Suara tiupan sangkakala yang terbuat dari gading gajah adalah pertanda bagi kedua belah pihak yang saling bersebrangan dan akan saling mengadu kerasnya tulang liatnya kulit akan segera dimulainya perang besar antara dua pasukan besar segelar sepapan.
Meskipun sebelumnya mereka tidak pernah berjanji tapi mereka saling tanggap akan paugeran perang yang berlaku, jadi jika salah satu pihak telah memberikan tanda mereka akan menyesuaikan dengan sendirinya.
Tiupan yang pertama adalah pertanda bahwa kedua pasukan harus segera bersiap-siap, maka segala pertanda kebesaran dan ciri-ciri dari setiap kesatuan pun telah dipasang. Selain pasukan pembawa umbul-umbul, rontek, kelebet dan tunggul berada di garis paling depan, di setiap kesatuan pun masih tetap berkibar ciri-ciri kebesaran kesatuan mereka masing-masing. Bendera dengan warna yang beraneka, beberapa tunggul dan senjata-senjata andalan.
Mereka sudah mulai bersiap dengan kesatuan dan kedudukan pada gelar masing-masing sesuai dengan perintah Senopati Agung. Bahkan orang-orang yang berasal dari luar keprajuritan pun harus sebisa mungkin menyesuaikan diri.
Pasukan Wirasaba yang pada hari itu menggunakan gelar perang Garuda Nglayang telah menempatkan senopati-senopati pilihan pada setiap bagian tubuh gelar.
Untuk menjaga keseimbangan pada gelar, maka Ki Patih Rangga Permana menempatkan pemimpin padepokan yang didampingi oleh senopati pilihan yang sudah berpengalaman dalam sebuah perang besar untuk selalu mengingatkan apa yang harus dilakukan, agar tidak terperosok dalam nafsu pribadinya sehingga akan melupakan kepentingan yang lebih besar.
Meskipun secara pribadi seorang pemimpin padepokan mempunyai banyak kelebihan dari prajurit kebanyakan, tapi dalam perang besar tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan pribadi saja, karena harus dapat menempatkan diri dengan sebaik-baiknya dalam gelar perang secara keseluruhan.
Apalagi dalam pasukan Wirasaba banyak pula terdapat para prajurit Wiratani yang secara perhitungan wajar kemampuannya masih di bawah para prajurit sesungguhnya. Maka untuk menutupi kekurangan tersebut harus selalu didampingi prajurit yang lebih berpengalaman dan memiliki kemampuan lebih baik.
Matahari memang baru saja menampakkan diri di ufuk timur, tapi bagi para prajurit yang akan bertempur seperti sudah merasakan panas pada tubuh mereka, ditandai dengan di antara mereka telah berkeringat.
“Kita harus bersiap segalanya, Mataram telah memberikan tanda bahwa perang akan segera dimulai. Sampaikan kepada setiap pemimpin pasukan bahwa kita harus mulai bergerak jika suara sangkakala gading gajah tersebut ditiup untuk ketiga kalinya”.
“Sendika dawuh Ki Patih”. jawab seorang perwira prajurit penghubung, lalu bergegas pergi.
Setelah sesaat menunggu, pasukan Wirasaba tidak kunjung mendengar kembali suara sangkakala dari gading gajah itu untuk kedua kalinya. Berbagai pertanyaan menghinggapi hampir seluruh prajurit dari Wirasaba yang sudah dalam tingkat kewaspadaan tertinggi menghadapi perang.
Belum lagi pertanyaan mereka terjawab, mereka sudah dikejutkan oleh suara lain dari kejauhan, di tempat yang sama dengan orang yang telah meniup sangkakala gading gajah tadi.
Kali ini adalah suara bende yang terdengar dipukul untuk pertama kalinya. Hampir seluruh prajurit dari Wirasaba saling pandang dengan penuh pertanyaan.
“Apa yang terjadi? apakah Mataram mencoba mempermainkan kita?”. berkata Kanjeng Adipati Wirasaba yang merasa heran dengan apa yang terjadi.
“Aku belum tahu pasti maksud Mataram dengan semua ini, namun aku menduga jika Mataram hanya mencoba mengguncang ketahanan jiwani prajurit kita”. sahut Ki Patih Rangga Permana kepada keponakannya tersebut.
“Ya..ya.. aku hampir saja melupakannya”. gumamnya.
“Sampaikan saja kepada seluruh pasukan agar jangan mudah terpengaruh dengan apa yang dilakukan pasukan Mataram, kita pusatkan saja perhatian kita pada perang yang akan kita hadapi”.
“Sendika dawuh Ki Patih”. jawab seorang perwira penghubung yang hampir selalu berada di dekat Ki Patih Rangga Permana, lalu segera meninggalkan tempat itu untuk melaksanakan tugasnya dan tidak lama kemudian telah kembali lagi untuk menjalankan segala titah setiap waktu.
Sementara pasukan Mataram sudah mempersiapkan diri mereka dengan sebaik-baiknya pula sesuai dengan perintah Kanjeng Sinuhun Mataram, meskipun pada hari ini bukan dirinyalah yang menjadi Senopati Agung Mataram yang turun ke medan.
Karena berdasarkan pembicaraan malam sebelumnya, ketiga pangeran Mataram yang sekaligus pamannya dalam silsilah keluarga, telah menyarankan agar dirinya jangan tergesa-gesa untuk terjun langsung ke medan perang karena beberapa pertimbangan.
Pada awalnya Kanjeng Sinuhun memang sempat berkeras hati untuk langsung turun ke medan dan menjadi Senopati Agung, tapi setelah ketiga pangeran tersebut menyampaikan pertimbangan mereka, meskipun dengan berat hati akhirnya Panembahan Hanyakrakusuma pun sependapat dengan gagasan tersebut, sehingga dirinya harus sedikit menahan diri.
“Angger Panembahan tidak akan merugi jika hanya sedikit menahan diri untuk turun ke medan, justru akan lebih banyak keuntungan yang akan angger Panembahan dapatkan”. ucap Pangeran Pringgalaya pada malam itu.
“Baiklah Paman. Kali ini aku sependapat dengan paman Pangeran Pringgalaya meskipun dengan berat hati”.
“Aku bisa merasakan apa yang angger Panembahan rasakan, karena dulu aku pada waktu seumuran kau saat ini juga adalah orang yang masih berapi-api dalam menanggapi setiap keadaan”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
Keesokan paginya pun mereka telah menjalankan segala rencana yang telah tersusun dengan sebaik-baiknya pada malam sebelumnya yang telah menjadi keputusan bersama.
Hari ini Panembahan Hanyakrakusuma sepertinya cukup hanya akan menjadi penonton saja, kecuali hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa saja dirinya akan turun ke medan.
Seluruh prajurit dalam pasukan Mataram maupun Wirasaba telah dalam kesiap-siagaan tertinggi untuk menghadapi perang besar yang sebentar lagi akan berlangsung. Mereka hanya tinggal menunggu isyarat yang telah disepakati bersama untuk memasuki medan perang.
Tidak lama setelah suara bende pertama berbunyi, suara bende yang kedua pun telah berbunyi pula yang dapat didengar hampir seluruh pasukan dari kedua belah pihak, itu adalah pertanda bahwa kedua belah pihak sudah harus bersiap untuk segera bergerak.
Kedua pasukan besar segelar sepapan itu pun menjadi semakin tegang menanti saat-saat yang sangat mendebarkan, apalagi bagi sebagian orang yang belum berpengalaman, baik dari prajurit maupun orang-orang dari padepokan yang diperbantukan.
Dalam tubuh gelar pasukan Mataram sendiri yang pada hari itu menggunakan gelar Sapit urang telah siap pada kedudukannya masing-masing sesuai perintah senopati tertinggi.
Pada bagian sayap kanan gelar telah ditempati oleh pasukan Mataram dari kesatuan yang berkedudukan di Ganjur, yang dipimpin oleh seorang senopati bernama Ki Tumenggung Sanggawira, putra dari Ki Tumenggung Ranawira seorang senopati besar Mataram yang kini telah purna tugas karena umurnya.
Pasukan dari Ganjur kali ini bergabung dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Ki Prastawa, keponakan pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh.
Di sebelah sayap kiri gelar Panembahan Hanyakrakusuma telah menempatkan pasukan dari Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prayabuana dan dibantu oleh pasukan pengawal dari Kademangan Sangkal Putung.
Sementara Ki Tumenggung Suratani beserta pasukannya dari Pasukan Khusus yang berkedudukan di Menoreh dengan gagahnya telah menempati induk gelar Sapit Urang yang akan dibantu berapa senopati pilihan.
Kedua pasukan segelar sepapan yang begitu besar tersebut telah menempati kedudukannya masing-masing dalam gelarnya, pasukan Mataram kali ini menggunakan gelar Sapit Urang sedangkan Wirasaba lebih mempercayakan pasukannya menggunakan gelar Garuda Nglayang.
Akhirnya suara bende yang ketiga kalinya pun telah bergema di sekitaran medan perang yang disusul oleh suara panah sendaren yang meraung-raung di udara sebanyak tiga kali berturut-turut dari pihak pasukan Wirasaba.
Kedua pasukan besar itu pun mulai bergerak menuju medan perang yang garang. Di barisan pasukan yang paling depan terdapat para para prajurit yang membawa umbul-umbul, rontek, kelebet, dan tunggul yang beraneka sebagai pertanda kebesaran pasukan masing-masing.
Pada barisan kedua adalah pasukan pemanah dan pelontar lembing yang terbuat dari pring cendani dengan bedor besi yang tajam, akan bertugas untuk mengurangi pasukan lawan sebanyak mungkin sebelum kedua pasukan benar-benar saling berbenturan yang akan didampingi pasukan pembawa perisai yang bertugas melindungi kawan-kawan mereka dari serangan serupa dari pihak lawan.
Tapi pada pasukan Wirasaba, selain terdapat pasukan pemanah dan pelempar lembing dari pring cendani, terdapat pula pasukan kecil pembawa senjata bedil, yang terdiri sekitar lima belas orang.
Setelah pada jarak yang cukup untuk melepaskan anak panah lembing dan bedil, maka ribuan anak panah dan lembing pun segera berhamburan di udara seperti hujan anak panah dari langit, sebagian ada pula yang saling berbenturan tapi masih banyak pula yang menerjang lawan dengan tanpa ampun. Dan sesekali terdengar suara bedil yang memuntahkan pelurunya yang terbuat dari potongan logam yang dibuat secara khusus.
Meskipun dari kedua pasukan sudah berlindung di balik perisai yang telah disiapkan, namun masih banyak pula yang menjadi korban karena tidak terlindung oleh perisai, bahkan ada beberapa di antaranya yang sudah melindungi dirinya dengan perisai pun masih tertembus oleh anak panah, lembing pasukan Wirasaba yang tak terhitung jumlahnya dan beberapa peluru bedil.
Beruntunglah bahwa senjata bedil harus diisi peluru kembali setelah sekali ditembakkan ke sasaran, sehingga memerlukan waktu untuk dapat digunakan menembak kembali, sehingga sempat memberikan waktu sesaat kepada lawan untuk bergerak. Bahkan ada beberapa prajurit pembawa bedil yang terkena serangan anak panah lawan, bahkan ada yang langsung terbunuh.
Sudah banyak prajurit yang menjadi korban sebelum kedua pasukan saling berhadapan. Bahkan umpatan-umpatan yang sangat kotor dari para korban yang tidak mampu menyelamatkan dirinya dari anak panah, lembing, dan bedil. Adalah menjadi pertanda perang yang sangat garang telah dimulai.
Duuaarrr…
Belum lagi teriakan kesakitan dan umpatan-umpatan yang sangat kotor dari para prajurit yang menjadi korban serangan anak panah dan lembing berhenti, mereka telah dikejutkan oleh ledakan yang sangat menggelegar.
Beberapa langkah di depan pasukan Mataram tiba-tiba saja tanah yang akan dilewati meledak dengan dahsyatnya, dan membuat tanah itu seakan-akan menghamburkan segala isinya.
“Hati-hati.. Wirasaba telah menyerang kita dengan meriamnya”. teriak salah satu senopati Mataram yang berada di barisan pertama memperingatkan kawan-kawannya.
Secara serentak pasukan Mataram menghentikan gerakan mereka untuk terus melangkah maju karena tidak ingin menjadi bebanten tanpa arti dalam peperangan yang baru akan dimulai.
Tapi baru saja mereka menghentikan gerakan mereka, sekali lagi tidak jauh dari ledakan yang pertama telah terjadi ledakan lagi oleh senjata meriam yang sangat nggegirisi tersebut.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma yang mengawasi jalannya perang dari garis pertempuran bersama ketiga pangeran Mataram, jantungnya menjadi seakan berdetak semakin cepat karena melihat apa yang terjadi.
“Aku mengerti apa yang kau gelisahkan Angger Panembahan, marilah kita sama-sama nenuwun. Semoga pasukan yang mendapat tugas khusus itu segera menyelesaikan tugas mereka dengan baik agar tidak semakin banyak jatuh korban di pihak kita”. berkata Pangeran Pringgalaya.
“Tapi rasa-rasanya jantung ini seakan mau meledak jika aku melihat serangan meriam jatuh pada pasukan Mataram, Paman”.
“Aku percaya dengan pasukan kecil yang Angger Panembahan tugaskan melumpuhkan pasukan meriam. Tapi menurutku untuk meringankan dan mempercepat tugas mereka, sebaiknya kita mengirimkan satu atau dua kelompok lagi untuk membantu mereka. Karena kita berpacu dengan waktu, aku khawatir jika kita biarkan ini terlalu lama pasukan kita hanya akan menjadi bebanten pasukan Wirasaba”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Aku sependapat dengan gagasan Adimas Kedawung”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Aku tadi juga sempat berpikir demikian Paman, karena kita tidak bisa membiarkan pasukan Mataram hanya menjadi bebanten tanpa arti”.
Kemudian Panembahan Hanyakrakusuma memanggil seorang perwira penghubung untuk memberikan perintah sesuai dengan apa yang baru saja mereka bicarakan.
“Sendika dawuh”. jawab penghubung itu lalu bergegas pergi.
Sementara keadaan di medan semakin mengkhawatirkan bagi pasukan Mataram yang masih mendapatkan serangan meriam dari jarak jauh, bahkan dari belakang garis peperangan.
Bahkan pasukan Mataram tersebut seperti kumpulan semut ngangrang yang dilempari sebuah bara api, menjadi kalang kabut karenanya. Demikian pula pasukan Wirasaba pun masih menjaga jarak dengan lawan agar tidak terkena akibatnya dari serangan meriam yang sangat nggegirisi dari kawan mereka sendiri.
Untuk sementara medan menjadi seperti peperangan yang aneh, kedua belah pihak masih sama-sama menahan diri untuk dapat langsung berbenturan beradu dada.
Kejadian di medan tidak luput pula dari pengamatan Ki Patih Rangga Permana pula, yang kebetulan pada hari itu belum menduduki tempat sebagai Senopati Agung.
“Serangan meriam itu memang menghambat laju pasukan Mataram, tapi di sisi lain pasukan kita juga menjadi ragu-ragu untuk terus bergerak”. desis Ki Patih Rangga Permana.
“Paman benar. Lalu apa yang harus kita lakukan?”. sahut Kanjeng Adipati Wirasaba yang berdiri di sebelahnya.
“Apa sebaiknya kita tahan dulu serangan meriam? sembari kita lihat perkembangan medan”.
“Jika itu baik menurut Paman, aku setuju. Lagipula bukankah pasukan Wirasaba lebih besar? jadi untuk sementara kita belum perlu khawatir”.
“Baiklah, nanti kita bisa gunakan pasukan meriam lagi jika sudah lebih dibutuhkan”.
Ki Patih Rangga Permana pun kemudian memanggil seorang perwira penghubung untuk melaksanakan rencananya, sembari perhatiannya hampir tidak pernah lepas dari medan.
Sementara keadaan medan yang tadi sempat bergejolak karena adanya serangan dari tiga buah senjata meriam yang sangat nggegirisi secara bergantian perlahan mulai terkendali, kini kedua pasukan besar itu benar-benar siap saling beradu kerasnya tulang liatnya kulit dalam kedudukan gelarnya masing-masing.
Kini kedua pasukan tidak lagi merasa ketakutan atau pun kebingungan akan serangan meriam, karena atas perintah Ki Patih Rangga Permana untuk sementara dihentikan.
Benturan kedua pasukan dalam gelarnya masing-masing pun segera berkobar kembali, sehingga mereka tidak lagi sempat mempergunakan senjata panah, lembing, apalagi bedil. Segera saja mereka mencabut pedang-pedang mereka dan bertempur dengan garangnya.
Kedua induk pasukan pun mulai berbenturan dengan kerasnya dengan Senopati Agung masing-masing. Pasukan Wirasaba yang merasa menjadi pihak yang merasa diserang menghadapinya dengan sangat garang.
Senopati Agung pasukan Wirasaba yang kali ini dipercayakan kepada Ki Tumenggung Ganggasura yang dikawani dua orang senopati pengapit, membuat dirinya sangat berbangga dan ingin membuktikan kepada pepundennya bahwa dirinya memang pantas untuk mengemban tugas tersebut.
Mulut Ki Tumenggung Ganggasura lebih banyak terkatup, hanya senjata pedang keprajuritannya sajalah yang terus berbicara kepada lawan-lawan yang berusaha menghadangnya.
Tapi baru saja Senopati Agung Wirasaba tersebut ingin menunjukkan kekuatannya, dirinya telah dikejutkan oleh pasukan lawannya yang tiba-tiba mulai bergerak, tapi karena pengalamannya yang sangat luas, dia pun segera tanggap dengan apa yang terjadi sebenarnya.
“Perintahkan kepada seluruh pasukan kita agar jangan terpengaruh dengan gerakan pasukan Mataram, kalian harus tetap dalam kedudukan gelar kita masing-masing”. berkata Ki Tumenggung Ganggasura kepada perwira penghubung.
Prajurit itu pun segera menyibak medan, lalu menghilang dari balik kawan-kawannya untuk melaksanakan perintah, tapi dengan gerakan secepat mungkin untuk kembali lagi pada kedudukannya.
Ternyata pasukan Mataram memang mulai bergerak setelah benturan pertama terjadi, atas perintah Ki Tumenggung Suratani kepada prajurit penghubungnya, pasukan Mataram harus segera bergerak setelah benturan pertama dan bukan sekedar gerakan biasa, tapi bergerak sembari merubah gelarnya yang semula menggunakan gelar Sapit Urang diganti dengan gelar Cakra Byuha.
Perubahan gelar pada saat perang sudah berlangsung adalah sebuah pekerjaan yang sangat sulit, tapi beruntunglah pasukan Mataram adalah para prajurit yang sangat terlatih, sehingga semua itu bisa dilakukan bagaimanapun sulitnya.
“Pasukan Mataram memang adalah orang-orang gila”. umpat salah satu prajurit Wirasaba setengah berteriak setelah menyadari apa yang terjadi dengan pasukan lawan.
“Mengapa kau berkata demikian Ki Sanak?”. sahut prajurit Mataram yang menjadi lawannya pada benturan pertama.
“Baru saja benturan pertama terjadi, tapi pasukan Mataram sepertinya sudah mau mengganti gelar perangnya”.
“Apa pedulimu?”. sahut salah satu prajurit lawan sembari menangkis serang dengan pedangnya.
“Kalian hanya membuatku muak saja”.
“Jika kau muak, mundurlah ke belakang garis pertempuran untuk meminta obat kepada tabib, agar kau tidak segera menjadi muntah”.
“Setan alas. Akan aku robek mulutmu dengan pedangku”. teriak prajurit Wirasaba yang merasa direndahkan tersebut.
Namun prajurit yang marah itu segera kehilangan prajurit lawan yang telah memancing amarahnya, karena pasukan Mataram sudah benar-benar bergerak ke dalam gelar perang yang baru sembari mengatasi setiap serangan yang datang.
Akibat perubahan gelar Mataram pun dirasakan pula oleh sebagian pasukan Wirasaba, terutama orang-orang yang berasal dari luar keprajuritan.
“Surak mrata jaya mrata, majulah kalian pasukan Mataram. Kalian jangan hanya berputar-putar seperti anak-anak yang sedang belajar kanuragan”. umpat Ki Alap-Alap Jati Ombo.
Tapi teriakan pemimpin padepokan Jati Ombo itu tidak mendapat tanggapan, bahkan hanya seperti tertelan hiruk-pikuknya medan pertempuran yang garang.
Ki Alap-Alap Jati Ombo yang bersenjatakan sepasang tongkat pendek yang kedua ujungnya runcing seperti ujung tombak, seakan akan sudah siap melumpuhkan lawan-lawannya sebanyak mungkin. Sehingga senopati yang mendampinginya harus lebih sering untuk memperingatkan agar jangan hanya menuruti perasaannya saja.
Sementara Kanjeng Adipati Wirasaba yang selalu bersama Ki Patih Rangga Permana menjadi semakin berdebar-debar melihat medan, apalagi ini adalah pengalaman pertamanya melihat pertempuran yang garang secara langsung.
Meskipun dirinya sering mendengar cerita dari orang-orang tua tentang peperangan yang paling garang sekalipun dalam babad pewayangan, namun sangat berbeda sekali rasanya jika dengan mengalami sendiri.
“Apa yang terjadi Paman?”.
“Sepertinya pasukan Mataram mengubah gelar perangnya setelah benturan pertama terjadi”.
“Mengapa mereka berbuat demikian Paman?”.
“Mungkin mereka berpikir dengan mengubah gelar setelah benturan pertama akan dapat sedikit mengurangi tekanan yang mereka alami, karena pasukan Mataram yang mendapat tekanan pada benturan pertama kemudian akan bergerak meninggalkan kedudukannya”.
“Apakah sebuah gelar perang akan menentukan akhir peperangan Paman?”. bertanya Kanjeng Adipati Wirasaba lagi.
“Gelar perang memang sangat membantu sekali sebuah pasukan untuk memenangkan peperangan, tapi bukan berarti bisa menentukan akhir sebuah perang. Karena dalam perang bukan hanya ditentukan dengan gelar perangnya, tapi banyak hal yang bisa membantu menentukan akhir perang. Seperti senjata yang kita gunakan, jumlah pasukan yang lebih banyak, dan kemampuan secara pribadi para prajurit itu sendiri juga sangat menentukan sekali”.
Kanjeng Adipati Wirasaba yang masih sangat muda itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh pamannya sekaligus wakilnya dalam memimpin kawula Wirasaba.
Sementara keadaan medan sudah semakin garang dengan semakin banyaknya benturan pada kedua belah pihak yang saling mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit serta saling mengadu kemampuan mempergunakan senjata ditangan masing-masing berdasarkan kemampuan secara pribadi yang sangat tinggi.
Ternyata hanya pada pasukan induk saja pasukan Mataram yang mengubah gelar perangnya menjadi gelar Cakra Byuha, sedangkan yang pada awalnya menjadi kedua sapit kanan dan kiri pasukan telah menyesuaikan diri dengan membuat gelar lain yang tidak kalah rumitnya, tapi para prajurit tidak pernah merasa kesulitan.
Medan perang yang berada di padang perdu itu memberikan keuntungan dari kedua belah pihak, karena sangat membantu sekali dalam menerapkan gelar dari masing-masing pasukan, karena dengan begitu gelar perang dapat diterapkan dengan hampir sempurna sesuai perintah Senopati Agung.
Sejak Ki Patih Rangga Permana memerintahkan untuk menahan dulu menyerang dengan meriam, maka perang gelar seutuhnya pada masing-masing pasukan segera terlihat berkobar lagi.
Pasukan Wirasaba yang masih percaya dengan gelar Garuda Nglayang justru terlihat semakin garang di medan, apalagi setelah mereka melihat pasukan lawan merubah bentuk gelarnya membuat mereka semakin terpancing untuk segera mengalahkan lawan.
Pada bagian sayap kanan pasukan Wirasaba yang terdapat Ki Alap-Alap Jati Ombo untuk beberapa saat mampu menekan pasukan lawan dengan dahsyatnya, beberapa orang prajurit yang mencoba menahannya sempat kewalahan, bahkan beberapa di antaranya sempat terluka.
Bahkan seorang lurah prajurit dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prayabuana yang ikut berusaha menahan pemimpin dari padepokan Jati Ombo itu sempat terpental beberapa langkah surut, beruntunglah lurah prajurit tersebut tidak terkena sabetan pedang prajurit lawan yang berada di belakangnya.
Lurah prajurit tersebut menahan sakit didadanya yang seakan-akan terasa remuk setelah mendapat tendangan yang membuatnya hingga terpental, tapi dia masih menyadari keadaan dengan sepenuhnya, sehingga dia segera bangkit berdiri lalu bergabung lagi dengan kawan-kawannya.
“Kalian para prajurit Mataram, majulah bersama-sama agar pekerjaanku cepat selesai”. teriak Ki Alap-Alap Jati Ombo yang masih berusaha dikepung oleh beberapa prajurit.
Pasukan Mataram yang pada bagian itu membuat gelar Wulan Tumanggal, masih mendapatkan tekanan yang berat, tapi tidak lama kemudian ada seseorang yang tinggi besar menyibak medan dengan penuh keyakinan.
“Sepertinya Ki Sanak memerlukan kawan bermain”.
Para prajurit Mataram yang mendengar suara itu seketika menoleh ke arah sumber suara, sejenak kemudian menjadi terdiam seakan memberikan kesempatan kepada orang yang baru saja datang.
“Bergabunglah dengan kawan-kawanmu yang sudah lebih dulu mengepungku”. sahut Ki Alap-Alap Jati Ombo sembari mengambil jarak.
“Sepertinya akan lebih mengasyikkan jika kita berdua saja yang terlibat dalam permainan”.
“Jangan berani menyombongkan diri di depan Kyai Alap-Alap Jati Ombo jika kau tidak ingin mengalami nasib yang paling buruk. Meskipun jika aku lihat dari ciri-ciri yang kau sandang, kau adalah seorang Tumenggung”.
“Kau benar, aku adalah seorang Tumenggung. Meskipun kita belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku pernah mendengar namamu Ki Sanak. bukankah kau adalah pemimpin Padepokan Jati Ombo?”.
“Apakah kau menjadi ketakutan setelah tahu berhadapan dengan siapa?”. sahut Ki Alap-Alap Jati Ombo dengan penuh keyakinan.
“Apakah kau lupa jika aku adalah seorang prajurit? dan di dalam dada setiap prajurit tidak pernah mengenal rasa takut?”.
“Menarik sekali sikapmu. Sekarang sebutkan siapa namamu? aku tidak ingin membunuh orang tanpa tahu namanya. Apalagi kau adalah seorang prajurit dengan pangkat Tumenggung”.
“Apakah kau mempunyai wewenang untuk menentukan umur seseorang?”.
“Setan alas. Kau masih berani sesorah dihadapanku? cepat sebutkan namamu sebelum kau benar-benar mati tanpa nama”. sahut Ki Alap-Alap Jati Ombo setengah berteriak karena marah.
“Aku adalah Ki Tumenggung Prayabuana”.
“Bagus. Sebutlah bapa angkasa dan ibu pertiwi untuk yang terakhir kalinya sebelum kau aku antar ke alam kelanggengan”.
Selesai berkata demikian, Ki Alap-Alap Jati Ombo pun segera mempersiapkan diri untuk menyerang prajurit yang berdiri di hadapannya tersebut, yang ternyata adalah pemimpin pasukan Mataram yang berkedudukan di Jati Anom.
Lawan Ki Tumenggung Prayabuana mulai pertempuran dengan menyerang langsung dengan tataran ilmunya yang tinggi, pertanda bahwa dia ingin segera menyelesaikan lawannya dengan cepat.
Sejenak kemudian pertempuran antara kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu menjadi sangat garang dan sengit. Mereka saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya, bahkan sekarang lawan Ki Tumenggung Prayabuana harus berpikir ulang jika merasa akan dengan mudah mengalahkan salah satu senopati Mataram tersebut.
Meskipun Ki Alap-Alap Jati Ombo sudah menggunakan senjata andalannya, tapi ternyata tidak mudah untuk menembus pertahanan lawannya yang telah bersenjata pula.
Sedangkan pasukan kecil yang tadi sempat mengepung Ki Alap-Alap jati Ombo segera mendapatkan lawan baru dari para prajurit Wirasaba yang lebih seimbang, bahkan untuk beberapa saat kemudian mereka mampu untuk menekan lawan-lawannya.
Sementara pertempuran pasukan yang berada di sayap kanan pasukan induk Mataram tidak kalah garangnya, pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Sanggawira mendapatkan perlawanan yang sangat sengit dari pasukan lawan.
Pertempuran yang saling menekan dan saling bertahan dengan sama baiknya masih terlihat untuk beberapa saat lamanya, meskipun pada bagian itu pasukan Wirasaba terlihat lebih banyak, tapi tidak mudah untuk menekan para prajurit Mataram yang sangat terlatih dan sudah berpengalaman dalam segala medan.
Meskipun pasukan Wirasaba lebih banyak jumlahnya, tapi banyak pula di antara mereka yang berasal dari Pasukan Wiratani yang belum sekuat para prajurit Wirasaba yang sebenarnya.
Tapi beruntunglah Pasukan Wirasaba pada bagian ini terbantu dengan adanya orang-orang padepokan, sehingga bisa menutupi kekurangan Pasukan Wiratani yang lambat laun mulai menurun ketahanan tubuhnya.
“Ki Cangkring Giri, bersabarlah. Kau jangan menuruti perasaan di dadamu saja. Kita bertempur dalam perang gelar, bukan perang tanding”. ucap salah satu senopati Wirasaba setengah berteriak untuk memperingatkan.
“Kau tenang saja Ki Tumenggung Adipura, aku bisa menjaga diriku sendiri”.
“Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan?”.
“Bukankah aku telah berhasil menekan pasukan lawan sehingga gelarnya menjadi terbuka?”.
“Ternyata kau tidak menyadari apa yang kau lakukan”. sahut Ki Tumenggung Adipura sembari mendahului langkah Ki Cangkring Giri dan menyerang gelar lawan yang telah terbuka itu bersama dengan pasukan kecilnya agar segera menutup.
“Mengapa kau justru menyerangnya dari luar dan membuatnya menutup kembali?”. sahut Ki Cangkring Giri menjadi kecewa.
“Apakah kau tidak menyadari bahwa lawan telah membuat jebakan untukmu dengan memasang gelar Jurang Grawah. Cobalah endapkan perasaanmu agar kau mampu berpikir lebih wening”.
Ki Cangkring Giri tidak mempunyai banyak waktu untuk menelaah apa yang diucapkan kawannya tersebut, karena dirinya telah mendapat serangan pedang yang sangat berbahaya, dengan sigap dia memiringkan tubuhnya untuk menghindar.
Setelah beberapa saat Ki Cangkring Giri mampu memperbaiki kedudukannya barulah dia mengerti peringatan yang disampaikan kawannya tersebut, maka untuk selanjutnya dia menjadi lebih berhati-hati.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang mendapat tugas khusus telah sampai di tempat yang dituju, yaitu sebuah tempat di balik gerumbul-gerumbul padang perdu. Tempat dimana tiga buah meriam yang sangat besar dengan kemampuan menyerang yang sangat nggegirisi telah mendapat penjagaan ketat dari sekelompok pasukan Wirasaba yang berusaha menyembunyikan diri.
Ki Lurah Glagah Putih segera menyerang sekelompok prajurit yang lebih dari sepuluh orang tersebut, dan jika dilihat dari ciri-ciri yang mereka kenakan mereka bukanlah prajurit dengan kedudukan tinggi, hanya seseorang saja yang tampak mengenakan pertanda lurah prajurit.
“Kalian siapa?”. bentak salah satu prajurit yang nampak terkejut akan kedatangan Ki Lurah Glagah Putih dan kawan-kawannya.
“Kami adalah prajurit Mataram, dan kami bertugas untuk menghentikan pekerjaan kalian. Karena apa yang kalian lakukan sama artinya dengan pembantaian”.
“Kami hanya akan tunduk pada perintah pepunden kami, bukan kalian yang menjadi musuh kami”. sahut seorang prajurit yang mengenakan ciri-ciri lurah prajurit.
“Baiklah, aku sudah memperingatkan kalian. Sekarang bersiaplah jika kalian ingin mempertahankan tugas kalian”.
Dalam sekejap pertempuran pun tidak dapat dihindari lagi, pasukan Wirasaba pun segera menyerang orang-orang yang baru saja datang secara bersama-sama.
Dengan demikian, satu orang prajurit Mataram harus menghadapi beberapa beberapa lawan sekaligus, tapi para prajurit Mataram itu adalah para prajurit pilihan yang tidak menjadi gugup apalagi gentar dengan keadaan.
Meskipun mereka telah menyerang secara bersama-sama, tapi ternyata mereka tidak dengan mudah dapat menguasai orang-orang yang telah berhasil menyusup ke belakang garis pertempuran pasukan Wirasaba tersebut.
Bahkan Ki Lurah Glagah Putih yang mendapat pesan agar segera menyelesaikan tugasnya tidak mau membuang-buang waktu, maka segeralah ditingkatkannya ilmunya menjadi semakin tinggi meskipun belum sampai tataran puncak.
Setelah beberapa saat para prajurit Wirasaba yang merasa semakin terdesak melawan empat orang itu pun segera mencabut pedang mereka masing-masing.
“Cabut senjata yang kalian bawa, agar kami tidak disebut licik setelah membunuh kalian dengan senjata kami”. ucap lurah prajurit Wirasaba setengah berteriak setelah mencabut pedangnya.
“Jangan bermain-main dengan senjata kalian, karena itu sangat berbahaya. Jadi jangan salahkan kami jika nanti ada di antara kalian akan terbunuh disini”.
“Jangan salahkan kami karena kita sedang berada di medan, dan kami sedang berusaha mempertahankan diri dengan cara membunuh kalian disini”.
“Jangan salahkan kami pula jika ada diantara kalian akan terbunuh, karena kalianlah yang mulai menggunakan senjata lebih dahulu”. Ki Lurah Glagah Putih sembari mengurai ikat pinggang khususnya yang dibarengi kawan-kawannya mengurai senjata pula.
Ki Rangga Sabungsari dan kawannya sama-sama menarik pedangnya, sementara Umbara mengurai senjata andalannya, yaitu sebuah cambuk sebagai pertanda dirinya adalah salah satu cantrik Padepokan Orang Bercambuk.
“Anak muda, apakah kau menyadari sepenuhnya apa yang kau lakukan?”. bertanya salah satu prajurit Wirasaba yang mengepung Umbara merasa heran dengan senjata yang dibawa lawannya.
“Aku sadar apa yang aku lakukan. Apakah ada yang salah?”. sahut Umbara sedikit heran.
“Kau tidak sedang menggembalakan kambing-kambingmu di padang rumput anak muda, tapi kita sedang berada di medan pertempuran yang garang”.
“Kau benar, tapi hanya ini senjata yang aku bawa”.
“Setan alas. Kau benar-benar merendahkan kami”. sahut prajurit itu lalu segera menyerang kembali anak muda yang berada di depannya tersebut dengan kemarahan.
Tapi Umbara yang selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan tidak menjadi terkejut akan serangan itu, dengan sigap dia memiringkan tubuhnya sembari membalas serangan dengan cambuknya sendal pancing.
Umbara yang telah mendapat pesan dari Ki Lurah Glagah Putih sebelumnya berusaha sebisa mungkin agar cambuknya tidak mengeluarkan suara, karena suara cambuk yang menggelegar akan bisa menyeret mereka ke dalam kesulitan.
Prajurit yang menyerang itu tidak menyadari akan serangan yang begitu cepatnya sehingga tidak sempat mengelak, akibatnya benar-benar sangat mengejutkannya.
“Setan alas, Genderuwo, tetekan”. prajurit itu mengumpat sejadi-jadinya setelah menyadari lambung kirinya terluka terkena ujung cambuk Umbara.
Tanpa sadar tangan kirinya mulai meraba bekas serangan ujung cambuk itu, terasa ada cairan hangat di telapak tangannya, darah pun mulai meleleh dari tubuhnya.
“Anak iblis. aku akan membunuhmu”.
Tanpa pikir panjang prajurit itu kembali menyerang Umbara dengan penuh kemarahan, tapi ternyata tidak mudah menghadapi anak muda yang satu ini, bahkan bersama dua kawannya dia tidak dapat segera mendesak lawannya, apalagi sampai membunuhnya.
Empat prajurit Mataram yang mendapat tugas khusus itu pun harus menghadapi lawan-lawannya satu melawan beberapa orang, Ki Lurah Glagah Putih dan Ki Rangga Sabungsari harus menghadapi masing-masing empat orang, sedangkan Umbara dan kawannya masing-masing tiga orang.
Tapi dengan kemampuan dan pengalaman yang mereka miliki, tidak membuat mereka gugup dan mudah dikalahkan meskipun masing-masing harus menghadapi beberapa orang sekaligus.
Tidak lama kemudian salah satu lawan Ki Lurah Glagah Putih melompat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak saat lengan kirinya terkena sabetan ujung ikat pinggangnya.
“Druhun. Kau berani sekali melukaiku”. ucap prajurit yang terluka itu.
Tanpa memperdulikan lagi lukanya, prajurit itu menyerang lagi ayah Arya Nakula seperti orang waringuten. Tapi semakin lama justru dia dan kawan-kawannya lah yang menjadi semakin terdesak, bahkan satu persatu kawannya mulai terlempar dari arena dengan tubuh mereka terluka.
Sementara di arena yang lain tidak jauh berbeda keadaannya, satu persatu lawan para prajurit Mataram yang mendapat tugas khusus tersebut mulai terdesak dan sesekali harus terlempar dari arena, tapi mereka segera bangkit untuk tetap memberikan perlawanan.
“Salah satu dari kalian laporkan kejadian ini kepada prajurit penghubung”. teriak lurah prajurit Wirasaba yang sepertinya sudah menyadari bahwa dia bersama kawan-kawannya tidak akan mampu untuk bertahan lebih lama lagi.
Seorang prajurit yang tampak sudah terluka, tapi masih mampu untuk berlari itu pun segera melompat mengambil jarak agar bisa melaksanakan perintah pemimpinnya.
Tapi baru beberapa langkah dia berusaha melarikan diri dari arena pertempuran, tiba-tiba tubuhnya menjadi berhenti dengan sebuah erangan yang tertahan, seperti ada sesuatu yang tertahan, dan mulutnya seperti menjadi kelu untuk mengeluarkan suara, bahkan tubuhnya kemudian roboh. Entah hanya pingsan atau telah meregang nyawa.
“Apa yang terjadi?”. teriak lurah prajurit Wirasaba yang menyadari keadaan kawannya setelah dia terlempar dari arena.
Tanpa sadar orang-orang yang berada di tempat itu melihat ke arah yang dimaksud, mereka pun menjadi heran dengan apa yang terjadi, termasuk keempat prajurit Mataram yang kemudian menjadi saling pandang.
Sejenak arena pertempuran di tempat itu pun seakan-akan menjadi berhenti karena kejadian tersebut, lagipula pertempuran memang sudah tidak lagi seimbang karena dari pihak para prajurit Wirasaba telah banyak yang terluka, bahkan ada beberapa diantara mereka sudah tidak mampu bangkit lagi.
Meskipun arena pertempuran itu berada di belakang garis pertempuran pasukan Wirasaba, namun tempat itu agak jauh dan sedikit tersembunyi, sehingga jika ada pertempuran di tempat itu tidak mudah diketahui oleh kawan-kawannya jika tidak ada yang memberikan isyarat.
Ki Patih Rangga Permana yang memang sengaja menempatkan pasukan meriam untuk lebih tersembunyi dengan maksud tidak mudah diketahui oleh lawan, tapi tidak pernah terbesit bahwa akan ada prajurit Mataram yang berusaha menyusup serta berusaha melumpuhkannya.
“Apakah kalian masih berniat untuk melanjutkan pertempuran? atau menyerah”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih.
Sejenak para prajurit Wirasaba hanya bisa terdiam, mereka masih kebingungan untuk menentukan sikap, hanya lurah prajurit itu yang memandang berkeliling.
Tanpa ada yang menduga apa yang akan terjadi, bahwa lurah prajurit itu tiba-tiba berteriak kepada kawan-kawannya.
“Kalian yang masih mampu bergerak, segera bunyikan isyarat atau laporkan kepada prajurit penghubung”.
Dua prajurit yang merasa membawa panah sendaren yang baru menyadari keadaan, segera meraih anak panah dan busurnya untuk segera dilesatkan ke udara.
Namun belum lagi kedua prajurit itu bisa melakukan tugasnya, tiba-tiba keduanya meraba dadanya yang tiba-tiba seakan dihimpit oleh sebongkah batu padas yang sangat besar.
“He.. apa yang kalian lakukan?”. lurah prajurit itu menjadi heran.
Tapi lurah prajurit itu tidak segera mendapat jawaban karena kedua prajurit Wirasaba itu masih merasakan kesakitan yang sangat pada dadanya masing-masing.
Sementara tiga orang prajurit yang berusaha meninggalkan tempat itu tiba-tiba berhenti, lalu roboh di atas rumput kering seperti yang terjadi kepada prajurit pertama yang tadi akan meninggalkan medan.
Ki Lurah Glagah Putih memandang berkeliling untuk memastikan keadaan apa yang terjadi, menurut dugaannya dua orang prajurit yang gagal melesatkan panah sendaren adalah karena mendapat serangan dari Ki Rangga Sabungsari dan Umbara dengan ilmu sorot mata yang mereka miliki, tapi yang masih membuatnya heran adalah siapa yang melumpuhkan para prajurit yang berusaha meninggalkan medan.
“Sudahlah Ki Sanak, sebaiknya kalian menyerah. Karena kalian sudah tidak mampu lagi untuk melakukan perlawanan”. ucap Ki Lurah Glagah Putih yang melihat para prajurit Wirasaba yang menjaga meriam sudah tidak berdaya, termasuk lurah prajurit yang memimpin mereka pun sudah tidak sanggup lagi untuk bangkit lagi dengan beberapa luka dari tubuhnya yang mulai mengeluarkan darah segar.
Tapi lurah prajurit itu tidak segera menjawab, karena harga dirinya masih sangat tinggi untuk mau mengakui kekalahannya, apalagi arena itu berada di belakang garis pasukan Wirasaba.
“Terserah kepada kalian saja mau menyerah atau tidak, karena yang paling penting adalah kami dapat menjalankan tugas kami dengan sebaik-baiknya”. ayah Arya Nakula terdiam sejenak. Lalu katanya, “aku minta kalian serahkan seluruh peluru dan bubuk meriam yang kalian bawa, agar kalian tidak dapat menggunakannya lagi”.
Wajah lurah prajurit itu tiba-tiba menjadi mulai pucat, pucat karena tubuhnya telah terluka di beberapa bagian dan telah mengeluarkan darah, tapi pucat pula karena menjadi mulai ketakutan dengan orang-orang yang berada di hadapannya. Karena mereka bisa saja berbuat semaunya.
“Aku tidak punya banyak waktu untuk sekedar mengawani kalian, katakan saja dimana kalian sembunyikan bubuk meriam dan peluru itu”. Berkata ayah Arya Nakula menjadi tidak sabar.
Ki Lurah Glagah Putih segera menghampiri lurah prajurit yang masih belum mau membuka suara itu, lalu berjongkok di sampingnya, meraih baju dan mencengkeramnya kuat-kuat dengan tangan kirinya.
“Dimana kalian sembunyikan semua itu?”. ucap Ki Lurah Glagah Putih dengan nada dalam.
Tubuh lurah prajurit itu pun menjadi gemetar karena ketakutan. Lalu dengan ucapan terbata-bata dia pun menjawab, “ada di dalam pedati itu”. sembari menunjuk ke arah sebuah pedati yang berada di belakang mereka.
“Aku tidak yakin jika semuanya kau sembunyikan di pedati itu, dimana kau sembunyikan yang lain?”.
“Hanya itu Ki Sanak”. sahutnya dengan suara gemetar.
“Kau jangan coba-coba mengelabui aku. Aku tidak percaya jika hanya dengan satu pedati akan mampu menampung seluruh bubuk meriam beserta pelurunya”. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari sedikit mengangkat tubuh orang itu.
Lurah prajurit Wirasaba yang tidak bisa lagi mengelak, akhirnya memberitahukan pula keberadaan bubuk meriam beserta pelurunya secara keseluruhan.
“Semuanya kami sembunyikan di dalam tanah yang kami gali di dekat pedati. Dan untuk menyembunyikan keberadaannya, kami tutup dengan geladak bambu yang kemudian kami lapisi dengan tanah tipis”.
“Coba kau periksa tempat yang dikatakannya”. ucap Ki Lurah Glagah Putih kepada keponakannya.
Umbara hanya mengangguk kecil, lalu berangkat melaksanakan tugasnya. Ki Rangga Sabungsari yang selalu bersikap hati-hati melihat Umbara akan berangkat sendiri memberikan isyarat kepada kawannya untuk mengawani.
Ternyata benar apa yang dikatakan lurah prajurit itu, di dekat pedati ada tanah yang telah digali kemudian ditutupi kembali sedemikian rupa. Tapi kedua prajurit itu menjadi sangat terkejut setelah membongkarnya, karena tidak ada apapun di dalamnya, hanya tanah galian kosong yang ditutupi.
Umbara pun segera melaporkan apa yang terjadi kepada pamannya. Lurah prajurit Wirasaba yang mendengarnya pun menjadi sangat terkejut pula karenanya.
“Tidak mungkin. semuanya itu kami sembunyikan di tempat itu, dan aku yang mendapat tugas menjaganya, dan aku tidak melihat ada orang yang mengambilnya”.
“Apakah kau sudah memeriksa isi pedati itu pula?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih kepada keponakannya.
“Sudah, dan pedati itu kosong pula”.
Seketika Ki Lurah Glagah Putih memandang dengan tajamnya orang yang sedari tadi dicengkeram bajunya, yang membuat orang itu menjadi semakin ketakutan.
“Aku berani bersumpah, aku tidak membohongi kalian. Jika memang tidak ada, maka aku tidak tahu apa yang terjadi”. ucapnya dengan terbata-bata dan tubuh gemetar serta kepalanya tertunduk semakin dalam.
Sementara keadaan medan sudah semakin garang pada saat matahari mulai semakin memanjat di langit dan membuat udara menjadi semakin panas.
Para prajurit dari kedua belah pihak sudah berusaha menumpahkan segala kemampuan yang mereka miliki, namun rasa-rasanya pertempuran masih berjalan seimbang. Terkadang pasukan Wirasaba mampu menekan, tapi di saat yang lain pasukan Mataram lah yang mampu membalas menekan.
Meskipun sudah banyak pula para prajurit yang mulai terluka bahkan menjadi korban oleh keganasan senjata lawan masing-masing, tapi semua itu tidak menyurutkan perjuangan yang mereka lakukan di medan, karena mereka telah mempunyai dasar penilaian yang kuat pada kebenarannya masing-masing.
Sementara Kanjeng Adipati Wirasaba yang bersama Ki Patih Rangga Permana tidak pernah melepaskan perhatiannya pada hiruk-pikuknya medan menjadi semakin berdebar-debar.
“Kapan kita akan menyerang mereka lagi dengan meriam Paman?”. bertanya Adipati yang masih sangat muda itu.
“Aku kira sebaiknya kita segera melakukannya, agar pasukan kita semakin bersemangat dalam berjuang, selain itu pula pasukan Mataram akan menjadi semakin berhati-hati dengan pasukan kita”.
“Benar Paman, apalagi dalam pasukan kita banyak pula terdapat pasukan Wiratani yang semakin terdesak dalam kedudukannya”.
“Baiklah, aku akan memerintahkan pasukan agar melakukan perang dengan gerak mundur agar pasukan meriam bisa lebih mudah untuk menyerang”.
Kemudian Ki Patih Rangga Permana pun memerintahkan seorang perwira prajurit penghubung untuk menyampaikannya kepada Ki Tumenggung Ganggasura dan memberitahukan pasukan meriam agar selalu bersiap pada saat isyarat datang untuk menyerang.
Setelah perwira penghubung itu dengan susah payah menyibak medan dan kembali ke tempatnya, sejenak kemudian ada seorang penghubung yang datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa?”. ucap Ki Patih Rangga Permana dengan penuh tanda tanya.
“Ampun Ki Patih, ketiwasan”. jawab prajurit penghubung itu dengan nafas yang masih memburu.
“Ada apa? apa yang terjadi?”.
Sebelum menjawab, prajurit itu menarik nafas dalam beberapa kali untuk melancarkan pernafasannya, barulah dia menjawab.
“Ampun Ki Patih, pasukan penjaga meriam telah mendapat serangan dari prajurit Mataram yang telah menyusup”.
“Apa?”. kali ini Kanjeng Adipati Wirasaba lah yang menjadi sangat terkejut.
“Bagaimana keadaan pasukan itu?”.
“Hampir semua prajurit sudah tidak berdaya karena luka-luka yang ada pada tubuh mereka, tapi tidak satu pun yang terbunuh”.
“Apakah kalian tidak tahu jika ada penyusup yang menyerang mereka?”.
“Ampun Ki Patih”. sahut prajurit itu dengan suara bergetar ketakutan karena menyadari kesalahannya. Lanjutnya, “mereka telah pergi dan kami juga tidak melihat kedatangan mereka, mungkin karena mereka memasuki tempat itu dengan bergerak jauh melingkar dan memasuki tempat itu dari belakang, sehingga terhindar dari pengawasan kami”.
“Apa yang dapat kau laporkan selain pasukan penjaga meriam yang sudah tidak berdaya?”.
“Ampun Ki Patih, seluruh bubuk meriam beserta pelurunya hilang tanpa sisa”. jawab prajurit penghubung itu dengan wajah semakin menunduk karena ketakutan.
“He… apa kau bilang? semuanya hilang tanpa sisa?”.
“Benar Ki Patih”.
“Apakah dari kalian tidak ada yang melihat kepergian mereka atau melihat jejaknya yang membawa bubuk meriam beserta pelurunya yang begitu banyak dan berat?”.
“Ampun Ki Patih, kami sudah berusaha mengejar mereka sejauh yang dapat kami lakukan, namun kami tidak melihat orang-orang yang kita cari”.
“Kita benar-benar kecolongan karena kejadian ini”. sahut Ki Patih Rangga Permana dengan nada dalam.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Paman?”.
“Mau tidak mau kita harus menghadapi pasukan Mataram dengan perang terbuka, karena kita sudah tidak bisa lagi mengharapkan tuah meriam yang sangat nggegirisi itu jika sudah tidak ada bubuk obat dan pelurunya”.
“Lalu apa gunanya sekarang meriam yang kita bawa Paman?”.
“Itulah kelemahan senjata yang sangat nggegirisi itu, jika kita sudah tidak memiliki bubuk obat dan pelurunya, meriam itu tidak lebih hanyalah gelondongan besi tanpa arti di medan pertempuran seperti sekarang ini”. Ki Patih Rangga Permana berhenti sejenak untuk sedikit melonggarkan kepepatan hatinya. Kemudian lanjutnya, “Tidak ada gunanya lagi kita menyesali keadaan yang sudah terjadi, sebaiknya kita segera bersiap menghadapi pasukan Mataram dengan sebaik-baiknya. Karena pekerjaan kita sekarang menjadi semakin berat”.
“Ampun Ki Patih, hamba menunggu titah selanjutnya”. berkata perwira prajurit penghubung berusaha mengingatkan bahwa medan membutuhkan keputusan segera.
Ki Patih Wirasaba itu pun tidak segera menjawab pertanyaan prajuritnya, setelah menarik nafas dalam beberapa kali sembari pandangannya hampir tidak pernah lepas dari medan baru dia berkata.
“Sementara perintahkan saja kepada Ki Tumenggung Ganggasura untuk berbuat sebaik-baiknya pada kedudukannya, dan laporkan pula kepadanya apa yang terjadi dengan pasukan penjaga meriam kita, dengan begitu aku yakin dia tahu apa yang harus dilakukan”.
“Sendika dawuh Ki Patih”.
“Perintah selanjutnya akan segera menyusul setelah kita melihat perkembangan di medan”.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih yang telah selesai melaksanakan tugasnya segera melaporkan kepada pepundennya bersama kawan-kawannya.
Ki Lurah Glagah Putih melaporkan semua kejadian sehubungan dengan tugas yang telah selesai dilaksanakannya secara runtut dan tidak ada yang terlewatkan.
“Lalu apa pendapatmu Ki Lurah, tentang bubuk obat meriam beserta pelurunya yang seakan-akan menghilang begitu saja?”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma setelah selesai mendengarkan laporan.
Meskipun Ki Lurah tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang melakukan semua itu, namun dalam hatinya mempunyai sebuah dugaan. Tapi apakah dia bisa menyampaikan kepada pepundennya yang hanya baru sebatas dugaan saja.
“Bagaimana Ki Lurah Glagah Putih?”. ucap Kanjeng Sinuhun Mataram mengingatkan.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, hamba benar-benar tidak tahu dan tidak dapat menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi”.
“Bagaimana pendapat Paman Pangeran bertiga?”.
“Sebaiknya untuk masalah itu kita lupakan dulu saja, meskipun kita kita dapat melupakannya sepenuhnya karena kita belum tahu pasti dengan apa yang terjadi. Tapi semoga saja ini menjadi pertanda yang baik bagi pasukan kita”.
“Aku sependapat dengan Kakangmas Pangeran Pringgalaya. Sebaiknya untuk sementara kita pusatkan saja perhatian kita pada medan yang semakin garang itu, apalagi di pihak kita sudah mulai banyak jatuh korban”.
“Baiklah Paman Pangeran Demang Tanpa Nangkil, aku akan segera memerintahkan pasukan cadangan untuk memasuki medan agar pasukan kita tidak semakin terkoyak oleh pasukan Wirasaba”.
“Aku rasa itu adalah langkah terbaik Angger Panembahan”.
Lalu Panembahan Hanyakrakusuma memanggil perwira prajurit penghubung untuk melaksanakan titahnya.
“Ampun Kanjeng Panembahan, hamba menunggu perintah selanjutnya”. berkata Ki Lurah Glagah Putih.
“Kalian bergabunglah pada pasukan di medan, berhubung kalian berempat, dua orang bergabunglah dengan pasukan di sayap kiri dan yang lain bergabung di sayap kanan”.
“Sendika dawuh Kanjeng Sinuhun, kami mohon diri”.
“Silahkan”.
Kemudian Ki Lurah Glagah Putih pun membagi diri bersama kawan-kawannya yang tadi mendapat tugas khusus, dia memberikan kebebasan kepada Ki Rangga Sabungsari untuk memilih bergabung dengan pasukan sebelah mana? tapi yang jelas dia akan mengajak Umbara bergabung bersamanya.
“Bagiku sama saja bergabung dengan kesatuan mana pun Ki Lurah, tapi baiklah jika aku diminta memilih aku akan bergabung bersama pasukan Ki Tumenggung Prayabuana”.
Lalu keempat orang prajurit itu pun segera memisahkan diri untuk melaksanakan tugas masing-masing, hampir berbarengan dengan pasukan cadangan Mataram yang mulai memasuki medan untuk membantu atau bahkan menggantikan kawan-kawannya yang terluka atau tidak mampu melanjutkan pertempuran karena berbagai sebab.
Sementara Ki Tumenggung Prayabuana yang masih bertempur melawan Kyai Alap-Alap Jati Ombo semakin merambah ke tataran ilmu yang sangat tinggi, dan dari keduanya belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan memenangkan pertempuran.
Setiap gerakan yang dilambari dengan tenaga cadangan yang sangat tinggi membuat mereka seakan-akan hampir tidak menyentuh tanah lagi.
Ki Alap-Alap Jati Ombo yang merasa percaya diri dengan kemampuannya semakin meningkatkan kemampuannya selapis demi selapis untuk terus menyerang lawannya.
Ki Tumenggung Prayabuana yang mendapat terjangan kaki lawan segera berkelit ke samping, tapi lawannya yang sudah menduga segera memutar tubuhnya sembari menyerang kening. Senopati Mataram yang sudah tidak mempunyai kesempatan menghindar itu segera menyilangkan kedua tangannya di atas kepala.
Maka terjadilah benturan ilmu yang sangat nggegirisi. Bahkan udara di sekitar seakan ikut bergetar karenanya, tapi mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi dan mempunyai daya tahan tubuh yang luar biasa sehingga benturan itu tidak banyak mempengaruhi tubuh keduanya.
Setelah terjadi benturan, mereka sama-sama mengambil jarak terhadap lawannya untuk mengamati keadaan.
“Ternyata pada tataran ini kau masih mampu bertahan melawanku Ki Tumenggung Prayabuana? baiklah sekarang aku tidak akan main-main lagi”.
“Bukankah sedari tadi kita memang hanya bermain-main saja Ki Alap-Alap Jati Ombo?”.
“Druhun.. kau masih berani menyombongkan diri di depanku rupanya?”. sahut Ki Alap-Alap Jati Ombo yang merasa tersinggung.
“Bukankah ada kalanya kita memang perlu menyombongkan diri? apalagi kepada lawan kita di medan pertempuran”.
“Aku ingin melihat, apakah kau masih berani menyombongkan diri setelah aku menunjukkan salah satu ilmu simpananku?”.
Kemudian Ki Alap-Alap Jati Ombo segera mempersiapkan diri untuk memusatkan nalar budinya guna mengungkapkan salah satu ilmu simpanannya.
Ki Tumenggung Prayabuana yang memiliki kemampuan sangat tinggi menyadari apa yang dilakukan oleh lawannya, maka dirinya pun mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi salah satu ilmu simpanan lawannya yang belum diketahui seberapa berbahayanya secara pasti.
Ki Alap-Alap Jati Ombo yang memusatkan nalar budinya dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan merendahkan kedua kakinya dengan posisi renggang, sejenak kemudian tangannya seakan mulai mengepulkan asap tipis dan kedua tangannya mulai berubah warnanya.
Semakin lama kedua tangan itu mulai berubah warna menjadi kehitam-hitaman hampir seluruhnya.
“Luar biasa”. desis Ki Tumenggung Prayabuana tanpa sadar.
“Ha.. ha.. ha.. apakah kau menjadi ketakutan, Ki Tumenggung?”. sahut Ki Alap-Alap Jati Ombo dengan penuh kesombongan.
“Aku memang menjadi ketakutan setelah melihat ilmu yang kau pamerkan Kyai, tapi aku lebih takut jika ilmu yang kau kuasai itu kau salah gunakan”.
“Druhun.. kau masih berani sesorah rupanya?”.
“Aku tidak merasa sesorah, tapi aku berkata yang sebenarnya”.
“Puaskan saja sesorahmu sebelum kau aku kirim ke alam kelanggengan”.
“Apakah kau pernah pergi kesana sehingga ucapanmu begitu meyakinkan tentang alam kelanggengan?”.
“Bersiaplah, ini medan perang senjata dan perang ilmu, bukan medan perang adu mulut”.
Ki Tumenggung Prayabuana yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, tidak ingin lengah sedikitpun. Karena dia menyadari bahwa kini tangan lawannya yang berubah menjadi kehitam-hitaman pasti sangat beracun.
Senopati Mataram itu pun telah mempersiapkan diri dengan segala ilmu yang dimilikinya. Dengan sepasang pedang yang menjadi senjata andalannya, kini dilambarinya dengan salah satu ilmunya yang sangat nggegirisi pula untuk menghadapi Ki Alap-Alap Jati Ombo yang kini mengandalkan kedua tangannya sebagai senjata yang paling dia percaya.
Pemimpin Padepokan Jati Ombo segera menyerang lawannya dengan garangnya. Selain kedua tangannya dijadikan senjata, bahkan dengan penuh percaya diri dia jadikan pula sebagai perisai untuk melindungi dirinya dari sepasang pedang lawannya.
Terjadilah sebuah benturan ilmu yang sangat ngedap-ngedapi, sepasang pedang melawan sepasang tangan yang telah dilambari dengan ilmu aji Asta Waja milik Ki Alap-Alap Jati Ombo.
Ki Tumenggung Prayabuana yang menyadari akan kemampuan lawannya segera meningkatkan ilmunya selapis demi selapis untuk berusaha mengguncang pertahanan lawannya.
Sabetan dan tusukan dari sepasang pedang itu ditangkis oleh Ki Alap-Alap Jati Ombo hanya dengan kedua tangannya, bahkan Ki Tumenggung Prayabuana sepertinya masih terlihat kesulitan untuk menembus pertahanan lawannya tersebut.
Bahkan untuk beberapa saat senopati Mataram itu dipaksa untuk bergerak lebih cepat, bahkan sesekali harus berloncatan menghindar karena serangan lawannya yang seperti banjir bandang terus menerjang tanpa ampun, meskipun begitu masih belum sampai tertembus pertahanannya.
Pada akhirnya Ki Tumenggung Prayabuana harus meningkatkan tataran ilmunya hingga ke puncak untuk mengimbangi kemampuan lawannya yang sudah berada pada tataran puncak pula.
Setelah Ki Tumenggung Prayabuana telah meningkatkan ilmunya hingga ke puncak, Ki Alap-Alap Jati Ombo mengerutkan keningnya setiap terjadi benturan tangannya dengan senjata lawan, tapi bagi dirinya yang juga berilmu sangat tinggi segera menyadari apa yang terjadi setiap terjadi benturan.
Benturan itu memang hanya sedikit menyakitinya, dan belum sampai membahayakan dirinya yang berlindung dengan aji Asta Waja, tapi semakin lama semakin menjengkelkannya.
Karena setiap terjadi benturan, tangan Ki Alap-Alap Jati Ombo seakan tertusuk ratusan duri kemarung yang sangat tajam, tapi itu terjadi hanya sesaat setelah terjadi benturan. Dalam sebuah kesempatan pun dia melompat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dari lawannya.
“Ilmu iblis manakah yang kau pelajari Ki Tumenggung?”. berkata Ki Alap-Alap Jati Ombo dengan pandangan mata yang sangat tajam.
“Apakah menurutmu iblis adalah satu-satunya sumber ilmu yang bisa kita pelajari?”.
“Druhun.. baiklah jika kau tidak mau menjawab”.
“Bukan aku tidak mau menjawab, tapi karena sudah pasti aku mempelajari ilmu yang sekarang aku kuasai dari guruku”.
“Persetan.. aku tidak ada urusan dengan gurumu, untuk apa aku bertanya tentang gurumu?”.
“Bukankah tadi kau sendiri yang bertanya tentang ilmuku bersumber dari mana? dan setelah aku jawab kau malah justru bersikap demikian”.
“Sekarang aku sudah tidak memerlukannya lagi karena aku akan segera membunuhmu dengan ilmuku”.
“Jangan begitu garang Ki Sanak. Apakah dalam penalaranmu itu kematian adalah cara satu-satunya dalam mengakhiri perang?”.
“Aku punya cara lain jika kau mau memilih”.
“Apakah itu?”.
“Kau harus menyerah dan bersedia menjadi budakku selama sisa hidupmu”.
“Ternyata kau memang orang yang berhati kelam, bahkan lebih kelam dari batu hitam sekalipun”.
“Bersiaplah, aku sudah jemu mendengar sesorahmu”.
Sejenak kemudian pertempuran di antara keduanya berkobar lagi, bahkan lebih garang dan lebih sengit dari sebelumnya karena kini keduanya sudah sama-sama berada pada tataran ilmu puncak yang mereka kuasai.
Sementara itu pertempuran di pasukan induk tidak kalah garangnya, para prajurit seperti telah mendapatkan lawannya masing-masing. Kedua pasukan saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya.
Tapi pada salah satu arena terlihat seseorang seperti harimau yang sedang mengamuk, meskipun sudah dikepung oleh beberapa prajurit pilihan dari Mataram tidak membuatnya surut, bahkan seakan semakin menjadi.
Kejadian tersebut tidak luput dari pengamatan prajurit penghubung Mataram yang dengan segera melaporkannya kepada pemimpinnya agar segera mendapat penanganan.
“Baiklah, aku akan segera menemuinya”. berkata orang yang telah mendapat laporan tersebut.
“Sepertinya kau terlalu garang bagi prajuritku Ki Sanak”. berkata orang tersebut setelah tiba di tempat yang dimaksud.
Orang yang sedang bertempur dalam kepungan para prajurit pilihan Mataram itu pun segera mengambil jarak untuk melihat siapakah yang datang mengganggu pertempurannya dan para prajurit Mataram pun sengaja membiarkannya.
“Jika aku lihat pertanda yang kau sandang, kau adalah Senopati Agung Mataram”.
“Benar sekali Ki Sanak. Demikian pula dengan kau, jika aku lihat Senopati Agung pula dari pasukan Wirasaba?”.
“Tanpa tedeng aling-aling, memang akulah yang hari ini dipercaya menjadi Senopati Agung Wirasaba”.
“Jika kau tidak keberatan, sudilah kiranya kau memperkenalkan dirimu”.
Orang yang mendapat pertanyaan itu sempat mengerutkan keningnya, sebab dalam perang yang sangat garang itu orang yang berada di hadapannya masih menerapkan subhasita.
“Sikapmu menarik sekali Ki Sanak. Baiklah aku adalah Ki Tumenggung Ganggasura, kau sendiri?”.
“Aku adalah Tumenggung Suratani”.
“Oh.. jadi inilah orang yang bernama Ki Tumenggung Suratani? nama yang cukup menggetarkan di daerah bang wetan”.
“Kau terlalu berlebihan Ki Sanak. Aku tidak lebih dari seorang prajurit”.
“Aku hargai sikapmu. Tapi sepertinya untuk sementara kita harus melupakan segala subhasita, karena kini kita sama-sama berada di medan yang garang dan kita telah menyatakan diri untuk berdiri berseberangan”.
“Aku sependapat denganmu Ki Tumenggung Ganggasura. Meskipun kita tidak ada masalah secara pribadi tapi karena kita berdiri pada pihak yang saling berseberangan karena tugas kita, maka kita mau tidak mau harus mengadu kerasnya tulang liatnya kulit kita masing-masing, bukankah begitu maksudmu?”.
“Begitulah kira-kira”.
“Baiklah, aku akan berusaha menahanmu”.
Tanpa sadar Ki Tumenggung Ganggasura mendongakkan kepalanya ke atas, dilihatnya matahari yang sudah melewati puncaknya dan mulai bergeser ke arah barat.
“Mumpung kita belum mulai, karena kita sama-sama adalah Senopati Agung masing-masing pasukan, aku ingin menantangmu untuk berperang tanding.
Sebelum menjawab Ki Tumenggung Suratani menarik nafas dalam, kemudian memandang kembali ke arah lawannya yang berdiri di hadapannya.
“Apakah kau keberatan?”. bertanya Ki Tumenggung Ganggasura yang melihat lawannya tidak segera menjawab.
“Aku hanya takut akan mengecewakanmu jika aku menerima tantanganmu untuk berperang tanding”.
“Kau tidak perlu merendahkan dirimu di hadapanku sekarang, karena segala subhasita tidak berlaku di medan pertempuran. Tapi jika dengan sikapmu yang demikian adalah sebuah isyarat untuk menolak berperang tanding, alangkah kerdilnya harga diri seorang Senopati Agung Mataram yang memasuki medan”.
“Ah.. ternyata kau pandai sekali menggelitik perasaanku agar mau menerima tantanganmu”.
“Bukankah itu wajar dalam medan pertempuran?”.
“Kau benar Ki Tumenggung Ganggasura”.
“Lalu apa lagi yang kau pikirkan? apakah kau takut jika nanti tubuhmu akan terkapar disini?”.
Ki Tumenggung Suratani hanya tersenyum mendengar ucapan orang yang berada di hadapannya. Katanya, “bukankah kau tahu kita sama-sama seorang prajurit? dan bahwa prajurit tidak pernah mengenal rasa takut meskipun kita harus terkapar sekalipun”.
“Lalu apa lagi yang kau pikirkan? bukankah kita akan sebagai prajurit kita lebih terhormat gugur di medan daripada harus pulang dengan kekalahan?”.
“Kau benar. Dan kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan, bahkan sejak hari pertama kita menjadi seorang prajurit”.
“Apakah perang tanding antara kita sudah dapat dimulai?”.
“Baiklah kita akan segera mulai”. sahut Ki Tumenggung Suratani, kemudian memberikan isyarat kepada prajurit penghubung untuk melaporkan kepada pepunden mereka apa yang terjadi.
“Aku hargai sikapmu. Meskipun kau akan memasuki perang tanding, tapi kau masih sempat memikirkan keutuhan pasukanmu secara keseluruhan”.
“Bukankah itu memang kewajiban kita sebagai Senopati Agung?”.
“Ya.. ya.. kau benar. Aku pun akan berbuat demikian”.
Setelah kedua Senopati Agung itu melaporkan kejadian tersebut kepada pepunden mereka masing-masing, maka mereka segera mempersiapkan diri untuk berperang tanding tanpa kemungkinan ada gangguan lagi.
Ki Tumenggung Ganggasura yang merasa percaya diri, segera menyerang lawannya terlebih dahulu, bahkan sudah mulai dengan dilambari tenaga cadangan, meskipun masih tataran rendah.
Ki Tumenggung Suratani yang sudah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan, segera berkelit pada saat tangan kanan lawannya mengarah ke keningnya, dengan setengah berputar dirinya mulai membalas menyerang lambung.
Lawannya yang sudah menduga, segera menghindar ke samping sembari menjatuhkan diri sekaligus menyerang kaki kiri lawan yang dipergunakan untuk tumpuan berdiri, Ki Tumenggung Suratani yang melihat serangan itu segera melompat menjauh.
Kemudian pertempuran antara dua orang Senopati Agung masing-masing pasukan telah dimulai dengan garangnya meskipun mereka masih saling menjajaki kemampuan masing-masing.
Keduanya saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya, hanya sesekali saja terjadi benturan ilmu dari keduanya, namun itu sudah cukup bagi kedua orang yang berilmu sangat tinggi tersebut untuk menilai kemampuan lawan, meskipun mereka masih sama-sama menyadari bahwa belum meningkatkan kemampuan hingga tataran puncak ilmu yang mereka kuasai.
Sementara seorang penghubung telah menghadap Panembahan Hanyakrakusuma yang berada di belakang garis pertempuran ketika matahari semakin turun di sebelah barat, untuk melaporkan apa yang terjadi di pasukan induk.
“Apa pendapat Paman Pangeran bertiga?”. berkata Kanjeng Sinuhun Mataram setelah selesai mendengarkan laporan.
“Di medan segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk Senopati Agung yang akan terseret oleh perang tanding kapan pun dengan prajurit lawan yang harus dihadapinya”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Aku rasa hari ini pasukan Mataram masih aman meskipun Senopati Agungnya harus menghadapi perang tanding karena tidak lama lagi langit akan gelap, dengan kata lain perang segelar sepapan sebentar lagi akan beristirahat”.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang menurut Paman Pangeran bertiga?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma.
“Aku rasa sementara ini tidak ada yang perlu kita lakukan selain hanya mengawasi keadaan medan, jika terjadi goncangan baru kita berbuat sesuatu untuk mengamankan pasukan kita”.
“Aku sependapat dengan Kakangmas Pangeran Pringgalaya, karena seandainya kita turun ke medan sekarang pun sebentar lagi akan terdengar sangkakala”.
“Angger Panembahan perintahkan saja kedua Senopati Pengapit untuk mengambil alih sementara tugas Ki Tumenggung Suratani guna menjaga keseimbangan pasukan secara keseluruhan sehubungan dengan prajurit yang dipercaya menjadi Senopati Agung Mataram hari ini telah terikat oleh perang tanding”.
“Baiklah, aku juga sependapat”.
Kemudian Panembahan Hanyakrakusuma pun memerintahkan prajurit penghubungnya untuk menyampaikan perintahnya kepada dua Senopati Pengapit Ki Tumenggung Suratani.
“Sendika dawuh Kanjeng Panembahan”.
Prajurit penghubung itu pun segera melaksanakan perintah pepundennya dengan menyibak medan yang masih begitu garang meski matahari semakin jauh ke arah barat.
Semetara pertempuran antara Ki Tumenggung Prayabuana dan Ki Alap-Alap Jati Ombo sepertinya sudah semakin mendekati babak akhir. Meskipun dari awal keduanya tidak pernah berjanji untuk berperang tanding, namun melihat apa yang terjadi bisa dikatakan selayaknya perang tanding.
Ki Tumenggung Prayabuana yang ilmunya bersumber dari watak air, ternyata mampu melayani lawannya yang menguasai ilmu yang bersumber dari watak logam yang kemudian dikembangkan bersama dengan racun warangan yang sangat ganas yang pengembangan ilmu puncaknya diberi nama aji Asta Waja.
Ternyata semakin lama pertempuran pada keduanya membuat Ki Alap-Alap Jati Ombo merasa semakin tidak sabar untuk segera mengakhirinya. Baginya sudah tidak ada gunanya lagi jika harus berloncat-loncatan mengadu keterampilan seperti orang yang baru belajar kanuragan.
“Ki Tumenggung Prayabuana, aku menjadi tidak telaten lagi melayanimu berloncat-loncatan”.
“Lalu apa maumu Kyai?”.
“Bersiaplah, aku ingin segera mengakhiri pertempuran ini dengan mengadu ilmu puncak masing-masing. Namun jika kau menjadi ketakutan, aku tidak keberatan jika kau mau menyerah. Percayalah kepadaku bahwa aku akan membunuhmu tanpa kau merasakan kesakitan”.
“Apakah kau bergurau Kyai? mana ada manusia yang dengan sukarela menyerahkan nyawanya kepada lawan tanpa perlawanan? bahkan semut pun akan menggigit jika diganggu”.
“Siapa tahu kau adalah pengecualian?”. sahut Ki Alap-Alap Jati Ombo lalu tertawa.
“Jika kau akan mengeluarkan ilmu pamungkasmu, aku pun akan melayanimu”.
“Bersiaplah”.
Kemudian kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu pun segera mempersiapkan diri memusatkan nalar budi untuk mengungkapkan ilmu pamungkas masing-masing.
Ki Alap-Alap Jati Ombo segera merendahkan kedua kakinya dengan posisi renggang dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan kedua mata terpejam.
Ki Tumenggung Prayabuana yang tidak mau lengah barang sekejap pun segera memusatkan nalar budinya pula untuk mengetrapkan ilmu pamungkasnya guna melawan ilmu lawannya.
Setelah selesai memusatkan nalar budinya Ki Alap-Alap Jati Ombo segera mendekati lawannya yang berjarak beberapa langkah saja dari tempatnya berdiri.
Ki Tumenggung Prayabuana yang juga berilmu sangat tinggi segera tanggap apa yang akan dilakukan lawannya tidak menjadi terkejut. Lawannya pasti ingin melakukan benturan secara langsung daripada menyerangnya dari jarak jauh, agar akibat yang ditimbulkan lebih besar untuk lawannya.
Ki Tumenggung Prayabuana yang sudah memusatkan ilmu pamungkasnya di telapak tangannya pun menyambut benturan ilmu tersebut dengan penuh kepasrahan kepada Yang Maha Agung atas apa yang akan terjadi dengannya nanti.
Kemudian kedua orang itu pun saling mendekati, setelah sampai jarak yang cukup, Ki Alap-Alap Jati Ombo mengayunkan kedua tangannya yang dilambari dengan ilmu puncak dari aji Asta Waja.
Ki Tumenggung Prayabuana yang tidak mau menjadi korban lawannya segera menyambut serangan itu dengan kedua tangannya yang sudah dilambari dengan ilmu puncaknya pula yang diberi nama aji Tirta Windu.
Akibat benturan antara dua orang yang berilmu sangat tinggi itu benar-benar sangat luar biasa. Udara menjadi terguncang dengan hebatnya dan seakan-akan udara tiba-tiba meledak dahsyat.
Seketika dua orang tersebut sama-sama terpental beberapa langkah surut, bahkan Ki Alap-Jati Ombo kemudian jatuh dan sempat berguling di tanah beberapa kali sebelum akhirnya tubuh itu tidak bergerak lagi dalam keadaan telungkup, entah hanya pingsan atau sudah meregang nyawa.
Sementara Ki Tumenggung Prayabuana yang terpental pula akibat benturan masih sempat terhuyung-huyung beberapa langkah surut sebelum akhirnya terjatuh ke tanah dengan keadaan terlentang.
Beberapa orang prajurit dari kedua belah pihak yang berada di sekitar tempat itu yang melihat kejadiannya segera berlarian untuk melihat apa yang terjadi serta mengamankan kawan mereka dari segala kemungkinan.
“Jangan banyak bergerak dulu Ki Tumenggung”. berkata salah satu prajurit yang sudah berjongkok di sebelahnya.
Ternyata pemimpin pasukan Mataram yang berkedudukan di Jati Anom tersebut masih sadarkan diri meskipun dengan keadaan yang sangat lemah.
“Telanlah obat ini untuk memperbaiki keadaanmu sementara sebelum mendapatkan pertolongan yang lebih baik”. ucap prajurit itu sembari memberikan dua butir obat ke dalam mulutnya.
“Tangan kiriku”.
Tanpa sadar prajurit yang berjongkok di sebelahnya segera memeriksa apa yang dimaksud Ki Tumenggung Prayabuana. Ternyata ada goresan kecil di tangan kiri tersebut.
Goresan luka yang ditimbulkan itu memang terlihat sangat kecil, namun kekuatan racun yang sangat kuat akan mampu menelusup ke seluruh tubuh dengan sangat cepat meskipun hanya dari goresan luka betapapun kecilnya.
Tangan itu memang terlihat hanya menghitam melingkar di sekitar bekas luka yang ditimbulkan, tapi sepertinya racun yang sangat kuat itu telah mulai menyebar ke seluruh tubuh, terutama ke jantung.
“Racun”. berkata prajurit itu sangat terkejut. “perintahkan tabib untuk segera datang kemari, karena kita tidak mempunyai banyak waktu jika harus membawanya ke belakang garis pertempuran”. ucapnya lagi yang kini ditujukan kepada kawannya yang masih tegar berdiri di sebelahnya.
“Percuma Ki Rangga Sabungsari, racun itu terlalu kuat”. berkata Ki Tumenggung Prayabuana dengan suara perlahan dan terputus-putus.
“Kita harus berusaha dulu Ki Tumenggung”.
“Tolong sampaikan permintaan maafku kepada Kanjeng Sinuhun jika aku tidak mampu lagi untuk melanjutkan tugas”.
Setelah berkata demikian Ki Tumenggung Prayabuana mulai menutup kedua matanya, nafasnya semakin melemah meskipun masih sempat terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya nafasnya benar-benar terputus untuk selamanya.
Pada saat yang bersamaan tabib yang tadi dipanggil telah datang ke tempat itu, tapi apa mau dikata. Semuanya sudah terlambat karena orang yang akan diobati telah dipanggil menghadap oleh Yang Maha Welas Asih.
Seorang senopati Mataram yang belum lama menerima anugerah kenaikan pangkat dan berilmu sangat tinggi itu telah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya hingga nafasnya yang terakhir.
“Ki Alap-Alap Jati Ombo telah gugur”. teriak salah satu prajurit Mataram yang mengetahui keadaan lawan Ki Tumenggung Prayabuana yang kemudian disambut teriakan serupa oleh kawan-kawannya sehingga menggema di sekitar tempat itu.
Tapi baru saja teriakan itu menggema, sudah disambut oleh teriakan lain dari pihak lawan.
“Ki Tumenggung Prayabuana juga gugur. Mereka sampyuh”. teriak salah satu prajurit Wirasaba yang disambut gegap gempita oleh kawan-kawannya pula.
Para prajurit Wirasaba memang sengaja berteriak lebih kencang dari pasukan Mataram. Karena secara tidak langsung apa yang mereka lakukan itu untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka sendiri dan berusaha mengguncang ketahanan jiwani lawannya yang tadi sempat di atas angin.
Kemudian dua orang yang berilmu sangat tinggi dan telah gugur setelah benturan ilmu puncak itu segera dibawa ke belakang garis pertempuran oleh kawan mereka masing-masing, sementara yang lain masih melanjutkan pertempuran.
Sementara dalam pasukan sayap kanan Mataram yang menggunakan gelar Wulan Tumanggal pula seperti pasukan sayap kiri di bawah pimpinan Ki Tumenggung Sanggawira bersama dengan pasukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Ki Prastawa tidak kalah sengitnya.
Tidak lama lagi matahari memang akan menghilang di balik pegunungan di sebelah barat, namun kekuatan pasukan mereka sepertinya masih terlihat seimbang secara keseluruhan. Meskipun dari kedua belah pihak telah banyak yang terluka bahkan telah menjadi korban dan harus digotong oleh kawan-kawannya ke belakang garis pertempuran.
Ki Tumenggung Sanggawira yang baru saja mendapat serangan yang begitu tiba-tiba dari seorang yang berilmu sangat tinggi dari pasukan Wirasaba masih terlihat terlihat sigap menyambut serangan tersebut meskipun sudah bertempur seharian.
“Licik”. berkata Ki Tumenggung Sanggawira setelah melompat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dari lawannya.
“Jika kau tidak siap memasuki medan pertempuran lebih baik kau pulang saja dan leyeh-leyeh di rumah sembari mendengarkan kekudangan biyungmu”.
“Menarik sekali sikapmu Ki Sanak. Jika aku lihat kau bukan berasal dari salah satu prajurit Wirasaba, tapi kau berada di pihak mereka. Siapa kau?”. bertanya Ki Tumenggung Sanggawira setelah mengamati orang agak gemuk dengan jambang dan kumis yang melintang di wajahnya yang berdiri di hadapannya.
“Bukalah matamu lebar-lebar dan dengarlah baik-baik. Aku adalah pemimpin Padepokan Cangkringan yang berada di dekat lereng Gunung Penanggungan, akulah yang disebut Kyai Cangkringan atau Ki Cangkring Giri”.
“Maaf Kyai Cangkringan, aku belum pernah mendengar namamu sebelumnya”.
“Kau memang adalah seorang prajurit yang berpandangan picik dan pengalaman yang sempit. Namaku sudah menggema di seluruh tanah ini”.
“Aku memang prajurit yang berpandangan picik dan pengalaman sempit, karena waktuku lebih banyak aku habiskan di barak-barak prajurit tempatku bertugas, sehingga hampir tidak pernah mengenal dunia luar selain dunia keprajuritan”.
“Ternyata kau memang prajurit yang terlalu dungu”.
“Terserah apa yang kau katakan”.
“Tapi jika aku lihat ciri-ciri yang kau sandang, kau adalah seorang prajurit dengan pangkat tumenggung”.
“Demikianlahlah Ki Sanak”.
“Kau dapatkan pangkat itu karena sebuah keberuntungan atau karena belas kasihan dari pepundenmu?”. berkata Ki Cangkring Giri dengan senyum sinis.
“Mungkin pula kedua-duanya”.
“Tapi itu adalah urusanmu dan bukan urusanku. urusanku adalah menyerahkan kepalamu kepada Kanjeng Adipati Wirasaba”.
“Jangan terlalu garang Ki Sanak. Apakah ukuranmu dalam akhir pertempuran adalah kematian?”.
“Apakah kau menjadi ketakutan dengan kematian?”.
“Sebagai seorang prajurit aku telah dididik untuk tidak pernah mengenal rasa takut sedikitpun dan dalam keadaan apapun, tapi aku dibekali kawruh pula untuk menyelesaikan masalah tanpa harus mengorbankan nyawa seseorang”.
“Merdu sekali sesorahmu di hadapanku. Kau bisa berkata demikian tapi kau sendiri ikut menjadi bagian untuk menyerang Wirasaba dengan pasukan segelar sepapan. Apa katamu sekarang?”.
“Meskipun dalam peperangan sering jatuh banyak korban, namun peperangan bukan berarti harus diakhiri kematian, jika tidak dalam keadaan yang sangat terpaksa”.
“He.. terpaksa kau bilang? jelas-jelas pasukan Mataram dengan penuh kesombongan telah merencanakan dengan sebaik-baiknya untuk dapat menyerang Wirasaba. Apa kau akan berkata pula bahwa kalian terpaksa menyerang Wirasaba?”.
“Terserah apapun yang kau katakan”. sahut Ki Tumenggung Sanggawira yang merasa kehabisan kata-kata orang yang berdiri di hadapannya.
“Kau memang orang yang terlalu dungu untuk aku ajak bicara, memang sebaiknya senjata kitalah yang berbicara”. ucap Ki Cangkring Giri yang darahnya sudah mulai mendidih sehingga semakin membuat wajahnya yang garang terlihat menjadi semakin garang.
“Aku memang bukan seorang pujangga yang pandai merangkai kata-kata”.
“Semakin kau banyak bicara, maka semakin membuat kupingku semakin panas saja”.
Selesai berkata demikian, Ki Cangkring Giri segera menyerang Ki Tumenggung Sanggawira dengan garangnya. Bahkan tanpa peringatan sama sekali terlebih dahulu.
Ki Tumenggung Sanggawira beruntung adalah orang yang berilmu sangat tinggi, meskipun awalnya sedikit terkejut tapi dapat segera menanggapi keadaan dengan sangat cepat.
Pemimpin pasukan Mataram yang berkedudukan di Ganjur tersebut tidak mau langsung membenturkan diri dengan lawannya pada serangan pertama, dia sengaja menghindari serangan tersebut karena masih belum tahu seberapa tinggi kemampuan orang yang menjadi lawannya.
Ki Cangkring Giri yang melihat serangannya tidak mengenai sasaran segera melibat lawannya dengan serangan membadai. Ki Tumenggung Sanggawira yang mendapat serangan tersebut mau tidak mau segera meningkatkan kemampuannya agar tetap mampu mengimbangi serangan lawan.
Pemimpin Padepokan Cangkringan itu melibat lawannya dengan pertempuran yang keras pada jarak dekat, dan dia memang sengaja tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada lawannya untuk sedikit saja bernafas lega.
Akhirnya Ki Tumenggung Sanggawira terdesak, bahkan ketika lawannya mengayunkan tangan kanannya dari samping dia sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindar, dengan gerakan naluriahnya dia menangkisnya dengan tangan kiri.
Benturan antara dua orang yang berilmu sangat tinggi itu pun sudah tidak dapat dihindari, mereka pun sempat bergetar sesaat karenanya lalu mundur beberapa langkah surut.
“Ternyata kau memiliki bekal kanuragan pula Ki Sanak? siapa namamu?”. bertanya Ki Cangkring Giri setelah menyadari kemampuan lawannya.
“Apakah masih penting namaku bagimu?”.
“Aku sempat melupakan bahwa kau seorang Tumenggung. Aku menanyakan namamu karena agar aku bisa menyebut namamu jika nanti Kanjeng Adipati Wirasaba bertanya kepadaku siapakah yang telah aku bunuh”.
“Tidak ada gunanya kau menyebut namaku di depan pepundenmu, karena mereka pasti tidak akan mengenal aku”.
“Druhun.. suaramu semakin lama sangat memuakkan”. Setelah berhenti sejenak, “Tapi aku dapat memaklumi, biasanya memang orang yang akan menghadapi kematian ucapannya suka meracau”.
“Apakah kau sedang membicarakan dirimu sendiri?”.
“Setan alas.. cepat sebut namamu sebelum aku benar-benar membunuhmu”.
“Baiklah, aku adalah Ki Tumenggung Sanggawira”.
“Sekarang tataplah langit dan peluklah bumi untuk yang terakhir kali, karena sebentar lagi aku akan mengirimmu ke alam kelanggengan”. berkata Ki Cangkring Giri dengan sorot mata tajam.
Tapi sebelum mereka sempat melanjutkan pertempuran, dari kejauhan telah terdengar suara sangkakala yang terbuat dari gading gajah, sebagai pertanda bahwa segala bentuk peperangan di hari itu harus segera dihentikan.
“Sayang sekali Ki Cangkring Giri, kita harus menunda pertempuran ini hingga besok pagi”.
“Druhun.. aku bukanlah prajurit yang terikat paugeran perang”.
“Tapi aku adalah prajurit yang harus mentaati segala paugeran perang”.
“Aku menantangmu berperang tanding”.
“Maaf Ki Cangkring Giri, bukan aku tidak mau melayanimu tapi aku adalah bagian dari prajurit yang harus mentaati segala paugeran perang yang berlaku, sebaiknya kau bersabar hingga besok pagi”.
Selesai berkata demikian, Ki Tumenggung Sanggawira pun mulai menarik diri dari medan bersamaan dengan kawan-kawannya yang membuat Kyai Cangkringan mengumpat sejadi-jadinya di tempat dia berdiri sembari masih memandangi pasukan lawan yang mulai bergerak mundur.
Sementara kedua pasukan segelar sepapan dari Mataram dan Wirasaba pun secara perlahan-lahan mulai menarik diri setelah terdengar isyarat suara sangkakala dari atas bukit kecil tidak jauh dari medan pertempuran, betapapun darah hampir di setiap dada para prajurit masih mendidih, tapi mereka harus mentaati segala paugeran perang yang berlaku.
Meskipun kedua pasukan telah sama-sama menarik diri, namun mereka tidak pernah meninggalkan kewaspadaan terhadap keadaan sekitar, itu terlihat dari mereka yang masih banyak yang menggenggam senjata untuk berjaga-jaga.
Pemandangan di sebelah barat sudah mulai terlihat cahaya langit yang tampak kemerah-merahan, tanda sebentar lagi malam akan segera turun di sekitar tempat tersebut.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma justru mulai mendekati medan bersama ketiga Pangeran Mataram yang selalu menyertainya. Karena di bekas medan pertempuran pasukan segelar sepapan masih ada satu arena yang masih bergelora.
Setelah Panembahan Hanyakrakusuma merasa jarak dianggap cukup untuk mengawasi arena perang tanding, dia berhenti sembari matanya tidak pernah lepas dari arena perang tanding.
Beberapa senopati dari kedua belah pihak pun tidak mau ketinggalan untuk ikut menjadi saksi perang tanding antara dua orang prajurit yang pilih tanding.
Beberapa saat kemudian mulai terlihat para prajurit yang bertugas mengumpulkan para korban mulai berdatangan di bekas medan pertempuran dengan membawa pertanda secarik kain putih yang diikatkan pada sebuah sebatang kayu kecil dan pendek serta tanpa membawa senjata sama sekali.
Para prajurit mulai mencari kawan mereka masing-masing, baik yang terluka maupun yang sudah meregang nyawa yang pada saat pertempuran tadi mungkin tidak sempat dibawa ke belakang garis pertempuran.
“Ki Sanak, disini masih ada kawanmu yang tergeletak”. berkata salah satu prajurit Mataram setengah berteriak, agar didengar oleh para prajurit Wirasaba.
Salah satu prajurit Wirasaba segera menghampiri tempat yang dimaksud, kemudian memeriksanya.
“Terima kasih Ki Sanak, dia memang kawan kami yang gugur”. berkata prajurit Wirasaba setelah memeriksa sosok tubuh yang menelungkup di atas tanah berdebu dengan beberapa luka pada sekujur tubuhnya.
Terlihat suasana yang sangat berbeda sekali dengan beberapa saat yang lalu, kini terlihat suasana tanpa ada permusuhan sama sekali dari kedua belah pihak meskipun baru saja mereka saling menyabung nyawa mereka satu-satunya.
Sementara gelap mulai turun di tempat tersebut, beberapa prajurit pun membawa oncor biji jarak untuk menerangi tempat itu guna mempermudah mencari kawan-kawan mereka yang mereka yang masih tergeletak di bekas medan pertempuran, baik yang gugur maupun yang terluka namun belum sempat diurus.
“Ki Sanak, apakah yang tergeletak ini kawanmu? karena dia tidak mengenakan ciri keprajuritan Wirasaba”. berkata seorang prajurit yang membawa oncor, beberapa langkah dari tempat yang pertama.
Dengan setengah berlari seorang prajurit Wirasaba menghampiri tempat yang dimaksud, kemudian memeriksanya.
“Benar Ki Sanak, dia adalah salah satu cantrik dari Padepokan Jati Ombo”.
“Coba kau periksa dia kembali, sepertinya dia masih hidup”.
“He..”. seru prajurit Wirasaba terkejut, lalu memeriksanya.
Ternyata cantrik itu memang masih hidup meskipun terlihat terluka parah di beberapa bagian tubuhnya. Kemudian prajurit Wirasaba itu pun memanggil kawan-kawannya untuk segera memberikan pertolongan kepada cantrik Padepokan Jati Ombo tersebut.
Terlihat suasana yang seperti tidak pernah ada permusuhan dari kedua belah pihak, bahkan mereka justru saling memberitahukan jika menemukan korban yang terlewatkan oleh kawannya.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma masih mengawasi perang tanding salah satu prajurit kebanggaan Mataram dengan hati berdebar-debar. Meskipun pepunden Mataram itu yakin akan kemampuan orang kepercayaannya tersebut, namun disisi lain dia belum tahu seberapa tinggi ilmu orang yang menjadi lawannya.
Sementara itu pertempuran Ki Tumenggung Suratani semakin semakin sengit saja, mereka saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya.
Suatu ketika Ki Tumenggung Ganggasura harus menekuk lutut kanannya pada saat dia tidak mempunyai waktu lagi untuk menghindari serangan lawan. Ternyata akibat benturan itu sangat dahsyat sekali bagi keduanya karena sudah merambah ke ilmu cadangan masing-masing.
Tapi mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi dan mempunyai daya tahan tubuh yang luar biasa, sehingga benturan itu tidak membuat tubuh mereka menjadi kesakitan karena terguncang.
Mereka pun kemudian sama-sama mengambil jarak beberapa langkah surut untuk lebih dapat menilai keadaan.
“Meskipun kita belum lama memulai pertempuran, tapi aku sudah dapat sedikit gambaran tentang tataran ilmu yang kau kuasai Ki Tumenggung Suratani. Tapi kita akan membuktikan apakah kau memang pantas mendapatkan kepercayaan menjadi Senopati Agung Mataram”.
“Apakah secara tidak langsung kau ingin mengatakan bahwa kau ingin membuat perbandingan antara Senopati Agung Mataram dan Wirasaba mana yang lebih baik, Ki Tumenggung Ganggasura?”.
“Bukankah sejak awal memang demikian? apakah harus aku perjelas lagi?”.
“Ya.. ya.. aku mengerti. Tapi sebenarnya aku tidak pernah berniat untuk membuat perbandingan seperti ini. Aku hanya sekedar menjalankan tugas”.
“Sekarang kau tidak mempunyai pilihan”.
“Kau benar, terkadang kita memang dihadapkan pada sebuah keadaan yang kita tidak mempunyai pilihan”.
“Bersiaplah Ki Tumenggung Suratani, sepertinya kita sudah terlalu banyak bicara”.
Setelah berkata demikian Ki Tumenggung Ganggasura segera mempersiapkan diri untuk menyerang kembali lawannya, bahkan kini sudah mulai meningkatkan tataran ilmunya selapis lebih tinggi.
Ki Tumenggung Suratani yang tidak pernah meremehkan lawannya pun segera bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Karena dalam perang tanding semua kemungkinan bisa terjadi, meskipun memiliki kemampuan yang lebih tinggi tapi jika lengah dalam menanggapi keadaan bisa saja akan terperosok ke dalam kesulitan.
Kali ini serangan demi serangan Ki Tumenggung Ganggasura semakin cepat dan berbahaya, bahkan sesekali tubuhnya hanya terlihat seperti bayang-bayang dalam keremangan malam meskipun di sekitar tempat itu telah ditancapi oncor-oncor dari biji jarak.
Namun Ki Tumenggung Suratani juga adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga tidak menjadi gugup meskipun sesekali masih terlambat untuk menghindar. Tapi pada akhirnya pemimpin Pasukan Khusus Mataram tersebut terbuka pula pertahanannya sehingga dia harus terlempar saat serangan kaki berputar lawan mengenai dadanya.
“Ha.. ha.. ha.. “. menggelegarlah suara tawa Ki Tumenggung Ganggasura dengan kemenangan kecilnya.
“Bangkitlah Senopati Agung Mataram. Keluarkanlah segala kemampuan yang kau miliki agar kau tidak menyesal nantinya”.
Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu menjadi semakin berdebar-debar, terutama bagi orang-orang Mataram. Bahkan nafas mereka seperti tertahan saat melihat kawan mereka terlempar beberapa langkah surut.
Ki Tumenggung Suratani dapat segera bangkit untuk melanjutkan perang tanding itu kembali. Namun kali ini justru lawannya yang menjadi heran dan mengerutkan keningnya karena melihat lawannya seperti tidak merasakan sakit sama sekali.
“Apakah kau menguasai ilmu kebal?”.
Ki Tumenggung Suratani yang baru saja bangkit berdiri dan mendapat pertanyaan tersebut hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah katapun.
“Ternyata aku terlambat menyadari, pantas saja sedari tadi kau tampak tetap tenang setiap kali aku mampu menembus pertahananmu. Tapi kau jangan terlalu berbangga dulu Ki Sanak, aku yakin bahwa aku akan mampu menembus ilmu kebalmu sekuat apapun dengan puncak ilmuku”.
“Setinggi apapun ilmu yang kita kuasai pasti mempunyai kelemahan Ki Tumenggung Ganggasura, begitu pula dengan aku yang pasti mempunyai kelemahan tersebut, maka dari itu aku tidak pernah merasa menjadi orang paling dug-deng dengan ilmu yang aku kuasai, karena semua kesempurnaan hanya milik Yang Maha Agung”.
“Menarik sekali, ternyata kau adalah termasuk orang yang sudah pupus kawruh lahir dan batin”.
“Bukan itu maksudku…”.
“Sudahlah, sekarang kita sedang berperang tanding mengadu ilmu, bukan berperang tanding adu mulut”. Ki Tumenggung Ganggsura memotong cepat.
“Bersiaplah. Kita sudah sepakat untuk mengadu ilmu hingga lembut ngungkuli banyu, agal ngungkuli gunung”.
Keduanya pun segera bersiap kembali untuk melanjutkan perang tanding yang semakin lama menjadi semakin dahsyat, karena mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Ki Tumenggung kembali mengetrapkan salah satu ilmunya yang mampu bergerak seperti tanpa bobot sama sekali, bahkan sesekali sampai tidak terlihat pergerakannya.
Ki Tumenggung Suratani yang melihat kemampuan lawannya segera meningkatkan kemampuannya untuk mengimbangi ilmu lawan yang sangat nggegirisi tersebut dengan jenis ilmu yang sama meskipun dari sumber ilmu yang berbeda.
Kedua prajurit yang pilih tanding tersebut saling menyerang dan bertahan dengan sama baiknya, bahkan karena saking cepatnya pergerakan mereka semakin terlihat hanya seperti bayang-bayang yang berloncatan kesana-kemari.
Bagi orang-orang yang belum mencapai tataran itu, melihat perang tanding tersebut hanya mampu membayangkan apa yang terjadi tanpa pernah tahu pasti dengan apa yang terjadi.
“Perang tanding yang luar biasa”. desis seorang prajurit Mataram yang ikut menyaksikan perang tanding bersama kawan-kawanya.
“Kau benar, aku pun baru kali ini melihat perang tanding di luar penalaranku, karena tataran ilmuku masih jauh dari itu”.
“Apakah menurutmu Ki Tumenggung Suratani akan mampu mengatasi lawannya?”.
“Meskipun aku percaya Ki Tumenggung Suratani adalah orang yang berilmu sangat tinggi namun kita pun dapat melihat bahwa lawannya berilmu sangat tinggi pula, sehingga aku belum bisa menduga akhir dari perang tanding ini”.
“Kau benar, tapi tidak salah jika kita berharap untuk kemenangan Senopati Agung Mataram”.
“Ya.. mari kita sama-sama nenuwun”.
Para prajurit dan para petinggi dari dua belah pihak yang saling bertentangan itu semakin menjadi berdebar-debar melihat perang tanding yang semakin mencapai tataran ilmu yang semakin tinggi.
Ki Tumenggung Ganggasura sempat tersenyum ketika tendangan memutarnya mampu mengenai punggung lawan dan mampu menembus ilmu kebalnya.
Ki Tumenggung Suratani sempat terdorong dua langkah surut ketika merasakan punggungnya seperti telah dihantam potongan wesi gligik yang sangat keras, beruntunglah dia sudah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya.
Untuk mengatasi serangan lawan yang semakin cepat dan nggegirisi, kemudian Ki Tumenggung Suratani semakin meningkatkan ilmu kebalnya semakin tinggi bahkan hingga ke puncak, karena serangan lawan sebelumnya mulai mampu menembus dan menyakiti tubuhnya.
Jenis Ilmu kebal yang dikuasai oleh Ki Tumenggung Suratani jika sudah mencapai puncaknya akan membuat udara disekitarnya menjadi sangat dingin, apalagi bagi orang yang berada semakin dekat dengannya akan merasakan dingin yang sangat mencekam.
Meskipun Ki Tumenggung Suratani menguasai ilmu kebal, tapi dia tidak mau terlena, karena itu dia tidak pernah menggantungkan diri semata-mata pada ilmu kebalnya yang mungkin saja masih bisa ditembus oleh ilmu lawan.
“Mengapa udara di tempat ini tiba-tiba menjadi dingin sekali”. membatin Ki Tumenggung Ganggasura yang masih berusaha mendesak lawannya.
Karena Senopati Agung Wirasaba itu merasakan udara dingin yang semakin mencekam tubuhnya, maka dia pun segera melompat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, dan lawannya pun sengaja membiarkan.
“Udara disini tidak sedingin tadi”. katanya dalam hati lagi.
Ki Tumenggung Ganggasura yang awalnya belum menyadari apa yang terjadi merasa heran udara di sekitar tempat itu menjadi sangat dingin, tapi setelah sejenak dapat kesempatan untuk mengambil jarak, barulah dia menyadari.
Maka dia pun segera merambah ke salah satu ilmu simpanannya yang dapat mengalirkan hawa panas ke seluruh tubuhnya untuk melawan pancaran ilmu lawan sehingga tubuhnya tidak menjadi beku karenanya.
“Ilmu yang pernah menggetarkan pada masa kejayaan Majapahit, dan sekarang sudah sangat langka sekali, bahkan bisa dikatakan sudah punah karena beberapa waktu tidak pernah muncul, namun sekarang tiba-tiba muncul kembali di tempat ini”. berkata Ki Tumenggung Ganggasura menilai ilmu lawannya.
“Aku sangat kagum dengan wawasan Ki Tumenggung Ganggasura yang sangat luas pada ilmu kanuragan”.
“Tapi sekarang aku ingin membuktikan apakah ilmu yang pernah menggetarkan pada masa kejayaan Majapahit itu tidak menjadi susut bobotnya”.
Sementara Ki Patih Rangga Permana bersama dengan Kanjeng Adipati Wirasaba yang menyaksikan perang tanding itu menjadi ikut berdebar-debar, terutama Ki Patih Rangga Permana yang sedikit banyak telah mengetahui sumber ilmu yang dikuasai lawan prajuritnya tersebut.
“Ilmu yang sangat nggegirisi”. desis Ki Patih Rangga Permana.
“Apakah Ki Tumenggung Ganggasura akan dapat mengatasi ilmu itu, Paman?”.
“Segala ilmu kebal pasti mempunyai kelemahan ngger, tapi yang sedang dihadapi oleh Ki Tumenggung Ganggasura bukan sekedar ilmu kebal semata, namun ada ilmu lain yang menyertainya”.
“Maksud Paman?”.
“Jika sumber ilmu itu sama dengan yang pernah aku dengar, maka selain ilmu itu bersifat melindungi orang yang menguasainya, ilmu kebal tersebut mempunyai kemampuan pula untuk menyerang lawannya dengan hawa dingin yang sangat mencekam, bahkan pada ilmu puncaknya akan mampu membekukan tubuh lawannya”.
“Lalu bagaimana Ki Tumenggung Ganggsura untuk mengatasinya Paman?”.
“Semoga dia bisa mengatasi dengan ilmu yang dikuasainya”. sahut Ki Patih Rangga Permana penuh ketegangan.
Sementara di arena perang tanding sudah semakin menegangkan, karena sejak Ki Tumenggung Ganggasura menyadari kemampuan lawannya, dia tidak lagi bisa menahan diri. Prajurit kepercayaan Kanjeng Adipati Wirasaba itu pun segera merambah ke puncak ilmunya yang bersumber dari api.
Kemudian Ki Tumenggung Ganggasura memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan salah satu ilmu simpanannya hingga ke puncak.
Seluruh tubuh Senopati Agung Wirasaba itu seakan-akan menjadi panas dan membara setelah dia mengetrapkan aji Geni Sekilan, ilmu yang mampu membuat lawannya melepuh atau bahkan terbakar seketika jika mendekati jarak sekilan dari orang yang menguasai ilmu tersebut.
“Luar biasa”. desis Ki Tumenggung Suratani tanpa sadar.
“Kita sama-sama mempunyai ilmu simpanan”.
Sementara orang-orang yang menyaksikan dua orang yang pilih tanding tersebut menjadi semakin tegang, terutama bagi orang yang belum mencapai tataran itu hanya bisa ikut tegang dan berdebar-debar serta mengaguminya tanpa bisa menilai keadaan dengan pasti.
“Kita beruntung dapat menyaksikan perbandingan ilmu dari orang-orang yang pilih tanding itu, yang entah kapan lagi kita dapat menyaksikannya”. celetuk salah satu prajurit Wirasaba.
“Bukankah kau pernah menjadi seorang cantrik di sebuah padepokan?”. sahut kawannya menimpali.
“Kau benar, tapi sepertinya aku menjadi cepat puas dengan yang aku kuasai, justru karena itulah kemampuanku tidak bisa berkembang dengan pesat”.
“Apakah sekarang kau tidak mengembangkan ilmu yang kau kuasai lagi?”.
“Bukankah kau tahu sendiri? sejak memasuki dunia keprajuritan, aku seperti sudah tidak mempunyai waktu longgar lagi untuk mengembangkan ilmu karena kesibukan tugas-tugas yang kita emban?”.
Sementara perang tanding sudah mulai berkobar lagi dengan tataran ilmu yang semakin tinggi dari dua orang prajurit yang kebetulan pada hari itu mendapat kepercayaan untuk menjadi Senopati Agung masing-masing pasukan.
Setelah kedua orang itu mengetrapkan ilmu, mereka segera mendekati lawan masing-masing, Ki Tumenggung Ganggasura pun berusaha menyerang lebih dahulu dengan tangannya menghantam kening, Ki Tumenggung Suratani berkelit menyamping sembari melayangkan tangannya mengarah ke punggung, lawannya yang menyadari serangan itu segera merendahkan tubuhnya.
Hingga suatu ketika mereka tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindari benturan pada saat kaki Ki Tumenggung Ganggasura menjulur lurus, Ki Tumenggung Suratani yang sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar pun segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Maka terjadilah benturan ilmu yang sangat dahsyat sekali, seakan udara di sekitar tempat itu tiba-tiba meledak. Mereka pun terguncang hebat.
“Luar biasa, ternyata kau pun memiliki ilmu kebal Ki Tumenggung Ganggasura”. desis Ki Tumenggung Suratani yang merasakan ilmu kebalnya ditembus ilmu lawan.
“Apakah kau kira hanya kau saja yang mampu menguasai ilmu kebal?”.
“Kau jangan tersinggung”.
“Aku hanya melanjutkan maksudmu”.
“Tapi bukan itu maksudku sebenarnya”.
Tanpa sadar Ki Tumenggung Ganggasura mendongakkan kepalanya ke atas, memandangi langit yang sudah semakin gelap tapi tetap indah karena berhiaskan bintang-bintang di angkasa.
“Apakah kau masih berminat untuk bermain-main?”.
“Aku tahu maksudmu, tapi aku berusaha menuruti kemauanmu karena kau lah yang menantangku berperang tanding”.
“Aku mulai menjadi tidak telaten dengan apa yang kita lakukan, apalagi kita telah disaksikan oleh pepunden kita masing-masing. Pasti mereka menunggu hasil akhir dari apa yang kita lakukan”.
“Jika demikian maumu, aku sependapat”.
“Bersiaplah. Aku tidak mau dibilang licik nantinya jika terjadi sesuatu padamu”.
“Baiklah, mari kita sama-sama mempersiapkan diri”.
Sejenak kemudian dua orang yang berilmu sangat tinggi itu segera mempersiapkan diri untuk memusatkan nalar budinya guna mengungkapkan ilmu pamungkas masing-masing.
Ternyata dua orang yang kebetulan pada hari yang sama telah mendapat kepercayaan untuk mengemban tugas sebagai Senopati Agung itu telah sepakat ingin segera mengakhiri perang tanding, terutama Ki Tumenggung Ganggasura sudah tidak telaten dengan perang tanding yang sudah terlalu lama baginya.
Ki Tumenggung Ganggasura pun segera merendahkan kedua kakinya dengang posisi renggang dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada, sejenak kemudian tangan kanannya diangkat tinggi ke atas.
Ki Tumenggung Suratani yang tidak mau menjadi korban keganasan ilmu lawan segera mempersiapkan diri pula untuk memusatkan nalar budinya guna mengungkapkan ilmu pamungkasnya yang sangat nggegirisi.
Tapi apa yang dilakukan Ki Tumenggung Suratani dalam memusatkan nalar budinya sangat berbeda dengan lawannya, karena pemimpi Pasukan Khusus yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh itu hanya dengan memandangi lawannya.
Sejenak kemudian seleret sinar yang berwarna merah kekuningan meluncur secepat tatit berbarengan dengan tangan kanan Ki Tumenggung Ganggasura dihentakkan ke depan.
Ki Tumenggung Suratani yang sudah bersiap pula dengan ilmu pamungkasnya, dengan pandangan mata yang sangat tajam dari kedua matanya seakan-akan keluar sinar yang berwarna putih bersamaan dengan keluarnya ilmu pamungkas lawan.
Maka terjadilah benturan ilmu yang sangat tinggi ketika dua sinar yang bersumber dari dua ilmu pamungkas, seakan-akan udara tiba-tiba meledak dengan dahsyatnya seperti guntur yang sedang mengamuk di angkasa.
Udara yang sangat menyilaukan telah menerangi sekitar arena perang tanding setelah dua sinar itu berbenturan, sebelum akhirnya sinar itu tercerai berai menyebar ke segala arah pada sekitar tempat tersebut.
Tanaman perdu yang terkena percikan sinar itu menjadi hangus terbakar, tapi ada pula tanaman lain yang menjadi membeku akibat terkena percikan ilmu yang berbeda sumbernya.
Orang-orang yang berada di sekitar arena perang tanding dan menyaksikan benturan ilmu itu rasa-rasanya nafas mereka ikut berhenti karena saking tegangnya melihat apa yang terjadi.
Dua orang yang mengungkapkan ilmu yang sangat nggegirisi dan langka itu pun sama-sama terlempar beberapa langkah surut, bahkan Ki Tumenggung Ganggasura tidak mampu mempertahankan keseimbangan tubuhnya akhirnya jatuh berguling beberapa kali di atas rerumputan kering dalam keadaan terlentang.
Tubuhnya menjadi sangat lemah setelah terjatuh ke tanah, tapi tidak terlihat sama sekali darah yang keluar dari mulut atau bagian tubuhnya yang lain.
Orang-orang dari kedua belah pihak yang menyaksikan segera berlarian menghampiri kawan mereka masing-masing setelah melihat akhir dari perang tanding, tapi tetap tidak pernah meninggalkan kewaspadaan pada keadaan sekitar.
Mereka sama-sama menyadari bahwa mereka masih berada di medan, meskipun pada malam hari adalah waktu beristirahat kedua pasukan yang berperang, namun segala perubahan bisa saja terjadi dengan cepat.
Maka beberapa senopati masing-masing pasukan tetap ditugaskan untuk mengawasi keadaan secara keseluruhan, serta jangan sampai terhanyut pada keadaan betapapun sulitnya.
Sehingga mereka harus membagi tugas masing-masing sesuai dengan keadaan yang terjadi.
Sementara Ki Patih Rangga Permana segera mendapatkan prajurit kebanggaan Kadipaten Wirasaba yang telah terkulai di atas tanah bersama seorang tabib paling baik di Wirasaba.
Tabib itu pun segera memeriksa keadaan Ki Tumenggung Ganggasura yang terasa sangat dingin saat disentuh, namun dia tetap berusaha untuk merawatnya dengan sebaik-baiknya.
Dengan bekal ilmu pengobatan yang dikuasainya, tabib tersebut mencoba memijat beberapa bagian tubuh Ki Tumenggung Ganggasura yang sepertinya mulai kaku karena tubuhnya terasa semakin dingin.
Orang-orang Wirasaba yang telah berkerumun pun menjadi semakin gelisah dan tegang setelah melihat keadaan Ki Tumenggung Ganggasura, termasuk Kanjeng Adipati Wirasaba dan Ki Patih Rangga Permana yang hadir dalam kerumunan.
Tabib yang berusaha merawat menjadi semakin tegang pula setelah menyadari jika Ki Tumenggung Ganggasura tak mampu lagi menelan obat yang telah dicairkannya.
“Bagaimana keadaan Ki Tumenggung Ganggasura?”.
Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan tabib yang merawat setelah sejenak dirinya dalam kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya.
Dalam keterkejutannya, tabib itu mengangkat wajahnya memandang ke arah sumber suara yang bertanya, tapi segera ditundukkannya kembali setelah menyadari orang yang berbicara.
“Ampun Kanjeng, hamba sudah berusaha sejauh apa yang bisa hamba lakukan, namun hamba yang bodoh ini tidak dapat berbuat lebih jauh lagi”.
“Aku mengerti, itu memang bukan kesalahanmu”. sahut Ki Patih Rangga Permana yang menyadari apa yang terjadi.
“Terima kasih Ki Patih”.
“Bawalah Ki Tumenggung Ganggasura yang telah gugur ini ke belakang garis pertempuran dan rawatlah dia selayaknya seorang prajurit yang telah gugur di medan perang”.
Sementara di pihak Mataram yang berkerumun di sekitar tubuh pemimpin Pasukan Khusus itu tidak kalah gelisah dan tegangnya setelah melihat keadaan Ki Tumenggung Suratani yang nampak lemah dengan sekujur tubuhnya yang terasa sangat panas.
Dengan sangat hati-hati, seorang tabib yang dianggap paling baik di Mataram itu mulai memeriksa dan merawat tubuh yang sudah tergeletak di atas rerumputan kering.
Setelah memijat beberapa bagian tubuh Ki Tumenggung Suratani yang sudah semakin lemah itu, dia segera meminumkan obat yang telah dicairkan dalam sebuah mangkuk kecil.
Pemimpin Pasukan Khusus yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh tersebut masih mampu meminumnya meskipun tubuhnya betapapun lemahnya.
Keadaan tubuh yang seperti habis terpanggang di perapian yang sangat besar, beruntunglah kemampuan Ki Tumenggung Suratani masih selapis tipis lebih tinggi dari lawannya, sehingga sangat berpengaruh sekali pada akhir perang tanding.
Sehingga yang terjadi setelah benturan ilmu adalah lebih banyak memantul kembali ke arah Ki Tumenggung Ganggasura yang kemampuan ilmunya masih selapis tipis di bawahnya.
Ki Tumenggung Suratani tampak menggeliat-geliat setelah meminum obat dari Tabib yang merawatnya.
“Dia pasti merasakan sekujur tubuhnya sangat panas sekali akibat benturan dengan ilmu lawan yang sangat nggegirisi”. desis Tabib yang merawat.
“Seandainya saja Ki Tumenggung Suratani tidak menguasai ilmu kebal, pasti tubuhnya akan menjadi lumat seperti ayam panggang”.
“Angger Panembahan benar, Ki Tumenggung Suratani memang seorang prajurit yang pilih tanding”.
“Pantas saja dulu Swargi Eyang buyut Mandaraka mengusulkan namanya untuk menggantikan Ki Agung Sedayu sebagai pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh”.
“Swargi Eyang Mandaraka memang seorang Priyayi Agung dengan pandangan yang luas dan cermat dalam menanggapi setiap keadaan”.
“Paman Pangeran Pringgalaya benar, meskipun penalarannya kadang sulit untuk kita cerna sebelumnya, namun gagasannya sangat cemerlang dalam memecahkan masalah”.
“Beruntunglah Mataram memiliki Priyayi Agung seperti Eyang Mandaraka. Karena selain memiliki penalaran yang sangat cemerlang, Eyang Mandaraka adalah orang yang sulit dicari bandingnya dalam ilmu kanuragan”.
“Selain itu jasa Eyang Mandaraka tidak pernah terhitung bagi tegaknya bumi Mataram”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
Sementara keadaan Ki Tumenggung Suratani masih sangat lemah, meskipun masih dalam keadaan sadar namun masih belum dapat banyak bergerak karena keadaannya.
“Selain Ki Tumenggung Suratani memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa, beruntunglah Yang Maha Agung masih memberikan welas asih kepadanya, sehingga saat-saat yang paling menentukan telah dapat dilewatinya dengan baik”. desis Tabib yang telah merawatnya melihat perkembangan keadaan pemimpin Pasukan Khusus tersebut.
“Kita semua wajib bersyukur”.
“Benar Angger Panembahan, kita semua wajib bersyukur”.
“Jika demikian sebaiknya Ki Tumenggung Suratani kita bawa ke perkemahan agar mendapat perawatan yang lebih baik”.
Kemudian Ki Tumenggung Suratani pun segera ditandu oleh beberapa prajurit menggunakan bambu menuju perkemahan agar mendapat perawatan dan pengawasan yang lebih baik.
Orang-orang yang tadi ikut menyaksikan perang tanding ikut membubarkan diri bersamaan dengan perginya Ki Tumenggung Suratani, kecuali beberapa prajurit yang bertugas saja yang masih berada di tempat itu.
Para prajurit yang bertugas mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur pun telah hampir selesai menjalankan tugas, sehingga tempat itu sudah mulai sepi.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma beserta tiga pangeran Mataram masih menyempatkan waktu untuk menemui Ki Tumenggung Suratani di perkemahan sebelum mengadakan pertemuan dengan para senopati guna membicarakan persiapan perang yang akan mereka hadapi sehubungan dengan apa yang terjadi hari ini.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?”.
“Sudah lebih baik Kanjeng”. sahut Ki Tumenggung Suratani dengan suara yang masih sangat lemah.
“Sebaiknya kau memang beristirahat dengan sebaik-baiknya, agar segera lekas sembuh”.
“Maaf Kanjeng jika besok hamba belum bisa turun ke medan”.
“Sudahlah Ki Tumenggung, kau tak perlu memikirkannya. Tugasmu sekarang adalah beristirahat dengan sebaik-baiknya agar lekas sembuh”.
“Terima kasih Kanjeng Panembahan”.
Tidak lama kemudian Panembahan Hanyakrakusuma telah meninggalkan tempat itu untuk mengadakan pertemuan dengan para senopati, pertama adalah mendengarkan laporan yang terjadi di medan secara keseluruhan, lalu menyiapkan siasat menghadapi perang besok yang harus mereka hadapi.
Setelah para senopati dari setiap kesatuan telah hadir semua dalam pertemuan itu, maka acaranya pun segera dimulai dengan sedikit sesorah dari Panembahan Hanyakrakusuma yang ikut berbela sungkawa atas gugurnya para prajurit Mataram dalam peperangan.
“Apakah masih ada laporan lain yang hari ini belum aku dengar, selain yang baru saja aku sampaikan?”.
Sejenak suasana menjadi sepi karena para senopati yang hadir hanya bisa saling pandang dan memberikan isyarat kepada kawan terdekatnya mendengar pertanyaan pepunden mereka.
“Sejauh pengetahuan hamba, sepertinya tidak ada lagi Kanjeng. Karena semua yang terjadi di medan telah kami laporkan sesuai dengan apa yang terjadi di medan tanpa menunggu suara sangkakala”. sahut Ki Tumenggung Sanggawira yang menyadari tidak ada yang berani membuka suara.
“Bagaimana menurut paman bertiga? sehubungan dengan kita kehilangan beberapa orang penting, baik yang gugur maupun karena terluka sehingga tidak bisa turun ke medan besok?”.
Sebelum menjawab, ketiga pangeran Mataram tersebut saling pandang dan memberikan isyarat, namun akhirnya salah satu dari mereka yang membuka suara.
“Jika aku yang dimintai pendapat, sayap kiri yang pada hari ini telah kehilangan senopatinya yang telah gugur, sebaiknya kedudukannya digantikan oleh Ki Rangga Sabungsari. Meskipun pangkatnya tidak lebih dari seorang rangga, namun pengenalannya dalam waktu yang lama terhadap pasukan itu bisa menjadi pertimbangan, apalagi Ki Rangga Sabungsari bisa dikatakan sebagai orang kedua setelah Ki Tumenggung Prayabuana. Sementara untuk menggantikan Senopati Agung di pasukan induk bisa kita isi oleh salah satu atau dua orang dari kami bertiga”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Lalu kapan aku turun ke medan Paman?”. sahut Kanjeng Sinuhun Mataram yang sudah tidak sabar ingin ikut turun ke medan bersama para prajurit kebanggaannya.
“Angger Panembahan dapat turun ke medan, jika pemimpin tertinggi Wirasaba turun ke medan pula”.
“He.. “. Panembahan Hanyakrakusuma pun terkejut dengan jawaban tersebut, karena dia sendiri tahu sangat kecil sekali kemungkinan itu mengingat umur Adipati Wirasaba yang masing sangat muda dan secara penalaran wajar kemampuannya secara pribadi belum memadai untuk turun ke medan.
“Apakah Paman bertiga memang sengaja menahanku untuk tidak turun ke medan?”. sahut Panembahan Hanyakrakusuma setelah menyadari arah pembicaraan.
“Kami tidak pernah berusaha menahan untuk turun ke medan, tapi kami hanya berusaha mengingatkan kedudukan Angger Panembahan tidak hanya secara pribadi, namun secara keseluruhan. Karena sudah sepantasnya jika pemimpin tertinggi Mataram bertemu dengan pemimpin tertinggi Wirasaba”.
“Kangmas Pangeran Pringgalaya benar, memang seharusnya demikian”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
“Menurut perhitunganku, dengan gugurnya Ki Tumenggung Ganggasura hari ini sebagai Senopati Agung, besok Wirasaba kemungkinan besar akan menurunkan Ki Patih Rangga Permana yang menggantikan kedudukannya”.
“Bukankah masih ada kami bertiga yang bisa menggantikan kedudukan yang ditinggalkan oleh Ki Tumenggung Suratani, jika Ki Patih Rangga Permana bersedia turun ke medan?”.
“Bukankah dengan demikian aku hanya disuruh menyaksikan kalian semua bertempur di medan?”.
“Angger Panembahan kami persilahkan turun ke medan jika Adipati Wirasaba turun ke medan pula”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil
“Meskipun tidak turun ke medan secara langsung, bukankah tugas Angger Panembahan tidak kalah pentingnya. Karena dengan Angger Panembahan berada di luar garis pertempuran akan lebih cermat dan teliti untuk mengawasi apa yang terjadi dalam medan secara keseluruhan dibandingkan dengan orang yang terikat dengan pertempuran. Sehingga akan lebih cepat menyampaikan perintah guna tetap menjaga keseimbangan pertempuran jika tiba-tiba terjadi goncangan di salah satu medan”. sahut Pangeran Puger.
Suasana pertemuan sejenak menjadi sepi, Kanjeng Sinuhun Mataram pun masih belum membuka suara karena harus membuat pertimbangan-pertimbangan dengan penalaran wajar dahulu sebelum benar-benar menjatuhkan perintah setelah mendengarkan pendapat orang-orang kepercayaannya.
Dada Panembahan Hanyakrakusuma sangat bergelora untuk dapat segera turun ke medan, namun disisi lain pendapat ketiga Pangeran Mataram itu ada benarnya pula, bahwa kedatangannya di tempat itu bukan sekedar membawa kepentingan secara pribadi saja, namun dirinya datang atas nama seluruh kawula Mataram.
Dalam suasana yang masih hening karena belum ada yang membuka suara, mereka dikejutkan oleh seorang prajurit yang menyampaikan keinginannya untuk menghadap.
“Ampun Kanjeng, jika hamba dengan deksura telah mengganggu pertemuan ini”. berkata prajurit tersebut sembari menghaturkan sembah setelah menghadap Panembahan Hanyakrakusuma.
“Apakah keperluan yang kau bawa itu sangat penting atau bahkan mendesak?”. berkata Kanjeng Sinuhun dengan sorot mata tajam.
“Ampun Kanjeng Panembahan, hamba hanya bertugas untuk menyampaikan permohonan untuk menghadap bagi pasukan Mataram yang telah mundur dari Kadipaten Surabaya”.
“Pasukan Mataram dari Surabaya?”.
“Sendika dawuh Kanjeng Panembahan. Jika diperkenankan pasukan itu akan menggabungkan diri ke dalam pasukan yang berada di Wirasaba ini”.
“Aku hampir saja melupakan pasukan itu. Memang akulah yang memerintahkan mereka untuk menggabungkan diri dengan kita yang sedang menghadapi Wirasaba”. Setelah terdiam sejenak, Panembahan Hanyakrakusuma berkata, “perintahkan senopati mereka untuk menghadap”.
“Sendika dawuh Kanjeng”.
Prajurit yang menghadap itu pun segera mengundurkan diri dari pertemuan para petinggi Mataram, untuk kemudian memanggil senopati pasukan Mataram yang ingin menghadap pemimpin tertinggi pasukan Mataram.
Tidak berapa lama kemudian seorang prajurit yang sudah mendekati paruh baya datang. Jika dilihat dari ciri-ciri yang disandang dia adalah seorang Tumenggung.
Kemudian Tumenggung itu menghadap lalu menghaturkan sembah lebih dahulu kepada pemimpin tertinggi Mataram, setelah mendapat isyarat barulah dia mulai membuka suara.
“Ampun Kanjeng Panembahan jika hamba dengan sangat deksura telah mengganggu acara pertemuan ini. Pertama hamba ingin menghaturkan sembah bakti kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma selaku pepunden hamba. Kedua, sesuai dengan perintah dari Kanjeng Sinuhun yang hamba terima, hamba membawa seluruh sisa-sisa pasukan Mataram yang bertugas di Kadipaten Surabaya”.
“Aku terima sembah baktimu Ki Tumenggung Alap-Alap, dan aku terima kedatanganmu beserta seluruh pasukan yang kau bawa dengan tangan terbuka”.
“Terima kasih Kanjeng Panembahan. Hamba beserta seluruh pasukan menunggu perintah selanjutnya”. berkata Ki Tumenggung Alap-Alap sembari menghaturkan sembah.
“Bagaimana Paman?”. berkata Panembahan Hanyakrakusuma meminta pertimbangan.
“Karena mereka baru saja datang, sebaiknya mereka dipersilahkan untuk segera beristirahat. Untuk sementara besok mereka kita tempatkan sebagai pasukan cadangan, kecuali jika keadaan mendesak saja mereka harus segera memasuki medan”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Baiklah Paman. Apakah kau mendengarnya Ki Tumenggung Alap-Alap?”. berkata Panembahan Hanyakrakusuma.
“Sendika dawuh Kanjeng”.
“Sekarang aku persilahkan kau beserta seluruh pasukanmu yang baru saja datang untuk segera beristirahat”.
“Terima kasih Kanjeng Panembahan. Hamba mohon diri”.
Setelah Ki Tumenggung Alap-Alap meninggalkan tempat itu, pembicaraan sehubungan dengan persiapan perang yang akan mereka hadapi segera dilanjutkan.
Panembahan Hanyakrakusuma sepertinya kali ini sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh ketiga Pangeran Mataram dan beberapa orang yang hadir apa yang harus dilakukannya besok meskipun dirinya merasa kurang mapan jika harus lebih banyak berdiam diri dan hanya menyaksikan kegarangan medan pertempuran tanpa berkeringat.
“Apakah kalian meragukan kemampuanku?”. desis Panembahan Hanyakrakusuma tanpa sadar.
“Angger Panembahan jangan salah paham, cobalah Angger Panembahan berpikir dengan penalaran yang wajar atas apa yang telah kami sampaikan, baik buruknya dan untung ruginya”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
Pepunden seluruh kawula Mataram itu hanya terdiam mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba angan-angannya melayang jauh entah kemana, tapi tidak ada satu orang pun yang berani mengusiknya.
“Baiklah, sebaiknya aku memang mengesampingkan dulu kepentingan pribadi untuk meraih kepentingan yang lebih besar. Karena apa yang aku lakukan sekarang adalah atas nama seluruh kawula Mataram”.
“Sepertinya itu akan lebih baik Angger Panembahan. Karena sebagai pemimpin memang harus bisa memilah dan memilih mana kepentingan pribadi dan mana kepentingan bersama”.
Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan sehubungan dengan pematangan persiapan perang besok pagi, seperti gelar perang yang akan digunakan, lalu prajurit yang tidak bisa melanjutkan turun ke medan karena terluka atau pun gugur kedudukannya harus digantikan oleh orang lain.
Terdengar dari kejauhan hewan-hewan malam seperti saling bersahut-sahutan pada waktu yang semakin malam. Bahkan suara gagak kali ini lebih sering terdengar dari atas pepohonan di sekitar perkemahan dua pasukan besar tersebut.
Ketika pertemuan di tempat itu sudah mendekati ujungnya, ada seorang prajurit yang datang ingin menghadap.
“Bawalah kemari”. jawab Panembahan Hanyakrakusuma.
Prajurit yang datang menghadap berjalan dengan kedua lututnya hingga sampai di hadapan Kanjeng Sinuhun Mataram.
“Ampun Kanjeng Sinuhun jika hamba telah deksura mengganggu pertemuan ini”. berkata prajurit yang datang menghadap sembari menghaturkan sembahnya.
“Ada apa?”.
“Ampun Kanjeng Sinuhun, hamba ingin melaporkan bahwa segala persiapan untuk menyelenggarakan pemakaman bagi seluruh prajurit yang gugur telah siap. Hamba menunggu perintah selanjutnya”.
“Baiklah aku akan segera datang”.
Tidak lama kemudian pertemuan itu segera dibubarkan. Kemudian mereka semua segera menghadiri pemakaman seluruh prajurit yang telah gugur, termasuk seorang senopati yang belum lama mendapatkan anugerah kenaikan pangkat, yaitu Ki Tumenggung Prayabuana.
Perasaan sedih, haru, bangga bercampur menjadi satu di dada setiap orang yang hadir mengiringi kepergian para prajurit yang telah gugur di medan pertempuran.
Tapi sebelum mereka benar-benar memulai penyelenggaraan pemakaman, Panembahan Hanyakrakusuma ingin menyampaikan sedikit sesorahnya lebih dahulu sebagai penghormatan terakhir bagi pahlawan-pahlawan Mataram yang telah gugur.
“Aku atas nama seluruh kawula Mataram mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kalian semua atas segala perjuangan, kesetiaan, dan pengorbanan kalian demi tegaknya bumi Mataram. Kawan-kawan kita yang telah gugur adalah pahlawan yang sebenarnya bagi kita semua. Jadi jangan sia-siakan pengorbanan mereka hanya sampai disini. Kita harus menjawab pengorbanan mereka dengan pulang membawa kemenangan”.
“Semua ini bukan sekedar keinginanku secara pribadi, namun semua ini adalah perjuangan dan gegayuhan kita semua, gegayuhan semua kawula Mataram”.
Semua orang yang hadir di tempat itu merasakan kesedihan yang sangat mendalam karena kepergian kawan-kawan seperjuangan mereka untuk selamanya. Karena itu mereka hanya bisa terdiam mendengarkan sesorah pepunden tertinggi seluruh kawula Mataram tersebut.
Setelah Panembahan Hanyakrakusuma selesai menyampaikan sesorahnya, tidak lama kemudian penyelenggaraan pemakaman segera dilaksanakan oleh para prajurit yang bertugas.
Meskipun penyelenggaraan pemakaman dilakukan dengan cara sangat sederhana sekali, namun semua itu tidak pernah mengurangi rasa terima kasih Panembahan Hanyakrakusuma beserta seluruh kawula Mataram atas jasa-jasa mereka selama ini.
Kini tempat pemakaman yang berada tidak jauh dari pinggir hutan itu pun mulai sepi. Karena setelah acara pemakaman selesai, mereka pun mulai membubarkan diri satu persatu hingga orang yang terakhir.
Suasana prihatin terhadap semua korban perang masih membekas di dada hampir seluruh pasukan, baik terhadap kawan-kawan yang terluka maupun yang telah gugur.
Pasukan Mataram dan pasukan Wirasaba sama-sama telah kehilangan kawan-kawan seperjuangan mereka pula, suasana prihatin pun sama-sama menyelimuti kedua pasukan tersebut.
Tapi suasana berduka itu tidak membuat kedua pasukan besar itu kehilangan kewaspadaan. Mereka tetap membuat penjagaan di lingkungan sekitar perkemahan mereka, itu terlihat dari dari beberapa prajurit yang membuat kelompok-kelompok kecil selalu berlalu-lalang di sekitar perkemahan masing-masing.
Para prajurit yang bertugas diatur secara bergiliran, mengingat besok pagi mereka turun ke medan pula. Kelompok pertama akan bertugas berjaga dulu hingga waktu yang telah ditentukan. Jika nanti sudah tiba giliran, mereka akan membangunkan kelompok yang kedua.
Sementara itu Ki Lurah Glagah Putih terlihat sedang beristirahat dengan bersandar di bawah salah satu pohon nyamplung yang tumbuh tidak jauh dari perkemahan pasukan Mataram bersama keponakannya yang belum lama menjadi seorang prajurit
Meskipun mereka berada di kesatuan yang berbeda, namun Ki Lurah Glagah Putih selalu berusaha menemui atau bahkan mendampingi keponakannya yang masih sangat hijau di medan pertempuran yang garang.
Apalagi jika telah pecah perang Ki Lurah Glagah Putih tidak terikat oleh kesatuan pasukan yang mana pun, karena bisa saja tiba-tiba dirinya mendapat tugas untuk membantu pasukan yang memerlukan. Sebab tugas utamanya adalah sebagai prajurit sandi.
Kebetulan kali ini Umbara mendapat tugas jaga malam pada giliran pertama, sehingga Ki Lurah Glagah Putih menggunakan kesempatan itu untuk mengawani keponakannya.
“Apa pendapatmu setelah merasakan sendiri perang besar yang baru pertama kali kau alami?”.
“Banyak yang bisa aku jadikan pelajaran Paman, meskipun sebelumnya aku sering mendengar cerita orang-orang tua tentang hiruk-pikuknya perang besar, namun memang sangat berbeda sekali rasanya jika aku mengalaminya sendiri”.
“Kau benar. Karena untuk bisa turun ke medan tidak cukup hanya berbekal ilmu kanuragan saja”.
“Maksud Paman?”.
“Karena selain kau harus berbekal kawruh kanuragan, kau juga harus berbekal kawruh kajiwan yang kuat guna menguatkan lahir batinmu agar tidak terjadi goncangan”.
“Aku mengerti Paman”.
“Jika kau memasuki medan tanpa dilandasi kawruh kajiwan yang kuat, maka jika kau masih bisa keluar dari medan dengan selamat bisa saja terjadi goncangan yang luar biasa pada jiwamu yang bisa membawamu ke dalam kesulitan. Karena jika jiwamu tidak benar-benar kuat, kemungkinan paling buruk yang dapat kau alami adalah kau bisa menjadi gila”.
“Terima kasih atas semua pesan-pesan yang Paman sampaikan kepadaku, aku akan selalu berusaha mengingat pesan-pesan Paman Glagah Putih”.
“Dan jangan lupa. Jika kau mempunyai waktu longgar sedikit saja manfaatkanlah untuk selalu meningkatkan kemampuanmu secara pribadi, jangan seperti Ayahmu”.
“Ayah juga sering berkata demikian kepadaku Paman”.
“Banyak-banyaklah ngangsu kawruh kepada Ayahmu dan Paman Agung Sedayu. Karena keduanya memiliki kelebihannya masing-masing yang dapat kau pelajari”.
“Baik Paman”.
“Jika kau ingin ngangsu kawruh kanuragan dan pengobatan, belajarlah kepada Paman Agung Sedayu, Namun jika kau ingin ngangsu kawruh tentang siasat perang belajarlah kepada Ayahmu. Karena waktu dulu Ayahmu masih menjadi seorang prajurit, Ayahmu bisa dikatakan adalah salah satu pengatur siasat perang yang paling baik di seluruh kesatuan Mataram”.
“Benarkah Ayah demikian Paman? tapi selama ini Ayah hampir tidak pernah memberitahukannya kepadaku”.
“Mungkin dulu Ayahmu merasa kau belum saatnya, karena ngangsu kawruh siasat perang itu memang sangat rumit dan dibutuhkan kemampuan berpikir yang lantip, sehingga tidak banyak orang yang bisa menguasainya”.
“Apakah menurut Paman aku akan mampu mempelajarinya? karena aku merasa penalaranku masih tumpul”.
“Jika aku lihat kau banyak kemiripan dengan sifat-sifat Ayahmu dibandingkan dengan Bagaskara, semoga saja kemampuan Ayahmu bisa kau warisi”.
“Terima kasih Paman”.
Sejenak suasana menjadi sunyi pada waktu yang semakin memasuki malam, namun sesekali masih terdengar burung gagak dari kejauhan serta binatang malam lainnya seperti jangkrik, orong-orong, burung kedasih.
Tidak lama kemudian seorang prajurit menghampiri tempat dimana Ki Lurah Glagah Putih beristirahat bersama Umbara, anak pertama dari salah satu senopati besar Mataram yang kini telah purna tugas karena umurnya, yaitu Ki Untara.
“Selamat malam Ki Lurah Glagah Putih”.
“Selamat malam Ki Sanak”.
“Aku hanya ingin memberitahukan kepada Umbara bahwa sekarang sudah tiba giliran dia untuk beristirahat, dan aku yang mendapat tugas menggantikannya”.
“Maaf Paman, aku beristirahat lebih dulu. Apakah Paman masih mempunyai tugas?”.
“Baiklah, beristirahatlah. Sebentar lagi aku pun akan segera beristirahat karena sudah tidak ada tugas lagi yang harus aku kerjakan malam ini”.
Kemudian Umbara meninggalkan tempat itu untuk bergabung dengan kawan-kawannya yang akan beristirahat di dalam lingkungan penjagaan para prajurit yang bertugas. Mereka pun beristirahat dengan merebahkan badan yang lelah di atas rerumputan kering dengan beralaskan ketepe yang terbuat dari daun kelapa di bawah langit yang luas.
Dinginnya malam serta tetesan embun di alam terbuka pada waktu malam yang telah melewati puncaknya seperti sudah menjadi kawan bagi para prajurit yang sudah sangat terlatih menghadapi medan yang bagaimanapun keadaannya.
Para prajurit yang mendapat giliran untuk beristirahat pun tidak pernah merasa terusik tidurnya hanya karena dinginnya malam yang semakin terasa di kulit, sebab rasa kantuk dan kelelahan yang sangat setelah sehari penuh berada di medan pertempuran ternyata lebih ampuh bekerja pada tubuh para prajurit.
Sementara tanpa sepengetahuan mereka, ternyata sudah beberapa lama dari kejauhan ada yang mengawasi dua pasukan besar segelar sepapan. Tepatnya di atas tebing yang tidak terlalu tinggi yang berjarak beberapa ratus langkah dari perkemahan pasukan Mataram dan Wirasaba.
Orang tersebut lebih banyak hanya berdiam diri bahkan terlihat hampir tak banyak bergerak, kecuali hanya sepasang matanya saja yang sibuk mengawasi.
“Apakah sebaiknya aku memberitahukannya?”. tiba-tiba kata orang tersebut dalam hati.
“Bukankah itu akan sangat mengejutkan?”.
Penalarannya menjadi semakin berputar-putar memikirkan apa yang harus dilakukannya. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya yang tidak mampu dijawabnya sendiri membuatnya menjadi semakin berdiam diri di malam yang semakin dingin.
– 0 - O - 0 –
bersambung ke
Djilid
9
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar