Pagi itu, saat menjelang matahari terbit yang nampak cerah terdengar suara-suara burung berkicau dengan riangnya yang menambah suasana menjadi penuh dengan kedamaian. Para kawula alit yang sedang bekerja di bidangnya masing-masing seolah tidak terganggu oleh perseteruan para pemimpin di tanah ini. Meskipun di dalam sejarah, tanah ini yang sering terjadi ontran-ontran, tapi sepertinya tidak terlukiskan pada waktu itu.
Di sebuah kademangan yang pernah menjadi salah satu saksi bisu sejarah besar perseteruan kepemimpinan di tanah ini seakan-akan sudah bangkit dari keterpurukan itu. Mungkin karena mereka telah belajar dari pengalaman yang sudah mereka alami sendiri. Jadi, antara bebahu kademangan dan kawula alit bahu membahu untuk memajukan daerahnya demi kepentingan bersama, agar daerahnya tetap menjadi daerah yang gemah ripah loh jinawi.
“Apakah kau sudah siap, Ngger?” tanya seorang perempuan paruh baya, namun masih terlihat segar dengan pakaian khususnya.
“Sudah Ibu” jawab sang anak laki-laki yang menjelang usia remaja.
“Sebenarnya aku sebagai Ibumu sangat berat dengan keputusan ini, tetapi setelah Ayahmu meyakinkanku, bahwa cara inilah yang kita anggap cara yang paling baik untuk perkembanganmu kedepannya ngger” kata perempuan paruh baya itu lagi sambil menarik napas dalam-dalam.
“Aku dapat mengerti ibu, semoga aku tidak mengecewakan ayah dan ibu” jawab sang anak.
Pembicaraan mereka terputus ketika seorang pengawal memasuki pendapa dan memberitahukan bahwa kuda-kuda yang akan membawa rombongan sudah siap diberangkatkan.
“Nyi Sekar Mirah, kuda-kuda dan para pengawal yang akan ikut rombongan sudah siap, kami menunggu perintah selanjutnya” kata pengawal.
“Baiklah, kita berangkat sekarang” jawab Nyi Sekar Mirah.
Perjalanan yang tidak begitu panjang itu terasa menyenangkan, apalagi bagi Bagus Sadewa yang belum lama belajar berkuda. Ada kebanggaan tersendiri ketika dia menunggangi kuda sendiri, meskipun belum bisa dikatakan sebagai penunggang kuda yang baik tapi paling tidak sudah tidak akan membahayakan dirinya sendiri.
Rombongan yang terdiri dari Nyi Sekar Mirah, Bagus Sadewa dan dua pengawal itu sepertinya tidak mengalami gangguan yang berarti di perjalanan. Ketika rombongan itu memasuki daerah Lemah Cengkar, Nyi Sekar Mirah tersenyum sendiri saat teringat akan cerita suaminya, dulu sewaktu masih muda sangat ketakutan saat melintas daerah itu. karena katanya daerah itu dihuni oleh Genderuwo bermata satu.
“Ngger, dulu waktu Ayahmu masih muda, Ayahmu sangat ketakutan jika melintas daerah ini” ucap Nyi Sekar Mirah.
“Benarkah itu ibu?” jawab Bagus Sadewa yang seakan tidak percaya akan keterangan ibunya itu.
“Benar ngger, itu terjadi saat sebelum Ayahmu mengenal dunia kanuragan” kata Nyi Sekar Mirah menjelaskan sambil tersenyum. Lanjutnya kemudian, “katanya dulu di sini dihuni oleh Genderuwo bermata satu yang sangat menyeramkan”
“Apakah sekarang Ayah masih ketakutan jika melintas daerah ini Ibu?” bertanya Bagus Sadewa penasaran.
“Tentu tidak lagi, Ngger”.
“Kenapa Ibu?”.
“Karena sekarang sudah ada ibu dan kau, Ngger”.
Sejenak Bagus Sadewa termenung memikirkan sesuatu, lalu katanya, “berarti Ayah berani jika bersama ibu, jika sendiri tetap akan ketakutan?”.
Nyi Sekar Mirah memandangi anaknya, lalu tersenyum. Nyi Sekar Mirah baru menyadari jika anaknya masih terlalu kecil untuk memahami semua itu, sehingga dia tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
Tanpa terasa, sebentar lagi rombongan itu akan memasuki Padepokan Orang Bercambuk. Padepokan yang menjadi saksi bisu sejarah panjang ayah Bagus Sadewa dalam dunia kanuragan, dari seorang anak yang sangat penakut hingga menjadi salah satu senopati di Mataram.
Berkat jasa besar gurunya, yang tanpa pamrih yaitu Kyai Gringsing atau yang lebih dikenal dengan sebutan orang bercambuk, Ayah Bagus Sadewa seiring dengan berjalannya waktu menjelma menjadi salah satu raksasa di dalam dunia kanuragan.
Maka dari itu, untuk mengenang jasa besar seorang Kyai Gringsing padepokan itu diberi nama Padepokan Orang Bercambuk, karena Kyai Gringsing adalah seorang pendekar yang bersenjatakan khusus, yaitu sebuah cambuk.
Ketika mereka masih beberapa puluh tombak dari pintu regol Padepokan Orang Bercambuk, seorang cantrik yang sedang pulang dari sawah setelah mengantarkan makanan untuk cantrik-cantrik sedang bekerja di sawah pun melihat rombongan itu. Sambil mengernyitkan dahinya cantrik itu berkata dalam hati, “sepertinya salah seorang yang ada di dalam rombongan itu aku pernah mengenalnya”.
Setelah rombongan orang berkuda itu semakin dekat, barulah cantrik itu dengan jelas dapat mengenalinya, sambil tergopoh-gopoh dia menyambutnya.
“Pantas saja beberapa hari ini sekumpulan burung prenjak berkicau dengan nyaringnya, ternyata padepokan ini akan dikunjungi tamu besar “ kata cantrik sambil tersenyum.
Nyi Sekar Mirah membalas dengan senyum. lalu katanya, “Apakah Ki Agahan ada?” sambil turun dari kudanya dan menambatkannya di patok yang sudah disediakan. Sejenak kemudian diikuti pula oleh Bagus Sadewa dan dua orang pengawal yang mengiringi.
“Tadi, waktu aku berangkat mengantarkan makanan ke sawah, Ki Agahan sedang di belakang Nyi, akan aku panggilkan”.
Sebelum rombongan Nyi Sekar Mirah memasuki pendapa, mereka menyempatkan diri lebih dulu ke pakiwan untuk membersihkan diri, setelah selesai mereka menuju pendapa.
Tak berapa lama Nyi Sekar Mirah duduk di atas tikar daun pandan yang lebar, muncullah orang berperawakan sedang, dari ruang dalam langsung menyambut tamu-tamunya dengan penuh gembira, kemudian mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing.
“Aku rasa Ki Untara sebentar lagi akan selesai mengawasi perbaikan kolam ikan di belakang” berkata Ki Agahan.
“Jadi, kakang Untara sekarang berada di padepokan ini?” tanya Nyi Sekar Mirah sedikit terkejut.
“Begitulah Nyi, katanya setelah Ki Untara purna tugas dari keprajuritan, tidak ada lagi kesibukan yang menyenangkan hatinya selain berada di padepokan ini “.
Tak berapa lama orang yang sedang dibicarakan itu muncul. Orang yang sudah berumur lebih dari setengah abad tetapi masih terlihat gagah. Nyi Sekar Mirah dan Bagus Sadewa menyambutnya dengan penuh hormat. Tak lupa mereka menanyakan keselamatan masing-masing.
“Jika melihat anak-anak yang sudah semakin besar, aku menjadi semakin merasa tua” kelakar Ki Untara, dan orang-orang yang mendengarnya tersenyum. Setelah suasana menjadi mencair Ki Untara menanyakan kepentingan Nyi Sekar Mirah datang ke Padepokan Orang Bercambuk bersama Bagus Sadewa.
"Selain aku memang berniat mengunjungi padepokan ini, aku juga mempunyai kepentingan lain kakang” berkata Nyi Sekar Mirah, kemudian dia menyampaikan keinginannya untuk menitipkan Bagus Sadewa di Padepokan Orang Bercambuk.
Ki Untara yang mendengar ucapan Nyi Sekar Mirah menoleh kepada Ki Agahan. Ki Agahan yang tanggap akan maksud Ki Untara, mulai berbicara setelah memperbaiki letak duduknya, “dengan senang hati kami menyambut keinginan Nyi Sekar Mirah” dengan wajah penuh gembira, lalu katanya, “kapan pun anakmas Bagus Sadewa akan memulai kami selalu menyambutnya dengan tangan terbuka.
“Bagus Sadewa, jika kau tinggal di sini kau dapat menjadi kawan bermain kakang-kakangmu, karena mereka sudah lebih dulu tinggal di padepokan ini” berkata Ki Untara menjelaskan kepada Bagus Sadewa yang sedari tadi hanya berdiam diri, kemudian hanya menganggukkan kepala saja.
Pembicaraan mereka terpotong ketika seorang cantrik menyajikan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Pembicaraan mereka kemudian bergeser ke hal-hal yang lain yang menarik menurut mereka hingga matahari mulai terlihat kemerah-merahan di ufuk barat.
“Bukankah selain Bagus Sadewa, kau juga akan tinggal beberapa waktu di padepokan ini Sekar Mirah?” bertanya Ki Untara.
“Tidak kakang, aku tidak dapat meninggalkan Sangkal Putung terlalu lama, besok pagi aku akan kembali ke Sangkal Putung “
“Benar, kakang”.
Pembicaraan mereka terputus ketika terdengar panggilan kewajiban kepada Yang Maha Agung. Mereka bersama-sama menjalankan kewajibannya malam itu.
Sementara itu, para cantrik telah menyiapkan makan malam bagi mereka. Setelah selesai makan malam mereka pindah ke pendapa untuk melanjutkan pembicaraan mereka, apalagi sekarang sudah terdapat anak-anak Ki Untara yang pada siang tadi masih menyelesaikan pekerjaan di sawah. Ternyata Bagus Sadewa mudah akrab dengan anak-anak Ki Untara meskipun mereka jarang bertemu, mungkin karena perbedaan umur yang tidak terlalu jauh sehingga lebih mudah untuk berbaur.
Setelah berbincang panjang lebar, tidak terasa waktu sudah semakin malam. Kentongan yang dipukul cantrik yang bertugas ronda menandakan waktu sudah tengah malam.
“Maafkan kami Nyi Sekar Mirah, kami sebagai tuan rumah alangkah sangat deksura sekali jika mengajak berbincang para tamu hingga pagi, sepertinya sekarang sudah waktunya kalian untuk beristirahat” berkata Ki Agahan.
“Baiklah Ki Agahan, meskipun sebenarnya aku belum merasa mengantuk, tapi Bagus Sadewa memang sepertinya perlu istirahat” jawab Nyi Sekar Mirah sembari tersenyum.
“Silahkan Nyi Sekar Mirah menempati bilik Ki Agung Sedayu. Meskipun bilik itu tidak ada yang menempati karena tidak ada yang berani, tapi selalu dijaga kebersihannya oleh para cantrik” Ki Agahan menjelaskan.
“Jika bilik itu mau dipakai, pakai saja Ki Agahan, apalagi kakang Agung Sedayu pun jarang sekali disini, sayang sekali jika tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya”.
“Sebenarnya di padepokan ini ada dua bilik kosong tapi tidak ada yang berani menempati, Nyi”.
“Satu lagi bilik siapa?” bertanya Nyi Sekar Mirah.
“Bilik mendiang Kyai Gringsing, Nyi”.
“Oh… iya, aku hampir saja lupa. Baiklah, terserah pada kalian saja”.
Sejenak kemudian Nyi Sekar Mirah bangkit berdiri, lalu diikuti Bagus Sadewa berjalan menuju bilik yang dimaksudkan di ruang dalam, sementara bilik Bagus Sadewa lebih ke belakang.
Pagi-pagi sekali mereka sudah terbangun. Setelah mereka menjalankan kewajiban sebagai hamba Yang Maha Agung, mereka menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang berada di dapur, ada yang membersihkan padepokan, ada pula yang sibuk dengan senggot untuk mengisi jambangan.
Ketika Nyi Sekar Mirah akan membantu kerja di dapur, para cantrik melarangnya. Namun Nyi Sekar Mirah yang sudah terbiasa dengan semua itu tak mau begitu saja meninggalkan dapur. Akhirnya, para cantrik hanya bisa membiarkannya saja, dan membantu apa yang kurang.
Setelah makan pagi mereka melanjutkan pembicaraan di pendapa.
“Syukurlah jika kakang Untara tinggal di sini, jadi bisa sambil mengawasi anak-anak” berkata Nyi Sekar Mirah memulai pembicaraan.
“Setelah aku purna tugas dari keprajuritan, hidupku terasa sangat hambar jika selalu tinggal di rumah. Meskipun rumah itu bersatu dengan barak prajurit yang tak pernah sepi, tapi aku merasa jika aku akan lebih punya arti jika berada di sini. Meskipun sebenarnya aku di sini hanya menumpang makan dan tidur saja” jawab Ki Untara yang disambut tawa orang-orang yang mendengarnya.
“Ki Untara sangat berarti bagi kami seisi padepokan ini, meskipun kita berangkat dari jalur yang berbeda tetapi padepokan ini sangat membutuhkan sesepuh yang dapat memberikan petuah-petuah” jawab Ki Agahan menimpali. “Ki Untara bisa kami dianggap sebagai pengganti Ki Widura yang sudah lebih dulu dipanggil Yang Maha Agung serta Ki Agung Sedayu dan Ki Glagah Putih yang terlalu disibukkan dengan tugas-tugasnya”.
Mereka yang mendengarnya hanya terdiam mengiyakan. Hal ini karena sepeninggal Ki Widura, sebagai pemimpin padepokan pengganti Kyai Gringsing, Padepokan Orang Bercambuk seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Padepokan hanya berisikan para cantrik, meskipun para cantrik utama sudah bisa di banggakan, tapi alangkah mantapnya jika ada sesepuh yang berada di padepokan.
Setelah kepergian Ki Widura untuk selama-lamanya, maka beberapa waktu yang lampau seisi padepokan telah mengadakan musyawarah bersama yang dihadiri oleh murid-murid utama Kyai Gringsing, yaitu Ki Agung Sedayu dan Ki Lurah Glagah Putih. Berdasarkan kesepakatan bersama, diputuskan bahwa Ki Agahan sebagai cantrik tertua diangkat menjadi pemimpin padepokan, karena para murid utama Kyai Gringsing terlalu disibukkan dengan tugasnya masing-masing. Ki Agahan dibantu beberapa cantrik utama untuk memegang kepemimpinan.
Meskipun Ki Lurah Glagah Putih tidak berguru secara langsung kepada Kyai Gringsing, tapi dia termasuk murid utama dengan kedudukan khusus, karena Ki Glagah Putih adalah murid Ki Agung Sedayu. Berdasarkan pertimbangan dari Kyai Gringsing, Ki Lurah Glagah Putih diijinkan untuk mempelajari ilmu dari jalur Padepokan Orang Bercambuk yang bersumber dari kitab Windhujati, tapi di bawah tanggung jawab Ki Agung Sedayu.
“Baiklah kakang Untara dan Ki Agahan, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan semoga Bagus Sadewa tidak merepotkan kalian semua yang berada disini”
“Ah, tentu tidak Nyi Sekar Mirah. Apalagi aku percaya jika anakmas Bagus Sadewa adalah anak yang baik seperti orang tuanya, bukankah begitu anakmas Bagus Sadewa?” bertanya Ki Agahan sambil tersenyum yang hanya membuat Bagus Sadewa tertunduk malu.
Tidak berapa lama, Nyi Sekar Mirah berpamitan untuk kembali ke Kademangan Sangkal Putung bersama dua pengawalnya. Tetapi, langkah kakinya terasa begitu berat untuk melangkah meninggalkan Padepokan Orang Bercambuk, tempat dimana dia akan meninggalkan putra satu-satunya yang sangat disayanginya.
Sembari berjalan menuruni tangga pendapa, Nyi Sekar Mirah mencoba untuk menguatkan hatinya agar tidak meneteskan air mata. Berbagai perasaan campur aduk di dalam hatinya, antara rela dan tidak rela meninggalkan anak semata wayangnya.
Ketika Nyi Sekar Mirah mulai menuntun kudanya di halaman dan memandang ke arah Bagus Sadewa, seketika hatinya ingin menjerit. Tanpa sadar dilepaskannya tali kekang kuda yang dipegangnya dan berlari menghampiri Bagus Sadewa kemudian memeluknya dengan sangat erat. Tanpa terucap sepatah kata pun terdengar dari mulutnya, hanya tangis sesunggukan saja yang terdengar dan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Orang-orang yang melihatnya seakan-akan ikut merasakan kesedihan hati seorang ibu yang akan meninggalkan putra satu-satunya. dan mereka membiarkan saja apa yang dilakukan Nyi Sekar Mirah tersebut.
“Sudahlah Sekar Mirah” berkata Ki Untara setelah terdengar tangis Sekar Mirah agak mereda, “aku mengerti perasaanmu, tapi aku hanya mengingatkan kalau semua ini juga keputusanmu. Semua ini juga untuk masa depan anakmu kelak agar lebih baik”
Setelah mendengar kata-kata Ki Untara, Nyi Sekar Mirah menjadi sedikit lebih tenang, lalu dilepaskannya pelukan kepada Bagus Sadewa. Dipandanginya anaknya tersebut dengan tajam lalu di ciumlah kening anaknya itu, sambil menepuk kedua pundak anaknya Nyi Sekar Mirah berkata, “kau harus jadi orang yang berguna Ngger”
Tanpa menjawab, Bagus Sadewa hanya menganggukkan kepala saja. Nyi Sekar Mirah yang menyadari keadaannya segera menyeka air matanya dan memperbaiki pakaiannya.
“Maafkan aku yang terlalu cengeng” berkata Nyi Sekar Mirah kepada orang-orang yang melihatnya.
“Tidak mengapa Nyi, kami semua dapat mengerti perasaan Nyi Sekar Mirah” jawab Ki Agahan.
“Sudahlah Sekar Mirah, jika kau tidak segera berangkat maka kau hanya akan dikuasai oleh perasaanmu” kata Ki Untara mengingatkan.
Sejenak kemudian Nyi Sekar Mirah telah naik kudanya. Sambil melambaikan tangannya, dia mulai meninggalkan Padepokan Orang Bercambuk.
***
Sementara itu tempat lain, di sebuah tanah perbukitan yang jauh dari keramaian kotaraja, terlihat seorang wanita paruh baya dengan seorang anak laki-laki remaja menjelang dewasa yang sedang berbincang.
“Apakah ibu memanggilku?” tanya seorang anak remaja menjelang dewasa tersebut, ketika sudah menghadap ibunya.
“Iya Ngger, Bayu Swandana” jawab sang Ibu paruh baya yang masih terlihat pesonanya meskipun di umurnya yang semakin menginjak usia senja. Kemudian lanjutnya, “ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu ngger “.
Bayu Swandana mengangkat wajahnya menatap wajah ibunya, seolah-olah dia ingin mengetahui isi hati Ibunya, tetapi kemudian menunduk lagi ketika Ibunya balas menatapnya.
“Ibu sampaikan saja, jangan membuatku bingung dengan ketidakjelasan ini” kata Bayu Swandana yang membuat Nyi Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, mengingatkan akan mendiang suaminya yang tidak bisa menyimpan perasaannya.
“Malam ini Ibu ingin melihat perkembanganmu dalam mempelajari ilmu Perguruan Menoreh. Ibu ingin melihat seluruhnya tanpa harus ada yang kau sembunyikan” kata Nyi Pandan Wangi
“Mengapa ibu tiba-tiba berkata demikian?” tanya Bayu Swandana heran.
“Karena ada sesuatu yang akan Ibu sampaikan padamu sehubungan dengan perkembanganmu belajar kanuragan dari Perguruan Menoreh, ngger”.
“Ibu masih saja suka berteka-teki, itu hanya membuat kepalaku pusing saja” berkata Bayu Swandana yang tidak sabar ingin segera mengetahui maksud ibunya.
Nyi Pandan Wangi menarik napas dalam-dalam. Ditatapnya anak laki-lakinya yang agak gemuk itu, kemudian katanya, “kau harus belajar mengendalikan perasaanmu ngger, jika kau selalu menuruti gejolak perasaanmu itu, suatu saat akan bisa membawamu pada kesulitan”.
“Aku mengerti ibu, tapi aku paling tidak bisa berteka-teki dan bersandiwara di depan orang lain, aku hanya berkata dan bertindak sesuai dengan perasaanku, tanpa bisa aku tutup-tutupi” kata Bayu Swandana membela diri.
“Begini ngger, setinggi apapun ilmumu jika tidak disertai dengan keseimbangan jiwani yang baik, justru akan bisa membawamu kepada malapetaka. Banyak contoh yang sudah ada dan bisa kita petik manfaatnya, seperti di babat pewayangan. Kurang sakti apa Prabu Dasamuka, tapi pada akhirnya jatuh juga dalam kenistaan”.
“Iya Ibu, aku akan berusaha mengingatnya” jawab Bayu Swandana.
