Halaman 1 - 2
Pemandangan alam yang begitu indah adalah menjadi salah satu gambaran kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, karena terdapat keseimbangan kehidupan antara manusia, binatang, dan tumbuhan yang ada di atas muka bumi ini.
Mereka menjalankan pepesthen dari Yang Maha Agung sebagaimana mestinya dengan penuh kesadaran, karena telah memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya masing-masing.
Namun di sisi lain disisi lain, Yang Maha Agung menginginkan sebuah keseimbangan lain di dalan kehidupan bebrayan ini yang mungkin membuat kita sering menjadi bertanya-tanya.
Yaitu kenapa harus ada kesedihan jika ada kebahagiaan? kenapa ada kebohongan jika ada kejujuran? kenapa harus ada kejahatan jika ada kebaikan? dan kenapa pula harus kehancuran jika ada pembangunan di dalam kehidupan bebrayan ini?.
Mungkin semua pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab di sepanjang hidup kita. Namun yang perlu ingat adalah Yang Maha Agung tentu memiliki tujuannya sendiri.
Sementara kita hanya ditakdirkan untuk berusaha menjalani kehidupan bebrayan ini dengan sebaik-baiknya, meski di dalam diri kita adalah tempatnya bodoh, fekir, lali, apes.
Karena pada dasarnya semua yang hidup di alam bebrayan ini adalah mahkluk penuh keterbatasan, penuh kekurangan, penuh dengan kesalahan dan dosa, baik yang kita sengaja maupun yang tidak sengaja kita lakukan.
Di dalam hidup ini kita dibekali dengan semua itu saja, kita sudah memiliki watak adigang, adigung, dan adiguna. Lalu bagaimana jika kita dibekali dengan kelebihan dan kesempurnaan? tentu ada kemungkinan bahwa kita akan semakin ngombro-ombro dalam menjalani kehidupan bebrayan ini.
Sementara itu teriknya matahari tidak pernah menyurutkan semangat para cantrik Padepokan Orang Bercambuk yang sedang bekerja di sawah.
Sebab selain pekerjaan utama mereka selama di padepokan adalah ngangsu kawruh kanuragan, tetapi ada pekerjaan lain sebagai pekerjaan pendukung untuk semakin melengkapi kawruh yang sudah ada.
Karena pada dasarnya mereka tidak dapat ingkar, meski mereka adalah cantrik sebuah padepokan, mereka juga adalah manusia seutuhnya yang memiliki kewajiban untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski pekerjaan di sawah itu adalah pekerjaan berat dan kotor-kotoran, namun mereka lakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab dan tanpa pernah mengeluh sedikitpun.
Dan karena kegigihan usaha dari para cantrik, padepokan mereka sering menjual hasil padi mereka ke pasar karena memiliki hasil yang lebih dari apa yang mereka butuhkan, lalu mereka menukarnya dengan kebutuhan sehari-hari.
Sementara Bagus Sadewa yang hari itu ikut membantu pekerjaan para cantrik di sawah, merasa senang meski harus bergelut dengan teriknya sinar matahari dan kotornya lumpur persawahan.
Meski hasil kerjanya belum dapat menyamai para cantrik yang lain, namun cucu Swargi Ki Demang Sangkal Putung itu tidak pernah merasa malu, justru hal itu membuatnya semakin giat belajar dan bekerja, bagaimana menjadi petani yang baik.
“Kau tidak perlu memaksakan diri, Adi Bagus Sadewa. Jika kau lelah, beristirahatlah dulu di gubuk itu. Barangkali kau perlu mengatur pernafasanmu dulu sembari minum air kendi yang kita bawa tadi”. berkata salah satu cantrik.
“Aku belum merasa haus dan lelah, Kakang. Lagipula aku malu jika terlalu banyak beristirahat, sementara hasil kerjaku belum seberapa jika dibandingkan dengan hasil kerja kalian”. sahut Bagus Sadewa sembari mengusap dahinya yang berkeringat dengan punggung tangan kanannya.
Halaman 3 - 4
“Kau tidak perlu malu kepada kami karena hasil kerjamu, karena apa yang kau lakukan itu sudah sangat baik”.
“Tetapi aku masih kalah jauh dengan hasil kerja kalian”.
“Wajar saja jika kau masih kalah dengan kami, sebab dari segi umur dan pengalaman, kau juga kalah jauh dari kami. Jadi kau tidak perlu membuat perbandingan”.
“Bahkan waktu aku pada umurmu yang sekarang, justru belum dapat melakukannya sebaik dan sebanyak yang dapat kau lakukan itu, Adi Bagus Sadewa”.
Namun pembicaraan yang berada di atas lumpur persawahan itu segera dikejutan oleh suara teriakan seseorang yang datang tiba-tiba dari arah gubuk yang berjarak sekitar beberapa puluh tombak dari tempat itu.
“Kakang… Kakang Bagus Sadewa”. teriak seorang anak muda sembari melambai-lambaikan tangannya.
Sontak saja teriakan itu membuat semua orang yang sedang berada di sawah terkejut, lalu mengalihkan pandangan mata mereka ke arah sumber suara.
“Adi Arya Nakula”. desis Bagus Sadewa sembari salah satu tangannya masih memegangi ujung cangkulnya.
Namun ada seseorang yang kemudian mendekati para cantrik yang masih bekerja itu, melalui pematang sawah yang sepertinya belum lama kering.
“Kakang Darpa, aku datang membawa pesan dari Ki Agung Sedayu”. berkata cantrik yang baru saja datang.
“He…? pesan dari Ki Agung Sedayu katamu?”.
“Benar Kakang, Ki Agung Sedayu dan rombongan sekarang sedang berada di padepokan. Maka dari itu aku diperintahkan oleh Ki Agahan untuk menyusul kemari guna menyambung pesan itu”.
“Pasti ada hal yang sangat penting telah terjadi”. sahut Putut Darpita perlahan, dan seakan kata-kata itu hanya ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Apakah ada keterangan yang dapat kami dengar, sehubungan dengan pesan yang kau bawa?”. sahut Putut Darpa penasaran.
“Aku kurang tahu pasti, Kakang Darpa. Untuk lebih jelasnya, silahkan Kakang tanyakan sendiri kepada Ki Agahan atau sesepuh padepokan yang lain”.
“Baiklah… aku mengerti”.
“Yang aku tahu hanya, sepertinya ada tugas yang sangat penting bagi para cantrik padepokan dan harus dilakukan segera”.
“Baiklah, terima kasih atas keteranganmu”. lalu Putut Darpa memandang berkeliling ke arah kawan-kawannya, “Marilah kita semua segera kembali”.
Meski Bagus Sadewa sudah melihat adik sepupunya dan sempat mendengar nama ayahnya disebut, namun dirinya tidak mengganggu pembicaraan yang sepertinya sangat penting itu.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka semua segera membersihkan alat-alat pertanian yang mereka gunakan di aliran air parit yang mengalir di sebelah persawahan, sebelum mereka membawanya kembali ke padepokan.
Arya Nakula yang tidak dapat menahan diri lagi untuk segera menghampiri kakak sepupunya yang sedang membersihkan alat-alat pertanian di parit bersama para cantrik yang lain. Dan setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing dengan orang-orang yang hadir di tempat itu.
“Apa yang Kakang Bagus Sadewa lakukan disini?”.
Halaman 5 - 6
“Seperti apa yang kau lihat?”.
“Apakah Kakang ingin menjadi seorang petani?”.
“Bukankah tidak ada salahnya jika aku ikut ngangsu kawruh pertanian?”.
“Kalau aku lebih senang ngrogoh ikan bersama kawan-kawan, daripada membantu kerja di sawah ketika aku berada di Tanah Perdikan Menoreh”.
“Bukankah memang bermain-main saja pekerjaanmu?”.
“Ah… Kakang, bukankah ngrogoh ikan atau membuat pliridan itu bukan sekedar bermain-main? tetapi ada hasilnya pula yang aku dapatkan?”. sahut Arya Nakula dengan wajah bersungut-sungut.
“Ha.. ha.. ha.. , kenapa wajahmu tiba-tiba menjadi jelek begitu?”. sahut Bagus Sadewa yang memang sengaja mengganggu adik sepupunya tersebut.
“Sebaiknya berkelakarnya kita sambung lagi nanti, marilah kita segera kembali agar kita tidak semakin ditunggu”. sahut Putut Darpa yang berusaha menengahi.
Sementara matahari terlihat semakin tergelincir ke arah barat ketika para cantrik padepokan itu mulai meninggalkan tanah persawahan yang menjadi sumber kehidupan mereka semua.
Dengan berjalan di antara pematang sawah, rombongan itu berjalan mengekor mengikuti langkah kaki Putut Darpa yang kebetulan berada di bagian paling depan.
Perjalanan kembali yang sebenarnya belum waktunya kali ini menyisakan rasa penasaran sembari jantung yang semakin berdebar-debar ketika semakin mendekati padepokan.
Sehingga perjalanan itu seakan diselimuti ketegangan, meski masih dalam ketegangan yang wajar. Namun tetap saja membuat mereka ingin segera mengetahui keterangan yang lebih jelas.
Terutama bagi Putut Darpa dan Putut Darpita yang merasa mendapat pesan langsung dari sesepuh padepokan, dan itu adalah sebuah kejadian yang sangat jarang sekali terjadi.
Maka dalam perjalanan kembali kali ini, mereka berusaha mempercepat langkah kaki masing-masing. Namun tidak sampai berlarian untuk dapat segera sampai ke tempat tujuan.
*****
Sementara itu Bagaskara, Bayu Swandana dan tiga cantrik padepokan sedang menikmati pekerjaan mereka hari itu sebagai para pemburu.
Terutama bagi Bayu Swandana yang merasa bahwa pekerjaan itu lebih sesuai dengan kepribadiannya jika dibandingkan hanya bermain kotor-kotoran dengan lumpur persawahan.
Apalagi dengan bekal kanuragan yang dimilikinya, tentu saja dirinya merasa lebih tertantang untuk berkejar-kejaran dengan hewan buruan meski harus naik turun bukit di dalam hutan yang cukup rungkut dan jalan yang rumpil.
Meski pada pengalaman Bayu Swandana kali ini sepertinya masih kurang mujur, namun tidak membuatnya menyerah begitu saja dengan keadaan.
Sebab hingga matahari sudah jauh meninggalkan puncaknya, mereka masih belum menemukan tanda-tanda keberadaan kijang atau menjangan, hewan yang akan disasaran perburuan meski sudah cukup jauh memasuki hutan.
Jika hewan lain, mereka sempat beberapa kali menjumpainya. Namun untuk hewan buruan, entah mengapa hari itu mereka masih belum mendapat kesempatan untuk melihatnya.
“Apakah Kakang Bagaskara sering berburu?”. bertanya Bayu Swandana ketika belum terlalu dalam memasuki hutan.
“Tidak sering, tapi hanya sesekali saja”.
Halaman 7 - 8
“Apakah kau tidak senang berburu?”.
“Sebenarnya aku senang-senang saja dengan pekerjaan berburu, tetapi jika kita terlalu sering berburu bukankah hewan buruan kita akan semakin cepat menyusut bahkan habis?”.
“Bukankah jika kita kehabisan hewan buruan disini, kita dapat mencarinya di tempat lain, Kakang Bagaskara?”.
“Kau benar, Adi Bayu Swandana. Tetapi jika kita berbuat demikian, bukankah kita semakin mempercepat kepunahan mereka? baik disini maupun di tempat lain?”.
Tidak ada yang menanggapi ucapan anak kedua Ki Untara itu untuk beberapa saat, sehingga sejenka kemudian dirinya melanjutkan kembali kata-katanya.
“Dan jika sudah terjadi kepunahan pada hewan buruan kita, lalu siapa yang akan merasa rugi? bukankah bukan orang lain? tetapi akhirnya kita sendiri pula yang merasa rugi?”.
Mereka tetap tidak menjawab, tetapi mereka mecoba mengerti maksud dari kata-kata itu, terutama Bayu Swandana. Meski sebenarnya kurang sependapat.
“Biasanya hewan apa yang menjadi buruan Kakang Bagaskara?”. sahut Bayu Swandana mencoba mengalihkan pembicaraan sembari terus berjalan dan mengamati keadaan sekitar.
“Kebanyakan aku memang berburu kijang atau menjangan, sesuai pesan dari ayah dan Ki Agahan”.
“Apakah tidak ada sasaran lain?”.
“Ya ada, tetapi hanya sesekali saja. Karena berdasarkan pertimbangan bahwa kita hidup di bawah satu atap dengan banyak orang, maka sebisa mungkin mencari hewan buruan yang sekiranya dapat dinikmati bersama-sama”.
“Begitu rupanya? aku mulai mengerti maksudmu”.
“Sejak pertama aku berburu, aku sudah mendapat pesan dari ayah dan Ki Agahan, berburulah hewan yang memang pantas untuk diburu dan yang bakal memberikan manfaat bagi kita. Dan pesan yang paling aku ingat adalah jangan berburu hanya untuk menuruti kesenangan semata tanpa perhitungan”.
Tiba-tiba mereka terdiam ketika melihat sesuatu yang menarik perhatian di kejauhan dari tempat mereka berdiri, meski belum terlihat jelas karena rungkutnya tumbuhan di dalam hutan, kecuali jalan setapak yang sering dilalui orang.
“Apakah Kakang Bagaskara melihat itu?”. ucap Bayu Swandana sembari tangannya menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Ya… aku melihatnya, tapi belum jelas hewan apa itu. Sebab aku hanya melihat semak belukar yang bergerak karena terjangan hewan yang lewat di sekitarnya. Sebaiknya kita segera mendekatinya, dan semoga itu adalah hewan buruan pertama yang memang kita cari”.
Kemudian kelima anak muda itu mulai berjalan ke arah yang dimaksud dengan mengendap-endap agar tidak mengejutkan hewan buruan, sembari tidak lupa menyiapkan busur panah di tangan.
Sebagai anak-anak muda yang kebetulan memiliki bekal kawruh kanuragan, membuat mereka lebih mudah untuk mendekati sasaran dengan mengurangi segala bunyi yang bakal ditimbulkan hingga jarak yang cukup untuk membidiknya dengan anak panah.
Dan hal itu membuat hewan buruan yang sedang diintai hampir tidak menyadari kedatangan mereka yang masih berjarak sekitar beberapa puluh tombak.
Namun sepertinya mereka harus sedikit bersabar, karena tidak dapat segera melihanya dengan jelas karena rimbunnya semak belukar yang menghalangi pandangan mata atas hewan yang sedang mereka intai.
Setelah beberapa saat mengamati dengan penuh kehati-hatian, pada akhirnya mereka dapat melihatnya dengan jelas.
Halaman 9 - 10
Tetapi sekali lagi mereka harus kecewa, karena hewan yang sedang mereka intai di hadapan mereka adalah seekor celeng yang baru menjelang dewasa.
Dan waktu terasa bergulir dengan begitu cepatnya, sementara mereka masih belum mendapat seekor buruanpun yang dapat mereka bawa pulang.
“Apakah kita harus pulang hari ini?”.
“Apa maksud , Adi Bayu Swandana?”.
“Bukankah Kakang Bagaskara tahu? bahwa hingga sekarang kita masih belum juga mendapatkan hewan buruan, karena kita terlalu memilih. Padahal aku rasa tidak ada salahnya pula jika sesekali kita memburu celeng itu”.
“Apakah kau sudah pernah memakan daging celeng?”.
“Belum, maka dari itu sesekali aku ingin mencobanya”.
“Tetapi berdasarkan pesan yang pernah aku dengar, daging celeng itu sangat tidak enak, lagipula jika kita tidak dapat memasaknya dengan benar maka akan menimbulkan penyakit bagi yang memakannya”.
“Benarkah? aku justru baru mendengarnya”.
“Aku pernah mendengar ini dari ayah dan Paman Agahan”.
“Lalu bagaimana jika sekarang kita tidak menemukan kijang atau menjangan? apakah kita akan pulang dengan tangan hampa?”.
“Ya… apa boleh buat”.
“Kali ini aku tidak sependapat dengan Kakang Bagaskara”.
“Maksudmu?”.
“Aku malu jika nanti pulang tidak membawa hewan buruan sama sekali, tentu kita akan menjadi bahan tertawaan orang banyak”.
“Apakah dengan demikian kita baru akan pulang, jika sudah membawa hasil buruan? meski kita harus bermalam di hutan ini?”.
“Aku rasa itu lebih baik, daripada kita nanti menjadi bahan tertawaan orang banyak”.
“Tentu mereka tidak akan berbuat demikian, aku sudah mengenal mereka dengan baik dalam waktu yang cukup lama”.
“Jika Kakang Bagaskara ingin kembali terserah, tapi aku baru akan pulang jika aku sudah mendapatkan hasil buruan”.
Bagaskara yang sejak awal tidak pernah menduga hal ini menjadi tercenung sesaat, berbagai pertimbangan seketika muncul di dalam isi kepalanya.
Namun pada akhirnya.
“Baiklah, mari kita berusaha lebih baik lagi agar segera mendapat hewan buruan yang kita cari. Dan semoga sebelum gelap kita sudah keluar dari hutan ini dengan membawa hasil buruan”.
“Marilah Kakang”.
“Tetapi agar pekerjaan kita lebih mudah, sebaiknya kita bagi menjadi dua kelompok. Dan kita gunakan isyarat yang kita sepakati agar selalu terhubung”.
“Baiklah Kakang Bagaskara, aku sependapat”.
Kemudian kelima anak muda itupun segera dibagi menjadi dua kelompok, Bayu Swandana bersama dua orang cantrik dan sisanya bersama Bagaskara.
Lalu mereka segera memisahkan diri untuk menulusuri isi hutan lebih dalam guna mencari hewan buruan yang masih belum dapat mereka temukan meski matahari sudah condong disisi barat.
Sepertinya hari itu memang bukan hari keberuntungan mereka, entah kenapa hari itu mereka belum melihat juga tanda-tanda kehadiran hewan buruan yang mereka cari sejak menginjakkan kaki di hutan tersebut. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat para anak muda itu untuk terus mencari.
*****
Halaman 11 - 12
Sementara itu Ki Agung Sedayu yang meminta tempat khusus untuk berbicara dengan kedua istrinya, segera menyampaikan pesan-pesannya, tidak hanya untuk kedua istrinya, namun bagi seluruh pasukan yang berada di bawah tanggung jawabnya.
“Aku minta maaf kepada kalian jika aku tidak memberitahukan sebelumnya dan tidak meminta persetujuan kalian dulu untuk aku libatkan dalam perang kali ini, dan tentu kalian tadi terkejut ketika mendengarnya”.
“Kakang tidak perlu minta maaf, aku dapat mengerti persoalan yang sedang Kakang bawa”.
“Mbokayu benar, sebaiknya yang kita pikirkan sekarang adalah bagaimana langkah kita kedepannya. Tentu Kakang sudah memiliki sebuah rencana yang dapat kami dengar”.
Kemudian Ki Agung Sedayu pun segera menceritakan rencananya kepada kedua istrinya secara runtut dan jelas, dan tugas apa saja yang harus mereka lakukan kemudian.
Keduanya mendengarkan dengan penuh perhatian dan berusaha mencerna setiap cerita dan tugas yang harus mereka emban bersama dengan kawan-kawannya yang lain.
“Apakah kalian sudah mengerti?”.
“Sudah Kakang, dan aku dapat mengerti bahwa dalam tugas memasuki sebuah medan selalu tidak mudah dan penuh teka-teki. Tetapi kita harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan ”.
“Demikianlah”.
“Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua”.
“Selain kita harus berusaha dengan sebaik-baiknya dalam mengemban tugas ini, kita tidak boleh lupa untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi kita semua”.
“Apapun yang kita lakukan, sebaiknya kita memang harus tetap ingat kepada Yang Maha Agung sebagai pemilik segala sumber di dalam kehidupan bebrayan ini”.
“Iya Kakang”. sahut kedua perempuan itu hampir berbarengan.
“Lalu apa rencana Kakang selanjutnya? bukankah Kakang masih memiliki tugas lain?”.
“Berdasarkan berbagai pertimbangan, agar aku dapat bergerak lebih leluasa dalam tugas kali ini, dengan terpaksa aku harus memisahkan diri dari kalian. Karena dengan demikian, mungkin aku dapat satu atau dua langkah lebih cepat dari langkah kalian”.
“Aku mengerti, tetapi bagaimana jika sewaktu-waktu kami membutuhkan kehadiran Kakang? bagaimana cara kami akan menghubungi Kakang yang tidak kami ketahui keberadaannya?”.
“Kalian buatlah isyarat, lalu menyingkirlah dari rombongan, maka aku akan mendatangi kalian. Karena aku akan selalu berusaha memantau keberadaan kalian dari kejauhan, dan hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa saja aku akan muncul”.
“Baiklah, aku mengerti”.
“Jika kalian sudah mengerti dan tidak ada lagi yang akan kalian tanyakan, sebaiknya kita segera bergabung kembali dengan yang lain. Karena alangkah deksuranya jika kita berlama-lama disini”.
“Kakang…”.
“Ada apa Pandan Wangi?”. sahut Ki Agung Sedayu sedikit heran sembari menatap ke arah istrinya tersebut.
“Tiba-tiba hatiku merasa kurang mapan, Kakang. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tetapi entah kenapa aku jadi teringat akan anak kita. Jika Kakang ada kesempatan, jangan lupa tengoklah Sekar Wangi meski barang sejenak untuk melihat keadaannya sekarang”. sahut Nyi Pandan Wangi.
Halaman 13 - 14
Hati seorang ibu memang tidak dapat dibohongi ketika meninggalkan anaknya, apalagi pada umurnya yang masih kecil. Maka akan dengan tiba-tiba dapat teringat akan anaknya yang sedang ditinggalkannya.
“Baiklah, nanti jika ada kesempatan akan aku upayakan untuk menengoknya, meski barang sejenak untuk melihat keadaannya bersama para pembantu di rumah”.
“Aku yang ikut terbawa suasana menegangkan ini, jadi sempat melupakan keadaan Sekar Wangi yang kita tinggalkan sendiri di Tanah Perdikan Menoreh”.
“Bukankah kita tidak benar-benar meninggalkannya sendirian?”.
“Kakang benar, tetapi bukankah di Menoreh tidak ada sanak kadang yang dapat kita mintai tolong untuk mengawaninya, hanya para pembantu, pengawal, dan beberapa bebahu yang tidak dapat selalu hadir di rumah itu”. sahut ibu Bagus Sadewa.
“Kita sama-sama nenuwun, semoga Sekar Wangi tetap dalam keadaan baik-baik saja selama kita tinggal pergi mengemban tugas yang sangat berat ini”.
“Tetapi selain kita memang jangan lupa untuk selalu nenuwun, tetapi kita juga jangan hanya berpasrah diri tanpa melakukan upaya apapun menghadapi masalah ini, Kakang”.
“Ya… aku mengerti, Sekar Mirah”.
“Akupun dapat mengerti perasaan Mbokayu Pandan Wangi, bagaimana rasanya meninggalkan Sekar Wangi dalam waktu yang tidak dapat ditentukan”.
“Aku mengerti, nanti akan aku upayakan untuk menjenguknya. Sebaiknya sekarang kita segera bergabung dengan yang lain, dan alangkah deksuranya jika kita berlama-lama disini, sementara yang lain sudah semakin sibuk”.
“Marilah…”.
Setelah apa yang mereka bicarakan dirasa cukup jelas, maka Ki Agung Sedayu pun mulai melangkahkan kakinya untuk keluar dari bilik, yang kemudian diikuti oleh kedua istrinya yang berjalan di belakangnya.
Sementara di luar, matahari sudah semakin tergelincir jauh ke arah barat dan membuat sinarnya yang terasa terik pun mulai berkurang di sekitar tempat itu.
Kini para penghuni padepokan menjadi sibuk dengan tugas masing-masing, terutama bagi orang-orang yang akan berangkat mengemban tugas karena harus menyiapkan segala sesuatunya yang mungkin akan diperlukan selama dalam tugas.
Tetapi bagi para cantrik yang tidak termasuk ditunjuk untuk mengemban tugas tidak kalah sibuknya, terutama yang bertugas di bagian dapur yang harus menyiapkan makan malam lebih awal dari yang biasa mereka lakukan.
Putut Darpa dan rombongannya pun akhirnya tiba di padepokan, mereka pun segera menyimpan alat-alat pertanian yang tadi mereka bawa di tempat yang seharusnya.
Setelah itu Putut Darpa berniat untuk segera mencari pemimpin padepokan guna mencari keterangan lebih jelas tentang pesan yang telah diterimanya di persawahan.
“Apakah kau tahu dimana Ki Agahan sekarang?”. bertanya Putut Darpa kepada seorang cantrik yang bertugas di dapur.
“Setahuku Ki Agahan dan Ki Untara sedang berada di pendapa bersama para tamu yang lain, Kakang”. sahut cantrik itu di sela-sela kesibukannya bekerja di dapur.
“Terima kasih”.
Halaman 15 - 16
Setelah itu dia memberikan isyarat kepada adik laki-lakinya agar mengikutinya dari belakang menuju pendapa untuk menindak lanjuti pesan yang telah diterimanya.
Dengan berjalan perlahan dan sedikit membungkukkan badan ketika keduanya akan memasuki pendapa, menghampiri orang yang mereka cari, lalu duduk di belakang sampingnya.
Keduanya sempat merasa sedikit heran karena tidak melihat Ki Agung Sedayu hadir di antara orang-orang yang mereka lihat di pendapa, namun hal itu tidak menjadi soal bagi mereka.
Pemimpin Padepokan Orang Bercambuk yang menyadari kedatangan mereka berdua segera tanggap, dan segera memberikan keterangan singkatnya dengan bicara hampir berbisik.
“Kalian berdua segera bersiaplah, kita mendapat tugas dari Ki Agung Sedayu untuk membantunya melawat ke bang wetan, malam ini juga, setelah gelap kita berangkat. Yang lain sudah tahu, hanya tinggal kalian berdua. Untuk lebih jelasnya, kalian temuilah adi Witarsa di bilik pengobatan”.
“Baik Ki Agahan”.
Lalu kedua cantrik utama itu pun segera meninggalkan pendapa untuk melanjutkan pesan dari pemimpin Padepokan Orang Bercambuk yang sangat mereka hormati tersebut.
Tidak lama kemudian murid utama Swargi Kyai Gringsing pun mulai terlihat menampakkan diri di pendapa yang diikuti oleh kedua istrinya dari belakang.
Lalu ketiganya bergabung dengan yang lain, tanpa ada lagi sesuatu yang mengganjal di hati putra bungsu dari Swargi Ki Sadewa tersebut, setelah dibicarakannya dengan kedua istrinya.
Kini mereka dapat membicarakan tentang apa saja, terutama tentang segala persiapan yang dibutuhkan untuk mengemban tugas yang sangat berat dari Mataram.
“Bagaimana dengan persiapan para cantrik, Ki Agahan? apakah mereka ada kendala? terutama karena perintah ini datang begitu tiba-tiba kepada mereka?”. bertanya Ki Agung Sedayu setelah duduk di antara yang lain di pendapa.
“Pada awalnya mereka memang sangat terkejut dengan perintah ini, Ki Agung Sedayu. Namun beruntunglah hal itu bukan menjadi kendala mereka untuk mempersiapkan diri”.
“Jangan lupa obat penawar racun, yang tadi aku katakan”.
“Obat penawar racun itu masih dalam tahap pengerjaan, dan aku kira sebelum nanti kita berangkat sudah siap”.
“Syukurlah… lalu bagaimana dengan persiapan para cantrik yang akan ikut mengemban tugas berat ini?”.
“Apakah tidak sebaiknya Ki Agung Sedayu lihat sendiri? akan aku kumpulkan dulu para cantrik yang siap mengemban tugas di halaman belakang”.
“Akupun berpikir demikian pula, Ki Agahan. Bukan aku tidak percaya dengan Ki Agahan dan Kakang Untara, tetapi mungkin saja kita dapat memiliki penilaian dan pertimbangan yang berbeda yang nantinya dapat saling melengkapi”.
“Ya… aku mengerti, Ki Agung Sedayu”.
Selesai berkata demikian, pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu segera memberikan isyarat kepda salah satu cantriknya untuk mendekat.
“Tolong sampaikan kepada para cantrik yang akan berangkat mengemban tugas untuk berkumpul di halaman belakang sekarang juga, sebentar lagi kami akan menyusul untuk melihatnya”.
“Baik Ki Agahan”. sahut cantrik itu lalu segera pergi.
“Apakah kalian akan menyertakan Bayu Swandana pula, dalam tugas kalian kali ini?”. bertanya Ki Untara tiba-tiba.
Halaman 17 - 18
“Bukankah dia sedang pergi berburu, Kakang?”.
“Ya… sekarang dia memang sedang pergi berburu, tetapi aku rasa dia akan kembali menjelang gelap nanti. Dan ketika nanti dia datang dan melihat semua ini, aku rasa dia tidak akan dapat menahan diri untuk tetap tinggal di padepokan ini”.
Secara naluriah murid tertua Swargi Kyai Gringsing itu menoleh ke arah ibu Bayu Swandana, tidak membuka suara sama sekali, namun dari sorot matanya memperlihatkan meminta pertimbangan sebelum mengambil keputusan.
“Aku rasa Bayu Swandana belum saatnya untuk memasuki sebuah pertempuran besar seperti yang bakal kita jalani ini, Kakang”. berkata Nyi Pandan Wangi yang tanggap.
“Bagaimana jika dia memaksa?”.
“Aku serahkan keputusannya kepada, Kakang. Sebab aku percaya Kakang pasti memiliki pertimbangan yang paling baik, atas Bayu Swandana, apakah mau diikut sertakan atau tidak”.
“Aku melihat kemampuannya untuk ukuran anak sebayanya memang sudah dapat dibanggakan, tetapi aku rasa dia masih belum saatnya untuk memasuki medan pertempuran yang sebenarnya, apalagi kali ini kita sedang mengemban tugas khusus”.
“Jika demikian, Kakang jangan izinkan dia untuk ikut”.
“Akupun berpikir demikian pula, selain itu akupun melihat anak itu memiliki banyak persamaan watak dengan mendiang ayahnya. Seorang yang memiliki watak yang keras jika memiliki keinginan, tetapi kurang dapat berpikir panjang akan segala kemungkinan yang dapat terjadi atas apa yang bakal dilakukannya”.
“Kakang benar, anak itu memang banyak persamaan watak dengan mendiang ayahnya, dan perbedaan yang paling mencolok dari keduanya adalah ayahnya suka berkelakar, sedangkan anak itu tidak, kecuali hanya sesekali waktu saja”.
“Jika demikian, kita tinggalkan saja dia disini”.
“Bagaimana jika dia memaksa untuk ikut?”.
“Jika tidak ada pilihan lain, mungkin aku akan bersikap agak tegas kepadanya. Lagipula perjalanan kita kali ini bukan untuk bersenang-senang, tetapi kita memasuki marabahaya”.
“Aku terserah Kakang saja, jika itu memang keputusan yang paling baik bagi Bayu Swandana, aku akan mendukungnya”.
“Baiklah… aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan lagi tentang Bayu Swandana, sekarang marilah kita ke halaman belakang untuk melihat bersama-sama persiapan para cantrik yang akan ikut kita mengemban tugas”.
Sejenak kemudian, merekapun lalu beranjak dari pendapa dan bergegas menuju halaman belakang guna melihat segala persiapan yang telah dilakukan.
Dan barangkali ada satu atau dua pesan yang perlu disampaikan kepada mereka, selain itu yang paling penting adalah petunjuk dan pembagian tugas masing-masing orang atau kelompok secara keseluruhan.
Dan ketika orang-orang yang dari pendapa datang, para cantrik yang berada di halaman belakang sudah berkumpul dan berbaris dengan rapi, bahkan melebihi jumlah perhitungan awal.
Hal itu memang atas perintah Ki Agahan, bahwa para cantrik pada tataran yang dianggap telah memenuhi syarat diperintahkan untuk berkumpul, dan untuk selanjutnya akan dilakukan pemilihan secara bersama-sama dengan para sesepuh padepokan.
Sepertinya para cantrik Padepokan Orang Bercambuk merasakan ada kebanggaan tersendiri ketika mendapat kepercayaan yang begitu tinggi dari para sesepuh padepokan guna mengemban tugas, meski mereka semua sadar bahwa mereka bukan pergi untuk sekedar bersenang-senang.
Halaman 19 - 20
Namun kepergian mereka dari padepokan telah ditunggu oleh marabahaya yang hampir setiap saat mengintai nasib atau bahkan keselamatan mereka masing-masing.
“Aku ucapkan terima kasih kepada kalian, atas kesediaan kalian semua berkumpul di tempat ini. Dan aku rasa kalian yang berdiri di tempat ini tentu sudah mengetahui apa maksud dan tujuannya”. berkata Ki Agahan setelah berdiri di hadapan para cantriknya, lalu mengedarkan pandangan matanya.
“Kali ini kita mendapat kepercayaan yang sangat tinggi dari Ki Agung Sedayu selaku salah satu sesepuh dari padepokan ini, guna melaksanakan tugas khusus. Dan karena tugas itu sangat berbahaya, maka hanya orang-orang terpilihlah yang akan diikut sertakan, tetapi bagi yang belum terpilih jangan berkecil hati dan jangan pernah merasa bahwa kemampuan kalian masih kalah dengan yang lain, tetapi tentu Ki Agung Sedayu dan para sesepuh padepokan ini memiliki pertimbangan lain”.
“Lagipula tidak mungkin jika seisi padepokan ini akan berangkat semua dan mengosongkan tempat ini sama sekali, dan salah satunya karena alasan itulah kami akan memilih siapa saja di antara kalian yang akan ikut mengemban tugas yang sangat berat ini”.
Selesai berkata demikian, lalu Ki Agahan menoleh ke arah ayah Sekar Wangi yang kebetulan berdiri di sebelah kirinya dengan suara perlahan.
“Tetapi sebelum kita memilih para cantrik, barangkali Ki Agung Sedayu ingin menyampaikan satu atau dua pesan kepada para cantrik lebih dahulu?”.
“Baiklah Ki Agahan”.
“Silahkan Ki Agung Sedayu”.
Namun sebelum ayah Sekar Wangi itu memulai sesorahnya, dirinya maju dua langkah dari tempatnya berdiri, lalu mengedarkan pandangan matanya berkeliling.
“Sebelumnya aku minta maaf kepada kalian semua, karena jarang sekali ada waktu di antara kalian karena kesibukanku sendiri. Tetapi aku harap kalian semua dapat mengerti, dan kita sangat beruntung memiliki pemimpin padepokan yang sangat baik, yang dapat terus menjaga dan nguri-uri pesan-pesan dari guru besar kita, yaitu Swargi Kyai Gringsing”.
Ki Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu menarik nafas beberapa kali sembari mengedarkan pandangan matanya ke arah para cantrik yang masih terdiam dan dalam keadaan kepala menunduk.
“Bahkan selama ini aku hampir tidak pernah tahu sejauh mana perkembangan kalian dalam ngangsu kawruh di padepokan ini. Namun meski begitu aku tetap bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan padepokan ini”.
“Dan kali ini aku datang kemari karena sedang mengemban tugas yang tidak dapat aku laksanakan sendiri, dan atas nama Mataram aku meminta bantuan kalian. Karena tugas kali ini sangat berbahaya, maka aku hanya membawa kalian yang benar-benar siap secara lahir dan batin. Dan yang yang belum terpilih jangan berkecil hati, karena yang tidak terpilih bukan berarti tidak lebih baik dari yang terpilih, tapi mungkin hanya kesempatan saja”.
“Kalian jangan berpikir bahwa kami akan pergi bersenang-senang di luar sana, karena sebenarnya apa yang kami lakukan tidak lebih seperti menjemput marabahaya”.
“Untuk menyingkat waktu, maka akan langsung kita lanjutkan dengan acara pemilihan, siapa sajakah orang-orang yang akan diikut sertakan dalam tugas kali ini”.
Di hadapan para cantrik Padepokan Orang Bercambuk yang hampir semua berkumpul, berjumlah lebih dari empat puluh orang, ayah Bagus Sadewa itu segera mempercayakan penunjukan itu kepada Ki Agahan dan kakaknya, yang dianggap mengenal para cantrik lebih baik, karena pengenalan dalam waktu yang lama dan hampir setiap hari pula mereka bertemu.
Halaman 21 -22
“Untuk bagian ini aku minta tolong kepada Kakang Untara dan Ki Agahan, karena aku belum mengenal mereka sebaik pengenalan kalian berdua. Tidak harus sama persis dengan perkiraan kita diawal tadi, jika kurang atau lebih itu wajar saja”.
“Baiklah Ki Agung Sedayu”.
“Menurutku bukan jumlahnya yang paling penting, Ki Agahan. Tetapi kesiapan mereka secara lahir batin lah yang lebih utama. Sebab kita harus mempertanggung jawabkan nasib mereka semua”.
“Aku mengerti”. sahut pemimpin padepokan tersebut.
Kemudian Ki Untara dan Ki Agahan pun segera melaksanakan permintaan murid tertua Swargi Kyai Gringsing itu dengan sebaik-baiknya sejauh yang dapat mereka lakukan.
Untuk mempermudah pekerjaan, maka mereka membaginya menjadi dua kelompok. Kelompok yang terpilih dan kelompok yang tidak terpilih, satu demi satu.
Tetapi ketika waktu pemilihan itu masih berlangsung, tiba-tiba Ki Untara mendekati adiknya, untuk menyampaikan sesuatu.
“Agung Sedayu?”.
“Ada apa Kakang Untara?”.
“Aku sempat teringat, jika para cantrik pilihan akan kau bawa semua, bukankah kita akan meninggalkan celah di tempat ini? apakah tidak sebaiknya kita kurangi dari perhitungan awal? yang tadinya dua puluh lima orang, bagaimana jika kau bawa dua puluh orang saja?”.
“Baiklah Kakang Untara, aku tidak keberatan. Lagipula benar apa yang Kakang Untara katakan itu, jangan sampai karena tugas ini pedepokan ini akan kehilangan taringnya”.
“Bagaimanapun juga kita harus memperhitungkan segala kemungkinan yang bakal terjadi pula, dan jangan sampai kita mengorbankan salah satu. Meski secara penalaran, sepertinya dalam waktu dekat ini tidak ada kemungkinan yang mengkhawatirkan, tetapi alangkah lebih baiknya jika kita tetap berjaga-jaga. Dan jangan sampai sudah terjadi, baru nanti kita akan menyesal”.
“Kakang Untara benar”.
Selesai berkata demikian, mereka pun segera melanjutkan pemilihan para cantrik yang akan diikut sertakan dalam tugas hingga selesai dengan dikelompokkan berdiri secara terpisah.
“Aku harap bagi yang belum mendapat kesempatan terpilih kali ini jangan berkecil hati, tetapi jadikanlah ini pelecut bagi kalian semua untuk berusaha lebih baik lagi kedepannya. Karena mungkin saja di lain kesempatan, kalianlah yang akan terpilih untuk mewakili padepokan jika Mataram memanggil”. berkata Ki Agung Sedayu.
Meskipun ada satu atau dua cantrik yang merasa kecewa karena tidak termasuk orang yang terpilih, namun bukanlah sebuah kekecewaan yang mendalam yang dapat menimbulkan perasaan iri atau pun perasaan yang kurang baik lainnya.
“Putut Witarsa, apakah kau sudah menyelesaikan tugasmu?”. bertanya pemimpin Padepokan Orang Bercambuk.
“Belum Ki Agahan, tadi aku baru sempat menyiapkan semua bahan-bahan yang dibutuhkan, dan hanya tinggal meramunya sebelum adanya perintah untuk berkumpul di tempat ini”.
“Untuk mempercepat pekerjaan, sebaiknya Ki Agahan bantu Putut Witarsa”.
“Baik Ki Agung Sedayu, setelah ini selesai aku akan membantu Putut Witarsa di bilik pengobatan”.
“Ki Agahan dan Putut Witarsa tidak perlu menunggu lagi, kalian dapat mendahului yang lain. Lagipula kita sudah hampir selesai disini, selain itu kita sedang dikejar waktu, dan waktu sesempit apapun harus dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya”.
Halaman 23 - 24
“Kalau begitu baiklah, aku akan mengajak Putut Witarsa untuk segera menyelesaikan pekerjaannya”.
“Silahkan, Ki Agahan”.
Kemudian pemimpin padepokan itu mengajak Putut Witarsa untuk ke bilik pengobatan guna menyelesaikan pekerjaan yang tadi sempat tertunda.
Sementara semua orang yang berada di tempat itu pun tidak lama kemudian segera membubarkan diri setelah sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Ki Untara dan para tamu segera kembali ke pendapa, sementara para cantrik kembali ke tempat dan tugas masing-masing, terutama yang mendapat tugas, maka akan melanjutkan persiapan yang dibutuhkan.
Meskipun para cantrik bukanlah orang-orang yang terbiasa dengan perang, baik perang kecil maupun perang besar. Namun sepertinya bukanlah sebuah pekerjaan sulit bagi mereka untuk mempersiapkan diri.
Apalagi mereka telah mendapat petunjuk apa saja yang harus mereka persiapkan dan apa saja yang harus mereka lakukan untuk menyongsong pertempuran dari orang-orang yang sudah sangat berpengalaman dalam perang yang bagaimanapun bentuknya.
Mereka hanya tinggal melaksanakan segala petunjuk yang telah diberikan dengan sebaik-baiknya, karena dengan demikian akan membuat pekerjaan menjadi lebih mudah dan cepat.
Meski dari satu pertempuran ke pertempuran yang lain tidak akan pernah sama persis, tetapi pada dasarnya pertempuran yang bagaimanapun bentuknya hampir sama saja.
Orang-orang yang akan turun ke medan harus memiliki bekal kanuragan, senjata, dan kemudian siasat bagaimana caranya agar dapat mengalahkan lawan.
Sementara di luasnya langit yang terbentang, teriknya sinar sang surya di tempat itu sudah semakin meredup karena memang matahari sudah semakin tergelincir jauh kebarat, dan tidak lama lagi tentu senja akan turun.
Hal itu menjadi sebuah pertanda bagi para cantrik yang sedang bekerja di dapur menjadi semakin sibuk, karena harus menyiapkan makan malam lebih awal bagi seisi padepokan.
Meskipun semuanya terdiri dari para laki-laki, namun hal itu tidak membuat mereka menjadi gugup karena mereka sudah terbiasa dengan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh para perempuan tersebut.
Tanpa disuruh lagi, mereka sudah mengerti dengan pekerjaan dan tugas masing-masing serta dapat melakukannya dengan baik, bahkan hampir tidak kalah dengan para perempuan.
Sementara orang-orang yang baru kembali ke pendapa kembali melanjutkan pembicaraan mereka tentang apa saja yang menarik bagi mereka dengan dikawani minuman hangat yang sudah terasa dingin dengan beberapa potong makanan.
Sembari menunggu waktu gelap tiba dan makan malam yang sedang disiapkan oleh para cantrik padepokan sebelum orang-orang yang mengemban tugas dari Mataram akan berangkat.
Selain itu mereka sedang menunggu pula obat penawar racun siap, sebagai tambahan bekal yang sangat penting yang harus mereka bawa untuk melindungi diri dari lawan, yang menurut keterangan suka bermain-main dengan racun yang sangat ganas.
“Apakah semua persiapanmu sudah lengkap, Agung Sedayu?”. bertanya Ki Untara, membuka pembicaraan setelah mereka telah duduk di pendapa.
“Aku kira sudah tidak ada yang terlewatkan lagi, Kakang Untara”. sahut ayah Bagus Sadewa sembari berusaha mengingat-ingat apakah masih ada yang terlewatkan.
Halaman 25 - 26
“Tetapi aku lihat kau tidak memerintahkan para cantrik untuk membawa perbekalan bahan makanan dalam bentuk apapun?”.
“Guna mengurangi kerepotan dalam persiapan dan sepanjang perjalanan, aku rasa kami tidak perlu membawa perbekalan makanan sendiri, Kakang. Lagipula dengan jumlah orang yang tidak terlalu banyak, kami dapat memanfaatkan kedai buka yang ada di sepanjang perjalanan”.
“Apakah secara tidak langsung kau ingin mengatakan kepadaku bahwa kau sudah terlalu banyak uang, sehingga memilih cara itu dalam mengemban tugas kali ini?”.
“Ah… bukan begitu, Kakang Untara. Bukan uangku pribadi, tetapi uang pemberian dari Ki Patih Singaranu pada saat aku menghadap di kepatihan”. sahut Agul-Agulnya Mataram itu sembari dengan wajah bersemu merah.
“Aku kira kau sudah kebanyakan uang”. sahut ayah Bagaskara, lalu tertawa.
“Maaf Kakang Untara, karena aku sedang terbawa suasana sehingga lupa menanyakan tentang kabar Mbokayu?”. bertanya Ki Agung Sedayu setelah melihat tawa kakaknya mereda.
“Dia baik-baik saja di rumah, tadinya jika kau tidak sedang tergesa-gesa ingin mengutus seseorang untuk memanggilnya kemari agar dapat bertemu dengan kalian semua”.
“Jangan Kakang, jika demikian alangkah deksuranya kami ini. Mungkin nanti di lain kesempatan jika kami ada waktu yang agak longgar, kami akan menyempatkan diri untuk mengunjunginya”.
“Tentu dia akan senang sekali jika kalian dapat mengunjunginya, lagipula sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan kalian semua dan lagi dia sekarang tentu sering merasa kesepian, setelah aku dan kedua anaknya jarang sekali di rumah”.
“Kenapa Kakang tidak ajak saja Mbokayu tinggal disini?”.
“Kata mbokayumu, dia lebih senang bolak-balik kemari daripada harus benar-benar meninggalkan rumah itu. Sebab sayang sekali jika rumah itu harus dibiarkan kosong. Meski sebenarnya tidak benar-benar kosong, bukankah kau tahu sendiri jika rumah itu menyatu dengan barak para prajurit”.
“Ya… aku dapat mengerti”. sahut Ki Agung Sedayu perlahan, dan tanpa sadarnya dirinya melihat ke arah langit.
“Tetapi aku rasa, jika kita berkuda masih ada waktu barang sejenak untuk mengunjungi mbokayu, sembari menunggu persiapan para cantrik”.
“Terserah kau saja, jika kau memang ingin mengunjungi mbokayumu, aku akan mengantarmu”.
“Apakah ada yang ingin ikut bersamaku?”. bertanya Ki Agung Sedayu yang ditujukan kepada Nyi Rara Wulan dan ketuga adik angkatnya.
“Jika mbokayu berdua ikut, aku ikut pula Kakang”.
“Apakah kami bertiga akan ditinggal disini?”. sahut Padmini dengan wajah penuh tanda tanya.
“Apakah kalian ingin ikut pula?”. sahut Nyi Rara Wulan.
“Jika boleh…”. sahut Padmini dengan perasaan ragu.
“Baiklah… kita akan berangkat kesana bersama-sama, jangan lupa beritahukan pula kepada Bagus Sadewa dan Arya Nakula”.
Maka tidak lama kemudian, mereka pun segera berangkat menuju ke rumah masa kecil Ki Untara dan Ki Agung Sedayu dengan berkuda bersama-sama.
Rombongan berkuda yang berjumlah sepuluh orang itu sempat menarik perhatian banyak orang di sepanjang perjalanan, banyak di antara mereka bertanya-tanya di dalam hati, namun tidak berani bertanya langsung apalagi menghentikannya.
Halaman 27 - 28
Jaraknya yang tidak terlalu jauh, membuat mereka semua tidak perlu berlama-lama berpacu di atas punggung kuda yang sedang mereka tunggangi.
Sontak saja derap kaki kuda yang berhenti di depan rumahnya telah membuat Nyi Untara benar-benar terkejut sembari penuh dengan tanda tanya, sebab pada awalnya diriya mengira bahwa itu adalah rombongan para prajurit yang sedang bertugas.
Tetapi setelah dirinya yakin bahwa rombongan berkuda itu berhenti di depan rumahnya, dirinya tidak dapat menahan diri lagi untuk segera keluar guna mengetahui siapakah gerangan yang sebenarnya datang.
Meski sebenarnya di rumah itu ada seorang pembantu, tetapi entah mengapa kali ini hati Nyi Untara ingin segera melihat sendiri tamu-tamu yang datang.
Setelah membuka pintu yang menghubungkan ke pendapa, wajah pertama yang dilihatnya sudah sangat dikenalinya. Lalu diedarkanlah pandangan matanya melihat satu persatu orang yang datang sembari tertegun.
Seakan dirinya tidak dapat mempercayai dengan apa yang sedang dilihatnya tersebut, sehingga membuat Nyi Untara masih tertegun di tempatnya berdiri beberapa saat, hingga orang-orang yang baru saja datang mulai menaiki pendapa.
“Apakah Mbokayu hanya akan berdiri disitu?”. bertanya adik iparnya ketika sudah memasuki pendapa.
Mendapat pertanyaan tersebut, Nyi Untara seakan baru tersadar dengan apa yang sedang dilakukannya. Sehingga dengan perasaan penuh kegembiraan, dirinya segera menyambut semua tamu-tamu yang baru saja datang.
Sebagaimana perasaan orang tua kebanyakan jika sedang dikunjungi oleh sanak kadangnya yang lebih muda, apalagi yang sudah sangat lama tidak bertemu.
*****
Sementara itu di waktu yang hampir bersamaan di sebuah hutan kecil sekitar pinggiran Tanah Perdikan Menoreh, sedang berkumpul beberapa orang yang terlihat berwajah garang.
“Apakah kau yakin bahwa yang kau laporkan itu sudah lengkap secara keseluruhan, Rambat?”.
“Aku kira sudah tidak ada yang terlewatkan, Guru”.
“Jika kau dan adik-adik seperguruanmu itu melakukan kesalahan dalam menyampaikan laporan dari hasil pengamatan kalian, maka kepala kalianlah yang bakal menjadi taruhannya”.
“Aku mengerti, Guru. Maka dari itu aku tidak berani membuat kesalahan sekecil apapun”. sahut orang yang terlihat jauh lebih muda, dari orang yang disebut guru.
“Dan yang pasti, aku tidak suka dengan kegagalan. Maka dari itu sebelum kita melaksanakan rencana ini, harus kita perhitungkan dengan benar-benar matang, agar kita tidak menemui kegagalan. Oleh sebab itu, aku rela mengorbankan waktu lebih lama, hanya untuk sekedar mengamati keadaan dengan benar”.
Empat orang yang duduk di hadapan orang yang disebut guru itu hanya dapat terdiam mendengar semua itu, sembari menundukkan kepala masing-masing dan menunggu petunjuk atau bahkan perintah berikutnya.
“Aliran Windhujati dulu pernah menggemparkan para raksasa kanuragan karena kemampuan murid-muridnya yang sangat ngedap-edapi, namun kemudian menghilang begitu saja seperti ditelan bumi. Namun kemudian muncul lagi bersamaan dengan munculnya seseorang yang mengaku sebagai Orang Bercambuk”.
“Bahkan tidak ada yang mampu mengalahkannya dalam sebuah perang tanding, hingga ajal menjemputnya. Namun sebelum dia pergi, dia telah mengangkat murid dan telah menurunkan seluruh kemampuannya dan mewariskan Kitab Windhujati pula kepada murid tertuanya”.
Halaman 29 - 30
“Padahal menurut pendapatku, kemampuan Guru itu sudah sangat tinggi dan sulit dicari bandingnya. Tetapi kenapa Guru masih saja sangat bernafsu untuk mendapatkan kitab itu?”.
“Kau memang terlalu dungu, Lanjar. Kemampuanku yang menurutmu sudah sulit dicari bandingnya ini, tidak akan ada artinya jika di hadapan murid tertua Orang Bercambuk, yang sekarang telah menjadi menantu Swargi Ki Gede Menoreh”.
Seketika orang itupun menjadi terdiam dan menundukkan kepala semakin dalam di tempat duduknya mendengar ucapan gurunya yang sepertinya mulai marah.
“Maka dari itu aku ingin mencuri kitabnya, meski pada awalnya aku sempat ragu akan berhasil. Tetapi setelah mendengar bahwa orang-orang penting Tanah Perdikan Menoreh pergi, maka niatku itu menyala kembali. Apalagi anak perempuannya ditinggalkan di rumah hanya bersama para pembantunya”.
“Lalu apalagi yang Guru tunggu sekarang? bukankah akan semakin cepat akan semakin baik, karena pekerjaan kita akan semakin cepat selesai pula?”.
“Kau jangan tergesa-gesa tanpa perhitungan, Rambat. Sebaiknya kita tunggu dulu hingga gelap datang, karena dengan begitu kita sedikit banyak akan mengurangi pengamatan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh”.
“Bukankah kata Guru, sudah tidak ada lagi yang perlu kita takuti lagi? karena orang-orang penting yang ada, sedang tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh?”.
“Meski yang tersisa itu tidak lebih dari sekedar para clurut-clurut tidak berarti, tetapi jika jumlah mereka banyak, maka tentu akan menjengkelkan pula untuk menghadapi mereka. Selain itu tentu kita akan kehilangan banyak waktu”.
“Tetapi bukankah kita akan mampu menghadapi mereka semua, Guru?”. sahut Rambat dengan mantap penuh keyakinan.
“Kau benar, tetapi jika terdengar keributan, tentu mereka akan segera memukul titir bersahut-sahutan dari satu gardu perondan ke gardu perondan yang lain, sehingga membuat banyak orang akan mengepung kita seperti maling ayam”.
“Lalu apa rencana Guru sekarang?”.
“Kita harus melaksanakan rencana ini secara senyap, dan langsung menuju ke rumah Nyi Pandan Wangi secara diam-diam. Jika kita tidak berhasil menemukan kitabnya, maka kita akan menjadikan anaknya sebagai sandera, agar di lain kesempatan kita dapat menukarnya dengan kitab itu”.
“Apakah nantinya anak kecil itu tidak akan merepotkan jika kita bawa, Guru? terutama pada saat kita melarikan diri dari kejaran dari orang-orang Menoreh”.
“Kau memang terlalu dungu, Lanjar. Sebelum aku bertindak, tentu sudah aku pikirkan masak-masak masalah itu. Aku sudah membawa obat penghilang kesadaran sementara untuk anak itu, agar anak itu tidak mampu merengek di sepanjang perjalanan selama kita bawa dalam pelarian”.
“Maaf Guru, aku tidak mengira jika ternyata Guru sudah memikirkan sejauh itu”.
“Sudahlah… lalu bagaimana hasil dari pengamatan kalian terhadap padukuhan induk, selama beberapa hari ini? adakah orang yang perlu mendapat perhatian lebih?”.
“Berdasarkan pengamatan kami, sepertinya tidak ada orang yang perlu kita khawatirkan, Guru. Sebab dari keterangan yang kami dapat, mereka tidak sedang di Tanah Perdikan Menoreh”.
“Benar apa yang dikatakan Kakang Rambat, Guru. Selain itu di sepanjang jalan padukuhan induk sangat sepi orang berlalu-lalang, kecuali hanya beberapa orang saja. Apalagi ketika memasuki wayah sepi bocah, maka jalanan sudah sangat lengang. Gardu-gardu perondan yang biasanya ramai oleh para pengawal, sekarang hanya terlihat dua atau tiga orang saja”.
Halaman 31 - 32
“Mungkin banyak dari para pengawal yang ikut melawat ke bang wetan bersama pasukan Mataram”.
“Selain itu di rumah Nyi Pandan Wangi hanya terdapat para pembantu dan pengawal, yang jumlahnya tidak begitu banyak. Karena berdasarkan keterangan yang kami dapat, Ki Agung Sedayu, Nyi Pandan Wangi, dan anak laki-lakinya sedang pergi sejak beberapa hari yang lalu. Maka dari itu, aku kira kita tentu akan dapat mengatasi mereka meski jumlah mereka lebih dari dua kali lipat dari kita”.
“Lalu bagaimana dengan Ki Prastawa?”.
“Dia sedang melawat ke bang wetan bersama para pengawal dan Pasukan Mataram”.
“Ki Argajaya? adiknya Swargi Ki Gede Menoreh?”.
“Dia ada dirumahnya, tetapi kau kira jarak rumah keduanya cukup jauh. Sehingga jika terjadi keributan, tentu Ki Argajaya akan memerlukan waktu untuk sampai ke rumah Nyi Pandan Wangi, sementara itu terjadi, kita sudah dapat melarikan diri”.
“Aku hargai hasil pengamatan kalian. Tapi ingat, setiap apapun yang kalian laporkan, maka kepala kalian menjadi taruhannya”.
“Kami mengerti, Guru. Lagipula mana mungkin kami berani berbohong, apalagi sampai menjerumuskan Guru dan diri kami sendiri”. sahut Rambat mewakili kawan-kawannya.
“Baiklah kalau begitu, jadi sekarang kita hanya menunggu datangnya gelap untuk melaksanakan rencana kita ini. Sembari nanti kita lihat perkembangannya”. sahut orang yang dipanggil guru oleh keempat orang yang duduk di hadapannya.
*****
Sementara itu Nyi Untara tidak dapat lagi menyembunyikan kegembiraannya saat itu, segera mendekati tamu-tamunya yang sudah mulai memasuki pendapa.
Meski sudah tidak muda lagi, namun sikapnya kepada adik iparnya itu seakan tidak pernah berubah. Dan baginya, adik iparnya itu tidak sekedar sebagai adik, tetapi sekaligus anaknya.
Dengan tanpa rasa sungkan, Nyi Untara mengusa-usap kepala adik iparnya itu sembari sesekali menepuk punggungnya untuk mengungkapkan rasa rindunya yang sangat mendalam.
“Kau kemana saja, Ngger? apakah kau terlalu sibuk dengan keperluanmu sendiri? sehingga kau lupa jalan menuju ke rumah ini? bahkan aku mengira bahwa kau sudah melupakan Mbokayumu yang sudah semakin tua ini”.
Seketika pertanyaan bertubi-tubi keluar begitu saja dari mulut kakak iparnya tersebut, karena saking menahan rindu kepada saudara mudanya sekian lama.
“Bagaimana mungkin aku akan melupakan Mbokayu”.
“Lalu kenapa baru sekarang datang mengunjungiku?”.
“Maaf Mbokayu, bukan maksudku untuk melupakan Mbokayu. Tetapi aku jarang sekali memiliki waktu longgar, karena tugas-tugas yang aku emban dari Mataram”.
“Selain itu bukankah kau tahu sendiri, Nyi. Bahwa adikmu itu sekarang telah memiliki tiga tempat sisihan, yang tentu saja akan menyita banyak waktunya”. sahut Ki Untara ikut menimpali.
Mendengar hal itu Nyi Untara seketika menoleh ke arah suaminya, lalu ke adik iparnya kembali dengan tatapan mata yang telah berubah, namun mulutnya seakan terkunci untuk berkata-kata guna mengungkapkan isi hatinya.
Halaman 33 - 34
“Sudahlah, Nyi. Di belakang adikmu itu masih banyak orang yang telah menunggu untuk kau sambut pula”. berkata Ki Untara mengingatkan istrinya.
Bagaikan tersadar dari belenggu perasaannya, Nyi Untara segera menyambut tamu-tamunya yang lain dengan penuh kegembiraan pula, meski ada di antara mereka yang menurutnya belum pernah dikenal sebelumnya.
“Apakah aku yang memang sudah pikun karena sudah semakin tua, atau aku memang belum pernah mendengar atau mengenal kalian bertiga sebelumnya”. berkat Nyi Untara sembari dengan kerut di kening.
“Maaf Mbokayu, mereka bertiga adalah adik-adik angkatku bersama Kakang Glagah Putih, dari sebelah selatan Pegunungan Kendeng. Ini Padmini, ini Setiti, dan yang ini adalah Baruni”. sahut Nyi Rara Wulan yang membantu menjelaskan.
“Oh… pantas saja wajah-wajah mereka masih terasa asing bagiku”. sahut Nyi Untara sembari menoleh ke arah anak Ki Purbarumeksa tersebut.
“Sungkem bakti dari kami bertiga, Nyi”. berkata Padmini sembari membungkukkan tubuhnya dan menangkupkan kedua tangannya, yang kemudian diikuti oleh adik-adiknya.
“Aku terima sungkem bakti kalian bertiga, dan tidak lupa terimalah pangestuku”.
“Berikanlah kesempatan kepada mereka untuk duduk, Nyi”.
Sekali lagi Nyi Untara menyadari kesalahannya setelah mendapat peringatan dari suaminya, maka dengan tergagap dirinya segera mempersilahkan semua tamunya untuk duduk, setelah selesai menyambutnya satu persatu.
Termasuk Bagus Sadewa dan Arya Nakula yang mendapat giliran terakhir sambutan dari Nyi Untara yang masih kebingungan karena saking hatinya merasa gembira atas kedatangan mereka semua yang secara tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Dipeluklah kedua anak itu satu persatu.
“Kalian sudah besar-besar sekarang, Ngger”. berkata Nyi Untara sembari mengelus-elus kepala dan menciuminya.
Tetapi baru saja duduk, perempuan yang sudah semakin berumur itu baru ingat akan sesuatu, lalu diedarkanlah matanya memandangi satu persatu orang yang datang.
“Sepertinya ada yang terlewatkan”.
“Maksud Mbokayu?”. sahut adik iparnya.
“Apa aku yang salah atau memang masih di belakang? tapi sepertinya aku tidak melihat Bayu Swandana?”.
“Oh… Bayu Swandana sedang berburu dengan anakmu sejak tadi pagi, Nyi. Dan dia belum tahu jika ibunya datang ke padepokan hari ini bersama yang lain”. sahut Ki Untara menjelaskan.
“Oh… begitu rupanya”.
Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka pertemuan itu dilanjutkan dengan membicarakan tentang apa saja yang menarik bagi mereka.
Namun sebelum pembicaraan itu sempat dilanjutkan, datanglah dua orang pembantu Ki Untara yang membawa nampan untuk menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.
“Silahkan minuman dan makanan ala kadarnya ini, kalian jangan sungkan-sungkan”. berkata Nyi Untara mempersilahkan dengan penuh keramahan dan rasa kekeluargaan.
Sejenak kemudian mereka pun menjadi sibuk menyuapi mulut masing-masing dengan minuman dan makanan yang telah disuguhkan oleh tuan rumah.
Halaman 35 - 36
“Ternyata Mbokayu pandai juga membuat jenang alot”. berkata ibu Bagus Sadewa sembari menikmati makanannya.
“Ah… kau bisa saja menyenangkan hatiku, Sekar Mirah. Hanya kebetulan saja aku dapat membuatnya dengan benar, padahal biasanya ada saja kesalahannya ketika aku membuatnya bersama pembantu di rumah ini”.
“Tapi aku rasa jenang alot ini rasa legitnya tepat ukurannya, bukankah begitu, Mbokayu Pandan Wangi?”.
“Kau benar, Sekar Mirah”.
“Kalian pandai sekali memuji rupanya, kebetulan saja kali ini ukuran antara santan kelapa, tepung ketan, dan gula arennya tepat, selain pengolahannya yang tepat pula”.
“Aku senang sekali kalian masih mau mengunjungiku yang sudah semakin berumur ini, dan tentu akan menyenangkan sekali jika kalian mau menginap disini beberapa lama?”
“Maaf Mbokayu, mungkin di lain kesempatan”.
“He… apa maksudmu, Agung Sedayu?”. sahut Nyi Untara dengan wajah penuh keheranan.
“Maaf Mbokayu, mungkin di lain kesempatan kami akan menginap disini, tetapi bukan kali ini. Sebab sekarang kami masih mengemban tugas dan Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.
“He…? meskipun hanya malam ini?”.
“Benar Mbokayu, karena malam ini pula kami harus berangkat ke bang wetan untuk mengemban tugas itu”.
“Apakah kalian semua ini?”.
“Benar Mbokayu, kecuali Kakang Untara, Bagus Sadewa dan Arya Nakula saja yang akan kami tinggalkan di padepokan”.
“Oh… begitu rupanya, bukankah malam tinggal sebentar lagi?”.
“Demikianlah Mbokayu, maka dari itu kami tidak dapat berlama-lama disini. Kedatangan kami kemari hanya memanfaatkan waktu yang sempit untuk melepas kerinduan yang begitu lama tidak bertemu dengan Mbokayu”.
Meski awalnya berat mendengar semua itu, tetapi pada akhirnya Nyi Untara pun dapat mengerti. Karena bagaimanapun dirinya pernah menjadi istri dari seorang prajurit pula.
Meski berat ketika melepas orang-orang yang dikasihi untuk memasuki medan, tetapi disisi lain dirinya tidak memiliki kuasa atau bahkan kemampuan untuk menolaknya, bagaimanapun sulitnya keadaan yang ada.
“Kalau begitu, akan segera aku siapkan makan bagi kalian, sebelum kalian berangkat, agar tidak terlambat”.
“Maaf Mbokayu, bukan maksud kami untuk menolak, tetapi Mbokayu tidak perlu repot-repot, karena di padepokan sudah disiapkan oleh para cantrik”.
“He…? lalu kalian tidak mau makan di tempat Mbokayumu ini?”.
“Maaf Mbokayu, sekali lagi kami minta maaf. Bukan maksud kami menolak niat baik Mbokayu, tetapi kami tidak memiliki banyak waktu untuk berlama-lama disini, meskipun sebenarnya kami masih sangat ingin. Tetapi keadaanlah yang belum mengizinkan”.
“Ya sudah kalau begitu”.
“Jika Yang Maha Welas Asih mengizinkan, semoga saja di lain kesempatan kami dapat datang lagi kemari bersama dengan orang yang lebih lengkap”.
“Apa maksudmu, Adi?”.
“Bukankah sekarang masih belum ada Glagah Putih dan Bayu Swandana, seperti yang tadi Mbokayu tanyakan? dan semoga saja di lain kesempatan itu mereka dapat ikut serta bersama kami”. sahut adik iparnya mencoba menjelaskan.
Halaman 37 - 38
“Oh… kau benar, Adi. Tetapi bukankah sekarang Glagah Putih sedang mengemban tugas bersama Pasukan Mataram yang sedang melawat ke bang wetan?”.
“Mbokayu benar, mungkin nanti jika Glagah Putih sudah kembali dan ada waktu longgar di sela-sela tugas yang diembannya”.
“Oh… begitu rupanya? tentu saja aku sangat senang sekali mendapat kunjungan kalian semua. Terlebih lagi jika kalian dapat bersama-sama datang kemari”.
Sementara di luar pendapa cahaya matahari sudah terlihat semakin meredup, karena memang sang surya sudah semakin tergelincir jauh ke arah barat.
Meskipun sebenarnya Ki Agung Sedayu dan yang lain hatinya merasa sangat berat untuk meninggalkan tempat itu, karena mereka pun belum lama tiba dan kini sudah harus pergi lagi.
Tetapi biar bagaimanapun hal itu harus mereka lakukan, sebab mereka harus segera pergi untuk mengemban tugas dari pepunden yang selama ini mereka suwitani.
“Mbokayu… kami minta maaf jika tidak dapat berlama-lama lagi berada di tempat ini, dan kami harus segera pamit undur diri agar kami tidak terlambat nantinya”. berkata Ki Agung Sedayu dengan perasaan berat.
“Baiklah… meski sebenarnya aku belum rela melepas kalian semua untuk pergi, tetapi jika Mataram yang memanggil, aku tidak akan dapat menahan lagi. Yang dapat aku katakan hanya, kalian semua berhati-hatilah dan jangan lupa untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar kita selalu mendapat perlindungan-Nya dalam keadaan yang bagaimanapun”.
“Baik Mbokayu, kami akan selalu mengingat pesan-pesan yang Mbokayu sampaikan kepada kami. Jika nanti ada kesempatan, akan kami usahakan untuk mengunjugi Mbokayu lagi, dan akan kami usahakan pula untuk menginap, meski hanya satu malam”.
“Aku akan selalu menunggu kedatangan kalian, apalagi kini aku sering merasa kesepian, sebab Kakangmu dan dua keponakanmu jarang sekali di rumah, mereka lebih senang menghabiskan waktu di padepokan itu daripada di rumah sendiri”.
“Baik Mbokayu, kami harus undur diri sekarang”.
Kemudian mereka pun segera berpamitan dengan Nyi Untara yang sangat ramah itu satu persatu, lalu bergegas meninggalkan pendapa dengan perasaan berat hati.
Mereka pun segera menaiki kuda masing-masing dengan diiringi perasaan yang bercampur aduk dari Nyi Untara yang melepas semua tamu-tamunya sekaligus suaminya tersebut.
Hanya lambaian tangan yang sudah mulai terlihat keriput untuk mengiringi kepergian rombongan berkuda itu dan tanpa terucap sepatah kata lagi dari mulut perempuan yang sebagian rambutnya telah berubah warnanya tersebut.
Perasaan yang tadi sudah sempat membumbung tinggi karena kedatangan orang-orang yang sangat dikasihinya, kini seakan seperti kerupuk yang tersiram air. Setelah melihat mereka semua hilang di balik regol, lalu semakin jauh pergi.
Sementara di atas punggung kudanya, Ki Agung Sedayu tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak wajar, tetapi entah apa yang menjadi penyebabnya.
Sedangkan kawan-kawannya yang berada di dalam rombongan dan orang-orang yang mereka lihat di sepanjang jalan yang mereka lalui terlihat wajar-wajar saja dan tidak tampak ada yang nyalawadi apalagi mencurigakan.
Entah kenapa hatinya menjadi tidak mapan secara tiba-tiba? mungkinkah ada isyarat yang bakal diterima? tetapi tentang apa? atau ada hubungannya dengan siapa? dengan dirinya kah? atau dengan orang lain, yang masih memiliki hubungan dekat dengannya selama ini?”.
Halaman 39 - 40
Mendapati hal tersebut, adik kandung Ki Untara itu mencoba tetap bersikap wajar agar tidak menjadi pertanyaan bagi yang lain, terutama bagi Nyi Pandan Wangi yang kali ini kebetulan berkuda di sebelah kirinya.
Hal itu sontak saja membuat penalaran Agul-Agulnya Mataram menjadi menerawang kemana-mana setelah hatinya merasa tidak mapan tetapi masih belum tahu pasti apa penyebabnya, selain hanya hatinya saja yang merasa tidak mapan.
Bukan sebuah perjalanan yang panjang, sehingga mereka telah berhasil kembali ke padepokan dalam waktu yang tidak begitu lama dan hampir tidak ada hambatan yang menghalangi.
Kemudian mereka kembali ke pendapa dengan disambut oleh Ki Agahan yang sudah menunggu kedatangan mereka setelah menyelesaikan tugasnya bersama Putut Witarsa.
“Sepertinya menunggu memang sebuah pekerjaan yang sangat menjemukan, sehingga kalian ingin menikmati udara sore di sekitar padepokan ini”.
“Sembari menunggu segala persiapan kalian, kami rasa masih ada waktu barang sejenak untuk menyempatkan diri mengunjungi Mbokayu untuk sekedar melepas rindu, setelah sekian lama tidak kami kunjungi”.
“Oh… begitu rupanya”.
“Bagaimana dengan segala persiapannya, Ki Agahan?”.
“Untuk obat penawar racun yang Ki Agung Sedayu minta sudah siap, lalu persenjataan tambahan yang direncanakan akan kita bawa memasuki medan pun aku rasa sudah hampir selesai persiapannya secara keseluruhan”.
“Syukurlah kalau begitu”.
“Sembari menunggu semuanya benar-benar siap, aku persilahkan kalian semua untuk menikmati makan malam yang sebenarnya belum waktunya ini di ruang dalam, mumpung makanan itu masih mengepul di tempatnya”.
“Mungkin bukan makan malam namanya, tapi lebih tepatnya makan menjelang senja”. sahut Ki Untara ikut menimpali, membuat yang lain hanya menahan senyumnya.
Meskipun mereka baru saja datang dan duduk di pendapa, tetapi mengingat waktu yang sudah semakin sempit, maka mereka tidak mau menunda lagi tawaran makan dari pemimpin Padepokan Orang Bercambuk tersebut.
Tanpa banyak bicara lagi kemudian mereka semua pun segera masuk ke ruang dalam guna menikmati makan yang sudah dihidangkan oleh para cantrik.
Meski hanya dengan lauk seadanya, yaitu sayur nangka muda yang di cacah-cacah, gurameh goreng yang mereka tangkap di kolam belakang, dan sambal goreng rawit ijo. Tetapi terasa sangat nikmat ketika dimakan pada saat lapar secara bersama-sama.
Setelah makan, mereka pun segera kembali ke pendapa, kecuali Bagus Sadewa dan Arya Nakula yang menyadari bahwa mereka belum pantas untuk ikut berbicara dengan orang-orang tua yang sedang membicarakan hal-hal yang sangat penting.
Dan di pendapa sudah tersedia pula minuman hangat untuk mengawani mereka berbincang, sembari menunggu nasi yang dimakan turun, sebelum mereka benar-benar berangkat mengemban tugas.
“Ki Agahan?”.
“Ada apa Nyi Pandan Wangi?”.
“Apakah Bayu Swandana dan Bagaskara belum kembali hingga kini?”. bertanya ibu Sekar Wangi yang mulai ada perasaan khawatir.
“Setahuku belum, Nyi. Apakah aku perlu mengutus cantrik untuk menyusulnya?”.
Halaman 41 - 42
“Tidak… tidak perlu Ki Agahan, kita tunggu saja mereka kembali, mungkin mereka sudah dalam perjalanan pulang”.
“Apakah Nyi Pandan Wangi yakin?”.
“Ya… mungkin mereka hanya terlalu senang berburu, sehingga lupa waktu bahwa sekarang sudah akan gelap”.
“Kebanyakan anak-anak memang seperti itu, jika mereka sedang melakukan sesuatu yang mereka senangi, maka mereka sering lupa akan waktu”. sahut Ki Untara.
“Jika Bayu Swandana kembali setelah kami berangkat, maka dia aku titipkan kepada Kakang Untara”.
“Baiklah Pandan Wangi”.
“Jika kami tidak sempat bertemu dengan Bayu Swandana, aku minta tolong kepada Kakang Untara agar tidak membiarkannya untuk menyusul kami”.
“Baiklah… aku mengerti Agung Sedayu”.
“Ki Agahan?”.
“Ada apa Ki Agung Sedayu?”.
“Jika para cantrik telah selesai makan dan cukup istirahat, tolong perintahkan mereka untuk segera berkumpul di halaman. Sebab tidak lama lagi kita akan berangkat, dan sebelum berangkat aku ingin melihat kembali perlengkapan mereka”.
“Baik Ki Agung Sedayu”.
Selesai berkata demikian, maka pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu pun segera memberikan isyarat kepada seorang cantrik untuk mendekat, guna menyambung lidah atas perintah tersebut kepada kawan-kawannya yang mendapat tugas.
“Maaf Ki Agung Sedayu, entah aku yang lupa atau memang belum ada perintah, tetapi seingatku para cantrik tidak diperintahkan untuk membawa perbekalan makanan? apakah ada prajurit Mataram yang akan membawakannya untuk kami?”.
Sebelum menjawab, ayah Sekar Wangi mengeluarkan sebuah kantong kain yang terlihat berisi penuh, tetapi entah apa isi yang berada di dalamnya.
“Tidak akan ada prajurit Mataram yang akan membawakan bekal makanan untuk kita, Ki Agahan. Aku memang sengaja tidak memerintahkan kalian untuk membawa perbekalan karena beberapa pertimbangan, selain untuk mengurangi beban kalian selama di perjalanan, Mataram telah memberi bekal yang lebih dari cukup. Terimalah ini”.
“Oh… begitu rupanya, tetapi aku rasa sebaiknya uang itu diserahkan saja kepada Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah, selaku pemimpin pasukan”.
“Mereka sudah membawa bekal sendiri, lagipula aku tahu jika aku serahkan uang ini kepada Pandan Wangi atau Sekar Mirah, tentu kalian akan merasa sungkan untuk memintanya ketika kalian membutuhkannya nanti di sepanjang perjalanan”.
Meski dengan perasaan sungkan, akhirnya Ki Agahan pun mengulurkan kedua tangannya, karena sudah tidak dapat menolak lagi pemberian tersebut.
“Mungkin nanti dalam perjalanan kalian akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah, tetapi harus tetap terhubung antara satu dengan yang lain. Dengan adanya kemungkinan itu, untuk mempermudah pekerjaan kita, Ki Agahan dapat membagi uang itu dengan pemimpin kelompok masing-masing”.
“Baik Ki Agung Sedayu, aku mengerti”.
Sebelum Agul-Agulnya Mataram itu melanjutkan kata-katanya, dari arah samping para cantrik sudah mulai berdatangan satu persatu untuk berkumpul di halaman padepokan sebelum mereka berangkat mengemban tugas.
Halaman 43 - 44
“Sepertinya sebaiknya pembicaraan ini kita lanjutkan saja di halaman, agar para cantrik pun dapat mendengarnya pula, dan mungkin juga mereka ada pertanyaan untuk kita”. berkata Ki Agung Sedayu, lalu beranjak dari tempat duduknya mendahului yang lain.
Kemudian semua orang yang berada di pendapa pun turun ke halaman untuk mendengarkan pesan-pesan terakhir sebelum berangkat, kecuali Ki Untara yang akan tetap berada di padepokan.
Dua puluh orang cantrik yang berkumpul di halaman ternyata memang sudah benar-benar siap untuk mengemban tugas yang sangat berat yang dibebankan di pundak mereka.
“Aku ucapkan terima kasih kepada kalian semua atas kesediaan kalian untuk mengemban tugas ini, meski kalian semua tahu bahwa tugas ini sangat berat dan berbahaya. Tetapi jika di antara kalian ada yang masih merasa ragu, aku persilahkan untuk mundur”. ucap Ki Agung Sedayu memulai pembicaraan.
Selesai berkata demikian lalu mengedarkan pandangan matanya, seolah-olah dirinya ingin melihat isi hati orang-orang yang berada di hadapannya.
Ternyata tidak ada yang bergeming dari tempat berdirinya masing-masing. Meski mereka tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan mulut, namun dari bahasa tubuh, mereka sudah memberikan jawaban yang hampir pasti, bahwa mereka yakin dengan apa yang akan mereka lakukan. Sehingga tidak perlu meninggalkan tempat itu.
“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, bahwa ternyata kalian mengemban tugas ini dengan penuh keyakinan dan tekad kuat di dalam hati kalian masing-masing”.
“Selain senjata utama yang kalian bawa, apakah kalian sudah membawa senjata tambahan pula? sesuai dengan perintah yang aku berikan?”.
“Sudah Ki”. sahut para cantrik hampir bersamaan.
“Pada awalnya aku sempat berpikir untuk memerintahkan kalian untuk membawa panah pula, tetapi setelah melalui beberapa pertimbangan, aku batalkan. Sebab hal itu akan sangat menarik perhatian banyak orang jika kalian semua membawa panah lengkap dengan anak busurnya”.
“Maka dari itu aku hanya memerintahkan kalian hanya membuat tulup saja sebagai senjata tambahan, selain cambuk sebagai sejata utama sekaligus ciri perguruan kita”.
“Perlu aku ingatkan, bahwa selama kita mengemban tugas ini, kita membawa nama Padepokan Orang Bercambuk dan Mataram yang harus selalu kita jaga nama baiknya. Jangan sampai kita melakukan hal-hal bodoh, hanya untuk sekedar menuruti kesenangan pribadi. Jika itu terjadi, maka akan ada hukuman yang menunggu kalian”.
“Meskipun oleh Mataram aku dipercaya untuk memimpin pasukan ini, tetapi karena ada tugas lain pula yang harus aku urus, maka dengan sangat terpaksa aku tidak dapat selalu bersama-sama kalian. Namun aku akan segera menyusul, dan selama aku tidak ada di antara kalian, maka kepemimpinan aku limpahkan kepada Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah. Apakah ada pertanyaan?”.
Mendangar hal itu semua orang menjadi saling pandang dengan kawan-kawan yang berada di dekatnya masing-masing, namun setelah beberapa lama tidak ada yang membuka suara, sepertinya tidak ada pertanyaan yang dapat mereka ajukan.
Hal itu menandakan bahwa mereka semua sudah dapat mengerti, baik secara langsung maupun secara tersirat sehubungan dengan apa yang bakal mereka lakukan nantinya.
“Jika kalian sudah jelas, maka sebaiknya kita segera bersiap. Sebelum berangkat kalian bagilah menjadi beberapa kelompok, tetapi nanti di sepanjang perjalanan harus tetap selalu terhubung satu sama lain dengan isyarat yang telah disepakati. Sementara para perempuan ini akan menjadi satu kelompok”.
Halaman 45 - 46
“Untuk mengurangi perhatian banyak orang, kalian yang berjumlah dua puluh satu orang ini, termasuk Ki Agahan. Bagilah menjadi empat kelompok berbeda. Jadi secara keseluruhan kalian terdiri dari lima kelompok termasuk kelompok para perempuan. Dari setiap kelompok, paling tidak harus ada cantrik utama sebagai pemimpin kelompok terkecil”.
Sepertinya perintah itu tidak perlu diulangi lagi, sebab dengan segera para cantrik yang berdiri di halaman itu segera menyesuaikan diri dengan cepat, hampir tanpa ada perdebatan.
Dan kini mereka telah berada di kelompoknya masing-masing, sesuai dengan petunjuk dari ayah Sekar Wangi, kecuali Ki Agahan yang masin berdiri di sebelahnya.
“Aku persilahkan Ki Agahan untuk memasuki kelompok yang mana saja yang menurutmu paling sesuai, karena masing-masing kelompok sudah ada cantrik utamanya, bahkan ada yang lebih dari satu. Putut Witarsa, Putut Darpa, Putut Darpita, Putut Penjalin, Putut Duwarsa, dan Putut Keling”.
“Bagiku sama saja, Ki Agung Sedayu. Tetapi aku rasa lebih baik aku masuk ke kelompok yang tidak terdapat Putut ganda”. sahut Ki Agahan yang kemudian menggabungkan diri dengan kelompok barunya bersama para cantrik.
“Jika semuanya sudah jelas, maka sebaiknya kalian segera bersiap untuk berangkat. Dan aku akan melepas kepergian kalian disini, sebelum aku melanjutkan tugasku sendiri lebih dahulu”.
“Baik Ki Agung Sedayu, kami akan segera berangkat”. sahut Ki Agahan dengan mantap.
“Terserah jalan yang akan kalian lalui, tetapi yang paling penting kalian harus bertemu di tempat yang telah kita sepakati. Dan jika ada hambatan pada salah satu kelompok yang tidak teratasi, segera kirimkan penghubung ke kelompok yang lain”.
“Baik Ki Agung Sedayu, kami mengerti”.
“Selain itu, usahakan untuk menyamarkan jati diri kalian sejauh yang dapat kalian lakukan, untuk menghindari para prajurit sandi dari pihak lawan yang tersebar di sepanjang tanah ini”.
“Kakang?”.
“Ada apa Pandan Wangi?”.
“Kami kelompok perempuan, sebaiknya berangkat lebih dulu atau di belakang rombongan yang lain?”.
“Berhubung kalian sebagai pengganti kedudukanku, sebaiknya kalian berada di antara mereka, agar jaraknya tidak terlalu jauh dengan yang bagian depan maupun yang belakang”.
“Baiklah kalau begitu”.
“Apakah masih ada pertanyaan lain?”.
“Aku rasa tidak ada, Kakang”.
“Ya sudah… kalau begitu kalian bersiaplah untuk berangkat”.
“Baik Kakang”.
“Ki Agahan… aku titip istri dan adik-adikku”.
“Baik Ki Agung Sedayu, kami akan menjaga mereka dengan segenap jiwa raga kami”. sahut pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu dengan penuh keyakinan.
Kemudian rombongan yang sudah dibagi menjadi beberapa kelompok itu mulai berangkat satu persatu, sesuai dengan kelompok yang telah disepakati.
Ki Untara dan adik kandungnya melepas kepergian mereka dengan rasa haru, dan sudah tidak ada kata-kata lagi yang terucap, kecuali kata selamat jalan.
Setelah jarak yang dianggap cukup, maka kelompok berikutnya segera menyusul kelompok sebelumnya, begitu pula seterusnya hingga akhirnya kelompok terakhir yang mulai meninggalkan regol Padepokan Orang Bercambuk.
Halaman 47 - 48
Dua orang kakak adik itu masih sempat terdiam sejenak ketika melihat para cantrik terakhir yang mulai menghilang di kegelapan malam yang baru saja turun.
“Lalu apa langkahmu selanjutnya, Agung Sedayu?”.
Pertanyaan itu seketika membuyarkan lamunan Agul-Agulnya Mataram, lalu perlahan menoleh ke arah kakaknya yang masih berdiri di samping kanannya.
“Aku akan ke Mataram dulu, Kakang”.
“He… Mataram?”.
“Benar Kakang, setelah ini aku harus menghadap dulu ke Kepatihan, perintah dari Ki Patih Singaranu”.
“Apakah harus sekarang juga?”.
“Memang Ki Patih Singaranu tidak memberikan batasan waktu. Tetapi katanya, semakin cepat maka akan semakin baik setelah aku berhasil mengirimkan pasukan cadangan. Sebab biar bagaimanapun kini Mataram sedang berkejaran dengan waktu”.
“Ya aku mengerti, tetapi apakah kau hanya akan sendirian pergi ke Mataram?”.
“Sebenarnya aku lebih senang jika ada kawan di perjalanan, tapi kali ini aku rasa, sebaiknya aku sendiri saja”.
“Terserah kau saja. Tadinya jika kau memerlukan kawan, aku akan memerintahkan cantrik untuk mengawanimu”.
“Tidak perlu, Kakang. Aku sendiri saja”.
“Aku tahu, jika kau mengajak kawan, tentu kau tidak akan dapat leluasa untuk bergerak”. sahut Ki Untara sembari bibirnya melontarkan senyum penuh arti.
“Sebaiknya aku berangkat sekarang, agar tidak kemalaman nanti tiba di Kepatihan”.
“Ya… hati-hatilah, Agung Sedayu. Aku hanya dapat berpesan, kau jangan sampai memiliki kepercayaan diri yang berlebihan, sehingga memburamkan penalaran wajarmu. Karena setinggi apapun kemampuan seseorang, dirinya tidak bakal lepas dari apes”.
“Baik Kakang, terima kasih atas peringatan Kakang. Aku akan selalu berusaha mengingatnya dengan sebaik-baiknya”.
“Bukankah kau akan menggunakan kuda?”.
“Ya… aku akan membawa kuda”.
“Ya sudah, berhati-hatilah. Dan aku tunggu kepulanganmu”.
“Baik Kakang”.
Selesai berkata demikian ayah Sekar Wangi itu segera menghampiri kudannya yang ditambatkan di halaman samping, lalu memacu kudanya meninggalkan padepokan yang penuh sejarah panjang bagi kehidupannya secara pribadi.
“Semoga aku tidak kemalaman tiba di Kepatihan, agar dapat menghadap Ki Patih Singaranu”. katanya dalam hati, di atas punggung kudanya yang berpacu.
Dirinya sadar bahwa tidak mungkin memacu kudanya lebih cepat, karena selain sangat berbahaya di bawah kegelapan malam yang semakin pekat, tentu akan sangat menarik perhatian banyak orang yang mendengar atau yang melihatnya langsung.
Tetapi sekali lagi Agul-Agulnya Mataram itu merasakan hatinya tidak mapan, dan belum tahu pasti apa penyebabnya. Yang dapat dilakukannya sementara ini hanya nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih untuk meminta petunjuk.
“Kenapa isyarat ini semakin kuat kurasakan di dalam hati? tetapi aku tidak boleh berprasangka sebelum menyelidikinya”.
Halaman 49 - 50
Semilir angin di atas punggung kuda yang terus melaju di bawah malam yang semakin gelap, telah mengiringi perjalanan murid tertua Swargi Kyai Gringsing seorang diri menuju Mataram dengan membawa beban tugas serta firasat yang mengusik hatinya.
Semakin lama kuda itu telah membawanya menjauhi padepokan yang entah kapan lagi dapat dikunjunginya, padahal di dalam lubuk hatinya yang terdalam, sesekali dirinya ingin berlama-lama di padepokan tersebut.
Namun karena beban tugas dan tanggung jawab yang masih harus diembannya, dirinya masih harus mengurungkan niatnya. Mungkin suatu saat nanti, tetapi entah kapan.
*****
Sementara itu Bayu Swandana dan kawan-kawannya mulai terlihat memasuki regol padepokan dengan membawa hasil buruannya.
Seekor menjangan yang sudah tidak berdaya, dibawa oleh dua orang, kaki-kakinya diikat pada sebuah batang kayu dan dibiarkan menggantung di tengah.
“Apakah kalian baru pulang dari berburu?”. bertanya salah satu cantrik yang bertugas di gardu depan padepokan.
“Ya… kami baru pulang”. sahut Bayu Swandana.
“Apakah kalian berburu hingga tempat yang jauh? sehingga pulang kemalaman?”.
“Iya… kami berburu cukup jauh, sehingga tidak dapat pulang sebelum senja turun”. sahut Bagaskara.
“Kami akan ke belakang dulu”.
“Silahkan… tapi sebaiknya kalian segera menghadap Ki Untara, mungkin ada sesuatu yang dapat kalian dengar”. sahut cantrik yang bertugas satunya lagi.
“Tentang apa?”.
“Nanti kalian akan tahu sendiri”.
“Baiklah… terima kasih, nanti kami akan segera menghadap setelah selesai membersihkan diri”. sahut Bagaskara sembari bergegas meninggalkan tempat itu bersama kawan-kawan perjuangannya dalam berburu.
Tetapi belum juga mereka mencapai halaman belakang untuk menaruh hasil buruan sekaligus membersihkan diri, mereka sudah mulai merasa keanehan.
Dalam hati mereka sudah mulai menduga-duga, apa yang sebenarnya telah terjadi? setelah sampai dapur, baru mereka bertanya dengan cantrik yang ada.
“Apa yang telah terjadi?”. bertanya Bayu Swandana heran.
“Aku mendapat pesan dari Ki Untara, jika kalian telah kembali diperintahkan untuk segera menghadap kepadanya”. sahut seorang cantrik yang duduk di amben bambu.
“Dimana Ayah sekarang?”.
“Jika tidak salah, ada di ruang dalam”.
“Baiklah… nanti setelah membersihkan diri dan makan malam, aku akan segera menghadap Ki Untara. Sebab aku tidak dapat menghadap dengan tenang jika perutku lapar, lagipula aku tidak tahu akan berapa lama nantinya. Tetapi jika perutku sudah terisi, bukankah aku akan tenang”. sahut Bayu Swandana mendahului, dan tanpa menunggu jawaban segera pergi ke pakiwan.
“Tolong kau urus menjangan ini”. berkata Bagaskara kepada dua orang cantrik yang hampir sebaya dengannya, yang duduk di amben bambu dapur yang tidak begitu lebar.
“Baiklah, nanti aku akan mengajak kawan yang lain untuk mengurus menjangan itu agar cepat selesai, dan sebaiknya kau segera menghadap kepada Ayahmu, agar dia tidak semakin menunggu kedatanganmu”.
Halaman 51 - 52
“Ya… nanti setelah membersihkan diri dan makan malam, aku akan segera menghadap Ayah bersama Bayu Swandana”.
Setelah beberapa lama kedua anak itu selesai membersihkan diri dan makan malam di dapur, maka mereka segera menemui Ki Untara yang sudah berada di pendapa bersama Bagus Sadewa, Arya Nakula dan beberapa cantrik yang lain.
“Ayah… apakah Ayah menungguku?”. berkata Bagaskara ketika memasuki pendapa, diikuti oleh Bayu Swandana di belakangnya.
“Ya… kalian berdua duduklah”.
“Maaf jika kami pulang kemalaman, Ayah”.
“Kenapa kalian baru pulang hingga malam?”.
Lalu Bagaskara menjelaskan apa yang terjadi selama dia bersama kawan-kawannya berburu, meskipun hanya secara garis besarnya saja, namun itu sudah cukup jelas untuk mengambarkan apa yang telah terjadi secara keseluruhan.
“Ya sudah, lain kali kalian harus lebih berhati-hati”. sahut Ki Untara setelah anaknya selesai menjelaskan.
“Baik Ayah”.
“Ada yang ingin aku sampaikan kepada kalian berdua”.
“Apa itu Ayah?”.
Kemudian Ki Untara yang gantian bercerita dengan apa yang telah terjadi di padepokan selama anaknya pergi, hingga beberapa saat sebelum anaknya kembali.
“Sayang sekali”.
“Apanya yang sayang sekali, Bayu Swandana?”. sahut Ki Untara.
“Sayang sekali aku tidak bertemu dengan mereka, Paman”.
“Memangnya apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengan mereka, Ngger?”. sahut Ki Untara yang sebenarnya sudah mengetahui maksud dari anak muda agak bulat itu.
“Aku pasti akan ikut rombongan itu, Paman”.
“Tetapi sudah terlambat, tentu mereka sekarang sudah semakin jauh meninggalkan tempat ini”.
Cucu Swargi Ki Gede Menoreh itu tampak terdiam sembari menundukkan kepalanya, sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.
“Aku dapat menyusulnya”. ucap anak muda itu tiba-tiba dengan perasaan ragu.
“Mungkin ada benarnya kata orang-orang tua, bahwa naluri seorang ibu terhadap anaknya itu jarang sekali meleset”.
“Maksud Paman Untara?”.
“Ibumu sudah menduga kau akan berbuat demikian”.
“Lalu apa lagi yang dikatakan ibu, Paman?”.
“Ibumu menitipkan pesan kepadaku, bahwa kau dilarang menyusulnya. Sebab ini bukan perjalanan untuk bersenang-senang, tetapi sebuah perjalanan yang dipenuhi dengan marabahaya”.
Seketika wajah Bayu Swandana menjadi berubah, sepertinya dia tidak suka dengan pesan dari ibunya. Namun belum terucap sepatah katapun dari mulutnya untuk menanggapi.
“Jika memang itu perjalanan yang berbahaya, kenapa mereka mengajak para cantrik padepokan ini, Paman?”.
“Mereka yang diajak adalah para cantrik pilihan, tidak hanya secara kawruh kanuragannya saja, tetapi secara keseimbangan jiwaninya pula”.
Halaman 53 -54
“Tetapi aku merasa tidak kalah dengan mereka”.
“Di dalam medan pertempuran itu bukan hanya bicara soal seberapa banyak kita mengalahkan lawan, tetapi yang paling penting adalah seberapa jauh kita dapat mengendalikan diri di dalam sebuah pertempuran yang garang, bahkan medannya sering tidak pernah terduga sebelumnya”.
“Aku belum mengerti maksud, Paman Untara. Bukankah di dalam perang itu, kita memang harus dapat mengalahkan lawan sebanyak mungkin?”.
“Kau benar, Bayu Swandana. Tetapi bagaimana mungkin kita dapat mengalahkan lawan sebanyak mungkin jika kita sendiri belum mampu mengendalikan diri sendiri?”.
“Penjelasan Paman Untara semakin membuatku pusing saja”.
Orang yang merasa disebut namanya hanya dapat menahan senyumnya, dan mulai dapat dapat menerka sejauh mana kemampuan berpikir anak muda yang agak bulat tersebut.
“Kau tidak harus mengerti semua apa yang telah aku sampaikan sekarang, anak-anak sebayamu memang memerlukan waktu lebih untuk dapat mengerti dan mencernanya. Tetapi semua itu tergantung pula dengan seberapa besar tekadmu untuk cepat bisa didalam ngangsu kwaruh”.
Suasana sempat hening sejenak kerena tidak ada yang membuka suara, tetapi dari kejauhan terdengar samar-samar sekumpulan hewan malam yang sudah mulai berkeliaran.
Namun tidak ada yang menyadari bahwa Bagus Sadewa sedikit banyak mulai mengerti apa yang disampaikan uwaknya tersebut, tetapi anak itu memilih tetap berdiam diri dan cukup hanya menjadi pendengar yang baik saja.
Kerena pada dasarnya anak muda itu memang tidak suka banyak bicara dan tidak ingin pula menonjolkan diri kepada orang lain, apa yang telah dia mengerti atau apa yang dapat dilakukan. Karena menurutnya hal itu sama saja baginya.
Dan untuk mengisi waktu hening itu, mereka menyibukkan diri dengan menyuapi mulut mereka masing-masing dengan minuman hangat dan beberapa potong makanan yang ada sembari menikmati udara malam yang terasa sepoi-sepoi.
*****
Sementara itu Pasukan Mataram yang telah menarik diri dari Kadipaten Wirasaba sedang beristirahat di sebuah padang perdu yang tidak begitu luas pada pinggir hutan yang sepertinya masih jarang sekali dijamah orang.
Perjalanan yang sangat melelahkan, bukan saja tubuh yang merasa lelah karena perjalanan yang sangat panjang, tetapi mereka lelah pula secara jiwani.
Sebab baru saja mereka selesai berperang dengan Pasukan Wirasaba, mereka kini sudah harus mengamankan diri dari kejaran Pasukan Surabaya yang tidak dapat menerima jika sekutu mereka diusik oleh siapapun.
Karena dirasa sudah cukup aman setelah jarak yang cukup jauh dengan Pasukan Surabaya yang berusaha mengejar, maka Pasukan Mataram dapat sedikit bernafas lega. Meskipun mereka sadar, mereka masih belum aman sepenuhnya.
Namun paling tidak, kini mereka dapat menikmati waktu istirahat dengan sedikit lebih senang, meski tidak pernah menurunkan kewaspadaan sedikitpun pada perkembangan keadaan lingkungan sekitarnya.
Dan ketika telah datang gelap, maka mereka memutuskan untuk beristirahat di kaki Gunung Liman yang kebetulan mereka lalui dalam perjalanan kali ini.
Halaman 55 - 56
Lalu mereka mendirikan perkemahan dan tempat peristirahatan sementara di pinggiran hutan yang terlihat lebat oleh pepohonan besar dan semak belukar.
Tetapi dalam kelelahan itu mereka tidak pernah lupa akan tugas dan tanggung jawabnya, seperti yang sudah diatur oleh perwira dari kesatuan pasukan masing-masing.
Setelah makan malam selesai, maka para prajurit yang kebetulan tidak mendapat giliran bertugas merasa sangat senang karena mereka kini memiliki waktu untuk meluruskan kaki.
Ada yang beristirahat dengan beralaskan ketepe, atau dedaunan apa yang yang cukup lebar untuk merebahkan tubuh yang telah lelah secara raga dan jiwani.
Sementara para Priyagung Mataram sedang berkumpul di salah satu tenda, untuk membicarakan tentang perkembangan keadaan atau apa saja yang menarik bagi mereka, sembari menunggu rasa kantuk menghampiri mata.
“Bagaimana dengan hasil pengamatan para prajurit sandi yang telah kita terima, Paman?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma kepada ketiga pamannya membuka pembicaraan.
“Menurut perkiraan, Pasukan Surabaya akan memasuki Kadipaten Wirasaba malam ini, Angger Panembahan. Dan aku kira malam ini mereka akan beristirahat di Wirasaba dan baru akan melanjutkan perjalanan besok pagi-pagi sekali”.
“Lalu bagaimana dengan laporan para prajurit penghubung, Paman Pringgalaya?”.
“Utusan yang kita kirim ke pajang telah kembali, dan mereka melaporkan bahwa Adipati Pajang menolak untuk mengirimkan bantuan kepada kita”.
“Ternyata dugaan kita semua terhadap Pajang tidak meleset, Paman”. sahut pepunden tertinggi Mataram tersebut.
Selesai berkata demikian tangan kirinya mengusap-usap tangan kanannya yang mengepal, dan secara tersirat itu menunjukkan bahwa dirinya sedang menahan kemarahannya yang belum mendapatkan pelampiasan.
“Angger Panembahan benar, tetapi justru itu bagus”.
“Maksud Paman Pringgalaya?”.
“Bukankah dengan demikian, Mataram tidak akan ragu-ragu lagi dalam mengambil sikap terhadap Pajang? karena kini mereka sudah tidak tedeng aling-aling lagi dalam bersikap terhadap Mataram?”.
“Kita jangan biarkan ada duri di dalam daging itu berlama-lama bersemayam di tubuh kita, aku rasa semakin cepat kita mengatasinya, maka akan semakin baik. Sebab jika kita membiarkan itu berlarut-larut, maka wibawa Mataram akan dipertaruhkan”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil ikut menimpali.
“Akupun sependapat jika harus segera diselesaikan, Paman. Tetapi mau tidak mau, masalah itu harus kita tunda dulu. Sebab perhatian kita saat ini harus kita pusatkan dulu terhadap Pasukan Surabaya yang tidak dapat kita anggap sebelah mata”.
“Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua, agar kita dapat menyelesaikan semua itu satu persatu dengan sebaik-baiknya”. sahut Pangeran Puger.
“Ya… Kakangmas Pangeran Puger benar, sebaiknya tidak jangan lupakan pula untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Tunggal dalam setiap langkah laku kita”.
Mereka yang mendengar ucapan Pangeran Pringgalaya hanya mengangguk anggukkan kepalanya perlahan, sebagai tanda bahwa mereka sependapat akan hal itu.
Sejenak suasana di tempat itu menjadi hening, yang terdengar justru para prajurit yang sedang bercengkerama dengan kawan-kawannya yang berada di luar.
Halaman 57 - 58
Sekumpulan hewan malam pun tidak ketinggalan untuk memperdengarkan suaranya yang beraneka macam dari tempatnya berkeliarannya masing-masing.
Apalagi di sekitar tempat itu terdapat hutan lebat yang sepertinya masih sangat jarang terjamah orang, sehingga kemungkinan besar masih banyak terdapat hewan liar di dalamnya.
“Lalu bagaimana dengan permintaan kita akan pasukan cadangan kepada Ki Patih Singaranu?”.
“Pasukan itu sudah berangkat dan kita akan bertemu di tempat yang telah kita sepakati, Angger Panembahan”.
“Apakah ada laporan lain yang belum aku dengar, Paman?”.
Namun sebelum pertanyan itu terjawab, dari luar terdengar salah satu prajurit Pengawal Khusus Raja memberikan isyarat untuk menghadap.
“Masuklah”. sahut Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.
“Mohon ampun Kanjeng, hamba telah berani deksura dengan mengganggu pembicaraan ini”.
“Ada apa?”.
“Ampun Kanjeng, hamba hanya ingin menyampaikan permintaan menghadap dari Ki Agung Sedayu”.
Keempat Priyagung Mataram itu sempat terkejut mendengar permintaan tersebut, hingga mereka menjadi saling pandang sesaat namun penuh arti.
“Sampaikan kepadanya bahwa aku menunggunya”.
“Sendika dawuh Kanjeng”. sahut prajurit itu lalu bergegas pergi.
Tidak lama kemudian muncullah orang, yang sebenarnya ingin menghadap kepada pepunden tertinggi Mataram tersebut. Dan tanpa meninggalkan subashita, orang itupun menghadap.
“Ampun jika hamba telah berani deksura mengganggu waktu istirahat Kanjeng Sinuhun”. ucap orang tersebut sembari tak lupa menghaturkan sembahnya.
“”Ada apa?”.
“Hamba mendapat perintah dari Ki Patih Singaranu untuk melaporkan bahwa pasukan cadangan dari kesatuan Pasukan Jalamangkara yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Sanggayudha telah diberangkatkan menuju tempat sesuai yang diperintahkan”.
“Ya… aku baru mendengar pula laporannya. Selain itu, apa lagi yang dapat kau laporkan?”.
“Berdasarkan laporan prajurit sandi, bahwa kekuatan Pasukan Surabaya yang akan menyerang pasukan kita hampir dua kali lipat kekuatannya, maka Ki Patih Singaranu memerintahkan kepada hamba untuk membentuk pasukan cadangan lagi yang dapat segera diberangkatkan segera. Tetapi bukan berasal dari prajurit Mataram, sebab Pasukan Mataram yang tersisa tidak memungkinkan”.
“Lalu?”.
“Hamba hanya dapat membentuk pasukan kecil yang berasal dari para cantrik Padepokan Orang Bercambuk dan beberapa perempuan termasuk istri hamba”.
“Ada berapakah jumlah mereka?”.
“Dua puluh tujuh orang, Kanjeng”.
“Meskipun itu hanyalah sebuah pasukan kecil, tetapi aku harap mereka adalah orang-orang yang dapat mrantasi gawe”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma.
“Semoga Kanjeng Sinuhun”.
“Lalu bagaimana dengan perkembangan kesehatan adik sepupumu itu sekarang, Ki Agung Sedayu?”. bertanya Pangeran Pringgalaya ikut menimpali.
Halaman 59 - 60
“Berkat kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, keadaan Glagah Putih sudah semakin membaik, dan akan segera dapat bergabung lagi dengan Pasukan Mataram”.
“Syukurlah kalau begitu”.
“Jika Kanjeng Sinuhun tidak keberatan, hamba ingin meminta Glagah Putih untuk bergabung dengan pasukan kecil hamba”.
“Bagaimana menurut, Paman Pangeran bertiga?”.
“Aku rasa tidak menjadi soal, Angger Penembahan. Sebab pada akhirnya akan sama saja, kita akan bertemu di satu tempat yang telah kita sepakati bersama”.
“Benar apa yang dikatakan, Kakangmas Pangeran Puger, Ngger”.
“Akupun sependapat, Ngger”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil ikut menanggapi.
“Kau dengar sendiri, Ki Agung Sedayu?”.
“Hamba Kanjeng Sinuhun”.
“Jika kau masih memerlukan tambahan kawan di pasukan kecilmu, aku persilahkan kau memilihnya sendiri”.
“Hamba rasa sudah cukup, Kanjeng Sinuhun. Lagipula kita sudah mendapat tugas masing-masing, agar kerjasama ini dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah kita sepakati”.
“Dan rencana ini berhasil atau tidaknya tergantung dari seberapa baiknya kita melaksanakan tugas masing-masing. Dan jika ada salah satu saja kelompok, tidak melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya, maka kita semualah yang bakal menanggung akibatnya”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Lalu kapan pasukan kecilmu itu dapat diberangkatkan? apakah masih memerlukan waktu untuk membentuknya?”.
“Mereka sudah berangkat, tadi setelah gelap, Kanjeng”.
“Syukurlah kalau begitu, lalu apakah masih ada yang akan kau laporkan kepadaku?”.
“Sepertinya hanya itu saja sementara ini, dan sehubungan dengan laporan hamba sudah selesai, maka sekaligus hamba mohon diri dan melanjutkan titah dari Kanjeng Sinuhun”.
“Baiklah… terima kasih atas laporanmu”.
Kemudian Ki Agung Sedayu pun menghaturkan sembahnya lebih dahulu kepada pepunden seluruh kawula Mataram tersebut sebelum beranjak meninggalkan tempat itu.
Dan setelah ayah Bagus Sadewa itu telah berlalu dari tempat itu, maka keempat Priyagung Mataram itu melanjutkan kembali pembicaraan mereka yang tertunda.
“Beruntunglah kita memiliki orang kepercayaan seperti Ki Agung Sedayu, baik karena kemampuannya maupun kepribadiannya. Sangat sulit untuk menemukan orang seperti dia”.
“Adimas Pangeran Pringgalaya benar, hanya sayang sekali dulu dia pernah membuat sebuah kesalahan”.
“Akupun sebenarnya secara pribadi sangat menyayangkan kejadian itu pula, Paman. Tetapi sebagai pepunden seluruh kawula Mataram aku harus menegakkan paugeran yang berlaku. Karena aku harus dapat memilah dan memilih, kapan aku bicara sebagai pribadi dan kapan aku harus bicara sebagai pepunden”.
“Aku dapat mengerti maksud dari, Angger Panembahan”.
“Mungkin itu memang sudah menjadi pepesthen dari Yang Maha Agung bagi jalan hidupnya, sehingga kita pun tidak dapat berbuat lebih untuk menolongnya ketika dia membuat kesalahan itu”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Paman benar… bahkan aku sendiri pun tidak dapat berbuat lebih dari apa yang sudah aku lakukan, sebab ada paugeran yang tidak dapat aku langgar meski aku sangat ingin membantunya”.
Halaman 61 - 62
*****
Sementara malam itu suasananya tampak begitu tenang dengan suara alam yang sangat menyejukkan jiwa karena alam sekitar yang begitu asri dan ijo royo-royo.
Hal itu tergambar dari hewan-hewan malam yang berkeliaran pun seakan ikut merasakan, dengan terlihat begitu riangnya di bawah bulan dan bintang yang sangat indah menghiasi luasnya hamparan langit yang tak terkira.
Meskipun kini Tanah Perdikan Menoreh tidak seramai biasanya, terutama dari kalangan para pengawal yang jumlahnya banyak berkurang karena harus mengemban tugas dari Mataram untuk ikut melawat ke bang wetan.
Di banjar-banjar padukuhan dan gardu perondan hanya terlihat beberapa orang yang mendapat giliran bertugas, terutama di malam hari untuk tetap menjaga keamanan dan kenyamanan tempat tinggal yang selama ini mereka diami.
Lagipula setelah kepergian Swargi Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, belum ada pengangkatan secara resmi pengganti kedudukannya.
Karena berdasarkan pertimbangan para bebahu dan para sesepuh Tanah Perdikan Menoreh, dianggap masih dalam suasana berkabung, sebab secara perhitungan kepergiannya belum genap empat puluh hari.
Meski sudah dapat diduga tidak ada orang lain lagi selain anak perempuan semata wayangnya yang akan menggantikan kedudukan tersebut, sembari menunggu cucu laki-lakinya siap.
Tidak hanya siap secara lahir saja, namun batinnya pula. Karena memang tidak mudah menjadi seorang pemimpin, banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi agar menjadi pemimpin yang baik. Agar tidak hanya sekedar menjadi seorang pemimpin saja, tetapi harus dapat menjadi pengayom pula bagi seluruh kawulanya.
Jalan-jalan padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh tampak lengang di wayah sepi uwong, hanya sesekali saja tampak satu atau dua orang pengawal yang mendapat tugas nganglang masih terlihat berkeliaran.
Justru lebih ramai suara jangkrik atau suara bangkong di sekitar persawahan yang saling bersahut-sahutan dengan kawan-kawan sebangsanya dari tempatnya masing-masing.
Sementara di padukan induk, tepatnya di rumah Nyi Pandan Wangi yang terlihat lebih ramai dari rumah-rumah di sekitarnya karena beberapa orang pengawal memang mendapat tugas untuk menjaga rumah itu bersama dengan isinya selama ditinggal pergi oleh tuan rumahnya.
Dan terlihat pula beberapa bebahu yang menyempatkan diri secara bergiliran untuk ikut menjaga pula rumah tersebut, meski mereka tahu bahwa selama banyak dari Pasukan Pengawal dan tuan rumah pergi, tempat itu dalam keadaan baik-baik saja.
Namun keadaan tersebut tidak pernah membuat mereka lengah, sebab banyak pengalaman yang secara tidak langsung telah menempa mereka untuk tetap selalu waspada dan berhati-hati dalam keadaan yang bagaimanapun.
Meski tuan rumah tidak sedang ada di tempatnya, namun pendapa rumah tersebut seakan hampir tidak pernah sepi dari orang-orang yang ikut membantu menjaga keamanan.
Dan untuk melepas kejenuhan dalam menjalankan tugas, mereka isi dengan bicara apa yang menarik bagi mereka sembari di selingi kelakar yang sering mengguncang isi perut.
Tidak lupa para pembantu di rumah tersebut selalu menyediakan minuman hangat dan beberapa potong makanan sebagai kawan berbincang sembari menikmati suasana malam.
Betapa nikmatnya wedang jahe yang dicampur dengan gula aren pada saat suasana malam yang mulai terasa dingin. Namun kenikmatan itu sepertinya harus terganggu oleh sesuatu yang mengejutkan semua orang yang berada di sekitar rumah tersebut.
Halaman 63 - 64
Karena entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada lima orang mendekati regol rumah Nyi Pandan Wangi yang terdapat beberapa orang pengawal yang sedang bertugas.
“Maaf Ki Sanak, siapakah kalian dan apa keperluan kalian?”. bertanya salah satu pengawal sembari menyilangkan tombak bersama kawannya untuk berusaha menghadang langkah orang-orang asing bagi mereka tersebut.
“Aku mencari pemilik rumah ini”. sahut orang yang baru saja datang dan terlihat paling tua.
“Ada keperluan apa?”.
“Sampaikan saja kepada pemilik rumah ini, bahwa aku datang untuk mencarinya”.
“Maaf Ki Sanak, tetapi siapakah kau sebenarnya dan apa keperluanmu datang kemari?”.
“Kau jangan banyak bicara, katakan saja kepada pemilik rumah ini bahwa aku datang mencarinya”.
“Maaf Ki Sanak, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu karena kau tidak mau menjawab pertanyaanku. Dan aku persilahkan kau tinggalkan tempat ini”. sahut pengawal.
“Setan Alas… berani sekali kau menyombongkan diri di hadapanku, memangnya kau siapa he…? jika kau tidak segera melaksanakan perintahku, maka akan aku patahkan batang lehermu yang hanya satu-satunya itu”. sahut orang itu yang sangat marah.
Pengawal itu masih diam di tempatnya, namun hal yang tidak pernah diduga sebelumnya terjadi. Dengan kecepatan yang hampir tak kasat mata, tiba-tiba pengawal itu terpental beberapa langkah ke belakang dengan jatuh terlentang. Lalu tidak bergerak lagi, entah hanya pingsan atau meregang nyawa.
Sontak saja kejadian tersebut membuat gempar semua orang yang berada di sekitar tempat itu, para pengawal pun segera mengepung tempat itu, sementara yang lain ada yang mengamankan pengawal yang baru saja terpental tersebut.
Sementara Ki Jagabaya yang kebetulan tadi sedang duduk dan berbincang di pendapa segera mendekati orang-orang asing yang baru saja datang tersebut.
“Ada apa, Ki Sanak? siapakah kalian dan apa keperluan kalian datang kemari?”.
“Panggil pemilik rumah ini, aku ingin bertemu dengannya”.
“Ki Sanak siapa?”.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, lakukan saja apa yang aku katakan agar kau tidak mengalami nasib buruk, sama seperti dengan kawanmu itu”.
“Maaf Ki Sanak, kami tidak dapat memenuhi permintaanmu”.
“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan… He…? kau siapa berani membantah perintahku?”.
“Aku Jagabaya disini”.
“Siapapun yang menolak perintahku berarti itu sama artinya sudah bosan hidup”.
Baru saja orang itu menutup mulutnya, dia segera melancarkan serangannya. Sama seperti dengan apa yang dilakukannya tadi ketika menyerang seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Namun kali ini orang yang dihadapi adalah orang yang berbeda, orang yang memiliki kelebihan dan pengalaman. Sehingga Ki Jagabaya berhasil menghindarinya, meski hampir saja terlambat.
“Justru kau akan menyesal karena kebetulan telah berhasil menghindari seranganku ini, Ki Sanak”. ucap orang yang baru saja datang itu marah, sehingga segera menyiapkan serangan berikutnya kepada orang yang berdiri di hadapannya.
Halaman 65 - 66
“Kepung mereka, pukul titir!”. teriak Ki Jagabaya kepada para pengawal.
Namun ketika ada seorang pengawal berusaha mendekati titir yang digantung di gardu, tiba-tiba dia berteriak nyaring karena kesakitan, lalu tubuhnya roboh ke tanah.
Sontak saja pemandangan itu semakin membuat gempar orang yang berada di halaman rumah tersebut, bahkan Ki Jagabaya pun bergidik ngeri.
Namun sebagai orang yang dituakan diantara orang yang ada, dia segera menepis jauh-jauh perasaannya yang mulai menciut menghadapi orang-orang yang beum pernah dikenalnya.
“Siapapun segera pukul titir!”. teriak Ki Jagabaya, sembari mengawasi orang di hadapannya, terutama orang yang terlihat paling tua diantara mereka.
“Kita harus segera selesaikan tikus-tikus clurut ini”.
“Baik Guru”. sahut ke empat orang yang datang bersamanya hampir bersamaan.
Sejenak kemudian terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berjumlah sekitar dua belas orang melawan lima orang yang segera mencabut senjata masing-masing.
Jumlah yang lebih sedikit ternyata tidak membuat gentar kelima orang itu, meski kini mereka telah dikepung oleh sekitar dua belas orang-orang Menoreh.
Dan orang yang berusaha mendekati titir yang tergantung, bertumbangan satu persatu karena mendapat serangan yang hampir tidak mereka mengerti, kecuali Ki Jagabaya. Namun dirinya pun mengakui bahwa dirinya kesulitan untuk menghentikannya.
Namun dirinya berusaha menggunakan cara lain untuk berusaha menghentikannya secara langsung, yaitu dengan cara menyerang sumbernya agar dapat memberikan kepada kawannya untuk memukul titir dengan segera.
Awalnya pertempuran itu berlangsung seimbang, namun tidak lama kemudian mulai terjadi pergeseran. Jumlah yang lebih sedikit ternyata mulai menguasai medan.
Itu dapat dilihat dari beberapa pengawal terlempar dari arena secara bergantian, awalanya mereka dapat segera bangkit, lalu melanjutkan kembali pertempuran.
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, sebab satu persatu para pengawal mulai bertumbangan di atas tanah dan tidak dapat bangkit lagi.
Mereka ada yang terluka karena senjata tajam atau terluka dalam karena serangan lawan yang hinggap ke tubuh mereka dengan sangat keras dan tajam.
Pada akhirnya para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu tidak berhasil memukul titir, sebagai tanda meminta pertolongan ke padukuhan terdekat. Hingga orang terakhir yang dapat memberikan perlawanan.
Bahkan Ki Jagabaya yang dianggap memiliki kelebihan, sudah roboh lebih dulu dan tampak sudah tidak dapat bergerak. Entah hanya pingsan atau sudah meregang nyawa.
“Kita segera geledah rumah ini untuk mencari apa yang kita cari”.
“Baik Guru”.
Sejenak kemudian mereka pun segera memasuki rumah Nyi Pandan Wangi dengan leluasa, sebab sudah tidak ada lagi yang berusaha menghalangi.
“Kalian berpencarlah dan periksalah setiap sudut ruangan rumah ini, Dan ingat! jangan sampai ada yang terlewatkan”.
Halaman 67 - 68
“Baik Guru”.
Dengan perasaan penuh kebanggaan, mereka segera memasuki rumah itu dan memeriksa setiap sudah rumah yang ada, sebab mereka sendiri belum mengetahui dimanakah Kitab Windhujati disembunyikan oleh pemiliknya.
Bilik-bilik yang pintunya diselarak dari dalam telah didobrak dari luar, maka terdengar suara yang keras akibat dari pintu selarak yang jebol dan berpatahan.
Sontak saja hal ini sangat mengejutkan para pembantu rumah itu yang sedang tidur, karena tiba-tiba ada orang asing yang memasuki biliknya dengan paksa.
Terutama seorang pembantu perempuan berumur lebih dari paruh baya, yang sedang tidur bersama dengan seorang anak perempuan kecil di sebuah bilik.
“Siapa kau?”. teriak perempuan itu dalam keterkejutannya karena tidurnya terganggu.
“Dimana bilik majikanmu?”.
“Kau siapa? dan mau apa?”.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, katakan saja apa yang aku tanyakan”. sahutnya dengan wajah marah.
Namun sebelum perempuan itu menjawab, terdengar anak perempuan yang tidur bersamanya terbangun dari tidurnya dengan wajah kebingungan. Dirinya segera bangkit dan tetap duduk di pembaringan, sembari mengusap-usap kedua matanya.
“Ada apa, Mbok?”.
“Tidak ada apa-apa, Nduk”. sahut perempuan berumur tersebut.
“Siapa Paman itu, Mbok?”. tanya anak perempuan itu dengan penuh kepolosan, sembari menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Aku tidak punya banyak waktu, katakanlah dimana letak bilik majikanmu?”. bentak orang itu sembari matanya mendelik.
Dengan wajah ketakutan, perempuan itu segera memeluk dan berusaha melindungi anak perempuan yang tadi tidur bersamanya.
“Siapakah anak itu?”. bentak laki-laki itu.
Tetapi tidak terdengar jawaban apapun, sehingga semakin membuat marah laki-laki yang mendobrak pintu bilik tersebut. Sehingga tanpa bicara lagi, orang itu segera mendekati dua perempuan yang jauh umurnya tersebut.
Ditariknya tangan perempuan itu, namun dengan sekuat tenaga dia berusaha mempertahankan dirinya dari orang yang akan berniat buruk kepadanya.
Namun apalah daya perempuan tersebut jika harus melawan laki-laki yang memiliki tenaga yang sangat kuat, sehingga tidak lama kemudian dirinya telah terjerembab di tempat tidurnya, dalam keadaan pingsan.
“Jangan sakiti Mbok Giyem, Paman!”. teriak anak perempuan itu yang beusaha membela pengasuhnya.
“Siapa namamu, Nduk?”.
“Sekar Wangi”.
“Ikutlah bersamaku, Nduk”.
“Aku tidak mau, Paman jahat”.
Laki-laki yang biasa dipanggil Guru itu segera menggendong Sekar Wangi dengan paksa, meski anak itu mulai meronta karena tidak mau ikut.
Namun sebelum anak itu semakin meronta berkepanjangan, dia segera mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Kemudian segera mendekap hidung dan mulut Sekar Wangi dengan sebuah kain.
Halaman 69 -70
Anak itu masih sempat meronta beberapa saat, namun pada akhirnya tubuhnya mulai melemah dan pada akhirnya hanya dapat terkulai lemah karena pingsan.
Kemudian orang itupun segera keluar dari bilik tersebut sembari memapah anak perempuan yang masih kecil, lalu berkumpul dengan murid-muridnya.
“Apakah kalian sudah memeriksa seluruh sudut ruangan ini?”.
“Sudah Guru”.
“Apa yang kalian dapatkan?”.
“Kami tidak berhasil menemukan apa yang kami cari, Guru”.
“Ya sudah… mungkin murid Orang bercambuk itu tidak menyimpan kitab itu disini. Kita sebaiknya segera pergi, karena kita sudah mendapatkan sandera yang pantas dan nantinya dapat kita tukarkan dengan apa yang kita cari”.
“Baik Guru”.
Kemudian mereka pun berniat untuk segera meninggalkan tempat itu, yang sepertinya tanpa hambatan lagi. Sebab para pengawal sudah tidak berdaya setelah bertempur dengan mereka, sementara bantuan yang diharapkan, entah kapan datangnya.
*****
Sementara itu sebuah rombongan berkuda mulai memasuki Kadipaten Wirasaba dengan kecepatan sedang, yang kini terlihat sepi, baik para kawulanya maupun para pepundennyan setelah terjadi ontran-ontran beberapa waktu yang lalu.
Sebab para kawula Wirasaba masih belum kembali dari tempat pengungsiannya masing-masing meski perang telah usai, sementara para pepunden dan bawahannya telah takluk dari pasukan segelar sepapan Mataram.
Banyak dari mereka yang gugur, dan yang masih selamat tertangkap lalu menjadi tawanan pihak lawan, dan bahkan banyak pula yang melarikan diri karena tidak ingin mati sia-sia atau tidak ingin menjadi tawanan lawan.
Hampir semua orang dalam rombongan tersebut menyiratkan wajah-wajah penuh ketegangan, dan entah sudah berapa lama tidak terdengar ada yang membuka suara, kecuali hanya suara derap kaki kuda saja yang terdengar.
“Kita menuju Istana Kadipaten Wirasaba dulu, barangkali masih ada satu dua petunjuk yang dapat kita sadap dari orang-orang yang tersisa”. berkata salah satu dari mereka kepada kawan-kawannya, dari atas punggung kudanya yang berpacu.
“Baik Ki Tumenggung”. jawab salah satu kawannya, mewakili kawannya yang lain.
Kelima orang itu mulai mengurangi kecepatan laju kudanya ketika mulai memasuki Kotaraja Wirasaba sembari mengamati keadaan yang tersisa setelah terjadi ontran-ontran yang sangat hebat beberapa waktu yang lalu.
Memang tidak terlihat bekas-bekas kerusakan, sebab perang yang awalnya direncanakan dipusatkan di Kotaraja, di saat-saat terakhir dipindahkan ke luar Kotaraja.
Kepala lima orang tersebut tidak henti-hentinya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mengamati apa saja yang dapat mereka lihat, yang barangkali dapat dijadikan tambahan petunjuk.
Meski pada saat itu sudah memasuki waktu malam, namun sebagai orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, gelapnya malam bukan menjadi persoalan bagi mereka berlima.
Sebab penglihatan mereka sangat tajam, bahkan hampir tidak ada bedanya kemampuan mereka pada saat mereka memandang ke arah sekeliling pada siang hari.
Halaman 71 - 72
Setelah beberapa lama melintas di sepanjang jalan Kotaraja yang mereka lalui masih tampak lengang, bahkan dari mereka belum ada yang melihat seseorang, yang mungkin dapat mereka mintai keterangan.
“Tempat ini benar-benar lumpuh”. desis orang yang sepertinya menjadi pemimpin kelompok tersebut.
“Ki Tumenggung Wisabaya benar, Wirasaba sekarang seperti layaknya kota mati”. sahut salah satu kawannya.
“Ternyata Mataram tidak sekedar menggertak, tetapi benar-benar ingin menguasai Wirasaba secara keseluruhan”. sahut salah satu kawannya yang lain.
“Aku memang sudah mendapat laporannya tentang semua yang telah terjadi disini, tetapi rasanya berbeda sekali ketika aku dapat melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri”. sahut Ki Tumenggung Wisabaya, lalu menarik nafasnya dalam-dalam.
“Tentu akan berbeda, Ki Tumenggung Wisabaya. Sebab jika kita dapat melihatnya sendiri, maka kita tidak sekedar mendengar laporan atas apa yang telah terjadi, namun kita seakan dapat ikut merasakan sisa-sisa perang yang telah terjadi di tempat ini”.
“Kau benar, Ki Rangga Jala Wetan. Aku sependapat denganmu”. sahut Ki Tumenggung Wisabaya.
Sementara kuda-kuda mereka semakin lama membawa mereka mendekati Istana Kadipaten Wirasaba yang memang menjadi tempat yang bakal mereka tuju.
Ternyata masih sama saja apa yang dapat mereka lihat di sisa perjalanan ke tempat tujuan, tidak ada orang yang berhasil mereka temui sama sekali.
Meski perasaan kecewa mulai menggelayuti hati kelima orang itu, namun memang tidak ada yang dapat mereka lakukan selain hanya menerima keadaan sembari tetap melanjutkan perjalanan yang sudah tinggal ujungnya.
Pada akhirnya mereka pun mulai dapat melihat dinding Istana Kadipaten Wirasaba dari atas punggung kuda masing-masing yang masih berjarak ratusan tombak.
Tempat itu terlihat berbeda dengan tempat di sekitarnya, sebab hanya Istana itu yang terlihat ada penerangannya, meski hanya terdapat dua oncor yang dipasang sebelah menyebelah pada regol bagian atas, dan sisanya hanya dalam Istana saja yang terdapat penerangan ala kadarnya.
“Sepertinya dugaan kita benar”.
“Maksud Ki Tumenggung?”.
“Istana Wirasaba tidak benar-benar kosong. Dari sinipun kita dapat melihat, bahwa ada penerangan yang menyala saat ini yang sudah memasuki malam. Sebab tidak mungkin ada penerangan yang menyala jika Istana kosong sama sekali”.
“Ya… Ki Tumenggung benar”.
“Semoga saja kita mendapat tambahan keterangan yang kita butuhkan dari orang-orang yang tersisa, guna melengkapi keterangan yang sudah kita dapatkan sebelumnya”.
“Iya Ki Tumenggung, semoga saja. Karena memang itulah tujuan kita datang kemari dan mendahului pasukan segelar sepapan yang bakal turun ke medan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Surawisa”. sahut salah satu kawannya yang lain.
Ki Tumenggung Wisabaya yang sudah semakin tidak sabar pun segera memacu kudanya lebih kencang menuju Istana Kadipaten Wirasaba setelah menyadari tempat itu sepi, yang kemudian diikuti oleh keempat kawannya.
Halaman 73 - 74
Bahkan kelima orang itu memacu kudanya hingga memasuki halaman Istana, tanpa turun dulu dari kuda masing-masing ketika melintasi regol yang sama sekali tidak ada penjaga yang bertugas.
“Ki Rangga Jala Wetan dan Ki Rangga Jala Kidul ikutlah bersamaku masuk kedalam, dan yang lain tunggulah disini sembari mengamati keadaan”. berkata Ki Tumenggung Wisabaya sembari menyerahkan tali kekang kudanya.
“Baik Ki Tumenggung”. sahut Ki Jala Lor sembari menerima tali kekang kuda.
“Jika ada sesuatu yang mencurigakan, segeralah kalian beritahu kami melalui isyarat”.
“Baik Ki Tumenggung”.
Selesai berkata demikian, Ki Tumenggung Wisabaya pun segera memasuki Istana yang nampak sangat sepi dan dengan penerangan yang sangat terbatas.
Meskipun tempat itu terlihat sepi, tetapi ketiga prajurit Surabaya itu tetap hati-hati dan dalam kesiap-siagaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan. Sebab mereka belum tahu apa yang tersembunyi di dalam.
Namun baru saja ketiga orang tersebut masuk beberapa langkah.
“He… siapa kalian?”. bentak seseorang.
Sumber suaranya berasal dari dalam, namun masih belum terlihat batang hidungnya sama sekali siapakah gerangan orangnya.
“Kami adalah para Prajurit Surabaya”.
“Bohong”. teriak orang yang masih belum menampakkan diri.
“Kami dapat membuktikannya”.
“Pasti itu hanya tipu daya kalian saja, agar aku mau keluar dari tempat persembunyianku, lalu akan kalian aniaya. Dan kemudian kalian akan dengan bebas mengacak-acak tempat ini, dan membawa semua benda-benda berharga yang ada”.
Ki Tumenggung Wisabaya terus menanggapi ucapan orang yang masih tersembunyi tersebut sembari dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, dirinya mencoba melacak sumber suaranya.
“Tidak… kami benar-benar Prajurit Surabaya yang mendapat perintah langsung dari Kanjeng Adipati Jayalengkara untuk menolong Wirasaba dari serangan Mataram”.
“Omong kosong… memangnya apa yang akan kau lakukan? apakah matamu buta dan telingamu tuli, bahwa Wirasaba sekarang sudah hancur? pasti kau adalah gerombolan perampok yang ingin memanfaatkan kekacauan ini untuk keuntungan pribadimu”.
“Tidak Ki Sanak, aku tidak seperti yang kau katakan itu”.
“Omong kosong”.
“Maaf Ki Sanak, aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu. Kedatanganku kemari hanya untuk mencari keterangan yang mungkin dapat berguna dalam tugasku kali ini”.
“Omonganmu semakin membual saja, Ki Sanak”.
“Aku tidak punya banyak waktu, kau mau keluar dari persembunyianmu dengan sukarela atau harus aku paksa dengan caraku. Dan perlu kau tahu, bahwa aku sudah tahu tempat persembunyianmu dan kawan-kawanmu”.
“Apakah ucapanmu dapat aku percaya?”.
“Silahkan kau buktikan saja sendiri”. sahut Ki Tumenggung Wisabaya yang mulai kesal.
Tidak lama kemudian muncullah beberapa orang yang wajahnya diselimuti dengan ketegangan, sembari menghunuskan senjata di tangan masing-masing.
Halaman 75 - 76
“Siapakah kalian dan apa yang kalian mau dari kami sekarang?”. berkata orang yang terlihat paling tua dari kawan-kawannya.
Tanpa menjawab, Ki Tumenggung Wisabaya segera menyingkap baju yang dikenakannya. Maka terlihatlah sebuah lencana khusus sebagai ciri prajurit Surabaya, dan setelah beberapa saat lalu ditutupnya kembali.
“Jika kalian tahu ciri lencana itu, pasti kalian tidak akan meragukan lagi jati diri kami”.
“Ya… aku mengenal ciri lencana itu”.
“Jika kau sudah percaya kepada kami, dapatkah kami bertanya kepada kalian?”.
“Apa yang ingin kalian tanyakan?”.
“Apakah keluarga Istana dijadikan tawanan Pasukan Mataram?”.
“Kami tidak tahu pasti, tetapi yang kami tahu adalah orang-orang Mataram tidak membawa Keluarga Istana Wirasaba. Sebab orang-orang Mataram tidak dapat menemukannya ketika memeriksa tempat ini”.
“Apakah Mataram membawa pusaka-pusaka Wirasaba?”.
“Kami yang tidak lebih dari sekedar para Pelayan Istana, jadi tidak banyak yang dapat kami ketahui”.
Mendengar hal tersebut ketiga Prajurit Surabaya itupun saling pandang, namun pada akhirnya Ki Tumenggung Wisabaya selaku pemimpin rombongan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah tidak ada prajurit yang tersisa diantara kalian?”.
“Kami tidak tahu pastinya, tetapi berdasarkan penalaranku pribadi. Jika ada Prajurit Wirasaba yang tersisa kemungkinan adalah para prajurit sandi yang pada saat terjadi perang masih bertugas di luar Wirasaba”.
“Selain itu apalagi yang kalian ketahui?”.
“Tidak banyak yang kami ketahui dan apa yang kami ketahui sangat terbatas sekali, sebab kami bukanlah orang-orang penting atau bagian dari prajurit Wirasaba. Dan apa yang kami lakukan sekarang ini adalah semata-mata untuk menghindari luka Wirasaba yang lebih dalam lagi dari orang-orang yang berniat buruk sebagai kawula yang telah mengabdi sekian lama disini”.
Mendengar hal itu Ki Tumenggung Wisabaya hanya dapat menarik nafas dalam beberapa kali, karena sebenarnya masih banyak yang ingin ditanyakannya, tetapi segera diurungkan setelah mendengar pengakuan orang di hadapannya tersebut.
“Sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi kita berlama-lama di tempat ini, Ki Rangga”. berkata Ki Tumenggung Wisabaya kepada dua prajurit bawahannya.
“Sepertinya memang demikian, Ki Tumenggung”. sahut Ki Rangga Jala Wetan.
“Terima kasih atas semua keteranganmu, Ki Sanak. Kami tidak akan mengganggu kalian lagi, sebab kami akan segera menyusul Pasukan Mataram yang pengecut itu”.
“Maksud Ki Sanak?”.
“Kami ingin membuat perhitungan dengan Pasukan Mataram yang telah berani menyerang Wirasaba, hutang darah harus dibayar darah, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa pula”.
“Siapakah sebenarnya, Ki Sanak ini?”. bertanya orang itu sembari dengan suara yang bergetar.
“Aku adalah Tumenggung Wisabaya, prajurit kepercayaan Kanjeng Adipati Jayalengkara dari Surabaya yang mendapat tugas menghancurkan Pasukan Mataram yang melarikan diri karena telah berani mengusik Wirasaba, sekutu Surabaya”.
Halaman 77 - 78
“Maafkan kami yang telah berani bersikap deksuara, semua itu semata-mata karena kedunguan kami yang tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa”. ucap orang itu sembari membungkuk dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
“Sudahlah, Ki Sanak. Kami pergi sekarang”.
Tanpa menunggu jawaban, Ki Tumenggung Wisabaya pun segera memberikan isyarat kepada kedua bawahannya agar mengikutinya keluar dari Istana.
Sesampainya mereka di halaman Istana tempat kedua kawannya menunggu, mereka tidak segera menaiki kudanya dan justru masih terdiam dengan apa yang bakal dilakukan.
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki Tumenggung?”.
“Kita pusatkan kembali kepada tugas utama kita, yaitu sebagai pasukan kecil pembuka jalan bagi Pasukan Surabaya segelar sepapan, yang berada di belakang kita. Dan kita harus selalu terhubung dengan pasukan induk melalui para prajurit penghubung, agar tidak terjadi kesalahan dalam pemilihan jalan yang ditempuh”.
“Apakah sekarang kita akan melanjutkan perjalanan?”.
“Sebagai kelompok pembuka jalan, kita tidak boleh tergesa-gesa. Sebab kita harus menjaga jarak dengan pasukan induk, mendekat ketika terlalu jauh, tapi segera menjauh ketika terlalu dekat”.
“Kami mengerti, Ki Tumenggung”.
“Selain itu kita masih terkendala dengan jalan yang bakal kita lalui, sebab kita belum benar-benar mengenal dengan baik jalan menuju Mataram bagi sebuah pasukan segelar sepapan. Dan kita disini masih sembari menunggu laporan dari para prajurit sandi yang tersebar guna membuat perbandingan jalan mana yang paling baik, yang dapat dilalui pasukan segelar sepapan Surabaya hingga menuju ke Mataram”.
“Apakah dengan demikian untuk sementara waktu kita akan menunggu hingga laporan berikutnya disini, Ki Tumenggung?”.
Ki Tumenggung Wisabaya tidak dapat segera menjawab pertanyaan dari salah satu anak buahnya tersebut, sebab dirinya perlu waktu untuk membuat pertimbangan.
Di dalam kediaman yang berlangsung beberapa saat tersebut, kelima Prajurit Surabaya tiba-tiba dikejutkan oleh kejadian yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Terutama Ki Tumenggung Wisabaya yang memiliki kelebihan dari keempat anak buahnya, telah mendengar suara langkah kaki yang terdengar wajar melintas beberapa puluh tombak dari tempat mereka berdiri.
Meski di bawah kegelapan malam, namun Senopati Surabaya itu dapat melihat dengan jelas bahwa ada seseorang yang berjalan kaki sedang melintas.
“Aneh”. katanya dalam hati tanpa sadarnya.
Namun dirinya kemudian berpikir dengan cepat.
“He… Ki Sanak, berhenti!”. teriak Ki Tumenggung Wisabaya, lalu segera berlari menghampiri orang tersebut, yang kemudian diikuti oleh semua kawan-kawannya.
Setelah mereka saling berhadapan, maka semakin jelaslah orang yang sempat menarik perhatiannya. Orang yang masih tampak muda tapi memelihara kumis dan jambang dengan begitu lebatnya.
“Kau siapa, Ki Sanak? dari mana dan akan pergi kemana kau malam-malam begini melintasi tempat ini?”.
Orang itu tidak segera menjawab, tetapi justru memandang berkeliling kepada orang-orang yang mulai mengelilinya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Halaman 79 - 80
“Kalian sendiri siapa, Ki Sanak?”. sahut orang itu, bukannya menjawab justru dia balik bertanya.
“Kami adalah Prajurit Surabaya, lalu kau siapa? dan apa keperluanmu melintasi tempat ini?”. ucap Ki Tumenggung Wisabaya yang langsung berterus terang.
“Aku Gumbala, aku berniat menjenguk keluargaku yang berada di Koraraja ini, tetapi sayang sekali rumahnya kosong, sehingga aku memutuskan untuk kembali lagi”.
“Aneh…?”. sahut Ki Tumenggung Wisabaya.
“Apa yang aneh, Ki Sanak?”.
“Aneh jika kau tidak tahu apa yang telah terjadi di tempat ini”.
“Maaf Ki Sanak, aku memang terlambat meendengar kabar ini, sebab aku baru saja kembali dari Tuban”.
“Dari Tuban? siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?”.
Kembali orang itu memandang berkeliling, dan Ki Tumenggung Wisabaya yang memiliki panggrahita yang sangat tajam segera tanggap segera menyingkapkan bajunya.
“Jika kau ragu, ini adalah bukti bahwa kami prajurit Surabaya”.
“Aku… sebelum apa yang terjadi disini, aku adalah prajurit sandi Wirasaba yang kebetulan sedang mendapat tugas ke Tuban, tetapi sekarang aku tidak tahu dengan nasibku sendiri. Lalu kalian sendiri, apa yang kalian lakukan disini?”.
“Kami sedang menunggu laporan prajurit sandi yang sedang membuat perbandingan jalan manakah yang paling baik, yang dapat dilalui pasukan segelar sepapan”.
“Pasukan segelar sepapan?”. sahut orang itu terkejut.
“Benar… kami adalah pasukan kecil yang bertugas menjadi pemandu jalan bagi pasukan segelar sepapan Surabaya yang akan mengejar Pasukan Mataram yang menarik diri”.
“Mungkin aku dapat membantu”.
“Membantu bagaimana maksudmu?”.
‘Jika kalian mau, mungkin aku dapat membantu kalian untuk memandu Pasukan Surabaya yang sedang mencari jalan yang paling baik, agar dapat mengejar Pasukan Mataram”.
“Benarkah? apakah kau bersungguh-sungguh?”.
“Ya… kebetulan aku mengenal dengan baik jalan yang kalian maksud, sebab aku sudah beberapa kali melitasinya”.
“Apakah ucapanmu dapat dipercaya?”. sahut Ki Tumenggung Wisabaya sembari menatap tajam ke arah orang itu. Lalu lanjutnya, “Dan apakah buktinya jika kau memang benar-benar adalah prajurit sandi Wirasaba?”.
“Aku memang tidak dapat membuktikannya kepada kalian, tetapi aku berani pertaruhkan kepalaku jika aku berani mempermainkan kalian semua”.
“Baiklah… aku pegang ucapanmu. Jika kau benar, maka jika nanti kami berhasil melaksanakan tugas ini, kau tentu akan ikut mendapat anugerah dari Kanjeng Adipati Jayalengkara. Tetapi jika sebaliknya, maka akulah orang pertama yang akan memenggal kepalamu”. sahut Ki Tumenggung Wisabaya.
Berdesir pula hati orang itu mendengar ancaman itu, lalu menundukkan kepalanya. Ditambah lagi kini dirinya di kerumuni lima orang dengan tatapan yang sangat tajam dan penuh selidik.
- - - o - 0 - o - - -
Bersambung ke
Djilid
23
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih.
Assaalamu'alaikum warahmatullah, makin penasaran saja menanti kelanjutan kisah ki Sedayu. Semoga diberi kemudahan dan kelancaran.
BalasHapuswa'alaikum salam, Panembahan Wonokromo.
Hapusamin...
terima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari panjenengan.
Terima kasih atas terbitnya dan selesainya ptdl 21
BalasHapusterima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa Ki Winarto...
HapusMaturnuwun Ki MDP.
BalasHapusterima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa Ki Ptokwayangan...
HapusTerima kasih ki MDP , ditunggu lanjutan wedarannya
BalasHapusterima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari Ki Cantrik Santuy...
HapusMatur suwun sampun diwiwiti
BalasHapusterima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari Ki Winarto...
Hapus