PdTL 24

 


bagi panjenengan yang memiliki rezeki lebih dan ingin menyalurkan donasi untuk membantu kelancaran wedaran, saya hanya dapat mengucapkan terima kasih.

silahkan bagi panjenengan yang berkenan mengirimkan donasi, panjenengan dapat mengirimkannya melalui nomor rekening yang tertera, klik "Ruang Donasi" pada bagian atas halaman.

konfirmasi : prastiyomalaikatdjibril@gmail.com


Halaman 1 - 2

*****

Waktu yang semakin merambat malam membuat hati Nyi Pandan Wangi semakin gelisah saja oleh prasangka-prasangka yang tidak mampu diungkapkannya.

Apalagi suaminya tidak kunjung datang pula meski sudah coba dipanggil dengan isyarat yang telah disepakati bersama sebelumnya sejak beberapa saat tadi.

“Apakah yang sebenarnya telah terjadi?”. pertanyaan tersebut hampir selalu berputar-putar di kepalanya tetapi tanpa pernah mendapat jawaban seperti yang diharapkan.

Nyi Sekar Mirah yang berjalan di sebelahnya menyadari apa yang sedang dirasakan oleh marunya tersebut, namun dirinya pun menyadari jika belum dapat membantu apa-apa, sehingga hanya ikut terdiam.

Langkah-langkah kaki yang wajar itu terasa seakan berat sekali untuk diayunkan, namun tetap dipaksakan agar tidak semakin menimbulkan pertanyaan bagi kawan-kawannya yang lain yang berjalan semakin jauh jaraknya.

“Semoga Tanah Perdikan Menoreh dalam keadaan baik-baik saja selama aku tinggal pergi”. membatin Nyi Pandan Wangi yang mulai putus asa.

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan Kakang Agung Sedayu? kenapa hingga kini dia belum ada tanda-tanda akan muncul di tempat ini?”. membatin Nyi Sekar Mirah yang tidak kuasa menahan gejolak perasaannya.

“Apakah Kakang Agung Sedayu sedang mengalami kesulitan? atau memang sedang menghadap Kanjeng Sinuhun, sehingga belum sempat datang kemari, meski hanya sekedar bayangan semunya saja?”. lanjut Nyi Sekar Mirah dalam hati.

Kedua perempuan perkasa itu hanya berdiam diri dalam penalarannya masing-masing untuk beberapa saat, sembari terus melangkahkan kaki dengan malasnya.

Mereka terdiam karena memang sedang merasa kebingungan harus berkata apa dalam keadaan yang demikian, sebab perasaan yang kurang mapan itu semakin mengusik hati keduanya.

*****

Sementara itu di tepian Kali Progo para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mengemban tugas untuk segera menyampaikan pesan kepada Ki Agung Sedayu masih terkapar kesakitan setelah baru saja ditinggalkan oleh lawannya yang hanya seorang diri.

Ternyata mereka harus mengalami kenyataan pahit yang tidak pernah mereka duga sebelumnya, tetapi meski begitu mereka masih merasa beruntung, sebab diantara mereka tidak ada yang terluka parah dan hanya sekedar luka-luka memar pada bagian luar saja.

“Bagaimana keadaan kalian semua?”. bertanya pemimpin rombongan kepada kawan-kawannya yang masih terkapar di tepian Kali Progo itu.

“Aku tidak apa-apa, Kakang. Tubuhku hanya terasa sakit pada bagian luarnya saja”. sahut salah satu kawannya mewakili kawannya yang lain sembari berusaha bangkit duduk.

“Apakah kalian masih dapat melanjutkan perjalanan?”.

“Masih Kakang, tetapi tolong beri kami waktu sejenak untuk beristirahat dan memperbaiki keadaan”.

“Baiklah, kita beristirahat dulu sejenak untuk memperbaiki keadaan. Tetapi jika kalian sudah merasa lebih baik, kita akan segera melanjutkan perjalanan agar kita tidak semakin kehilangan waktu yang sangat berarti”.

“Baik Kakang, kami mengerti”.


Halaman 3 - 4

“Kakang… apakah Kakang tidak merasa aneh dengan orang yang menyebut dirinya Ki Pringsewu itu?”.

“Aneh bagaimana maksudmu?”.

“Meski dia dapat mengalahkan kita semua dengan mudah, tetapi sepertinya dia memang tidak berniat buruk atau bahkan hingga mencelakai kita. Buktinya ketika kita semua sudah tidak berdaya, dia segera meninggalkan tempat ini”.

“Ya… aku juga berpikiran yang sama denganmu”.

“Lalu bagaimana menurut pendapat Kakang tentang pesan Ki Pringsewu yang menyuruh kita untuk kembali?”.

“Apakah menurut kalian kita harus mempercayai orang asing yang baru kita temui begitu saja?”.

Kelima pengawal yang merasa mendapat pernyataan tersebut seketika hanya dapat terdiam dan mempertimbangkan ucapan pemimpin mereka itu dengan lebih hati-hati.

“Aku rasa kita bukan anak-anak lagi yang dapat dengan mudahnya dipengaruhi oleh orang lain yang belum pernah kita kenal sebelumnya”. sambung Pemimpin Pengawal itu.

“Tetapi menurut Kakang, apa sebenarnya maksud Ki Pringsewu itu menghentikan perjalanan kita?”.

Pemimpin Pengawal itu terdiam sejenak untuk menarik nafas panjang, sekedar untuk mengurangi kepepatan hatinya dalam menanggapi kenyataan yang baru saja harus mereka alami.

Setelah dirinya berusaha mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi, baik yang terlihat langsung maupun hal tersirat dari apa yang telah terjadi.

Memang Ki Pringsewu terasa aneh baginya, tetapi bagaimanapun juga sebagai orang yang mendapat kepercayaan untuk memimpin kawan-kawannya harus memiliki sikap yang jelas, dan setiap keputusan yang diambil tidak sekedar menuruti perasaannya saja, namun harus pula menggunakan akal sehatnya.

“Memang jika kita sekedar menggunakan perasaan, apa yang telah dilakukan oleh Ki Pringsewu itu terasa aneh. Tetapi sebagai pengawal kita tidak boleh terlarut dalam perasaan semata, kita harus pula menggunakan penalaran dengan baik”.

“Jadi menurut, Kakang?”. sahut kawannya yang masih penasaran dengan pendapat pemimpinnya tersebut.

“Aku rasa Ki Pringsewu pasti memiliki tujuan, kenapa dia berusaha menghentikan perjalanan kita, tapi entah apa itu? tetapi yang harus kita ingat adalah bahwa kita sebagai pengawal tidak dapat begitu saja mempercayai orang yang baru saja kita temui. Jadi aku pikir kita harus tetap melanjutkan perjalanan, sesuai tugas yang sedang kita emban”.

Mereka yang mendengar ucapan pemimpinnya tersebut hanya terdiam dan tidak menanggapi sebagai pertanda bahwa mereka sependapat dengan hal itu.

Setelah beberapa saat tidak ada lagi yang membuka suara.

“Jika keadaan kalian sudah lebih baik, sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan agar kita tidak semakin kehilangan waktu yang sangat berharga. Karena biar bagaimanapun kita ikut bertanggung jawab pula atas nasib Sekar Wangi yang sekarang berada di tangan para penculik yang tidak kita kenal”. ucap Pemimpin Pengawal itu sembari beranjak berdiri.

Hal itu kemudian diikuti oleh kawan-kawannya, dan setelah membersihkan diri ala kadarnya, mereka segera menghampiri kuda masing-masing yang tadi mereka tambatkan di tepian.

Namun baru saja mereka akan melepaskan tali kekang kudanya, samar-samar mereka dikejutkan oleh suara yang datangnya dari kejauhan, sehingga membuat mereka semua saling pandang sejenak dan tidak bersuara sepatah katapun.


Halaman 5 - 6

Berbagai dugaan muncul di kepala masing-masing pengawal yang masih tercenung di tepian, sehingga membuat mereka semua lupa atas apa yang akan mereka lakukan.

“Sepertinya suara itu mengarah ke tempat ini”. ucap Pemimpin Pengawal itu mengambil kesimpulan, setelah mengamati suara itu beberapa saat.

“Sepertinya memang demikian, Kakang”.

“Sepertinya ada beberapa penunggang kuda”.

“Menurut, Kakang? siapakah mereka?”.

“Aku belum dapat menduga, mungkin saja mereka adalah kawan tapi mungkin juga lawan”.

“Kenapa Kakang menduga mereka adalah lawan?”.

“Bukankah para penculik itu telah berhasil pergi dari padukuhan induk? jadi mungkin saja mereka para penculik itu”.

“Bukankah mereka datang hanya dengan berjalan kaki?”.

“Bukankah tidak menutup kemungkinan mereka meninggalkan kuda-kuda mereka di suatu tempat, dan setelah berhasil menculik Sekar Wangi mereka mengambilnya kembali? atau mungkin pula mereka telah merampas kuda orang-orang Menoreh”.

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?”.

“Sebaiknya kita bersembunyi dulu”.

“Lalu bagaimana dengan kuda-kuda kita? bukankah mereka tentu akan melihatnya?”.

“Tidak ada pilihan lain, sebab kita pun tidak memiliki cukup waktu untuk menyeberang bersama dengan kuda-kuda kita, yang penting kita selamatkan diri dulu sembari kita pikirkan apa yang harus kita lakukan kemudian setelah kita tahu siapakah mereka yang datang itu”.

Sepertinya mereka semua sepakat dengan apa yang diusulkan oleh pemimpin mereka, sebab memang tidak ada pilihan lain yang mereka anggap lebih baik.

Kemudian mereka membiarkan kuda-kuda itu untuk sementara tetap berada di tepian dan mereka tinggalkan untuk bersembunyi dibalik semak belukar pada tebing di salah satu tepian.

Dan semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin jelas dan sepertinya memang mengarah ke tepian Kali Progo. Dan dari suara derapnya, sepertinya terdapat beberapa, tetapi belum dapat diduga berapa jumlah pastinya.

Keenam pengawal itu menunggu di tempat persembunyiannya dengan jantung berdebar-debar semakin kencang sembari di kepala masing-masing penuh tanda tanya.

“Siapakah gerangan rombongan berkuda malam-malam begini?”.

Pertanyaan yang hampir sama dalam hati masing-masing pengawal itu dalam kegelisahannya di tempat persembunyian yang terlindungi pula oleh gelapnya malam.

“Lalu apa yang akan kita lakukan, jika mereka adalah para penculik Sekar Wangi itu, Kakang?”. bertanya salah satu pengawal dengan suara lirih.

“Tentu saja kita tidak akan menghadang mereka, karena kita tentu tidak akan berdaya melawan mereka. Yang dapat kita lakukan adalah berusaha membututi perjalanan mereka dengan sebaik-baiknya, sembari melaporkan apa yang kita temui ini kepada Ki Jagabaya”. sahut Pemimpin Pengawal itu dengan lirih pula.

“Lalu bagaimana dengan tugas utama kita, Kakang?”. sahut pengawal yang lain.

“Nanti kita akan berbagi tugas”.

Kemudian mereka tidak membuka suara lagi karena perhatian mereka mulai terpusat kepada suara derap kaki-kaki kuda yang sudah semakin mendekati tepian Kali Progo di bawah gelapnya malam yang semakin dingin menusuk kulit.


Halaman 7 - 8


Jantung mereka berdebar semakin kencang bersamaan dengan menunggu kejelasan siapakah gerangan para penunggang kuda yang datang ke arah tepian.

Malam sudah semakin jauh tergelincir, bahkan tidak lama lagi pagi akan siap menjelang. Sementara utusan Tanah Perdikan Menoreh itu masih terhambat perjalanannya di tempat itu.

Dan sepertinya perjalanan mereka kali ini akan terhambat kembali sehubungan dengan datangnya para penunggang kuda yang belum mereka ketahui.

“Perjalanan yang pada awalnya kita kira mudah, tetapi ternyata kali ini kita harus menghadapi hambatan yang sangat berat dan sangat menyita waktu”. berkata Pemimpin Pengawal itu dengan suara lirih.

Kawan-kawannya hanya terdiam mendengarkan hal itu dan tidak berusaha menanggapi, sehingga dia melanjutkan ucapannya.

“Dan sepertinya kita akan terhambat lagi”.

Sementara suara derap kaki-kaki kuda itu sudah semakin dekat dengan tepian Kali Progo yang masih berselimutkan kegelapan serta embun tipis yang mulai turun.

Sebagai para pengawal yang sudah sangat terlatih untuk menghadapi keadaan yang bagaimanapun, mereka tidak pernah mereka gentar sedikitpun untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Namun sebagai orang kebanyakan, tetap saja mereka tidak dapat membohongi diri sendiri. Debar-debar kegelisahan itu tetap tidak dapat mereka hilangkan begitu saja.

Dalam hati, dari masing-masing pengawal tidak henti-hentinya meminta pertolongan kepada Yang Maha Welas Asih agar dapat menjalankan tugas yang diemban dengan sebaik-baiknya dan nanti kembali dalam keadaan baik-baik saja tanpa kurang suatu apapun.

Sementara itu di waktu yang hampir bersamaan, Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang berjalan dengan malasnya karena sedang  dirundung oleh kegelisahan yang sangat.

Tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu yang sontak saja membuat keduanya menjadi saling pandang sejenak, namun tidak terucap sepatah katapun dari keduanya.

Namun mereka sama-sama saling mengerti maksud dari tatapan masing-masing, dan tanpa sadar mereka mengangguk perlahan secara hampir bersamaan.

“Rara Wulan”. ucap Nyi Sekar Mirah memanggil muridnya yang berjalan beberapa puluh tombak di depannya.

Nyi Rara Wulan yang berjalan bersama dengan ketiga adik angkatnya pun segera menoleh ke arah belakang untuk menanggapi panggilan gurunya tersebut.

“Ada apa, Mbokayu?”.

“Kalian jalan saja terus, aku ingin buang air dulu dikawani Mbokayu Pandan Wangi”.

“Oh… baik, Mbokayu”. sahut ibu Arya Nakula itu singkat.

Kemudian kedua perempuan itu pun segera menyingkir dan berusaha mencari tempat yang dianggap paling baik untuk melaksanakan maksudnya.

“Kenapa tiba-tiba Nyi Sekar Mirah dan Nyi Pandan Wangi sering ingin buang air?”. celetuk Padmini.

“Ah… memangnya kenapa? apakah ada salah jika ingin buang air? atau kau ingin buang air pula, Padmini?”. sahut Nyi Rara Wulan yang berusaha menghentikan pembicaraan yang dianggap kurang pantas untuk dibicarakan.


Halaman 9 - 10

“Bukan begitu, Mbokayu Rara Wulan. Tapi…”.

“Sudahlah, biarkan saja. Kita lanjutkan saja perjalanan, kita tidak boleh bersikap deksura dengan prasangka-prasangka yang tidak mendasar kepada mereka”.

Sebagai orang yang memiliki panggrahita yang sangat tajam, ibu Arya Nakula itupun sebenarnya menangkap sebuah kejanggalan, namun dirinya percaya bahwa kedua istri Ki Agung Sedayu itu tentu lebih tahu apa yang sedang mereka lakukan.

Dan akan sangat deksura sekali jika mereka selalu ingin tahu apa yang dilakukan oleh orang lain, apalagi itu adalah wakil pemimpin rombongan tersebut.

“Baik Mbokayu”. sahut Padmini yang menyadari kesalahannya, dan pada akhirnya tidak berani lagi membantah ucapan mbokayu angkatnya tersebut.

Kemudian keempat perempuan itupun kembali melanjutkan perjalanan dengan langkah wajar, meski sedikit diperlambat dengan tujuan agar tetap dapat menjaga jarak yang cukup dengan orang yang mereka dahului langkahnya.

Sementara Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang sebenarnya tidak benar-benar ingin buang air, dan setelah merasa jaraknya cukup dengan rombongan, segera melaksanakan rencana yang sebenarnya.

Dengan kelebihan yang mereka miliki, mereka berusaha menyamarkan sejauh mungkin segala bunyi yang mungkin dapat ditimbulkan ketika mencari sumber suara yang tadi mereka dengar bersama-sama.

Sepertinya sumber suara itu mengarah ke dalam hutan yang terlihat masih rungkut dengan pohon-pohon besar dan semak belukarnya yang tumbuh liar. Dan ketika keduanya sempat diliputi oleh keraguan dalam menentukan sumber suara itu, tiba-tiba terdengar kembali.

Seakan suara itu telah mengetahui maksud dan tujuan mereka, sehingga memberikan petunjuk kemanakah keduanya harus melangkahkan kakinya.

Meski harus berada di dalam hutan pada saat kegelapan malam yang semakin menambah gelapnya sekitar tempat itu, namun bagi keduanya yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan bukanlah sebuah masalah besar.

Sebab mereka dapat melihat dengan jelas tempat itu dengan mengetrapkan Aji Pandulu dan ilmu yang dapat meringankan bobot tubuh seperti kapas, sehingga dapat menentukan langkah dengan pasti sembari sesekali keduanya harus berlompatan seperti tupai tanpa menimbulkan suara yang berarti.

Dengan usaha yang tidak begitu mudah untuk melewati itu semua, pada akhirnya tibalah mereka di tempat sumber suara yang tadi keduanya dengar itu berasal.

Sosok yang masih terlihat samar di bawah kegelapan malam itulah yang telah menjadi sumber suara yang dicari, dan sepertinya memang sengaja menunggu kedatangan keduanya.

“Kenapa Kakang baru datang sekarang? dan kenapa Kakang tidak menjawab isyarat yang kami lontarkan tadi? sedari tadi kami dirundung kegelisahan yang sangat karena harus menunggu kabar yang Kakang bawa, terutama Mbokayu Pandan Wangi”. ucap Nyi Sekar Mirah yang sudah tidak dapat menahan diri, namun tetap dengan suara lirih.

“Aku minta maaf, karena ada yang telah menyita perhatianku”.

“Lalu bagaimana dengan keadaan Sekar Wangi dan Tanah Perdikan Menoreh, Kakang? bukankah mereka baik-baik saja?”. kali ini Nyi Pandan Wangi lah yang bertanya.

“Kita wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Yang Maha Welas Asih, sebab karena pertolongan-Nya lah keadaan Sekar Wangi dan Tanah Perdikan Menoreh untuk saat ini telah baik kembali”.


Halaman 11 - 12

“Memangnya apa yang telah terjadi, Kakang?”.

Kemudian orang itu yang tidak lain adalah Ki Agung Sedayu mulai menjelaskan secara singkat, namun runtut apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.

“Syukurlah kalau begitu”. sahut Nyi Pandan Wangi merasa lega.

“Apakah mereka tidak menjadi sangat terkejut dengan kedatangan Kakang yang tiba-tiba? padahal mereka semua tahu bahwa Kakang tidak sedang berada di Menoreh?”.

“Aku merasa bersyukur kepada Yang Maha Welas Asih yang memberikanku kemampuan untuk dapat menyamarkan kedatanganku di Menoreh, sehingga tidak membuat gempar orang-orang disana”. sahut suaminya yang memang belum menceritakan bagaimanakah bentuk penyamarannya.

“Maksud Kakang?”. sahut Nyi Sekar Mirah penasaran dan masih belum mengerti apa yang dimaksud oleh suaminya tersebut.

Terdengar sebuah tarikan nafas dari ayah Sekar Wangi setelah mendengar pertanyaan yang sepertinya harus dijawabnya dengan apa adanya, meski sebenarnya dirinya enggan.

Karena memang demikianlah watak Ki Agung Sedayu yang sebenarnya tidak ingin menceritakan kelebihannya kepada siapapun termasuk orang-orang terdekatnya, bahkan keluarganya sendiri. Karena merasa seakan dirinya sedang menyombongkan diri.

Namun kini keadaannya berbeda, karena istrinya sendirilah yang mempertanyakan hal itu. Meski enggan dianggap menyombongkan diri, tetapi kini tidak dapat dielakkannya.

Agar tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain yang semakin memojokkannya karena tidak mau berterus terang kepada kedua istrinya tersebut.

“Sekali lagi aku telah dikaruniai yang tak terhingga oleh Yang Maha Welas Asih kemampuan untuk dapat menyamarkan wujud asliku ketika aku mengetrapkan Aji Pengangen-Angen dengan wujud orang lain sesuai keinginanku”.

“He…?”.

Kedua istrinya hanya dapat terkejut sekaligus berbangga hati mendengar kenyataan atas pencapaian yang diraih suaminya yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Bagi kedua perempuan perkasa itu, semakin hari tataran kemampuan suaminya semakin jauh meninggalkan mereka semua. Namun justru membuat keduanya menjadi semakin takjub sekaligus kagum dengan segala pencapaian itu.

“Tetapi selama ini aku merasa tidak pernah melihat Kakang menjalani sebuah laku prihatin sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan yang Kakang miliki?”.

“Apakah kau lupa siapa dan bagaimanakah watak Kakang Agung Sedayu selama ini, Sekar Mirah?”. sahut Nyi Pandan Wangi.

“Maksud Mbokayu?”.

“Mana mungkin Kakang Agung Sedayu akan dengan sengaja memperlihatkan kepada orang lain, meskipun itu kepada istrinya tentang apa yang ingin digayuhnya, kecuali jika itu tidak dapat dilakukannya sendiri”.

“Mbokayu benar”.

“Bukankah selama ini memang kebanyakan demikian? tiba-tiba saja tataran kemampuan Kakang Agung Sedayu telah meningkat lebih tinggi lagi tanpa pernah kita tahu sebelumnya upaya apa yang telah dilakukannya”.

“Mbokayu benar, mana mungkin Kakang Agung Sedayu akan menceritakan kepada kita atas apa yang dicapainya sembari membusungkan dan menepuk dadanya”.

“Demikianlah”.


Halaman 13 - 14

Dan ketika kedua istrinya sedang terlarut kedalam pembicaraan yang menarik bagi mereka, Ki Agung Sedayu sempat merasakan sesuatu yang tidak wajar.

Namun ketika dirinya melirik kepada kedua istrinya, sepertinya kedua istrinya tidak menangkap kejanggalan yang tiba-tiba dirasakannya tersebut.

“Aneh…”. membatin ayah Sekar Wangi.

Namun semakin lama kejanggalan yang dirasakannya itu terasa semakin kuat, hingga membuatnya tercenung untuk beberapa saat lamanya di tempat itu.

Dirinya pun segera mengetrapkan kemampuannya hingga ke puncak untuk melacak sesuatu yang baginya adalah sebuah hal yang tidak wajar.

Dalam puncak pengetrapan Aji Sapta Panggrahitanya, ayah Sekar Wangi mulai menangkap sesuatu yang masih datang-lenyap, datang-lenyap akan kedatangan seseorang di tempat itu dengan sebuah ilmu penyamaran dalam tataran sangat tinggi.

Getarannya terasa sangat halus sekali, bahkan karena saking halusnya orang yang jika tidak memiliki bekal yang sangat tinggi tidak akan menyadari kedatangannya.

Dan secara tidak langsung bahwa orang yang datang itu ingin menunjukkan bahwa dia bukanlah orang sembarangan, sekaligus memberikan peringatan kepada orang yang didatanginya untuk lebih berhati-hati.

Apalagi jika memiliki kepentingan yang berseberangan dan tidak ada penyelesaian dengan cara baik-baik dengannya, tentu akan sangat berbahaya sekali bagi orang tersebut.

Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah kemudian mulai menyadari perubahan sikap yang terjadi pada suaminya, dan kemudian membuat mereka menjadi saling pandang dengan tatapan saling tanda tanya karena belum mampu menangkap apa yang telah ditangkap oleh suami mereka.

Kemudian kedua perempuan perkasa itu berusaha mengetrapkan kemampuannya masing-masing hingga ke puncak untuk berusaha melacak apa yang sebenarnya telah berhasil membuat perhatian suaminya teralihkan.

Namun setelah beberapa saat mereka menunggu dalam kemampuan puncaknya, mereka masih belum berhasil melacak apa yang telah berhasil mengusik perhatian suaminya.

Dengan bekal yang dimiliki, keduanya masih berusaha menahan diri untuk bertanya secara langsung agar tidak mengganggu perhatian suaminya yang sedang berusaha melacak sesuatu yang tidak wajar yang ada di sekitar tempat itu.

“Kalian tunggulah disini”.

Tanpa menunggu jawaban, ayah Bagus Sadewa itu segera meninggalkan tempat itu dengan bekal kemampuannya yang sangat tinggi. Kedua istrinya pun hanya dapat mengiyakan dan akan menunggunya di tempat itu.

Namun ayah Sekar Wangi pun belum mengetahui maksud dan tujuan orang yang baru saja datang itu, entah berniat baik atau berniat buruk? sehingga dirinya harus meningkatkan kewaspadaan terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi.

Ki Agung Sedayu mencoba menelusuri keberadaan orang yang baru saja datang itu dengan mengandalkan pengetrapan Aji Sapta Panggrahita dalam tataran puncaknya.

Namun ada kejadian yang tidak wajar ketika dirinya semakin mendekati tempat yang diyakini sebagai tempat persembunyian orang yang baru saja datang itu.

Setelah menelusuri sumber suara yang diyakininya tidak wajar di dalam pekatnya kegelapan malam menjelang pagi disertai keberadaannya di dalam hutan yang cukup rungkut, Ki Agung Sedayu mulai menemukan kejanggalan baru.


Halaman 15 - 16

Sebab semakin dirinya mendekat, mulai terlihat kabut yang semakin lama semakin menebal mengelilingi sekitar tempat itu hingga tidak terlihat lagi keadaan di sekitarnya secara wajar.

Sebagai orang yang memiliki bekal ilmu sangat tinggi Ki Agung Sedayu mulai meningkatkan kewaspadaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan.

Maka dirinya pun segera mencari tempat untuk dapat dijadikan duduk bersila dan akan mencoba membuat hubungan dengan orang yang telah melontarkan isyarat khusus itu kepadanya beberapa saat tadi ketika bersama kedua istrinya.

“Selamat datang, Ki Sanak. Ada keperluan apakah, sehingga Ki Sanak harus bersusah payah datang menemuiku dengan cara seperti ini?”. ucap Ki Agung Sedayu yang sudah berada dibalutan kabut yang sangat tebal.

Ternyata pertanyaan itu tidak mendapat jawaban sama sekali sehingga membuat ayah Sekar Wangi menarik nafas panjang, sembari tidak lupa tetap menjaga kewaspadaan tertinggi.

Setelah sejenak menunggu dan tidak mendengar apapun, maka…

“Kenapa Ki Sanak hanya diam saja setelah berhasil menemuiku? atau Ki Sanak memang senang bermain-main?”.

“Kenapa kau datang kemari, Ki Sanak?”. tiba-tiba terdengar suara dari balik kabut, namun belum terlihat dengan jelas wujud dari orang yang berbicara.

“Kau ini aneh, Ki Sanak. Bukankah kau yang dengan sengaja memanggilku kemari?”. sahut Ki Agung Sedayu heran.

“Kenapa kau begitu yakin bahwa orang yang aku maksud adalah kau? bagaimana jika aku bermaksud memanggil orang lain dan bukan kau?”. sahut suara misterius itu.

“Karena berdasarkan penalaranku, hanya aku yang akan mampu menangkap pesanmu itu di sekitar tempat ini”.

“Ternyata kau adalah orang yang paling sombong tiada tara yang pernah aku temui, apakah memang seperti itu ajaran dari mendiang gurumu? orang yang lebih dikenal dengan sebutan Orang Bercambuk semasa hidupnya?”.

“Kau tidak usah ingkar, Ki Sanak. Bahwa memang akulah orang yang kau maksud, dan kau tidak perlu membawa-bawa nama Swargi guruku, karena memang tidak ada hubungannya dengannya. Apa sebenarnya keperluanmu datang menemuiku?”.

“Murid tertua Orang Bercambuk yang terkenal sebagai orang yang peragu, ternyata dapat pula bersikap tegas terhadap orang yang baru saja ditemuinya”.

“Sepertinya kau telah banyak mengetahui tentang diriku, siapakah kau sebenarnya, Ki Sanak?”.

“Siapakah yang tidak mengenal Agul-Agulnya Mataram? yang kata orang telah memiliki ilmu hingga sundul langit, karena saking tingginya ilmu yang kau miliki?”.

“Ah… kau terlalu berlebihan, Ki Sanak. Aku tidak memiliki kemampuan seperti yang telah kau sebutkan itu, aku tidak lebih dari layaknya orang kebanyakan”.

“Mana mungkin orang yang memiliki ilmu seperti orang kebanyakan dapat menggemparkan Mataram dengan pameran ilmunya yang ngedap-edapi? bahkan Pangeran Mandurareja saja kau buat seperti layaknya anak-anak yang baru belajar kanuragan”.

Berdesir pula hati Ki Agung Sedayu mendengar ucapan orang misterius yang berada di hadapannya tersebut, ternyata orang itu telah banyak mengetahui tentang dirinya.

Hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya di dalam hati, sembari berbagai dugaan mulai muncul tentang sosok itu di penalarannya. Namun dirinya tidak ingin semakin terlarut dengan dugaan yang masih belum jelas kebenarannya.


Halaman 17 - 18

“Siapakah kau sebenarnya, Ki Sanak?”. bertanya Ki Agung Sedayu yang tidak ingin terus berteka-teki.

“Pada saatnya kau akan tahu sendiri siapakah aku”.

“Baiklah jika memang itu maumu. Tapi maaf, Ki Sanak. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk melayani orang yang tidak aku ketahui jati dirinya. Lagipula kau tadi mengatakan bahwa bukan akulah orang yang kau cari”.

“Baiklah… aku tidak akan ingkar, aku memang sengaja datang menemuimu untuk memberikan peringatan kepadamu”.

“Peringatan? peringatan apa yang kau maksud?”.

“Kau tentu tahu bahwa tidak lama lagi akan pecah perang antara Surabaya dan Mataram, meski aku bukanlah bagian dari Pasukan Surabaya, tetapi aku menempatkan diriku sebagai lawan Mataram. Dan aku memilihmu sebagai lawan pada saat itu tiba”.

“Bukankah kita belum pernah saling mengenal sebelumnya? apalagi berselisih sebelumnya? tetapi kenapa kau bersikap demikian kepadaku, Ki Sanak?”.

“Kau akan tahu siapakah aku sebenarnya hingga saatnya tiba”.

“Kenapa kau berbuat demikian? apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk kau pilih? dan jika menilik sikapmu, tentu kau memiliki alasan terpendam, kenapa memilihku?”.

“Kau jangan merasa telah memiliki ilmu sundul langit dan tidak akan ada yang dapat mengalahkanmu di sepanjang tanah ini, sebab aku sudah mengetahui kelemahanmu”.

“Mungkin itu hanya kata orang-orang, tetapi aku tidak pernah merasa demikian. Aku tidak pernah merasa memiliki ilmu sundul langit seperti yang kau sebutkan itu. Dan bukankah setiap orang yang ada di dunia ini pasti memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing?”.

“Tetapi kelemahan yang aku maksud adalah pengapesan dari ilmu yang kau pelajari selama ini”.

“Pengapesanku?”. sahut ayah Sekar Wangi mengulangi ucapan orang yang berada di hadapannya dengan kening berkerut.

“Ya… pengapesanmu”.

“Setiap orang pasti memiliki keberuntungan dan pengapesannya masing-masing, dan jika kau telah digariskan untuk menjadi lantaran dari Yang Maha Welas Asih sebagai pengapesanku, aku akan menerima semua itu dengan rilo legowo”.

“Apakah kau sadar dengan apa yang kau katakan itu?”.

“Ya… aku menyadari sepenuhnya, apakah ada yang salah dengan ucapanku itu? bukankah setiap orang yang terlahir di dunia ini tidak akan lepas dari watak apes, lali, lan pati?”.

“Tadi kau menunjukkan kepadaku sikap sombong yang tiada tara, tetapi kenapa kini tiba-tiba kau menjadi seperti kerupuk yang disiram air? seperti orang yang sudah tidak memiliki pengharapan dalam hidupnya?”.

“Bukankah sebaik apapun kita berusaha dan setinggi apapun ilmu yang kita miliki, tetapi jika kita sudah dihadapkan pada kuasa Yang Maha Welas Asih, betapa kerdilnya semua itu?”.

“Menarik sekali, dan aku hargai sikap yang kau tunjukkan itu. Jarang sekali aku bertemu dengan orang yang memiliki sikap seperti yang kau tunjukkan itu”. sahut orang misterius yang masih tetap bersembunyi dari balik kabut tebalnya.

“Maaf Ki Sanak, apakah kau masih memiliki keperluan lain selain apa yang telah kau sampaikan itu?”. sahut Ki Agung Sedayu yang teringat akan tugas-tugas yang telah menantinya.


Halaman 19 - 20

“Aku juga tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama di tempat ini, sekali lagi aku hanya ingin mengingatkan kepadamu. Persiapkanlah lahir dan batinmu dengan sebaik-baiknya hingga saat itu tiba, dan jangan membuatku kecewa”.

“Terima kasih atas peringatanmu, Ki Sanak. Semoga nanti pada saat yang kau maksud itu, aku tidak mengecewakanmu”. sahut ayah Sekar Wangi.

Sejenak kemudian orang misterius yang sedari tadi hanya terlihat seperti bayangan hitam mulai beranjak dari tempat itu dengan bekal kemampuannya yang sangat tinggi.

Sementara Ki Agung Sedayu memang sengaja menunggu orang yang mencarinya itu pergi lebih dulu, baru kemudian dirinya akan kembali lagi ke tempat kedua istrinya berada.

Dengan kepergian orang itu, maka mulai memudar pula balutan kabut tebal yang menyelimuti sekitar tempat itu hingga akhirnya hilang dan seakan tak berbekas sama sekali.

Kini yang ada adalah kabut yang sewajarnya, kabut yang agak tebal disertai dengan dinginnya pagi, sebagai pertanda bahwa sepertinya tidak lama lagi hari baru akan dimulai.

Murid tertua dari Swargi Kyai Gringsing itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam dari tempatnya berdiri, untuk sekedar mengurangi kepepatan hatinya setelah melepas kepergian orang yang belum diketahui jati dirinya tersebut.

Sebagai hamba dari Yang Maha Welas Asih, dirinya tidak pernah merasa takut dengan apapun dan siapapun yang bakal dihadapinya, meski hal itu sangat berbahaya atau bahkan akan dapat membuatnya kehilangan selembar nyawanya sekalipun.

Namun sebagai manusia biasa, dirinya tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Bahwa tetap saja jantungnya berdebar-debar mendapat peringatan sekaligus tantangan dari orang yang belum dikenal, dan memiliki kemampuan sangat tinggi.

Di dalam hatinya yang paling dalam, sering muncul pertanyaan? kenapa jalan hidupnya harus seperti ini? kenapa orang datang silih berganti kepadanya dan seakan tiada pernah habisnya untuk bertarung dengan alasannya masing-masing.

Namun kebanyakan yang terjadi adalah awalnya karena alasan kepentingan yang berseberangan dan tidak dapat diselesaikan dengan cara baik-baik, dan dari hal itu pula yang kemudian memicu dendam kesumat dari orang-orang terdekatnya.

Dari dendam satu ke dendam yang lain hingga seakan tiada pernah ada habisnya dari sejak dirinya masih muda sampai pada umurnya sekarang.

Sampai kapan hidupnya akan seperti ini? hidup yang selalu diliputi oleh perseteruan dan pertarungan antara hidup dan mati karena perbedaan sikap dan pandangan.

Mungkinkah harus menunggu dirinya tiada lebih dahulu, agar hidupnya tidak akan lagi dikejar oleh pertarungan demi pertarungan yang semakin lama semakin menjemukannya?.

Padahal di dasar hatinya yang paling dalam, dirinya hanya ingin hidup wajar bersama keluarga dalam kehidupan bebrayan agung yang penuh dengan kedamaian, tata titi tentrem karta raharja.

Namun sepertinya hal itu terasa sulit sekali untuk digapai di dalam hidupnya dan seakan itu hanya akan menjadi sebuah harapan dan khayalannya semata.

Sebab selama ini selalu ada saja alasannya yang menyebabkan dirinya harus terlibat kedalam sebuah perselisihan hingga akhirnya harus membawanya ke dalam sebuah pertarungan yang bagaimanapun jenisnya.

“Mungkin jika nanti aku telah benar-benar mengundurkan diri, aku dapat merasakan kehidupan wajar dengan penuh kedamaian bersama keluargaku dan orang-orang di sekitarku”. membatin Ki Agung Sedayu dalam kesendiriannya.


Halaman 21 - 22

Namun ayah Bagus Sadewa itu tidak ingin berlama-lama lagi terlarut ke dalam perasaan yang terasa masih jauh dari jangkauan kehidupannya sekarang.

Dan dirinya segera teringat akan kedua istrinya yang tadi ditinggalkannya, maka dia pun segera memutar badannya dan segera kembali agar tidak semakin membuat mereka gelisah.

Dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, tidak butuh waktu lama untuk mencapai tempat dimana kedua istrinya yang masih dengan setia menunggu kedatangannya.

“Apa yang telah terjadi, Kakang?”. bertanya Nyi Pandan Wangi yang tidak dapat menahan diri lagi, ketika melihat suaminya telah kembali.

Kemudian ayah Sekar Wangi itu menceritakan secara singkat apa yang baru saja telah terjadi, bahwa ada seseorang yang telah menunggunya untuk mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang pada saat pecah perang nanti.

“Jika memang benar dia bukanlah bagian dari Pasukan Surabaya, tetapi dengan sengaja datang untuk menantang Kakang, bukankah itu sama saja artinya dia sedang memancing di air yang keruh?”. sahut Nyi Pandan Wangi setelah suaminya selesai bicara.

“Mbokayu benar. Tetapi menurut pendapatku, sebenarnya dia memang adalah orang kepercayaan Surabaya yang sengaja disiapkan untuk menghadapi salah satu Senopati Mataram yang dianggap memiliki kelebihan”.

“Ya… mungkin pula, hanya saja dia tidak mau  mengatakan yang sebenarnya kepada Kakang Agung Sedayu yang akan menjadi calon lawannya pada saatnya nanti”.

“Segala kemungkinan dapat terjadi, tetapi yang paling jelas adalah dia adalah orang yang benar-benar berilmu sangat tinggi. Selain itu, berdasarkan dari ucapannya yang aku dengar menyiratkan pula bahwa dia adalah orang yang waskhita”.

“Maksud Kakang?”. kali ini Nyi Sekar Mirah lah yang menyahut.

“Dia mengatakan bahwa telah mengetahui pengapesan dari ilmu yang aku miliki”.

“Apakah Kakang percaya dengan ucapan orang itu?”.

“Jika menilik sekilas dari kemampuan yang ditunjukkannya, sepertinya dia tidak main-main dengan apa yang diucapkannya itu”. sahut Ki Agung Sedayu dengan wajah bersungguh-sungguh.

“Apa ilmu yang Kakang kuasai itu memang memiliki sebuah pengapesan akan suatu hal atau benda tertentu?”. sahut Nyi Sekar Mirah yang penasaran.

“Aku sendiri pun masih ragu akan hal itu”.

“Jika Kakang sendiri saja tidak tahu, mungkin saja orang itu sengaja menghembuskan cerita ngayawara itu kepada Kakang sebelum memulai pertarungan, dengan tujuan untuk mengguncang ketahanan jiwani Kakang sebelum memasuki medan yang sebenarnya”.

“Aku sependapat dengan Mbokayu, mungkin itu hanyalah pendapatnya secara pribadi. Jika pada akhirnya itu adalah sebuah kebenaran, maka itu hanya sebuah kebetulan saja. Tetapi yang jelas itu hanya bertujuan untuk mengguncang ketahanan jiwani Kakang Agung Sedayu saja”.

“Ya… sepertinya  dalam hal ini kita sependapat, Sekar Mirah”. sahut Nyi Pandan Wangi, lalu menoleh ke arah suaminya.

Adik kandung Ki Untara itu tiba-tiba nampak terdiam di tempatnya berdiri, sepertinya ada sesuatu yang masih coba diingat-ingatnya kembali.

“Apa yang sedang Kakang pikirkan?”. berkata Nyi Sekar Mirah membuyarkan penalaran suaminya.

“Sepertinya aku ingat akan sesuatu”.


Halaman 23 - 24

“Apa itu, Kakang?”.

“Tentang apa yang telah dikatakan orang itu, tentang pengapesan ilmuku”. sahut Ki Agung Sedayu dengan perasaan ragu.

“He…?”. sahut istrinya yang terkejut hampir bersamaan.

“Benarkah itu?”. bertanya ibu Bagus Sadewa.

“Setelah aku ingat-ingat kembali apa yang tertulis di dalam kitab yang pernah aku pelajari…”.

“Memangnya apa yang Kakang ingat?”. sahut Nyi Sekar Mirah yang semakin merasa tidak sabar, ketika suaminya tidak segera melanjutkan kata-katanya.

Sejenak kemudian Ki Agung Sedayu pun mulai menjelaskan secara singkat, namun masih dengan perasaan ragu dengan apa yang dikatakannya tersebut.

Kedua perempuan perkasa itu seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya, namun karena yang berbicara itu adalah suaminya yang telah dikenalnya dengan sangat baik membuat mereka mencoba percaya.

“Aku baru tahu jika ilmu yang Kakang pelajari selama ini ternyata menyimpan sebuah pengapesan”. sahut ibu Bagus Sadewa setelah suaminya selesai menjelaskan.

“Lalu bagaimana sikap Kakang dalam menghadapi tantangan orang misterius tadi? bukankah tadi Kakang bilang, bahwa dia telah mengetahui pengapesan, Kakang?”. ucap Nyi Pandan Wangi ikut menimpali.

“Apakah aku harus bersembunyi dibalik punggung kalian?”. sahut ayah Sekar Wangi sembari tersenyum.

“Ah Kakang, Kakang masih saja dapat berkelakar menghadapi keadaan seperti ini. Ingat, Kakang! dia adalah orang yang berilmu sangat tinggi dan tidak dapat kita jadikan bahan kelakar”.

“Aku mengerti maksudmu, Pandan Wangi. Lagipula tidak ada niatku sedikitpun di dalam hatiku untuk membuat masalah ini menjadi bahan kelakar”.

“Lalu apa yang akan Kakang lakukan?”.

“Aku belum tahu pasti, namun yang jelas semua ini aku pasrahkan kepada Yang Maha Welas Asih, karena hanya kepada-Nya lah aku meminta pertolongan dan perlindungan selain aku juga akan berusaha dengan sebaik-baiknya”.

Wajah kedua perempuan itu nampak lesu setelah mendengar jawaban dari suaminya yang demikian, sebab mereka sendiri pun merasa belum memiliki pendapat yang lebih baik.

“Di dalam isi kitab itu memang disebutkan kelemahan ilmu yang aku pelajari, tetapi disisi lain disebutkan pula bahwa di dalam sebuah kelemahan itu terdapat kelebihan”.

“Aku tidak mengerti maksud Kakang”. sahut Nyi Sekar Mirah dengan kening berkerut.

“Aku sendiri pun belum tahu maksud dari kata-kata itu, sebab di dalam kitab itu hanya disebutkan demikian. Dan aku selaku orang yang mempelajari isi kitab tersebut harus mencarinya sendiri artinya kata-kata yang dimaksud”.

“Sepertinya kita sudah terlalu lama berada di tempat ini, jika tidak ada lagi yang ingin sampaikan, sebaiknya kami segera menyusul rombongan, agar kami tidak semakin jauh tertinggal dan membuat mereka berprasangka”.

“Sepertinya sementara ini memang tidak ada lagi, untuk selanjutnya kita menunggu perkembangan yang ada. Aku atau kalian lebih dulu yang melontarkan isyarat”.

“Tetapi jika kami lontarkan isyarat, Kakang jangan lama-lama menjawabnya, agar kami tidak dirundung kegelisahan. Seperti yang tadi Kakang lakukan”. sahut Nyi Pandan Wangi.


Halaman 25 - 26

*****

Sementara di tempat lain pada waktu yang hampir bersamaan, empat orang penunggang kuda telah mulai mendekati tepian Kali Praga yang masih diselimuti kegelapan bersama kabut menjelang pagi yang terasa dingin.

Betapa terkejutnya keempat orang itu setelah melihat jejak-jejak yang telah ditinggalkan di tepian itu, dan sontak saja membuat mata mereka memeriksa berkeliling sembari masih tetap berada di atas punggung kudanya masing-masing.

Belum hilang rasa terkejutnya keempat orang itu, kini telah dikejutkan kembali akan keberadaan enam ekor kuda yang ditambatkan di tepian tanpa penunggangnya.

“He… apa yang telah terjadi?”. berkata salah satu dari mereka yang tidak dapat menahan diri untuk terus berdiam diri.

“Apakah kawan-kawan kita telah mengalami nasib buruk?”. sahut kawannya yang lain.

“Sebaiknya kita turun dan memeriksa keadaan sekitar, barangkali kita masih dapat menemukan jejak yang mereka tinggalkan”. sahut pemimpin rombongan kepada kawan-kawannya.

“Apakah tidak berbahaya, Kakang? bukan aku takut, tetapi menurutku masih ada kemungkinan orang-orang yang telah menghadang kawan-kawan kita itu masih bersembunyi dan kemudian akan bersiap mencelakai kita satu persatu”.

Namun pembicaraan mereka harus terhenti ketika terdengar suara dari balik tebing, lalu disertai dengan kemunculan beberapa orang dari balik kegelapan.

“He… Kawul, ini kami!”.

Sontak saja keempat orang yang baru saja datang segera menoleh ke arah sumber suara dengan penuh tanda tanya, sembari tidak lupa tetap dalam kewaspadaan tertinggi terhadap segala kemungkinan”.

Setelah jarak mereka semakin dekat, maka semakin jelaslah siapa gerangan orang-orang yang muncul dari balik kegelapan, ternyata para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bersembunyi.

“Apa yang kalian lakukan, Kakang? kenapa kalian malah masih sempat-sempatnya bermain petak umpet pada saat mendapat tugas yang sangat penting?”.

“Main petak umpet gundulmu itu, kami memang sengaja bersembunyi karena kami pikir kalian itu adalah para penculik Sekar Wangi yang akan keluar dari Tanah Perdikan Menoreh”.

“Oh… pantas saja kalian bersembunyi”.

“Meskipun kami tidak akan dapat mengalahkan mereka, tetapi paling tidak kami akan berusaha membututi mereka”.

“Tetapi sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian untuk membututi mereka sekaligus tugas kalian dari Ki Jagabaya”.

“Apa maksudmu, Kawul? apakah kau berkata sebenarnya?”.

“Benar Kakang, mana mungkin dalam keadaan seperti ini aku berani berkelakar? jika Kakang tidak percaya, mereka adalah saksinya”. sahut Kawul sembari menunjuk ketiga kawannya yang datang bersamanya.

“Baiklah, tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi?”.

“Sekar Wangi telah kembali”.

“He… Sekar Wangi telah kembali? bagaimana itu bisa terjadi dengan demikian cepatnya?”. sahut pemimpin pengawal pada rombongan pertama terkejut bukan kepalang dengan apa yang telah didengarnya.

“Penculik yang mengaku bernama Kyai Samber Geni itu mengatakan bahwa dalam pelariannya, dia telah dihadang dan dikalahkan oleh orang yang mengaku bernama Ki Pringsewu”.






..........................................




saya bukan siapa-siapa dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa segala bimbingan, dukungan, dan doa dari panjenengan semua.


Padepokan Tanah Leluhur

Terima Kasih

5 komentar:

  1. Assaalamu'alaikum warahmatullah Ki MDP,
    Alhamdulillah semoga panjenengan sehat selalu dan terus berkarya. 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaikum salam Panembahan Wonokromo...

      amin...
      terima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa panjenengan.

      Hapus
  2. Alhamdulillah, semoga Ki MDP selalu sehat dan bersemangat

    BalasHapus
    Balasan
    1. amin...
      terima kasih atas segala bimbingan, dukungan, dan doa dari Ki Ptokwayangan.

      Hapus
  3. Alhamdulillah yang ditunggu-tunggu akhirnya datang jua ... maju terus Ki MDP .. Insya Allah saya akan tetap setia mengikuti tulisan panjenengan.

    BalasHapus