“Tidak akan ada gunanya jika kau ingin adigang-adigung, karena setinggi apapun ilmu seseorang pasti ada yang lebih tinggi lagi dan lagi, itu hanya masalah waktu saja. Karena setinggi apapun ilmumu, pasti masih mempunyai kelemahan, ngger. Di dunia ini tidak ada yang sempurna, karena kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Agung”.
Bayu Swandana hanya menundukkan kepalanya saja mendengar nasehat Ibunya, tanpa berani menjawab kata-katanya. Meskipun di dalam hati kecilnya dia mengiyakan nasehat Ibunya, tapi perasaan anak muda itu seperti kurang setuju jika setiap kali harus mengekang diri. Tetapi, semua itu hanya di pendamnya saja tanpa berani diucapkannya di hadapan Ibunya.
“Sudahlah ngger, Ibu tunggu nanti malam di sanggar tertutup, sekarang Ibu masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan” berkata Nyi Pandan Wangi sembari meninggalkan anak laki-lakinya itu tanpa menunggu jawaban.
Malam itu memasuki wayah sepi bocah, Bayu Swandana yang masih berada di biliknya sempat memikirkan kata-kata Ibunya siang tadi. Karena dia belum mengerti maksud sebenarnya, apalagi selama ini Ibunya hampir tidak pernah berkata demikian tegasnya dan sungguh-sungguh.
“Seingatku Ibu tidak pernah berbuat demikian, pasti ada maksudnya, tapi apa?” tanyanya dalam hati. “daripada aku pusing sendiri, lebih baik aku langsung ke sanggar saja, biar semuanya jelas” katanya lagi di dalam hati.
Bayu Swandana kemudian bergegas keluar dari biliknya. Dia berjalan menyusuri longkangan kemudian memasuki sanggar tertutup yang berada di belakang rumah. Ternyata ibunya sudah menunggu bersama kakeknya yang sudah sangat sepuh.
“Masuklah ngger” ucap Nyi Pandan Wangi ketika Bayu Swandana terlihat termangu-mangu di depan pintu saat melihat orang-orang yang berada di dalam sanggar. Dia bergegas masuk ke dalam sanggar setelah mendengar ucapan ibunya. kemudian mengambil tempat duduk di hadapan Ibu dan Kakeknya.
Bagi Bayu Swandana, Nyi Pandan Wangi bukan hanya sekedar seorang ibu tapi juga sebagai guru di dalam ilmu kanuragan. Meskipun terkadang di dalam hatinya kurang sependapat jika berguru pada seorang perempuan, tapi disisi lain dia juga tidak bisa menolak. Keadaan kakeknya yang sudah semakin sepuh tidak memungkinan jika harus menjadi guru kanuragan secara langsung. Jika harus membantu, Ki Argapati hanya dapat membantu memberikan petuah-petuah saja.
“Apakah kau sudah siap ngger?” bertanya Nyi Pandan Wangi kepada Bayu Swandana.
“Kapan pun aku selalu siap Ibu” jawab Bayu Swandana tegas. Nyi Pandan Wangi yang mendengar jawaban anak laki-lakinya itu hanya menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, sedang Ki Gede Menoreh hanya menundukkan kepalanya saja.
Beberapa saat kemudian, Bayu Swandana berjalan ke tengah sanggar dengan langkah mantap. Kemudian dia mulai menunjukkan kepada ibunya sekaligus gurunya ilmu yang selama ini telah dipelajarinya.
Bayu Swandana mulai merentangkan kedua tangannya dari samping kemudian ditariknya ke atas, secara perlahan diturunkan kedua tangannya mengatup di depan dada. Selanjutnya, dia mulai dengan gerakan-gerakan ringan sambil memanasi aliran darahnya, semakin lama Bayu Swandana mulai berloncat-loncatan dengan tangkasnya meskipun badannya agak gemuk di atas patok-patok yang terbuat dari bambu petung yang tingginya sengaja dibuat tidak sama.
Setelah beberapa lama Bayu Swandana mulai meningkatkan ilmunya selapis demi selapis sembari berloncatan kesana kemari dan melakukan gerakan-gerakan yang semakin cepat dan rumit. Semakin lama Bayu Swandana meningkatkan tenaga cadangannya semakin tinggi dan menunjukkan ciri khas Perguruan Menoreh, sampai pada akhirnya memasuki tataran puncaknya. Sehingga terlihat pengungkapan tataran ilmu yang sangat tinggi dan nggegirisi.
Nyi Pandan Wangi sangat bersungguh-sungguh melihat apa yang ditunjukkan Bayu Swandana, sesekali dia tampak mengangguk terkadang mengerutkan keningnya. Ki Gede Menoreh yang duduk di sebelahnya pun ikut memperhatikan dengan sungguh-sungguh meskipun menurutnya terkadang ada bagian yang kurang, tapi dia akan menyerahkan kepada Nyi Pandan Wangi untuk memberikan penilaian.
Setelah beberapa lama Bayu Swandana menunjukkan pada tataran puncak ilmunya dari Perguruan Menoreh, tampak semakin lama gerakan-gerakannya terlihat semakin melambat hingga berhenti sama sekali. Setelah Bayu Swandana mengangguk hormat kepada gurunya lalu dia membenahi pakaiannya yang nampak basah kuyup oleh keringat dan sedikit kotor oleh debu.
Sejenak kemudian, Bayu Swandana duduk di hadapan Nyi Pandan Wangi. Nyi Pandan Wangi terlihat yang masih termenung beberapa saat sembari membuat penilaian-penilaian yang benar agar Bayu Swandana juga mengetahui kemampuannya seutuhnya, tapi jangan sampai membuat hati anaknya merasa kecewa.
Setelah menarik nafas dalam-dalam Nyi Pandan Wangi berkata. “Setelah melihat semua apa yang kau tunjukkan, Ibu rasa ilmumu sudah banyak peningkatan bahkan pada bagian ilmu puncaknya tadi”
“Aku rasa memang aku tidak akan mengecewakan Ibu” potong Bayu Swandana.
“Ibu belum selesai ngger” sergah Nyi Pandan Wangi. Katanya kemudian. “ilmu puncak Perguruan Menoreh yang kau kuasai itu baru tahap dasarnya saja. masih harus kau kembangkan dan cari sendiri kemungkinan-kemungkinannya sehubungan dengan watak dan kegunaannya ilmu itu sendiri, agar kau semakin mantap lagi”.
Bayu Swandana terdiam sesaat setelah mendengar keterangan dari Ibunya. Meskipun Bayu Swandana tidak mempunyai kemampuan berpikir yang baik, tapi dia berusaha semampunya berpikir untuk memahami apa yang disampaikan oleh Ibunya itu.
“Baiklah Ibu, aku akan berusaha mengingatnya” jawab Bayu Swandana.
“Setelah Ibu melihat capaian tataran ilmumu, ada hal lain yang ingin Ibu sampaikan padamu ngger” berkata Nyi Pandan Wangi sambil menoleh ke arah Ayahnya, untuk meminta pertimbangan. Tetapi, sepertinya Ki Argapati menyerahkan semua kepadanya.
“Tentang apa Ibu?” tanya Bayu Swandana
“Ibu rasa waktunya kau menimba ilmu kanuragan dari jalur Perguruan Menoreh sudah cukup ngger. Kau sudah sampai pada ilmu puncaknya, meskipun itu yang kau dapatkan baru dasar-dasarnya saja dan harus kau kembangkan sendiri. Ibu yakin jika kau tekun suatu saat nanti kau bisa mengembangkannya lebih baik dari ibu sendiri” Nyi Pandan Wangi menarik nafas dalam beberapa kali sebelum melanjutkan, “Dengan demikian, Ibu anggap tugas Ibu sudah selesai, sekarang meskipun dengan berat hati Ibu harus menyampaikan padamu wasiat mendiang Ayahmu”.
“Wasiat apa itu Ibu?” bertanya Bayu Swandana.
“Ayahmu berpesan jika kau harus belajar ilmu cambuk dari jalur Perguruan Orang Bercambuk, yaitu jalur perguruan mendiang ayahmu” Nyi Pandan Wangi menjelaskan.
“Selain itu, wasiat apa lagi dari mendiang Ayah, Ibu?” bertanya Bayu Swandana penasaran.
“Mendiang ayahmu ingin kau belajar kanuragan setinggi-tingginya dari jalur Perguruan Orang Bercambuk seperti mendiang Ayahmu, tapi jangan sampai kau lupa menjejakkan kaki di bumi, ngger” berkata Nyi Pandan Wangi menjelaskan.
“Bukankah dengan begitu aku akan meninggalkan ibu di Tanah Perdikan Menoreh ini?” tanya Bayu Swandana.
“Apa boleh buat, Ngger. Tapi percayalah, bahwa semua itu Ibu lakukan untuk masa depanmu yang lebih baik, apalagi suatu saat nanti kau yang akan mewarisi kepemimpinan tanah ini. Oleh karena itu, kau harus cukup bekal sebelum menerima anugerah itu. Sementara ini, Ibu yang memimpin tanah perdikan ini sembari menunggu kau siap secara lahir dan batin, bukankah begitu Ayah?” berkata Nyi Pandan Wangi.
“Ibumu benar sekali ngger, jika ditarik secara garis keturunan kau yang berhak memimpin Tanah Perdikan Menoreh ini di kemudian hari jika kau sudah dianggap siap”. Ki Gede Menoreh berhenti sejenak untuk menarik nafas beberapa kali, lalu lanjutnya, “tapi namanya menjadi pemimpin itu bukan berarti kau bisa berbuat semaumu sendiri, tapi harus mengikuti paugeran yang ada. Makanya kau harus mempunyai bekal, bukan hanya bekal secara lahir tapi juga bekal secara batin.
“Lalu apa gunanya aku belajar kanuragan setinggi-tingginya Kek?” bertanya Bayu Swandana.
“Dengan kau belajar kanuragan setinggi-tingginya itu dimaksudkan untuk bekalmu dan bekal untuk melindungi kawulamu. Apa jadinya jika seorang pemimpin tidak mempunyai bekal untuk melindungi kawulanya jika suatu hari nanti terjadi ontran-ontran. Kita memang tidak mengharapkan itu, tapi di dalam hidup bebrayan sangat sering terjadi hal-hal yang harus diselesaikan dengan kekerasan. Meskipun perang adalah alat terburuk untuk menyelesaikan masalah tapi sebagai pemimpin kau harus mempunyai bekal itu, karena pemimpin yang tidak mempunyai bekal secara lahir dan batin akan membuat seorang pemimpin tidak mempunyai sikap yang jelas arahnya” Ki Argapati menjelaskan.
Setelah mendengar penjelasan dari Kakeknya, Bayu Swandana tampak termenung, berbagai pikiran hilir mudik di benaknya. karena dari semua penjelasan kakeknya tersebut. Bayu Swandana belum bisa mengerti sepenuhnya. memang selama ini dia sering mendengar bahwa suatu saat nanti dialah yang akan menjadi kepala Tanah Perdikan Menoreh itu, tapi untuk memikirkan jauh kesana, Bayu Swandana masih nampak harus berpikir keras.
“Ibu rasa beberapa pekan lagi kau sudah siap jika harus berangkat ke Padepokan Orang Bercambuk, ngger?” bertanya Nyi Pandan Wangi memecah lamunan Bayu Swandana.
“Baiklah Ibu, beberapa pekan lagi aku akan berangkat ke Padepokan Orang Bercambuk, tapi bagaimana dengan Ibu?”
“Ibu tidak apa-apa ngger, bukankah masih ada kakekmu dan adik perempuanmu yang akan menemani Ibu” jawab Nyi Pandan Wangi sambil tersenyum menoleh ke arah Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh yang menyadari namanya di sebut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja tanpa menjawab, kemudian lanjutnya, “semoga saja tidak akan terjadi apa-apa, ngger. mari kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Agung”
Beberapa saat suasana tampak hening, hanya terdengar suara-suara hewan malam saja dari kejauhan. Mereka terhanyut dengan pikirannya masing-masing, tiba-tiba terdengar ayam berkokok untuk kedua kalinya, menandakan hari sudah larut malam.
“Ibu rasa sudah saatnya kita beristirahat, meskipun hanya beberapa saat sebelum matahari terbit” berkata Nyi Pandan Wangi mengakhiri pertemuan malam itu. Kemudian mereka bergegas keluar sanggar bersama-sama. Ki Gede Menoreh yang sudah sangat sepuh ketika berjalan keluar sanggar harus dibantu sebatang tongkat dan sedikit dibantu Nyi Pandan Wangi. Setelah mereka membersihkan diri di pakiwan, mereka menuju biliknya masing-masing.
Nyi Pandan Wangi tersenyum ketika memasuki biliknya, saat melihat anak perempuannya yang masih kecil tertidur pulas tanpa merasa terganggu oleh keadaan sekitarnya, bahkan dinginnya malam tidak mengusiknya sama sekali.
Didekatinya anak perempuannya itu dengan senyum penuh kebahagiaan, didekapnya lalu diciumnya dengan penuh kasih sayang. Di dalam hatinya Nyi Pandan Wangi mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Yang Maha Agung atas segala anugerah yang telah diterimanya. Sesaat kemudian, di pejamkanlah matanya lalu tertidur pulas.
***
Di suatu pagi yang cerah saat menjelang matahari terbit, di Padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom nampak para cantrik baru saja selesai menjalankan kewajibannya menghadap Yang Maha Agung. Tanpa menunggu perintah siapa pun, para cantrik tampak mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada yang mengisi jambangan, ada yang langsung pergi sawah atau pategalan, ada pula beberapa cantrik yang bekerja di dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi seisi padepokan.
Di padepokan itu Bagus Sadewa adalah cantrik yang paling muda. Bagus Sadewa yang baru beberapa hari nyantrik di Padepokan Orang Bercambuk tidak canggung dengan semua kebiasaan sehari-hari itu. Dia bisa segera membaur dengan cantrik-cantrik yang lain, meskipun Ayahnya adalah salah satu orang yang ikut mendirikan padepokan itu, tapi dia merasa seperti cantrik yang lain, justru para cantrik lain yang kadang merasa sungkan sendiri dibuatnya.
Setelah Padepokan Orang Bercambuk ditinggalkan Ki Widura untuk selama-lamanya karena memang sudah sepuh, padepokan dipercayakan kepada cantrik tertua dibantu para cantrik-cantrik utama. Hal ini karena dari murid-murid utama Kyai Gringsing selaku guru pendiri padepokan itu, yang tersisa hanya Ayah Bagus Sadewa dan anak Ki Widura sekaligus adik sepupu Ayahnya, terlalu disibukkan dengan tugasnya masing-masing. Hanya sesekali waktu saja mereka bisa menyempatkan waktu untuk menengok padepokan.
Di padepokan itu Bagus Sadewa merasa mempunyai keluarga baru, apalagi seluruh penghuni padepokan itu sangat baik kepadanya, bahkan kadang terlalu baik. Mungkin hal itu karena pengaruh nama besar Ayahnya di padepokan itu. Meskipun sebenarnya Bagus Sadewa adalah anak yang tidak ingin diperlakukan seperti itu, tetapi hal itu belum terucapkan olehnya karena memang dia adalah anak yang tidak suka banyak bicara.
“Paman, Paman Witarsa mau pergi kemana pagi-pagi begini?” tanya seorang cantrik muda.
“Aku akan pergi ke hutan kecil di ujung pategalan itu Ngger” jawab Putut Witarsa.
“Apakah aku diperkenankan ikut Paman, setelah tugasku selesai” tanya Umbara penasaran.
Sejenak Putut Witarsa berpikir, lalu katanya “aku tidak keberatan Ngger, karena ini bukanlah perjalanan yang berbahaya. Tetapi perlu kau tahu kalau ini bukan perjalanan bersenang-senang, karena aku akan mencari akar-akaran dan daun-daunan yang bisa dijadikan obat, karena persediaan kita tinggal sedikit.”
“Menarik sekali paman, dengan begitu aku bisa ikut belajar tentang ilmu pengobatan” jawab Umbara bersemangat, lanjutnya kemudian, “bolehkah aku mengajak adi Bagaskara dan Bagus Sadewa, Paman?” tanyanya lagi.
“Silahkan ngger, aku akan bersiap-siap sambil menunggu tugas angger Umbara selesai” jawab Putut Witarsa.
Setelah mereka siap, mereka pun segera berangkat mumpung waktu masih pagi. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah dan bulak yang tidak begitu panjang sebelum memasuki hutan yang tidak begitu luas itu.
“Adi Bagus Sadewa, kenapa kau mau tinggal di padepokan, karena aku lihat sebenarnya kau masih terlalu kecil jika ikut nyantrik di padepokan” tanya Bagaskara penasaran.
“Semua itu karena Ayah dan Ibu terlalu sibuk dengan tugasnya masing-masing, selain itu menurut mereka aku akan bisa banyak belajar hidup mandiri kakang “ jawab Bagus Sadewa lugu.
“Meskipun aku tidak banyak mengenal Bibi, tapi menurut Ayahku, Bibi Sekar Mirah sekarang yang memimpin kademangan Sangkal Putung, benarkah begitu adi Bagus Sadewa” tanya Umbara.
“Benar kakang, tapi aku juga tidak begitu mengerti urusan orang-orang tua, mungkin karena aku masih terlalu kecil, jadi hanya itu saja yang aku tahu”. Bagus Sadewa berhenti sejenak ketika dia harus melompati dahan-dahan pohon yang berserakan di hutan itu, lalu lanjutnya “bahkan aku juga tidak mengerti tugas Ayahku apa, yang aku tahu hanya Ayah jarang sekali berada di rumah”.
Tanpa terasa rombongan itu sudah memasuki hutan, sambil berjalan dan mencari akar dan daun-daunan yang bisa dijadikan obat, mereka berbicara apa saja yang menarik bagi mereka.
Tiba-tiba putut Witarsa memberikan isyarat untuk mereka diam, dia memusatkan aji sapta pangrungu untuk meyakinkan pendengarannya. Beberapa saat putut Witarsa terdiam, kemudian memberikan isyarat kepada anak-anak untuk mengikutinya dengan cara mengendap-endap menyusuri sumber suara itu.
Setelah mereka semakin mendekati sumber suara itu, putut Witarsa menyibak dahan dan dedaunan yang menghalangi pandangannya dengan hati-hati.
Kini terkuaklah apa yang dicarinya. Beberapa tombak di depannya nampak seekor macan kumbang yang terlihat sudah tak bergerak dengan beberapa luka di tubuhnya yang terperangkap dalam sebuah jebakan yang sengaja dibuat, tapi entah oleh siapa. Seekor anaknya yang masih kecil menunggu sambil berjalan kesana kemari di sekitar induknya.
Putut Witarsa yang mempunyai sedikit pengetahuan tentang pengobatan yang dia pelajari dari Padepokan Orang Bercambuk tergerak untuk mendekatinya. Dia ingin mengetahui apa yang terjadi, dan mungkin bisa berbuat sesuatu untuk menolongnya. Namun ketika dia ingin mendekat, anak macan kumbang itu segera menghalangi orang yang akan mendekati induknya. Sambil menggeram dan menatap orang-orang yang baru saja datang dengan penuh curiga, anak macan kumbang itu berusaha melindungi induknya.
“Hati-hati adi Bagus Sadewa, meskipun macan kumbang itu masih kecil, tapi naluri memangsanya tetaplah kuat” kata Bagaskara memperingatkan Bagus Sadewa yang tiba-tiba mendekati anak macan kumbang itu yang masih saja menggeram ketika Bagus Sadewa mendekat.
Meskipun anak macan kumbang itu masih saja menggeram, tapi tidak menyurutkan keinginan Bagus Sadewa. Didekatinya anak macan kumbang itu tanpa ada maksud permusuhan. Setelah beberapa saat akhirnya Bagus Sadewa mampu membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang. Setelah itu anak macan kumbang itu mulai melunak dan mulai tenang karena seperti merasa aman di dekat Bagus Sadewa yang masih membelai kepalanya.
“Sepertinya induk macan kumbang ini sudah tidak tertolong lagi” berkata Putut Witarsa memberitahukan kepada anak-anak. Katanya kemudian, “supaya tidak mengundang binatang-binatang buas lainnya, sebaiknya kita menguburnya”.
Kemudian mereka menguburkan macan kumbang dengan alat seadanya.
“Paman, lalu bagaimana dengan anak macan kumbang yang masih kecil ini?” bertanya Bagus Sadewa.
Sejenak Putut Witarsa berpikir, lalu katanya “kita biarkan saja dia disini ngger, karena memang di sinilah tempat hidupnya”.
“Apakah tidak akan terjadi apa-apa jika kita tinggalkan saja paman, sedangkan dia masih sangat kecil?” tanya Bagus Sadewa lagi?”.
“Jika kita tidak meninggalkannya disini, adi Bagus Sadewa mau bawa dia kemana?” tanya Bagaskara yang sedari tadi diam saja.
“Aku juga tidak tahu kakang Bagaskara, tapi kasihan sekali” berkata Bagus Sadewa.
Tanpa mereka sadari, beberapa puluh tombak dari tempat mereka berdiri ada yang diam-diam mengawasi dari atas pohon yang rimbun, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya.
“Marilah kita kembali ke padepokan, sepertinya matahari sebentar lagi akan tenggelam” berkata putut Witarsa kepada rombongannya sambil bergegas mendahului rombongan itu. Mereka pun segera mengikutinya, kecuali Bagus Sadewa yang masih termangu-mangu. Tetapi beberapa saat kemudian dia pun menyusul.
Setelah rombongan keluar dari hutan kecil itu, mereka mulai menyusuri pematang sawah. Tanpa mereka sadari, anak macan kumbang yang masih kecil itu diam-diam mengikuti. Secara kebetulan, Bagus Sadewa menoleh ke belakang dan terlihatlah anak macan kumbang itu terus mengikutinya meskipun dari jarak beberapa puluh tombak di belakangnya.
“Paman Witarsa, sepertinya anak macan kumbang itu mengikuti kita” berkata Bagus Sadewa memberitahukan.
Serentak rombongan itu menoleh ke belakang, melihat yang dimaksud Bagus Sadewa.
“Sepertinya dia tertarik mengikuti kau adi Bagus Sadewa” berkata Umbara
“Mungkin naluri kehewanannya mengatakan dia merasa aman saat berada di dekat angger Bagus Sadewa” kata Putut Witarsa.
“Benar paman” kata Bagaskara membenarkan.
Bagus Sadewa yang mendengar semua itu hanya terdiam. sambil berjalan dan sesekali menoleh ke belakang, mereka semakin lama semakin mendekati Padepokan Orang Bercambuk. Tetapi anak macan kumbang itu masih saja mengikutinya. Saat rombongan Bagus Sadewa memasuki padepokan, anak macan kumbang itu tampak berhenti beberapa puluh tombak dari padepokan itu.
Malam hari, ketika orang-orang di Padepokan Orang Bercambuk telah selesai waktu makan malam, Putut Witarsa, Ki Agahan, Ki Untara dan beberapa cantrik utama tampak sedang berbincang-bincang di pendapa sambil minum minuman hangat dan beberapa potong makanan. Setelah mereka membicarakan perkembangan padepokan, mereka membicarakan apa saja yang menarik bagi mereka sebelum mereka memasuki sanggar terbuka untuk latihan.
“Tadi ada cerita yang menarik waktu aku dan anak-anak pergi ke hutan kecil di ujung pategalan itu” berkata putut Witarsa setelah merasa pembicaraan yang penting sudah selesai.
“Apa itu, adi Witarsa?” bertanya Ki Agahan sedikit penasaran. Putut Witarsa kemudian menjelaskannya pada orang-orang yang ada di pendapa. Mereka yang mendengar cerita itu, ada yang mengangguk-angguk dan ada yang tersenyum.
“Sepertinya Bagus Sadewa sudah mulai nampak kelebihannya, meskipun itu baru sebatas hal kecil saja” berkata Ki Untara.
“Benar sekali Ki Untara, meskipun angger Bagus Sadewa terhitung masih sangatlah muda tapi buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” berkata Ki Agahan. Yang mendengar ucapan Ki Agahan hanya mengangguk-angguk saja kecuali Ki Untara.
“Aku masih ingat Agung Sedayu itu waktu kecilnya sangat penakut, bahkan mau ke pakiwan di malam hari saja merajuk minta dikawani” berkata Ki Untara yang mengenang masa kecil adik satu-satunya itu.
“Kami memang sering mendengar itu Ki Untara, sangat berbeda dengan Ki Untara yang ikut mengalami dan menyaksikannya sendiri. Tapi semua itu sudah cukup menjadi teladan bagi kami semua yang ingin belajar kanuragan setinggi-tingginya tapi jangan sampai lupa menjejakkan kaki di bumi. Bagi kami, Ki Agung Sedayu adalah orang besar kedua di padepokan ini setelah Kyai Gringsing” berkata Ki Agahan menanggapi ucapan Ki Untara.
“Meskipun aku adalah kakak kandungnya Agung Sedayu, tapi harus aku akui dengan seiring berjalannya waktu, semakin lama ilmu kanuraganku semakin tertinggal jauh di bawahnya. Karena kesibukanku sebagai seorang prajurit, secara tidak langsung membuat aku lupa meningkatkan ilmu secara pribadi” berkata Ki Untara sambil menarik nafas dalam beberapa kali, tapi kemudian dia pun tersenyum ketika mengingat adiknya kembali. Ada kebanggaan tersendiri kepada adiknya itu, meskipun ada beberapa hal yang tidak dia sukai dari adiknya itu.
“Maafkan kami Ki Untara, bukan maksudku untuk membandingkan ilmu kanuragan di antara Ki Untara dan Ki Agung Sedayu, tapi....”.
“Aku mengerti Ki Agahan” potong Ki Untara cepat.
***
Sementara itu, di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, saat menjelang matahari tenggelam terlihat Ki Gede Menoreh sedang berbincang-bincang dengan Nyi Pandan Wangi dan Bayu Swandana di pendapa. Ki Gede Menoreh yang semakin bertambahnya umur, semakin menurun kemampuan wadagnya, apalagi salah satu kakinya yang sudah cacat sering kambuh dalam kondisi tertentu. Meskipun untuk berjalan harus dibantu dengan tongkat kayu. tapi secara keseluruhan masih nampak sehat. Jika saja pada waktu mudanya bukanlah orang yang linuwih mungkin saat ini kemampuan wadagnya tidak sebaik sekarang ini.
”Bayu Swandana, tidak lama lagi kau akan berangkat ke Padepokan Orang Bercambuk untuk waktu yang lama, apakah kau sudah siap ngger?” bertanya Ki Gede Menoreh kepada cucunya.
“Kapan pun aku sudah siap untuk berangkat Kek” jawab Bayu Swandana tegas.
Ki Gede Menoreh dan Nyi Pandan Wangi yang mendengar jawaban itu nampak menarik nafas beberapa kali, ada sesuatu yang kurang mapan dalam hati orang-orang tua itu. Semakin lama mereka merasakan begitu banyaknya persamaan watak dengan mendiang Ayahnya.
”Di Padepokan Orang Bercambuk, kau bukanlah untuk bersenang-senang ngger, tapi untuk ngangsu kaweruh. Angger harus bersedia mematuhi segala wewaler padepokan itu dengan penuh kesadaran diri”.
”Aku mengerti Kakek, aku rasa aku akan bisa menjalankan itu semua” jawab Bayu Swandana dengan penuh kepercayaan diri.
”Kau jangan terlalu percaya diri ngger” berkata Nyi Pandan Wangi yang sedari tadi berdiam diri. “Kepercayaan diri yang berlebihan akan membuatmu kehilangan penalaran yang wajar, sehingga bisa membuatmu dalam kesulitan” lanjutnya kemudian.
”Benar sekali apa yang dikatakan Ibumu itu, Bayu Swandana. Apalagi kau masih hijau di dalam dunia kanuragan yang sesungguhnya. Di atas langit itu masih ada langit, tidak ada di dunia ini ilmu yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Agung” berkata Ki Gede Menoreh.
“Iya Kakek, aku mengerti” jawab Bayu Swandana sambil menunduk. Jiwa muda Bayu Swandana merasa masih ada yang kurang mapan di dalam hatinya, tapi dia tidak berani mengungkapkannya.
Ketika mereka masih berbincang-bincang samar-samar Nyi Pandan Wangi mendengar suara kuda dari kejauhan, sepertinya lebih dari satu. Setelah beberapa saat orang-orang yang ada di pendapa itu mendengarnya pula, semakin lama semakin dekat, sepertinya akan menuju ke tempat mereka.
Tak berselang lama terlihatlah dua orang penunggang kuda yang akan memasuki pintu regol kediaman Ki Gede Menoreh yang dijaga para pengawal.
Ternyata penunggang kuda tersebut adalah dua orang prajurit mataram. Setelah beberapa langkah dari pintu regol, kedua prajurit itu turun dari kudanya, “maaf Ki Sanak, kami prajurit utusan dari Mataram, apakah Ki Gede Menoreh ada?” bertanya salah satu prajurit itu.
“Ada Ki Sanak, kebetulan sedang berada di pendapa” jawab salah satu pengawal penjaga itu.
Segera pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu melaporkan kepada Ki Gede, lalu membawa kedua prajurit itu memasuki pendapa. Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, kemudian salah satu prajurit utusan itu menyampaikan keperluannya.
”Kami sebelumnya minta maaf Ki Gede, jika nanti apa yang kami sampaikan kurang trapsila atau kurang berkenan di hati Ki Gede sekeluarga. Kami hanya sekedar utusan yang mengemban tugas dari Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma” berkata salah satu prajurit.
”Tidak apa-apa Ki Sanak, kami bisa mengerti” jawab Ki Gede Menoreh.
Sesaat kemudian prajurit itu mengeluarkan sebuah nawala dari balik bajunya, kemudian menyerahkan kepada Ki Gede Menoreh. Nawala itu dibaca dengan teliti oleh Ki Gede Menoreh sembari sesekali menoleh ke arah prajurit dan Nyi Pandan Wangi. Setelah selesai membaca nawala itu, Ki Gede Menoreh nampak mengangguk-angguk dan menarik nafas beberapa kali sebelum memberi tanggapan.
“Apakah ada pesan lagi dari Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma, selain isi nawala itu?” bertanya Ki Gede Menoreh.
“Ampun Ki Gede, kami hanya diberi pesan bahwa isi nawala itu baru sekedar gagasan yang bisa dibicarakan bersama, jadi bukan berupa sebuah perintah. Tetapi jika itu disetujui oleh pihak-pihak yang terkait, alangkah lebih baiknya jika semakin cepat akan semakin baik dilaksanakan” jawab salah satu prajurit itu memberikan keterangan.
”Apakah nawala ini ditujukan hanya untuk Tanah Perdikan Menoreh saja?” bertanya Ki Gede Menoreh lagi.
”Sejauh pengetahuan kami, selain Tanah Perdikan Menoreh ini, hanya daerah Kademangan Sangkal Putung yang dilibatkan. Pertimbangan Sinuhun Prabu Hanyakrakusuma, karena kedua daerah ini mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga akan mempermudah dalam pelaksanaannya”.
Ki Gede Menoreh yang mendengar keterangan dari salah satu prajurit itu mengangguk-angguk lalu menoleh ke arah Nyi Pandan Wangi, tetapi anak semata wayangnya itu dari tadi hanya menunduk saja.
Sebelum mereka melanjutkan pembicaraan, dua orang pelayan datang untuk menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Setelah beberapa saat mereka menikmati hidangan yang disuguhkan, terdengarlah panggilan untuk melaksanakan kewajiban kepada Yang Maha Agung. Setelah makan malam, mereka baru melanjutkan pembicaraan yang terpotong.
”Setelah tugas kami selesai, kami mohon diri Ki Gede” berkata salah satu prajurit itu.
”Begitu tergesa-gesa, sekarang sudah malam Ki Sanak, sebaiknya kalian kembali ke Mataram besok pagi-pagi sekali. Apalagi beberapa waktu terakhir ini aku mendapatkan laporan bahwa ada beberapa orang yang mencurigakan yang berkeliaran di sekitar Menoreh yang belum diketahui tujuannya, bukankah itu bisa membahayakan kalian?”.
Kedua prajurit itu saling pandang sesaat, kemudian salah satunya mengangguk, "baiklah Ki Gede, sekali lagi kami hanya bisa mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Ki Gede, dan kami minta maaf jika sudah merepotkan Ki Gede Menoreh dan keluarga" jawab salah satu prajurit itu.
"Silahkan Ki Sanak berdua beristirahat di gandok sebelah kiri, karena besok akan menempuh perjalanan jauh".
Kemudian Ki Gede Menoreh memanggil pembantunya untuk mengantarkan kedua prajurit itu. Setelah kedua prajurit itu memasuki gandok, Ki Gede Menoreh melanjutkan pembicaraannya dengan Nyi Pandan Wangi dan Bayu Swandana yang tadi terpotong.
"Apa tanggapanmu tentang isi nawala itu Pandan Wangi?" bertanya Ki Argapati.
"Aku rasa itu sebuah gagasan yang baik Ayah, tapi semua itu harus kita bicarakan dengan pihak-pihak yang terlibat".
"Kau benar Pandan Wangi, tapi setidaknya kau sudah bisa menilai dirimu sendiri jika nanti akan dilibatkan, seberapa jauh sumbangsih yang mampu kau berikan".
"Aku rasa aku akan bisa membantu Ayah, meskipun sumbangsihku tak seberapa di sela-sela tugas di Tanah Perdikan Menoreh ini. Tetapi semoga saja berguna, apalagi Sekar Wangi sekarang sudah semakin besar dan bisa ditinggal meskipun untuk waktu yang pendek".
"Syukurlah kalau begitu".
"Kebetulan sekali Ayah, tidak lama lagi aku akan mengantarkan Bayu Swandana ke Padepokan Orang Bercambuk, sekalian aku akan bertemu dengan Sekar Mirah untuk membicarakan masalah ini".
"Aku hampir lupa jika tak berapa lama lagi kau akan pergi ke Padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom, sehingga permasalahan ini bisa sekalian dibicarakan dengan Sekar Mirah". Setelah Ki Argapati berkata demikian nampak dia terdiam seperti memikirkan sesuatu.
"Aku tidak akan pergi terlalu lama Ayah, demikian keperluannya selesai, aku akan segera kembali". Berkata Nyi Pandan Wangi yang sepertinya bisa menangkap kegelisahan Ki Gede Menoreh.
"Tidak apa-apa Wangi, selesaikan saja keperluanmu tanpa dikejar waktu" jawab Ki Gede Menoreh sambil tersenyum.
***
Dalam pada itu, di malam yang menjelang wayah sepi uwong, di pinggiran padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, di sebuah rumah yang dulu pernah ditinggali agul-agulnya Mataram, tapi kini yang sudah berganti penghuninya. Di pendapa rumah itu, masih nampak seseorang yang sudah sangat sepuh sedang termenung sendirian dengan ditemani minuman hangat dan singkong rebus yang ditaburi dengan parutan kelapa muda.
"Guru masih belum beristirahat juga rupanya?". Sebuah pertanyaan yang membuyarkan lamunan orang yang sudah sangat sepuh itu, lalu dia menoleh ke arah sumber suara.
"Belum Glagah Putih". Jawab Ki Jayaraga.
"Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran guru, aku perhatikan beberapa waktu terakhir ini guru sering termenung sendirian. Jika guru berkenan aku akan berusaha menjadi pendengar yang baik" berkata Ki Lurah Glagah Putih.
"Tidak ada permasalahan yang penting Glagah Putih, hanya perasaan gelisah orang-orang tua yang sudah memasuki masa senja seperti aku saja".
Berdesir hati Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar keterangan gurunya itu. Tiba-tiba saja dia teringat Ayahnya yang sudah dipanggil Sang Pencipta. Sesempurna apapun ilmu yang dimiliki seseorang, tidak akan ada yang mampu menolak kuasa Yang Maha Agung. Meskipun demikian, Ki Lurah Glagah Putih merasa beruntung karena di saat-saat terakhir Ayahnya, dia berada di sampingnya bersama anak istrinya.
"Banyak kenangan-kenangan di masa lampau yang selalu datang silih berganti di pikiranku, dari semua itu, aku berpikir apakah bekalku sudah cukup jika harus menghadap Yang Maha Agung?" berkata Ki Jayaraga.
Ki Lurah Glagah Putih hanya bisa berdiam diri mendengar ucapan gurunya itu. Karena dia sendiri belum tahu pula seberapa banyakkah bekal yang harus dibawa pada saat menghadap Yang Maha Agung. Apalagi dia menyadari pula bahwa banyak sekali kesalahan yang telah diperbuatnya, baik yang disengaja maupun tidak.
"Guru tidak perlu berkata demikian, kita memang tidak bisa menolak kehendak Yang Maha Agung, tapi kita diwajibkan pula untuk berusaha sebaik yang kita bisa. Karena kita tidak tahu ukuran seberapa banyaknya bekal yang harus kita bawa pada saat menghadap Yang Maha Agung " berkata Ki Lurah Glagah Putih.
"Kau benar Glagah Putih, tapi perasaan orang tua sepertiku ini sering gelisah saat teringat akan hal itu. Sudahlah, kita bicarakan yang lain saja". Berkata Ki Jayaraga yang kemudian menarik nafas dalam-dalam beberapa kali. Lalu lanjutnya, "jika ada waktu, sepertinya aku ingin sekali mengunjungi Padepokan Orang Bercambuk".
Ki Lurah Glagah Putih mengangkat kepalanya mendengar ucapan gurunya itu, lalu katanya, "jika Guru ingin pergi ke Padepokan Orang Bercambuk, nanti aku akan meminta izin untuk mengantarkan guru".
"Kau tidak perlu ikut repot Glagah Putih, aku bisa pergi kesana sendiri, lagi pula aku belum tahu berapa lama akan berada disana, tergantung kata hatiku saja".
"Aku percaya jika guru adalah orang linuwih, orang yang mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan, tapi maaf Guru, pengaruh umur akan sangat mempengaruhi kemampuan wadag seseorang".
Ki Jayaraga yang mendengar itu tersenyum sambil memandang muridnya itu. Di dalam hatinya dia merasa trenyuh dengan ketulusan sang murid, yang awalnya hanya sekedar hubungan antara guru dan murid, tapi seiring dengan berjalannya waktu, seperti lebih dari itu.
"Kita pikirkan lagi nanti saja Glagah Putih, lagipula aku tidak tergesa-gesa. Sebaiknya kita beristirahat". Berkata Ki Jayaraga yang mulai berdiri, lalu menepuk pundak sebelah kanan muridnya itu, kemudian berjalan menuju biliknya yang berada di dekat dengan dapur.
***
Sementara itu di Padepokan Orang Bercambuk di saat menjelang fajar, Bagus Sadewa yang baru ikut nyantrik lebih dari sepekan, nampak sudah selesai mandi sekaligus mencuci pakaiannya. Salah satu cantrik yang sudah lama di padepokan tersebut kemudian mendekatinya.
"Adi Bagus Sadewa, rajin sekali kau pagi-pagi begini sudah selesai mandi dan mencuci bajumu?". Tanya cantrik lama yang sudah terlihat memasuki usia dewasa.
"Iya kakang, waktu masih di rumah pun aku sudah terbiasa mencuci bajuku sendiri" jawab Bagus Sadewa.
"Oh, begitu rupanya. Tapi yang membuatku heran, beberapa hari ini aku lihat setiap kau bangun tidur aku lihat pakaianmu nampak kotor" bertanya cantrik lama lagi.
Bagus Sadewa nampak terkejut mendengar pertanyaan itu, tapi hanya sekejap, lalu katanya, "karena..., Lodra suka mengajak bermain sebelum aku tidur kakang, jadi membuat pakaianku kotor" Jawab Bagus Sadewa.
"Ya sudah, adi Bagus Sadewa. Aku akan menyelesaikan tugasku" berkata cantrik itu sambil berlalu.
Bagus Sadewa hanya menarik nafas dalam-dalam saat melihat cantrik itu pergi meninggalkannya.
Setelah selesai menjalankan kewajiban kepada Yang Maha Agung, seisi padepokan disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Kebetulan Bagus Sadewa mempunyai tugas menyapu halaman. Tapi cara yang dia pakai dalam melakukannya yang terlihat berbeda dengan orang kebanyakan. Karena Bagus Sadewa menyapu sembari berjalan mundur.
"Adi Bagus Sadewa, apakah aku tidak salah lihat, kau menyapu dengan cara seperti itu?" terdengar pertanyaan dari arah belakang.
"Dari kecil aku diajarkan oleh Ayah cara seperti ini kakang Bagaskara, dan lama-lama menjadi kebiasaanku". Jawab Bagus Sadewa setelah melihat siapa yang datang.
"Oh, menarik sekali, dan banyak orang yang bilang, Ayahmu memang orang yang aneh, dan itu salah satunya". Berkata Bagaskara sambil tersenyum, kemudian berjalan meninggalkannya.
Semenjak Bagus Sadewa ikut nyantrik di Padepokan Orang Bercambuk, semakin banyak cerita yang dia dengar tentang Ayahnya. Dari kebiasaan kecil hingga hal-hal besar yang pernah dilakukan sang Ayah. Tapi Bagus Sadewa menganggap bahwa semua itu tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi Bagus Sadewa adalah termasuk anak yang sudah lebih dewasa cara berpikirnya dibandingkan dengan umurnya dalam bertindak.
Meskipun orang tua Bagus Sadewa adalah orang-orang besar, tapi dia merasa seperti anak-anak kebanyakan. Tidak merasa adigang-adigung adiguna karena nama besar kedua orang tuanya. Apalagi dari kecil dia diajarkan untuk selalu andap-asor kepada siapapun, selalu mengenal shubasita kepada siapapun tanpa membedakan kasta, karena di atas langit masih ada langit, dan segala kesempurnaan hanya milik Yang Maha Agung.
"Adi Bagus Sadewa, apakah kau mau ikut bersama kami ke pasar?" bertanya Bagaskara setelah mereka selesai makan pagi.
"Jika aku di ajak, mau saja kakang. Tapi apakah hanya kita berdua?" bertanya Bagus Sadewa.
"Tentu tidak, kita akan pergi bersama kakang Umbara dan seorang cantrik yang umurnya hampir sama dengan kakang Umbara" berkata Bagaskara menjelaskan. Lalu katanya lagi, “tapi ingat, kita pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan padepokan, bukan untuk bersenang-senang".
"Aku mengerti kakang Bagaskara" jawab Bagus Sadewa.
Tidak lama kemudian mereka bersiap-siap pergi ke pasar berempat. Sebuah pasar di daerah agak pinggiran Jati Anom, tidak jauh dari Padepokan Orang Bercambuk. Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan padukuhan yang ramai orang berlalu-lalang. Tampak orang sudah pulang dari pasar dengan membawa hasil belanjaan menggunakan pedati yang ditarik seekor kerbau dan dinaiki oleh anak laki-lakinya yang masih nampak kecil.
"Sepertinya kalian baru akan berangkat ke pasar nggér?" bertanya orang tua yang membawa pedati itu saat berpapasan
"Iya paman, kami tidak tergesa-gesa dan hanya ingin membeli kebutuhan sehari-hari, jadi kami pikir meskipun berangkat matahari sepenggalah kami tidak akan kehabisan paman" jawab Umbara sambil tersenyum.
"Kalau aku tidak salah lihat, anggér ini adalah cantrik di Padepokan Orang Bercambuk?".
"Benar sekali paman, apakah paman mengenal kami?" kali ini Bagaskara yang menjawab.
"Ah..tidak nggér, tidak. Aku bisa berkata seperti itu karena aku sepertinya mengenal cara berpakaian kalian. Karena dulu waktu aku masih sangat muda pernah diajak oleh Ayahku mengunjungi padepokan itu. Waktu itu masih ada Kyai Gringsing untuk minta pertolongan kesembuhan mendiang ibuku" berkata orang tua itu menjelaskan. Bagaskara dan kawan-kawannya hanya mengangguk, menanggapi ucapan orang tua itu.
"Kyai Gringsing adalah orang yang sangat baik, tapi sayang sudah mendahului kita semua menghadap Yang Maha Agung". Setelah berkata demikian orang itu menarik nafas dalam beberapa kali. Lalu lanjutnya, "maafkan aku yang telah menghambat perjalanan kalian nggér. Jika kalian tidak segera berangkat, kalian akan kehabisan barang-barang yang kalian cari".
"Baik paman, kami akan melanjutkan perjalanan". Berkata Umbara yang seperti tersadar akan tujuan mereka. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke pasar yang sudah nampak tidak begitu ramai.
Meskipun pasar sudah tidak begitu ramai, tapi masih ada beberapa kedai yang masih terlihat banyak dikunjungi pedagang yang belum sempat makan di rumah atau orang yang sengaja makan di kedai langganannya. Ada juga penjual cendol dawet di jalan masuk pintu regol pasar yang masih melayani satu dua orang pembeli. Umbara dan kawan-kawan tidak lama berada di dalam pasar itu, setelah keperluan mereka sudah selesai, mereka pun akan segera kembali.
Setelah mereka berjalan beberapa puluh langkah keluar dari pasar itu, mereka melihat rombongan anak muda sekitar tujuh orang yang sedang mengganggu rombongan lain yang hanya berempat dan terdapat seorang gadis. Semakin lama rombongan Umbara semakin mendekati rombongan yang sedang berselisih itu. Bagaskara nampak mendahului rombongan.
"Maafkan kami jika mengganggu kalian Ki Sanak" berkata Bagaskara.
Orang-orang yang sedang berselisih itu menoleh ke arah sumber suara itu, dan menatap Bagaskara dan rombongan dengan tajamnya.
"Kalian siapa, he? Tidak usah mengganggu urusan kami". Jawab salah seorang dari rombongan itu yang tampak terlihat paling tua dari yang lain.
"Maafkan kami Ki Sanak, bukan maksud kami untuk mengganggu, tapi aku lihat gadis itu nampak ketakutan kepada kalian" jawab Bagaskara lagi.
"Lalu apa urusanmu?" Bentak seorang lagi yang nampak kurus dan tinggi sambil membelalakkan matanya.
"Tolong jangan ganggu mereka Ki Sanak, sepertinya kalian akan memaksakan kehendak kalian".
Salah seorang yang ada di dalam rombongan itu yang berbadan agak gempal nampaknya sudah tidak sabar lalu mendekati Bagaskara, lalu katanya, "tidak ada yang bisa melarang kami, apalagi kalian hanya anak-anak ingusan. Apa kau dan kawan-kawanmu itu bosan hidup?".
Sebelum Bagaskara menjawab, Umbara menggamitnya, lalu katanya. "jangan sombong Ki Sanak, kami hanya mengingatkan kalian agar tidak berbuat sewenang-wenang kepada orang yang lemah.
"Gandha, jangan bicara saja kau. Cepat bereskan mereka" terdengar suara dari belakang. Baru saja suara itu terdiam, anak yang dipanggil Gandha langsung menyerang Umbara tanpa peringatan sama sekali dengan sebuah pukulan yang langsung mengarah ke dada.
Umbara yang sudah menduga hal itu tidak terkejut, dengan sedikit memiringkan tubuhnya dia bisa menghindari serangan tersebut. Orang yang menyadari jika serangannya tidak mengenai sasaran justru menyerang dengan semakin membabi-buta. Tetapi semua serangan itu mampu dihindari oleh Umbara. Ketika Gandha meloncat ke belakang, sebelum kakinya menyentuh tanah ada sebuah sapuan kaki yang membuatnya jatuh tersungkur di tanah berdebu.
Kawan-kawannya yang melihat terkejut. Karena di antara rombongan itu, Gandha termasuk anak yang bisa diandalkan jika terjadi perkelahian, selain pemimpin rombongan itu sendiri. Mereka hanya saling pandang, lalu menoleh ke arah pemimpin rombongan untuk meminta jawaban.
"Semuanya bantu Gandha, agar lawannya tidak semakin sombong dengan kemenangan kecilnya". Teriak pemimpin rombongan itu yang nampak berpakaian paling rapi dan terlihat mahal. Perintah itu tidak perlu diulangi lagi, sejenak rombongan yang mengganggu itu sudah mengepung Umbara dan kawan-kawannya.
Umbara yang melihat keadaan itu mulai berhitung antara kawan dan lawan. Memang benar mereka semua berempat, tapi Bagus Sadewa masih terlalu kecil jika harus diajak bertempur. Lagipula menurut Umbara, Bagus Sadewa tentu belum mempunyai bekal kanuragan. Sembari berputar mengikuti kepungan lawan, Umbara mulai berpikir keras.
"Adi, jaga Bagus Sadewa dengan sebaik-baiknya". Berkata Umbara perlahan seperti berbisik kepada adik dan kawannya.
"Kami mengerti kakang" jawab mereka hampir bebarengan.
"Apa yang kau bicarakan dengan kawan-kawanmu, apa kalian ketakutan, sehingga akan menunggu rombongan para prajurit yang nganglang untuk meminta bantuan?" bertanya salah satu kawan Gandha dengan sombongnya.
"Lebih baik kalian menyerah sajalah, daripada kalian pulang hanya tinggal nama" kawan yang lainnya menimpali.
Umbara dan kawan-kawan tidak ada yang menjawab kata-kata rombongan anak muda yang mengepung mereka. Mereka hanya meningkatkan kesiap-siagaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Sementara itu, rombongan yang tadi diganggu mulai menjauhi arena karena merasa ketakutan.
"Aku takut kakang". Kata gadis muda itu sambil memegangi lengan kakangnya dengan erat sekali.
"Aku juga sebenarnya takut, tapi alangkah deksuranya jika kita meninggalkan orang-orang yang menolong kita" berkata anak muda yang dipegangi lengannya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang kakang?" bertanya salah satu anak muda.
"Sebaiknya kita menunggu saja apa yang terjadi, semoga rombongan yang menolong kita benar-benar bisa mengeluarkan kita dari kesulitan ini".
Rombongan yang sedang mengepung itu semakin marah ketika tidak ada yang menanggapi kata-katanya. Apalagi Gandha yang sudah lebih dahulu mulai pertempuran, sudah tidak sabar ingin mengalahkan lawannya tanpa pilih lawan. Dia merasa terhina telah dirobohkan di depan kawan-kawannya sendiri. Apalagi dia adalah salah satu anak yang bisa dianggap hampir setara dengan kemampuan pemimpinnya.
Dengan dibarengi sebuah teriakan dan lompatan kecil Gandha menyerang orang-orang yang di dalam kepungan tanpa pilih-pilih lawan. Pada awalnya pertempuran yang nampak berjalan seimbang, semakin lama mulai bergeser, justru sekarang rombongan yang jumlahnya lebih sedikit sudah mulai menguasai keadaan. Ternyata jumlah yang lebih banyak tidak mampu menentukan akhir pertempuran jika tidak diimbangi dengan kemampuan pribadi.
Pada suatu ketika tanpa disadari pukulan Gandha mampu ditangkap lawannya lalu dipelintir ke belakang. Melihat hal itu kawan di sebelah Gandha membantunya dengan melayangkan sebuah tendangan ke arah lambung. Umbara yang mendapatkan serangan itu mau tidak mau melepaskan tangan Gandha, lalu dengan cekatan menangkap kaki lawan barunya dan menyeretnya ke belakang, sebuah teriakan kesakitan keluar dari mulut lawan Umbara yang ditarik kakinya.
Semakin lama rombongan pengganggu itu mulai roboh satu per satu. Awalnya mereka masih mampu bangun, lalu menyerang lagi, tapi setelah beberapa kali terjatuh mereka tidak mampu bangun lagi. Bahkan, mereka merasa tulang-tulangnya pada retak di beberapa bagian karena benturan-benturan yang terjadi. Bahkan ada dua anak muda yang tampak tak bergerak lagi, sepertinya pingsan, salah satunya adalah Gandha.
Anak-anak muda yang menyadari keadaan itu merasa semakin ketakutan. Bahkan ketika Bagaskara berjalan mendekatinya, dia semakin kebingungan bercampur takut.
"Marilah lawan aku, hingga di antara kita tidak mampu bangun lagi" bentak Bagaskara.
"Ampun, ampuni kami Ki Sanak. Kami menyerah". Berkata orang yang didekati Bagaskara, sambil menghaturkan sembah, yang sepertinya adalah pemimpin rombongan itu.
"Apa hanya ini saja kemampuanmu, he?" bentak Bagaskara lagi.
"Kami menyerah Ki Sanak" berkata anak muda itu sambil menahan sakit dan ketakutan.
"Kami akan mengampuni kalian, tapi dengan syarat" kali ini Umbara yang berbicara.
"Syaratnya apa Ki Sanak?" bertanya lawannya agak cemas.
"Kalian kami ampuni, tapi kalian harus berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi jika kami masih melihat kalian berbuat seperti itu, maka sudah tidak ada ampun lagi bagi kalian" berkata Umbara dengan lantang.
"Baik, baiklah Ki Sanak. Kami berjanji tidak akan berulah lagi" berkata pemimpin rombongan itu yang masih ketakutan.
"Sekarang cepat tinggalkan tempat ini, sebelum para prajurit yang bertugas melintas dan kami berubah pikiran" berkata Bagaskara.
"Baik Ki Sanak, terima kasih…, terima kasih".
Sejenak kemudian, Umbara menghampiri Bagus Sadewa untuk memastikan tidak terjadi sesuatu kepada adik sepupunya itu. Karena dia merasa paling tua di dalam rombongan, jadi secara naluriah dia ingin memastikan bahwa orang-orang yang ada di rombongannya baik-baik saja, karena jika terjadi apa-apa. Dialah yang harus bertanggung jawab.
Setelah mereka merasa baik-baik saja, kemudian mereka menghampiri rombongan yang mereka tolong tadi, yang menjauhi arena karena merasa ketakutan di dekat pategalan.
"Terima kasih Ki Sanak, kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika Ki Sanak semua tidak menolong kami". Berkata anak muda yang terlihat paling tua di antara yang lainnya.
"Sudahlah Ki Sanak, kami hanya berusaha membantu" jawab Umbara.
"Sekarang kalian akan kemana?" bertanya Bagaskara.
"Kami akan pulang Ki Sanak , gubuk kami berada di balik hutan kecil di ujung Jati Anom".
"Kebetulan sekali kita satu arah, tapi kita hanya berjalan bersama hanya sampai Jati Anom, karena kami berhenti di Jati Anom" Bagaskara menjelaskan.
"Tidak menjadi soal Ki Sanak, yang penting kami tidak mengganggu perjalanan kalian saja".
"Ah, tentu tidak. Marilah".
Tanpa sepengetahuan mereka, di balik pohon yang tinggi di pinggir jalan di dalam pategalan ada yang diam-diam mengawasi mereka tanpa mereka sadari. Tetapi, setelah pertempuran di jalan berdebu itu selesai, orang itu pun pergi entah kemana.
Rombongan Umbara kemudian mulai berjalan pulang ke Padepokan Orang Bercambuk bersama rombongan anak-anak muda yang mereka tolong. Di perjalanan mereka sempat sedikit berbincang-bincang untuk mencairkan suasana. Perjalanan mereka sudah tidak ada lagi gangguan yang berarti. Sesampainya di jalan simpang tiga, arah ke Padepokan Orang Bercambuk mereka harus berpisah jalan karena tujuan mereka sudah berbeda arah.
"Apakah kalian benar tidak mau singgah ke tempat kami?" bertanya Umbara ramah.
"Maafkan kami Ki Sanak, sebenarnya kami sangat ingin tapi kali ini kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena orang tua kami pasti sudah menunggu kedatangan kami bersama belanjaan yang kami bawa. Mungkin lain kali kami akan menyempatkan". Jawab anak muda yang paling tua, lalu lanjutnya, "sekali lagi kami hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada Ki Sanak semua atas pertolongannya".
"Sudahlah Ki Sanak, lupakan saja. Kami hanya menjalankan kewajiban kepada sesama" jawab Umbara.
Sejenak kemudian mereka berpisah jalan. Umbara dan kawan-kawan mulai memasuki Padepokan Orang Bercambuk. Setelah Umbara menaruh barang belanjaan di dapur, kemudian dia mencari keberadaan Ayahnya dan bermaksud melaporkan kejadian yang baru saja mereka alami. Setelah mendapat petunjuk dari seorang cantrik, dia bergegas menghampiri Ayahnya yang berada di dekat kolam ikan.
"Ada apa Ngger, sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin kau katakan". Berkata Ki Untara setelah melihat anaknya menghampirinya.
"Benar Ayah, ada yang ingin aku laporkan" berkata Umbara.
Kemudian Ki Untara dan Umbara berjalan ke sebuah amben yang terbuat dari bambu, di samping kolam ikan di bawah pohon jambu air. Setelah mereka duduk, kemudian Umbara mulai menceritakan kejadian yang mereka alami secara runtut dan lengkap. Ki Untara yang mendengar laporan anak pertamanya itu menarik nafas beberapa kali dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Ternyata masih ada saja anak-anak muda yang nakal. Semoga hanya sekumpulan anak-anak nakal dan tidak ada pihak di belakangnya yang menaruh dendam atas kejadian itu" berkata Ki Untara menanggapi.
"Iya Ayah, semoga saja. Tapi tadi ada yang terlewatkan yang aku laporkan Ayah".
"Apa itu Umbara?" bertanya Ki Untara sembari mengerutkan keningnya.
"Pada saat terjadi pertempuran aku melihat sesuatu yang agak aneh pada Bagus Sadewa Ayah. Aku lihat beberapa kali terjadi benturan padanya tapi aku yang sempat melihatnya, dia seperti tidak merasa kesakitan sama sekali. Padahal sejauh pengetahuanku dia belum mempunyai bekal kanuragan sama sekali. Bahkan dia nampak tenang meskipun berhadapan dengan lawan yang banyak" berkata Umbara menjelaskan.
Sejenak Ki Untara terdiam mendapatkan laporan itu. Sambil mengangguk-angguk dia seperti memikirkan sesuatu. Setelah beberapa saat Ki Untara mencari jawaban.
"Sudahlah, tidak usah kau pikirkan. Dan perlu kau ingat Ngger, orang tua Bagus Sadewa itu adalah orang-orang linuwih" Ki Untara menasehati.
Umbara yang mendengar nasehat Ayahnya hanya mengangguk-angguk saja. Di dalam hatinya seakan-akan baru menyadari hal itu setelah mendengar peringatan dari Ayahnya. Sejenak kemudian Umbara meninggalkan tempat itu untuk kemudian bergabung dengan cantrik yang lain.
***
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh yang masih saja hujan gerimis sejak tadi sore membuat suasana menjadi bertambah senyap menjelang waktu sepi uwong. Para pengawal yang sedang bertugas pun lebih banyak menghabiskan waktu di pos-pos penjagaan. Nampak sedikit malas untuk nganglang. Apalagi sudah beberapa lama sepertinya jarang ada gangguan keamanan yang berarti. Meskipun demikian, secara keseluruhan tidak mengurangi kewaspadaan dan tanggung jawab para pengawal.
Di rumah Ki Gede Menoreh sedang terjadi pembicaraan antara Ki Gede Menoreh dengan Bayu Swandana. Mereka duduk di ruang tengah dengan beralaskan tikar dari daun pandan lama tapi terlihat bersih.
"Apakah kakek tidak apa-apa jika nanti kami tinggalkan sendiri, saat ibu mengantarku?" bertanya Bayu Swandana
"Tidak apa-apa Ngger, lagipula aku sudah terlalu tua jika melakukan perjalanan jauh, apalagi kesehatanku sudah jauh menurun. Jika aku ikut kalian pergi ke Jati Anom bukankah malah akan menjadi beban kalian di perjalanan?".
Bayu Swandana yang mendengar hanya bisa terdiam, di benaknya ikut membenarkan perkataan kakeknya itu. Memang kesehatan Ki Gede Menoreh sekarang sudah jauh menurun seiring dengan bertambah usianya yang semakin sepuh, apalagi Ki Gede Menoreh mempunyai kelemahan cacat di salah satu kakinya yang semakin menambah kelemahannya. Untuk berjalan saja, Ki Argapati harus dibantu dengan menggunakan tongkat kayu karena penglihatannya pun juga sudah mulai berkurang. Jika saja Ki Argapati waktu masih mudanya bukanlah orang linuwih, mungkin saat ini waktunya akan banyak dihabiskan di pembaringan.
"Lagipula Kakek dapat menemani adikmu ngger, karena Ibu juga tidak mungkin membawanya untuk perjalanan jauh, itu akan sangat berbahaya". Berkata Nyi Pandan Wangi yang baru saja keluar dari ruang dalam.
"Apakah Sekar Wangi sudah tidur?". Bertanya Ki Gede Menoreh kepada Nyi Pandan Wangi yang baru saja datang dari ruang dalam.
"Sudah Ayah, sepertinya dia sudah tidur nyenyak sekali".
"Pasti nanti Sekar Mirah akan memarahimu karena tidak mengajak Sekar Wangi". Berkata Ki Gede Menoreh sambil tersenyum menggoda.
"Itu sangat mungkin Ayah, tapi nanti juga dia pasti akan mengerti alasanku mengapa tidak mengajak Sekar Wangi".
"Ya… ya… sepertinya begitu" jawab Ki Gede Menoreh.
"Bayu Swandana, kemungkinan kita akan berangkat pekan depan. Ibu harap kau siapkan lahir dan batinmu. Kau jangan merasa seperti waktu di rumahmu sendiri. Kau harus mengikuti segala paugeran yang ada disana" berkata Nyi Pandan Wangi menasehati.
"Aku mengerti Ibu" jawab Bayu Swandana singkat.
"Meskipun mendiang Ayahmu adalah salah satu murid utama Kyai Gringsing, pendiri Padepokan Orang Bercambuk. Tapi kau tidak bisa menggantungkan dirimu pada nama besar Ayahmu dulu" lanjut Nyi Pandan Wangi.
Bayu Swandana tidak menjawab sama sekali. Dia hanya mendengarkan saja nasehat Ibu dan Kakeknya itu. Meskipun di dalam hatinya ada yang mau diutarakannya tapi diurungkannya kembali.
Setelah beberapa saat mereka terdiam, Nyi Pandan Wangi berkata, "Bayu Swandana, besok kau pergilah ke rumah Ki Lurah Glagah Putih. Sampaikan padanya bahwa Kakek dan Ibu ada keperluan".
"Baiklah Ibu" jawab Bayu Swandana singkat.
"Besok pagi-pagi kau kesana ngger, bilang kepada Ki Lurah Glagah Putih, setelah pulang tugas dari barak, Kakek dan Ibu ada keperluan. Tapi tidak perlu tergesa-gesa, karena bukan keperluan yang mendesak".
"Baiklah Ibu, sekarang aku mau istirahat dulu. Rasanya aku sudah mengantuk sekali". Setelah itu Bayu Swandana bangkit berdiri lalu berjalan menuju biliknya.
Pagi itu, di rumah Ki Lurah Glagah Putih baru saja selesai makan pagi, tapi Ki Lurah Glagah Putih masih sempat berbincang bincang dengan Ki Jayaraga dan istrinya sebelum berangkat menuju barak Pasukan Khusus tempat Ki Lurah Glagah Putih bertugas. Tiba-tiba terdengar suara pintu depan diketuk seseorang.
"Sepertinya ada tamu, coba aku lihat”. Berkata Ki Lurah Glagah Putih yang kemudian bergegas keluar untuk melihat siapa tamu yang datang pagi-pagi begini.
"Maaf paman, pagi-pagi begini aku sudah mengganggu paman". Berkata Bayu Swandana ketika sudah berhadapan dengan Ki Lurah Glagah Putih.
"Ah, tidak apa-apa. Tidak perlu sungkan. Ada keperluan apa pagi-pagi begini kau sudah ke rumahku, Bayu Swandana?" bertanya Ki Lurah Glagah Putih.
"Aku hanya diutus Ibu untuk menyampaikan pesan untuk paman Glagah Putih".
"Pesan?, pesan apa itu?". Bertanya Ki Lurah Glagah Putih sambil mengerutkan keningnya.
"Nanti malam paman di minta Ibu datang ke rumah, karena Ibu dan Kakek ada keperluan, tapi paman tidak perlu tergesa-gesa pulang dari barak karena kata Ibu bukan keperluan yang resmi dan mendesak". Berkata Bayu Swandana menjelaskan maksud kedatangannya.
"Baiklah, nanti malam aku akan datang. Apakah ada pesan yang lain?".
"Tidak paman, hanya itu saja. Berhubung tugasku sudah selesai aku langsung pulang paman".
"Apa kau tidak mau minum-minum dulu?".
"Terima kasih paman, aku langsung pulang saja".
Kemudian Bayu Swandana berlalu meninggalkan rumah Ki Lurah Glagah Putih dengan berjalan kaki. Setelah Bayu Swandana menghilang di jalan berbelok, lalu Ki Lurah Glagah Putih pun kembali masuk ke ruang dalam.
"Siapa kakang?" bertanya Nyi Lurah yang tidak sabar.
Kemudian Ki Lurah Glagah Putih menjelaskan siapa yang datang dan apa keperluannya. Sesaat suasana menjadi sunyi.
"Nanti malam bolehkah aku ikut?". Bertanya Ki Jayaraga tiba-tiba memecah suasana.
"Silahkan Guru, lagipula nanti malam bukan pertemuan resmi, Ki Gede Menoreh pasti senang dengan kehadiran Guru, karena Ki Gede Menoreh akan dapat kawan berbincang yang sepadan sepuhnya, jadi akan lebih leluasa yang dibicarakan".
"Siapa bilang aku sudah sepuh? Aku masih merasa seperti remaja". Kelakar Ki Jayaraga yang disambut senyuman yang mendengarnya.
"Guru memang masih remaja, tapi dulu". Jawab Ki Lurah Glagah Putih menanggapi ucapan gurunya yang disambut gelak tawa Ki Jayaraga.
"Aku rasa aku juga sudah agak lama, tidak sowan ke tempat Ki Gede Menoreh, semenjak kemampuan wadagku yang sudah jauh menurun" berkata Ki Jayaraga setelah reda tertawanya.
"Baiklah, nanti kita berangkat bersama guru, setelah aku pulang dari barak. Nanti aku akan usahakan pulang lebih cepat, lagipula sepertinya tugasku hari ini tidak begitu banyak, sekarang aku akan bersiap untuk berangkat".
Tidak lama kemudian Ki Lurah Glagah Putih benar-benar telah bersiap untuk berangkat bertugas di barak pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh, yang diantar oleh Ki Jayaraga dan Nyi Lurah sampai di depan pendapa.
Ketika malam tiba, setelah makan malam, Ki Lurah Glagah Putih bersama rombongan yang terdiri dari Ki Jayaraga, Nyi Lurah, anaknya dan Ki Lurah Glagah Putih sendiri, berangkat menuju ke rumah Ki Gede Menoreh dengan berjalan kaki. Meskipun Ki Jayaraga sudah semakin sepuh dan kesehatannya pun sudah jauh menurun, tapi jika dibandingkan dengan orang kebanyakan, Ki Jayaraga masih mempunyai banyak kelebihan.
Mereka sepertinya sangat menikmati perjalanan di bawah sinar bulan sabit. Di sepanjang perjalanan tampak obor-obor dari biji jarak di beberapa tempat, terutama di banjar padukuhan dan beberapa rumah yang terlihat agak besar. Jika rombongan itu melewati rumah yang agak kecil, hanya terlihat sekilas cahaya dari lampu dlupak pada sela-sela dinding bambu.
Ketika mereka berpapasan dengan orang-orang yang kebetulan masih di luar, mereka saling tegur sapa dengan ramahnya, bahkan terkadang sembari berkelakar. Meskipun Ki Lurah Glagah Putih, Nyi Lurah dan juga Ki Jayaraga bukanlah penghuni asli Tanah Perdikan Menoreh, tapi hampir semua orang di Tanah Perdikan Menoreh mengenal mereka dengan sangat baik. Selain karena mereka sudah lama tinggal di daerah itu, tetapi mereka juga sangat berjasa dalam hidup bebrayan, bahkan bisa dibilang tidak terhitung.
Meskipun mereka sangat berjasa bagi kehidupan bebrayan agung di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi tidak membuat mereka silau akan kamukten, semua mereka lakukan hanya atas dasar pengabdian diri kepada kepentingan sesama tanpa pamrih.
Ketika mereka akan melewati pos penjagaan, beberapa puluh langkah sebelumnya sudah ada dua orang pengawal yang terlihat sudah berdiri untuk menyambut siapa yang datang.
Tetapi, setelah para pengawal melihat siapa saja yang ada di dalam rombongan, mereka segera menyapa, "Oh, ternyata Ki Lurah Glagah Putih dan keluarga rupanya. Tadi aku kira siapa malam-malam begini ada rombongan yang sedang melakukan perjalanan". Berkata salah satu pengawal yang masih terlihat sangat muda.
"Tadi juga sudah aku katakan kepadamu jika aku sepertinya mengenal rombongan yang sedang berjalan menuju ke arah kita, tapi kau masih tidak percaya" berkata pengawal lain yang terlihat sudah dewasa.
Ki Lurah Glagah Putih yang mendengarnya tersenyum, lalu katanya, "tidak ada salahnya jika kita selalu berjaga-jaga, sebelum kita benar-benar yakin dengan siapa kita berhadapan. Bisa saja tiba-tiba orang yang tidak kita kenal melintas, ya kalau orang yang baik, jika orang jahat?".
"Jalankanlah tugas kalian dengan sebaik-baiknya ngger, karena pengawal yang bertugas sebagai penjaga itu adalah benteng keamanan pada lapisan pertama. Jika pada benteng lapis pertama saja mudah ditembus orang jahat, maka benteng pada lapis berikutnya akan kebingungan dalam menentukan sikap, terus bagaimana dengan nasib orang-orang yang kita jaga di dalam benteng?" berkata Ki Jayaraga menasehati.
"Benar sekali Ki Jayaraga, kami akan berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya" jawab pengawal yang sudah dewasa itu.
"Baiklah, kami mohon diri karena akan melanjutkan perjalanan kami ke rumah Ki Gede" berkata Ki Lurah Glagah Putih.
"Silahkan, silahkan Ki Lurah dan keluarga" jawab para pengawal hampir bersamaan.
Kemudian Ki Lurah Glagah Putih dan rombongan segera melanjutkan perjalanan. Sesampainya mereka di pintu regol rumah Ki Gede Menoreh telah disambut dengan ramah oleh para pengawal yang bertugas, apalagi para pengawal sudah mengenal mereka dengan sangat baik.
Dahulu sebelum Ki Lurah Glagah Putih memasuki dunia keprajuritan adalah salah satu pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh, di bawah Ki Prastawa selaku kepala pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang kebetulan adalah keponakan Ki Gede Menoreh.
"Apakah Ki Gede ada?". Bertanya Ki Lurah Glagah Putih setelah mereka saling bertegur sapa dan saling menanyakan keselamatan masing-masing, karena sudah beberapa lama mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.
"Oh, ada Ki Lurah. Tadi Ki Gede sudah berpesan, jika Ki Lurah Glagah Putih sudah datang, di persilahkan langsung masuk, karena Ki Gede Menoreh sudah menunggu". Jawab salah satu pengawal yang agak pendek. Kemudian rombongan Ki Lurah Glagah Putih segera masuk ke rumah Ki Gede Menoreh.
"Selamat datang Ki Jayaraga, Ki Lurah dan Nyi Lurah Glagah Putih beserta Arya Nakula". Berkata Ki Gede Menoreh ketika mereka sudah saling berhadapan. Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing.
"Maaf Ki Gede, sepertinya Ki Gede cukup memanggil namaku saja tanpa tambahan gelar, itu malah membuatku lebih mapan". Berkata Ki Lurah Glagah Putih yang justru disambut gelak tawa oleh Ki Gede Menoreh, yang membuat Ki Lurah Glagah Putih menjadi semakin salah tingkah.
"Aku lupa jika kau sangat dipengaruhi kakak sepupumu". Berkata Ki Gede Menoreh yang kembali tertawa. Pada saat bersamaan Nyi Pandan Wangi keluar dari ruang dalam sambil membawa minuman hangat dan beberapa potong makanan, kemudian menyambut tamu-tamunya itu dengan sangat ramah.
"Mbokayu Pandan Wangi tidak perlu sibuk atas kedatangan kami, nanti kami bisa mencari sendiri" berkata Ki Lurah Glagah Putih.
"Aku tidak sibuk, lagi pula jika kau mencari sendiri di dapur pasti akan kau habiskan sendiri, sehingga yang lain tidak mendapat bagian". Berkata Nyi Pandan Wangi yang disambut gelak tawa yang mendengarnya.
Suasana kekeluargaan yang sangat erat membuat mereka seperti tidak ada jarak yang menghalangi, meskipun bukan berasal dari ikatan sebuah keluarga, tapi karena hidup bebrayan yang sudah terjalin begitu lama membuat mereka merasa seperti keluarga sendiri.
"Arya Nakula, apakah kau juga suka mencari ikan di pliridan seperti Ayahmu dulu, ngger?". Bertanya Ki Gede Menoreh yang melihat anak Ki Lurah Glagah Putih diam saja sedari tadi, yang hanya dijawab dengan anggukan kepala saja.
"Kau rupanya masih pemalu ngger, kau tidak perlu sungkan. Anggap saja aku seperti Kakekmu sendiri". Berkata Ki Gede Menoreh mencairkan suasana.
"Iya Kek" jawab Arya Nakula singkat yang memang masih pemalu.
"Benar sekali Ki Gede, anak ini mengingatkanku pada waktu aku masih remaja dulu, sangat suka mencari ikan di pliridan, tapi paling juga hanya dapat beberapa ekor untuk makan kucing saja, Ki Gede" berkata Ki Lurah Glagah Putih menanggapi.
"Kemarin Ayah tidak melihat, aku dapat satu kepis penuh berisi lele, wader, dan beberapa ekor udang". Berkata Arya Nakula menyangkal ucapan Ayahnya.
Ki Gede Menoreh tersenyum mendengar perkataan Arya Nakula yang masih polos, lalu katanya, "jika dapat banyak, kenapa Kakek tidak mendapat bagian nggér?" bertanya Ki Gede Menoreh menggoda.
Arya Nakula yang mendapat pertanyaan itu terkejut, lalu memandang sejenak ke arah Ki Gede Menoreh, tapi cepat-cepat menunduk lagi karena pada saat yang sama Ki Gede Menoreh sedang memandangnya pula. Lalu jawabnya, "jika kakek berkenan, besok akan aku carikan lagi"
Ki Argapati yang mendengar jawaban anak yang masih polos itu hanya tertawa. "tidak usah repot-repot nggér, kakek hanya bergurau".
Orang-orang yang mendengarnya hanya bisa ikut tertawa melihat akan kepolosan anak itu. Sejenak kemudian pembicaraan mulai bergeser ke arah yang lebih serius.
"Adi Glagah Putih, kami hanya mau menyampaikan bahwa jika tidak ada kendala, pekan depan aku berencana mau mengantarkan Bayu Swandana ke Padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom" berkata Nyi Pandan Wangi.
"Apa yang bisa aku bantu mbokayu?" bertanya Ki Lurah Glagah Putih.
"Sehubungan dengan kepergianku ke Jati Anom, aku ingin menitipkan Ayah dan Sekar Wangi, karena sangat tidak mungkin jika mereka ikut mengantarkan Bayu Swandana kesana, tentu akan sangat berbahaya di perjalanan".
"Apakah aku perlu mengantarkan mbokayu Pandan Wangi?".
Nyi Pandan Wangi yang mendapat pertanyaan itu menoleh ke arah Ayahnya, untuk meminta pertimbangan. Tapi Ki Argapati menyerahkan kembali kepada anak semata wayangnya tersebut. Tapi sebelum Nyi Pandan Wangi menjawab, Ki Jayaraga memotong.
"Maaf Nyi Pandan Wangi, jika aku memotong pembicaraan ini" berkata Ki Jayaraga. Lalu lanjutnya, "begini Nyi, beberapa waktu yang lalu, aku sempat mempunyai keinginan, ingin pergi ke Padepokan Orang Bercambuk, tapi belum sempat menentukan kapan waktunya. Kebetulan sekali jika Nyi Pandan Wangi ingin kesana, jika aku tidak mengganggu perjalanan Nyi Pandan Wangi apakah aku diperkenankan ikut bersama rombongan yang akan berangkat?" bertanya Ki Jayaraga.
"Tidak apa-apa Ki Jayaraga, justru aku akan senang sekali jika akan bertambah kawan perjalanan, bukankah begitu Ayah?".
"Benar sekali Pandan Wangi". Jawab Ki Gede Menoreh.
Tetapi, sebelum melanjutkan kata-katanya, terdengar suara lain sudah menimpali. "Jika Guru ikut bersenang-senang, aku pun ikut pula" berkata Ki Lurah Glagah Putih.
"Aku juga ikut". Berkata Nyi Lurah Glagah Putih yang tidak mau kalah, yang sedari tadi hanya banyak diam saja.
"jika semuanya pergi, aku di rumah dengan siapa, Ibu?". Celetuk Arya Nakula polos. Semua orang yang mendengarnya tiba-tiba tertawa karena baru menyadari jika Arya Nakula yang belum terhitung kehadirannya.
Kemudian mereka menyusun rencana keberangkatan dengan teliti, agar yang akan berangkat tidak merasa ada beban karena harus ada yang akan ditinggalkan. Maka, setelah kesepakatan di ambil bersama, bahwa urusan keamanan Tanah Perdikan Menoreh akan diserahkan kepada Ki Prastawa, keponakan Ki Gede Menoreh. Sebenarnya rencana awal memang seperti itu, dan Ki Lurah Glagah Putih hanya diminta untuk membantu saja. Tetapi setelah adanya pertemuan di malam itu menjadi bergeser dari rencana awal.
"Apakah dengan keberangkatan rombongan ini, kita masih memerlukan bantuan para pengawal?". Bertanya Nyi Pandan Wangi kepada yang lain, setelah pembicaraan yang penting sudah mereka anggap selesai.
"Aku kira tidak perlu Nyi Pandan Wangi, apalagi rombongan ini akan sama jumlahnya pada saat berangkat dan kembali" jawab Ki Jayaraga menanggapi. Tetapi, Nyi Pandan Wangi memberikan isyarat kepada Ayahnya untuk meminta pertimbangan.
"Aku rasa lebik baik kita berhati-hati, apalagi dalam perjalanan jauh yang kita tidak akan pernah tahu bahaya apa saja yang akan mengintai kita di dalam perjalanan. Yang penting rombongan itu tidak membawa pasukan pengawal segelar sepapan saja" berkata Ki Gede Menoreh sambil berkelakar.
"Oh, iya. Aku baru ingat Ki Gede, aku rasa memang kita sangat perlu membawa pasukan pengawal segelar sepapan Ki Gede, karena kami akan mengantarkan putri satu-satunya pemimpin tertinggi Tanah Perdikan menoreh yang sudah kawentar kecantikannya, meskipun semakin berumur tetapi masih saja kecantikannya tidak pernah pudar. Itu ditandai dengan beberapa warsa yang lalu, Nyi Pandan Wangi telah mendapatkan anugerah dengan lahirnya Sekar Wangi". Kelakar Ki Jayaraga yang di sambut gelak tawa yang lain kecuali Nyi Pandan Wangi yang justru mukanya menjadi merah padam.
"Ki Jayaraga benar sekali, kami harus bicara apa pada Ki Gede, jika nanti sekembalinya dari Jati Anom, ada sedikit saja kulit mbokayu Pandan Wangi tergores". Berkata Nyi Lurah yang sedari tadi lebih banyak diam menanggapi perkataan Ki Jayaraga.
"Kalian pandai sekali menggodaku di depan Ayah". Berkata Nyi Pandan Wangi yang masih merah padam mukanya.
Ki Gede Menoreh yang mendengar kelakar orang-orang di dekatnya untuk menggoda putri semata wayangnya itu hanya bisa tertawa. Nyi Pandan Wangi yang melihat Ayahnya masih tertawa, secara naluriah tiba-tiba mencubit lengan sang Ayah, yang membuat Ki Gede Menoreh terkejut, tapi kemudian kembali tertawa.
Tanpa terasa pembicaraan yang semakin lama semakin menarik itu hampir memasuki waktu madya ratri, Arya Nakula tampak mulai menguap dan mengusap-usap matanya yang mulai dihinggapi rasa kantuk. Ibunya yang berada di sebelahnya melihat hal itu segera memberikan isyarat kepada suaminya untuk segera mohon diri.
"Maaf Ki Gede, apa masih ada pembicaraan penting yang ingin Ki Gede sampaikan?" bertanya Ki Lurah Glagah Putih kemudian.
"Aku rasa tidak ada nggér, lagipula Arya Nakula sudah terlihat mulai mengantuk. Sebaiknya kita sambung lagi di lain waktu. Yang jelas beberapa hari sebelum keberangkatan kalian kesini lagi untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
"Baiklah Ki Gede, akan kami ingat pesan Ki Gede. Berhubung waktu sudah semakin malam, kami mohon diri dulu". Berkata Ki Lurah Glagah Putih mewakili semuanya.
Setelah beberapa hari kemudian menjelang keberangkatan Nyi Pandan Wangi dan rombongan, Ki Lurah Glagah Putih dan Ki Jayaraga kembali ke rumah Ki Gede Menoreh untuk pembicaraan dan persiapan tahap terakhir sehubungan dengan persiapan keberangkatan ke Jati Anom. Tetapi, kali ini Nyi Lurah dan Arya Nakula tidak ikut di dalam pertemuan itu karena semuanya sudah dipercayakan kepada suaminya dan Ki Jayaraga, Nyi Lurah dan Arya Nakula tinggal mengikuti saja. Tetapi, kali ini ada pula Bayu Swandana yang ikut dalam pembicaraan, beberapa hari yang lalu dia tidak ikut karena ditugaskan oleh Nyi Pandan Wangi untuk membantu Ki Prastawa .
"Aku rasa kalian perlu membawa paling tidak dua orang pengawal. Meskipun membuat rombongan itu menjadi semakin besar jumlahnya, tapi mereka bisa membantu menjaga keamanan kalian di perjalanan. Selain itu juga bisa membantu dalam mengawasi anak-anak di perjalanan". Berkata Ki Gede Menoreh setelah semuanya berkumpul di pendapa, duduk bersama di atas tikar dari anyaman daun pandan.
"Benar sekali Ki Gede, lebih baik kita berhati-hati. Bagaimana yang lain?". Bertanya Ki Jayaraga, kepada orang-orang yang akan berangkat.
Sebenarnya di dalam hati Bayu Swandana kurang setuju dengan pendapat kakeknya, karena dia berpendapat bahwa dia merasa sudah bisa menjaga dirinya sendiri. Apalagi bersama Ibunya yang juga orang yang linuwih dan ada Ki Lurah Glagah Putih, meskipun Bayu Swandana belum pernah melihat sendiri secara langsung kemampuannya setinggi apa, tapi berdasarkan cerita orang-orang yang pernah didengarnya, Ki Lurah Glagah Putih adalah salah satu senopati di Mataram, yang tentu saja orang linuwih. Tapi Bayu Swandana tidak berani membantah.
"Aku rasa itu akan lebih baik, Ki Jayaraga. Bagaimana juga kita tidak pernah tahu bahaya apa saja yang akan membayangi kita di sepanjang perjalanan" berkata Nyi Pandan Wangi menanggapi.
"Apakah Arya Nakula sudah bisa berkuda sendiri?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Maaf Ki Gede, meskipun Arya Nakula masih belum bisa dikatakan sebagai penunggang kuda yang baik, tapi aku rasa sudah tidak akan membahayakan dirinya sendiri. Yang penting kita jangan tergesa-gesa di perjalanan" berkata Ki Lurah Glagah Putih menjelaskan.
"Kau tidak perlu khawatir Glagah Putih, kita tidak sedang mengikuti perlombaan berkuda untuk mencari pemenang". Berkata Nyi Pandan Wangi sambil tersenyum menanggapi kata-kata Ki Lurah Glagah Putih.
Ketika mereka masih berbincang-bincang, tiba-tiba Ki Prastawa datang.
"Maaf Ki Gede, dan semuanya. Aku datang terlambat, karena tadi aku menerima pesan mbokayu dari istriku pada saat aku pulang pada waktu selepas matahari terbenam".
"Tidak apa-apa, lagipula ini bukan pertemuan resmi, yang harus datang tepat waktu. Silahkan Prastawa, duduklah". Jawab Nyi Pandan Wangi lalu mempersilahkan tamunya yang baru datang itu.
Kemudian Ki Prastawa mengambil tempat duduk di dekat Ki Jayaraga, di hadapan Ki Gede Menoreh dan Nyi Pandan Wangi. Setelah saling tegur sapa menanyakan keselamatan masing-masing dengan yang lain karena sudah lama tidak bertemu, baru mereka memulai lagi pembicaraan yang serius.
"Jadi begini, Prastawa. Besok pada hari rabu legi aku akan berangkat mengantarkan Bayu Swandana ke Jati Anom, bersama keluarga Glagah Putih. Tapi Ayah dan Sekar Wangi aku tinggalkan, karena akan sangat berbahaya di sepanjang perjalanan. Maka dari itu untuk sementara keamanan Tanah Perdikan Menoreh aku titipkan padamu" berkata Nyi Pandan Wangi kepada Ki Prastawa.
"Baiklah mbokayu, aku akan berusaha dengan sebaik-baiknya" jawab Ki Prastawa sembari menganggukkan kepalanya.
"Dan aku membutuhkan dua orang pengawal untuk menyertai perjalananku ke Jati Anom".
"Baiklah mbokayu, nanti pada saat hari keberangkatan mbokayu akan aku siapkan dua orang pengawal pilihan untuk menyertai mbokayu, apakah ada perintah yang lain?".
"Aku rasa hanya itu saja" jawab Nyi Pandan Wangi.
Pagi yang nampak cerah di Tanah Perdikan Menoreh meskipun matahari belum terlihat menampakkan diri di balik gunung. Terdengar panggilan kewajiban yang sangat merdu bagi umatnya telah berkumandang mengawali pagi itu. Setelah mereka menjalankan kewajiban sebagai hamba Yang Maha Agung, dilanjutkan dengan pekerjaan masing-masing.
Pagi itu, Nyi Pandan Wangi lebih sibuk dari hari biasanya, karena pada hari itu dia akan berangkat ke Jati Anom untuk mengantarkan Bayu Swandana berguru di Padepokan Orang Bercambuk. Dengan dibantu beberapa orang pembantu di rumah Ki Gede Menoreh, Nyi Pandan Wangi melakukan pekerjaan di dapur lebih awal dari biasanya, agar sebelum mereka berangkat sudah makan pagi terlebih dahulu.
Pagi itu, Nyi Pandan Wangi makan pagi bersama-sama Ki Gede Menoreh, Bayu Swandana dan Sekar Wangi. Meskipun masih terlalu pagi untuk makan pagi, tapi karena mereka akan melakukan perjalanan jauh mereka menyempatkan diri agar nanti di perjalanan tidak terganggu karena urusan perut. Setelah mereka selesai, mereka pindah ke pendapa sambil menunggu rombongan yang akan berangkat sesuai yang telah disepakati beberapa hari yang lalu.
"Ternyata kalian sudah datang". Berkata Nyi Pandan Wangi ketika melihat Ki Prastawa dan dua orang pengawal yang akan menyertai perjalanan ke Jati Anom. Meskipun Ki Prastawa tidak ikut mengantar Nyi Pandan Wangi hingga ke Jati Anom, tapi alangkah deksuranya jika dia tidak melepas kepergiannya.
"Iya mbokayu, alangkah tidak pantas jika mereka datang terlambat" jawab Ki Prastawa.
"Benar sekali yang dikatakan Ki Prastawa, Nyi. Maka dari itu beberapa hari yang lalu kami diperintahkan Ki Prastawa untuk datang pagi-pagi sekali" berkata salah satu pengawal menimpali.
"Apakah kalian sudah makan pagi, jika belum makan dulu disini?"
"Karena aku tidak akan ikut rombongan yang akan berangkat, jadi bagiku masih terlalu pagi, mbokayu".
"Sudah Nyi, tadi sebelum berangkat, kami sudah makan pagi terlebih dahulu di rumah".
Ketika mereka sedang berbincang datang pula Ki Lurah Glagah Putih, Nyi Lurah dengan pakaian khususnya, Ki Jayaraga, serta Arya Nakula yang terlihat sudah siap untuk berangkat.
"Apakah kami terlambat?". Bertanya Ki Jayaraga setelah duduk bersama dengan yang lain.
"Tidak Ki Jayaraga, apalagi sinar matahari baru nampak kemerah-merahan. Kami juga baru selesai makan pagi, jika kalian belum makan pagi, makan dulu disini". Berkata Nyi Pandan Wangi.
"Sudah mbokayu, sekarang Guru seperti anak kecil yang sudah tidak sabar untuk berangkat bepergian". Jawab Ki Lurah Glagah Putih sambil tersenyum, yang lain pun ikut tersenyum.
"Apa kau lupa Glagah Putih, aku ini orang padesaan yang tidak pernah bepergian kemana-mana, jadi wajar jika aku sangat bersemangat ketika diajak bepergian" jawab Ki Jayaraga lalu tertawa.
"Tetapi, Guru jangan minta jajan yang aneh-aneh di perjalanan".
Yang mendengar kelakar antara guru dan murid itu tertawa geli. Sejenak kemudian Nyi Pandan Wangi meminta pembantu di rumahnya agar menyiapkan kudanya. Tidak berapa lama pembantu itu kembali dan memberitahukan bahwa kuda-kuda yang akan dibawa di perjalanan sudah siap.
Sekar Wangi yang masih kecil sepertinya bukanlah anak yang manja, meskipun tahu Ibunya akan pergi, tapi dia tidak merengek seperti anak kebanyakan. Nyi Pandan Wangi yang akan berangkat menatap wajah anak perempuannya di pelukannya itu justru dengan rasa haru. Di dalam hati Nyi Pandan Wangi merasa bersyukur telah dikaruniai seorang anak yang tidak manja, bahkan seakan-akan bisa mengerti kesibukan Ibunya yang sering bepergian. Diciumlah kening anaknya itu dan dipeluk dengan eratnya.
"Menurutku, rombongan ini kita pecah menjadi dua kelompok, agar tidak mengundang perhatian orang di sepanjang perjalanan" berkata Ki Jayaraga mengusulkan.
"Benar sekali Ki Jayaraga, tadinya aku juga mau berkata seperti itu. Kita harus berusaha sejauh mungkin untuk menghindari perhatian orang, karena di sepanjang perjalanan, apapun bisa terjadi". Berkata Nyi Pandan Wangi menanggapi dengan masih mendukung anak perempuannya itu.
"Sebaiknya kalian periksa kembali barang-barang yang mau di bawa, agar tidak kecewa nantinya". Berkata Ki Gede Menoreh mengingatkan, yang sedari tadi lebih banyak diam.
"Aku rasa sudah siap semua Ayah, tinggal membawanya saja".
"Jika semuanya sudah siap, sebaiknya kita segera berangkat, mumpung masih pagi dan udara masih sangat segar menyejukkan" berkata Ki Jayaraga.
"Baiklah, mari kita berangkat. Untuk kelompok pertama sebaiknya berangkat lebih dulu, kelompok pertama aku sendiri, Nyi Lurah, dan anak-anak, sisanya kelompok kedua. Kedua kelompok harus menjaga jarak dan harus selalu terhubung dengan isyarat yang telah kita sepakati. Mari kita sama-sama nenuwun, semoga Yang Maha Agung melindungi kita semua" berkata Nyi Pandan Wangi menjelaskan.
Orang-orang yang mendengar penjelasan Nyi Pandan Wangi hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, tanda mereka sudah setuju. Setelah semua sepakat, kelompok pertama akan berangkat lebih dahulu. Setelah mohon diri mereka menuruni tangga pendapa menuju halaman samping rumah tempat bertambatnya kuda-kuda mereka. Sejenak kemudian mereka melarikan kudanya melewati pintu regol dengan pelan-pelan, agar tidak mengejutkan kawula Tanah Perdikan Menoreh. Tidak beberapa lama kelompok yang kedua menyusul.
Ketika rombongan itu melintasi sepanjang jalan di Tanah Perdikan Menoreh, para kawula Tanah Perdikan menoreh yang akan bekerja di sawah atau yang kebetulan melintas di jalan melihat rombongan berkuda itu bertanya-tanya di dalam hati. Siapakah rombongan berkuda pagi-pagi sekali. Pada umumnya, para kawula Tanah Perdikan Menoreh hanya dapat menduga saja. Tetapi setelah melihat siapa rombongan penunggang kuda itu, mereka menjadi lega.
"Tadinya aku kira siapa, rombongan berkuda pagi-pagi begini. Sepertinya Nyi Pandan Wangi dan rombongan akan pergi dalam waktu yang lama?". Bertanya seorang laki-laki sepuh yang nampak masih terlihat gagah dengan kulit legamnya karena sering berjemur di teriknya matahari ketika bekerja di sawah.
"Tidak Ki Darma, kami hanya mengunjungi keluarga di Jati Anom, mari Ki Darma" jawab Nyi Pandan Wangi dengan ramahnya.
"Silahkan, Nyi Pandan Wangi, silahkan".
Di sepanjang perjalanan, ketika masih melintasi wilayah Tanah Perdikan Menoreh Nyi Pandan Wangi banyak mendapat pertanyaan yang hampir sama dari para kawulanya, tetapi Nyi Pandan Wangi tetap menjawab pertanyaan mereka dengan ramah. Meskipun Nyi Pandan Wangi adalah seorang perempuan dan memangku kepemimpinan sementara sebagai kepala Tanah Perdikan, tetapi tidak membuatnya canggung, karena selalu di dampingi oleh Ki Gede Menoreh yang selalu membimbingnya.
Dalam rombongan itu yang terlihat sangat senang sekali adalah Arya Nakula. Hal ini karena dalam perjalanan kali ini sudah di ijinkan oleh kedua orang tuanya menunggangi kuda sendiri. Perjalanan ini pun adalah pengalaman yang sangat berharga baginya.
Tanpa terasa rombongan yang pertama itu sudah semakin mendekati tepian Kali Praga pada saat matahari terbit. Kemudian mereka menuruni tepian Kali Praga yang landai itu. Pagi itu terlihat belum begitu ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang dengan kepentingannya masing-masing. Hanya ada dua orang yang akan ikut menyeberang, sepertinya sepasang kakek nenek yang berjalan kaki. Sejenak mereka menunggu rakit yang akan menyeberangkan mereka, karena rakit yang akan menyeberangkan mereka masih berada di setengah perjalanan dari sisi timur.
Tidak perlu menunggu waktu yang lama, rakit yang mereka tunggu telah tiba dengan beberapa orang penumpang. Setelah para penumpang rakit itu sudah turun semua, kemudian rombongan Nyi Pandan Wangi menaiki rakit bersama sepasang kakek nenek itu. Tak berapa lama rakit itu mulai dijalankan oleh tukang satang, kelompok yang kedua mulai muncul di tepian kali praga di sisi barat.
"Kalian tidak perlu takut kepada kami, Ki Sanak. Kami tidak berniat jahat". Berkata Nyi Pandan Wangi yang melihat sepasang kakek nenek itu di ujung rakit.
"Maafkan kami Nyi Sanak, kami memang sering merasa ketakutan kepada orang asing. Apalagi Nyi Sanak berdua mengenakan pakaian khusus.
"Oh, maafkan kami Ki Sanak, jika kami membuat kalian ketakutan, tapi percayalah kami bukanlah orang-orang jahat". Jawab Nyi Pandan Wangi yang baru menyadari keadaan dirinya.
Kakek itu yang mendengar kata-kata Nyi Pandan Wangi yang terlihat sareh, mulai percaya jika orang asing yang mereka temui itu bukanlah orang jahat.
"Benar Ki Sanak, kami bukanlah rombongan orang-orang jahat" berkata Nyi Lurah Glagah Putih. Lalu lanjutnya, "sepertinya Ki Sanak akan pergi ke arah kotaraja".
"Benar sekali Nyi Sanak, kami mau menengok cucu, istriku katanya sudah rindu sekali pada cucunya, karena sudah beberapa warsa tidak bertemu".
Tanpa terasa perjalanan rakit itu sudah sampai di sisi timur. Kemudian rombongan Nyi Pandan Wangi meninggalkan sepasang kakek nenek yang berjalan kaki itu. Sepasang kakek nenek yang sudah tidak bisa bergerak dengan cepat itu baru menuruni rakit ketika rombongan Nyi Pandan Wangi sudah melarikan kudanya.
"Maaf Ki Sanak, upahnya sudah dibayarkan Nyi Sanak yang berkuda barusan". Berkata tukang satang ketika sepasang Kakek Nenek itu mau membayar.
"Ternyata mereka benar-benar orang baik Nyi". Berkata kakek itu kepada istrinya, dengan perasaan menyesal.
"Dan kita sudah jahat kepada mereka dengan berprasangka buruk" jawab istrinya.
Sementara itu Nyi Pandan Wangi dan rombongan yang pertama semakin jauh meninggalkan tepian kali praga, dengan diikuti oleh kelompok kedua yang jaraknya tidak terlalu jauh dan selalu terhubung dengan isyarat yang telah disepakati.
Sepertinya perjalanan mereka tidak mengalami gangguan yang berarti, hingga mereka mendekati Kali Opak pada waktu matahari melewati puncaknya. Mereka kemudian berhenti dengan mencari tempat masing-masing untuk beristirahat sekaligus memberikan waktu istirahat kepada kuda-kuda mereka.
"Apakah kau lelah nggér?". Bertanya Nyi Lurah Glagah Putih kepada anaknya, setelah duduk di atas batu yang sama dengan anaknya sembari memasukkan kakinya hingga setinggi betis ke dalam aliran air Kali Opak.
"Badanku terasa pegal-pegal di beberapa tempat ibu, tapi tidak apa-apa" jawab Arya Nakula.
"Arya Nakula, kau adalah laki-laki. Tidak boleh manja". Celetuk Bayu Swandana yang duduk di atas batu besar di tengah kali.
"Tidak begitu Bayu Swandana. Arya Nakula memang masih kecil. Jangan kau samakan dengan dirimu". Berkata Nyi Pandan Wangi sareh, Nyi Lurah Glagah Putih yang mendengarnya hanya tersenyum.
Tidak berapa lama kelompok yang kedua telah sampai di tempat itu pula, kemudian mencari tempat istirahat yang mereka sukai masing-masing. Dua pengawal yang ikut dalam rombongan lebih suka merebahkan dirinya di tepian sungai beralaskan daun talas yang tumbuh liar di tepian sembari membiarkan kuda-kuda mereka beristirahat dan merumput di sepanjang tepian dan meminum air Kali Opak.
"Apakah Guru lelah?". Bertanya Ki Lurah Glagah Putih kepada Ki Jayaraga.
"Meskipun aku sudah semakin sepuh, tetapi jika aku diajak bepergian merasa muda kembali Glagah Putih". Jawab Ki Jayaraga dan yang mendengarnya hanya tersenyum.
"Nanti setelah kita istirahat, di perjalanan kita sambil mencari kedai yang masih buka, kalian pasti sudah lapar, bukankah begitu ngger, Arya Nakula?" bertanya Nyi Pandan Wangi.
"Sebenarnya aku sudah lapar dari tadi Nyi Pandan Wangi. Tapi aku tidak berani menghentikan rombongan, karena aku bukan pemimpin rombongan ini". Berkata Ki Jayaraga mendahului Arya Nakula yang sudah akan bicara.
Nyi Pandan Wangi tersenyum mendengar kelakar Ki Jayaraga. Lalu katanya, “maafkan aku Ki Jayaraga, aku belum bisa menjadi pemimpin yang baik, bahkan untuk urusan perut saja, kalian sampai terlantar".
"Aku hanya bergurau Nyi Pandan Wangi" jawab Ki Jayaraga sambil tertawa.
"Tetapi gurauan Ki Jayaraga itu jadi mengingatkanku bahwa rombongan ini masih ada yang anak-anak".
"Tidak apa-apa mbokayu, biar Arya Nakula juga bisa belajar prihatin". Jawab Nyi Lurah Glagah Putih dengan tersenyum sambil mengelus-elus kepala anaknya itu yang duduk di sebelahnya.
"Karena pengalaman yang hanya kita dengar dari orang lain dengan yang kita alami sendiri itu akan berbeda sekali, Nyi Pandan Wangi. Dengan mereka mengalaminya sendiri itu supaya anak-anak tetap mempunyai penalaran yang wajar dari akibat yang telah mereka lakukan. Dan kita sebagai orang tua hanya bisa mengawasinya agar tetap di jalan Yang Maha Agung" berkata Ki Jayaraga.
"Ucapan Ki Jayaraga itu jadi mengingatkan masa kecilku hingga remaja yang selalu dimanjakan orang tua dengan keadaan yang bisa dibilang serba berkecukupan. Hingga suatu ketika aku dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang merubah penalaran serta jalan hidupku hingga sekarang ini" berkata Nyi Lurah Glagah Putih menimpali.
Sejenak mereka terdiam dengan angan-angannya masing-masing. Setelah beberapa lama mereka merasa cukup beristirahat, mereka akan segera melanjutkan perjalanan. Mereka mendekati kudanya masing-masing yang terlihat sudah cukup beristirahat pula setelah perjalanan jauh dari Tanah Perdikan Menoreh.
Tidak berapa lama kemudian mereka meninggalkan Kali Opak itu. Seperti saat berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka tetap dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama lebih dahulu meninggalkan Kali Opak itu, beberapa saat kemudian baru kelompok yang kedua menyusul di belakangnya. Agar mengurangi pusat perhatian orang-orang yang melihatnya di sepanjang perjalanan, apalagi di depan mereka akan melintasi padukuhan-padukuhan yang tentu saja akan banyak orang yang melihatnya.
Setelah beberapa lama Nyi Pandan Wangi dan kelompoknya yang pertama berkuda telah melihat kedai yang masih buka. Meskipun sebuah kedai yang sederhana tapi sekilas terlihat bersih. Nyi Pandan Wangi memberikan isyarat untuk mampir di kedai itu, yang lain pun mengikuti saja. Ketika mereka sudah sampai di depan kedai, mereka segera turun dari kuda dan menambatkan di pada patok-patok yang sudah disediakan, dan masuk ke dalam kedai.
Di dalam kedai itu terlihat sepi, tidak terlihat pengunjung sama sekali. Nyi Pandan Wangi memilih tempat di pojok kiri dari pintu masuk. Pemilik kedai yang melihat ada tamu yang datang, segera mendatanginya dan melayaninya dengan baik.
Pemilik kedai itu seorang perempuan yang sudah melewati umur separuh baya dan agak gemuk tapi terlihat sangat ramah meskipun mendapati tamu orang asing. Setelah menanyakan pesanan para tamunya, pemilik kedai itu segera kembali dengan membawa pesanan, bersama seorang gadis pembantunya.
"Maaf Nyi, aku lihat makananmu masih lengkap tapi aku lihat tamumu masih sepi?". Bertanya Nyi Lurah Glagah Putih kepada pemilik kedai.
"Oh , sebenarnya memang kedai ini buka karena nanti malam akan ada pagelaran wayang kulit, di ujung jalan itu Nyi Sanak" jawab pemilik kedai ramah. Lalu katanya lagi, "sepertinya aku juga baru melihat Nyi Sanak semua?".
"Oh, kami memang bukan berasal dari daerah sekitar sini Nyi, kami dari Tanah Perdikan Menoreh". Kali ini Nyi Pandan Wangi yang menjawab.
"Tanah Perdikan Menoreh yang berada di seberang Kali Praga itu?" bertanya pemilik kedai itu sedikit terkejut.
"Benar sekali, Nyi Sanak pernah ke Tanah Perdikan Menoreh kah?".
"Oh tidak, aku hanya sering mendengar cerita suamiku dulu waktu masih menjadi prajurit, tapi sekarang sudah lama purna tugas dari keprajuritan".
***
Sementara itu, di Padepokan Orang Bercambuk sore itu menjelang matahari terbenam masih disibukkan dengan pekerjaan dan tugasnya masing-masing. Meskipun padepokan itu bukanlah sebuah perguruan yang besar tetapi tetap menjaga bobotnya sebagai sebuah perguruan sebagaimana pesan mendiang Kyai Gringsing, selaku pendiri padepokan.
Di Padepokan Orang Bercambuk memang selain para cantrik belajar pengetahuan tentang kanuragan, mereka juga dibekali dengan pengetahuan lain seperti bertani, beternak dan pengetahuan yang lain untuk menopang hidup dalam belajar ilmu kanuragan tanpa mengganggu tujuan utamanya itu sendiri. Bahkan mereka dibekali pula dengan pengetahuan bagaimana hidup bebrayan terhadap sesama, agar mereka bisa berbaur dengan masyarakat sekitarnya, sehingga pada saat mereka kembali kepada kehidupan bermasyarakat tidak akan canggung.
Padepokan Orang Bercambuk juga membekali dengan pengetahuan tentang obat-obatan. Bagi siapa pun cantrik yang tertarik dipersilahkan untuk belajar tanpa sebuah paksaan. Maka dari itu, seringkali orang-orang di sekitar padepokan minta pertolongan untuk mengobati keluarga atau sanak kadangnya.
Ketika masih hidup, Kyai Gringsing selalu memberikan pesan kepada para cantrik supaya padepokan itu bisa memberikan manfaat bagi sesama termasuk orang-orang di sekitarnya. Jadi, meskipun sekarang padepokan itu sudah lama ditinggalkan oleh Kyai Gringsing itu sendiri, padepokan itu tetap berusaha menjaga pesan-pesan Kyai Gringsing dengan baik.
Sore itu terdengar suara derap kaki kuda, bukan hanya seekor tapi sepertinya beberapa ekor. Semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin jelas, rombongan berkuda yang akan menuju ke Padepokan Orang Bercambuk.
Rupanya padepokan akan kedatangan tamu. Menilik wajah-wajahnya, sepertinya kedatangan mereka membawa maksud kurang bersahabat. Sejenak kemudian mereka telah sampai pada pintu regol padepokan yang dijaga oleh beberapa orang cantrik yang sedang bertugas.
"Tolong panggilkan pemimpin kalian". Berkata salah seorang yang baru saja datang dan masih berada di punggung kudanya yang terlihat berpakaian rapi.
"Maaf Ki Sanak, apakah kalian sudah lupa akan subhasita bertamu?" bertanya salah satu cantrik penjaga pintu regol padepokan.
"Jangan ajari aku tentang subhasita, cepat panggilkan pimpinanmu, aku ada urusan dengannya" bentak orang itu lagi.
"Maaf Ki Sanak, bukan maksudku untuk mengajarimu tentang subhasita. Tapi apakah pantas jika Ki Sanak bertamu dengan cara seperti itu?".
"Ternyata kau banyak bicara, jika kau masih bicara akan aku pecahkan kepalamu" teriak orang itu yang semakin marah.
Tiba-tiba Ki Agahan keluar dari dalam padepokan, kemudian menyambut tamu-tamunya yang sepertinya kurang mengenal tata krama. Ketika seorang cantrik akan memberikan laporan, Ki Agahan segera memberikan isyarat agar cantrik penjaga itu diam saja, "biarkan aku yang mengurusnya".
"Siapa kau yang berani menemuiku? Panggil pemimpinmu, aku ada urusan yang harus diselesaikan" berkata orang itu setengah berteriak.
"Maafkan kami Ki Sanak, kebetulan akulah yang dituakan di sini".
"Jadi kau kah pemimpin padepokan ini?".
"Begitulah Ki Sanak" jawab Ki Agahan yang masih tetap sareh.
"Aku meminta pertanggung jawabanmu sebagai pemimpin padepokan ini".
"Apakah yang sudah aku lakukan Ki Sanak?" bertanya Ki Agahan heran.
"Memang benar bukan kau pelakunya, tapi murid-muridmulah yang telah menyakiti anak kesayanganku. Beberapa waktu yang lalu".
"Jika aku boleh tahu, apakah yang sudah diperbuat murid-muridku?".
"Jangan pura-pura bodoh Ki Sanak, pasti murid-muridmu sudah memberikan laporan kepadamu kejadian beberapa waktu yang lalu di dekat pasar di ujung padukuhan ini".
"Apakah Ki Sanak yakin, jika yang melakukan itu adalah benar murid-muridku?".
"Kau jangan membodohiku Ki Sanak, karena setelah kejadian itu, beberapa kawan anakku telah mengikuti muridmu sampai ke padepokan ini, jadi kau tidak akan bisa mengelak lagi. Aku hanya ingin kau menyerahkan murid-muridmu itu untuk aku mintai pertanggung jawaban, aku sengaja menemuimu agar tidak disebut licik hanya untuk menghadapi anak-anak" berkata orang itu yang terlihat semakin marah.
Ki Agahan meskipun seorang pemimpin sebuah perguruan, tetapi dia bukanlah orang yang suka peperangan. Apalagi Ki Agahan masih teringat akan pesan Kyai Gringsing. Peperangan adalah cara terburuk dalam menyelesaikan masalah.
Maka dari itu Ki Agahan sebenarnya sudah berusaha menghindari kekerasaan sejauh mungkin. Tetapi sepertinya dalam keadaan seperti itu sudah tidak bisa mengelak lagi dan hanya dapat menarik napas dalam-dalam beberapa kali.
"Apa kau tuli, he?". Bentak orang itu yang sudah semakin marah dan tidak sabar.
"Jangan garang seperti itu Ki Sanak, marilah kita bicarakan ini baik-baik".
"Jika seperti ini kita hanya membuang-buang waktu saja Ki Panji Surajaya". berkata orang yang tinggi besar dengan penuh jambang dan kumis dan ikat kepala yang tidak rapi.
"Kau benar Ki Gadung Alasan". berkata Ki Panji Surajaya. Lalu katanya lagi yang sekarang ditujukan kepada Ki Agahan. "Serahkan murid-muridmu itu Ki Sanak, atau aku memaksanya dengan kekerasan?"
"Jika Ki Sanak sudah tidak bisa aku ajak bicara baik-baik lagi, biarlah urusan anak-anak menjadi urusan anak-anak, urusan orang tua, biarlah menjadi orang tua". jawab Ki Agahan yang kali ini nampak tegas.
Kejadian di depan pintu regol Padepokan itu menarik perhatian para Cantrik, dan tak terkecuali Ki Untara yang terlihat keluar dari dalam Padepokan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Salah satu Cantrik telah memberikan laporan apa yang terjadi kepada Ki Untara secara singkat. Setelah mendengar laporan, Ki Untara pun segera mengatur para Cantrik yang sedang berkerumun untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan paling buruk sekalipun.
Meskipun Ki Untara sudah lama purna tugas dari keprajuritan, tapi bekas Senopati Mataram yang dulu terbiasa dalam perang kecil maupun besar, masih terlihat pandai mengatur para Cantrik saat menghadapi peperangan.
Untuk menghadapi tamu orang-orang linuwih yang baru datang, Ki Untara memerintahkan beberapa Cantrik utama untuk mendampingi Ki Agahan, yang sepertinya sudah mendapatkan lawan.
"Aku senang sekali menghadapi keadaan seperti ini, dengan begitu pekerjaanku akan semakin cepat selesai" berkata Ki Panji Surajaya lalu tertawa.
"Jangan kau kira kami akan bermain keroyokan Ki Sanak, kami hanya menyesuaikan lawan yang kami hadapi saja. Dan yang lainnya hanya sebatas menjadi saksi". Ki Agahan menimpali.
"Sombong sekali kau Ki Sanak. Untuk menghadapi aku saja, kau dan seisi padepokan ini belum tentu mampu".
"Untuk apa aku mengerahkan seisi Padepokan ini hanya untuk menghadapi seorang pemabuk seperti kau?".
"Kau rupanya belum pernah mengenal aku, di daerah Penanggulan, tidak ada yang berani menentang kemauanku".
Meskipun Ki Agahan dan beberapa Cantrik utama yang akan menghadapi tamu-tamunya itu tidak gentar sedikitpun, tapi setelah mendengar ucapan Ki Panji Surajaya membuat mereka harus lebih hati-hati.
Karena tidak mungkin jika orang itu tidak mempunyai bekal yang cukup berani menyombongkan diri.
Sejenak kemudian Ki Panji Surajaya melompat dari kudanya dan langsung menyerang Ki Agahan, yang nampaknya sudah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dalam serangan yang pertama itu, serangan Ki Panji Surajaya hanya mengenai tempat kosong ketika menyerang ke arah kening dengan kaki kanannya. Karena Ki Agahan telah memiringkan tubuhnya.
Ki Panji Surajaya yang sudah menduga, dengan cepat membalikkan badannya lalu melibat Ki Agahan dengan serangan yang membadai.
Pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu rupanya sangat tatag dalam meladeni serangan tersebut. bahkan untuk beberapa lama sepertinya Ki Panji Surajaya menemui kesulitan untuk menembus pertahanan yang kokoh itu.
Ketika sebuah arena perang sudah dimulai beberapa saat, tapi yang lain masih terlihat menonton saja, maka di sela-sela pertempurannya Ki Panji Surajaya pun berteriak, "he..apa kerja kalian? kalian aku bayar bukan untuk menjadi penonton".
Orang-orang yang merasa di sebut itu tampak tergagap, lalu mencari lawannya masing-masing. Ki Gadung Alasan sudah dihadang seseorang yang berperawakan sedang dengan kumis tipisnya.
"Siapa kau yang berani menjadi lawan Ki Gadung Alasan?"
"Aku Putut Witarsa, Cantrik Padepokan ini".
Ki Gadung Alasan yang mendengar jawaban itu tertawa, lalu katanya, "kau hanya seorang Putut sudah berani menghadapi aku? apa kau sudah bosan hidup?".
"Bukan Kau yang menentukan umurku, Ki Gadung Alasan".
"Aku sudah banyak membunuh orang, apalagi hanya seorang Putut Padepokan, mungkin sudah tak terhitung lagi".
"Jika tadi aku tidak salah dengar, kau ini adalah orang-orang bayaran. Alangkah kejamnya kau telah membunuh orang hanya demi sekeping atau dua keping uang".
"Aku belum lama menjalani pekerjaan ini Putut Witarsa, dulu aku adalah begal dan merampok. Dan aku tidak segan-segan menghabisi korbanku jika melawan".
"Ternyata pekerjaanmu sangat nista dan merugikan bagi kehidupan bebrayan agung, Ki Gadung Alasan. Bertobatlah dan sudah saatnya pekerjaanmu itu dihentikan".
"Memangnya Kau siapa berani sesorah di depan Ki Gadung Alasan, Ki Sanak". berkata Ki Gadung Alasan setengah berteriak karena mulai marah.
"Aku hanya mengingatkanmu".
Sebelum Putut Witarsa selesai bicara, Ki Gadung Alasan menyerang dibarengi sebuah teriakan. Putut Witarsa yang agak terlambat menyadari keadaan tidak ada waktu lagi untuk menghindar.
Dengan terpaksa Putut itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. benturan yang pertama pun tak bisa terhindarkan. Sejenak keduanya bergetar surut.
Meskipun benturan itu masih dalam tataran yang masih rendah dalam kanuragan, tapi bagi keduanya itu sedikit banyak sudah bisa menjadikan gambaran kemampuan lawannya.
"Pantas saja kau berani sesorah di depanku Putut Witarsa".
"Ki Gadung Alasan terlalu memuji".
"Kau jangan berbangga dulu Ki Sanak, aku belum meningkatkan kemampuanku"
Sejenak kemudian Ki Gadung Alasan mulai menyerang Putut Witarsa dengan lebih mapan. semakin lama pertarungan keduanya semakin meningkat pada tataran berikutnya.
Sementara itu Ki Panji Surajaya yang melawan Ki Agahan sudah mulai memasuki tataran ilmu puncak masing-masing. hanya sesekali saja mereka bisa menembus pertahanan lawannya.
Seiring dengan mereka meningkatkan ilmunya, mereka juga meningkatkan daya tahan tubuh mereka. untuk mengurangi rasa sakit ketika terjadi akibat benturan.
"Jarang sekali ada orang yang mampu bertahan ketika aku mencapai tataran puncak ilmuku". berkata Ki Panji Surajaya saat mereka mengambil jarak.
"Ki Panji Surajaya terlalu memuji".
"Tapi kau jangan bangga dulu Ki Sanak, sekarang aku sudah tidak main-main lagi". jawab Ki Panji Surajaya yang kemudian mengeluarkan senjata andalannya.
Sebuah Keris luk sembilan yang terlihat hitam legam. Ki Agahan yang melihat senjata andalan lawannya itu sejenak mengerutkan keningnya saat melihatnya dengan seksama.
"Senjata yang sangat berbahaya dan beracun". berkata Ki Agahan kemudian.
Ki Panji Surajaya yang mendengarnya tertawa penuh kebanggan. Lalu katanya, "jika kau menyerah, aku pastikan kau tidak akan merasa kesakitan saat selembar nyawamu itu terpisah dari ragamu Ki Sanak".
"Kau tidak mempunyai wewenang menentukan umur seseorang, jika Yang Maha Agung masih berbelas kasih kepadaku, maka aku akan tetap hidup".
"Jika senjata andalanku ini sekali keluar dari warangkanya, pasti akan meminta tumbal, meskipun hanya menyentuh tubuhmu seujung rambut, aku pastikan nyawamu yang selembar itu tidak akan mampu kau selamatkan".
"Aku mengerti jika Keris itu mengandung warangan yang sangat kuat dan racunnya sangat berbahaya, tapi itu terjadi jika kerismu itu menyentuh tubuhku".
"Setan Alas, baru kali ini aku mendengar lawanku yang sudah akan aku kirim ke alam kelanggengan masih berani menyombongkan diri". berkata Ki Panji Surajaya yang menjadi marah.
Tanpa peringatan terlebih dahulu, Ki Panji langsung menyerang Ki Agahan secara membadai. Tapi Ki Agahan adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga tidak menjadi gugup karenanya.
Ki Agahan mampu menghindari serangan-serangan itu dengan bergeser dan melompat kesana kemari. Karena dia sangat menyadari jika sedikit saja keris itu menyentuh tubuhnya, maka akan berakibat sangat buruk.
Semakin lama Ki Panji Surajaya, mampu menekan pertahanan Ki Agahan yang belum menggunakan senjata andalannya. Hingga suatu ketika pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu terdesak.
"Setan Alas , Iblis Laknat". teriak Ki Panji Surajaya tiba-tiba setelah mendengar suara seperti guntur yang memekakkan telinga di dekatnya.
"Maafkan aku Ki Sanak, jika itu telah mengejutkanmu". berkata Ki Agahan sambil tersenyum.
"Suara cambuk yang mengejutkanku itu hanya pantas untuk menakuti hewan-hewan gembalaanmu, bukan untuk menakuti lawanmu di medan perang, Ki Sanak". berkata lawan Ki Agahan yang kemudian tertawa keras.
Ki Agahan memutar cambuknya di atas kepala lalu menghentakkan sendal pancing, tapi kali ini tidak menimbulkan suara meledak yang memekakkan telinga, hanya menimbulkan suara seperti berdesis saja. Tapi akibatnya sangat dahsyat, seakan-akan merontokkan isi dada lawannya.
"Setan Alas, kau sengaja mempermalukanku Ki Sanak. tadi aku sudah terlanjur menertawakan permainan cambukmu". teriak Ki Panji Surajaya sangat marah.
Ki Agahan yang mendengar makian dari lawannya hanya tersenyum sembari memegang tangkai cambuk dengan tangan kanan dan ujungnya di tangan kiri.
Kemudian keduanya kembali terlibat pertarungan yang sangat sengit dengan senjata andalan di tangan. Seakan-akan senjata mereka mampu menjadi perisai di saat bertahan, tapi di waktu lain bisa seperti menjadi alat pembunuh yang sangat berbahaya.
Sementara dua orang kawan Ki Gadung Alasan semakin terdesak melawan Cantrik utama Padepokan Orang Bercambuk, dengan lawannya masing-masing.
Keduanya yang sama-sama bersenjatakan pedang, seakan-akan sangat kesulitan menghadapi Cantrik yang bersenjatakan cambuk. semakin lama mereka semakin terdesak.
Terdengar sumpah serapah yang sangat kotor, ketika salah satunya di patuk ujung cambuk yang berkarah baja itu. ia pun mengambil beberapa langkah mengambil jarak untuk memeriksa pundaknya.
"Benar-benar senjata iblis". berkata kawan Ki Gadung Alasan yang telah menyadari jika pundaknya terluka dan mengeluarkan darah segar.
Dengan penuh kemarahan ia pun menyerang kembali Cantrik yang telah melukainya. Tetapi semakin lama dia bertempur, justru luka-luka di tubuhnya semakin bertambah banyak, dan mengeluarkan darah.
Kawannya yang seorang lagi juga bernasib tidak lebih baik dari dirinya. bahkan sudah tak mampu bangkit lagi dengan beberapa luka di tubuhnya, tapi masih dengan keadaan sadar.
Ki Gadung Alasan sendiri yang bersenjatakan sepasang kapak di tangan juga sepertinya kesulitan melawan Putut Witarsa yang bersenjata lentur dan panjang.
"Iblis laknat, kau berani sekali melukai Ki Gadung Alasan". berkata Ki Gadung Alasan yang sangat marah setelah lambungnya di patuk ujung cambuk.
Lawan Putut Witarsa yang terluka itu justru kembali menyerang dengan membabi-buta. dia tidak menghiraukan luka di tubuhnya yang semakin lama semakin banyak mengeluarkan darah.
Sementara di arena Ki Agahan dan Ki Panji Surajaya yang sudah memasuki tataran ilmu puncak masing-masing dengan senjata di tangan. Tapi Ki Panji Surajaya sepertinya masih sangat kesulitan menembus pertahanan Ki Agahan yang bersenjatakan sebuah cambuk.
Hingga suatu ketika cambuk Ki Agahan mampu mematuk lengan kiri lawannya. dengan teriakan penuh kemarahan ia pun mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Ki Agahan sengaja tidak memburunya, dia sengaja memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menilai keadaan. Darah segar keluar dari bekas patukan ujung cambuk pemimpin Padepokan Orang Bercambuk.
"Senjata iblis, aku akan membunuhmu karena sudah berani melukaiku".
"Berpikirlah yang wajar Ki Sanak, lihatlah kawan-kawanmu juga. Mereka sepertinya menemui kesulitan".
Ki Panji sejenak melihat kawan-kawannya yang sepertinya menemui kesulitan untuk bertahan. hanya Ki Gadung Alasan saja yang masih mampu bertempur meskipun sudah terluka di beberapa tempat pada tubuhnya.
"Persetan dengan mereka, aku akan tetap membunuhmu".
"Ternyata kau adalah orang yang berkeras hati, Ki Panji Surajaya".
"Selama ini aku adalah orang yang tidak terkalahkan. Aku pasti dapat membunuhmu".
"Ternyata kesombonganmu telah menutup akal sehatmu, sehingga kau tidak dapat memberikan penilaian yang wajar pada keadaan". jawab Ki Agahan, lalu menarik nafas dalam beberapa kali.
"Bersiaplah Ki Sanak, aku akan merambah ke ilmu pamungkasku, Jika kau merasa ketakutan dan menyerah, aku akan membunuhmu tanpa kau merasa kesakitan".
Kemudian Ki Panji mempersiapkan diri dengan memusatkan nalar dan budinya untuk melepaskan ilmu pamungkasnya.
Direndahkanlah kedua kakinya, keris kebanggaannya dipegang berdiri dengan tangan kanannya, lalu kedua jari tangan kirinya di tempelkan di ujung keris di depan wajah.
Tidak berapa lama Keris itu seperti menyala meskipun redup dan asap tipis keluar dari keris yang menyala itu.
Ki Agahan yang melihat sikap lawannya itu tidak mau mengambil resiko. Ia pun segera bersiap mengeluarkan ilmu pamungkasnya, untuk melawan ilmu pamungkas lawannya.
Dipusatkanlah nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu puncaknya, dibarengi dengan peningkatan daya tahan tubuhnya, agar saat terjadi benturan akan mengurangi akibatnya. dan diputarlah Cambuk di atas kepalanya.
Dari ujung Keris Ki Panji Surajaya keluar sinar hitam kemerah-merahan dari pancaran ilmu pamungkasnya yang menghujam ke arah Ki Agahan secepat kilat.
Disaat yang bersamaan, Ki Agahan telah mengeluarkan ilmu pamungkasnya yang berwarna hijau kebiruan.
Terjadilah benturan ilmu yang sangat tinggi dari kedua orang yang saling berlawanan. Dan akibatnya sangat dahsyat sekali. Seolah-olah udara di sekitar meledak.
Ki Agahan terdorong beberapa langkah surut, sebelum akhirnya jatuh dengan kedua lututnya. Dari ujung bibirnya nampak melelehkan sedikit darah.
Akibat yang berbeda terjadi pada Ki Panji Surajaya yang terlempar beberapa langkah, sebelum akhirnya terbanting di depan pintu regol Padepokan Orang Bercambuk.
Sepertinya kemampuan Ki Agahan masih berada selapis tipis di atas Ki Panji Surajaya. Sehingga akibat benturan itu lebih banyak memantul kembali kepada orang yang ilmunya lebih rendah.
Kawan Ki Gadung Alasan itu tampak menggeliat beberapa kali sebelum akhirnya terdiam tak bergerak. Entah hanya pingsan atau diam untuk selama-lamanya.
"Ki Panji Surajaya". teriak Ki Gadung Alasan yang menyadari keadaan. Lalu ia pun berlari menghampiri majikannya itu.
Putut Witarsa yang menyadari lawannya berlari menghampiri kawannya pun melakukan hal yang sama dengan menghampiri Ki Agahan yang tampaknya terluka dalam, setelah terjadi benturan ilmu pamungkas.
Ki Untara pun yang sedari tadi hanya menyaksikan pertempuran di depan pintu regol Padepokan ikut berlari menghampiri Ki Agahan yang terluka yang diikuti para cantrik.
Ki Agahan yang menyadari keadaan, segera ingin mengambil obat pada bumbung kecil yang di tutup gabus, yang selalu dibawanya di samping ikat pinggangnya dengan tangan yang gemetar.
Putut Witarsa yang melihatnya segera membantu Ki Agahan untuk mengambil obat, lalu menyerahkan dua butir. Obat itu hanya bersifat sementara karena hanya meningkatkan daya tahan tubuh saja.
"Tolong ambilkan air". berkata Putut Witarsa kepada seorang Cantrik yang berdiri di sebelahnya.
Tanpa perlu diulangi, cantrik itu segera berlari ke dalam dan tak lama kemudian membawa sebuah kendi dari tanah liat yang berisi air minum.
"Tolong biarkan aku memperbaiki keadaanku dulu". berkata Ki Agahan setelah minum dua butir obat.
Kemudian pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu duduk bersila dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Lalu memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki keadaannya.
Ki Untara yang melihat keadaan Ki Agahan tidak mengkhawatirkan segera menghampiri Ki Panji Surajaya yang telah ditunggui oleh Ki Gadung Alasan.
"Bagaimana keadaan Ki Panji Surajaya?"
"Dia sudah tidak tertolong"
"Apakah kau masih ingin melanjutkan pertempuran?" bertanya Ki Untara.
"Tidak Ki Sanak, aku menyerah". jawab Ki Gadung Alasan yang wajahnya semakin pucat ketakutan dan kebingungan.
"Baiklah, aku akan mengampunimu kali ini. Sekarang tugasmu adalah menyelenggarakan pemakaman bagi Ki Panji Surajaya dengan sewajarnya".
"Ki Sanak, jika di perkenankan, aku ingin membawa mayat Ki Panji Surajaya kepada keluarganya di Penanggulan".
"Baiklah, itu adalah urusanmu. tapi aku hanya ingin mengingatkan jika ini adalah akibat yang sangat buruk dari kejadian sepélé. Nilailah kembali dengan kewajaran tentang baik buruknya kejadian, sehingga kau tidak akan terjerumus kedalam lubang yang sama".
"Baiklah Ki Sanak, aku akan mengingatnya".
"Sebaiknya obatilah luka di tubuhmu juga kawan-kawanmu itu sebelum terlambat. Jika tak segera diobati kau bisa kehabisan darah, lalu ajaklah kawan-kawanmu pergi, sebelum aku berubah pikiran".
"Terima kasih , terima kasih , Ki Sanak".
Ki Gadung Alasan mengambil bumbung kecil di samping ikat pinggangnya, lalu menaburkan obat yang berupa serbuk-serbuk halus.
Perasaan pedih yang sangat menyengat setelah obat itu ditaburkan, tapi hanya beberapa saat. Perasaan pedih yang menyengat itu mulai memudar di barengi darah yang mulai pampat.
Lalu dengan langkah tertatih-tatih, Ki Gadung Alasan dan kawan-kawannya menghampiri kuda-kudanya, kemudian pergi meninggalkan Padepokan Orang Bercambuk sembari membawa mayat Ki Panji Surajaya.
Ki Agahan yang sudah selesai memperbaiki keadaannya lalu berdiri, meskipun keadaannya masih lemah karena terluka dalam tapi dua butir obat yang tadi di minumnya sangat membantu sekali.
Ketika seorang Cantrik akan membantunya, Ki Agahan menolak karena merasa sudah dapat berjalan sendiri. Dengan berjalan perlahan-lahan ia pun berjalan memasuki Padepokan.
Tidak lama kemudian para Cantrik yang berkerumun di depan pintu regol mulai membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masing-masing, hanya Ki Untara dan beberapa Cantrik utama saja yang kemudian berbincang di pendapa.
"Ternyata masih ada saja orang yang mengorbankan dirinya hanya untuk hal yang bisa dibilang sepélé " berkata Ki Untara setelah berkumpul di pendapa.
"Benar sekali Ki Untara, kesombongan mereka telah memburamkan penalaran, sehingga menjerumuskan mereka ke dalam petaka" jawab Putut Witarsa.
"Aku harap kejadian ini tidak ada kelanjutannya lagi".
"Maksud Ki Untara ?" tanya salah seorang murid utama.
"Aku harap kematian Ki Panji Surajaya tidak menimbulkan dendam keluarganya atau yang mengatasnamakan sanak kadangnya". jawab Ki Untara.
"Kami juga berharap seperti itu, Ki Untara". Putut Witarsa menimpali.
"Semoga saja, mari kita sama-sama nenuwun". berkata Ki Untara.
Pembicaraan itu kemudian terputus ketika ada dua Cantrik yang menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Kemudian pembicaraan mereka mulai bergeser ke hal-hal yang lain, yang menarik bagi mereka.
* * *
Sementara itu di Kademangan Sangkal Putung, beberapa saat setelah matahari tenggelam. Nyi Sekar Mirah yang baru saja selesai menjalankan kewajiban sebagai hamba Yang Maha Agung masih berada di biliknya.
Samar-samar Nyi Sekar Mirah mulai mendengar suara derap kaki kuda, sepertinya beberapa ekor. Semakin lama mendekati rumahnya.
"Siapakah gerangan yang datang malam-malam begini". berkata Nyi Sekar Mirah dalam hati.
Tidak beberapa lama pintu bilik Nyi Sekar Mirah di ketuk.
"Siapa ?" tanya Nyi Sekar Mirah yang masih berada di dalam biliknya.
"Maaf Nyi, aku adalah pengawal yang bertugas, ingin melaporkan bahwa ada tamu yang mencari Nyi Sekar Mirah".
"Siapa mereka ?".
"Maaf Nyi, mereka tidak mau menyebutkan namanya".
"Baiklah, suruh tunggu di pendapa. Aku akan segera datang".
Tidak berapa lama Nyi Sekar Mirah pun keluar dari dalam biliknya dan langsung menuju ke pendapa. Tapi beberapa langkah sebelum Nyi Sekar Mirah memasuki pendapa tampak tertegun.
"Mbokayu Pandan Wangi". teriak Nyi Sekar Mirah yang terkejut setelah menyadari siapa yang datang.
Orang yang namanya disebut kemudian berdiri sambil tersenyum. Tanpa mereka sadari mereka saling menghampiri dengan setengah berlari.
Mereka pun saling berpelukan dengan eratnya. Perasaan rindu yang sangat dalam membuat mereka melupakan orang di sekitarnya, tanpa terasa air mata bahagia menetes dari kedua mata orang itu.
Disela-sela tangis kebahagiannya, Nyi Sekar Mirah kembali mendengar derap kaki kuda. Dengan tergesa-gesa iapun memperbaiki keadaannya. Berbagai dugaan terselip di benaknya.
Nyi Pandan Wangi yang menyadari gerak-gerik adik mendiang suaminya itu hanya tersenyum, dan sengaja memberikan kesempatan untuk menduga-duga.
"Kenapa mbokayu Pandan Wangi tersenyum ?". bertanya Nyi Sekar Mirah.
"Karena aku melihat tingkah lakumu".
"Apa ada yang salah dengan tingkah lakuku ?" bertanya Nyi Sekar Mirah menjadi heran.
"Tidak ada yang salah, meskipun kau sedang dikuasai perasaanmu, tapi tidak meninggalkan kewaspadaanmu pada sekitar. Tapi percayalah bahwa yang kau duga itu bukan golongan orang jahat ataupun musuh". berkata Nyi Pandan Wangi menjelaskan.
"Oh..aku sampai lupa. mbokayu Pandan Wangi datang bersama siapa ?"
Tanpa menjawab Nyi Pandan Wangi mengarahkan jarinya ke pendapa, dimana Nyi Lurah Glagah Putih, Bayu Swandana, dan Arya Nakula sedang duduk di tengah pendapa.
Nyi Sekar Mirah segera menghampiri tamu-tamunya. Iapun segera memeluk dengan eratnya murid satu-satunya itu. Tangis kebahagiaan pun pecah saat mereka berpelukan.
Belum selesai Nyi Sekar Mirah menyambut tamu-tamunya di pendapa. Tampak rombongan berkuda memasuki halaman rumah Nyi Sekar Mirah yang sudah di iringi pengawal Kademangan Sangkal Putung yang sedang bertugas.
Ki Jayaraga, Ki Lurah Glagah Putih, dan dua orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja tiba kemudian menambatkan kuda-kuda mereka di tempat yang telah disediakan.
Orang-orang yang berada di pendapa menoleh ke arah tamu-tamu yang baru datang. Nyi Sekar Mirah yang segera mengenali siapa yang datang hanya tersenyum.
"Kedatangan kalian benar-benar mengejutkanku".
Kemudian Nyi Sekar Mirah menyambut semua tamunya dengan penuh kegembiraan, tidak lupa mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing.
Dalam suasana kegembiraan karena sudah sekian lama tidak bertemu, sehingga Nyi Sekar Mirah melupakan sesuatu.
"Ibu, aku haus". celetuk Arya Nakula, membuat orang yang mendengarnya tertawa.
"Maafkan Bibimu ini nggér, saking gembiranya aku menyambut kalian sehingga lupa membuatkan minuman". berkata Nyi Sekar Mirah yang menyadari kesalahannya.
"Biar aku saja yang ke dapur, mbokayu". berkata Nyi Lurah Glagah Putih.
"Alangkah tidak pantas jika seorang Nyi Lurah disuruh mengambilkan minuman". kelakar Nyi Sekar Mirah, lalu tertawa.
Yang lain pun ikut tertawa, kecuali Nyi Lurah Glagah Putih yang wajahnya memerah. Lalu katanya, " sayangnya, disini gelar kepangkatan itu tidak berlaku".
Akhirnya Nyi Sekar Mirah, Nyi Pandan Wangi, serta Nyi Lurah Glagah Putih bersama-sama pergi ke dapur. Jika sudah bertemu, sepertinya ada saja yang mereka bicarakan, apalagi sudah sekian lama mereka tidak bertemu.
Sementara rombongan yang laki-laki menunggu di pendapa, termasuk dua orang pengawal yang menyertai.
"Sekar Mirah, ada yang terlewatkan, dimana Bagus Sadewa ?" bertanya Nyi Pandan Wangi ketika sudah berada di dapur.
"Oh..beberapa pekan yang lalu Bagus Sadewa mulai ikut nyantrik di Padepokan Orang Bercambuk, mbokayu".
"Bagus Sadewa sudah ikut nyantrik ?" Berkata Nyi Pandan Wangi terkejut. Lalu, "apa dia tidak terlalu kecil jika ikut nyantrik ?".
"Meskipun awalnya aku juga sangat berat untuk melepasnya, tetapi setelah kakang Agung Sedayu meyakinkanku, akhirnya aku pun menyetujuinya".
"Mbokayu Pandan Wangi benar, Bagus Sadewa masih sangat kecil jika ikut nyantrik, Karena dengan Arya Nakula umurnya tidak berselisih banyak, hanya satu warsa lebih beberapa candra saja".
"Biarlah dia belajar hidup mandiri, tanpa bayang-bayang orang tuanya. Apalagi jika aku lihat waktu dia di rumah seperti tidak mempunyai kawan bermain, karena anak-anak tetangga kebanyakan merasa sungkan jika berkawan dengan Bagus Sadewa". berkata Nyi Sekar Mirah menjelaskan.
"Begitu rupanya". kemudian Nyi Pandan Wangi mengangguk beberapa kali. lalu lanjutnya, "tapi aku yakin jika itu bukan alasan utamanya mengapa Bagus Sadewa di kirim ke Padepokan Orang Bercambuk ?". tanya Nyi Pandan Wangi lagi.
"Aku tidak bisa menjelaskan lebih jauh, jika kalian ingin tahu bertanyalah kepada Ayahnya". berkata Nyi Sekar Mirah, lalu tersenyum.
Pembicaraan mereka kemudian terputus saat mereka harus membawa minuman dan beberapa potong makanan ke pendapa. Tidak lupa sebelum Nyi Sekar Mirah meninggalkan dapur berpesan kepada dua pembantunya untuk menyiapkan makan malam bagi mereka.
Wedang jahé yang masih hangat dengan gula kelapa memang terasa sangat menyegarkan. Apalagi bagi Ki Jayaraga yang sudah sepuh. Dan untuk beberapa saat mereka menikmati hidangan yang disajikan.
Setelah mereka menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan, mereka bergantian ke pakiwan untuk membersihkan diri.
Selesai makan malam mereka kembali berbincang-bincang di pendapa.
"Sebenarnya aku kecewa, mbokayu Pandan Wangi tidak membawa serta Sekar Wangi". berkata Nyi Sekar Mirah.
"Akupun sudah menduganya, tapi bukankah itu akan sangat berbahaya jika harus membawanya". jawab Nyi Pandan Wangi.
"Sebenarnya aku sangat rindu ingin menggendongnya, tapi apa boleh buat".
"Nanti jika kau ada waktu kunjungilah Tanah Perdikan Menoreh, itu akan lebih baik".
"Baiklah, meskipun aku sendiri belum tahu kapan waktunya, karena sekarang aku sudah terikat tanggung jawab".
"Mbokayu Sekar Mirah, dari tadi aku tidak melihat Bagus Sadewa?". bertanya Ki Lurah Glagah Putih mengalihkan pembicaraan.
Nyi Sekar Mirah yang menyadari baru memberitahukan kepada Nyi Pandan Wangi dan Nyi Lurah Glagah Putih lalu menjelaskan kepada orang-orang yang berada di pendapa.
"Di Padepokan Orang Bercambuk sendiri ada kakang Untara dan anak-anaknya".
"Syukurlah kalau begitu, jadi Bagus Sadewa tidak merasa sendiri" Ki Lurah Glagah Putih menimpali.
"Aku ikut bersyukur, bahwa di hari tuanya kakang Untara mau ikut nyengkuyung Padepokan, sehingga membuat Padepokan itu semakin hidup". berkata Nyi Sekar Mirah.
"Kau benar Sekar Mirah, karena memang murid-murid utamanya mendiang Kyai Gringsing terlalu disibukkan tugasnya masing-masing, sehingga seperti tidak mempunyai waktu". Nyi Pandan Wangi menimpali.
"Aku sendiri mengakui jika tugasku seperti tidak pernah berhenti, justru semakin bertambah. Bahkan untuk mengunjungi padepokan saja aku harus menyempatkan diri". gumam Ki Lurah Glagah Putih setelah merasa dirinya di singgung.
"Tidak apa-apa Glagah Putih, semua orang juga mengetahui kesibukanmu akan tugas-tugas keprajuritan yang kau sandang". jawab Nyi Sekar Mirah.
"Sekar Mirah, jika di ijinkan malam ini aku dan rombongan ingin menginap disini untuk kemudian besok pagi-pagi aku dan rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Padepokan Orang Bercambuk".
"Apa ?" teriak Nyi Sekar Mirah yang membuat orang-orang yang mendengarnya terkejut. Lalu, "rumah ini adalah rumah kalian juga, untuk apa meminta izin?".
"Syukurlah kalau begitu". berkata Nyi Pandan Wangi lega, yang tadi sempat tegang.
"Selain kalian datang untuk mengunjungiku, pasti ada keperluan yang sangat penting, sehingga harus berangkat dengan banyak orang?".
"Tidak, kami hanya mengantarkan Bayu Swandana yang akan ikut nyantrik di Padepokan Orang Bercambuk, setelah itu kami akan kembali lagi ke Tanah Perdikan Menoreh".
"Baiklah, besok aku akan menyertai kalian, sembari aku ingin menengok Bagus Sadewa".
"Sebenarnya tadi aku juga akan mengajakmu serta, karena masih ada yang ingin aku bicarakan".
Kemudian pembicaraan mereka tak berlangsung lebih lama, karena orang-orang yang baru saja datang tampak mulai lelah, apalagi Arya Nakula yang masih anak menjelang remaja.
Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, orang-orang di rumah Nyi Sekar Mirah sudah selesai menjalankan kewajiban kepada Yang Maha Agung.
Setelah makan pagi, mereka masih menyempatkan diri untuk berbincang di pendapa sembari sebelum berangkat ke Padepokan Orang Bercambuk.
"Bayu Swandana, jika nanti kau sudah berada di Padepokan Orang Bercambuk, kau jangan berbuat sesukamu sendiri, harus ikuti segala paugeran dan dengarkan segala petuah dari sesepuh di sana". ucap Nyi Pandan Wangi yang tidak bosan-bosannya memberi nasehat kepada anak laki-lakinya itu.
"Aku mengerti Ibu". jawab Bayu Swandana singkat.
"Mbokayu Pandan Wangi tidak perlu kuatir, karena disana ada pula kakang Untara yang bisa membuat anak-anak jera jika nakal". Nyi Sekar Mirah menimpali sambil tersenyum.
"Marilah kita berangkat sekarang mumpung matahari masih sepenggalah". berkata Nyi Pandan Wangi.
"Apakah kita berangkat bersama- sama?". bertanya Nyi Sekar Mirah.
"Meskipun ini bukan perjalanan yang panjang, tapi sebaiknya kita bagi dalam dua kelompok saja, agar mengurangi perhatian orang yang kita jumpai di perjalanan". Nyi Pandan Wangi menjelaskan.
Orang-orang yang mendengarnya menyetujui saja usul Nyi Pandan Wangi, lalu mereka menyesuaikan diri bersama-sama dengan kelompoknya.
Kelompok dibagi seperti saat berangkat dari Tanah Perdikan menoreh, hanya saja kelompok pertama di tambah Nyi Sekar Mirah yang ikut serta.
Sebelum berangkat tidak lupa Nyi Sekar Mirah memanggil pengawal Kademangan Sangkal Putung yang sedang bertugas untuk memberikan pesan-pesan.
"Jika ada sesuatu yang sangat penting dan mendesak, kirim saja penghubung ke Padepokan Orang Bercambuk, jika aku belum kembali".
"Sendika dawuh Nyi". berkata pengawal itu sambil menghaturkan sembah.
"Baiklah, aku berangkat sekarang".
* * *
Sementara di tempat lain, di sebuah daerah yang jauh dari keramaian kotaraja, ada seseorang yang sedang berkuda dengan tergesa-gesa. Wajahnya tersiratkan kegelisahan yang sangat dalam.
Ketika kuda itu mulai memasuki kaki Gunung Telamaya yang jauh dari padukuhan sekitarnya, jalan semakin sempit dan rumpil, dengan sangat terpaksa orang itu menuntun kudanya.
Dengan susah payah akhirnya ia pun sampai juga pada tempat yang dituju, yaitu sebuah padepokan kecil.
Didepan pintu regol Padepokan dia disambut oleh seorang Cantrik yang bertugas.
"Ki Sanak, apakah Ki Waja Kencana ada?". bertanya orang yang baru datang.
"Maaf Ki Sanak, aku berhadapan dengan siapa?" Cantrik balik bertanya.
"Aku Wirajaya, adiknya Ki Panji Surajaya, murid Ki Waja Kencana, ingin menyampaikan berita rajapati".
"Maaf Ki Sanak aku tidak tahu, silahkan tunggu di pendapa aku akan melaporkan kepada Ki Waja Kencana".
Cantrik itu segera masuk ke ruang dalam, dan tidak beberapa lama keluar lagi bersama orang yang sudah nampak sepuh dengan kumis dan jenggot tipis yang sudah beruban, dengan badan agak kurus.
Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, baru kemudian Ki Wirajaya.menyampaikan keperluannya.
"Maaf Ki Waja Kencana, jika kedatanganku ini mengejutkan. Aku hanya ingin menyampaikan berita rajapati". berkata Ki Wirajaya yang tiba-tiba merasa tenggorokannya tersumbat.
"Rajapati? siapa yang mati?" bertanya Ki Waja Kencana tidak sabar.
"Kakang Panji Surajaya".
"Panji Surajaya kau bilang?".
"Benar Kyai, kakang Panji Surajaya dibunuh pemimpin Padepokan Orang Bercambuk".
"Panji Surajaya di bunuh murid Orang Bercambuk?" bertanya Ki Waja Kencana setengah berteriak. Lanjutnya, "kapan kejadiannya?".
"Dua hari yang lalu, Kyai".
"Jika yang kau maksudkan Orang Bercambuk atau murid utamanya yang dulu menjadi agul-agulnya Mataram, aku sangat mengenalnya meskipun aku hanya mendengar dari mulut ke mulut, tapi tidak pernah mengenal secara pribadi. Orang yang pernah menggemparkan di masa Demak, Pajang, hingga Mataram".
"Berdasarkan berita yang aku dengar, Padepokan Orang Bercambuk sekarang ini dipimpin oleh Cantrik tertuanya Kyai, bukan salah satu murid utamanya".
"Jadi maksudmu, muridku itu dibunuh oleh seorang Cantrik?". bertanya Ki Waja Kencana terkejut.
"Benar sekali Kyai".
"Gila..ini benar-benar gila. Ini adalah sebuah penghinaan bagiku". berkata Ki Waja Kencana marah. Lanjutnya, "murid yang aku siapkan untuk mewarisi senjata pusaka Padepokan Waja Kencana, di bunuh oleh seorang Cantrik".
"Sekarang apa rencana Kyai?".
"Hari ini aku akan memulihkan kesehatanku dulu, setelah menjalani laku terakhir pada peningkatan ilmuku yang baru saja selesai tadi pagi menjelang matahari terbit".
"Apakah itu akan memakan waktu yang lama Kyai?".
"Satu hari ini saja sudah cukup bagiku, setelah itu aku akan membuat Padepokan Orang Bercambuk menjadi karang abang". berkata Ki Waja Kencana dengan sorot mata penuh amarah.
bersambung ke
Djilid
2
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar