* * *
Dalam waktu yang masih pagi-pagi sekali menjelang matahari terbit tak lama lagi, dengan hawa yang masih begitu dingin di salah satu lereng Gunung Kendalisada. Empat orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan itu sedang terhanyut dalam panuwunan bagi saudara mereka.
Sebenarnyalah Ki Agung Sedayu dan ketiga istrinya entah sudah berapa lama telah memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi keselamatan dan kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih yang masih belum berdaya.
Meskipun jantung mereka semakin lama menjadi semakin berdebar kencang dan seakan mau meledak, menahan ketegangan dan gejolak perasaan yang begitu luar biasa sebab menghadapi kenyataan yang sedang mereka hadapi.
Terutama Ki Agung Sedayu dan Nyi Sekar Mirah yang sudah saling mengenal dalam waktu yang cukup lama sehingga membuat ikatan batin mereka sangat kuat, sehingga keduanya seakan lebih terhanyut dalam suasana panuwun yang sedang mereka panjatkan bersama-sama.
Sementara di sekitar tempat mereka memanjatkan panuwun, seakan alam pun ikut merasa berprihatin dengan keadaan tersebut. Terutama sekumpulan hewan yang tadinya bersuara dengan riuhnya, kini seakan menjadi sunyi. Jika ada yang bersuara pun hanya bersuara lirih dan tidak membuat kegaduhan.
Semilirnya angin pagi telah membawa hawa yang cukup dingin di sekitaran Gunung Kendalisada, seakan ingin ikut pula dapat membelai tubuh Ki Lurah Glagah Putih agar segera mendapatkan kesembuhannya.
Dalam memanjatkan panuwun, keempat orang tersebut sengaja memejamkan mata agar dapat lebih terpusat. Meskipun tidak dapat menjadi sebuah jaminan, namun menurut mereka dengan semakin terpusatnya panuwun yang mereka panjatkan, maka kemungkinan untuk dikabulkan oleh Yang Maha Welas Asih akan semakin besar.
Masih dalam keadaan memanjatkan panuwun, tanpa sadar pipi Nyi Sekar Mirah mulai basah karena gejolak perasaan yang semakin bercampur aduk, tapi masih tetap dalam kepasrahan utuh.
Meskipun dalam hubungan secara kekeluargaan Ki Lurah Glagah Putih tidak lebih dari adik sepupu dari suaminya, namun bagi ibu Bagus Sadewa sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri.
Apalagi sebagai seorang perempuan dengan jiwa keibuan yang kuat, maka tidak akan sampai hati ketika melihat keluarga atau orang terdekatnya mengalami nasib yang demikian.
Sebagai seorang perempuan perkasa yang telah menguasai kawruh kanuragan hingga tataran yang sangat tinggi, bahkan telah mendapat kepercayaan dari gurunya, yaitu Ki Sumangkar untuk mewarisi salah satu pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Namun tetap saja hatinya masih rapuh jika menghadapi kenyataan yang demikian.
Sebab pada perempuan kebanyakan, akan lebih mengedepankan perasaannya daripada penalarannya ketika menghadapi kenyataan. Memang tidak salah, namun jika perasaan itu mudah rapuh maka akan membuat goncangan hebat pada orang yang bersangkutan.
Karena pada dasarnya ketahanan jiwani seseorang itu berbeda-beda kemampuannya, jika orang tersebut tidak kuat maka akan dapat sangat berbahaya.
Beruntunglah bahwa Nyi Sekar Mirah selain seorang yang perkasa dalam kawruh kanuragan, dirinya juga adalah orang yang memiliki ketahanan jiwani yang kuat jika dibandingkan dengan perempuan kebanyakan.
Meskipun dirinya tak mampu menahan air matanya yang meleleh begitu saja dari pipinya, namun goncangan tersebut tidak sampai membuat penalarannya menjadi buram dan masih dapat bekerja dengan baik dan wajar.
Tapi keadaan tersebut ternyata tidak membuat pemusatan panuwunnya terganggu, lagipula yang lain belum menyadari sebab semuanya masih memejamkan mata masing-masing, karena Nyi Sekar Mirah memang masih tetap diam dan tak bergeming.
Keempat orang tersebut sangat menyadari bahwa kesempatan yang dimiliki Ki Lurah Glagah Putih menjadi semakin sempit, sehingga membuat mereka semakin memusatkan panuwun mereka.
Mereka tidak lagi sempat berpikir bahwa, entah masih ada gunanya atau tidak segala bentuk panuwun yang mereka panjatkan kepada Yang Maha Welas Asih bagi kesembuhan ayah Arya Nakula dalam waktu yang menurut perhitungan mereka akan segera habis.
Mungkin baru kali ini dalam seumur hidup mereka menyambut matahari dengan berdebar-debar dan penuh ketegangan, sebab entah menjadi pertanda nasib baik atau buruk bagi adik sepupu yang sangat mereka kasihi.
Terlebih lagi Begawan Mayangkara yang tadi mereka mintai pertolongan, justru sampai kini belum ada kabarnya. Bahkan hingga matahari sudah mengintip dari balik gunung, belum muncul-muncul juga. Sehingga membuat hati mereka semakin bertanya-tanya, apakah yang sebenarnya sedang terjadi?.
Mungkinkah Begawan Mayangkara tidak segera berhasil menemui kawannya tersebut? apakah dengan begitu harus mencarinya terlebih dahulu entah kemana? atau telah terjadi sesuatu pada orang linuwih itu?
Berbagai pertanyaan dalam hati keempat orang tersebut semakin berputar-putar dalam penalaran mereka tanpa mampu mereka jawab sendiri, yang kemudian membuat mereka hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi.
Dalam kepasrahan yang utuh itu justru membuat mereka semakin memusatkan panuwun, dan hanya bisa berharap atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih sehingga akan menimbulkan keajaiban bagi adik sepupu mereka.
Jika memang itu harus terjadi, maka terjadilah. Karena pada dasarnya semua mahkluk yang ada di dunia ini pasti akan mengalaminya, hanya tinggal menunggu giliran saja.
***
Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, keadaan sukma Ki Lurah Glagah Putih dan Raden Rangga sudah tak lagi bergeming dan semakin terhanyut dalam panuwunan yang utuh kepada Yang Maha Welas Asih.
Ternyata dua orang yang pada masa sesrawungan di alam padang adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan tersebut, kini di alam Gung Liwang-Liwung pada tataran tertinggi terlihat perbedaan betapapun kecilnya.
Karena dengan bekal kawruh yang mereka miliki, sedikit banyak telah membuat mereka memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Tinggal bagaimana yang bersangkutan menggunakan kawruh yang mereka miliki itu, berguna bagi sesama atau justru untuk merugikan serta berbuat kejahatan.
Tapi kebetulan Ki Lurah Glagah Putih adalah orang yang selalu berusaha tetap berjalan di jalan Yang Maha Agung dengan kawruh yang telah dikuasainya.
Sedangkan Raden Rangga pada masa sesrawungannya di alam padang, siapa yang tidak mengenalnya di seluruh tlatah Mataram? selain karena dirinya adalah putra Kanjeng Panembahan Senopati, dia sendiri adalah orang yang memiliki kawruh kanuragan yang sangat tinggi, bahkan sulit dicari bandingnya.
Tapi dengan bekal kawruh kanuragan yang sangat tinggi, justru membuat dirinya mudah tersinggung, meledak-ledak dan kurang dapat mengendalikan diri ketika menghadapi segala persoalan, bahkan pernah pada suatu ketika membuat ayahnya murka karena polah tingkahnya.
Meskipun sering dianggap sebagai seorang pangeran yang aneh, tapi pada dasarnya Raden Rangga itu adalah orang yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan paugeran yang berlaku serta bisa menjadi seorang sahabat yang baik.
Tapi dia adalah orang yang tidak mudah dekat dan akrab dengan orang lain, dan itu tidak memandang dari mana dia berasal. Sebagai contoh, Raden Rangga justru dapat bersahabat baik dengan Ki Lurah Glagah Putih pada waktu mudanya setelah menemukan kesesuaian satu sama lain.
Bahkan karena saking senangnya Raden Rangga pada saat itu dapat berkawan baik dengan Ki Lurah Glagah Putih, dirinya tidak segan-segan memberikan sebuah hadiah, yaitu salah satu kuda paling tegar yang ada di Mataram.
Serta di saat-saat terakhir dirinya di alam padang, sebelum benar-benar menghembuskan nafasnya yang terakhir. Nama Glagah Putih lah yang paling ditunggu-tunggu, karena dia berniat akan mewariskan ilmunya yang masih tersisa.
Menurut perhitungannya, ilmu itu tentu akan lebih berguna jika dimiliki oleh kawan baiknya tersebut, dibandingkan jika hanya dibawanya mati.
Apalagi kawannya itu selain dapat menjadi kawan yang baik bagi dirinya, dia juga adalah pribadi yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan paugeran yang berlaku dan senang membantu sesama yang membutuhkan tanpa pandang bulu.
Keputusan Raden Rangga dengan mewariskan sisa-sisa ilmu yang ada pada dirinya di saat-saat terakhir itu ternyata dapat dirasakan manfaatnya kemudian.
Sebab kemungkinan inilah yang dapat menjadi jalan terakhirnya untuk menggapai Kasuwargan Jati, karena hal itu pula yang mampu digunakan untuk menebus segala kesalahan dan dosa yang telah dilakukannya selama hidup di alam padang.
Karena ilmu yang diwariskan tersebut di kemudian hari oleh Ki Lurah Glagah Putih ternyata digunakan bagi kepentingan sesama, terutama untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dan karena hal inilah Raden Rangga sampai rela menunggu dalam waktu yang tak terbatas akan kedatangan Ki Lurah Glagah Putih di alam Gung Liwang-Liwung untuk meminta pertolongan agar dapat membantunya memasuki alam Kasuwargan Jati.
Sebab memang tidak mudah bahkan dapat dikatakan sangat rumit dalam penalaran kita sebagai manusia selain syarat-syarat dari Yang Maha Welas Asih yang harus dipenuhi lebih dahulu untuk dapat memasuki alam Kasuwargan Jati.
Jangankan untuk memasuki alam Kasuwargan Jati, untuk menggapai alam Gung Liwang-Liwung pada tataran tertinggi saja tidak mudah, sebab banyak pula yang tersesat atau terjebak di tataran-tataran sebelumnya yang berada di bawahnya, sehingga tidak dapat menggapai Gapuro Noto Kasuwargan Jati dalam waktu yang tak berujung.
Maka dari itu betapa bahagianya seorang Raden Rangga ketika mengetahui bahwa Ki Lurah Glagah Putih telah datang di alam Gung Liwang-Liwung. Sebab kedatangannya telah memberikan secercah harapan baginya untuk lepas dari segala penderitaan yang selama ini disandangnya.
Karena selama ini dirinya tidak pernah tahu kapan waktu yang ditunggunya itu akan tiba, karena yang dia tahu hanyalah menunggu, menunggu, dan menunggu saja dalam waktu yang tidak terbatas. Maka bisa diibaratkan bahwa dirinya seperti menunggu turunnya hujan di musim kemarau.
Tapi kini penantian yang panjang itu telah berakhir, meskipun itu juga belum bisa menjadi jaminan bagi dirinya untuk dapat memasuki alam Kasuwargan Jati dengan mudahnya, semua itu masih tergantung atas kemurahan Yang Maha Welas Asih.
Namun paling tidak kedatangan Ki Lurah Glagah Putih seperti siraman banyu sewindu, yang begitu menyejukkan. Untuk selanjutnya akan mereka pikirkan bersama-sama cara yang paling baik agar dapat menggapai gegayuhan tersebut.
Sebagai orang yang memiliki kelebihan semasa hidup di alam padang, ternyata telah sedikit banyak membantu keduanya dalam menghadapi segala kenyataan yang sedang mereka hadapi, meskipun sudah berbeda alamnya.
Mereka berdua dapat menjadi orang yang memiliki kelebihan itu bukan karena sebuah warisan atau keajaiban, namun semua itu semata-mata mereka dapatkan karena mereka adalah termasuk orang-orang yang senang menjalani laku prihatin.
Karena atas dasar senang menjalani laku prihatin dan senang mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung itulah yang sedikit banyak telah membantu, meski secara tidak langsung.
Sebuah gegayuhan yang dilambari dengan laku-laku prihatin dan selalu berusaha berpasrah diri kepada Yang Maha Welas Asih secara utuh maka akan terlihat perbedaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mungkin ada benarnya petuah yang sering kita dengar dari para sepuh, salah satunya yaitu Jer Basuki Mawa Bea. Jika kita ingin menggapai sebuah gegayuhan, maka kita harus mau berjuang dan rela berkorban.
Sebab adalah sebuah kemustahilan jika sebuah gegayuhan itu akan kasembadan dan dapat kita gapai tanpa harus bersusah payah lebih dahulu dengan sebuah perjuangan dan pengorbanan. Semakin besar sebuah gegayuhan yang ingin kita gapai, maka semakin besar pula perjuangan dan pengorbanan yang harus kita bayar.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih dan Raden Rangga masih diam tak bergeming dalam pemusatan nalar budi untuk memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih.
Hanya atas izin dari Yang Maha Welas Asih lah mereka berdua dapat melewati Gapuro Noto agar dapat memasuki alam Kasuwargan Jati. Sebab tidak akan ada seorang hamba pun yang dapat melewatinya jika tidak mendapatkan izin tersebut.
Keadaan yang semakin terhanyut dalam pemusatan nalar budi, mereka tidak menyadari ada sesuatu yang telah terjadi yang entah dari mana datangnya, sebab mata keduanya tetap dalam keadaan terpejam selama pemusatan nalar budi.
Di depan mereka berdua duduk bersila, tiba-tiba muncul sebuah cahaya kecil yang sangat terang. Namun cahaya itu semakin lama semakin membesar, hingga sebesar gardu perondan dengan disertai prabawa yang sangat kuat.
Hanya karena kebulatan tekad yang begitu kuat dari Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih lah yang telah membuat keduanya tak bergeming. Bahkan keduanya berusaha untuk tidak menggubris dan mengabaikan saja segala gangguan yang dapat mengganggu pemusatan panuwunan tersebut.
Tapi semakin lama pengaruh itu semakin kuat, bahkan sukma keduanya mulai dapat merasakan bahwa ada sebuah kekuatan yang tak kasat mata dan semakin kuat pula pengaruhnya untuk berusaha mengganggu keduanya.
Kekuatan yang tak kasat mata itu terasa semakin kuat saja untuk dapat menjatuhkan keduanya dalam keadaan bersujud, tapi terasa masih ada kejanggalan yang sedang terjadi, sebab keduanya sama sekali masih belum terdengar suara dalam bentuk apapun yang dapat didengar.
Ternyata kekuatan itu memang sebuah kekuatan yang sangat luar biasa dan pada akhirnya tidak mampu dilawan oleh Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih, meskipun mereka sudah berusaha dengan segala upaya dan melawan dengan seluruh tenaga.
“Sembah sujud hamba Gusti Yang Maha Agung, semoga Gusti Yang Maha Agung berkenan menerima sembah sujud dari hamba ini dan hamba mohon ampunan atas segala kesalahan dan dosa yang pernah hamba perbuat selama hidup di Alam Padang. Sejak hamba dilahirkan hingga hembusan nafas yang terakhir”. berkata Raden Rangga setelah dalam keadaan bersujud.
“Hamba juga menghaturkan sembah sujud, Gusti Yang Maha Welas Asih, semoga Gusti Yang Maha Welas Asih berkenan menerima sembah sujud hamba ini dan hamba tidak lupa pula untuk memohon ampunan atas segala kesalahan dan dosa yang pernah hamba perbuat, baik yang hamba sadari ataupun tidak, sepanjang hidup hamba”. berkata Ki Lurah Glagah Putih pula.
Selesai berkata demikian keduanya mencoba menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, dalam keadaan mata mereka yang masih terpejam, namun seketika suasana menjadi hening dan sunyi. Sebab tidak terdengar jawaban apapun setelah keduanya menghaturkan sembah sujud.
Setelah beberapa saat mereka menunggu, ternyata masih belum ada pula jawaban dan sesuatu yang terjadi hingga membuat keduanya mulai bertanya-tanya dalam hati.
Keduanya sangat menyadari sepenuhnya sedang berada dimana dan sedang berhadapan dengan siapa. Maka, meskipun hanya berkata dalam hati, keduanya sangat berhati-hati sekali.
Sebab sangat mungkin sekali jika dalam hati mereka berkata-kata yang aneh-aneh atau bahkan tidak baik, maka akan dapat menyeret mereka ke dalam kesulitan, atau kemungkinan paling pahitnya akan dapat mengalami nasib buruk.
Sehingga meskipun sudah menunggu beberapa lama dan mereka belum mendengar jawaban, maka keduanya hanya dapat terdiam dan menunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya tanpa pernah berani berprasangka.
“Raden… apa yang harus kita lakukan sekarang?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih yang sudah tidak dapat menahan diri lagi setelah menunggu beberapa lama, yang masih tetap dalam keadaan bersujud dan mata terpejam.
“Sabarlah Glagah Putih, karena yang dapat kita lakukan hanya menunggu dan menunggu”.
Mungkin karena Ki Lurah Glagah Putih yang belum lama memasuki alam Gung Liwang-Liwung belum bisa sesabar Raden Rangga yang sudah sekian lama berada di tempat itu sehingga dapat lebih menahan diri.
Tapi alangkah terkejutnya ayah Arya Nakula tersebut menemui kesulitan ketika dirinya akan berusaha membuka kedua matanya. Seperti ada kekuatan yang tak kasat mata telah menguasai seluruh tubuhnya, termasuk sekedar membuka mata.
“Apa yang sebenarnya terjadi? mengapa hanya untuk membuka mata saja aku tidak dapat melakukannya?”. berkata Ki Lurah Glagah Putih dalam hati dengan penuh tanda tanya.
Memang pada kenyataannya, tubuh keduanya seakan menjadi kaku dan tidak dapat bergerak sama sekali, bahkan hanya untuk sekedar membuka mata saja mereka kesulitan, apalagi harus menggerakkan bagian tubuh yang lain? karena mereka sedang dalam pengaruh kekuatan yang luar biasa besar dan tak kasat mata.
“Sabarlah Glagah Putih, kau harus ingat bahwa sekarang ini kita sedang berada di alam Gung Liwang-Liwung pada tataran tertinggi, bukan lagi berada di Alam Padang”. sahut Raden Rangga yang menggunakan suara hatinya.
“He… apakah Raden dapat mendengar suara hatiku?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih terkejut.
“Kau tidak perlu merasa heran, karena jika kau berada disini kita dapat berbincang dengan suara hati”.
“Ya.. ya… aku mulai mengerti sekarang”.
“Maka dari itu jagalah hati, pikiran, dan sikapmu jika sudah memasuki alam ini. Karena kesalahan sekecil apapun, kau akan menerima akibatnya. Bahkan dalam waktu seketika itu juga”.
“Baiklah Raden, aku akan berusaha selalu mengingatnya. Dan semoga saja aku tidak membuat kesalahan”.
“Sekarang tidak ada yang dapat kita lakukan selain hanya menunggu apa yang terjadi pada diri kita, tapi semoga saja Yang Maha Welas Asih berkenan menerima sembah sujud kita dan mengampuni segala kesalahan dan dosa kita”.
“Baiklah Raden, semoga saja sesambat kita berdua segera disembadani Yang Maha Welas Asih. Sebab memang hal itulah yang menjadi satu-satunya gegayuhan kita sekarang”.
“Demikianlah Glagah Putih. Jadi apapun yang terjadi, kita harus dapat bersabar dalam waktu yang tak terbatas, hingga Yang Maha Agung berkenan menerima sembah sujud kita dan mengabulkan panuwun kita berdua”.
Tanpa mereka berdua sadari, ternyata di hadapan mereka yang tadi sempat muncul cahaya hingga cahaya itu berwujud sebesar gardu perondan. Secara perlahan-lahan cahaya yang sangat menyilaukan itu mulai menampakkan sosok dari tengahnya.
Berawal dari sekedar seperti bayangan yang samar, secara perlahan menjadi semakin jelas wujudnya. Tapi setelah sosok itu berwujud jelas, tampak ada keanehan yang terjadi.
Ternyata sosok yang muncul tersebut yang dapat dilihat hanya sekitar pusar ke atas, sedangkan pusar ke bawah tertutupi awan putih yang pekat dan cahaya yang sangat menyilaukan.
Setelah sosok tersebut nampak jelas, maka terlihatlah sosok yang sangat aneh, dan seperti seorang tokoh dari masa lampau jika dilihat dari ciri-ciri yang disandang.
Sosok itu tidak memakai potongan pakaian bagian atas sama sekali tapi memakai sebuah mahkota di kepalanya, kelat di kedua lengannya, sumping di kedua telinga, dan kalung yang menghiasi leher yang sepertinya terbuat dari emas yang sangat mengkilap.
Dan sosok itu terlihat sangat tampan, berkharisma, tatapan matanya pun nampak sangat menyejukkan bagi siapa saja yang mencoba memandangnya, dan tubuhnya semerbak bau wangi.
“Bangunlah, dan duduklah, ngger. Bukalah kedua mata kalian!”. berkata sosok yang baru saja datang tersebut.
Seketika pengaruh kekuatan yang luar biasa kuat pada Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih seakan lenyap begitu saja tak berbekas, hingga membuat keduanya dapat melakukan apa yang baru saja diperintahkan oleh sosok yang baru saja datang.
“Apakah hamba sedang…?”.
“Jangan kau kira akan dengan begitu mudahnya kalian dapat bertemu dengan Yang Maha Welas Asih meskipun saat ini sudah berbadan halus”. potong sosok itu cepat, mengetahui maksud yang akan ditanyakan oleh Raden Rangga.
“Hamba mohon ampun atas kebodohan ini, sebab hamba benar-benar tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Jika kami diperkenankan, dengan siapakah kami berhadapan sekarang?”.
“Ulun maafkan kesalahanmu, Ngger. Apakah kau yakin ingin mengetahui siapakah ulun sebenarnya?”.
“Demikianlah, agar nanti hamba tidak membuat kesalahan lagi seperti yang tadi hamba lakukan karena terlalu dungu”.
“Apakah kau juga penasaran denganku, Glagah Putih?”.
“Benar”.
“Baiklah.. ketahuilah, bahwa ulun adalah Bathara Asmaratantra. Dan jika kalian menyebut ulun, harus dengan sebutan Pikulun. Sebab senadyan ala tanpa rupa, ulun ini termasuk salah satu dewa”.
“Baik Pikulun Bathara Asmaratantra”. sahut Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih hampir bersamaan.
“Lalu ada keperluan apakah Pikulun berkenan datang kemari untuk menghampiri kami berdua yang sedang meminta kawelasan kepada Yang Maha Welas Asih?”. lanjut Raden Rangga sembari kedua tangannya menghaturkan sembah.
“Sebenarnya ulun tidak memiliki tugas ataupun keperluan sama sekali dengan kalian berdua. Tapi karena suatu sebab, ulun harus datang kemari”.
Jawaban itu justru membuat Ki Lurah Glagah Putih dan Raden Rangga menjadi saling pandang karena merasa kebingungan, apa sebenarnya yang dimaksud oleh dewa yang ada di hadapannya tersebut? Lagipula baru kali ini mereka bertemu.
“Mohon ampun Pikulun, hamba belum mengerti apa yang sebenarnya Pikulun maksud”. sahut Raden Rangga memberanikan diri untuk bertanya lagi.
“Sebelum ulun menjelaskan, apa sebenarnya maksud ulun datang kemari. Sebaiknya kalian jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi pada diri kalian, dan apa sebenarnya yang kalian lakukan disini, dan siapa tahu jika ulun dapat membantu kesulitan yang sedang kalian alami. Meskipun ulun dapat merabanya, namun ulun ingin mendengarnya secara langsung dari mulut kalian”. sahut Bathara Asmaratantra dengan penuh kelembutan, namun tetap sangat berwibawa.
Sebelum menjawab, Raden Rangga memperbaiki lebih dulu letak duduknya, lalu sembari menghaturkan sembah dia pun mulai menjelaskan.
“Mohon ampun Pikulun, mengapa kami berada disini itu adalah semata-mata untuk memohon kawelasan kepada Gusti Yang Maha Welas Asih agar diizinkan untuk memasuki Kasuwargan Jati. Sebab menurut kami, tidak ada tempat lain lagi yang kami berdua dambakan selain alam Kasuwargan Jati yang sejati”.
“Alam Kasuwargan Jati memang menjadi tempat yang paling didambakan oleh seluruh mahkluk hidup di seluruh jagad raya ini, termasuk kalian berdua. Namun yang jadi pertanyaannya adalah, apakah kalian sudah merasa berhak dan pantas untuk dapat memasukinya?”. bertanya Bathara Asmaratantra dengan penuh kelembutan, namun langsung menusuk ke jantung mereka berdua.
Mendapat pertanyaan tersebut, lalu keduanya hanya bisa terdiam seribu bahasa untuk beberapa saat, sebab bingung harus menjawab apa? namun mau tidak mau mereka harus segera menjawabnya, tapi mereka tidak dapat pula asal menjawab.
Karena mereka berdua sangat menyadari sedang berhadapan dengan siapa, dan tahu sejauh mana kemampuannya. Maka harus tahu batasan-batasan yang harus dilakukan maupun yang tidak dapat mereka lakukan.
“Mengapa kalian menjadi terdiam?”.
“Ampun Pikulun, bukan maksud untuk mengabaikan pertanyaan dari Pikulun, namun hamba sedang mencari jawaban yang paling tepat untuk hamba haturkan. Mohon petunjuk dari Pikulun”. sahut Raden Rangga.
“Glagah Putih.. apa jawabmu?”.
Ki Lurah Glagah Putih yang tidak menduga pertanyaan tersebut menjadi terkejut dan sedikit gugup, setelah memperbaiki letak duduknya, sembari menghaturkan sembah baru dia menjawab.
“Mohon ampun Pikulun, demikian pula hamba. Hamba yang terlalu dungu ini masih belum mengetahui tentang apapun yang harus hamba haturkan sebagai jawaban. Jika diperkenankan, hamba hanya mohon petunjuk kepada Pikulun Bathara Asmaratantra”.
“Mohon ampun Pikulun, apakah maksud dari pertanyaan Pikulun itu menyiratkan bahwa hamba tidak diizinkan untuk memasuki alam Kasuwargan Jati?”.
“Ketahuilah Rangga, bukan ulun yang dapat menentukan bisa atau tidaknya kau diizinkan memasukinya atau tidak, tapi ulun hanya berniat untuk membantu, itupun atas izin dari Yang Maha Welas Asih jika panuwunmu disembadani”.
“Terima kasih atas kebaikan Pikulun, jika diperkenankan ada yang ingin hamba tanyakan”.
“Katakanlah!”.
“Ampun Pikulun, bagaimanakah caranya agar hamba mendapatkan izin dari Yang Maha Welas Asih untuk dapat memasuki alam Kasuwargan Jati?”.
“Mengapa kau masih menanyakannya kepada ulun? Bukankah kau telah memiliki perhitunganmu sendiri? bukankah menurutmu, kau akan mendapatkannya jika disuwargakan oleh Glagah Putih? maka dari itu kau sampai rela menunggu sekian lama kedatangannya di alam Gung Liwang-Liwung ini? tapi ternyata setelah Glagah Putih datang, hingga kini gegayuhanmu itu belum terwujud pula”.
“Ampun Pikulun, hamba memiliki perhitungan demikian sebab dulu hamba pada saat memanjatkan panuwun sempat mendapat wisik dari suara yang tak kasat mata. Dan sejak saat itu hamba senantiasa ngugemi wisik tersebut, hingga seperti yang Pikulun lihat sekarang keadaan hamba”.
“Apakah kau yakin jika itu adalah sebuah wisik dari Yang Maha Welas Asih? apakah kau tidak pernah berpikir bahwa itu bisa saja sebuah wisik yang entah dari mana datangnya, tapi yang sebenarnya terjadi adalah sebuah wisik jegalan? yang sangat mungkin sekali justru akan menjerumuskanmu ke dalam kesulitan, atau bahkan nasib yang paling buruk sekalipun? atau kau memang memiliki kemampuan untuk membedakan itu semua?”.
Seketika wajah Raden Rangga sempat memerah, tapi hanya sekejap setelah mendengar ucapan Bathara Asmaratantra. Untuk sejenak dirinya hanya dapat menundukkan kepalanya karena menahan gejolak perasaannya.
“Ulun dapat mengerti apa yang sedang kau rasakan. Meskipun selama kau berada di alam padang kau adalah orang yang memiliki kawruh kanuragan yang sangat tinggi, namun perlu kau ingat bahwa semua itu tidak pernah berlaku disini, di alam yang sangat rumit dan sulit untuk diterima oleh nalar manusia”.
Sementara Ki Lurah Glagah Putih dan Raden Rangga hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja mendengar penjelasan dari Bathara Asmaratantra yang penuh dengan suara kelembutan, sehingga menyejukkan hati.
“Ketahuilah olehmu Rangga, bahwa wisik yang pernah kau dengar itu bukan berasal dari Yang Maha Agung. Beruntunglah bahwa yang kau dengar itu bukanlah wisik jegalan yang dapat menjerumuskanmu ke dalam kesulitan, tapi wisik itu adalah sebuah wisik baik yang ingin mencoba membantumu. Namun ulun tidak dapat menjelaskannya kepada kalian”.
“Hamba hanya dapat mengucapkan terima kasih atas keterangan yang Pikulun sampaikan”.
“Waktu ulun disini sangat terbatas, sehingga tidak dapat berlama-lama lagi bersama kalian”.
Kedua sukma yang berada di hadapan Bathara Asmaratantra itu seketika mendongakkan kepalanya mendengar ucapan tersebut dengan wajah kebingungan, tapi segera ditundukkan kembali setelah menyadari sedang berhadapan dengan siapa.
“Kalian tidak perlu khawatir. Sebab sebelum ulun pergi, ulun akan selesaikan dulu urusan dengan kalian”.
“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan, Pikulun”. sahut keduanya hampir bersamaan.
“Ketahuilah oleh kalian berdua, bahwa tidak mudah untuk kalian dapat memasuki alam Kasuwargan Jati. Karena selain kalian harus mendapatkan izin dari Yang Maha Welas Asih, kalian juga harus mampu memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Maka dari itu, yang dapat memasuki alam Kasuwargan Jati adalah sukma-sukma yang pinilih dan pinuji”.
“Lalu apakah yang harus hamba lakukan sekarang bersama Glagah Putih agar dapat menjadi sukma yang termasuk Sukma Pinilih dan Pinuji?”.
“Semua itu tergantung akan perbuatan kalian sewaktu mendapat kesempatan hidup bebrayan di alam padang, apakah lebih banyak kebaikan atau lebih banyak keburukan yang telah kalian lakukan. Bukan kalian tahu sendiri yang telah kalian lakukan?”.
“Demikianlah Pikulun”.
“Apakah kalian ingat pula jika kalian telah membunuh sesama? bahkan tidak hanya satu orang, tapi sudah berapa orang? dan semua itu kalian lakukan hanya untuk mengikuti hawa nafsu semata tanpa pertimbangan yang matang, terutama kau Rangga”.
“Mohon ampun Pikulun, selama hidup di alam padang hamba memang mudah sekali terbawa hawa nafsu tanpa pengendalian dan mempertimbangkan baik buruknya lebih dulu. Namun kini, hamba benar-benar telah menyesali semua itu. Dan sekarang hamba sudah siap jika harus menerima hukuman yang paling berat sekalipun, dan hamba sangat menyadari bahwa hamba harus mempertanggung jawabkan semua itu”.
“Apakah kau sudah benar-benar bersiap pula jika harus menerima hukuman di alam penyiksaan Yang Maha Agung, dalam waktu yang tak berujung sebagai penebusan atas segala dosa yang telah kau lakukan?”.
“Jika memang itu yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung, apapun itu hamba hanya bisa pasrah dengan apa yang akan hamba terima. Karena memang sesungguhnya Yang Maha Agung adalah Yang Maha Adil serta Maha Berkehendak”.
“Seharusnya memang demikian, sebagai seorang kesatria yang memiliki bekal kawruh semasa hidup di alam padang kau harus berani mempertanggung jawabkan segala apa yang telah kau lakukan tanpa berusaha mengelak”.
“Tidak ada yang dapat hamba tutupi dan hindari lagi segala kesalahan dan dosa yang pernah hamba lakukan, lagipula jika hamba berbuat demikian akan sia-sia saja”.
“Syukurlah jika kau menyadari keadaanmu sepenuhnya. Ulun hanya dapat berharap, dengan demikian mungkin kau akan dapat sedikit keringanan hukuman dari Yang Maha Welas Asih, meskipun aku sendiri belum tahu keringanan hukuman yang seperti apa yang bakal kau dapatkan nanti”.
“Sekarang bagaimana dengan kau, Glagah Putih?”.
“Mohon ampun Pikulun, hamba mohon petunjuk”.
“Apakah kau sudah bersiap pula untuk menerima segala bentuk hukuman sebagai jalan penebusan atas segala kesalahan dan dosa yang telah kau lakukan selama hidup di alam padang?”.
“Apapun yang bakal terjadi pada diri hamba, hamba hanya dapat pasrah kepada Yang Maha Welas Asih. Sebab menurut hamba, seadil-adilnya sebuah paugeran, tentu paugeran yang paling adil hanyalah paugeran dari Yang Maha Agung”.
“Apakah menurutmu adil pula, jika kau sendiri harus memasuki alam penyiksaan dalam waktu yang tak berujung?”.
“Tentu penalaran hamba sebagai manusia ini terlalu sempit dan dungu untuk dapat mencerna segala kebesaran dari Yang Maha Agung, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan tak terbatas. Lagipula jika di hadapan Yang Maha Agung, hamba ini tidak lebih dari butiran debu di hamparan luasnya jagad raya ini”.
“Apakah dengan demikian kalian berdua sudah rela dan legawa jika harus menerima hukuman apapun dari Yang Maha Agung sebagai penebusan dosa kalian sendiri?”.
“Sudah Pikulun”. jawab keduanya hampir berbarengan.
“Apakah kalian tidak akan menyesal, jika harus menerima hukuman tersebut?”.
“Apalagi yang perlu kami sesali, Pikulun? menyesal atau tidak sudah tidak ada gunanya lagi, sebab semua itu adalah hasil yang harus kami tuai dari perbuatan kami sendiri”.
“Baiklah jika demikian, ulun hanya dapat berpesan. Semoga saja kalian menjalani hukuman itu dengan penuh kesadaran serta rela legawa dalam kepasrahan utuh kepada Yang Maha Agung, sehingga dengan demikian masih ada kemungkinan akan dapat membukakan jalan pengampunan dari Yang Maha Welas Asih, karena mungkin saja dengan begitu kalian akan mendapat keringanan hukuman yang bagaimanapun bentuknya”.
“Terima kasih atas segala petunjuk dari Pikulun Bathara Asmaratantra, semoga kami selalu dapat mengingatnya dalam keadaan bagaimanapun”.
“Ulun hanya dapat berpesan pada kalian. Tapi ingat, bukan ulun sendiri yang dapat menentukan nasib kalian berdua. Karena yang memiliki kuasa atas nasib kalian hanya Yang Maha Agung”.
“Kami mengerti Pikulun”.
“Tapi yang ulun maksud ini adalah Yang Maha Agung yang sejati, Glagah Putih. Bukan yang sekedar mengaku-ngaku seperti yang kau alami di alam Gung Liwang-Liwung pada tataran terbawah. Karena itu memang alam yang diciptakan oleh Yang Maha Agung sebagai Alam Jegalan bagi sukma-sukma yang masih Kadonyan”.
“Hamba hanya bisa menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk Pikulun Bathara Asmaratantra. Sebab hamba memang masih terlalu dungu untuk mengerti sisik melik alam ini bagi hamba yang masih baru”. sahut ayah Arya Nakula yang berkata sebagaimana apa adanya.
“Ulun dapat mengerti, Glagah Putih. Kau tentu belum pernah mengetahui semua ini sebelumnya, karena ini semua memang terlalu rumit untuk dipelajari dan dimengerti oleh penalaran manusia, tapi bukan berarti mustahil untuk dipelajari. Tapi pada akhirnya hanya Sukma Pinilih dan Pinuji lah yang mengerti dan mampu mengetrapkannya”.
Sementara Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saya mendengar petunjuk tersebut tanpa dapat menanggapi.
“Sekarang kalian bersiaplah untuk menerima hukuman yang harus kalian terima sebagai penebusan dosa yang pernah dilakukan, ulun akan membantu nenuwun untuk kalian. Semoga saja dengan demikian kalian akan mendapat pengurangan hukuman”.
“Sendika dawuh, Pikulun Bathara Asmaratantra”.
Selesai berkata demikian, keduanya lalu mempersiapkan diri untuk memusatkan nalar budi dengan segenap lahir batin untuk segera menjalani penebusan dosa.
***
Sementara langkah kaki-kaki kuda yang berderap tidak begitu cepat mulai meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dalam suasana yang masih pagi-pagi sekali.
Mereka sengaja mengambil waktu tersebut sebab dengan pertimbangan Nyi Rara Wulan memerlukan segera sampai ke Mataram agar dapat segera menjenguk keadaan kakeknya yang berdasarkan keterangan dari utusan yang dikirim oleh Ki Purbarumeksa, keadaannya sudah sangat lemah di umurnya yang sudah semakin sepuh.
Orang-orang yang berpapasan di sepanjang jalan menjadi heran ketika melihat rombongan orang berkuda tersebut dari tempatnya masing-masing. Dalam jumlah yang sedemikian besar itu menjadi menimbulkan pertanyaan dalam hati masing-masing.
Sebab tidak seperti adatnya, bahkan menurut mereka jumlahnya terlalu besar jika hanya untuk sekedar mengunjungi sanak kadangnya yang berada di tempat yang jauh. Sebagian orang menyimpulkan bahwa pasti ada sesuatu telah terjadi, namun tidak ada satupun orang yang menanyakan hal tersebut.
Karena dalam rombongan tersebut, di barisan yang paling depan adalah Ki Untara dan Ki Gede Matesih. Meskipun banyak dari mereka yang mengenal kakak Ki Agung Sedayu tersebut, namun karena hubungan mereka yang kurang begitu akrab, ada keseganan untuk berbuat sejauh itu.
Tapi rombongan orang berkuda itu tetap bersikap ramah kepada hampir setiap orang yang mereka jumpai di sepanjang perjalanan dari padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang akan pergi ke sawah, ladang, dan juga ke pasar.
Dalam rombongan tersebut, Nyi Rara Wulan memang terlihat lebih banyak diam dan berbicara seperlunya saja, itupun jika ada yang bertanya kepadanya. Jika tidak, maka hampir tidak pernah ada suara terucap dari mulutnya.
Tiga adik angkat perempuan yang ikut pula dalam rombongan menduga bahwa mbokayunya tersebut pasti hatinya sedang merasa kurang mapan sebab terhanyut dalam perasaan keadaan kakeknya yang sedang dalam keadaan sakit pada umurnya yang sudah semakin sepuh.
Meskipun mereka bertiga belum pernah mendapat kesempatan untuk bertemu secara langsung dengan Ki Lurah Branjangan dan mengenalnya secara pribadi. Namun berdasarkan keterangan yang pernah mereka dengar, kakek dari mbokayu angkatnya tersebut sudah sangat sepuh.
Karena Ki Lurah Branjangan sendiri telah menjadi seorang prajurit sejak masih berdirinya Pajang di bawah Kanjeng Sultan Hadiwijaya, yang pada waktu mudanya lebih dikenal dengan nama Karebet atau Jaka Tingkir, karena berasal dari daerah Tingkir.
Meskipun Ki Lurah Branjangan bukanlah orang yang memiliki nama besar di dunia keprajuritan, baik secara kepangkatan maupun kemampuannya secara pribadi. Namun pengabdiannya pada Mataram sudah tidak perlu diragukan lagi, bahkan sudah hampir tidak terhitung.
Sejak wilayah Mentaok masih berupa hutan yang pepat, Ki Lurah Branjangan sudah ikut babat alasnya, bukan sekedar babat alas dalam sebuah kiasan, namun benar-benar babat alas dalam arti yang sebenarnya bersama yang lain.
Dari Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani dan masih banyak lagi yang terlibat di dalamnya namun tak mungkin bisa disebutkan satu persatu karena saking banyaknya. Hingga hampir semua orang tersebut sudah habis sejarahnya di tanah ini lebih dulu, mungkin hanya tinggal dirinya salah satunya dari beberapa yang tersisa.
Sehingga seorang Ki Lurah Branjangan bisa dibilang adalah salah satu pendiri Mataram, meskipun namanya hanya akan dikenang oleh orang-orang terdekatnya dan satu atau dua orang pepunden di Mataram.
Sebab dirinya tidak lebih dari seorang lurah prajurit kebanyakan, hanya karena jasa dan pengabdiannya dalam jangka waktu yang sangat lama saja membuat namanya masih diingat.
Kini orang yang pernah mendapat kepercayaan dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan Kanjeng Panembahan Senopati tersebut hanya dapat tergeletak di pembaringan hampir sepanjang waktu, keadaan tubuhnya yang sudah semakin lemah sebab kesehatannya semakin hari semakin menurun pada umurnya yang semakin hari semakin bertambah sepuh.
Nyi Rara Wulan sebagai salah satu cucunya selain Raden Teja Prabawa pun sudah jarang sekali dapat bertemu dengan kakeknya tersebut, setelah dirinya membina keluarga bersama anak Ki Widura yang kemudian bertempat tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.
Hanya pada kesempatan tertentu saja ibu Arya Nakula tersebut memiliki waktu untuk mengunjungi kakeknya, sebab kini mereka telah memiliki kehidupannya masing-masing dan terpisahkan jarak, sehingga tidak dapat selalu bertemu sepanjang waktu.
Tanpa sadar Nyi Rara Wulan kembali teringat akan waktu di beberapa dasa warsa yang lampau, dimana ketika dirinya kecil lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakeknya dibandingkan dengan ayahnya sendiri. Terutama sejak ayahnya mendapat anugrah kenaikan pangkat menjadi seorang Tumenggung.
Dulu waktu ayahnya lebih sering disibukkan oleh tugas sebagai seorang prajurit, dibandingkan menghabiskan waktu bersama keluarga, terutama anaknya. Meskipun ayah dan kakeknya sama-sama menjadi prajurit, namun karena perbedaan pangkat dalam gelar keprajuritan telah membuat ayahnya jauh lebih sibuk dengan tugas yang diembannya.
Selain jabatan yang tinggi adalah sebuah kebanggan bagi setiap prajurit, namun semakin tinggi jabatan seseorang sebagai seorang prajurit, maka semakin besar pula tanggung jawabnya.
Dan seluruh anggota keluarga setiap prajurit harus menerima semua kenyataan itu dengan sikap legawa, kapanpun dan dalam keadaan yang bagaimanapun ketika bertugas.
Nyi Rara Wulan yang dilahirkan dari keluarga yang berada, kemudian tumbuh besar dalam keadaan serba kecukupan. Justru seperti menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan kakak laki-laki satu-satunya yang bernama Teja Prabawa.
Justru dengan lingkungan keluarga yang demikian itu membuatnya kesulitan sendiri dalam dunia pergaulan dengan anak-anak sebayanya, terutama dengan orang asing. Bahkan bisa diibaratkan bahwa mereka tumbuh seperti seekor burung yang berada di dalam sangkar emas.
Sebab kehidupan yang serba berkecukupan secara tidak langsung telah membuat mereka merasa sebagai Trah Kusuma Rembesing Madu yang harus dihormati, sehingga tidak dapat begitu saja bergaul dengan sembarangan orang, terutama dari kalangan Trah Pidak Pidarakan.
Sangat berbeda sekali dengan kebiasaan Ki Lurah Branjangan yang sudah terbiasa berbaur dengan siapa saja dan orang yang berasal dari manapun. Sehingga apa yang terjadi pada kedua cucunya tersebut telah membuatnya sangat berprihatin.
Dan berawal dari gagasan Ki Lurah Branjangan pula, Nyi Rara Wulan muda mulai mengenal kehidupan bebrayan dalam keadaan yang wajar, tanpa harus merasa bahwa dirinya adalah Trah Kusuma Rembesing Madu.
Langkah itulah yang membuat Nyi Rara Wulan muda mulai mengenal kawruh kanuragan melalui seorang perempuan pula seperti dirinya di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun perempuan itu berilmu sangat tinggi, namun dirinya tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang perempuan yang telah membina sebuah keluarga.
Serta dalam proses ngangsu kawruh kanuragan itulah yang telah membuatnya mulai mengenal ayah Arya Nakula muda, yang di kemudian menjadi jodohnya.
Pada awalnya keluarganya pun merasa keberatan, karena pada waktu itu Glagah Putih masih seorang pengangguran meskipun telah memiliki bekal kawruh kanuragan yang cukup tinggi. Selain itu pula, dirinya hanyalah anak seorang bekas prajurit yang hanya berpangkat rendahan.
Namun lagi-lagi kakeknya hadir kembali untuk membantu menyelesaikan persoalan sesuai dengan apa yang diharapkannya, hingga akhirnya keluarganya pun tidak dapat menolak.
Jasa Ki Lurah Branjangan terhadap cucu perempuannya tersebut memang banyak sekali bahkan sudah tidak terhitung lagi, dan Nyi Rara Wulan sendiri pun tidak pernah ingkar akan segala jasa kakeknya dalam sepanjang hidupnya tersebut, namun sebagai manusia dirinya pun memiliki keterbatasan.
“Semoga saja kakek tidak pernah merasa kecewa kepadaku dan apa saja yang telah aku lakukan selama ini, aku sudah berusaha sejauh apa yang mampu aku lakukan seperti harapan kakek selama ini, namun biar bagaimanapun sebagai manusia aku tetap memiliki keterbatasan yang tidak dapat aku ingkari”.
“Keadaan kakek Branjangan memang membuat hatiku gelisah, namun mengapa ada hal lain yang membuat hatiku merasa kurang mapan, bahkan perasaan yang kurang mapan itu jauh lebih kuat?”. membatin Nyi Rara Wulan yang tetap berada di atas kudanya.
“Mengapa sejak beberapa waktu terakhir, hatiku hampir tidak pernah dapat melupakan kakang Glagah Putih? ada apa sebenarnya? apakah yang terjadi dengan kakang Glagah Putih sekarang?”.
“Mungkinkah dia sedang mengalami kesulitan? apakah sekarang dia dalam keadaan yang sangat berbahaya? ataukah dia sekarang sedang mengalami suatu kejadian yang tak dapat dielakkan dan dapat mengancam keselamatan jiwanya?”.
Pertanyaan yang bertubi-tubi telah memenuhi isi kepalanya, namun tetap saja dirinya tidak dapat mengurai semua itu sendiri, sebab saat ini dirinya sedang berada di tempat yang saling berjauhan dengan suaminya.
Tapi mau tidak mau dirinya harus sabar menunggu kabar, walaupun jantungnya seakan mau meledak karena tidak sabar menunggu kabar tentang suaminya yang mendapat tugas untuk ikut melawat ke bang wetan bersama pasukan segelar sepapan Mataram.
Beban pikiran yang dibawanya itu tanpa sadar telah menimbulkan raut wajah Nyi Rara Wulan dalam kemurungan, sehingga membuatnya semakin membuatnya tidak banyak bicara seperti biasanya.
Padmini, Setiti, dan Baruni yang memperhatikan gerak-gerik kakak angkatnya tersebut berusaha untuk tidak mengganggu dan seperti sengaja memberikan kesempatan putri Ki Purbarumeksa itu untuk mengurai perasaannya yang sedang kurang mapan.
Meskipun mereka tidak tahu dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi, namun paling tidak mereka dapat menduga-duga apa yang sedang terjadi, sehingga membuat kakak angkatnya semakin terhanyut dalam kemurungan.
Lagipula mereka tidak mau dianggap bersikap deksura, karena mengusik kakak angkatnya yang sedang terhanyut dalam kesedihan dan keprihatinan karena keadaan kakeknya.
Sebenarnya apa yang sedang dialami oleh Nyi Rara Wulan, kurang lebih sama dengan apa yang sedang dialami pula oleh Ki Untara, Namun banyak yang tidak menyadarinya, kecuali Ki Agahan yang kemarin sempat diajak bicara.
Karena sebagai seorang laki-laki yang sudah berumur, ayah Bagaskara itu mampu menyembunyikan segala kegelisahan yang membuat hatinya kurang mapan, dengan sikap yang wajar dan seperti sedang tidak terjadi apa-apa.
Sebagai seorang ayah yang melepas anak laki-lakinya turun ke medan perang yang sangat garang, tentu hatinya tidak akan begitu saja merasa tenang.
Pasti ada perasaan gelisah, khawatir, dan was-was akan nasib anaknya nanti setelah perang berakhir. Meskipun dirinya adalah bekas prajurit yang pernah memasuki perang paling garang sekalipun tidak pernah ada perasaan takut dan khawatir, tapi berbeda sekali ketika Ki Untara melepas anaknya sendiri.
Meskipun Ki Untara terbiasa mendidik anak-anaknya dengan keras sejak kecil, bahkan bisa dibilang lebih keras dari orang tua kebanyakan. Namun perasaan seorang ayah kepada anaknya tetap saja pada suatu ketika masih akan muncul sisi kasih sayang yang lembut dalam keadaan tertentu.
“Tanpa terasa sekarang kau sudah besar, ngger. Kini kau telah mampu menggantikan kedudukan ayahmu ini sebagai salah satu prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas di medan perang”. berkata Ki Untara dalam hati di atas punggung kudanya yang tetap berderap perlahan.
“Sebagai seorang prajurit kau harus selalu siap lahir batinmu dalam menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi, ngger. Terutama jika seorang prajurit telah memasuki medan perang. Karena seramah-ramahnya medan perang, tetaplah sebuah arena yang paling garang”.
“Jangan sampai penalaranmu diburamkan oleh gejolak perasaan yang bagaimanapun bentuknya, sebab jika itu terjadi maka sama saja akan menyeretmu ke dalam kesulitan, bahkan sebuah kesulitan yang mungkin saja membawa nasib buruk”.
“Kau tak perlu menjadi ketakutan dengan apa yang akan terjadi, meskipun dalam perang hanya ada dua kemungkinan, yaitu mukti atau mati. Tapi semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi setiap langkahmu dalam mengemban tugas, dan melindungi pasukan Mataram secara keseluruhan”. berkata Ki Untara dalam hati dari atas punggung kudanya.
Ibarat segarang-garangnya macan, tidak mungkin akan memakan anaknya sendiri. Begitu pula dengan Ki Untara yang sangat keras dalam mendidik anak-anaknya, tidak bermaksud untuk menyakiti tapi justru ingin melihat anak-anaknya tidak menjadi anak cengeng.
Biar bagaimanapun hubungan seorang ayah dan anak telah membentuk jaring-jaring ikatan batin yang tidak mampu diungkapkan secara penalaran wajar, namun semua itu dapat saling dirasakan oleh yang bersangkutan melalui isyarat-isyarat tertentu.
Terutama firasat itu akan lebih peka jika salah satu dari mereka sedang mengalami kesulitan, atau nasib buruk. Meskipun pada kenyataan yang sebenarnya adalah berimbang antara firasat baik atau buruk, tapi semua itu tergantung pada kepekaan dan kemampuan masing-masing.
Tanpa sadar kemudian Ki Untara memandang ke arah langit yang luas terhampar di sisi sebelah timur yang sudah semakin terlihat ada tanda-tanda semburat merah, sebagai pertanda bahwa hari baru akan segera dimulai dan harus tetap terus berjalan bagaimanapun keadaan yang sedang kita alami.
Semua itu memang sudah menjadi suratan bagi semua hamba ciptaan-Nya di seluruh jagad raya, kita ibarat hanya sebuah wayang yang hanya bisa manut dan manut pada dalangnya, kita tidak dapat meminta ataupun menolak jika Yang Maha Agung sudah berkehendak demikian.
Tapi kita sebagai salah satu hamba-Nya diperkenankan untuk berusaha memilih yang paling baik menurut kita, itu dapat dilihat dari kebesaran Yang Maha Agung yang telah menciptakan siang malam, hitam putih, baik buruk, dan masih banyak lagi contoh lain.
Kita berhak memilih apa yang paling baik bagi kita menurut kita sendiri. Tapi yang jelas, apapun pilihan yang kita pilih harus kita pertanggung jawabkan. Karena hidup ini tidak bisa lepas dari apa yang kita tanam, maka itulah yang akan kita tuai.
***
Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, Bathara Asmaratantra sedang mulai memusatkan nalar budi untuk memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Agung.
Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih pun sudah benar-benar mempersiapkan lahir batin mereka untuk menyambut segala hukuman yang bagaimanapun bentuknya sebagai sebuah penebusan dosa yang bakal mereka terima.
Dalam penantian itu, keduanya mulai melihat sebuah pemandangan yang sangat luar biasa aneh dan mengejutkan, sedangkan Bathara Asmaratantra masih terhanyut dalam pemusatan nalar budinya.
Tanpa sadar Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih menjadi saling pandang melihat pemandangan yang ada di depan mereka dengan penuh kebingungan dan tanda tanya, tapi mereka berdua sadar bahwa mereka harus harus menahan diri untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dalam pandangan keduanya, Gapuro Noto Kasuwargan Jati itu secara perlahan mulai terbuka. Sepertinya ada sebuah kekuatan tak kasat mata yang sangat luar biasa telah mampu membukanya.
Berbarengan dengan Gapuro Noto mulai terbuka, terpancarlah cahaya menyilaukan yang berusaha menyembul keluar, semakin lama semakin membesar seiring dengan membesarnya pula Gapuro Noto Kasuwargan Jati tersebut.
Yang membuat keduanya semakin merasa kebingungan dan penuh tanda tanya adalah setelah cahaya menyilaukan tersebut menyentuh tubuh sukma mereka.
Karena kebetulan letak Gapuro Noto tersebut tepat berada di belakang berdirinya Bathara Asmaratantra yang masih memusatkan nalar budinya depan mereka duduk bersila.
Cahaya itu memang sangat menyilaukan, namun cahaya itu begitu menyejukkan ketika menyentuh sukma keduanya. Bahkan keduanya seakan telah merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang belum pernah mereka rasakan selama ini.
Seketika Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih terhanyut dalam keadaan, antara kenikmatan, kedamaian, dan kebahagiaan bercampur aduk menjadi satu tapi tidak dapat mereka ungkapkan dengan kata apapun sebagai gambaran tentang apa yang sedang mereka rasakan tersebut.
Bathara Asmaratantra yang telah selesai dalam pemusatan nalar budinya segera membuka matanya, dan seperti yang sudah diduga sebelumnya bahwa mereka pasti akan terhanyut oleh perbawa Gapuro Noto Kasuwargan Jati.
Bathara Asmaratantra yang tahu benar apa yang sesungguhnya sedang terjadi, sebenarnya tidak sampai hati jika harus mengganggu apa yang sedang dialami kedua sukma yang berada di hadapannya. Namun waktu mereka sangat terbatas, sehingga tidak ada waktu lagi untuk berlama-lama.
Karena jika tidak segera, maka Gapuro Noto Kasuwargan Jati akan segera tertutup kembali. Dan jika itu terjadi, maka akan berakibat buruk bagi mereka semua, termasuk Bathara Asmaratantra itu sendiri.
Sehingga mau tidak mau Bathara Asmaratantra harus segera menyadarkan keduanya dari pengaruh cahaya Kasuwargan Jati agar mereka segera menyadari keadaan sepenuhnya.
“Bangunlah kalian, ngger. Rangga dan Glagah Putih”.
Seketika keduanya seperti disadarkan dari mimpi yang sangat indah oleh kekuatan yang tidak mereka mengerti. Dengan wajah sempat bersemu merah, keduanya pun segera memperbaiki letak duduknya dengan penuh rasa segan.
“Mohon ampun atas sikap kami yang sangat deksura, Pikulun. Baru saja kami benar-benar telah terhanyut dalam keadaan yang tidak mampu kami mengerti”.
“Tidak apa-apa ngger, aku mengerti”.
“Terima kasih atas pengertian Pikulun”.
“Ketahuilah kalian berdua, setelah aku memanjatkan panuwun dan memintakan pengampunan bagi kalian kepada Yang Maha Agung, sekarang kalian telah mendapatkan ampunan. Maka dari itu berterima kasihlah kepada-Nya”.
Seketika Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar keterangan tersebut mengangkat wajahnya, namun segera ditundukkan kembali karena segera menyadari sedang berhadapan dengan siapa, selain itu keduanya tidak dapat ingkar bahwa perbawa Bathara Asmaratantra memang sangat luar biasa.
“Demikianlah ngger”. sahut Bathara Asmaratantra yang tanggap akan maksud sikap mereka yang belum percaya.
Sejenak kemudian keduanya langsung menghaturkan sembah sujud kepada Yang Maha Welas Asih sembari tak henti-hentinya mereka berdua menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala kemurahan yang mereka dapatkan.
“Ulun rasa sudah cukup. Waktu kita terbatas, jika kau tidak segera memasukinya maka Gapuro Noto Kasuwargan Jati akan segera tertutup kembali. Jika itu terjadi, maka kita semua akan menerima nasib yang sangat buruk”.
“Sendika dawuh, Pikulun Bathara Asmaratantra”.
Kemudian Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih segera bersiap untuk memasuki alam Kasuwargan Jati yang sangat didambakan, terutama Raden Rangga yang sudah sekian lama rela menunggu.
Lalu ketiganya mendekati Gapuro Noto yang terbuka itu dengan perasaan penuh kebahagiaan yang tidak dapat diungkapkan lagi dengan kata-kata yang bagaimanapun indahnya.
Namun ada hal yang membuat Glagah Putih dan Raden Rangga terkejut bukan kepalang, seakan tiba-tiba keduanya disambar petir yang bersuara sangat keras, ketika mereka sudah berada di depan Gapuro Noto.
“Kalian berdua segeralah ucapkan kata perpisahan”.
“Maksud Pikulun?”. bertanya keduanya hampir bersamaan.
“Benar, ngger. Kalian akan segera berpisah disini, karena kau akan segera memasuki alam Kasuwargan Jati melalui Gapuro Noto ini, Rangga. Seperti yang kau dambakan selama ini dengan disuwargakan oleh Glagah Putih”.
“Lalu apa yang akan terjadi dengan Glagah Putih, Pikulun?”.
“Kau tak perlu memikirkannya lagi, Rangga. Sebab kau sudah harus melupakan segalanya jika sudah memasuki alam Kasuwargan Jati, dan Glagah Putih biarlah menjadi urusanku”.
“Mohon ampun Pikulun, tapi…”.
“Kau tak perlu khawatirkan nasibnya, Rangga. Ulun tidak dapat memberikan lebih banyak petunjuk kepadamu, tapi yang dapat ulun sampaikan padamu hanyalah, bahwa Glagah Putih itu memiliki sejarahnya sendiri”.
“Sendika dawuh, Pikulun. Apapun itu, hamba hanya dapat menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan Pikulun terhadap kami berdua”.
“Kau tak perlu berterima kasih, sebab ini adalah tugas ulun”.
Kemudian Raden Rangga dan Ki Lurah Glagah Putih segera saling mengucapkan kata perpisahan untuk selama-lamanya. Sebab ini adalah waktu terakhir bagi mereka berdua untuk bertemu dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
“Glagah Putih… cukup disini pertemuan kita, aku hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala kebaikanmu kepadaku. Setiap orang memang memiliki sejarahnya masing-masing, begitu pula dengan sejarah kita berdua”.
“Aku pun demikian, hanya dapat mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Raden kepadaku”.
“Sekarang aku baru tahu maksud dari wisik yang pernah aku dapatkan, tentang wisik yang memberitahukan kepadaku bahwa kau lah yang dapat menyuwargakan aku, ternyata memiliki arti secara tidak langsung. Ternyata, karena kedatanganmu lah Pikulun Bathara Asmaratantra datang pula”.
“Mungkin Yang Maha Agung memang berkehendak demikian”.
“Benar Pikulun”.
“Waktumu sudah hampir habis, Rangga. Sebaiknya kau jangan tunda lagi untuk memasuki Gapuro Noto Kasuwargan Jati”.
“Sendika dawuh Pikulun, sekali lagi hamba hanya dapat mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal”.
“Selamat tinggal”. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari melambaikan tangan kanannya sebagai salam perpisahan untuk sahabat baiknya selama di alam padang.
Raden Rangga pun membalas lambaian Ki Lurah Glagah Putih dengan lambaian tangan pula untuk yang terakhir kalinya, kemudian dirinya mulai melangkahkan kakinya untuk melewati Gapuro Noto Kasuwargan Jati dan tidak akan pernah kembali lagi, kecuali jika Yang Maha Agung Berkehendak.
Putra Kanjeng Panembahan Senopati itu kini benar-benar telah melangkahkan kakinya memasuki Gapuro Noto Kasuwargan Jati yang sudah mulai bergerak untuk menutup kembali. Dari dalam masih memancarkan cahaya sangat menyilaukan, namun bukanlah cahaya yang menyakiti tapi justru cahaya penuh kenikmatan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi siapa saja yang tersentuh.
Sukma Raden Rangga itu seakan menghilang setelah melewati batas Gapuro Noto yang hampir bersamaan dengan menutupnya kembali seperti semula, dengan demikian hilang pula lah cahaya menyilaukan yang terpancar dari dalam.
Rasa kebahagiaan, kenikmatan, dan kedamaian yang sangat itu memang hanya dapat dirasakan tanpa pernah dapat digambarkan dengan kata apapun, karena itu adalah cahaya Yang Maha Agung.
Dan pada dasarnya hanya Sukma Pinilih dan Sukma Pinuji lah yang dapat merasakan apa yang dapat dirasakan Raden Rangga dan sesaat oleh Ki Lurah Glagah Putih, dan itupun hanya dapat dirasakan di alam Kasuwargan Jati.
Kini tinggal Ki Lurah Glagah Putih yang masih diam termangu kebingungan dan penuh tanda tanya setelah menyadari maksud dari petunjuk Bathara Asmaratantra di saat terakhir.
“Ulun tahu bahwa kau pasti sedang merasa kebingungan dan bertanya-tanya, Glagah Putih. Mengapa tadi kau tidak ulun izinkan bersama Rangga memasuki alam Kasuwargan Jati”.
“Demikianlah Pikulun. Hamba mohon petunjuk”. sahut Ki Lurah Glagah Putih sembari menghaturkan sembah dalam keadaan yang telah kembali duduk bersila.
“Sebelum ulun memberikan petunjuk, apakah kiranya kau dapat menduganya sendiri?”.
“Ampun Pikulun. Hamba yang terlalu dungu ini sama sekali tidak tahu dan tidak memiliki gambaran untuk menduganya pula. Hamba hanya dapat menunggu petunjuk Pikulun Bathara Asmaratantra”.
“Beruntunglah kau dapat merasakan secara langsung akan cahaya Kasuwargan Jati itu Glagah Putih, tapi yang paling penting adalah sekarang kau pasti bertanya-tanya? apa yang sebenarnya terjadi hingga menyebabkan sukmamu dapat sampai ke tempat ini?”.
“Benar Pikulun”.
“Semua itu berawal dari kau yang melakukan perang tanding melawan Rangga Permana dari Wirasaba, dan karena saking besarnya kekuatan ilmu puncak kalian, maka telah membawa akibat buruk pada kalian masing-masing. Kau sendiri harus mengalami luka dalam yang sangat parah pada tubuh kasarmu, dan karena hal itulah sukmamu hingga oncat ke tempat ini dari tubuh kasarmu. Singkat cerita, tubuh halusmu kesasar di alam Gung Liwang-Liwung hingga akhirnya kau bertemu dengan Rangga”.
“Demikianlah Pikulun”.
“Ketahuilah Glagah Putih, bahwa sebenarnya kau belum saatnya memasuki alam ini, terutama adalah kau belum saatnya merasakan sendiri cahaya Yang Maha Agung yang terpancar dari dalam Gapuro Noto Kasuwargan Jati, bukankah tadi kau sempat merasakannya meskipun tidak lama?”.
“Hamba tidak ingkar Pikulun, hamba sempat merasakannya”.
“Lalu apa yang kau rasakan?”.
“Antara kenikmatan dan kebahagiaan yang sudah tanpa beban sama sekali, tapi hamba yang terlalu dungu ini tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata yang bagaimanapun juga untuk dapat menggambarkan semua itu. Tapi itu adalah kenikmatan dan kebahagiaan luar biasa yang hanya dapat dirasakan saja”.
“Sebenarnya adalah sebuah kesalahan dengan apa yang terjadi baru saja, namun beruntunglah karena ketidaktahuanmu itu kau masih dapat pengampunan dari Yang Maha Welas Asih, sehingga kau dilepaskan dari hukuman”.
“Mohon ampun Pikulun, hamba benar-benar tidak tahu dan hamba siap menerima hukuman apapun jika dianggap bersalah karena kebodohan ini”.
“Kau memang bersalah Glagah Putih, namun semua ini bukan semata-mata karena kesalahanmu pribadi, namun hal itu karena adanya campur tangan Rangga yang menurut penuturannya telah menunggumu sekian lama disini, sehingga kau masih sepantasnya mendapatkan ampunan”.
“Terima kasih Pikulun terima kasih”.
“Ketahuilah olehmu Glagah Putih, bahwa sebenarnya kau belum saatnya memasuki alam ini adalah karena semata-mata kau masih memiliki sejarah di alam padang, sehingga kau tidak diperkenankan untuk berlama-lama berada di tempat ini sebab alam ini memang bukan tempatmu”.
“Ampun Pikulun, hamba mohon petunjuk”. bertanya ayah Arya Nakula yang penuh tanda tanya.
“Atas segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih pada saat ulun memanjatkan panuwunan tadi, sekarang tubuh halusmu masih diperkenankan untuk kembali ke tubuh kasarmu di alam padang. Sebab kau masih harus melanjutkan sejarahmu di alam bebrayan yang masih belum habis”.
“Ampun Pikulun, apakah dengan demikian hamba harus kembali ke alam padang dan hidup seperti manusia kebanyakan? lalu bagaimanakah cara hamba untuk kembali? sedangkan hamba sendiri saja masing merasa kebingungan berada di tempat ini”. berkata ayah Arya Nakula itu semakin kebingungan.
“Kau tidak perlu khawatir, Glagah Putih. Atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, ulun diperkenankan untuk membantu mengantarmu kembali ke tubuh kasarmu”.
“Sekali lagi hamba hanya dapat mengucapkan terima kasih”.
“Tapi sebelumnya ada satu hal yang perlu ulun sampaikan kepadamu lebih dulu sebelum ulun mengantarmu kembali”.
“Sendika dawuh Pikulun”.
“Dikarenakan kau telah memasuki alam Gung Liwang-Liwung ini sebelum waktunya dan telah mengalami kejadian-kejadian yang belum seharusnya pula, maka dengan sangat terpaksa ulun akan menghapus semua ingatan itu padamu selama kau berada di tempat ini, meskipun tidak semua. Sehingga nanti jika kau kembali hidup bebrayan di alam padang akan tetap sebagai manusia wajar”.
“Hamba tidak pernah merasa keberatan dengan hal itu. Jika itu adalah jalan yang paling baik bagi hamba, hamba menerimanya dengan lapang dada”.
“Sebab jika tidak ulun hapus ingatan itu, maka ada kemungkinan buruk yang dapat menimpamu di kemudian hari, baik secara lahir maupun batin. Namun jika suatu hari nanti kau kembali ke alam ini karena memang sudah waktunya, maka ingatan itu dengan serta merta akan terbuka kembali ”.
“Hamba hanya sendika dawuh atas segala petunjuk Pikulun Bathara Asmaratantra”.
“Sebaiknya kau segeralah bersiap, ulun akan coba membantu mengantarmu kembali ke tubuh kasarmu di alam padang. Lagipula waktu kita sangat terbatas, sehingga kita tidak dapat berlama-lama lagi berada di tempat ini”.
“Sendika dawuh Pikulun”.
Dengan menghaturkan sembah lebih dahulu, Ki Lurah Glagah Putih pun segera berjalan mendekat dengan kedua lututnya, lalu setelah pada jarak yang cukup Bathara Asmaratantra memberikan isyarat untuk berhenti.
Kemudian ayah Arya Nakula itu kembali duduk bersila dan merapatkan kedua tangannya di depan dada sembari memejamkan kedua matanya untuk memusatkan nalar budi agar mempermudah Bathara Asmaratantra mengantarnya kembali ke tubuh kasarnya melintasi alam Gung Liwang-Liwung yang penuh dengan misteri dan sangat rumit bagi penalaran manusia kebanyakan.
Beruntunglah bahwa Ki Lurah Glagah Putih bertemu dengan seorang Bathara Asmaratantra yang sangat baik, sehingga sukmanya akan dapat kembali lagi ke tubuh kasarnya tanpa takut akan kesasar ke tempat lain lagi.
Dalam kejadian seperti ini bukan semata-mata sukma seseorang dapat kembali lagi ke tubuh kasarnya. Namun selain harus berpacu dengan waktu yang ada, sebab kemampuan bertahan tubuh kasar manusia itu sangat terbatas.
Karena jika sukma seseorang itu akhirnya dapat kembali, namun setelah melewati batas waktu yang seharusnya, maka hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan saja.
Pada dasarnya tubuh kasar manusia itu tidak dapat bertahan lama jika ditinggalkan oleh tubuh halusnya, meskipun orang itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.
Secara penalaran wajar, tubuh kasar manusia itu akan mengalami kerusakan dengan caranya sendiri jika sudah tidak bersatu dengan tubuh halusnya dalam waktu tertentu. Karena itu adalah sebuah kesatuan yang memang tidak dapat dipisahkan jika masih ingin melanjutkan sejarahnya di alam padang.
***
Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, di salah satu lereng Gunung Tidar. Ki Waru yang menyadari kemampuan orang yang ada di hadapannya, membuat dirinya tidak memiliki pilihan lain selain menyerah.
Meskipun secara kewadagan orang tersebut sangat aneh dan menyeramkan, namun menurut penalaran Ki Waru yang baru mengenal beberapa saat, orang itu bukanlah orang yang garang.
Pada saat Begawan Mayangkara telah berhasil menguasai keadaan karena Ki Waru dan kawan-kawannya telah menyerah, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sesuatu yang sepertinya berasal dari dalam rumah Kyai Pujangkara.
“Kalian tunggulah disini dan jangan berbuat macam-macam! aku akan ke dalam sebentar. Jika kalian berbuat macam-macam, jangan salahkan aku jika nanti aku akan bertindak di luar penalaran”. berkata Begawan Mayangkara.
“Baik Ki Sanak,”. sahut Ki Waru yang baru saja menyerah masih bersimpuh di halaman rumah dukun tua tersebut.
Tanpa menunggu lagi, Begawan Mayangkara pun segera bergegas masuk ke dalam rumah, dan tak lupa dia menutup pintunya dan diselarak kembali dari dalam dengan sangat perlahan.
Sembari mengetrapkan kemampuannya yang menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan oleh langkah kakinya, Begawan Mayangkara segera mendekati sumber suara yang tadi sempat didengarnya dari halaman, dirinya berbuat demikian adalah agar tidak mengganggu pekerjaan Kyai Pujangkara.
Dengan langkah perlahan dan seperti orang yang sedang mengendap-endap, dirinya mulai mendekati bilik Kyai Pujangkara dengan rasa penasaran.
Tapi ketika dirinya telah berada di depan pintu bilik hanya diam termangu dan menunggu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Biar bagaimanapun dia tidak berani bertindak lebih jauh karena masih ingat akan pesan Kyai Pujangkara sebelum pergi.
Sejenak kemudian terdengar suara amben bambu berderit, sehingga membuat Begawan Mayangkara berniat akan segera meninggalkan tempat itu, namun ada sesuatu yang membuatnya menjadi sangat terkejut.
“Tetaplah di tempatmu, Senggana”. terdengar suara dari dalam bilik, yang tak lain adalah suara Kyai Pujangkara.
“Sendika dawuh, Kyai”.
Sejenak kemudian terdengarlah suara langkah kaki Kyai Pujangkara yang sepertinya akan membuka pintu biliknya yang memang diselarak dari dalam.
Begawan Mayangkara hanya dapat menundukkan kepalanya dan merapatkan kedua tangannya di bawah, ketika pintu bilik itu terbuka. Sebab biar bagaimanapun dia sangat menghormati orang yang kini ada di hadapannya tersebut.
“Maaf Kyai, bukan maksudku untuk bersikap deksura. Namun pada saat aku sedang berada di halaman sempat mendengar suara yang nyalawadi, sehingga aku memutuskan untuk memeriksanya. Sebab aku khawatir jika ada apa-apa dan sampai mengganggu pemusatan nalar budimu”.
“Terima kasih atas kesigapanmu dalam menyikapi setiap keadaan yang berkembang, tapi berkat segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih aku sudah dapat menyelesaikan panuwunanku”.
“Syukurlah kalau begitu Kyai, dengan demikian aku tinggal menunggu keterangan akan hasilnya”.
Dengan jantung yang berdebar semakin kencang, bahkan seakan mau meledak karena kegelisahan dan kekhawatiran yang sangat karena sudah tidak sabar menunggu. Tapi Begawan Mayangkara harus menahan diri untuk menunggu keterangan.
Sebelum Kyai Pujangkara memberikan keterangan tentang hasil dari panuwunannya, dia menarik nafas panjang. Orang tua tersebut sepertinya ingin berusaha melonggarkan kepepatan hatinya lebih dulu sebelum bicara.
“Senggana”.
Meskipun namanya disebut, namun dia hanya berusaha menunggu apa yang akan disampaikan Kyai Pujangkara kemudian tanpa memotong.
“Dari hasil panuwunanku kepada Yang Maha Welas Asih, aku minta maaf jika tidak dapat memberikan kepuasan hatimu sebab aku tidak dapat memberikan keterangan terlalu jauh, namun hanya sedikit keterangan saja yang dapat aku sampaikan kepadamu. Tapi kau jangan berpikir macam-macam, semua ini aku lakukan sebab aku memiliki wewalerku sendiri”.
“Aku dapat mengerti Kyai”.
“Syukurlah jika kau dapat mengerti”.
“Apakah aku dapat mendengar keterangan itu sekarang, Kyai?”. bertanya Begawan Mayangkara yang sepertinya sudah tidak dapat menahan diri lagi.
“Aku dapat mengerti jika sudah tidak sabar untuk mendengar keterangan yang aku bawa dari hasil panuwunanku. Baiklah, aku tidak akan menundanya lagi”.
“Terima kasih Kyai”.
“Begini Senggana, dari hasil panuwunanku aku hanya dapat menyampaikan bahwa semoga saja Yang Maha Welas Asih nyembadani apa yang menjadi sesambat kita semua. Tapi jangan kau kira pekerjaan kita sudah selesai”.
“Maksud Kyai?”.
“Bukankah pada saat kau datang beberapa saat yang lalu, kau sempat menyampaikan kepadaku bahwa Ki Lurah Glagah Putih mengalami luka dalam yang sangat parah setelah perang tanding melawan Ki Patih Rangga Permana?”.
“Demikianlah Kyai”.
“Sebelumnya aku minta maaf kepadamu jika apa yang akan aku sampaikan akan kau anggap deksura”.
“Kenapa Kyai berpikir demikian? mana mungkin aku berani bersikap demikian kepada Kyai? sampaikan saja, agar semuanya segera terang benderang”.
“Aku tahu bahwa kau adalah orang yang memiliki bekal kawruh pengobatan yang sangat tinggi, selain kakak sepupunya Ki Lurah Glagah Putih itu sendiri. Namun jika aku lihat luka itu memang sangat parah dan kau harus berpacu pula dengan waktu untuk mengobatinya. Sedangkan kalian akan kehabisan waktu jika harus mencari tanaman obat, lalu meramunya”.
“Kini aku mulai mengerti maksud Kyai, dan aku sangat berterima kasih sekali jika Kyai masih berkenan untuk membantu menolong Ki Lurah Glagah Putih sekali lagi”.
“Bukankah adalah kewajiban kita untuk saling tolong menolong kepada sesama? terutama menolong sesama yang membutuhkan, dan alangkah deksuranya kita jika mengabaikan permintaan itu sedangkan kita sendiri mampu melakukannya?”. sahut Kyai Pujangkara dengan penuh kesungguhan.
“Kyai benar, itu adalah salah satu sikap yang deksura”.
Sejenak kemudian Kyai Pujangkara mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinggangnya, sebuah benda kecil berukuran sebesar ibu jari orang dewasa terbuat dari logam berwarna hitam dan di salah satu ujungnya seperti ada penutupnya.
“Senggana… semoga dengan lantaran ini Yang Maha Welas Asih memberikan kesembuhan kepada Ki Lurah Glagah Putih”.
“Benda apakah itu, Kyai? seperti tembikar, namun berukuran sangat kecil”.
“Seperti yang kau lihat, Senggana. Meskipun benda ini kecil, namun di dalam benda ini ada isinya, dan isinyalah yang sangat berharga, terutama bagi Ki Lurah Glagah Putih”.
“Jika aku boleh tahu, apa itu Kyai?”.
“Benda yang kau lihat ini tidak lebih dari sebuah wadah kebanyakan, namun benda ini berisi air Mustika Warih. Dan air inilah yang harus kau minumkan kepada Ki Lurah Glagah Putih”.
“Meminumkannya? maaf Kyai, apakah keadaan Ki Lurah Glagah Putih sudah memungkinkan untuk dapat meminumnya?”.
“Itulah keunggulan Mustika Warih, selama Ki Lurah Glagah Putih dapat membuka mulutnya maka air ini dengan serta merta akan bekerja dengan sendirinya”.
“Luar biasa”. desis Begawan Mayangkara tanpa sadarnya.
“Tapi jika Ki Lurah Glagah Putih sudah meminum seluruh isinya, aku minta tolong kepadamu untuk mengembalikan lagi tempatnya kepadaku, karena aku masih memerlukannya”.
“Sendika dawuh Kyai, aku akan segera mengembalikannya”.
“Kau tidak perlu tergesa-gesa untuk itu, selesaikan saja dulu pekerjaanmu dengan sebaik-baiknya tanpa beban, agar hasilnya menjadi baik pula”.
“Terima kasih Kyai”.
“Hampir saja aku lupa, akan ada akibat lain bagi siapapun yang telah meminum ini, tapi aku tak perlu menyebutnya. Biarlah yang bersangkutan yang merasakannya sendiri, tapi yang jelas itu bukanlah sebuah akibat buruk. Tapi semua itu adalah semata-mata kemurahan Yang Maha Welas Asih bagi orang yang meminumnya”.
“Tapi maaf Kyai, apakah dengan meminum Mustika Warih ini Ki Lurah Glagah Putih tidak membutuhkan ramuan obat lain lagi? dan kira-kira berapa lama menurut perhitungan Kyai waktu yang dibutuhkan untuk kesembuhannya?”.
“Semua itu tergantung atas kemurahan Yang Maha Welas Asih, aku tidak dapat memastikan apakah hanya cukup diobati dengan air ini saja atau masih memerlukan ramuan obat lain, tapi sebaiknya kau amati saja perkembangannya dan untuk perkiraan waktunya aku tidak dapat memastikan pula. Tapi menurut perhitunganku, paling cepat dalam sepekan Ki Lurah Glagah Putih baru mampu berjalan sendiri tapi dengan tenaga dan kemampuannya belum pulih seperti sedia kala”.
“Baik Kyai, aku akan berusaha mengingatnya”.
Kemudian Kyai Pujangkara menyerahkan benda kecil itu kepada Begawan Mayangkara, lalu disimpan di balik ikat pinggangnya pula yang terbuat dari kulit hewan yang sangat kuat.
Sejenak kemudian Kyai Pujangkara memalingkan mukanya ke arah jendela bilik yang masih tertutup, namun dari sela-sela dinding di dekat jendela sudah cukup bagi orang yang memiliki kelebihan tersebut untuk melihat keadaan di luar.
“Maaf Senggana, bukan maksudku untuk mengusirmu, namun sebaiknya kau segeralah kembali ke Kendalisada, agar tidak semakin membuat gelisah semua orang yang berada disana. Karena kepergianmu telah meninggalkan ketegangan yang sangat, dalam diri mereka semua. Lagipula kau harus berpacu dengan waktu untuk meminumkan air itu kepada Ki Lurah Glagah Putih. Jika kau ingin berlama-lama disini, di lain kesempatan datanglah kemari pada saat kau memiliki waktu longgar”.
“Baiklah Kyai. Tapi bagaimana dengan tamu yang mencari Kyai yang aku tinggalkan di halaman?”. bertanya Begawan Mayangkara yang teringat akan orang-orang yang ditinggalkannya.
“Kau tidak perlu memikirkannya lagi, biarlah sekarang mereka menjadi urusanku”.
“Sekali lagi aku hanya dapat mengucapkan terima kasih Kyai, aku minta diri sekarang”.
“Tapi sebelum kau meninggalkan tempat ini, aku memiliki sebuah permintaan kepadamu, Senggana”.
“Katakan saja Kyai. Apapun permintaan Kyai, aku akan berusaha melaksanakannya dengan segenap kemampuanku”. sahut Begawan Mayangkara dengan penuh keyakinan.
“Kau tidak perlu memberikan keterangan apapun kepada mereka tentang siapakah aku, darimana aku berasal dan apa yang telah aku lakukan. Biarlah yang mereka tahu semua ini adalah wujud dari jerih payah bantuanmu”.
“He…”.
Ucapan itu benar-benar mengejutkan Begawan Mayangkara yang baru saja sudah siap minta diri. Namun sejenak kemudian dirinya mulai mengerti maksud orang tua tersebut.
“Padahal tadi aku sudah sempat berkata kepada mereka bahwa aku akan meminta bantuan seorang kawan yang aku kenal. Lalu bagaimana nanti aku harus menjelaskan kepada mereka, Kyai?”.
“Bukankah jika kita dapat membantu sesama itu bukan berarti pula kita harus terlihat siapa kita? tapi berhubung kau sudah berkata demikian kepada mereka, kau sampaikan saja kepada mereka bahwa aku adalah kawanmu yang belum mau diketahui jati dirinya”.
Begawan Mayangkara hanya dapat menarik nafas panjang mendengar jawaban tersebut. Tapi pengenalannya atas Kyai Pujangkara dalam waktu lama telah membuat dirinya dapat mengerti watak orang tua tersebut, yang bukan saja tanpa pamrih jika dapat membantu sesama, bahkan dirinya berusaha tak ingin terlihat oleh siapapun yang telah ditolongnya, siapapun orangnya.
“Baiklah jika itu kemauan Kyai, aku akan berusaha melaksanakan pesan Kyai itu dengan sebaik-baiknya”.
“Sebenarnya tidak ada gunanya pula aku menutupi jati diriku, tapi untuk sementara biarlah demikian. Karena berdasarkan isyarat yang aku terima, kemungkinan suatu hari nanti mereka atau salah satu diantara mereka pasti akan mengetahui siapakah aku, cepat atau lambat”.
“Baiklah Kyai, aku akan berusaha melaksanakan pesan-pesan yang Kyai katakan, jika menurut isyarat yang Kyai terima seperti itu biarlah itu menjadi urusan nanti”.
“Aku minta maaf Senggana, bukan maksudku untuk mengusirmu namun aku hanya sekedar mengingatkan bahwa sepertinya kau masih memiliki pekerjaan yang harus segera diselesaikan, lagipula matahari telah terbit. Jangan sampai kau kehilangan waktu karena kelalaianmu sendiri”.
“Terima kasih atas peringatan Kyai, sebaiknya aku memang segera mohon diri agar tidak terlambat. Semoga saja sekarang tidak akan ada lagi halangan yang merintangi jalanku. Aku minta diri, Kyai”. ucap Begawan Mayangkara yang kali ini benar-benar tidak menunda lagi kepergiannya.
***
Sementara dalam waktu yang hampir bersamaan di Gunung Kendalisada, Ki Agung Sedayu dan ketiga istrinya yang sudah mengakhiri pemusatan nalar budinya dalam memanjatkan panuwunan seakan sudah seperti orang yang berputus asa karena keadaan adik sepupunya.
Mereka hanya dapat saling berdiam diri penuh ketegangan sangat karena waktu yang semakin berlalu, bahkan kini matahari telah terbit dari balik gunung di langit sebelah timur.
Namun keadaan ayah Arya Nakula masih belum menunjukkan adanya tanda-tanda lebih baik, selain itu Begawan Mayangkara yang mereka mintai pertolongan masih belum terlihat batang hidungnya sejak kepergiannya.
Untuk sedikit mengurangi kepepatan hati, mereka mencoba mencari angin di luar gandok, tapi tetap di sekitar dekat pintu agar nanti ada sesuatu yang datang tiba-tiba mereka dapat segera menghampirinya. Sementara Nyi Anjani sebagai tuan rumah masih ingat untuk tetap melayani suaminya dan kedua mbokayunya dengan menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan dari ketela rambat.
“Semoga Yang Maha Agung masih memberikan kawelasan kepada Glagah Putih untuk tetap bertahan”. kurang lebih itulah yang dapat mereka katakan di hati mereka masing-masing sembari menunggu ketidakpastian.
Nyi Sekar Mirah semakin kebingungan harus berbuat apa dalam menghadapi kenyataan ini, karena yang dia tahu hanyalah sedapat mungkin dirinya harus mampu mengendapkan perasaannya yang seakan-akan mau meledak.
Waktu yang semakin berlalu dalam keadaan yang semakin mengkhawatirkan tersebut, keempat orang itu dikejutkan oleh kejadian yang tidak pernah mereka duga-duga.
Suara itu berasal dari dalam, tepatnya dari dalam gandok pembaringan Ki Lurah Glagah Putih. Seketika kejadian itu membuat keempat orang tersebut ingin segera mengetahui apa yang terjadi, terutama Ki Agung Sedayu dan Nyi Sekar Mirah yang sudah tidak dapat menahan diri.
Seketika keempat orang itu dengan cekatan segera memasuki gandok tersebut. Ki Agung Sedayu yang pertama sampai segera memeriksa keadaan adik sepupunya tersebut.
Dengan penuh kehati-hatian Ki Agung Sedayu berusaha memeriksa kembali seluruh tubuh ayah Arya Nakula. Perasaan penuh keraguan dan hampir tidak percaya mulai menyelinap dalam hati kecilnya.
“Apa yang terjadi kakang?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang berdiri di sebelahnya sudah tidak dapat menahan diri untuk dapat segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Sebab dia sempat melihat raut wajah suaminya meskipun hanya sesaat. Sebagai orang yang memiliki panggrahita yang sangat tajam, kejadian tersebut cukup untuk membuat Ibu Bagus Sadewa dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu.
Tapi Ki Agung Sedayu yang masih sibuk memeriksa tubuh adik sepupunya tersebut tidak segera menjawab, dan dirinya ingin lebih memastikan lagi bahwa hasil pemeriksaannya bukan sekedar khayalannya semata.
Meskipun Ki Agung Sedayu sedang dalam ketegangan yang sangat, namun dirinya selalu berusaha agar penalarannya tidak dengan mudahnya diburamkan oleh perasaannya. Sehingga dalam keadaan yang bagaimanapun dia tetap mampu berpikir wajar.
Nyi Sekar Mirah yang tidak segera mendapat jawaban atas pertanyaannya dapat memaklumi, dan dirinya berusaha untuk tidak mengganggu, sehingga yang dapat dilakukannya sekarang adalah menunggu suaminya selesai dengan pekerjaannya.
Namun dalam kesibukan yang benar-benar menguras tenaga dan pikirannya tersebut, tiba-tiba dirinya merasakan hatinya kurang mapan. Sebagai orang yang memiliki kawruh kanuragan yang tinggi, membuat dirinya tidak pernah meninggalkan kewaspadaan.
“Sebaiknya kalian tunggu di luar saja, selain udara di gandok ini agar tidak menjadi pengap sebab terlalu banyak orang. Kalian dapat menghirup udara segar sembari mengawasi keadaan sekitar. Nanti jika aku butuh bantuan aku akan panggil kalian”.
Ki Agung Sedayu memang sengaja berkata demikian, sebab dirinya tidak sampai hati jika hanya menyebut salah satu nama istrinya untuk mengawasi keadaan diluar.
Ketiga perempuan itu dapat mengerti ucapan suaminya, sebab memang benar jika terlalu banyak orang di dalam gandok yang tidak begitu besar itu akan kurang baik bagi yang sedang sakit, selain udara menjadi lebih pengap, tentu karena mereka yang berada di dalam menjadi berdesak-desakan.
Namun baru saja ketiganya beranjak keluar, mereka telah dikejutkan oleh sesuatu yang mencurigakan. Sebagai perempuan yang memiliki bekal kawruh kanuragan, mereka dapat menangkap tanda-tanda kehadiran seseorang.
Kejadian yang tidak wajar itu membuat ketiganya terdiam dan saling pandang. Dengan isyarat saling menganggukkan kepala perlahan, mereka dapat mengetahui apa yang ditangkap satu sama lain. Ternyata apa yang dapat mereka tangkap adalah sama.
Dengan semakin meningkatkan kewaspadaan pada keadaan sekitar, mereka bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Karena sangat aneh dan tidak wajar jika di tempat itu tiba-tiba kedatangan seseorang yang sekedar kesasar, apalagi di waktu yang masih pagi-pagi sekali, pasti orang itu memiliki kepentingan dan tujuan. Tapi entah tujuan baik atau tujuan buruk.
Tapi apa yang mereka lihat kemudian, membuat mereka semakin terkejut. Karena beberapa puluh langkah dari tempat mereka berdiri telah muncul seseorang dari balik pohon mahoni yang besar dan tinggi menjulang.
“Eyang”. desis Nyi Anjani yang dapat segera mengenali siapakah orang yang datang tersebut.
Ternyata memang Begawan Mayangkara lah yang datang secara tiba-tiba setelah mencari orang yang dikenalnya, untuk membantu kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih.
Ketiga perempuan perkasa itu hanya bisa menarik nafas dalam untuk mengurai ketegangan, karena pada kenyataannya tidak seperti apa yang mereka khawatirkan.
Setelah muncul dari balik pohon, dengan langkah wajar Begawan Mayangkara segera mendekati rumahnya yang kini lebih sering ditinggali oleh Nyi Anjani lalu menyambut tamu-tamunya dengan saling menanyakan keselamatan masing-masing.
“Maafkan aku jika membuat kalian dalam ketegangan dan kegelisahan, tapi sebaiknya aku ceritakan nanti apa yang telah terjadi. Karena aku masih memiliki keperluan dengan Ki Lurah Glagah Putih yang harus aku lakukan segera”.
“Baiklah Eyang, jika demikian cepatlah! kebetulan kakang Agung Sedayu juga masih ada di dalam”. sahut Nyi Anjani.
“Baiklah”.
Setelah berkata demikian, Begawan Mayangkara segera melangkahkan kakinya menuju gandok, tempat pembaringan ayah Arya Nakula.
“Bagaimana dengan keadaan Ki Lurah Glagah Putih, Ki Agung Sedayu?”. bertanya Begawan Mayangkara ketika baru sampai di pintu gandok yang dalam keadaan terbuka.
“Baru saja tubuhnya seperti terhentak perlahan, dan aku baru selesai memeriksa tubuhnya. Dan tiba-tiba sepertinya telah ada tanda-tanda kehidupan pada tubuh Glagah Putih meskipun masih sangat lemah bahkan nyaris tak terdengar”.
“Syukurlah jika demikian. Atas segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih berarti kawanku itu telah berhasil membantu Ki Lurah Glagah Putih”.
“Benar Begawan, kita semua wajib berterima kasih kepada Yang Maha Agung atas segala kawelasannya terhadap Glagah Putih. Dan kini menjadi pekerjaanku untuk merawatnya”.
“Ki Agung Sedayu… aku mendapat pesan dari kawanku”.
“Pesan apakah Begawan?”. bertanya ayah Bagus Sadewa sembari mengerutkan keningnya.
“Namun sebelumnya dia ingin menyampaikan permintaan maaf kepadamu jika apa yang nanti akan disampaikan akan kau anggap sebagai sikap deksura, sebab kawanku tahu bahwa kau adalah orang yang pandai dalam kawruh pengobatan”.
“Tidak Begawan, aku tidak berpikir demikian. Aku justru merasa berterima kasih atas semua ini. Jika dia tahu aku, berarti dia sudah tahu pula batas kemampuanku. Sebaiknya katakanlah!”.
“Menurut perhitungan kawanku, bahwa luka yang dialami Ki Lurah Glagah Putih itu sudah sangat parah, jika seandainya sukmanya telah kembali pun masih membutuhkan perawatan yang tidak mudah dan membutuhkan waktu. Sedangkan jika melihat keadaannya, dia tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Dan jika itu terjadi maka kawanku sudah angkat tangan”.
“Lalu bagaimana menurut kawan Begawan Mayangkara itu?”.
Kemudian Begawan Mayangkara mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Dengan kening semakin berkerut Ki Agung Sedayu memperhatikan dengan seksama.
“Kawanku menitipkan ini kepadaku agar dapat diminum oleh Ki Lurah Glagah Putih segera”.
“Apa itu Begawan?”.
“Sejenis air tapi ini bukan sembarang air, air yang diberi nama Mustika Warih ini adalah sejenis air pengobatan. Atas kebesaran dan kemurahan dari Yang Maha Agung semoga ini dapat menjadi lantaran kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih”.
“Tapi Begawan… keadaan Glagah Putih sekarang belum memungkinkan untuk dia dapat menelan atau meminum sesuatu, lalu bagaimana caranya agar air itu dapat masuk ke tubuhnya ?”.
“Itulah kelebihan Mustika Warih, yang penting dapat masuk ke dalam mulut saja sudah cukup, karena nanti ini akan bekerja dengan sendirinya”.
“Luar biasa”. desis Ki Agung Sedayu tanpa sadarnya.
Kemudian Begawan Mayangkara menyerahkan benda kecil yang berisi air pengobatan Mustika Warih itu kepada Ki Agung Sedayu agar dapat segera diminumkan kepada ayah Arya Nakula.
Ki Agung Sedayu menerima benda itu sembari dalam hati tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur atas segala kemurahan Yang Maha Welas Asih.
Tanpa berpikir panjang lagi dirinya segera mendekati adik sepupunya tersebut yang masih terbaring diam di atas amben bambu, lalu meminumkan Mustika Warih itu.
Namun ada sesuatu yang aneh ketika menuangkan air Mustika Warih tersebut ke mulut adik sepupunya, air itu terlihat seperti bukan air kebanyakan.
Warnanya memang bening seperti air kebanyakan, namun yang membedakan adalah air itu sedikit kental, selain itu seakan berkerlip di beberapa bagian ketika terkena pantulan cahaya matahari.
Ki Agung Sedayu yang sempat memperhatikan kejadian tersebut hanya dapat mengagumi dalam hati, karena baru kali ini dirinya melihat air yang demikian.
“Mungkin nanti aku dapat menanyakannya kepada Begawan Mayangkara tentang seluk beluk air ini”.
Berhubung ayah Arya Nakula masih belum dapat meminum sesuatu, maka Ki Agung Sedayu berusaha untuk tetap menjaga mulut adik sepupunya tersebut dan memastikan agar air itu benar-benar masuk ke dalam tubuh hingga tanpa sisa.
Memang air itu tidak dengan serta merta dapat tertelan karena watak air yang sedikit kental, setelah beberapa saat kemudian secara perlahan namun pasti akhirnya air itu dapat masuk juga ke dalam tubuh seluruhnya.
“Menurut kawan Begawan, lalu apa yang harus aku lakukan kemudian setelah Glagah Putih dapat meminum air ini?”.
“Kita disarankan untuk menunggu perkembangannya dan kita rawat Ki Lurah Glagah Putih seperlunya, Sebab mungkin saja dia masih memerlukan obat lain, selain obat itu akan bekerja terus menerus hingga dia sembuh”.
“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Begawan Mayangkara dan kawan Begawan itu”.
“Kau tak perlu berterima kasih, Ki Agung Sedayu, aku hanyalah menjalankan kewajiban terhadap sesama. Bukankah memang demikian seharusnya?”.
“Maaf Begawan, jika aku boleh tahu, siapakah kawan Begawan Mayangkara itu yang telah menolong Glagah Putih? aku ingin berterima kasih sekali kepadanya”.
“Maaf Ki Agung Sedayu, kawanku telah berpesan bahwa dia tidak ingin diketahui siapakah jati dirinya. Dan apa yang dia lakukan adalah semata-mata menjalankan kewajiban terhadap sesama”.
“Tidak ingin diketahui jati dirinya? bahkan hanya sekedar namanya pun dia tidak ingin diketahui?”.
“Demikianlah”.
“Benar-benar orang yang aneh dan misterius”.
“Memang demikianlah dia adanya, bahkan tidak hanya terjadi kali ini saja. Karena aku pernah mengetahuinya sendiri beberapa kali kejadian seperti ini. Dia tidak sekedar tanpa pamrih, bahkan dia tidak ingin dikenali oleh orang yang telah ditolongnya jika itu dapat dilakukannya”.
“Kawan Begawan Mayangkara itu telah mengingatkanku kepada guru, Swargi Kyai Gringsing. Orang yang penuh dengan tabir misteri namun selalu tanpa pamrih dalam membantu sesama tanpa melihat siapakah orang yang ditolong, entah itu dari Trah Pidak Pidarakan ataupun dari Trah Kusuma Rembesing Madu tetap diusahakan untuk diperlakukan sama”.
“Meskipun aku tidak pernah mengenal Swargi Kyai Gringsing secara pribadi, namun aku sering mendengar namanya begitu kawentar hampir di sepanjang tanah ini dengan segala keanehan yang ada pada dirinya”.
“Sepertinya untuk sementara tidak ada yang dapat kita lakukan terhadap Glagah Putih selain hanya menunggunya, sebaiknya kita ke pendapa saja sembari kita dapat menikmati minuman hangat agar tubuh kita terasa lebih segar”. ajak Ki Agung sedayu.
“Baiklah, marilah”.
Kemudian Begawan Mayangkara bergegas keluar lebih dulu meninggalkan gandok itu karena Ki Agung Sedayu ingin lebih dulu memeriksa kembali keadaan adik sepupunya sebelum benar-benar meninggalkannya.
Pendapa yang lebih sering sepi itu kini telah berkumpul lima orang berilmu sangat tinggi, lalu mereka membicarakan apa saja yang menarik bagi mereka untuk mengisi waktu sembari menunggu perkembangan keadaan Ki Lurah Glagah Putih yang sepertinya sudah melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya.
“Aku minta maaf jika kepergianku tadi telah membuat kalian semua dalam ketegangan dan kegelisahan, bukan maksudku berbuat demikian tapi keadaanlah yang membuatku terpaksa berbuat demikian”. ucap Begawan Mayangkara memulai pembicaraan dan berusaha mencairkan suasana.
“Aku sangat mengerti, Begawan. Dan aku percaya bahwa kau orang yang dapat dipercaya”.
“Apakah tadi Eyang menemui kesulitan untuk menemukan orang yang Eyang cari? sehingga tidak segera kembali. Kami semua disini seakan sudah kehilangan akal karenanya”.
“Tidak Anjani, kebetulan aku dapat langsung bertemu dengannya, tapi kami akan kehilangan waktu jika harus kesini lebih dulu. Sedangkan keadaan Ki Lurah Glagah Putih tidak memungkinkan untuk menunggu lebih lama”.
“Lalu mengapa Eyang tidak mengajak kawan Eyang itu serta datang kemari setelah pekerjaannya selesai?”.
“Kawanku itu sudah ditunggu oleh keperluan lain yang tidak dapat ditunda pula, dan itu menyangkut nyawa seseorang pula. Jadi aku tidak dapat mengajaknya serta kali ini”.
“Kau jangan bersikap deksura Anjani, bukan dia yang harus datang kemari, namun kitalah yang seharusnya datang kesana, paling tidak untuk menyampaikan rasa terima kasih”. sahut Ki Agung Sedayu memotong.
“Maaf kakang, bukan maksudku untuk bersikap deksura. Tapi karena saking senangnya akan kesembuhan Glagah Putih, aku sampai melupakan subhasita”.
“Tapi sebelum kalian melaksanakan keinginan kalian tersebut, perlu aku sampaikan bahwa kawanku itu belum mau diketahui siapakah jati dirinya. Maka dari itu sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian itu”.
Mereka yang mendengar menjadi sangat terkejut, kecuali Ki Agung Sedayu yang tadi sudah sempat mendengarnya lebih dulu sewaktu masih di dalam gandok.
“Mengapa demikin Eyang?”.
“Aku tidak tahu Anjani, aku hanya menyampaikan sesuai dengan apa yang dikatakan kawanku itu, tidak aku tambah dan tidak aku kurangi. Karena memang begitulah dia, orang yang misterius dengan segala keanehannya ”.
Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menarik nafas panjang mendengar keterangan itu. Meskipun mereka belum pernah mengenal apalagi bertemu secara langsung dengan orangnya, namun sedikit banyak mereka mulai dapat membayangkan orang tersebut.
Karena biar bagaimanapun mereka ingin bertemu walaupun untuk sekedar dapat berterima kasih, tapi tetap saja mereka berusaha menjunjung tinggi segala subhasita dan menghargai pribadi seseorang yang tidak ingin dikenal oleh orang lain.
Namun dari semua itu yang paling penting adalah kini mereka semua dapat melepaskan segala ketegangan yang seakan-akan siap meledakkan jantung mereka semua, sebab kini Ki Lurah Glagah Putih telah mampu melewati masa-masa yang paling sulit dalam hidupnya.
Kini mereka dapat menikmati minuman hangat dan ketela rambat wulung yang dihidangkan oleh Nyi Anjani dengan penuh kelegaan hati di pagi yang masih sedikit berkabut namun indah, dengan iringan suara sekumpulan burung berkicau di sekitar rumah itu seakan ikut merayakan pula keberhasilan Ki Lurah Glagah Putih yang baru saja terlepas dari malapetaka yang paling mendebarkan.
“Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan terhadap Glagah Putih, kakang?”. bertanya Nyi Sekar Mirah.
“Silahkan Begawan Mayangkara yang menjawab, agar semuanya menjadi lebih jelas. Karena aku rasa keterangan yang aku dengar tadi masih kurang lengkap”. sahut Ki Agung Sedayu sembari memberikan isyarat mempersilahkan.
“Baiklah… aku akan coba menjelaskan sesuai dengan petunjuk kawanku, semoga saja tadi aku tidak salah dengar sehingga akan membuatku salah ucap”. sahut Begawan Mayangkara lalu meneguk wedang serehnya lebih dulu.
“Berdasarkan keterangan dari kawanku, jika Yang Maha Welas Asih mengizinkan, setelah Ki Lurah Glagah Putih meminum air Mustika Warih itu maka kita tinggal menunggu perkembangannya. Karena masih ada kemungkinan dia akan membutuhkan ramuan obat lain sebagai pendukung kesembuhannya”.
“Lalu kita harus menunggu berapa lama Eyang?”.
“Kemungkinan paling cepat adalah sepekan sejak air itu diminum Ki Lurah Glagah Putih sudah dapat mulai berjalan, meskipun masih dalam keadaan lemah dan tenaganya belum pulih seperti sedia kala. Tapi untuk lukanya, semoga saja sudah mulai ada tanda-tanda kesembuhan dan perkembangan yang berarti”.
“Benar-benar obat yang luar biasa, aku yang pernah mempelajari kawruh pengobatan pun sempat memperhitungkan untuk merawat Glagah Putih itu paling cepat membutuhkan waktu sekitar selapan hari, itu belum termasuk pemulihan yang lain”.
“Aku rasa perhitungan kita hampir sama, Ki Agung Sedayu. Tapi begitulah kawanku, aku sendiri yang sudah mengenalnya dalam waktu yang cukup lama, terkadang penalaranku masih belum dapat menjangkau cara berpikirnya dan cara yang dia gunakan untuk membantu sesama. Karena yang aku tahu caranya sering di luar nalar orang kebanyakan”.
“Benar-benar orang yang aneh, tapi luar biasa”.
“Baginya tidak ada gunanya menunjukkan apa yang dapat dia lakukan, karena segala apa yang dapat dia lakukan itu adalah semata-mata atas izin dari Yang Maha Welas Asih. Jika tanpa itu dia merasa tidak lebih dari tunggak kepanjingan nyawa”.
“Benar-benar orang yang sudah pupus kawruh lahir batinnya, jarang sekali kita dapat menjumpai seseorang dengan watak yang sudah sedemikian menepnya di masa seperti sekarang ini”.
“Kakang benar, orang yang sudah sulit dicari bandingnya, baik secara kawruh maupun dalam kepasrahan yang utuh kepada Yang Maha Agung dalam setiap langkahnya”. sahut Nyi Pandan Wangi yang sejak tadi lebih banyak diam.
“Begitulah… dan biasanya orang yang demikian itu justru hidupnya lebih senang menghindari keramaian, atau bahkan lebih senang menyendiri. Tapi bukan berarti dia tidak senang dengan hidup sesrawungan, namun karena dengan cara hidup yang demikian akan semakin membuatnya hidup tenang dan dapat semakin mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung”.
“Ki Agung Sedayu benar, lagipula jika kita selalu mengikuti hidup bebrayan yang ada, seperti tidak akan pernah ada habisnya. Padahal menurut perhitunganku, sejak dari leluhur kita hingga anak cucu kita nanti hidup manusia hanya itu-itu saja, sebab dalam hidup ini kita tidak pernah bisa lepas dari harta, tahta, dan asmara. Mungkin hanya berganti pelakunya saja”.
“Begawan benar, hidup ini tidak ubahnya seperti cakra manggilingan yang terus berputar, dan perputaran itu akan terus menerus terjadi seperti itu”.
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu di pendapa itu, karena ternyata matahari sudah naik sepenggalah. Dan Ki Agung Sedayu tidak dapat mengingkari janjinya begitu saja kepada Ki Untara dan rombongan yang tadi berangkat ke Mataram.
“Maaf Begawan jika aku ingin minta tolong sekali lagi, tapi aku harap ini bukanlah sikap yang dianggap deksura”.
“Katakanlah.. semoga saja aku dapat membantu”.
“Begini Begawan, sebenarnya tadi pagi aku ada keperluan bersama rombongan dari Jati Anom dan Matesih untuk pergi ke Mataram. Namun karena tadi tidak memungkinkan untuk aku meninggalkan Glagah Putih, maka aku terpaksa berbohong kepada mereka bahwa aku masih ada keperluan dan akan menyusul mereka kemudian. Menurut penalaranku, karena sekarang ini keadaan Glagah Putih sudah tidak mengkhawatirkan maka aku minta izin untuk menyusul rombongan itu”.
“Begitu rupanya, aku kira tidak menjadi soal. Tapi apakah kalian akan pergi semua?”.
Sebelum menjawab Ki Agung Sedayu sempat memandangi ketiga istrinya secara bergantian, namun tidak ada kesan apapun yang dia dapatkan, karena ketiganya hanya menundukkan kepalanya.
“Anjani… bagaimana jika kau tetap tinggal disini?”.
“Baik kakang, aku tidak keberatan”.
“Syukurlah kalau begitu, lagipula aku akan tetap mengawanimu meskipun sebatas dengan wujud semuku di sela-sela waktu aku dapat mengetrapkannya”.
“Baiklah kakang”.
“Aku pergi ke Mataram karena selain untuk menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit, aku juga akan menghadap Ki Patih Singaranu untuk membuat laporan dengan apa yang terjadi. Adalah sebuah sikap deksura jika aku berusaha menyembunyikan kejadian ini dari Mataram dan sepertinya akan ada titah untukku sehubungan dengan kejadian ini”.
“Semoga Yang Maha Welas Asih segera memberikan kesembuhan bagi Ki Lurah Branjangan, dan semoga kakang dan mbokayu berdua tidak mendapatkan rintangan di sepanjang perjalanan”.
“Terima kasih Anjani, seandainya saja kita tidak sedang dalam keadaan seperti ini, aku bermaksud mengajakmu serta”.
“Tidak apa-apa kakang, lagipula tenagaku mungkin lebih dibutuhkan disini. Karena mungkin saja nanti Glagah Putih tiba-tiba siuman dan membutuhkan minum atau bubur halus, maka aku dapat membuatkannya”.
“Bukankah masih ada aku, Anjani?”.
“Alangkah deksuranya jika kami minta tolong kepada Eyang Mayangkara hanya untuk membuatkan minuman dan bubur halus bagi Glagah Putih yang sedang sakit”. sahut Nyi Anjani lalu tertawa, dan yang lain pun ikut tertawa pula mendengar jawaban tersebut.
Suasana menjadi begitu cair setelah pecahnya tawa dari orang-orang yang hadir, dalam sejenak mereka dapat melupakan apa saja yang sedang terjadi.
“Maaf Begawan, bukan maksudku untuk bersikap deksura dengan melimpahkan tanggung jawab ini, namun sepertinya aku tidak dapat berbuat lain”. ucap Ki Agung Sedayu setelah tawa mereka telah reda.
“Tidak apa-apa Ki Agung Sedayu, lagipula aku menjadi memiliki pekerjaan. Karena biasanya aku tidak lebih dari sekedar seorang pengangguran”. sahut Begawan Mayangkara lalu tersenyum.
“Baiklah jika demikian, sebaiknya aku segera berangkat. Tapi sebelumnya aku ingin melihat Glagah Putih lebih dulu”.
“Aku ikut kakang”. sahut Nyi Sekar Mirah.
“Aku juga ingin melihat keadaannya”. sahut Nyi Pandan Wangi yang tidak mau ketinggalan.
“Baiklah.. kita ke gandok bersama-sama”.
Kemudian Ki Agung Sedayu bersama ketiga istrinya segera beranjak dari tempat duduknya, sementara Begawan Mayangkara lebih memilih untuk menikmati minuman hangatnya dan tetap duduk di tempatnya, lagipula dalam hatinya ada perasaan sungkan.
Ketika Ki Agung Sedayu memeriksa kembali tubuh adik sepupunya tersebut, ada yang membuat hatinya terkejut. Namun sebuah kejutan yang baik.
“Tubuh Glagah Putih sudah mulai hangat, benar-benar obat yang luar biasa. Bahkan aku yang memiliki sedikit bekal kawruh pengobatan merasa betapa dungunya, sebab tidak dapat menduga air itu mengandung ramuan apa saja”.
“Kita wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung, karena kita masih diperkenankan bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, baik secara kawruh, kemampuan, dan terutama kepribadiannya dalam menolong sesama”.
“Mbokayu Pandan Wangi benar, sebab tidak mudah jika kita mencari orang yang seperti itu”. sahut Nyi Sekar Mirah yang berdiri di sebelahnya.
Setelah dirasa cukup mereka melihat keadaan Ki Lurah Glagah Putih, maka mereka pun segera minta diri kepada Nyi Anjani lalu kepada Begawan Mayangkara yang berada di pendapa.
“Kami minta diri dulu Begawan Mayangkara, aku minta maaf jika kehadiran Glagah Putih telah merepotkan dan mengganggu ketenanganmu disini”. ucap Ki Agung Sedayu.
“Tidak ada yang merasa direpotkan atau merasa terganggu Ki Agung Sedayu, semua ini adalah salah satu tindakan nyata dari menjalankan kewajiban terhadap sesama”.
Sementara itu singkat cerita, Ki Agung Sedayu dan kedua istrinya telah sampai kembali di Tanah Perdikan Menoreh. Tepatnya di tempat yang sama pada saat mereka berangkat.
“Sebaiknya kita segera bersiap untuk menyusul rombongan kakang Untara, semoga saja kita tidak berselisih waktu yang terlalu panjang”. ucap Ki Agung Sedayu ketika baru saja tiba.
“Bukankah kita hanya tinggal berangkat? sebab kita sudah mempersiapkan semuanya sajak tadi pagi?”.
“Tapi sebelum berangkat, aku ingatkan kepada kalian bahwa tolong rahasiakan kejadian ini”.
“Baiklah kakang, aku mengerti”. sahut kedua istrinya tersebut hampir bersamaan.
Kemudian mereka segera bergegas keluar dari bilik, agar dapat segera berangkat ke Mataram. Dan sepertinya kali ini sudah tidak ada yang mencegah lagi untuk berangkat.
Namun setelah mereka menuruni halaman, tempat kuda-kuda mereka ditambatkan, ada pemandangan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja oleh Nyi Sekar Mirah.
Dengan langkah setengah berlari, ibu Bagus Sadewa pun segera menghampiri seorang perempuan berumur yang sedang mengawasi seorang anak kecil yang sedang sibuk bermain dengan ayam-ayamnya di halaman samping.
“Kau sedang apa nduk?”.
Anak perempuan kecil yang tidak menyadari kedatangan Nyi Sekar Mirah karena saking asyiknya bermain dengan ayam-ayam, segera menoleh ke arah sumber suara.
“Aku sedang memberi makan ayam”.
Nyi Sekar Mirah yang sudah tidak sabar, segera menggendong saja saja anak itu tanpa meminta persetujuan, yang tak lain anak itu adalah Sekar Wangi.
Dengan perasaan gemas dan penuh kasih sayang, Nyi Sekar Mirah menciumi anak itu hampir seluruh wajahnya, tapi anehnya Sekar Wangi pun hanya bisa pasrah dan tidak berusaha memberontak sama sekali.
Nyi Pandan Wangi dan Ki Agung Sedayu yang mengikuti dari belakang hanya bisa tersenyum melihat semua itu, mereka dapat memaklumi sikap Nyi Sekar Mirah yang begitu gemasnya setiap kali bertemu dengan Sekar Wangi yang masih kecil.
Pada dasarnya Sekar Wangi memang adalah seorang anak yang cantik dan tidak cengeng, dan ada kalanya dia memiliki sikap lebih sering mengalah jika bermain dengan kawan-kawan sebaya yang berada di sekitar rumahnya.
Sepertinya kecantikan Sekar Wangi sudah terlihat sejak kecil adalah pancaran kecantikan dari ibunya, dan sepertinya sedikit banyak wataknya pun menurun pula.
Sebab sebuah kecantikan yang sejati adalah kecantikan yang tidak hanya sekedar terlihat cantik secara lahir saja, namun kecantikan itu juga dapat dilihat karena pancaran perilaku yang santun dan bersahaja dalam kesehariannya.
“Ibu akan pergi kemana?”.
“Ibu, Ayah, dan bibi Sekar Mirah akan pergi ke Mataram nduk, mungkin ibu akan menginap disana. Kau jangan nakal ya selama Ibu pergi”. sahut Nyi Pandan Wangi.
“Kenapa Ibu pergi?”.
“Ibu harus pergi karena ada keperluan, nduk. Nanti jika keperluan Ibu sudah selesai, pasti Ibu segera pulang”.
Selesai berkata demikian Nyi Pandan Wangi kemudian berniat bergantian menggendong putri semata wayangnya tersebut, lalu diciuminya dengan penuh kasih sayang.
Sementara Ki Agung Sedayu memanggil salah satu pengawal yang sedang bertugas, karena ada pesan-pesan yang ingin disampaikan sebelum dirinya berangkat.
“Aku titip pesan kepada kepala pengawal yang bertugas, tolong sampaikan padanya bahwa mungkin aku dan istriku akan pergi dalam beberapa hari, jika ada apa-apa tolong kalian urus dulu. Jangan lupa kalian harus membuat hubungan dengan para bebahu agar pekerjaan kalian menjadi semakin ringan”.
“Baik Ki.. nanti akan aku sampaikan pesan ini”.
“Jika ada sesuatu yang sangat penting dan mendesak, sedangkan kalian tidak berani membuat keputusan sendiri atau kalian tidak mampu mengatasinya sendiri, maka kirimkanlah utusan untuk menyusul kami”.
“Baik Ki, tapi mohon petunjuk Ki Agung Sedayu. Jika kami harus mengirimkan utusan, kami harus mengirimnya kemana?”.
“Kalian kirim saja utusan ke Kademangan Sangkal Putung, atau jika kami tidak berada disana maka pergilah ke Padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom dan carilah Ki Untara jika aku tidak ada, aku akan meninggalkan pesan padanya”. sahut ayah Bagus Sadewa memberikan keterangan.
“Baik Ki, aku akan berusaha melaksanakan semua pesan itu dengan sebaik-baiknya”.
“Selain itu aku titipkan Sekar Wangi pada kalian semua, sebab tidak mungkin jika kami harus membawanya dalam perjalanan yang panjang pada umurnya yang sekarang”.
“Baik Ki, kami semua akan selalu berusaha menjaganya dengan segenap jiwa raga kami”. sahut pengawal tersebut dengan mantap.
“Terima kasih.. semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua dan semoga saja tidak akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, selama kami pergi”.
Setelah mereka bertiga berpamitan dengan Sekar Wangi dan orang-orang yang berada di tempat itu, maka tidak lama kemudian mereka memutuskan untuk segera berangkat.
Dalam cahaya matahari yang semakin menyengat kulit, mereka segera menghampiri kuda-kuda yang sudah ditambatkan di tempatnya untuk mengantarkan mereka ke Mataram, pada saat matahari yang sudah semakin naik di luasnya cakrawala.
***
Sementara itu di Kadipaten Wirasaba, tepatnya dalam pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Sinuhun Mataram sudah tidak disibukkan oleh garangnya peperangan, namun bukan berarti tugas mereka telah selesai sama sekali.
Kini mereka selain masih harus mengurus seluruh kepentingan pasukan Mataram itu sendiri, mereka harus pula mengurus orang-orang dari Wirasaba yang telah menjadi tawanan perang.
Bahkan tidak sedikit dari prajurit Wirasaba yang masih terluka, baik yang luka ringan maupun luka parah sebagai tawanan. Namun tidak sedikit pula yang masih mampu melarikan diri dengan caranya masing-masing setelah menyadari pihak mereka akan kalah.
Terutama pada saat hilangnya Ki Patih Rangga Permana setelah berperang tanding melawan lurah prajurit dari Mataram. Sebab menurut mereka dengan sudah tidak adanya patih Wirasaba itu lagi, maka sudah tidak ada lagi kekuatan yang dapat mereka banggakan.
Sebab ada pula dari sebagian orang Wirasaba yang memiliki penalaran bahwa lebih baik mereka dianggap pengecut, licik, tidak setia pada pepundennya atau apapun itu, tapi bagi mereka masih lebih baik jika mereka tidak menjadi seorang tawanan.
Dalam bayangan mereka, menjadi seorang tawanan itu pasti akan mengalami nasib buruk, bahkan mungkin nasib yang paling buruk sekalipun. Bahkan untuk membayangkan semua itu saja sudah membuat seluruh bulu kuduk mereka meremang, apalagi harus mengalaminya sendiri.
Apalagi melalui kabar dari mulut ke mulut yang entah darimana sumbernya, ada yang bilang bahwa pepunden tertinggi Mataram itu adalah orang yang berhati keras dan tidak mengenal belas kasihan kepada siapapun yang tidak sependapat.
Kabar burung itu semakin mengeraskan hati mereka untuk melarikan diri, tapi ternyata pasukan Mataram sudah siap dalam segala kemungkinan, termasuk sudah memperhitungkan pula orang-orang Wirasaba bakal melarikan diri.
Sehingga banyak pula dari orang-orang Wirasaba yang tidak mampu melewati hadangan pasukan Mataram, dengan demikian akhirnya mereka hanya bisa pasrah dengan nasibnya.
Pada hari itu semua tawanan telah dikumpulkan di tempat yang sama, hanya beberapa orang saja yang mendapat perlakuan khusus karena kekhususannya pula, termasuk Kanjeng Adipati Wirasaba yang hingga hari itu masih ditempatkan di tempat khusus dan mendapatkan penjagaan dari beberapa prajurit pilihan.
Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma bahkan memerintahkan kepada prajurit yang bertugas bahwa pepunden Wirasaba itu tidak dapat ditemui oleh siapapun kecuali atas izin dari dirinya sendiri atau tiga Pangeran Mataram yang menyertainya.
Sebab dari Kanjeng Sinuhun Mataram sendiri masih belum dapat mengambil sikap kepada pepunden Wirasaba tersebut, sehingga untuk sementara masih harus menerima keadaan dengan menjadi seorang tawanan.
Apalagi sikap pepunden Wirasaba tersebut memiliki jiwa yang tidak mau menerima kenyataan dan lebih cenderung memberontak, karena pertimbangan itulah dia mendapatkan perlakuan dengan dibuatkan bilik khusus yang terbuat dari kayu tebal agar tidak mudah untuk dirobohkan.
Berbeda sekali dengan sikap pamomong Kanjeng Adipati Wirasaba yang lebih mengendap dan dapat menerima kenyataan, sehingga tidak ada niat sedikitpun dari Ki Jembar Maja untuk melarikan diri atau bahkan hingga melawan Mataram.
Sehingga Ki Jembar Maja pun tidak diperlakukan sebagaimana momongannya itu sendiri, bahkan karena sikapnya yang dianggap baik sebagai tawanan tangan dan kakinya tidak diikat, tapi tetap dalam pengawasan dan penjagaan yang sangat ketat dari pasukan Mataram yang bertugas.
Sementara para prajurit Mataram yang terluka sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan bagi kesembuhan. Meskipun masih ada pula yang masih tak berdaya karena parahnya luka dan satu atau dua orang ternyata tidak mampu lagi diselamatkan.
Meskipun perang telah selesai, tapi masih saja menyisakan kepiluan, kesedihan, dan keprihatinan yang sangat mendalam bagi yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh semua orang, karena mau disesali dengan cara apapun dan bagaimanapun tidak akan pernah dapat mengembalikan semuanya.
Hidup harus terus berjalan, masa lalu hanya dapat kita jadikan pelajaran untuk sekarang dan kemudian hari agar hidup kita menjadi lebih baik.
Kata para sesepuh pengalaman adalah guru yang paling baik untuk dapat kita jadikan pelajaran, dan pengalaman itu tidak harus kita alami sendiri, namun kita dapat pula kita mengambilnya dari pengalaman orang lain sebagai pelajaran.
Sementara pada hari itu pasukan Mataram sudah terlalu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, karena lebih tepatnya mereka hanya tinggal menunggu peresmian Kanjeng Sinuhun Mataram untuk menduduki tahta Kadipaten Wirasaba.
Dalam waktu yang longgar itu dapat dimanfaatkan untuk beristirahat dan melepas segala ketegangan setelah perang usai, selain itu untuk memberikan waktu kepada para prajurit yang masih terluka untuk memperbaiki keadaannya.
Maka dari itu tidak banyak tugas yang harus dikerjakan oleh para prajurit secara tugas keprajuritan, tapi mereka tetap harus bersiaga jika sewaktu-waktu mendapat perintah.
Sebab dalam keadaan yang begitu tenang, bukanlah sebuah jaminan akan tetap demikian, terkadang dapat saja terjadi gejolak yang datangnya tiba-tiba karena suatu kejadian. Dan para prajurit yang bertugas dituntut untuk selalu sigap dan bergerak cekatan.
Sinar matahari pada hari itu sudah semakin terik di atas padang perdu yang telah menjadi saksi bisu kegarangan orang-orang Wirasaba dan Mataram yang belum lama menyelesaikan perselisihan mereka dengan jalan peperangan.
Seakan tanah gersang tersebut haus akan tetesan darah orang-orang yang penuh dengan ketamakan akan kekuasaan yang mengatasnamakan gegayuhan. Terkadang kita sendiri pun akan merasa kesulitan untuk membedakan hal tersebut, karena antara gegayuhan dan ketamakan sering dicampur adukkan.
Dunia ini memang sangat bermacam-macam isinya, dan semua itu membawa lakonnya sendiri-sendiri. Semua itu tergantung dengan kemampuan yang bersangkutan untuk melangkah sejauh mana dalam meninggalkan jejak sejarahnya.
Sementara Ki Rangga Sabungsari yang kebetulan sedang tidak banyak mendapat tugas di kesatuannya, waktunya lebih banyak dihabiskan di tempat para prajurit yang sedang dirawat.
Karena keadaan Umbara lah dirinya kini menjadi lebih sering mengunjungi tempat itu, ada perasaan yang membuatnya sangat khawatir ketika dirinya terlalu lama meninggalkan anak muda yang sedang dalam terluka parah tersebut.
Seakan dirinya sedang meninggalkan seorang anak di tengah kerumunan serigala lapar. Sebagai orang yang telah mengenal anak muda itu sejak masih kecil membuat batinnya ikut merasa sebagai orang tua yang ikut bertanggung jawab atas keselamatannya.
Apalagi luka yang dialami Umbara itu adalah salah satu bentuk kelalaiannya dalam mengawasi anak muda itu, sehingga di medan telah menemukan seorang lawan yang berilmu sangat tinggi.
Beruntunglah anak Ki Untara itu memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa untuk tetap bertahan, selain kemampuan Tabib pasukan Mataram yang memiliki bekal kawruh pengobatan yang baik dan mengatasi keadaan tersebut dengan sigapnya.
Sebab jika terlambat sedikit saja, tentu sudah akan berbeda ceritanya, terutama pada saat tindakan pertama dalam mengatasi luka yang begitu parahnya akan sangat menentukan sekali dalam langkah-langkah selanjutnya.
Saat ini Umbara memang masih belum mampu sadarkan diri setelah beberapa hari pingsan, namun Ki Rangga Sabungsari sudah dapat sedikit bernafas lega karena anak muda itu telah berhasil melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya.
Beberapa Tabib Mataram yang sedang merawat orang-orang yang terluka itupun dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, mereka selalu berusaha melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya.
“Kita wajib mengucapkan syukur kepada Yang Maha Welas Asih, Ki Rangga Sabungsari”. ucap seorang tabib ketika melihat kedatangan suami Nyi Raras tersebut.
“Kyai benar, kita memang wajib mengucapkan syukur”.
“Justru keadaan Umbara yang belum mampu sadarkan diri itu sedikit banyak akan membantunya mempercepat kesembuhannya. Sebab dengan demikian tubuhnya benar-benar dapat beristirahat, dan obat yang aku balurkan dan aku minumkan akan dapat bekerja lebih baik”.
“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih atas semua yang Kyai lakukan, tidak hanya kepada Umbara. Namun juga untuk pasukan Mataram secara keseluruhan”.
“Ki Rangga Sabungsari tidak perlu berterima kasih kepadaku, sebab ini memang adalah kewajibanku”.
“Tapi tetap saja disamping itu memang sebuah kewajiban, namun apa yang Kyai lakukan itu adalah sebuah sebuah kebaikan yang layak mendapatkan ucapan terima kasih”.
“Baiklah.. sama-sama Ki Rangga”.
“Jika tidak salah kemarin Kyai sempat berkata kepadaku bahwa Ki Prastawa pun sedang terluka parah, lalu bagaimana keadaannya sekarang? apakah sudah lebih baik?”.
“Itulah yang baru akan aku katakan, Ki Rangga. Justru karena keadaannya itulah yang membuatku bingung harus mulai bicara dari mana untuk menyampaikannya”.
“Kyai katakan saja seperti apa adanya, meski itu pahit sekalipun”. sahut Ki Rangga Sabungsari yang memiliki panggrahita yang sangat tajam mulai dapat meraba.
“Begini Ki Rangga, aku dan kawan-kawanku sudah berusaha sejauh kemampuanku untuk merawatnya, namun luka dalamnya sepertinya sangat parah. Jika saja Ki Prastawa tidak memiliki daya tahan tubuh yang sangat luar biasa, tentu dia tidak akan mampu bertahan hingga sekarang”.
Betapa terkejutnya Ki Rangga Sabungsari mendengar keterangan dari Tabib yang merawat kemenakan Ki Gede Menoreh tersebut. Secara naluriah dirinya pun segera memandangi tempat dimana Ki Prastawa dibaringkan.
Dan disana terlihat ada seseorang yang sedang sibuk merawatnya dengan dikawani oleh dua orang, tapi jika dilihat dari ciri-ciri yang digunakan maka mereka adalah bagian dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku ingin melihatnya”.
Kemudian keduanya segera menghampiri sosok tubuh yang masih diam tak berdaya dan sedang mendapatkan perawatan dan seorang Tabib yang terlihat sedikit lebih muda dari Tabib yang bersama dengan Ki Rangga Sabungsari.
“Bagaimana perkembangan keadaan Ki Prastawa, adi?”. bertanya Tabib yang lebih tua setelah berdiri di sebelahnya.
“Masih sama kakang, belum ada perkembangan yang lebih baik. Justru malah lebih banyak menurun”.
“Memang keadaan yang benar-benar mengkhawatirkan”.
“Demikianlah kakang, sekarang kita hanya dapat nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi kesembuhannya. Sebab kita sudah berusaha sejauh kemampuan yang dapat kita lakukan, namun kita tidak dapat mengingkari kenyataan”.
“Kau benar, adi. Karena jika kita sudah dihadapkan dengan kekuasaan Yang Maha Agung, setinggi apapun kemampuan kita maka akan menjadi begitu kerdilnya”.
“Aku jadi teringat akan kata-kata Ki Prastawa sebelum memasuki medan perang”. sahut salah satu pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ikut mengawani.
Orang-orang yang berada di tempat itu seketika memandanginya dengan tatapan penuh tanya mendengar keterangan tersebut, tak terkecuali kawan yang berdiri di sebelahnya.
“Maaf.. bukan maksudku untuk…”. kata-katanya terputus, seakan mulutnya menjadi kelu untuk melanjutkannya.
“Katakan saja Ki Sanak, kau tak perlu merasa ragu untuk melanjutkannya”.
Setelah mendengar saran Ki Rangga Sabungsari tersebut, orang itupun berusaha merangkai kembali kata-kata yang tadi belum sempat terucapkan agar lebih mapan.
“Aku yang dalam perang kali ini menjadi bagian dalam pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, dan kebetulan mendapat kepercayaan untuk mendampingi Ki Prastawa. Sehingga aku lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Dan selama itu aku sering mendengar atau melihat tingkahnya yang tidak seperti biasanya yang aku kenal”.
“Memang apa yang telah dikatakannya?”. sahut Ki Rangga Sabungsari penasaran.
“Sejak berangkat, dia sering membicarakan tanah kelahirannya. Selain itu, aku dengar beberapa kali langsung dari mulutnya bahwa dia ingin segera pulang. Dan juga dia menjadi lebih sering melamun dan lebih senang menyendiri”.
Semua orang yang mendengarnya hanya dapat menarik nafas panjang, dan masih bingung harus menanggapi seperti apa. Tapi dengan adanya keterangan tersebut menjadikan mereka semakin berdebar-debar.
“Contohnya, apa yang telah dikatakan Ki Prastawa?”.
“Katanya, aku melihat awan yang begitu hitam pekat menyelimuti Tanah Perdikan Menoreh, lalu awan pekat itu semakin membesar dan membesar hingga akhirnya awan pekat tersebut menyelimuti seluruh Tanah Perdikan Menoreh”.
“Apa kau sempat bertanya apa maksudnya?”.
“Ya.. aku sempat bertanya, tapi jawaban yang dia ucapkan membuatku semakin bingung”.
“Apa jawabnya?”.
“Awan hitam tetaplah awan hitam, agar awan dapat menjadi putih maka harus ada hujan, tapi semoga saja tidak diiringi dengan adanya petir yang menyambar-nyambar”.
“Selain itu?”.
“Satu hari sebelum Ki Prastawa berperang tanding melawan Kyai Maruta. Katanya, aku sudah dua kali memimpikan paman Argapati. Dalam mimpi itu dia memanggil-manggil namaku, oleh sebab itu aku ingin segera pulang dan menghadap kepada paman Argapati yang tentu sudah menungguku”.
“Tentu semua itu ada maksudnya, tapi aku sendiri belum dapat mengurainya”. sahut Ki Rangga Sabungsari. Lanjutnya, “Apakah masih ada yang lain?”.
“Seingatku, sepertinya hanya itu yang dikatakannya Ki Rangga. Tapi dalam pengamatanku dan kawan-kawan, merasakan bahwa sikapnya memang agak nyalawadi jika dibandingkan dengan sikap kesehariannya, tapi aku tidak berani berprasangka apapun”.
“Aku mengerti maksudmu, tapi semoga saja apa yang kita khawatirkan bersama tidak pernah terjadi. Meskipun pada saatnya semuanya itu pasti akan terjadi pada kita semua, tapi semoga saja jika dalam keadaan yang demikian itu kita dalam keadaan yang paling baik, dan bukan dalam keadaan perang seperti yang sedang kita alami kali ini”.
“Ki Rangga benar, tapi jika dilihat dari keadaan tubuhnya yang seperti itu kita hanya dapat pasrah kepada Yang Maha Welas Asih. Selain luka di tubuhnya disebabkan oleh benturan ilmu pada tataran yang sangat tinggi, tubuhnya mendapat serangan racun yang sangat kuat pula. Sehingga itu semakin menyulitkan obat untuk bekerja sebagaimana mestinya”. sahut Tabib yang lebih muda.
“Meskipun kami sudah berusaha membantu obat itu agar dapat bekerja, dengan mengalirkan tenaga cadangan. Tapi apa yang kami lakukan itu justru semakin melemahkan jantungnya yang sedang tidak baik-baik saja setelah benturan ilmu”. sahut Tabib yang lebih tua menambahkan keterangan.
“Hanya karena daya tahan tubuh Ki Prastawa yang luar biasa sajalah yang membuatnya masih mampu bertahan”.
“Tapi jika keadaannya terus seperti ini, maka….”. Tabib yang lebih tua itu tidak sampai hati untuk melanjutkan kata-katanya.
“Maaf Kyai, apakah ada kemungkinan bahwa orang yang telah melukainya dapat pula menyembuhkannya?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari tiba-tiba.
“Memang ada kemungkinan Ki Rangga, tapi kemungkinan itu hanya sebatas menawarkan racunnya saja, itupun harus dapat dilakukan segera. Meskipun disini kita memiliki penawar racun pula, tapi mungkin saja berbeda. Sementara untuk luka dalamnya masih belum dapat kita atasi”.
“Maaf Kyai, aku tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan Kyai berdua”. ucap Ki Rangga Sabungsari menyadari kesalahannya.
“Tidak apa-apa Ki Rangga, aku tahu bahwa Ki Rangga tentu tidak akan bermaksud demikian. Semua itu kau lakukan karena jiwa kesetiakawanan yang telah terpatri dalam sanubari kalian sebagai orang yang merasa senasib dan seperjuangan”. sahut Tabib yang lebih tua yang ternyata orangnya sudah menep, sehingga tidak mudah tersinggung karena ucapan yang demikian.
“Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang untuk menolong Ki Prastawa, Kyai?”. berkata Ki Rangga Sabungsari yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kami akan tetap berusaha sejauh kemampuan kami hingga akhir, tapi segalanya kita pasrahkan kepada Yang Maha Welas Asih. Karena sebaik-baiknya rencana manusia itu, masih tetap lebih baik rencana Yang Maha Agung”.
***
Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan yang jauh dari hiruk-pikuknya pasukan Mataram yang bertugas di bang wetan, tepatnya di sebuah rumah yang cukup besar dari rumah sekitarnya di pinggiran Kotaraja.
Di rumah tersebut terlihat seorang laki-laki yang lebih dari paruh baya sedang terlihat duduk dengan penuh kegelisahan, itu dapat dilihat dari orang tersebut yang sejenak duduk dan sejenak kemudian berdiri kembali, dan entah sudah berapa lama semua itu dilakukannya.
Sepertinya teriknya sinar matahari di luar rumah seakan semakin membuat panasnya hati yang semakin lama semakin mendidih karena diliputi ketegangan dan kegelisahan yang sangat.
Sementara dari ruang dalam tiba-tiba muncul sosok perempuan yang sudah berumur pula, dengan raut wajah yang tidak kalah gelisahnya dengan laki-laki paruh baya itu.
“Bagaimana keadaan Ayah sekarang?”.
“Kata Tabib yang merawatnya, masih sama saja kakang”.
“Apakah Ayah masih sering mengigau?”.
“Demikianlah kakang, dalam keadaan Ayah yang sudah sangat lemah masih sering mengigau dengan menyebut anak-anak kita. Namun sampai sekarang belum ada satupun dari mereka yang kelihatan batang hidungnya”.
“Aku juga tidak tahu apa yang terjadi, sehingga membuat mereka belum juga sampai hingga sekarang. Jika Rara Wulan aku telah kirim utusan kepadanya, tapi aku akan mengirim utusan kemana untuk mencari anakmu Teja Prabawa?”.
Seketika perempuan yang sudah lebih dari paruh baya pula itu terduduk di bangku kayu rumahnya dengan kedua tangannya menutupi seluruh wajahnya.
“Anakmu itu memang terlalu bengal, sekarang justru tidak pernah ada kejelasan hidupnya. Bahkan sudah sekian lama dia tidak pernah menghubungi kita, entah dia masih menganggap kita sebagai orang tuanya atau tidak, aku tidak tahu”.
Mendengar ucapan suaminya itu, membuat Nyi Purbarumeksa justru tidak dapat menahan air matanya membasahi pipi di balik kedua tangannya yang masih menutupi wajah.
“Kau tak perlu menangisi anak itu Nyi, sekarang dia sudah bukan anak kecil lagi, dia sudah menjadi laki-laki dewasa yang tentu saja sudah dapat menjaga dirinya sendiri”.
Mendengar itu, Nyi Purbarumeksa justru tangisnya terdengar semakin terisak. Seperti ada perasaan yang ingin diungkapkannya, tapi tak kuasa dilakukannya karena gejolak perasaan terhadap anak laki-laki satu-satunya selama ini.
Sebagai seorang ibu yang telah melahirkan Teja Prabawa, dirinya tak mampu lagi mengungkapkan perasaannya dengan cara apa? antara sedih, khawatir, marah, dan kecewa telah bercampur aduk menjadi satu.
“Kakang dapat bicara demikian karena kakang tidak pernah melahirkannya, menyusuinya dari bayi, menjaganya setiap hari hingga dia tumbuh semakin besar hingga dewasa”.
“Aku mengerti maksudmu Nyi. Tapi aku hanya mengingatkan, jika kau terus bersikap demikian maka hatimu justru akan semakin sakit sendiri karena kelakuan anakmu itu”.
Selesai berkata demikian, Ki Purbarumeksa segera mendekati istrinya tersebut untuk berusaha menenangkan dengan mencoba mengusap-usap punggungnya.
“Jika kakang melahirkan dan menyusuinya, pasti kakang akan berbuat sama dengan apa yang aku lakukan”. berkata Nyi Purbarumeksa yang masih menangis terisak sembari kedua tangannya masih menutupi wajah.
Ki Purbarumeksa yang tadinya sedang diliputi ketegangan dan kegelisahan, kini menjadi merasa serba salah menghadapi istrinya yang sedang bersikap demikian.
Sembari masih mengusap punggung istrinya, Ki Purbarumeksa berusaha mencari cara agar istrinya berhenti selalu menyalahkan dirinya dalam keadaan tersebut.
“Apakah kakang sudah mencari anak itu ke seluruh tanah ini? apakah kakang sudah menanyakan ke semua orang dimanakah Teja Prabawa berada? apakah kakang sudah menanyakan ke orang pintar dimanakah anak bengal itu tinggal?”.
Ki Purbarumeksa yang sedang berusaha menenangkan istrinya, justru menjadi semakin bingung mendapat pertanyaan yang bertubi-tubi datangnya. Tapi sebagai seorang yang sudah berumur, maka hatinya tidak mudah pepat jika hanya menghadapi persoalan yang demikian.
“Bukankah kau tahu sendiri Nyi? aku sudah berusaha, tapi sampai sekarang kita masih belum dapat keterangan yang jelas tentang anakmu itu”.
“Sebaiknya kakang coba dengan cara lain lagi, mungkin saja dia sampai sekarang tidak pulang karena di suatu tempat telah bertemu dengan orang-orang garang yang kemudian memperalatnya dan memaksanya untuk dijadikan anak buahnya, jika tidak mau maka dia akan mendapat siksaan dari orang-orang itu. Sehingga mau tidak mau dia menurutinya juga”.
“Kau jangan berpikir terlalu ngayawara Nyi, sebaiknya kita sama-sama nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar anak itu tetap dalam keadaan baik-baik saja”.
“Aku tidak bicara ngayawara, tapi itu suatu kemungkinan yang dapat terjadi pada Teja Prabawa. Bukankah kakang tahu sendiri anak itu seperti apa?”.
Ki Purbarumeksa hanya dapat menarik nafas dalam.
“Berbeda sekali dengan Rara Wulan, meskipun anak itu adalah seorang perempuan tapi selain anak itu memang memiliki watak yang pemberani, kini dia telah memiliki bekal kawruh kanuragan yang tinggi pula. Sehingga aku tidak perlu mencemaskannya lagi anak itu”. ucap Nyi Purbarumeksa sembari masih menangis terisak.
Ki Purbarumeksa sendiri tampak kebingungan harus menjawab apa, karena jika dirinya salah menjawab sedikit saja, maka akan semakin panjang lagi kata-kata istrinya yang harus dia dengar, bahkan bisa saja tidak akan selesai-selesai.
“Sudah sekian lama kakang mencarinya, tapi belum juga dapat menemukannya. Apakah dia…”.
Kata-kata dari Nyi Purbarumeksa seketika terputus dan tidak dilanjutkannya lagi, sebab dia merasa mulutnya tiba-tiba terasa kelu. Justru isak tangisnya lah yang terdengar semakin keras.
“Sudahlah Nyi, sebaiknya untuk sementara kita lupakan dulu anak itu. Bukankah keadaan Ayah sekarang lebih membutuhkan perhatian kita?”.
Mendengar ucapan suaminya itu isak tangis Nyi Purbarumeksa secara perlahan mulai mereda, bahkan kedua tangannya kini telah digunakan untuk menarik kain panjangnya guna menghapus air mata yang membasahi pipi.
“Gara-gara anak itu aku sampai melupakan Ayah yang sedang dalam keadaan sakit”.
“Aku dapat mengerti perasaanmu Nyi, tapi jangan sampai gejolak perasaanmu itu menguasai penalaranmu yang bening sehingga melupakan keadaan yang sedang terjadi”.
“Kakang benar, aku memang terlalu terhanyut dalam perasaan hingga membuatku kehilangan pengamatan diri dan melupakan sejenak keadaan sekitar, yang justru harus mendapatkan penanganan segera”.
“Sudahlah Nyi, lupakan saja. Sebaiknya kita lakukan apa yang seharusnya dapat kita lakukan sekarang tanpa melihat hal-hal yang lain dulu. Dan sekarang Ayah lah yang perlu mendapat perhatian kita sepenuhnya”.
“Baik kakang”.
“Sebaiknya kau kawani Tabib yang merawat Ayah, sementara biarlah aku yang disini menunggu kedatangan Rara Wulan”.
“Tapi bagaimana jika anak itu tidak datang hari ini?”.
“Menurut perhitunganku, jika dia tidak ada kendala tentu Rara Wulan akan datang hari ini. Atau mungkin utusan yang aku kirim kemarin lah yang mendapatkan gangguan dalam perjalanan sehingga tidak dapat menyampaikan pesanku kepada kepada anak itu di Tanah Perdikan Menoreh”.
“Sebaiknya kakang kirim utusan lagi saja untuk menyusul, karena sangat mungkin sekali utusan kemarin belum sampai ke Tanah Perdikan Menoreh karena mendapat gangguan di perjalanan”.
“Memang semua itu sangat mungkin dapat terjadi”.
“Kalau begitu sebaiknya kakang segera kirimkan utusan susulan untuk menyusul utusan kemarin”.
“Baiklah, akan aku pikirkan dulu itu”.
“Apalagi yang mau kakang pikirkan? bukankah sudah tidak ada lagi yang perlu dipikirkan?”.
Ki Purbarumeksa terdiam sejenak, untuk mempertimbangkan gagasan istrinya. Namun belum sempat dirinya mendapatkan keputusan yang dianggap paling tepat, istrinya lebih dulu membuyarkan penalarannya.
“Apalagi yang kakang tunggu? apakah kakang tega melihat Ayah dalam keadaan yang demikian, disuruh bersabar lagi hanya untuk dapat bertemu dengan cucu dan buyutnya?
“Em… baiklah. Aku akan siapkan utusan susulan”. sahut ayah Nyi Rara Wulan yang pada akhirnya tidak dapat mengelak lagi desakan istrinya tersebut.
“Lagipula aku pun sudah sangat rindu cucuku pula, sudah sebesar apa ya kira-kira dia sekarang?”.
“Kau jangan maunya menang sendiri, Nyi. Memangnya hanya kau saja yang merindukannya? aku pun merindukannya pula”. sahut Ki Purbarumeksa lalu tertawa.
“Jika kakang merindukannya pula, lalu kenapa kakang tidak mau segera mengirimkan utusan susulan? dan mengapa kakang masih perlu memikirkannya lagi?”. pertanyaan Nyi Purbarumeksa datang bertubi-tubi sembari mencubit lambung kiri suaminya tersebut.
Ki Purbarumeksa yang tidak pernah menduga sebelumnya akan mendapat cubitan itu menjadi sangat terkejut, namun kali ini dirinya sudah terlambat jika ingin melarikan diri.
“Ampun Nyi..ampun…”.
“Apakah kakang masih akan berpikir lagi untuk mengirimkan utusan susulan?”.
“Baik Nyi.. baik, aku akan segera mengirimkan utusan susulan ke Tanah Perdikan Menoreh”.
“Lalu apa lagi yang kakang tunggu?”.
“Bagaimana aku akan pergi jika cubitanmu masih menahanku?”.
Nyi Purbarumeksa yang menyadari bahwa masih menahan cubitannya pada tubuh suaminya segera melepaskannya, sembari membelalakkan matanya dia memandangi suaminya.
Sementara Ki Purbarumeksa yang tidak ingin mendapat ganjaran berupa cubitan yang kedua kalinya segera bergegas keluar rumah, untuk memanggil orang-orang yang ditugaskan menjaga rumahnya.
Sejenak kemudian salah satu dari mereka segera menghampiri dengan langkah sedikit tergopoh-gopoh, setelah mendapat isyarat untuk menghadap.
“Apakah utusan kemarin yang aku kirim ke Tanah Perdikan Menoreh belum kembali?”. bertanya Ki Purbarumeksa setelah mereka telah berhadapan.
“Belum Ki”.
“Jika demikian kalian siapkan dua orang lagi untuk menyusulnya. Aku khawatir telah terjadi sesuatu terhadap mereka karena hingga kini belum kembali juga”.
“Maaf Ki, apakah kami akan diperintahkan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh sekarang juga?”.
“Benar, kalian aku perintahkan berangkat sekarang juga”.
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
ok
BalasHapus