiknya”.

“Syukurlah. kedatanganku mencarimu adalah karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu”.

“Apa itu kakang?”.

“Ki Gede Menoreh telah dipanggil Yang Maha Agung kemarin pagi”.

“Ki Gede Menoreh wafat kakang? sayang sekali aku tidak bisa ikut penyelenggaraan pemakamannya”. berkata Ki Lurah Glagah Putih terkejut.

“Tidak apa-apa Glagah Putih, tak perlu kau pikirkan terlalu dalam, mbokayumu pasti dapat memakluminya”.

“Apa penyebab wafatnya Ki Argapati kakang?”.

“Ki Gede Menoreh wafat karena kesehatannya memang sudah jauh menurun, selain itu juga karena memang sudah sangat sepuh”.

“Semoga Yang Maha Welas Asih mengampuni segala dosa-dosa Ki Gede Menoreh”.

“Kita sama-sama nenuwun”.

“Apakah kakang datang ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dengan mbokayu Anjani?”.

“Iya.. aku datang bersama dengan mbokayumu Anjani ketika Ki Gede Menoreh masih  ada, tapi sudah dalam keadaan yang sangat lemah. Kami sempat berbuat sesuatu untuk mencoba membantu kesembuhannya, tapi kemampuan manusia betapa kerdilnya jika sudah berhadapan dengan kuasa Yang Maha Agung”.

Ki Lurah Glagah Putih hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Kemudian katanya, “maaf kakang jika aku bertanya masalah pribadi. Apakah mbokayu Sekar Mirah dan mbokayu Anjani sudah bertemu?”.

“Sudah. Dan aku hanya bisa mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung atas segala kemurahanNya. karena sejak kemarin mereka sudah mulai bisa saling menerima satu sama lain, terutama mbokayumu Sekar Mirah”.

“Syukurlah kalau begitu”.

“Selain itu aku ingin berpesan, jika nanti pecah perang sebaiknya kau lebih berhati-hati, karena sangat mungkin kau akan dilibatkan di medan peperangan”. ucap ayah Bagus Sadewa mengalihkan pembicaraan.

“Baik kakang, aku mengerti”.

“Ilmu yang kau kuasai sudah semakin tinggi, tapi justru karena itu tanggung jawabmu menjadi semakin besar. Karena setiap tugas yang dibebankan kepadamu bisa kau jalankan dengan baik, maka tugas yang lebih berat akan menantimu kemudian. Apalagi sekarang Panembahan Hanyakrakusuma mempunyai gegayuhan yang sangat tinggi untuk menyatukan seluruh wilayah di Tanah Jawa di bawah panji-panji kebesaran Mataram”.

“Aku mengerti kakang, aku akan selalu mengingatnya”.

“Setelah aku mencarimu sejak kemarin, akhirnya aku dapat menemukanmu pula. Tadinya aku pikir aku akan kesulitan untuk mencari dan menemukanmu karena aku sendiri belum pernah menginjakkan kakiku di daerah ini”.

“Tapi aku kira itu bukanlah pekerjaan yang sulit bagi kakang untuk menemukanku. Karena dengan ilmu yang kakang kuasai, dengan mudah untuk melompat kesana kemari tanpa dapat dihalangi oleh apapun dan siapapun”.

Ki Agung Sedayu hanya tersenyum mendengar ucapan adik sepupunya, “sepertinya sudah tidak ada lagi yang akan aku sampaikan padamu, aku akan segera melepas aji Pengangen-angen ini”.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara ayam yang berkokok untuk kedua kalinya.

“Sebaiknya kau segera kembali, masih ada barang sekejap untuk beristirahat”.

“Baik kakang”.

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Ki Lurah Glagah Putih selesai menjawab, wujud bayangan semu kakak sepupunya tersebut seperti menguap begitu saja, lalu menghilang.

“Ilmu yang dikuasai oleh kakang Agung Sedayu semakin ngedap-ngedapi saja, bahkan aku tidak bisa membayangkan tataran ilmunya sampai dimana sekarang”.

Setelah berkata demikian Ki Lurah Glagah Putih segera bergegas meninggalkan pategalan tersebut untuk berkumpul lagi dengan kawan-kawannya.

Ketika sudah sampai di rumah yang dituju, segeralah dia mengetuk pintu dengan ketukan ganda secara berturut dan mengucapkan kata sandi yang telah mereka sepakati bersama.

“Jaya mukti jaya pati lebur dadi siji”.

Tidak lama kemudian terdengar langkah kaki menuju pintu butulan, lalu membuka pintu yang diselarak dari dalam.

“Silahkan masuk Ki Wiguna”. orang yang membukakan pintu menyapa dengan ramah.

“Terima kasih Ki Jalasara”. sahut Ki Wiguna.

“Tadi aku sempat gelisah dengan kepergianmu yang beberapa lama seorang diri”.

“Aku tidak apa-apa Ki Jalasara, aku hanya sekedar mencari angin saja. Maafkan aku jika telah membuatmu sedikit gelisah karena kepergianku”.

“Apa kita masih bisa mengkhawatirkan orang yang memiliki kemampuan sangat tinggi?”. sahut Ki Surata yang sedang duduk di amben bambu ruang dalam.

“Di atas langit itu masih ada langit Ki Surata. Apalagi kemampuan seseorang, jika ada orang yang berilmu tinggi pasti ada yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi, dan lagi”.

“Ya.. ya.. memang sangat mungkin sekali itu terjadi, tapi bukankah itu tidak bisa kita temui setiap saat dan setiap tempat?”. sahut Ki Surata lagi.

“Aku mendapat laporan dari petugas sandi yang bertugas di Kadipaten Surabaya, bahwa sisa-sisa pasukan yang mundur dari Surabaya akan segera menggabungkan diri dengan pasukan Mataram yang akan berusaha menaklukkan Wirasaba”. berkata Ki Jalasara mengalihkan pembicaraan.

“Bagus, dengan begitu pasukan kita akan semakin kuat”. sahut Ki Lurah Glagah Putih.

“Bagaimana dengan pasukan segelar sepapan yang berangkat langsung dari Mataram?”.

“Menurut laporan mereka akan tiba di Wirasaba besok, tapi kemungkinan pasukan itu akan tiba setelah melewati wayah sepi bocah”. sahut Ki Jalasara.

“Bagaimana dengan rombongan Panembahan Hanyakrakusuma beserta pasukan kecilnya?”.

“Belum ada keterangan tentang rombongan itu”.

“Mungkin karena rombongan itu adalah rombongan berkuda yang sangat cepat bergeraknya, sehingga kita agak kesulitan mencari jejaknya”.

“Selain mereka adalah pasukan berkuda pilihan mereka juga adalah orang-orang pilih tanding dan memiliki penalaran yang cemerlang. Sehingga bisa saja ada kemungkinan lain yang telah mereka lakukan yang bisa membuat kita sulit mencari jejaknya”.

“Aku sependapat. Menurutku orang-orang yang berilmu sangat tinggi itu terkadang suka melakukan hal yang aneh-aneh di luar jangkauan penalaran kita”.

“Aku sering mendengar pula bahwa orang-orang yang berilmu tinggi memang sering mempunyai kebiasaan yang aneh-aneh, atau mungkin penalaran kita saja yang belum mampu menangkapnya?”. Ki Surata menimpali, lalu tersenyum.

Pembicaraan itu tidak berlangsung lebih lama lagi, karena mereka segera beristirahat, kecuali yang sedang bertugas akan tetap terjaga sesuai dengan gilirannya.

*  *  *

Sementara di tempat lain sedang menyambut pagi yang cerah menjelang matahari terbit. Berbagai macam burung hinggap di pepohonan ada pula yang berterbangan, berkicau bersahut-sahutan dengan riangnya menambah keasrian pagi.

Orang-orang mulai pekerjaan mereka dengan penuh semangat, ada yang bekerja di sawah, di pategalan, banyak pula yang bekerja di rumah terutama ibu-ibu yang harus memasak dan membereskan pekerjaan rumah, selain itu ditambah lagi ada pula yang harus momong anak-anaknya yang masih kecil.

Orang-orang yang tidak bekerja di sawah atau pategalan, mereka bisa bekerja di bidang lain, seperti sebagai pembuat kerajinan dari bambu, dengan membuat tampah, caping, cething, dan keranjang yang nantinya bisa mereka jual ke tetangga sekitar yang membutuhkan atau akan mereka jajakan ke pasar jika hari pasaran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pekerjaan apapun yang mereka jalani dan mereka tekuni itu saling melengkapi satu sama lain, karena tidak ada pekerjaan yang paling bagus, paling benar, dan bisa berdiri sendiri tanpa dukungan dari orang lain atau pekerjaan lain.

Yang Maha Agung menciptakan kita dengan  segala kekurangan itu adalah untuk selalu mengingatkan kita semua bahwa tidak ada gunanya kita menyombongkan diri.

Kita dibekali akal untuk menggapai gegayuhan setinggi langit, tapi kita juga dibekali hati agar selalu tetap membumi.

Di sepanjang sawah dan pategalan Tanah Perdikan Menoreh yang semakin menghijau adalah sebuah pertanda bahwa para kawulanya sangat rajin dan tekun dengan pekerjaan mereka selain itu memang pekerjaan sebagai penopang hidup mereka.

Rumah Nyi Pandan Wangi sudah mulai terlihat sepi, hanya tinggal pihak keluarga sendiri, para pengawal yang bertugas dan  pembantu yang mengurus rumah.

Suasana di rumah itu sudah mulai seperti hari-hari biasanya, sudah tidak lagi terlihat kesedihan yang berlarut-larut karena kepergian orang yang sangat mereka cintai dan hormati.

Pagi itu hampir seluruh anggota keluarga telah berkumpul di pendapa dengan dikawani minuman hangat dan beberapa potong makanan, kecuali Ki Argajaya yang tidak terlihat.

Pertemuan yang demikian adalah sebuah pertemuan yang sangat jarang sekali terjadi, oleh karena itu mereka ingin memanfaatkannya untuk saling mengenal lebih jauh, bagi yang sudah kenal biar semakin mengenal lebih dekat, yang belum kenal biar dapat saling mengenal.

Namun baru beberapa saat mereka memulainya, Nyi Pandan Wangi merasa ada yang kurang mapan menurutnya.

“Rara Wulan, mana ketiga adik angkatmu?”.

“Mereka sedang membantu kerja di dapur untuk menyiapkan makan pagi, tadi sudah aku ajak kemari mbokayu, tapi mereka merasa sungkan berada di tengah-tengah kita semua”.

“Ah.. ada-ada saja mereka, kita semua disini adalah keluarga. Tapi baiklah, aku sendiri yang akan memanggilnya di dapur”. sahut Nyi Pandan Wangi yang kemudian bergegas ke dapur.

Tidak lama kemudian ibu Sekar Wangi kembali bersama dengan Padmini, Setiti, dan Baruni yang sebenarnya masih merasa sungkan jika harus duduk bersama dengan keluarga besar Ki Lurah Glagah Putih yang masih banyak yang belum dikenalnya.

Padmini, Setiti, dan Baruni merasa sungkan karena mereka merasa hanya sebagai saudara angkat dari ibu Arya Nakula setelah dulu dipersatukan oleh Ki Citra Jati dan istrinya.

Kemudian mereka mengambil tempat duduk masing-masing di pendapa yang sudah beralaskan tikar daun mendong yang dianyam dengan cara khusus.

“Mumpung kita sedang berkumpul semua meskipun ada yang belum bisa hadir, tapi ini bisa dikatakan lengkap. Karena selama ini kita lebih banyak disibukkan dengan keperluan masing-masing sehingga jarang sekali kita mempunyai waktu untuk saling bertemu, dengan begitu kita sampai tidak mengenali lagi siapa saja keluarga kita”. berkata Nyi Pandan Wangi memulai pembicaraan setelah dia duduk kembali.

“Kau benar Pandan Wangi, siapakah mereka bertiga ini?”.

“Mereka adalah saudara angkat dari Rara Wulan dan Glagah Putih kakang Untara, yang paling tua adalah Padmini, Setiti, dan yang paling muda adalah Baruni”.

“Kami menghaturkan sungkem pangabekti kepada semuanya yang tidak dapat aku sebut satu-persatu, dan kami hanya bisa mengucapkan terima kasih karena sudah diterima dengan sangat baik oleh keluarga besar disini”. berkata Padmini yang mewakili kedua adiknya.

“Aku yang kebetulan salah satu yang dituakan di keluarga ini selain Ki Jayaraga, mewakili semuanya bahwa kami menerima sungkem baktimu dengan kedua tangan terbuka, dan terimalah pangestu dari kami”.

“Terima kasih Ki Untara”. jawab Padmini. Lalu katanya lagi, “tapi maaf, sepertinya aku belum pernah mengenal Ki Sanak bertiga?”.

“Kami bertiga adalah para cantrik Padepokan Orang Bercambuk yang menyertai perjalanan Ki Untara”.

Orang-orang yang mendengarnya tersenyum mendengar jawaban dari Ki Agahan, kecuali ketiga perempuan saudara angkat yang berasal dari sebelah selatan Gunung Kendeng.

“Ki Agahan jangan mencoba membohongi saudara-saudaraku”. berkata Nyi Lurah Glagah Putih.

Tapi sebelum Ki Agahan sempat menjawab.

“Maksud mbokayu?”. bertanya Baruni dengan heran sembari menatap wajah mbokayu angkatnya.

“Dia adalah Ki Agahan, pemimpin Padepokan Orang Bercambuk, sedang yang dua orang lagi adalah cantrik-cantrik utamanya”.

“Kau jangan mempermalukan aku Nyi Lurah, apakah kau tidak menyadari bahwa aku tidak berani berkata demikian, karena disini terdapat Ki Agung Sedayu dan Ki Untara”.

Orang-orang seketika tertawanya menjadi pecah setelah mendengar jawaban dari Ki Agahan, tak terkecuali dua orang yang tadi namanya disebut.

“Tenang saja Ki Agahan, kakang Agung Sedayu dan kakang Untara tidak akan memarahimu karena kau hanya berkata demikian di depannya”. sahut Nyi Lurah Glagah Putih.

“Bukankah Padepokan Orang Bercambuk memang dipimpin oleh Ki Agahan?”. bertanya Ki Agung Sedayu sembari tersenyum.

“Tidak, aku hanya cantrik padepokan saja”. sahut Ki Agahan.

Sekali lagi mereka kembali tertawa.

“Maaf, sepertinya aku belum pernah mengenal Nyi Sanak yang satu ini, sejak kemarin aku sudah melihatnya tapi belum berani bertanya”. berkata Padmini setelah tertawa mereka reda.

“Aku adalah Anjani, istri dari kakang Agung Sedayu”.

Jawaban orang itu sangat mengejutkan Padmini dan kedua adik angkatnya, mereka pun saling padang.

“Kalian tidak perlu heran, memang demikianlah kenyataannya”. berkata Nyi Lurah Glagah Putih yang tanggap akan sikap adik-adik angkatnya.

Meskipun ketiga perempuan itu masih merasa heran, tapi sudah tidak berani bertanya lebih lanjut lagi.

Pembicaraan mereka terputus ketika tiba-tiba datang seorang pembantu yang memberitahukan bahwa makan pagi telah siap di ruang dalam.

Lalu mereka semua pun segera menuju ke ruang dalam untuk menikmati makan pagi bersama-sama. Nasi putih yang masih mengepul, sayur lembayung, sayur bayam, ikan goreng, ayam goreng, dan tidak ketinggalan adalah sambal goreng rawit hijau.

Dari semua yang makan, hanya Bayu Swandana yang terlihat makannya paling lahap, bahkan dia masih menikmati makannya ketika yang lain sudah selesai.

“Siapa yang akan nambah lagi? barangkali ada yang ingin mengawani Bayu Swandana”. berkata Nyi Pandan Wangi saat melihat anaknya masih menyantap makanannya.

Yang mendengar pertanyaan Nyi Pandan Wangi hanya tersenyum, kecuali Bayu Swandana yang justru tertawa meskipun mulutnya masih berisikan makanan. Lalu mereka mendahului ke pendapa karena sudah selesai makannya.

Setelah kembali ke pendapa dengan perut yang sudah kenyang, mereka melanjutkan menikmati minuman hangat dan meneruskan pembicaraan yang tadi sempat terputus.

Kemudian pembicaraan di pendapa itu berlanjut dengan membicarakan hal-hal yang menarik bagi mereka yang sesekali diselingi dengan kelakar dari salah satu yang hadir, dengan begitu suasana menjadi semakin mencair dan akrab.

Dalam suasana yang membahagiakan tersebut seakan-akan hampir semua orang yang hadir ingin meluapkan kerinduan yang selama ini jarang sekali tersalurkan satu dengan yang lain.

Ki Jayaraga, Arya Nakula, dan Bagus Sadewa yang tadi pagi masih terlihat ikut berkumpul di pendapa, setelah makan pagi mereka bertiga tidak terlihat kembali, hanya Bayu Swandana saja yang menyusul setelah menyelesaikan makannya.

“Sebaiknya kapan kita kembali ke Jati Anom?”. bertanya Ki Untara kepada Ki Agahan perlahan, karena kebetulan berada di sebelahnya.

“Kami terserah kepada Ki Untara saja”.

“Kakang Untara tidak perlu tergesa-gesa, bukankah tidak ada kewajiban yang harus segera kalian kerjakan? sehingga kalian tidak dikejar waktu?”. berkata Ki Agung Sedayu.

“Kau jangan salah, sekarang aku mempunyai kewajiban. Aku telah mendapatkan tugas dari pemimpin tertinggi Padepokan Orang Bercambuk untuk mengurus ikan-ikan yang berada di halaman belakang itu”. sahut Ki Untara, membuat orang yang mendengarnya tertawa.

Tiba-tiba Bagus Sadewa muncul bersama adik sepupunya dan langsung berjalan mendekati ayahnya yang sedang duduk sembari memangku Sekar Wangi.

“Ayah.. tolong lihatlah Ki Jayaraga”. berkata Bagus Sadewa perlahan.

“Kenapa dengan Ki Jayaraga?”.

“Sebaiknya Ayah langsung melihatnya sendiri di gandok kiri”.

“Baiklah”. sahut Ki Agung Sedayu yang kemudian memberikan Sekar Wangi kepada ibunya.

Orang-orang yang berada di pendapa hanya bisa saling pandang dengan penuh pertanyaan ketika anak kedua Ki Sadewa tersebut bergegas pergi bersama Bagus Sadewa dan Arya Nakula.

Ki Jayaraga terlihat terbaring lemah di atas tikar daun pandan yang tidak begitu lebar tapi masih dalam keadaan sadarkan diri sepenuhnya.

“Apa yang terjadi Ki Jayaraga?”.

“Maaf ngger, tolong periksalah keadaanku. Tiba-tiba tubuhku terasa kurang mapan”. berkata Ki Jayaraga dengan suara yang agak terputus-putus.

“Baiklah, aku akan mencobanya”.

Ki Agung Sedayu kemudian memeriksa keadaan guru adik sepupunya itu dengan seksama, dari aliran darah di beberapa titik nadi, detak jantung, dan pernafasan.

“Aku rasa Ki Jayaraga hanya butuh lebih banyak istirahat, akan aku beri obat penguat daya tahan tubuh agar Ki Jayaraga segera sehat kembali”. Lalu katanya lagi, “ngger, tolong ambilkan air untuk minum obat”.

Arya Nakula pun segera bergegas ke dapur, tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa sebuah mangkuk dan kendi yang terbuat dari tanah liat.

“Ini paman, airnya”. ucap Arya Nakula sembari menyerahkan apa yang dibawanya.

“Kakek sakit apa Paman?”, tanya Arya Nakula bersamaan pada saat Ki Jayaraga minum obat.

“Kakekmu tidak sakit ngger, hanya butuh lebih banyak istirahat, mungkin Kakekmu terlalu lelah. Nanti setelah dia minum obat lalu beristirahat, semoga nanti setelah bangun dia sudah segar kembali”.

Arya Nakula tidak menjawab lagi, tapi di wajahnya terlihat kecemasan akan kesehatan orang yang sudah dianggapnya seperti kakeknya sendiri, karena memang Ki Jayaraga lah yang menemaninya hampir sepanjang waktu sejak dirinya masih kecil dibandingkan Ki Widura dan Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Marilah kita keluar ngger, biar kakekmu bisa beristirahat”.

“Apakah tidak boleh jika aku menunggui Kakek, Paman?”. bertanya Arya Nakula polos.

Ki Agung Sedayu tidak segera menjawab, di pandangilah kemenakannya tersebut. Lalu katanya, “baiklah, tapi kau jangan sampai mengganggu waktu istirahat kakekmu”.

“Baik Paman, aku tidak akan mengganggu kakek”.

“Aku akan mengawanimu”.

“Jika kalian berdua, sebaiknya kalian menunggunya di depan pintu saja, agar tidak mengganggu Ki Jayaraga jika kalian bercakap-cakap”. sahut ayah Bagus Sadewa.

Kemudian mereka bertiga pun keluar, ketika mereka sampai di depan pintu gandok, “jika ada apa-apa segera laporkan padaku ngger”.

“Baik paman”. sahut Arya Nakula.

Lalu ayah Bagus Sadewa meninggalkan tempat itu untuk kembali berkumpul di pendapa bersama dengan orang-orang tua.

“Ada apa Kakang?”. bertanya Nyi Sekar Mirah, setelah suaminya sudah kembali duduk di antara mereka.

“Ki Jayaraga tiba-tiba kesehatanya menurun, tapi sudah aku beri obat penguat daya tahan tubuh dan agar segera sehat kembali aku suruh untuk beristirahat. Arya Nakula dan Bagus Sadewa yang menungguinya”.

“Semoga Ki Jayaraga segera sehat kembali”. berkata Nyi Lurah Glagah Putih.

“Mari kita sama-sama nenuwun, Rara Wulan”. sahut Ki Agung Sedayu kepada istri adik sepupunya tersebut.

“Aku juga baru menyadari jika Ki Jayaraga sudah sangat sepuh pula, dan umurnya tidak terlalu jauh dengan Swargi ayah Argapati”. sahut Nyi Pandan Wangi.

“Ki Jayaraga memang sudah sangat sepuh, waktu pertama kali aku mengenalnya pun sudah sangat lama sekali”.

Sementara ketika matahari sudah semakin turun, Ki Jayaraga yang tadi beristirahat telah terbangun, dipandanginya sekitar tapi tidak terlihat siapapun di ruang gandok tersebut.

Setelah beberapa saat dia membuka mata, tenggorokannya terasa sangat kering, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Guru Ki Lurah Glagah Putih itu pun tetap berusaha bangkit meskipun dengan susah payah sembari bertelekan kedua tangannya.

“Ah.. “. desis Ki Jayaraga perlahan.

Tiba-tiba pintu gandok dibuka dari luar, dan munculah Arya Nakula dan Bagus Sadewa yang segera menghampirinya.

“Kakek mau kemana?”. tanya Arya Nakula.

“Aku haus ngger”.

“Akan aku ambilkan, Kakek disini saja”.

“Terima kasih ngger, kalau begitu tolong ambilkan aku wedang jahe tanpa gula”.

“Baik, akan aku ambilkan. apakah Kakek memerlukan yang lain? agar aku sekalian membawakannya. Kakang Bagus Sadewa akan menemani Kakek disini”.

“Itu saja ngger”.

Arya Nakula pun segera bergegas ke dapur untuk mengambil wedang jahe yang diminta Ki Jayaraga, tapi harus menunggu beberapa saat karena wedang jahenya harus dipanasi dulu oleh pembantu rumah Nyi Pandan Wangi.

“Maaf jika menunggu lama Kek, karena tadi wedang jahenya harus dipanasi lebih dahulu”. berkata Arya Nakula sekembalinya di gandok.

“Tidak apa-apa ngger”. sahut Ki Jayaraga dengan suara yang semakin lemah.

Setelah minum obat dan tadi sempat beristirahat beberapa lama tubuh Ki Jayaraga memang terasa lebih baik, lalu Ki Jayaraga meminum wedang jahe tanpa gula itu perlahan-lahan dengan dibantu Arya Nakula.

“Cukup ngger”.

“Apakah Kakek tidak mu menghabiskannya?”.

“Hausku sudah hilang, lagipula perutku sudah terasa penuh”.

“Sebaiknya Ki Jayaraga beristirahat kembali”.

“Meskipun aku sudah tidak mengantuk lagi karena tadi sudah tertidur beberapa lama, tapi memang sebaiknya aku merebahkan diri karena tubuhku masih terasa lemah”.

“Aku akan memberitahukan kepada ayah tentang keadaan Ki Jayaraga”. sahut Bagus Sadewa.

“Terima kasih ngger”.

Kemudian anak Nyi Sekar Mirah itu pun bergegas keluar untuk  mencari ayahnya. Ternyata ayahnya masih berada di pendapa bersama orang-orang yang sama waktu tadi pagi.

“Ayah, Ki Jayaraga sudah terbangun, katanya tubuhnya masih terasa lemah meskipun sudah lebih baik daripada sebelum minum obat yang Ayah berikan tadi siang”.

“Baiklah, Ayah akan melihatnya”.

“Aku ingin melihatnya pula”. sahut Ki Untara, membuat yang lain pun berkeinginan yang sama.

“Baiklah, kita akan sama-sama melihatnya. Tapi kita harus secara bergantian memasuki gandok”. sahut Ki Agung Sedayu.

Lalu semua orang yang tadi berada di pendapa bersama-sama menuju gandok kiri tempat Ki Jayaraga beristirahat yang masih dikawani oleh Arya Nakula.

Ki Jayaraga yang didatangi oleh banyak orang pun menjadi sangat terkejut.

“Ada apa kalian beramai-ramai datang kemari?”.

“Kami ingin melihat pertunjukan tayub”. sahut Ki Untara yang kebetulan masuk gandok paling pertama.

“Bukankah pertunjukan tayub itu harus diperagakan oleh perempuan-perempuan cantik dan menarik? bukan lelaki tua renta seperti diriku Ki Untara”. sahut Ki Jayaraga, membuat orang yang mendengarnya tidak bisa menahan tertawanya.

“Bagaimana keadaan Ki Jayaraga?”.

“Sudah lebih baik Ki Untara, meskipun masih lemah”.

Ki Agung Sedayu pun segera mendekati tubuh Ki Jayaraga, lalu memeriksanya kembali.

“Aku akan membuatkan obat yang lebih keras dari obat yang tadi diminum, agar Ki Jayaraga segera segar kembali”.

“Terima kasih”. sahut Ki Jayaraga yang masih terbaring lemah.

“Tolong ambilkan air panas, mangkuk dan sendok, untuk mencampur obat”. berkata Ki Agung Sedayu yang ditujukan kepada Nyi Pandan Wangi yang berdiri di sebelahnya.

“Baik Kakang”.

Nyi Pandan Wangi pun segera berlalu untuk mengambilkan yang diminta suaminya. Tidak lama kemudian dia pun kembali dengan membawa barang yang diminta.

Kemudian Ki Agung Sedayu mengeluarkan beberapa ramuan obat yang selalu dibawanya di samping ikat pinggangnya. Tiga jenis ramuan obat telah dituangkannya ke dalam mangkuk yang berisi air panas. Setelah dicampur dan diaduk secara merata obat itu berwarna agak kehijau-hijauan.

“Silahkan diminum obatnya Ki Jayaraga”. berkata Ki Agung Sedayu sembari menyerahkan obatnya.

Ki Jayaraga pun menerima mangkuk tersebut, lalu meminumnya perlahan-lahan hingga habis tak bersisa.

“Ki Jayaraga jangan menjadi terkejut jika sebentar lagi tubuhmu akan merasakan hawa panas yang akan semakin meninggi, tapi itu tidak akan berlangsung lama. Mari kita sama-sama nenuwun, semoga Ki Jayaraga segera menjadi sehat dan segar kembali”.

“Terima kasih. Aku percaya padamu”.

“Sebaiknya kita tinggalkan Ki Jayaraga sendiri agar bisa beristirahat, dengan begitu kesehatannya akan segera pulih kembali seperti yang kita semua harapkan”. berkata Ki Agung Sedayu yang ditujukan kepada semua orang yang berada di gandok.

“Meskipun aku tidak merasa mengantuk, tapi aku tetap berusaha memejamkan mataku”.

Kemudian semua orang meninggalkan gandok untuk memberikan waktu guru Ki Lurah Glagah Putih istirahat, kecuali Arya Nakula yang tetap dengan setia menunggui di depan pintu dengan menggelar tikar.

Matahari terlihat semakin turun di ufuk barat, bahkan cahayanya yang nampak kemerah-merahan sudah berada di ujungnya, tanda sebentar lagi adalah waktu panggilan kewajiban kepada Yang Maha Agung serta Maha Welas Asih.

Mereka pun segera membersihkan diri secara bergantian di pakiwan, setelah selesai menjalankan kewajiban sebagai hambaNya, mereka menikmati makan malam yang sudah disediakan para pembantu di rumah Nyi Pandan Wangi.

“Rara Wulan, kemana anakmu?”. bertanya Nyi Sekar Mirah.

“Setelah tadi membersihkan diri di pakiwan, dia kembali mengawani Ki Jayaraga mbokayu”.

“Biarlah aku suruh seorang pembantu untuk mengantarkan makan malam untuknya dan Ki Jayaraga”. sahut Nyi Pandan Wangi.

“Tidak perlu mbokayu, biarlah aku yang akan mengantarnya sendiri. Aku kira Bagus Sadewa berada disana pula”. jawab Nyi Lurah Glagah Putih.

“Baiklah kalau begitu”.

*  *  *

Sementara itu, pasukan segelar sepapan Mataram yang melawat ke Kadipaten Wirasaba masih terlihat berjalan beriring-iringan meskipun langit sudah mulai gelap.

Beberapa prajurit telah diperintahkan untuk menyalakan oncor dari biji jarak yang memang telah disiapkan untuk membantu penerangan perjalanan.

Meskipun pasukan itu telah menempuh perjalanan yang sangat panjang, tapi mereka adalah pasukan yang sudah sangat terlatih. Perjalanan panjang bukan menjadi masalah bagi mereka. Kebanyakan hanya prajurit muda saja yang masih terdengar mengeluh.

Tapi meskipun begitu pasukan itu masih dalam barisan kelompok masing-masing dan tetap rapi, hampir tidak berubah dengan pada waktu mereka berangkat dari Kotaraja Mataram.

“Perintahkan kepada seluruh pasukan bahwa kita akan berjalan terus sampai tujuan, karena tidak akan lama lagi kita akan sampai jika berjalan terus”. Berkata Ki Tumenggung Suratani kepada prajurit penghubung yang berkuda pula tak jauh di sebelah barisan pasukan Mataram.

“Baik Ki Tumenggung”.

“Kau segera hubungi pula prajurit penghubung, dari prajurit sandi yang bertugas disini untuk menyampaikan kedatangan kita, agar mereka tidak terlambat menyambut kita. Karena jika mereka terlambat mengetahui kedatangan kita, maka kita akan kebingungan menentukan tempat peristirahatan sekaligus untuk pertahanan garis peperangan”.

“Baik Ki Tumenggung”.

Baru saja prajurit penghubung tersebut pergi, seorang prajurit penghubung lain yang berkuda pula datang dari arah depan menghampiri Ki Tumenggung Suratani.

“Ada apa?”.

Orang yang ditanya tidak segera menjawab, tapi dia justru mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, lalu ditunjukkannya kepada Senopati Agung Mataram tersebut.  Ternyata benda itu adalah sebuah lencana keprajuritan.

Ki Tumenggung Suratani yang tanggap akan maksud orang yang baru saja datang lalu berkata, “katakanlah”.

“Kami seluruh prajurit sandi Mataram di bawah pimpinan Ki Lurah Glagah Putih yang bertugas di Wirasaba menyambut kedatangan pasukan Mataram segelar sepapan dengan tangan terbuka dan kami akan memandu pasukan ini sampai titik yang telah ditentukan”.

“Terima kasih. Kami akan mengikutimu”. jawab Ki Tumenggung Suratani.

“Kita akan sampai ke tempat tujuan setelah melewati pinggir hutan kecil ini, area persawahan, dan Kademangan Majasanga yang telah ditinggalkan seluruh penduduknya. Ki Lurah Glagah Putih sudah menunggu kedatangan kita disana”.

“Baik, kami mengerti”.

Pasukan segelar sepapan Mataram kini bisa melangkah dengan mantap setelah menerima seorang penghubung dari kesatuan prajurit sandi  yang bertugas di Wirasaba telah datang dan akan memandu pasukan ke tempat tujuan.

Meskipun pasukan itu dalam keadaan kelelahan, tapi tetap bersemangat karena sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat yang mereka tuju setelah sekian lama di perjalanan.

“Aku senang akhirnya kita akan sampai juga ke tempat tujuan setelah perjalanan sekitar dua pekan”. berkata seorang prajurit muda yang berada di salah satu barisan belakang.

“Kita memang pantas senang dengan apa yang akan kita capai, tapi perlu kau ingat pula bahwa perjalanan kita ini bukanlah perjalanan bersenang-senang tapi perjalanan menuju peperangan yang garang”. sahut kawan di sebelahnya.

“Ya.. kau benar kang”. jawab prajurit tadi yang wajahnya menjadi lesu kembali.

“Tapi kau tidak perlu berkecil hati pula, kita memang akan memasuki peperangan yang sangat garang tapi bukan berarti kita akan membunuh diri. Dalam peperangan semua kemungkinan dapat terjadi, dan kita tidak akan pernah tahu sebelum kita melewati perang ini”. berkata kawannya lagi.

“Aku sudah menyadarinya sejak hari pertama aku mempunyai keinginan menjadi prajurit”.

“Baguslah jika kau sudah menyadarinya”.

“Meskipun aku menyadari resikonya menjadi seorang prajurit, tapi aku rasa ini adalah pilihan terbaikku. Karena jika aku tidak menjadi prajurit maka keluargaku akan tetap hidup dalam kemelaratan”.

“Apakah keluargamu tidak mempunyai sawah atau tanah garapan?”.

“Keluargaku adalah keluarga yang sangat melarat, kami hanya mempunyai tanah sekotak peninggalan biyungku yang telah kami dirikan gubuk”.

“Apa pekerjaan ayahmu?”.

“Ayahku tidak pernah mempunyai pekerjaan yang jelas seperti orang kebanyakan, pekerjaannya hampir setiap hari adalah minum tuak dan sabung ayam”.

“Apakah kau pernah mengingatkan ayahmu?”.

“Sudah, tapi karena itu aku harus merasakan sakit hampir di sekujur tubuhku selama beberapa hari karena dihajarnya. Dia adalah seorang ayah yang pemarah, apalagi kepada anak dan keluarganya sendiri”.

“Mungkin kau telah melakukan kesalahan lain sebelum menegurnya?”.

“Tidak, tapi ayahku memang tiba-tiba bisa berubah menjadi seperti singa lapar yang sedang berhadapan dengan seekor kelinci jika ditegur atau diingatkan oleh keluarganya sendiri”.

“Aku tidak pernah menyangka jika ayahmu sejauh itu kepada anaknya sendiri, semoga saja ayahmu segera menyadari kesalahannya”.

“Tapi aku tidak pernah memaksa orang lain untuk percaya dengan ceritaku, karena jika orang yang belum mengenal ayahku pasti akan menganggap aku hanya ngayawara”.

“Meskipun aku belum pernah melihat apalagi mengenal ayahmu, tapi aku merasa bahwa ceritamu memang apa adanya”.

Pembicaraan mereka tidak sempat berlanjut ketika seorang prajurit penghubung memberitahukan bahwa tidak lama lagi mereka akan sampai.

Sebenarnya pasukan tersebut memang akan memasuki sebuah kademangan, yaitu Kademangan Majasanga.

Sementara prajurit sandi yang memandu pasukan dan berkuda di sebelah Senopati Agung berkata, “maaf Ki Tumenggung Suratani, berdasarkan pertimbangan Ki Lurah Glagah Putih, meskipun kademangan ini telah kosong karena ditinggalkan penduduknya yang mengungsi, tapi sebaiknya pasukan Mataram jangan mengganggunya dengan memanfaatkan kekosongan ini”.

“Apakah hanya itu alasannya?”.

“Sebaiknya kawula alit yang tidak tahu menahu persoalannya jangan kita buat menjadi semakin ketakutan dengan adanya perang ini”.

“Baiklah, nanti aku sendiri yang akan membicarakan masalah ini kepada Ki Lurah Glagah Putih, agar tidak terjadi kesalah-pahaman di antara kita”.

Tidak lama kemudian pasukan segelar sepapan Mataram pun telah benar-benar sampai di tempat tujuan dan mendapat acara penyambutan dengan sangat sederhana yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Glagah Putih bersama beberapa prajurit sandi lainnya yang sudah lebih dahulu bertugas di Kadipaten Wirasaba.

Setelah acara penyambutan selesai, para prajurit pun segera mendirikan perkemahan sementara untuk mereka beristirahat. Sementara para petugas perbekalan dan dapur tidak kalah menjadi sibuk pula, apalagi karena waktu makan malam sudah melewati batasnya.

Tapi para petugas dapur adalah orang-orang yang sangat berpengalaman, sehingga meskipun mereka menjadi sangat sibuk mendengarkan keluhan kawan-kawan mereka yang sudah lapar, mereka tidak menjadi gugup.

Sementara Ki Tumenggung Suratani sebagai Senopati Agung dari pasukan segelar sepapan Mataram yang baru saja datang segera  menghampiri Ki Lurah Glagah Putih sebagai pemimpin tertinggi Prajurit Sandi Mataram yang lebih dahulu ditugaskan di Wirasaba.

Orang yang ternyata sudah saling mengenal itu pun tidak lupa untuk saling menanyakan keselamatan masing-masing, karena sebenarnya keduanya memang adalah prajurit yang sama-sama dari kesatuan Pasukan Khusus yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh.

“Bagaimana perjalanan Ki Tumenggung Suratani?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih dengan ramahnya.

“Meskipun perjalanan yang sangat lambat, tapi bagiku tetap menjadi perjalanan yang menyenangkan Ki Lurah Glagah Putih”.

“Apakah di sepanjang perjalanan telah menemui hambatan?”.

“Ya sedikit hambatan-hambatan kecil Ki Lurah, seperti roda pedati yang rusak, jalan-jalan yang terkadang rumpil. Yang justru akan menjadi sebuah kisah yang menarik pada saat kita bercerita seperti sekarang ini”. berkata Ki Tumenggung Suratani sembari tersenyum.

“Benar sekali, karena perjalanan yang lurus-lurus saja ternyata terasa akan kurang menarik jika diceritakan”.

Kemudian para senopati pun berkumpul di sebuah perkemahan yang baru saja selesai dibangun oleh para prajurit. Setelah mereka saling bertegur sapa dan menanyakan keselamatan masing-masing, lalu mereka melanjutkan pembicaraan sehubungan dengan perang yang akan mereka hadapi bersama.

“Aku mendapat laporan bahwa Kadipaten Wirasaba telah mendapatkan bantuan persenjataan dari Kadipaten Surabaya yang dinamakan dengan bedil dan meriam”.

“Berapa banyak Ki Lurah?”.

“Untuk bedil kurang lebih lima belas, dan untuk meriamnya ada tiga”.

“Senjata-senjata yang sangat nggegirisi dan mematikan”. sahut Ki Rangga Sabungsari.

“Dari kemarin aku memikirkan bagaimana caranya meredam kedua senjata itu, terutama meriam. Karena meriam mempunyai akibat yang sangat mengerikan sekali, bahkan bisa menghancurkan dinding pembatas yang sangat kokoh sekalipun dalam sekali serangan tanpa harus menjalani sebuah laku lebih dahulu, bahkan semua orang pun bisa melakukannya”. ucap Ki Tumenggung Suratani.

“Bukankah kemarin kau mempunyai pendapat untuk menugaskan pasukan kecil untuk meredam senjata-senjata mengerikan itu?”.

“Benar Ki Tumenggung Prayabuana, tapi setelah aku pikir-pikir lagi itu akan sangat berbahaya sekali bagi yang mendapat tugas itu. Aku seperti merasa melemparkan seseorang masuk ke kandang kawanan singa”.

Mereka yang mendengar ucapan senopati dari Pasukan Khusus yang berkedudukan di Menoreh itu pun hanya bisa mengangguk, dan bisa mengerti alasanya.

“Coba kita mencari cara lain lebih dahulu yang tidak seberbahaya ini, mungkin dari kalian ada yang mempunyai pendapat yang tidak sangat berbahaya seperti itu, jika tidak ada lagi baru itu kita pakai sebagai cara yang paling terakhir.

Orang-orang yang hadir pun menjadi terdiam, sembari berusaha mencari gagasan yang paling memungkinkan dan masuk akal untuk mereka lakukan.

Sebelum mereka ada yang menjawab, petugas yang membagikan nasi ransum datang membagikan jatah makan malam untuk semua prajurit termasuk para perwira tertinggi.

“Apakah semua prajurit sudah mendapatkan jatah?”.

“Sepertinya belum semua Ki Tumenggung Suratani”

“Bawalah nasi ransum itu kembali kemari jika semua prajuritku sudah mendapatkan jatahnya”.

Petugas yang membagikan nasi ransum menjadi tertegun, dalam kebingungannya dia tidak segera bergegas pergi.

“Kau pasti petugas dapur baru?”.

“Benar”.

“Lakukan saja apa yang tadi aku katakan”.

“Baik Ki Tumenggung Suratani”. jawab petugas pembagi nasi ransum tergagap, lalu meninggalkan tempat itu.

Seluruh pasukan Mataram akhirnya bisa menikmati makan malam lebih nikmat dari biasanya karena kali ini lebih lapar setelah mereka melewati jauh dari waktu yang seharusnya.

Selesai makan, para prajurit ada yang langsung mencari sumber air untuk membersihkan diri secara berkelompok dan bergantian, ada pula yang karena saking lelahnya dia langsung tertidur, bahkan ada pula yang tertidur dalam keadaan duduk bersandar pohon nyamplung.

Meskipun pasukan itu sangat kelelahan, tapi mereka tidak pernah melupakan kewaspadaan dengan tetap menjaga keamanan secara bergiliran.

“Silahkan jika kalian semua akan beristirahat, kalian tentu sangat lelah sekali, aku akan membantu untuk berjaga-jaga di sekitar perkemahan ini”.

“Terima kasih Ki Lurah Glagah Putih, jika kau yang berjaga tentu istirahatku akan sangat nyenyak sekali”.

“Aku hanya sekedar membantu Ki Tumenggung Suratani dan Ki Sanak Semua”.

“Tapi bantuanmu itu sangat berarti sekali bagi kami”.

“Baiklah aku akan berjaga di luar agar kalian dapat beristirahat dengan nyenyak”.

Ayah Arya Nakula segera bergegas keluar dari perkemahan, lalu dia menemui prajurit yang bertugas, entah apa yang dikatakannya lalu dia meninggalkan tempat itu.

Ki Lurah Glagah Putih segera menyingkir seorang diri ke kegelapan di ujung perkemahan yang tidak mendapat penerangan dari oncor-oncor biji jarak.

Setelah dia berada dalam kegelapan segera dia mencari tempat bersandar tapi tetap bisa sembari mengawasi sekitar. Lalu melompatlah dia ke salah satu dahan pohon nyamplung yang kebetulan banyak tumbuh di wilayah tersebut.

Sejenak dalam keremangan malam di atas dahan pohon nyamplung, Ki Lurah Glagah Putih merasakan sesuatu yang kurang mapan di hatinya, tiba-tiba saja dia teringat akan Tanah Perdikan Menoreh.

“Ah.. mungkin hanya perasaanku saja”. katanya dalam hati, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Tapi dalam hatinya yang paling dalam tidak bisa dibohongi, semakin dia berusaha menepis perasaannya, maka dia semakin merasa tidak tenang.

“Mengapa tiba-tiba aku merasa ada yang kurang mapan dalam hatiku, dan semakin aku berusaha menepisnya maka aku merasa semakin tidak tenang”.

Pikiran Ki Lurah Glagah Putih semakin berputar-putar tanpa bisa dijawabnya sendiri.

“Kemarin kakang Agung Sedayu tiba-tiba datang secara mengejutkan, akankah hari ini dia akan datang lagi? kalau datang lagi aku bisa bertanya padanya tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh, tapi semoga semuanya baik-baik saja”.

Meskipun seorang diri bersandar di salah satu dahan pohon nyamplung, kegelisahan itu semakin lama tidak dapat disembunyikannya.

“Seandainya saja kakang Agung Sedayu datang”. katanya perlahan yang seakan ditujukan pada dirinya sendiri.

Ki Lurah Glagah Putih tiba-tiba terkejut bukan kepalang seperti mendengar suara guntur telah meledak di sebelah tempatnya bersandar, bahkan dia hampir terjatuh jika tidak memiliki gerak naluriah yang luar biasa.

“Ada apa Glagah Putih”.

Tiba-tiba telah bersandar pula seseorang di dekatnya yang tidak pernah disadarinya kapan datangnya.

“Kakang?”. ucap Ki Lurah Glagah Putih dengan wajah penuh keterkejutan. Katanya lagi, “kapan kakang datang?”.

“Baru saja”

“Aku benar-benar tidak menyadari kedatanganmu”.

Orang yang dipanggil kakang hanya tersenyum mendengar ucapan ayah Arya Nakula.

“Wajar saja jika kau tidak menyadari kedatanganku, karena aku datang hanya dengan wujud semuku, bukan dalam wujudku yang sebenarnya”.

“Apakah ada berita yang sangat penting, sehingga kakang memerlukan datang menemui aku disini?”.

“Glagah Putih, aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu, tapi aku harap kau tidak menjadi terkejut”.

“Aku akan berusaha kakang”.

“Ketahuilah Glagah Putih, bahwa gurumu Ki Jayaraga telah dipanggil Yang Maha Agung”.

Ki Lurah Glagah Putih yang tadi sudah mencoba untuk menguatkan sepenuh hatinya untuk mendengarkan kabar dari kakak sepupunya tersebut tetap menjadi sangat terkejut pula setelah mendengarnya sendiri apa yang disampaikan.

Seketika wajahnya ditutup oleh kedua telapak tangannya, tak ada jawaban atau tanggapan yang bisa keluar dari mulutnya. Tiba-tiba mulutnya menjadi kelu.

Ki Agung Sedayu yang dalam wujud semu itu sengaja membiarkan adik sepupunya tersebut untuk sejenak menenangkan diri tanpa terganggu.

“Aku tidak pernah menyangka jika guru akan pergi secepat ini”.

“Kita memang tidak pernah tahu kapan umur kita akan berakhir, serta kita dalam keadaan seperti apa akan mengalaminya. Tapi yang jelas kita tidak akan pernah bisa menghindari segala pepesthen yang telah digariskan oleh Yang Maha Agung”.

“Iya Kakang”.

“Tenangkanlah dirimu, sekarang kau adalah senopati di wilayah peperangan, kau tidak boleh terhanyut dalam perasaanmu”.

“Aku mengerti Kakang. Lalu apa yang sebaiknya sekarang aku lakukan?”.

“Lakukanlah tugasmu dengan sebaik-baiknya. Jika nanti tugasmu sudah selesai barulah aku persilahkan kau mengunjungi pusara Ki Jayaraga, yang kemungkinan akan dimakamkan tidak jauh dari makam Ki Gede Menoreh”.

“Maaf Kakang, apakah Kakang bisa membantuku untuk menemui guru sebelum dimakamkan?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih yang mengetahui kemampuan kakak sepupunya sekaligus gurunya.

Ki Agung Sedayu pun terdiam mendengar pertanyaan sekaligus permintaan adik sepupunya.

“Bukankah akan terlihat sangat aneh jika kau tiba-tiba muncul di Tanah Perdikan Menoreh? karena mereka semua tahu bahwa kau sekarang sedang bertugas disini”.

“Aku tidak keberatan jika hanya diijinkan sekejap saja untuk menemui guru tanpa bisa mengantarnya ke peristirahatan terakhir, yang penting aku bisa mengucapkan selamat jalan kepada orang yang sangat berjasa dalam hidupku”.

Ki Agung Sedayu hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, berbagai pertimbangan menyelimuti kepalanya, setelah beberapa saat barulah dia menjawab.

“Baiklah, akan aku coba membantumu. Tapi aku tidak bisa memberimu waktu terlalu lama, agar tidak mengejutkan semua orang. Tunggulah.. aku akan mengaturnya lebih dahulu agar aman untukku dan aman untukmu”.

“Terima kasih Kakang. Aku tidak akan minta yang aneh-aneh,  aku bisa mengucapkan selamat jalan untuk terakhir kali secara langsung kepada Ki Jayaraga itu pun sudah lebih dari cukup bagiku”.

“Aku mengerti, yang lain-lain percayakanlah kepadaku”.

“Terima kasih Kakang”.

“Sebaiknya kau lebih menjauh dari tempat ini, karena aku bisa membawamu hanya dengan wadag asliku bukan wujud semuku”.

“Aku hampir saja melupakannya, Kakang aku sudah mengatakan kepada Ki Tumenggung Suratani bahwa aku telah menyediakan diri untuk membantu mereka berjaga-jaga”.

“Kau tidak perlu khawatir, aku akan menggantikannya. Aku akan tetap melepaskan wujud semuku disini”.

“Terima kasih Kakang”.

“Sebentar lagi sepertinya di rumah akan siap. Bersiaplah ke tempat yang lebih terlindung dari pandangan mata orang-orang di sekitar”. ucap ayah Bagus Sadewa.

“Baik Kakang. Sekarang juga aku akan menyingkir dari tempat ini”. sahut ayah Arya Nakula.

Kemudian Ki Lurah Glagah Putih segera meninggalkan tempat itu dengan mengetrapkan ajian penyerap segala bunyi.

Beberapa saat setelah dia berjalan menyusuri pategalan dalam kegelapan malam, pandangan matanya menangkap seseorang berdiri tak bergeming.

Semakin lama Ki Lurah Glagah Putih pun mendekati orang tersebut yang ternyata wujud asli dari Ki Agung Sedayu yang telah menunggu.

“Marilah, agar kita tidak kehilangan waktu”.

“Baik kakang”. sahut Ki Lurah Glagah Putih seraya meraih lengan kiri kakak sepupunya.

Dalam sekejapan mata kedua orang itu pun menghilang.

*  *  *

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, rumah Nyi Pandan Wangi kembali berduka, kali ini Ki Jayaraga yang telah dipanggil Yang Maha Agung.

Orang-orang linuwih satu-persatu telah dipanggil Yang Maha Welas Asih untuk selama-lamanya. Meskipun segala ilmu telah menumpuk dalam dirinya tapi pada akhirnya manusia tidak dapat meminta atau menolak takdir yang telah digariskan.

Begitu pula Ki Jayaraga yang tidak mampu menolak atau meminta jika itu sudah digariskan terjadi pada dirinya, karena manusia pada akhirnya hanya bisa berusaha menjalani dengan sebaik-baiknya.

Atas permintaan Ki Agung Sedayu, kepergian Ki Jayaraga untuk sementara masih dirahasiakan karena murid satu-satunya ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya.

Gandok kiri yang sejak siang ditempati Ki Jayaraga untuk beristirahat sengaja dikosongkan dulu untuk kedatangan Ki Lurah Glagah Putih agar tidak menggemparkan semua orang karena kehadirannya yang sangat tidak masuk akal.

Tempat itu sengaja tidak diberi penerangan untuk menyamarkan kedatangan ayah Arya Nakula yang tidak lama lagi akan datang bersama dengan kakak sepupunya. Ki Agung Sedayu memberi alasan agar Ki Jayaraga ingin istirahat dengan tenang, maka ruangan itu sengaja dibiarkan tanpa penerangan sama sekali.

Meskipun beberapa orang merasa aneh dengan ucapan Ki Agung Sedayu, tapi sama sekali tidak ada yang berani menanyakan lebih jauh apa alasannya.

Semuanya mereka percayakan kepada ayah Bagus Sadewa, terutama orang-orang yang diberi tahu akan kedatangan murid satu-satunya Ki Jayaraga  yang masih hidup.

Pada akhirnya…

Segala urusan dosa dan perbuatan baik yang pernah kita lakukan di dunia ini bukan urusan manusia itu sendiri untuk menilai atau bahkan untuk menghakimi karena semua itu adalah urusan Yang Maha Agung.

Hanya orang-orang deksura saja yang merasa dirinya berhak untuk menilai atau bahkan menghakimi orang lain atas segala dosa dan perbuatan baiknya meskipun betapa kelamnya warna hidup yang pernah dijalani.



--o-o-O-o-o–

Bersambung ke

Djilid

7





Padepokan Tanah Leluhur


Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar