Di waktu pagi-pagi sekali menjelang matahari terbit, di sebuah tempat yang masih gelap dan dingin sembari masih berselimutkan kabut yang membawa titik-titik embun pagi.
Namun sekumpulan hewan pagi telah mengeluarkan suaranya masing-masing dengan nyaringnya dalam menyambut hari baru yang akan segera hadir di hadapan mereka.
Di sebuah padukuhan yang agak jauh dari padukuhan yang lain dari padukuhan kebanyakan di lereng Gunung Tidar, tampak sebuah rumah yang jauh para tetangganya.
Terdapat seseorang yang bertubuh sangat gemuk sedang duduk di kursi kayu kesayangannya dengan mata terpejam, sedang melantunkan tembang-tembang mocopat dengan suara yang tidak begitu keras sembari dikawani minuman hangat yang baru saja dibuatnya sendiri.
Meskipun orang tersebut sedang terlena dalam alunan tembang mocopat yang dilantunkan sendiri, namun dirinya tidak pernah kehilangan kewaspadaan pada lingkungan sekitarnya.
Dalam keremangan pagi menjelang matahari terbit, tiba-tiba ada sesuatu yang kurang mapan terdapat di depan rumahnya. Namun sebagai seorang yang waskitha dirinya tidak menjadi terkejut dengan apa yang terjadi.
Orang tua yang sangat gemuk itu sengaja membiarkan apa yang terjadi di luar rumahnya sembari tetap melantunkan tembang mocopat yang menjadi kegemarannya.
Sebenarnyalah orang tua tersebut telah menyadari akan kedatangan seseorang di depan rumahnya. Dirinya sengaja berbuat demikian agar tidak mengejutkan orang yang baru saja datang, yang sepertinya memang sengaja datang untuk mencarinya.
Tidak lama kemudian terdengarlah pintu rumahnya telah diketuk tiga kali oleh seseorang yang baru saja datang, lalu memanggil namanya dengan suara yang tidak begitu kencang.
“Kula nuwun, Kyai Pujangkara. Aku Mayangkara yang datang pagi-pagi begini”.
Kyai Pujangkara pun segera beranjak dari tempat duduknya dan kemudian bergegas untuk membukakan pintu bagi tamunya yang baru saja datang tersebut.
“Mangga…” sahut Kyai Pujangkara sembari membukakan pintu yang diselarak dari dalam.
“Maafkan aku, Kyai. Jika aku sangat deksura karena pagi-pagi buta begini aku telah mengganggu waktu istirahatmu”. berkata Begawan Mayangkara setelah pintu terbuka.
Orang yang sangat gemuk tersebut justru menjadi tertawa mendengar ucapan tamunya.
“Jika menilik dari waktu kau datang, pasti ada sebuah keperluan yang sangat mendesak. Sehingga kau tidak dapat sedikit menahan diri untuk menunggu waktu lebih lama lagi”. sahut Kyai Pujangkara yang memiliki panggrahita yang sangat tajam.
“Demikianlah, Kyai. Maka dari itu aku minta maaf jika dianggap sebagai tamu yang sangat deksura”.
“Aku sudah terbiasa menyambut tamu yang datang pada waktu yang tidak sewajarnya. Silahkan masuk, Senggana”. sahut Kyai Pujangkara setelah tertawanya reda.
“Terima kasih, Kyai”.
Kemudian kedua orang tersebut masuk dan duduk di ruangan yang masih diterangi dengan lampu sentir yang sudah hampir kehabisan minyak, sehingga nyalanya pun sudah mulai meredup dalam hembusan angin yang begitu lembut.
Tapi keadaan itu tidak menjadi soal bagi dua orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan tersebut, karena gelap yang bagaimanapun tidak menghalangi pandangan mata mereka.
Tampak wajah Begawan Mayangkara dalam ketegangan dan kegelisahan yang sangat karena beban yang harus dibawanya hingga ke lereng Gunung Tidar.
“Sepertinya keperluanmu kali ini sangat penting dan mendesak, katakanlah keperluanmu, Senggana. Agar segala beban kegelisahan yang kau bawa itu bisa sedikit berkurang”.
“Pertama-tama aku merasa sangat bersyukur sekali dapat segera bertemu langsung dengan Kyai, karena aku tidak tahu lagi harus berbuat apa jika tidak dapat segera bertemu dengan Kyai”.
“Sedikit banyak aku mulai dapat meraba apa yang menjadi keperluanmu, namun alangkah deksuranya jika aku mendahului ucapanmu, apalagi jika apa yang nanti aku katakan berbeda dengan apa yang akan kau katakan”.
Begawan Mayangkara yang tanggap akan maksud dari Kyai Pujangkara hanya bisa menganggukkan kepalanya mendengar ucapan orang yang duduk di hadapannya tersebut.
“Jadi begini, Kyai. Beberapa saat yang lalu aku telah dimintai pertolongan oleh Anjani dan Ki Agung Sedayu untuk membantu mengobati Ki Lurah Glagah Putih yang sedang terluka parah setelah berperang tanding melawan Ki Patih Rangga Permana dari Kadipaten Wirasaba. Namun setelah aku mencoba membantu dengan segenap kemampuanku, dengan sangat terpaksa aku tidak mampu memenuhi permintaan itu, Kyai”.
“Apakah sedemikian parahnya luka Ki Lurah Glagah Putih? sehingga seorang yang sudah kawentar kemampuannya dalam kawruh pengobatan sepertimu dapat menyerah?”.
“Lukanya cukup parah, Kyai. Bahkan karena saking parahnya, hingga membuat sukmanya oncat dari tubuhnya. Aku sudah mencoba mengerahkan segala kemampuanku untuk membantu, namun ternyata tetap saja aku tidak dapat ngrampungi gawe. Selain itu, menurut penalaranku. Jika kita belum dapat mengembalikan sukma Ki Lurah Glagah Putih sebelum matahari terbit, maka kemungkinan untuk kesembuhannya akan semakin kecil”.
“Begitu rupanya, padahal waktu matahari terbit tidak akan lama lagi, Senggana.”. sahut Kyai Pujangkara sembari mengerutkan keningnya.
“Benar Kyai. Dalam keputusasaanku setelah tidak dapat membantu lebih jauh lagi, aku kemudian ingat akan nama Kyai. Sehingga dengan segera aku datang kemari untuk meminta pertolongan Kyai. Dan semoga aku masih memiliki pengharapan atas kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih”.
Kali ini Kyai Pujangkara hanya dapat terdiam sembari masih tetap mengerutkan keningnya setelah mendengarkan keterangan Begawan Mayangkara. Dia mulai dapat mereka-reka pertolongan apa yang diminta oleh tamunya tersebut.
“Apakah dengan demikian kau meminta pertolonganku untuk mengejar sukma Ki Lurah Glagah Putih yang telah oncat dari tubuhnya, lalu mengembalikannya ke tempatnya?”.
“Benar Kyai”.
“Ketahuilah olehmu Senggana, bahwa semua titah yang ada di alam padang ini pasti memiliki keterbatasan, termasuk aku sendiri. Jadi jangan kau kira bahwa aku yang kau anggap memiliki kelebihan dari orang kebanyakan ini akan dapat dengan mudah melakukan hal tersebut. Aku dapat berbuat apa saja dengan segala kemampuan yang aku miliki ini adalah semata-mata karena atas seizin Yang Maha Welas Asih, karena jika tanpa seizin dari Yang Maha Agung aku tidak ubahnya seperti tunggak kepanjingan nyawa”.
“Maaf Kyai, aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya bisa meminta pertolongan kepada Kyai sebagai lantaran kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih atas seizin Yang Maha Welas Asih”.
“Senggana… sebagai sesama ciptaan Yang Maha Agung, sudah menjadi kewajibanku untuk membantu yang sedang membutuhkan pertolongan. Dan aku sama sekali tidak merasa keberatan untuk membantu, namun yang jelas aku hanya dapat nenuwun kepada yang Maha Welas Asih”.
“Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih, Kyai”.
“Sebaiknya kita sama-sama nenuwun untuk kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih, semoga yang Maha Welas Asih mengizinkanku untuk membantu kesembuhannya”.
“Baik Kyai. Apakah Kyai memerlukan datang ke Kendalisada dan harus bertemu secara langsung dengan Ki Lurah Glagah Putih untuk membantunya?”.
Sebelum menjawab, tanpa sadar Kyai Pujangkara melihat ke arah luar rumah dari celah-celah rumahnya yang berdinding bambu yang dianyam dengan sedemikian rupa namun sudah banyak terdapat lubang karena rumah yang sudah semakin dimakan umur.
“Kita akan kehabisan waktu jika harus ke Kendalisada lebih dulu, Senggana. Sebab waktu kita sudah semakin sempit, jika aku menilik dari keteranganmu tadi”.
“Demikianlah, Kyai. Lalu bagaimana baiknya menurut, Kyai?”. sahut Begawan Mayangkara penuh tanda tanya.
“Aku akan mencoba membantu Ki Lurah Glagah Putih dari sini”.
“Terserah saja kepada Kyai, aku hanya bisa pasrah bongkokan kepada Kyai dan hanya bisa membantu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih”.
“Tapi karena aku belum pernah bertemu dengannya dan bahkan mengenalnya secara pribadi. aku memerlukan sesuatu”.
“Apakah yang Kyai perlukan itu? semoga aku dapat segera menyediakannya?”. bertanya Begawan Mayangkara sembari mengerutkan keningnya.
“Aku tidak memerlukan uba-rampe, Senggana”.
“Lalu apakah yang Kyai perlukan itu?”. sahut Begawan Mayangkara dengan penuh tanda tanya.
“Aku membutuhkan keterangan tentang keluarganya. Dari ayah, istri, dan anaknya Ki Lurah Glagah Putih. Paling tidak nama mereka, syukur-syukur semua nama yang aku minta dapat terpenuhi sehingga akan mempermudah pekerjaanku nantinya. Tapi jika tidak, paling tidak nama dari salah satunya, karena kita terhalang waktu yang sudah semakin sempit”.
“Nama-nama keluarganya?”.
“Benar Senggana, apakah kau mengetahuinya?”.
Seketika Begawan Mayangkara menjadi terdiam mendengar permintaan Kyai Pujangkara, selama ini dirinya hampir tidak pernah mengenal secara pribadi Ki Lurah Glagah Putih apalagi dengan keluarganya.
Tapi dalam keadaan yang demikian gawat dirinya dituntut harus berusaha mengingat siapa saja nama-nama keluarganya, atau paling tidak salah satu dari mereka.
“Mengapa tadi aku menolak permintaan Anjani yang ingin ikut serta? padahal jika tadi dia atau suaminya ikut, tentu sekarang aku tidak akan menemukan kesulitan apapun”. berkata Begawan Mayangkara dalam hati yang seakan menyesali kesalahanya sendiri.
“Bagaimana Senggana?”. berkata Kyai Pujangkara yang seketika membuyarkan lamunan orang yang sedang duduk di hadapannya.
“Maaf Kyai, aku sedang berusaha mengingatnya. Sebab selama ini aku hampir tidak pernah mengenal secara pribadi dengan Ki Lurah Glagah Putih, apalagi dengan keluarganya”.
Kali ini Kyai Pujangkara lah yang menjadi terdiam, setelah mendengar keterangan tersebut. Sebab dirinya pun akan menemui kesulitan untuk memulai pekerjaannya jika belum mendapatkan keterangan yang dibutuhkannya.
“Aku hanya bisa mengingatkan, Senggana. Bahwa sekarang ini kita sedang dikejar waktu”. berkata Kyai Pujangkara.
“Aku mengerti, Kyai”.
Sejenak kemudian suasana di rumah tersebut menjadi sepi sebab tidak ada yang membuka suara, hanya suara-suara burung pagi yang terdengar di sekitar tempat itu.
“Jika aku tidak salah ingat…”. berkata Begawan Mayangkara tapi terputus oleh keragu-raguannya sendiri.
Secara naluriah, Kyai Pujangkara pun seketika memandangi tamunya dengan kening yang semakin berkerut dan hampir tak berkedip untuk mendengarkan keterangan yang mungkin saja adalah sesuai dengan yang diperlukannya.
“Nama istri Ki Lurah Glagah Putih adalah Nyi Rara Wulan dan anaknya bernama Arya Nakula. Tapi aku tetap tidak dapat mengetahui siapakah nama ayahnya, Kyai”.
“Apakah kau yakin dengan nama yang kau sebutkan itu, Senggana?”. sahut Kyai Pujangkara berusaha meyakinkan.
Seketika raut wajah keraguan muncul pada orang yang bertubuh tinggi besar dan hampir seluruh tubuhnya ditumbuhi dengan bulu rambut yang sangat halus tersebut.
Setelah menajamkan ingatannya dan menimbang kembali, sejenak kemudian sepertinya Begawan Mayangkara bisa membuat penilaian yang lebih mantap.
“Yakin, Kyai”.
“Sebenarnya sayang sekali kau tidak mampu mengingat siapa nama ayah dari Ki Lurah Glagah Putih, karena sebenarnya itu yang lebih memudahkan pekerjaanku, namun sudahlah… meskipun sepertinya aku akan sedikit menemukan kesulitan tapi semoga saja Yang Maha Welas Asih mengizinkan nenuwun kita semua”. sahut Kyai Pujangkara pada akhirnya.
“Maafkan aku yang tidak mampu mengingatnya, Kyai”.
“Sudahlah Senggana, kau tidak perlu menyesalinya, itu bukan salahmu. Tapi itu adalah keterbatasanmu”.
“Terima kasih atas pengertian, Kyai”.
Tapi sebelum Kyai Pujangkara memulai pekerjaannya, tiba-tiba hatinya merasa kurang mapan. Seperti adalah sebuah firasat akan terjadi sesuatu.
“Semoga saja tidak mengganggu pekerjaanku”. membatin Kyai Pujangkara.
Kemudian…
“Senggana, aku akan segera memulai pekerjaanku. Tapi aku minta tolong kepadamu”.
“Sendika dawuh, Kyai. Pertolongan apapun yang Kyai harapkan dariku, akan aku laksanakan dengan sebaik-baiknya”.
“Selama aku berusaha menyelesaikan pekerjaanku, aku minta tolong kepadamu, jagalah tubuhku disini dan jangan sekali-kali kau tinggalkan rumah ini sebelum aku dapat menyelesaikan pekerjaanku ini serta jangan sampai aku mendapat gangguan dalam bentuk apapun. Sebab jika pekerjaanku terganggu, ada dua kemungkinan buruk yang dapat terjadi”.
“Baik Kyai. Tapi jika aku boleh tahu, kemungkinan buruk apa yang dapat terjadi?”.
“Dua kemungkinan buruk itu adalah, pertama aku dapat gagal dalam pekerjaanku, jika aku gagal maka itu sama artinya aku tidak dapat menolong Ki Lurah Glagah Putih. Dan kemungkinan yang kedua adalah keselamatanku yang dipertaruhkan, sebab pekerjaan ini membuatku harus meninggalkan tubuhku, sehingga tubuhku itu akan kosong dalam waktu yang tak dapat ditentukan. Dan tubuh yang dalam keadaan kosong itu akan sangat berbahaya sekali karena hanya bisa diam dan tidak akan dapat berbuat apa-apa jika mendapat gangguan yang bagaimanapun kecilnya bentuknya”.
“Baik Kyai, aku akan berusaha melaksanakan semua pesanmu dengan sebaik-baiknya”. sahut Begawan Mayangkara dengan suara penuh keyakinan.
“Kau dapat melakukan apa saja di rumah ini, bahkan kau aku persilahkan berjalan-jalan di luar rumah, namun yang jelas kau jangan sampai melupakan tugasmu untuk tetap menjaga tubuhku dari segala bentuk gangguan yang mungkin dapat mengganggu pemusatan nalar budiku”.
“Baiklah Kyai, aku mengerti”.
“Tapi karena aku tiba-tiba mendapat firasat akan ada sesuatu bakal terjadi, sebaiknya aku melakukannya di dalam bilik saja dan akan aku selarak dari dalam agar tidak merepotkan pekerjaanmu nantinya. Dan jika nanti terdengar sesuatu dari dalam bilik kau tidak perlu kaget, dan tunggu saja hingga aku keluar sendiri”.
“Baik Kyai”.
“Nanti jika ada orang yang datang mencariku, katakan saja aku sedang pergi dan belum tahu kapan pulangnya. Jika tamu itu bersedia menunggu, kau persilahkan saja masuk. Tapi jika orang itu berusaha memaksa, aku persilahkan purba wasesa di tanganmu”.
“Sendika dawuh, Kyai. Aku akan selalu berusaha mengingatnya dan melaksanakan semua pesan yang Kyai sampaikan itu dengan sebaik-baiknya”.
“Baiklah, sebaiknya aku segera memulainya agar tidak menjadi terlambat. Karena jika aku terlambat, semuanya akan menjadi sebuah kesia-siaan saja. Jika itu terjadi, maka secara tidak langsung aku tidak menghargai permintaan orang yang benar-benar sedang membutuhkan pertolonganku”.
“Silahkan Kyai, aku akan berjaga disini”.
Kemudian Kyai Pujangkara pun segera beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke bilik dengan langkah perlahan sembari kedua tangannya digendong di belakang, dan setelah memasuki bilik pintunya diselarak dari dalam.
***
Sementara itu di sebuah tempat yang keadaan sekitarnya sangat gelap dan seperti tidak berujung, bahkan hampir tidak terlihat apapun juga selain hanya pemandangan yang sangat gelap gulita melebihi pekatnya malam yang paling gelap sekalipun.
Di dalam kegelapan itu terlihat seorang laki-laki dewasa yang sedang terlihat sangat kebingungan. Orang tersebut kebingungan harus berbuat apa dan harus melangkah kemana? karena dalam pandangan matanya hanyalah menangkap kegelapan.
Bahkan yang membuatnya menjadi semakin kebingungan adalah dirinya tidak menjumpai apapun dan siapapun setelah entah berapa lama dirinya berada di tempat tersebut.
Kakinya terus berusaha melangkah setapak demi setapak meskipun dirinya tidak pernah tahu akan pergi kemana, namun dirinya hanya mengikuti kata hati yang selalu menuntunnya.
“Sekarang aku sedang berada dimana? mengapa tempat ini terasa sangat asing bagiku? sepertinya baru kali ini aku berada di tempat yang seperti ini”.
Berbagai pertanyaan muncul dari dalam hati orang tersebut, namun tak pernah mampu dijawabnya sendiri yang membuatnya menjadi semakin kebingungan.
Tiba-tiba entah darimana datangnya, ada sebuah suara mengerang kesakitan dan minta tolong. Bahkan suaranya sungguh menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.
Suara itu semakin lama semakin banyak dan semakin jelas, bahkan semakin terasa semakin dekat dengan tempatnya berdiri. Orang tersebut menjadi semakin kebingungan dan berusaha mencari segala sumber suara yang telah didengarnya.
Dengan berusaha mengetrapkan kemampuan Aji Pangrungu dan Aji Panggrahita orang tersebut berusaha menemukan apa yang dicarinya tersebut.
“Aneh… mengapa aku seperti tidak mampu mengetrapkan kemampuanku?”. membatin orang tersebut.
Dalam keragu-raguannya, dia berusaha mengetrapkannya kembali. Namun sepertinya hanya sebuah usaha yang sia-sia, karena ternyata sama saja hasilnya.
Tapi kenyataan tersebut justru membuatnya menjadi semakin penasaran, kemudian orang tersebut berusaha mengetrapkan ilmu-ilmu yang lain yang pernah dikuasainya. Mulai dari tataran yang menengah hingga ke tataran puncak.
Kenyataan itu membuatnya menjadi semakin kebingungan dan tidak habis mengerti, mengapa bisa terjadi demikian. Padahal menurutnya dia sudah berusaha mengetrapkan segala ilmu yang telah dikuasainya tersebut dengan benar.
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku?”. pertanyaan demi pertanyaan datang silih berganti di dalam benaknya, namun tetap saja tidak mampu dijawabnya sendiri.
Sementara orang tersebut masih dalam kebingungan yang sangat, di sekitar tempatnya berdiri semakin terdengar suara-suara aneh, mengerikan, dan bahkan sangat menyayat hati bagi siapapun yang dapat mendengarnya, namun semua itu tidak pernah terlihat wujudnya siapakah gerangan mereka.
Sumber suara-suara tersebut datang dari berbagai penjuru, tidak hanya dari arah timur, utara, barat, dan selatan saja. Namun seakan suara itu dari atas, bawah dan sekelilingnya pula seperti berterbangan kesana kemari tanpa terhalang oleh apapun yang menambah suasana kengerian tersebut.
“Hei… siapakah kalian? aku tidak pernah berniat mengganggu kalian, apalagi berniat buruk kepada kalian”.
Setelah orang tersebut berkata demikian, justru gangguan suara yang berada di sekitarnya semakin riuh dan banyak, bahkan seakan sangat dekat dengan kedua telinganya. Namun tetap saja semua itu tidak pernah terlihat wujudnya.
Dalam suasana yang semakin kebingungan, orang tersebut menjadi semakin terkejut ketika ada sebuah kekuatan yang tak kasat mata telah mendorong tubuhnya dan tak mampu untuk dilawannya, meskipun dirinya sudah berusaha dengan sekuat tenaga.
Tubuh orang tersebut dibawa oleh kekuatan yang tak kasat mata ke sebuah tempat, meskipun di tempat itu hampir terlihat sama saja karena hampir semuanya yang terlihat hanyalah kegelapan.
“Aku akan dibawa kemana?”. teriak orang tersebut dengan sekuat tenaga dan berusaha melawan semampunya.
Namun segala usaha yang dilakukannya hanyalah sia-sia, sebab tubuhnya tetap dibawa ke suatu tempat oleh kekuatan yang tak kasat mata tersebut tanpa memperdulikan teriakan dan perlawanannya sama sekali.
Segala kemampuan kanuragan yang selama ini telah dipelajari dan dikuasainya hingga tataran yang sangat tinggi pun seakan hilang tak berbekas, kini dirinya tidak ubahnya seperti orang biasa yang tidak pernah mengenal dunia kanuragan sama sekali.
Bahkan untuk menjaga dirinya sendiri pun tidak dapat dilakukannya sendiri, kecuali hanya bisa memberikan perlawanan semampunya yang tak begitu berarti.
Setelah beberapa lama tubuh itu dalam pengaruh yang tak kasat mata, lalu tiba-tiba cengkeraman itu begitu saja dilepaskan. Sehingga orang tersebut seperti sedang dilepaskan dari tempat yang sangat tinggi dan dibiarkan saja terjatuh.
Tubuh itu jatuh tersungkur entah dengan kakinya berpijak pada apa? sebab kakinya terasa menginjak sebuah benda yang tidak keras, namun tidak lunak pula.
Dengan memusatkan panggrahita dan berusaha mengingat apa saja yang telah terjadi, orang tersebut mulai mencoba menduga-duga apa yang sebenarnya sedang terjadi dan dimanakah dirinya sedang berada kini. Sebab sebisa mungkin dirinya harus segera memecahkan teka-teki tersebut.
“Kau tidak perlu menduga-duga sedang berada dimana dan apa yang sedang terjadi dengan dirimu, Glagah Putih”.
Bagaikan disengat ribuan lebah, orang tersebut menjadi sangat terkejut, dirinya tidak pernah menduga bahwa ada orang yang mengenalinya di tempat tersebut.
Ki Lurah Glagah Putih yang hatinya masih diselubungi kebingungan yang sangat, nampak menjadi semakin kebingungan mencari sumber suara yang datang entah dari mana orang yang telah menyebut namanya
“Maaf Ki Sanak, kau siapa? kau mengenal siapa diriku, apakah kita telah saling mengenal sebelumnya?”. bertanya ayah Arya Nakula dengan suara lantang.
“Kau tidak perlu menjadi heran dengan segala yang kau alami ini Glagah Putih, dan kau tidak perlu merasa heran pula mengapa aku bisa mengenali dirimu”.
“Atau kau hanya menakut-nakuti aku dengan membuat segala pengeram-eram kepadaku, dengan harapan agar aku nantinya akan menuruti segala perintahmu. Jika kau memang jantan, tunjukkanlah wujud aslimu di hadapanku sekarang”.
Baru saja mulut Ki Lurah Glagah Putih terkatup, terdengar suara tawa yang begitu membahana di sekitar tempat itu, bahkan suara tawa itu membawa petaka bagi yang mendengarnya.
Tiba-tiba tubuh ayah Arya Nakula tersebut menjadi sangat kesakitan hingga tidak mampu tetap berdiri tegak, karena seakan seluruh tubuhnya ditusuki duri kemarung yang sangat tajam hingga menembus tulang, bahkan yang terasa paling menyakitkan adalah di bagian tulang kepala.
Seketika tubuh itu menjadi roboh di tempat yang masih dalam keadaan penuh kegelapan, dan karena saking tidak kuatnya menahan sakit yang sangat Ki Lurah Glagah Putih berguling kesana kemari sembari kedua tangannya memegangi kepala.
Setelah beberapa lama kejadian itu berlangsung, akhirnya suara yang membahana itu berhenti, dengan demikian mulai berkurang bahkan mulai hilanglah rasa sakit itu.
Akibat dari kejadian itu, kini keadaan tubuh Ki Lurah Glagah Putih menjadi sangat lemas dengan tubuh menelungkup dan bahkan terlihat lemah untuk bergerak.
“Siapakah kau sebenarnya?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih dengan suara lemahnya.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, yang jelas sekarang kau telah dalam kekuasaanku”.
“Baru kali ini kita bertemu, aku belum mengenalmu tapi sepertinya kau telah mengenalku meskipun baru sebatas namaku”.
“Kita memang baru kali ini bertemu. Tapi ketahuilah, bahwa aku telah mengenalmu melebihi kau mengenal dirimu sendiri”.
“Benarkah?”.
“Kau meragukan ucapanku? apa perlu aku katakan agar kau menjadi percaya? meskipun sebenarnya tidak perlu bagiku semua itu”. sahut suara yang tak kasat mata tersebut.
“Cobalah kau katakan jika memang benar apa yang kau katakan, dengan demikian aku dapat membuat kesimpulan yang benar atas dirimu”.
“Kau adalah anak yang dilahirkan di Banyu Asri, daerah kecil yang tidak jauh dari daerah Jati Anom dari ayahmu yang bernama Ki Widura, seorang bekas prajurit Pajang. Kemudian mulai menginjak masa remajamu, kau mulai tertarik dengan kawruh kanuragan karena melihat kemampuan kakak sepupunya disertai kau sendiri mengalami kejadian pahit yang hampir merenggut nyawamu, sehingga hal itu semakin membuatmu bertekad untuk belajar kawruh kanuragan setinggi-tinggi secepat mungkin”.
“He…”. terdengar suara dari mulut Ki Lurah Glagah Putih yang terpekik karena terkejut dan saking tidak percayanya dengan apa yang telah didengarnya sendiri.
“Kau telah ngangsu kawruh dari beberapa jalur perguruan dan dari beberapa guru, tai selain itu kau mendapat kanugrahan pula dengan menerima limpahan ilmu dari Ki Ageng Puspa Kajang setelah kau mengalahkannya bersama istrimu. Selain itu kau mendapatkan kepercayaan pula dari Kyai Namaskara untuk nyecep ilmunya secara misterius setelah sekian lama dia menunggu seseorang yang dianggap pantas”.
“Ternyata kau benar-benar mengenalku, meskipun aku belum pernah mengenalmu. Siapakah sebenarnya kau Ki Sanak? apa keperluanmu datang menemuiku? dan dimanakah aku sekarang berada? karena aku masih merasa sangat asing dengan tempat ini”.
“Aku adalah Danyang tempat ini, dan siapapun yang memasuki tempat ini pasti akan berhadapan denganku dan harus menjalani pendadaran, jika gagal maka akan mengalami nasib yang sangat buruk, bahkan lebih buruk dari yang pernah terbayangkan”.
“Tempat apakah ini? kenapa aku hanya dapat melihat kegelapan di sekitarku? dan mengapa aku tidak menjumpai orang lain selain diriku? dan mengapa aku harus menjalani pendadaran darimu?”.
“Aku sengaja membuat tempat ini dipenuhi dengan kegelapan dan meredam segala suara yang ditimbulkan, karena jika aku buka semua itu maka aku dapat pastikan kau akan sangat terkejut dan menjadi ketakutan dengan penuh kengerian pada keadaan yang ada di sekitarmu”.
“Kau belum menjawab, mengapa aku harus melaksanakan pendadaran darimu?”.
“Karena kau telah memasuki tempat kekuasaanku, sehingga kau tidak mempunyai pilihan”.
“Jika aku menolak?”.
“Justru aku senang jika kau menolak, dengan demikian kau membantu mempercepat pekerjaanku”.
“Jika demikian aku menolak, agar pekerjaanmu menjadi cepat selesai. Maka sekarang segeralah tinggalkan aku sendiri di tempat ini agar aku tenang”.
“Apakah kau yakin menolak pendadaran dariku? apakah kau sudah pikirkan pula akibat dari penolakan itu?”.
“Bukankah tadi kau berkata jika aku menolak, justru membuat pekerjaanmu cepat selesai”.
“Apakah sudah kau pikirkan pula apa yang bakal terjadi setelah penolakanmu itu?”.
“Bukankah setelah pekerjaanmu selesai maka kau akan pergi meninggalkanku sendiri disini?”.
“Hahaha… kau memang tidak tahu apapun tentangku dan tentang tempat ini”.
Ki Lurah Glagah Putih yang sudah berdiri tegak, mendapat jawaban tersebut pun menjadi kebingungan, tapi memang harus diakui bahwa dirinya memang belum dapat memecahkan segala teka-teki yang sedang dihadapinya.
“Jika jawabanku salah, coba tolong jelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi kepadaku dan apa yang harus aku lakukan? dan apa pula akibatnya jika aku menolak perintahmu?”.
“Ketahuilah Glagah Putih, bahwa kau sedang berada di Alam Gung Liwang-Liwung pada tataran paling rendah, dan yang sedang berada di tempat ini hanyalah badan halusmu, sedangkan badan kasarmu berada di tempat lain”.
“He…”.
Bagaikan disengat ribuan lebah, menantu Ki Purbarumeksa itu benar-benar terkejut. Secara naluriah dirinya pun segera memeriksa tubuhnya dengan merabanya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Dalam beberapa saat dirinya pun sibuk memeriksa tubuhnya untuk memastikan ucapan dari suara misterius tersebut, untuk benar-benar meyakinkan dirinya sendiri.
“Apakah kau masih meragukannya, Glagah Putih?”.
“Aku tidak dapat ingkar dengan ucapanmu, namun aku belum benar-benar yakin dengan apa yang terjadi”.
“Aku sudah menduganya”.
“Apakah kau dapat lebih meyakinkanku dengan apa yang sedang terjadi kepadaku?”.
“Kau pasti masih ingat bahwa beberapa saat yang lalu kau mencoba mengetrapkan segala kemampuan kanuraganmu, namun tidak pernah berhasil. Ketahuilah Glagah Putih, bahwa segala kemampuan yang pernah kau pelajari di alam padang tidak pernah ada gunanya di tempat ini meskipun kau sudah sundul langit sekalipun”.
“Kau benar, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?”.
“Kau harus memilih! melaksanakan pendadaran dariku atau kau langsung menyerah dan aku jebloskan ke tempat kau berpijak? meskipun jika nanti kau sudah melaksanakan pendadaran dariku, tidak dapat menjamin nasibmu, karena jika gagal pun akan tetap sama saja nasibmu akan aku lempar kesana. Tapi jika kau mau melaksanakan pendadaran, masih ada kemungkinan kau mampu melewatinya maka kau akan terhindar dari nasib yang paling buruk dan mengerikan”.
“Di bawah tempatku berpijak?”.
“Benar, kau tidak salah dengar”.
“Tempat apakah di bawah tempatku berpijak?”.
“Agar kau tidak penasaran, aku akan membuka tabir pembatas yang menghalanginya agar kau dapat melihatnya dan membuatmu menjadi bersemangat untuk memilih mengikuti pendadaran”.
Sejenak kemudian kegelapan yang sangat pekat tempat dimana kaki Ki Lurah Glagah Putih berpijak secara perlahan mulai memudar dan berangsur-angsur ada cahaya meskipun dalam tataran remang-remang.
Sembari menunggu, dengan mata hampir tanpa berkedip Ki Lurah Glagah Putih memperhatikan tempat di bawahnya, dia ingin benar-benar memastikan bahwa apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri itu benar adanya.
Dengan penuh berdebar-debar menunggu apa yang akan dilihat sembari mencoba menduga-duga dengan penalarannya sendiri sejauh kemampuannya.
Semakin lama, di bawah kakinya mulai terlihat terang meskipun bukan pemandangan terang benderang seperti di siang hari, karena lebih mirip dengan suasana pagi hari menjelang matahari terbit atau pada saat matahari terbenam.
Maka mulai terlihatlah apa yang ada di bawah sana meskipun dalam cahaya keremangan, Ki Lurah Glagah Putih pun tanpa sadar tubuhnya terlonjak karena saking tidak percayanya.
Pemandangan yang tidak pernah dilihatnya selama ini, kini terlihat sangat jelas baginya. Seketika penalaran dan hatinya tidak mampu bekerja sebagaimana mestinya, sehingga membuatnya tidak mampu lagi untuk berkata sepatah kata pun.
Bulu kuduk ayah Arya Nakula pun langsung bergidik melihat pemandangan yang sangat mengerikan di bawah sana, jika manusia kebanyakan pun bisa menjadi pingsan melihat semua itu.
Di bawah kaki Ki Lurah Glagah Putih terlihatlah pemandangan sekumpulan manusia aneh karena keadaannya masing-masing yang beraneka ragam.
Dari keadaan manusia yang lidahnya panjang hingga melebihi kakinya sembari selalu mengeluarkan darah, lalu manusia yang terus berusaha memasang tangan kakinya pada tempatnya tapi tidak pernah berhasil, ada pula kelompok manusia yang lain sedang mendapatkan siksaan secara terus menerus, ada yang dipukul kepalanya dengan gadha berduri oleh mahkluk yang serba hitam hingga kepalanya menggelinding, tapi sesaat kemudian pulih kembali lalu dipukul lagi, kejadian tersebut berulang terus menerus.
Dan masih banyak lagi keadaan yang mengerikan yang sedang terjadi di tempat itu, dan semua itu terjadi berulang terus menerus entah sampai kapan.
“Siapakah mereka semua? mengapa mereka semua mengalami keadaan demikian? dan apakah tidak ada penyelesaian yang lebih manusiawi?”. membatin Ki Lurah Glagah Putih dengan perasaan penuh kengerian.
“Kau tidak perlu merasa kebingungan Glagah Putih, mereka semua adalah kawan-kawanmu yang semasa hidupnya telah membuat kesalahan, bahkan menjadi orang yang sangat jahat dan tidak berjantung. Dan kini mereka sedang memanen hasil dari perbuatan mereka sendiri”.
“Ternyata dia dapat membaca isi hatiku”. membatinnya lagi.
“Kau tidak perlu merasa heran jika aku dapat mengetahui segala apa yang ada di hati dan kepalamu, karena kini kau telah berada di tempat kekuasaanku”.
Sejenak kemudian kepala anak Ki Widura tersebut hanya bisa tertunduk lesu setelah menyadari keadaan yang sedang dihadapinya, dan kini dirinya hanya bisa pasrah dengan keadaan. Sementara di bawah kakinya sudah mulai berselimutkan kegelapan kembali.
“Kau memang harus menghadapi semua ini sendiri Glagah Putih, karena tidak akan ada orang yang akan mampu menolongmu, termasuk kakak sepupu yang sekaligus gurumu itu”.
Kini Ki Lurah Glagah Putih hanya bisa pasrah menerima keadaan dan tidak henti-hentinya untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih jalan terbaik baginya.
“Memang jauh lebih baik kau selalu mengingat Yang Maha Agung, karena Dia-lah Maha Pengampun dan Maha penolong bagi seluruh ciptaannya di seluruh jagad raya ini”. berkata suara yang masih tak kasat mata tersebut.
“Baiklah”. ucap Ki Lurah Glagah Putih pada akhirnya. Lanjutnya, “lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?”.
“Jika kau ingin terbebas dari alam penyiksaan seperti yang baru saja kau lihat di bawah kakimu itu, kau harus dapat menjawab pertanyaan dariku yang berjumlah tiga”.
“Aku sudah pasrah, katakan saja pertanyaanmu”.
“Sebelum aku menyebutkan pertanyaan itu, aku peringatkan kepadamu bahwa hati-hatilah dalam menjawab, sebab ini akan sangat menentukan nasibmu nantinya. Jangan sampai kau menyesal karena kesalahanmu sendiri”.
“Aku mengerti, aku akan berusaha sejauh kemampuanku. Untuk benar dan salahnya aku sudah pasrahkan segalanya kepada Yang Maha Welas Asih”.
“Aku peringatkan sekali lagi, bahwa jika kau sekali masuk ke alam penyiksaan itu, maka kau tidak akan pernah dapat keluar lagi, karena itu adalah alam tak berujung”.
“Jika Yang Maha Welas Asih memang berkehendak demikian, maka aku hanya bisa pasrah. Karena aku sadar bahwa aku hanya bisa berusaha sejauh kemampuanku dan tidak akan mungkin dapat menolak segala kuasa-Nya”.
“Mengapa kau tiba-tiba menjadi orang yang berputus asa? bukankah aku belum menyebutkan pertanyaannya?”.
“Bukankah sudah tidak ada kemungkinan lain, jawaban dari pertanyaanmu itu adalah hanya benar atau salah, sehingga aku sudah berusaha mempersiapkan diri untuk dua kemungkinan itu”.
“Kau benar, tapi sepertinya sudah merasa kalah sebelum bertanding, dan kau seakan sudah memiliki pengharapan akan nasibmu agar terbebas dari nasib yang paling buruk”.
“Sudahlah… kau tidak perlu bicara panjang lebar lagi, aku sudah siap menghadapi ujian darimu”.
“Baiklah, tapi sebelumnya aku beritahukan kepadamu bahwa kau mendapat kesempatan tiga kali untuk menjawab. Jika dalam ketiga kesempatan itu jawabanmu salah semua, maka terimalah nasibmu yang paling buruk”.
“Baiklah, aku mengerti”.
“Pertanyaannya adalah… pertama, untuk apa kau dilahirkan? kedua, apa tujuan hidupmu? dan yang ketiga atau yang terakhir adalah, apa yang terjadi setelah kau mati?”.
Seketika Ki Lurah menjadi terdiam mendengar pertanyaan tersebut, karena biar bagaimanapun dirinya harus berhati-hati dalam memberikan jawaban. Karena jawaban itu akan sangat menentukan nasibnya, Meskipun dirinya mendapat tiga kali kesempatan, namun bukan berarti itu akan mempermudah.
“Aku tidak dapat menunggu jawabanmu terlalu lama, Glagah Putih. Karena pekerjaanku tidak hanya mengurusi kau saja”. ucap suara misterius itu yang melihat ayah Arya Nakula masih berdiam diri untuk beberapa lama.
***
Sementara itu pembicaraan di Tanah Perdikan Menoreh yang masih berlangsung, menyisakan Ki Agung Sedayu yang akan mengutarakan maksudnya yang mengganggu hatinya.
“Sebelumnya aku minta maaf kepada semuanya, jika nanti apa yang akan aku sampaikan tidak berkenan di hati kalian semua”.
“Katakan saja Ki Agung Sedayu! mungkin saja tenaga atau pikiranku dapat membantu jika memang tenaga yang sudah tua ini masih dibutuhkan”. sahut Ki Gede Menoreh yang tanggap.
“Ah… aku tidak akan minta tolong Ki Gede, hanya ada sesuatu yang ingin aku sampaikan saja”.
“Baiklah Agung Sedayu, katakanlah!”. sahut kakaknya.
“Jadi begini, aku minta maaf jika tidak ikut dalam rombongan, karena aku ada sedikit keperluan lebih dahulu. Tapi setelah keperluanku selesai, aku akan segera menyusul kalian ke Mataram”.
“Oh… aku kira sesuatu yang sangat penting? tadi aku sudah sempat tegang menunggu keterangan dari Ki Agung Sedayu”. sahut Ki Gede Matesih lalu tertawa.
“Ah… Ki Gede Matesih suka berkelakar rupanya”. sahut ayah Bagus Sadewa dengan wajah yang sempat memerah.
Ki Gede Matesih dan yang lain, yang mendengarnya hanya bisa tersenyum dan tertawa mendengar ucapan keduanya.
“Baiklah Agung Sedayu, aku kira tidak masalah”.
“Tapi ada satu lagi, kakang”.
“Apakah itu?”.
“Aku minta Pandan Wangi dan Sekar Mirah untuk mengawaniku, kakang. Nanti setelah keperluanku selesai maka kami bertiga akan segera menyusul, dan kita akan bertemu di Mataram”.
Nyi Sekar Mirah yang namanya disebut untuk mengawani menjadi merasa heran dengan maksud suaminya tersebut, karena sebelumnya belum pernah ada pembicaraan tentang hal itu. Ada keperluan apakah sebenarnya?
Sementara itu ibu Bagus Sadewa sempat melirik ke arah Nyi Pandan Wangi yang tampak tenang dan datar saja mendengar keterangan dari suaminya tersebut.
“Apakah kakang Agung Sedayu dan mbokayu Pandan Wangi telah menyembunyikan sesuatu dariku?”. membatin Nyi Sekar Mirah setelah melihat gelagat keduanya.
Tapi untuk menjaga suasana tetap wajar, Nyi Sekar Mirah tidak berusaha menanyakan hal tersebut di depan banyak orang, dan dia akan menunggu waktu yang tepat setelah semua orang pergi.
Pembicaraan selanjutnya hanya berkisar tentang persiapan terakhir sebelum keberangkatan, yang sepertinya sudah tidak terlalu penting lagi.
Maka setelah segala persiapan sudah dianggap siap, maka mereka semua menggabungkan diri di kelompok masing-masing sesuai dengan perintah Ki Untara. Meskipun pada akhirnya Ki Agung Sedayu dan kedua istrinya tidak akan ikut dalam rombongan, namun mereka semua akan tetap dibagi menjadi tiga kelompok.
Nyi Pandan Wangi yang tidak jadi ikut dalam rombongan kemudian melepas anak laki-lakinya yang sudah akan bersiap menunggangi kudanya. Namun ketika mendekati anak laki-lakinya tersebut, hidung ibu Bayu Swandana sempat mencium bau yang sangat dikenalnya.
“Apakah kau masih sempat-sempatnya membawa prol nangka itu, ngger?”. ucap ibu Sekar Wangi setelah menyadari jika ada sebuah bungkusan yang dikaitkan di pelana kuda.
Sementara orang-orang yang mendengar ucapan Nyi Pandan Wangi itu hanya bisa tersenyum dan tertawa geli mengetahui apa yang terjadi.
“Aku hanya tidak mau di sepanjang perjalananku nanti hanya akan terbayang-bayang prol nangka yang masih hangat mengepul melambai-lambai kepadaku karena aku tinggalkan begitu saja, Ibu”. sahut Bayu Swandana sekenanya.
“Ah… macam kau. Perutmu saja yang kau pikirkan.”.
Nyi Pandan Wangi hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja mengetahui tingkah laku anaknya, sementara yang lain hanya bisa tertawa mendengar pembicaraan antara anak dan ibu tersebut.
Akhirnya Nyi Pandan Wangi, Nyi Sekar Mirah, dan Ki Agung Sedayu melepas anak laki-laki kandung, anak laki-laki sambungnya dan semua tamunya tersebut dengan lambaian tangan dan senyum yang lebar di bibir manisnya di depan pendapa.
Kelompok demi kelompok mulai dengan keberangkatannya secara bergiliran sesuai dengan perintah Ki Untara yang mendapat kepercayaan untuk memimpin seluruh rombongan karena umur dan pengalamannya.
Kaki-kaki kuda mulai berderap meninggalkan rumah Nyi Pandan Wangi dengan meninggalkan debu-debu yang berterbangan di halaman menjelang matahari terbit.
Setelah rombongan hilang di balik tikungan hingga kelompok yang paling terakhir, Nyi Sekar Mirah segera ingat akan ucapan suaminya beberapa saat tadi.
“Sebenarnya kakang ada keperluan apa? sehingga mengajakku dan mbokayu Pandan Wangi?”.
Ki Agung Sedayu yang mendapat pertanyaan tersebut tidak langsung menjawab, namun dia sempat menoleh lebih dulu ke arah ibu Sekar Wangi untuk meminta pendapat.
Namun yang bersangkutan dengan segera menunduk dan seperti sengaja menyerahkan kepada suaminya untuk menjawab, karena menurutnya kurang tepat jika dirinya yang menjelaskan.
“Kau ikut saja Sekar Mirah, nanti kau juga akan tahu sendiri”.
“Ah… kakang masih saja suka bermain teka-teki, dan sepertinya mbokayu Pandan Wangi pun sudah mengetahuinya”. sahut ibu Bagus Sadewa dengan membelalakkan matanya.
Nyi Pandan Wangi yang merasa bersalah, sudah akan membuka mulut untuk menjelaskan agar jangan sampai terjadi kesalahpahaman, tapi telah didahului oleh suaminya yang sepertinya tidak ingin membuang-buang waktu.
“Marilah…! kita sudah tidak memiliki waktu lagi untuk berdebat”. sergah ayah Bagus Sadewa.
Kemudian dengan memberikan isyarat, Ki Agung Sedayu pun segera mengajak kedua istrinya untuk mengikutinya memasuki ruang dalam, dan menuju bilik ibu Bayu Swandana.
“Apakah Sekar Wangi sudah bangun?”. bertanya Nyi Sekar Mirah setelah memasuki bilik dan tidak melihat keberadaan anak sambung perempuannya tersebut.
“Sejak rumah ini kedatangan banyak tamu, Sekar Wangi lebih sering tidur bersama pamomongnya di bilik belakang dari pada tidur bersamaku disini”.
“Oh… aku kira kemana”.
“Kalian bersiaplah! kita tidak dapat berlama-lama lagi disini, karena kita sedang dikejar waktu”. berkata Ki Agung Sedayu setelah menyelarak pintu bilik dari dalam.
“Apa maksud kakang?”. bertanya Nyi Sekar Mirah heran dan semakin tidak mengerti dengan maksud suaminya.
“Kau turuti saja, nanti kau akan tahu sendiri”. sahut Ki Agung Sedayu, dan kemudian segera meraih kedua tangan istrinya.
Nyi Sekar Mirah yang masih kebingungan tidak bertanya lagi, meskipun berbagai dugaan telah mulai terlintas di kepalanya. Kini dia hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan suaminya, dan menunggu apa yang akan ditunjukkan kepadanya.
“Pejamkanlah mata kalian! aku akan memanjatkan doa kepada Yang Maha Agung untuk dapat mengantarkan kita ke suatu tempat”. berkata Ki Agung Sedayu memperingatkan.
Dua orang perempuan perkasa yang tidak jadi ikut rombongan yang ke Mataram itu pun masih mengenakan pakaian khususnya secara lengkap dengan membawa senjata andalan di tempatnya masing-masing, hanya dapat mengikuti apa yang diperintahkan suaminya tanpa mempertanyakan lagi, terutama Nyi Pandan Wangi yang sudah mengerti maksud dari semua itu.
Sementara Nyi Sekar Mirah yang menjadi semakin tidak sabar berusaha menahan mulutnya agar tidak bertanya agar dapat segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Pasti kakang Agung Sedayu ingin menunjukkan sesuatu yang masih ada hubungannya denganku, sebab tidak mungkin jika tidak ada hubungannya denganku, aku diajak serta”. membatin Nyi Sekar Mirah ketika baru saja memejamkan matanya.
***
Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan, di suatu tempat yang sangat jauh dari Tanah Perdikan Menoreh. Ada seseorang yang lebih dari paruh baya sedang menikmati wedang jahe hangatnya dan beberapa potong ketela pohon dikukus dengan ditaburi parutan kelapa dengan sedikit garam di pendapa dalam suasana pagi yang masih sangat dingin dan berkabut dengan titik-titik embun.
Dengan dikawani beberapa orang yang sepertinya adalah cantrik-cantriknya, orang tersebut masih sibuk menikmati hidangan yang ada, sementara yang lain belum berani membuka suara lebih dulu untuk memecah kesunyian.
Namun setelah beberapa saat, setelah menikmati hidangan yang disuguhkan, akhirnya keluar juga suara dari orang yang lebih dari paruh baya tersebut.
“Aku rasa sekarang sudah saatnya aku menyampaikan perintah ini kepada kalian, itupun jika kalian sudah siap”.
“Kami selalu siap menerima perintah dari Kyai, kapan pun”. berkata salah satu cantrik yang dianggap sebagai cantrik tertua untuk mewakili kawan-kawannya.
“Baiklah, jika demikian akan aku katakan”.
“Kami semua siap menunggu perintah dari Kyai”.
“Aku perintahkan kalian untuk mencari keterangan secara lengkap siapakah sebenarnya yang telah dapat membunuh Ki Patih Rangga Permana”.
“Baik Kyai. Kami akan berusaha menjalankan perintah dengan sebaik-baiknya”.
“Karena dari keterangan yang aku dapat, dia hanyalah seorang prajurit Mataram yang berpangkat lurah”.
“Lurah prajurit? apakah Kyai tidak salah?”. bertanya cantrik tertua yang menjadi sangat terkejut.
“Kau tidak salah dengar, Wiramba. Dia memang hanya seorang lurah prajurit. Awalnya aku juga tidak percaya jika tidak mendengarnya sendiri, dan justru itu pula yang telah menggelitik jantungku untuk mengetahui lebih jauh. Jika dilihat dari gelar perang tanding, memang tidak ada yang salah, namun jika dilihat dari gelar kepangkatan secara tidak langsung ini adalah sebuah penghinaan yang sangat menyakitkan bagi Wirasaba”.
“Kyai benar, dengan demikian Mataram telah menganggap bahwa kemampuan pepunden Wirasaba itu tidak lebih dari seorang lurah prajurit, seberapapun tinggi kemampuannya”.
“Memang aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri kemampuan lurah prajurit tersebut, dan aku tidak dapat ingkar bahwa kemampuannya memang jauh di atas lurah prajurit kebanyakan. Dan aku tidak tahu mengapa dengan kemampuannya yang sudah sedemikian tinggi, dirinya masih saja hanya berpangkat seorang lurah”.
“Mungkin saja dia masih belum lama memasuki dunia keprajuritan, Kyai”.
“Mungkin kau benar. Tapi yang membuatku heran, dia sudah mendapatkan kepercayaan yang begitu tinggi dari para petinggi Mataram? seandainya saja dia tidak menyandang gelar kepangkatan, justru tidak menjadi masalah bagiku, sebab gelar kepangkatan itulah yang seperti melempar kotoran ke mukaku karena hubunganku yang sangat dekat dengan Ki Patih Rangga Permana”.
“Mungkin ada keluarganya yang lebih dulu memasuki dunia keprajuritan dan telah berhasil meraih kepangkatan yang tinggi di tlatah Mataram, sehingga membuat namanya pun ikut terangkat karenanya, Kyai”.
“Ya..ya… kau benar, dan itu sangat mungkin pula terjadi di hampir semua tempat, tidak berlaku hanya di Mataram saja. Tapi ada sesuatu yang cukup menarik perhatianku pada lurah prajurit Mataram tersebut”.
“Maksud Kyai?”. sahut cantrik tertua penasaran sembari mengerutkan keningnya.
“Sepertinya aku pernah mengenal ciri senjata yang dibawa lurah prajurit itu. Seakan mengingatkanku akan seseorang, tapi aku sendiri masih belum dapat mengingat siapakah orangnya. Karena seingatku dia adalah tokoh beberapa dasa warsa yang lalu”.
“Mungkin karena Kyai sudah terlalu lama menjauhi kerasnya dunia kanuragan, dan tinggal di tempat yang jauh dari keramaian seperti ini, sehingga melupakannya”.
Kyai tidak segera menanggapi, tapi lebih dulu meneguk wedang jahenya yang sudah mulai dingin secara perlahan, sembari terlihat sedang berusaha berpikir keras untuk mengingat sesuatu.
“Aku ingat sekarang. Jika tidak salah itu adalah senjata andalan dari Ki Juru Mertani pada waktu masih muda”.
“Maaf Kyai, apakah yang Kyai maksud itu adalah orang yang kemudian bergelar Ki Patih Mandaraka dari Mataram?”.
“Kau benar, Wiramba. Tapi aku belum benar-benar yakin dengan penglihatanku sendiri karena pada waktu aku melihatnya jaraknya cukup jauh, sebab mungkin saja kebetulan orang itu memiliki senjata yang mirip dengan orang yang aku maksud”.
“Memang sangat mungkin sekali, Kyai”.
“Tapi jika seandainya benar itu adalah senjata yang dulu dipakai oleh Ki Juru Mertani yang kini telah wafat, maka lurah prajurit itu memang bukan lurah prajurit sembarangan”.
Para cantrik yang mendengar keterangan tersebut hanya bisa terdiam selain hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala sebagai pertanda bahwa mereka mulai mengerti apa yang dimaksud Kyai.
“Ingat…! aku hanya memerintahkan kalian untuk mencari keterangan tentang lurah prajurit itu, bukan untuk menjadi duta pamungkas. Karena selanjutnya akan menjadi urusanku”.
“Baik Kyai, kami mengerti”.
“Kalian carilah keterangan tentang keluarganya dan siapakah gurunya? jika gurunya lebih dari satu, siapakah saja mereka? dan kalian harus lengkapi keterangan tentang apapun yang masih ada sambung rapetnya dengan dia sebelum melaporkannya kepadaku”.
“Sendika dawuh, Kyai”.
“Karena dengan kemampuannya yang sangat tinggi, tidak menutup kemungkinan bahwa dia masih memiliki Trah Kusuma Rembesing Madu, atau memang dari Trah Pidak Pidarakan tapi karena suatu hal telah mendapat kepercayaan yang sangat tinggi dari para petinggi Mataram. Dan itu bisa menjadi tambahan keterangan sebagai bahan pertimbanganku nantinya”.
“Berdasarkan petunjuk dari Kyai yang sudah sangat jelas, kami mengerti apa yang harus kami lakukan”.
Mendengar jawaban cantriknya, Kyai itu kembali meneguk wedang jahenya yang sudah dingin hingga habis. Lalu tatapan matanya memandang jauh ke depan, yang masih tampak gelap remang-remang menjelang matahari terbit.
“Berhubung kalian ada lima orang, salah satu kalian tinggallah disini untuk mengawani aku”.
“Sebaiknya kakang Wiramba saja yang mengawani Kyai selama kami tinggalkan padepokan, biarlah kami yang muda-muda saja yang mengemban perintah dari Kyai”.
“Kau pandai sekali membagi tugas sebelum meminta pendapatku, adi Wandana. Apakah kau bermaksud tidak ingin mengajakku serta? agar jatah makanmu tidak akan pernah berkurang di sepanjang perjalanan?”. sahut cantrik tertua menanggapi.
“Bukankah kakang Wiramba adalah cantrik tertua di antara kita? sehingga kakang lah yang lebih pantas untuk menjadi kawan berbincang Kyai, daripada harus bersusah payah menyusuri jalan setapak demi setapak dalam waktu yang belum dapat ditentukan”.
“Ah… ternyata kau pandai bersilat lidah, adi Wandana. Bukankah dengan tugas ini kau sembari dapat menghirup udara bebas di luar sana yang jarang sekali kau dapatkan kesempatan?”. sahut Wiramba lalu tertawa pendek.
“Kakang pandai sekali menggangguku di depan Kyai, pasti karena kakang ingin ada yang membela”. sahut Wandana yang tidak mau kalah dengan kakak seperguruannya.
Kyai hanya bisa tersenyum melihat tingkah laku para cantriknya, lagi pula dirinya sudah mengenal benar watak dan kebiasaan para cantriknya yang suka berkelakar dengan saling mengganggu satu dengan yang lain.
“Sepertinya di daerah sekitar Majasanga sudah tidak ada lagi pertempuran antara Wirasaba dan Mataram, sehingga kalian dapat mulai tugas kalian di sekitar tempat itu untuk mencari keterangan. Tapi ingat! kalian jangan pernah bawa-bawa namaku, dan sebaiknya kalian menyamar saja untuk menghilangkan jejak”.
“Baik Kyai, kami mengerti”.
“Jika melihat keadaan Ki Patih Rangga Permana yang gugur, aku kira lurah prajurit itu pun kemungkinan kecil sekali akan mampu bertahan hidup, mungkin hanya menunggu waktu saja. Namun jika dia masih mampu selamat, pasti akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sembuh, atau bahkan ada kemungkinan kesembuhannya akan meninggalkan cacat pada tubuhnya”.
Para cantrik hanya bisa terdiam mendengarkan keterangan tersebut, mereka masih bingung apa yang harus dikatakan untuk menimpali.
“Kalian bersiaplah! setelah makan pagi, kalian aku izinkan untuk memulai tugas tersebut. Aku beri kalian waktu paling lama sepekan untuk mencari keterangan”.
“Baik Kyai”. berkata para cantrik yang mendapatkan tugas itu hampir berbarengan.
Kemudian dua orang cantrik yang paling muda pun segera masuk ruang dalam untuk menyiapkan makan pagi bagi mereka semua, termasuk bagi pepunden mereka di padepokan.
Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, di perkemahan para prajurit Mataram masih sibuk dengan tugas masing-masing meskipun perang sudah berakhir, sembari menunggu perintah selanjutnya dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.
Terutama yang kesibukannya yang hampir tidak pernah berkurang adalah para prajurit yang bertugas di dapur. Karena ada perang atau pun tidak, mereka harus tetap menyiapkan makanan bagi seluruh prajurit tepat pada waktunya.
Namun setelah berhentinya segala bentuk peperangan, menjadikan pekerjaan mereka menjadi ringan. Karena para prajurit yang bertugas memasuki medan telah kehilangan pekerjaan utamanya, sehingga untuk mengisi waktu dan kejenuhan, dari mereka banyak yang membantu.
Sementara Ki Tumenggung Suratani yang terluka parah setelah beberapa hari yang lalu berperang tanding melawan Ki Tumenggung Ganggasura keadaannya sudah mulai berangsur-angsur membaik dan telah sadarkan diri.
Keadaannya memang masih sangat lemah karena lukanya tersebut, itu dapat dilihat dari dirinya yang baru dapat menggerak-gerakkan bagian tubuh dengan lemahnya di atas pembaringan, bahkan suaranya pun masih belum dapat terdengar jelas ketika mengucapkan sesuatu.
Tabib yang mendapat tugas untuk merawat para prajurit yang terluka dengan sangat sabar dan telaten untuk membantu kesembuhan Senopati Mataram itu dan prajurit yang lain.
Selain membantu secara pengobatan, para Tabib juga berusaha menghibur dan berusaha menguatkan hati dan ketahanan jiwani para prajurit yang terluka, terutama yang terluka parah. Sebab tidak sedikit pula yang tiba-tiba menjadi berputus asa.
Mereka menyadari bahwa memang tidak mudah untuk melewati masa-masa sulit. Meskipun di dalam medan perang, para prajurit adalah orang-orang yang garang. Namun jika para prajurit sudah dihadapkan oleh kesulitan karena luka yang parah, terkadang dapat dengan tiba-tiba saja muncul kekerdilan jiwanya, dan itu tidak memandang prajurit baru atau pun prajurit yang sudah berpengalaman luas sekalipun.
Karena kebanyakan para prajurit yang terluka parahlah yang biasanya memiliki jiwa yang rapuh dan seakan sudah tidak memiliki pengharapan lagi untuk tetap bertahan setelah menyadari keadaan dirinya, meskipun tidak semua.
Mungkin sebagian para prajurit itu lupa, bahwa dengan kekerdilan jiwa yang mereka miliki itu justru akan membantu memperlambat kesembuhan mereka sendiri selain dari kemampuan Tabib yang merawatnya dan atas segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih.
Namun sebagai seorang yang berpengalaman luas dan berilmu sangat tinggi, Ki Tumenggung Suratani adalah orang yang sudah pupus kawruh lahir dan batinnya, sehingga keadaan yang bagaimanapun sulitnya tidak membuat jiwanya kerdil, sebab segala apa yang terjadi pada dirinya sudah dipasrahkan kepada Yang Maha Welas Asih yang mengatur segalanya.
Sementara Ki Rangga Sabungsari sendiri sudah semakin baik keadaannya setelah rutin meminum obat yang diberikan oleh Tabib keprajuritan, selain dirinya membawa obat sendiri. Tubuhnya kini sudah semakin segar dan sudah tidak lemah lagi.
Dalam pikiran Senopati Mataram yang berkedudukan di Jati Anom tersebut, tidak perlu dikhawatirkan lagi, tapi keadaan anak Ki Untara lah yang selalu menggelisahkan hatinya. Sebab biar bagaimana pun, secara tidak langsung dirinya ikut bertanggung jawab atas keselamatan anak muda itu yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Jika ada kesempatan, Ki Rangga Sabungsari selalu berusaha menyempatkan diri untuk menjenguk keadaan Umbara yang berada di ruang perawatan keprajuritan.
Setelah beberapa waktu dalam perawatan dan pengawasan para Tabib keprajuritan Mataram, kini Umbara sudah mulai melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya, meskipun belum mampu sadarkan diri.
Sesekali anak muda tersebut sudah mulai menggeram atau mengerang dalam ketidak sadarannya di pembaringannya, tapi itu sudah cukup untuk menjadi pertanda yang sangat baik bagi kesembuhannya, meskipun masih membutuhkan waktu.
“Benar-benar anak yang luar biasa”. membatin Ki Rangga Sabungsari ketika sudah berada di dekat anak pertama Ki Untara.
“Jika saja keadaan ini menimpa orang kebanyakan pada umur yang hampir sebaya denganmu, pasti akan menemui kesulitan untuk mampu tetap bertahan”.
“Darah ayahmu sebagai orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan telah mengalir pula dalam darahmu ngger, Meskipun ayahmu bukanlah seorang yang dapat disejajarkan dengan orang-orang yang berilmu sangat tinggi namun tetap saja dia adalah orang yang linuwih. Apalagi kemudian kau telah digembleng di Padepokan Orang Bercambuk, maka kemampuanmu menjadi semakin meningkat dengan pesat”.
“Padepokan Orang Bercambuk memang adalah sebuah padepokan kecil, namun bobotnya bisa dikatakan hampir tidak pernah susut meskipun sudah ditinggalkan lama oleh Swargi Kyai Gringsing sebagai pendirinya”.
“Mungkin suatu hari nanti jika sudah saatnya, anakku akan aku titipkan di padepokan itu. Semoga saja Ki Agung Sedayu dan Ki Agahan tidak merasa keberatan untuk mengangkatnya menjadi salah satu cantriknya”.
“Tapi aku akan membicarakan semua itu lebih dulu dengan Raras, agar tidak timbul kesalahpahaman di kemudian hari dan agar anak itu mendapat tambahan pangestu dari ibunya”. membatin Ki Rangga Sabungsari.
“Aku rasa Ki Rangga sudah tidak perlu khawatir lagi akan keadaan Umbara, sebab dia telah melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya meskipun dia masih belum mampu sadarkan diri”. berkata Tabib yang merawat anak muda tersebut ketika mendekati Senopati Mataram tersebut.
“Terima kasih, Kyai. Atas bantuan Kyai dan kemurahan dari Yang Maha Agung kini Umbara telah menemukan titik balik bagi kesembuhannya”.
“Aku hanya sekedar menjadi lantaran saja, Ki Rangga. Sebab kesembuhan Umbara tidak lepas dari daya tahan tubuhnya yang luar biasa dan atas nenuwun kita semua agar selalu mendapatkan kemurahan dari Yang Maha Welas Asih”.
“Kyai benar”.
“Namun hingga saat ini masih ada yang membuat hatiku kurang mapan, Ki Rangga”.
“Apakah itu, Kyai?”.
“Aku dan kawan-kawanku yang bertugas membantu merawat orang-orang yang terluka, masih digelisahkan oleh keadaan Ki Prastawa yang belum memperlihatkan tanda-tanda perkembangan yang lebih baik”.
“He… Ki Prastawa, Kyai bilang?”. sahut Ki Rangga Sabungsari terkejut mendengar keterangan tersebut.
“Benar sekali, Ki Rangga. Kami yang membantu merawatnya telah berusaha sejauh yang dapat kami lakukan, namun hingga saat ini Ki Prastawa masih belum memperlihatkan tanda-tanda melewati masa-masa sulitnya”.
“Apakah lukanya sedemikian parahnya, Kyai?”.
“Begitulah kira-kira, Ki Rangga. Tapi kami tidak pernah menjadi berputus asa dalam membantu merawat dan nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih bagi kesembuhannya. Namun biar bagaimanapun segalanya masih tergantung kepada Yang Maha Agung”.
“Kyai benar, segala kemungkinan masih bisa terjadi jika Yang Maha Welas Asih telah berkehendak. Dan tidak ada yang dapat aku lakukan selain hanya dapat membantu nenuwun”.
“Ki Rangga, apakah sudah ada kabar tentang menghilangnya Ki Lurah Glagah Putih?”. bertanya Tabib itu memberanikan diri.
Ki Rangga Sabungsari menarik nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan itu, seakan dia ingin sedikit mengurangi kepepatan hatinya dengan segala masalah yang sedang dihadapinya.
“Maaf Ki Rangga, jika pertanyaanku ini telah membuat hatimu menjadi kurang mapan”.
“Tidak apa-apa, Kyai. Bukan pertanyaanmu yang membuat hatiku kurang mapan, tapi pertanyaanmu itu mengingatkanku akan Ki Lurah Glagah Putih yang hingga sekarang belum aku dengar kabarnya. Di manakah keberadaannya dan bagaimana keadaannya sekarang? apakah dia masih mampu bertahan atau tidak. Karena jika aku lihat dari kemampuan lawannya yang sangat nggegirisi, aku sangat mengkhawatirkan keadaannya. Namun tidak ada yang dapat aku lakukan”.
“Ki Rangga benar. Ki Patih Rangga Permana memang adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa, semoga saja Yang Maha Welas Asih selalu melindunginya”.
“Aku dengar Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma telah memerintahkan kepada seluruh prajurit sandi Mataram di segala penjuru tanah ini untuk membantu melacak keberadaannya dimana pun, tapi sampai sekarang sepertinya masih belum ada tanda-tanda yang menggembirakan”.
“Semoga saja Ki Lurah Glagah Putih dapat segera ditemukan dalam keadaan apapun juga, tapi semoga saja dapat ditemukan dalam keadaan selamat. Karena biar bagaimanapun dia sangat berjasa bagi tegaknya panji-panji Mataram”.
“Kyai benar, tapi kita semua masih dibayangi tabir gelap. Semoga saja orang yang membawanya kemarin itu adalah orang yang baik, dan syukur-syukur adalah orang yang berpihak pada Mataram. Jadi orang tersebut tidak hanya berkepentingan membawa tubuhnya saja, namun juga berusaha menyelamatkan nyawanya pula. Karena jika dilihat dari benturan ilmu pamungkas keduanya pasti akan mengakibatkan luka yang sangat parah bagi keduanya”.
“Meskipun aku bukanlah orang yang memiliki kawruh kanuragan yang baik, namun berdasarkan cerita yang aku dengar memang perang tanding itu akan mengakibatkan luka yang parah bagi keduanya, sebab keduanya adalah orang yang sama-sama berilmu sangat tinggi”.
“Jika dilihat secara penalaran wajar, dari umurnya saja yang terpaut cukup jauh akan membuat Ki Lurah Glagah Putih menemui kesulitan untuk mengimbangi tataran kemampuan Ki Patih Rangga Permana. Namun semoga saja dia memiliki suatu kelebihan yang akan membuatnya mampu bertahan selain atas pertolongan dari Yang Maha Welas Asih”.
“Sekarang memang tidak ada yang dapat kita lakukan selain hanya nenuwun kepada Yang Maha Agung atas segala yang terjadi, Ki Rangga. Semoga segala urusan akan dapat segera terselesaikan dengan cara yang paling baik”.
“Kyai benar, mari kita sama-sama nenuwun”.
Tidak lama kemudian Ki Rangga Sabungsari mulai beranjak untuk meninggalkan tempat itu guna melanjutkan tugas di kesatuannya sebagai seorang senopati prajurit sesuai dengan perintah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sebagai pemimpin tertinggi.
Sementara Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma di waktu yang hampir bersamaan sedang menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan sembari mengadakan pembicaraan bersama ketiga pamannya sehubungan dengan menanggapi perkembangan keadaan yang terjadi.
“Setelah acara penobatan di Kadipaten Wirasaba selesai, kira-kira kapan Angger Panembahan akan menarik pasukan Mataram kembali?”. bertanya Pangeran Pringgalaya memulai pembicaraan.
“Aku belum dapat mengambil keputusan, paman. Tapi aku kira tidak lama setelah itu, sebab aku juga tidak dapat terlalu lama meninggalkan Kedaton Mataram, meskipun disana masih ada Eyang Pangeran Singasari dan Ki Patih Singaranu. Namun alangkah deksuranya jika aku berlama-lama disini, sedangkan pekerjaanku sudah dianggap selesai”.
“Memang kurang baik jika Angger Panembahan terlalu lama meninggalkan Kedaton Mataram. Namun setelah kita mampu menaklukkan Wirasaba, kita jangan berpikir sudah merasa diatas angin, kita juga harus memikirkan kemungkinan buruk yang dapat kita jumpai setelah ini”.
“Maksud Paman Pangeran Puger?”.
“Kita jangan melupakan, bahwa Wirasaba ini adalah bagian dari Kadipaten Surabaya, karena Wirasaba dan Surabaya itu ibarat bapak dan anak. Jadi.. jika kita telah mengusik Wirasaba yang kita ibaratkan sebagai anaknya, pasti ada kemungkinan bahwa Surabaya tidak akan tinggal diam”.
“Kakang Mas Pangeran Puger benar, aku juga berpikir demikian. Kita jangan sampai terlena dengan kemenangan ini, karena sangat mungkin sekali Surabaya sedang mempelajari kelemahan kita, sebelum mereka benar-benar menyerang kita”.
“Kemungkinan itu memang sangat mungkin sekali, sehingga kita harus tetap dalam kewaspadaan tertinggi dalam menanggapi setiap perkembangan yang terjadi, dan jangan sampai karena kesombongan kita sendiri, kita akan terjerumus pada kesulitan. Bahkan kesulitan yang berujung petaka”. sahut Pangeran Demang Tanpa Nangkil ikut menanggapi.
“Lalu bagaimana dengan sebagian pasukan Mataram yang akan aku perintahkan menjadi pengisi kekosongan kekuasaan sementara di Wirasaba mendapatkan serangan dari Surabaya, paman?”.
“Masalah ini harus kita pikirkan matang-matang, karena semua ini menyangkut keselamatan seluruh prajurit, dan jangan sampai kita mengorbankan prajurit kita sendiri untuk sekedar menjadi bebanten Surabaya”.
“Jika kita meninggalkan sepertiga dari jumlah keseluruhan pasukan Mataram di Wirasaba, bukankah akan sangat berbahaya? tapi jika kita menarik seluruh pasukan yang ada, apalah arti perjuangan kita menaklukkan Wirasaba yang mengorbankan jiwa dan raga, serta cucuran darah yang tak terukur?”.
“Angger Panembahan benar, maka dari itu kita harus memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, agar kita tidak menyesal nantinya”.
“Jika saja orang itu ikut dalam perang kali ini, mungkin bisa sedikit membantu kesulitan yang sedang kita alami”.
“Siapakah yang Angger Panembahan maksud?”.
“Apakah paman Pangeran bertiga lupa? bahwa kita memiliki seseorang yang selama ini sering mendapat tugas khusus karena kemampuannya yang khusus pula?”.
“Oh.. sekarang aku mengerti maksud Angger Panembahan, tapi memang sayang sekali bahwa dia tidak ikut dalam pasukan ini sehingga kita tidak dapat memberikan perintah kepadanya”. sahut Pangeran Pringgalaya yang mulai tanggap.
“Apakah dia tidak dapat dipanggil lewat Aji Pameling?”.
“Kita tidak dapat melakukannya, Angger Panembahan. selain karena jaraknya yang terlalu jauh, jalur ilmu yang kita pelajari tidak ada yang sama dengannya”.
“Aku ingat, sebenarnya kemarin dalam pasukan kita ada seseorang yang satu jalur ilmu dengannya, namun sekarang dia sudah tidak ada”.
“Dengan demikian kita harus mencari cara lain untuk mengatasi masalah ini, sebab kita juga tidak dapat menunggu terlalu lama untuk mengambil sikap”.
Sejenak suasana di tempat itu menjadi hening, hanya suara-suara sekumpulan burung pagi sajalah yang terdengar dengan riangnya dari kejauhan, karena keempat Priyagung Mataram tersebut sibuk dengan penalarannya sendiri, guna dapat mengungkapkan sebuah gagasan yang mungkin paling tepat sebagai jalan keluar masalah yang sedang mereka hadapi bersama.
Sembari mereka memikirkan sebuah gagasan, tidak lupa mereka menikmati minuman hangat yang sudah hampir dingin dengan beberapa potong makanan, di pagi yang dingin karena matahari memang baru sebentar lagi akan terbit.
“Bagaimana jika kita mengirimkan prajurit penghubung kepada Ki Patih Singaranu, untuk kemudian dapat menyambungkan perintah dari Angger Panembahan agar orang itu segera menyusul ke Wirasaba? untuk mengejar waktu, kapanpun dia menerima perintah, pada saat itu pula dia harus berangkat kemari”. ucap Pangeran Pringgalaya tiba-tiba.
Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma yang mendengar itu ketika sudah siap membuka mulutnya untuk meneguk minumannya, segera diurungkannya kembali dengan dahi berkerut. Penalarannya mulai menimbang-nimbang.
“Sepertinya itu sebuah gagasan yang sangat baik, Paman. Semoga saja Ki Patih Singaranu dapat segera menemukannya”.
***
Sementara di tempat lain pada waktu yang hampir bersamaan, Ki Lurah Glagah Putih masih belum dapat menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.
“Setelah beberapa lama aku menunggu, ternyata kau belum menjawab pula, Glagah Putih”.
“Bukankah tadi kau berkata bahwa jika jawabanku salah, maka akan mengakibatkan diriku mengalami nasib yang sangat buruk? lalu kenapa kau menggangguku pada saat aku mencari jawaban yang seperti kau minta?”.
“Aku tidak bermaksud mengganggumu, namun aku hanya memperingatkanmu agar kau segera menjawabnya!”.
“Mengapa kau menjadi tergesa-gesa? bukankah kau tidak akan kemana-mana? dan bukankah kau tidak akan meninggalkanku hanya sekedar untuk pergi ke pakiwan?”.
“Ternyata kau cerdik juga Glagah Putih, sepertinya kau dengan sengaja mengulur waktu agar kau tidak segera mengalami nasibmu yang paling buruk”.
“Aku tidak bermaksud demikian, karena aku benar-benar sedang berusaha menjawab pertanyaanmu, namun jika kau berpikir demikian aku tidak dapat menyalahkan”.
“Ketahuilah Glagah Putih, jika pada waktu yang telah ditentukan kau belum mampu menjawabnya, maka dengan sangat terpaksa aku akan tetap melemparmu ke alam penyiksaan”.
“Waktu yang telah ditentukan? kapan batas waktunya? matahari terbit? matahari tenggelam? atau bahkan ketika matahari tepat berada pada puncaknya?”.
“Hahaha… kau jangan bicara semakin ngayawara, Glagah Putih. Disini jangan kau samakan dengan alam padang, karena disini tidak ada batasan waktu berdasarkan perputaran matahari”.
“Bukankah tadi kau berkata tentang batasan waktu? lalu dengan apa kau menentukan batasan waktu jika tidak dengan berdasarkan perputaran matahari?”.
“Kau tidak perlu tahu darimana aku dapat menentukan waktu jika tidak dengan berdasarkan perputaran matahari? karena aku memiliki dasar sendiri dalam melihat waktu”.
“Jika aku tidak kau beritahu, lalu dari mana aku mengetahui batasan waktuku? jika kita tidak sama-sama tahu batasan waktu dari dasar yang sama, bukankah bisa saja kau akan membohongiku? dan itu tidak adil namanya”.
“Hahaha… selama aku bertugas menjadi Danyang di tempat ini dan menguji setiap orang yang datang, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang sepertimu, Glagah Putih”.
“Apa maksudmu?”.
“Aku baru bertemu dengan orang yang cerdik sepertimu dalam menanggapi segala keadaan yang terjadi, karena sebelumnya orang yang datang kemari lebih dulu menjadi ketakutan yang sangat sebab menyadari keadaannya sendiri dan apa yang bakal terjadi, sehingga membuat mereka lebih dulu diburamkan penalarannya”.
“Mungkin hanya kebetulan saja”.
“Tapi bukan sebuah kebetulan jika kau sampai datang ke tempat ini, sebab itu berarti hidupmu di alam padang telah berakhir. Dan semua orang yang demikian itu pasti akan datang ke tempat ini lebih dulu untuk ditentukan nasibnya selain atas baik atau buruknya selama hidupnya di alam padang, maka tidak akan ada yang akan dapat menolongmu jika kau sudah berada di tempat ini”.
“Bukankah Yang Maha Agung adalah Maha Penolong serta Maha Pemurah atas semua hambanya? apakah kau sendiri adalah Yang Maha Agung? yang memiliki kekuasaan tak terbatas terhadap segala yang ada di seluruh jagad ini? baik yang jagad kasar maupun jagad alus? sehingga dapat berbuat demikian?”.
“Yang Maha Agung jelas adalah Maha Segalanya, tapi yang jelas bukan aku. Tapi aku mendapat tugas untuk ngreksa tempat ini dengan segala isinya”.
“Jika kau sendiri bukan Yang Maha Agung, kenapa tadi kau bilang bahwa jika ada orang yang memasuki tempat ini, termasuk aku. Tidak akan ada lagi yang akan mampu menolongku?”.
“Kau telah salah mengartikan ucapanku tadi, karena yang aku maksud adalah bahwa tidak akan ada yang akan mampu menolongmu kecuali Yang Maha Agung”.
“Aku hanya menanggapi yang menjadi ucapanmu, bukankah tidak salah apa yang aku katakan?”.
“Kau salah dalam memahaminya”.
“Bukankah itu sesuai dengan apa yang kau ucapkan? tidak ada yang aku tambahi ataupun aku kurangi?”.
“Sudah.. sudah.. kau sudah terlalu banyak bicara, sebaiknya kau segera jawab pertanyaanku agar kau tidak mengalami nasib yang paling buruk”.
“Kenapa kau menjadi begitu garang?”.
“Aku menjadi garang, karena waktumu sudah semakin sempit, bahkan sudah hampir akan habis”.
“Bukankah tadi kau bilang bahwa tempat ini adalah tempat yang tak berujung? kenapa menjadi ada batas waktunya?”.
“Sudah.. sudah.. semakin lama kau semakin menjengkelkan saja”.
“Aku hanya sekedar berusaha menanggapi ucapanmu”.
“Jika kau tidak segera menjawab tiga pertanyaanku tadi, maka aku tidak akan bertanya lagi kepadamu dan akan langsung aku lemparkan kau ke alam penyiksaan yang sangat mengerikan itu yang sudah sempat kau lihat tadi”.
“Tolong kau ulangi lagi!”.
“Tidak ada pengulangan! jika kau lupa, berarti nasibmu saja yang memang buruk”.
“Mengapa tiba-tiba kau menjadi garang dan kejam begitu?”.
“Karena aku sudah tidak memiliki waktu lagi untuk bermain denganmu, jadi cepatlah! sebelum kau menyesal dalam waktu yang tak berujung”.
“Jika aku tidak salah ingat, pertama adalah untuk apa aku dilahirkan? yang kedua adalah apa tujuan hidupku? lalu yang ketiga adalah apa yang terjadi setelah aku mati?”.
“Kau benar, tapi kau harus ingat Glagah Putih! bahwa kau harus dapat menjawab semuanya secara benar. Karena jika kau telah benar dua dan hanya salah satu saja, maka akan tetap dianggap salah semua”.
“Mengapa demikian? bukankah itu tidak adil namanya, jika aku sudah dapat menjawab dengan benar dua pertanyaanmu dan hanya salah satu saja tetap dianggap salah semua?”.
“Kau tidak memiliki hak untuk menawar, lakukan saja seperti apa yang sudah aku katakan jika kau masih berharap nasibmu tidak terjerumus dalam kesengsaraan”.
“Baiklah jika demikian”. sahut Ki Lurah Glagah Putih pada akhirnya yang tidak dapat berbuat lain.
“Semoga Yang Maha Welas Asih memberikan pertolongan kepadaku dalam menghadapi semua ini”. katanya dalam hati.
“Pertama adalah untuk apa aku dilahirkan? aku dilahirkan itu memang pepesthen dari Yang Maha Agung yang tidak dapat aku minta atau bahkan aku tolak, sehingga dengan kata lain aku hanyalah salah satu hambanya yang hanya menjalani pepesthen dari Yang Maha Agung”.
“Lalu yang kedua?”.
“Yang kedua, apa tujuan hidupku? tujuan hidupku adalah tidak lain hanya semata-mata untuk menyembah kepada Yang Maha Agung dalam sepanjang hidupku dengan cara-cara yang sudah disampaikan oleh utusannya di alam padang”.
“Jika tujuan hidupmu adalah semata-mata untuk menyembah Yang Maha Agung, lalu kenapa kau masih saja membuat kesalahan atau dosa dalam hidupmu? bukankah itu telah menyimpang dari tujuan hidupmu sendiri?”.
“Aku dilahirkan ke alam padang itu dengan dibekali hawa nafsu, sehingga nafsulah yang telah nggiri goda kepadaku untuk terhanyut dalam kenikmatan keduniawian agar aku lupa akan tujuan hidupku sendiri dan pada akhirnya akan menjauhkanku dari Yang Maha Agung sebagai sesembahanku”.
“Bukankah hawa nafsu yang ada di dalam dirimu itu dalam kendalimu sepenuhnya? kenapa kau tidak dapat mengendalikannya? bukankah itu menjadi kesalahanmu sendiri yang harus kau pertanggung jawabkan?”.
“Hawa nafsu memang dalam kendaliku sepenuhnya, namun kau lupa bahwa aku dibekali pula dengan watak bodoh, lupa, dan apes. Dan dapat diibaratkan, sepandai-pandainya orang menjaga miliknya itu masih pandai malingnya. Sebab maling itu pasti selalu mencari titik kelemahan kita kapanpun dan dimanapun”.
“Bukankah kau sebagai manusia telah dibekali akal untuk memikirkan bagaimana menyiasati kekuranganmu itu?”.
“Meskipun aku dibekali pula dengan akal, tapi bukankah kau tahu sendiri bahwa akal manusia itu terbatas? dan hanya orang-orang sombonglah yang mengatakan bahwa dirinya memiliki kemampuan tidak terbatas, padahal sebenarnya manusia itu tidak pantas untuk menyombongkan diri sebab manusia itu tidak lebih dari butiran debu dalam lautan debu di hadapan Yang Maha Agung”.
“Lalu mengapa ada kalanya kau masih berani menyombongkan diri? meskipun itu hanya ada di dalam hatimu saja?”.
“Bukankah tadi sudah aku katakan bahwa hawa nafsu lah yang telah nggiri goda kepadaku dengan berbagai cara untuk selalu berusaha menjauhkanku dari Yang Maha Agung yang menjadi tujuan utama hidupku”.
“Baiklah aku bisa menerima jawabanmu, lalu bagaimana dengan pertanyaanku yang terakhir”.
“Apa yang terjadi atas diriku setelah aku mati?”.
“Benar, apa jawabmu?”.
Sejenak kemudian Ki Lurah Glagah Putih menjadi terdiam, memikirkan jawaban yang mungkin paling tepat agar jawaban yang sebelumnya tidak menjadi sia-sia.
“Kenapa kau menjadi terdiam?”.
“Apakah kau merasa keberatan jika memberiku sedikit waktu untuk berpikir?”.
“Aku tidak keberatan, namun aku peringatkan bahwa waktumu sudah hampir habis”.
“Kau sengaja berkata demikian agar aku menjadi tergesa-gesa dalam menjawab dan agar aku kehilangan penalaranku yang wening, sehingga kau berharap jawabanku akan menjadi salah”.
“Terserah apa tanggapanmu, aku hanya sekedar mengingatkan agar kau tidak menyesal nantinya. Karena jika jawabanmu itu benar, namun waktu yang telah ditentukan telah habis, maka akan sia-sia saja perjuanganmu untuk membebaskan diri dari nasib yang sangat buruk itu”.
Dengan perasaan semakin menegang, Ki Lurah Glagah Putih terus berusaha mencari jawaban yang mungkin paling tepat untuk disampaikan kepada Danyang tempat itu.
“Apa yang terjadi setelah aku mati?”. gumamnya dalam hati.
“Cepatlah! kau jangan terlalu lama berpikir. Jangan sampai kau kehilangan waktumu yang paling berharga ini. Sebab tidak akan ada kesempatan kedua bagimu”.
“Yang terjadi pada diriku setelah mati adalah, bahwa aku akan segera menerima pengadilan dari Yang Maha Agung atas segala perbuatan baik dan buruk yang telah aku lakukan selama aku hidup di alam padang…”.
“Waktumu habis, aku tahu jika kau masih akan melanjutkan kata-katamu. Namun percuma saja jika jawabanmu benar, karena waktu telah habis”.
Setelah suara misterius itu berkata, kemudian seketika mulut Ki Lurah Glagah Putih sudah tidak dapat lagi bicara seperti biasanya, mulutnya tiba-tiba terkunci oleh kekuatan yang tak kasat mata, bahkan tubuhnya pun tak mampu digerakkannya lagi. Kini tubuhnya tidak lebih dari gedebok pisang yang tanpa daya.
“Aku tidak dapat berbuat lain, selain hanya menjalankan tugasku terhadapmu. Mungkin nasibmu lah yang memang buruk, sehingga kau tidak dapat melepaskan diri dari semua ini”.
Ki Lurah Glagah Putih hanya dapat mendengar suara misterius itu tanpa dapat lagi menjawab sepatah kata pun. Kini dirinya hanya bisa berpasrah diri kepada Yang Maha Agung seutuhnya atas segala yang terjadi atas dirinya.
Karena dirinya menyadari bahwa di tempat itu sudah tidak mungkin ada orang yang akan dapat menolongnya, selain hanya pertolongan dari Yang Maha Welas Asih lah yang selalu dipanjatkan dalam setiap nenuwunnya.
Meskipun akan mengalami nasib yang sangat buruk, namun ayah Arya Nakula itu tidak pernah menyesali apa yang terjadi. Bahkan dengan penuh ketegaran, dirinya akan menjalani apapun yang telah digariskan Yang Maha Agung.
“Jika ini akan terjadi, maka terjadilah. Dan aku percaya bahwa Yang Maha Agung jauh lebih tahu apa yang terbaik bagi seluruh hambanya kapanpun dan dimanapun, karena kekuasaan-Nya tidak terbatas tempat dan waktu”. membatin Ki Lurah Glagah Putih yang sudah dalam kepasrahan yang utuh.
“Bersiaplah Glagah Putih! karena sudah waktunya kau aku kirim ke alam penyiksaan yang sangat mengerikan itu dalam waktu yang tak berujung”.
Setelah suara misterius itu selesai berkata demikian, tempat dimana kaki Ki Lurah Glagah Putih berpijak secara perlahan-lahan mulai terbuka tabir gelap yang menyelimuti. Tapi kali ini ada perbedaan yang sangat terasa.
Tempat itu mulai terlihat apa yang telah dilihat seperti beberapa saat tadi. Tapi jika beberapa waktu yang lalu hanya terlihat apa yang ada di dalamnya, namun kali ini sangat berbeda, sebab mulai terasa pancaran hawa panas yang sangat, mulai dapat dirasakan oleh Ki Lurah Glagah Putih yang sudah tidak dapat menolak apalagi memberikan perlawanan sama sekali, karena kawruh kanuragan yang selama ini dipelajarinya seakan hilang tak berbekas.
Kini tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh ayah Arya Nakula itu selain hanya dapat menunggu apa yang bakal terjadi dan menerima kenyataan, sebab sudah sampai pada saat-saat terakhir tubuhnya akan dilemparkan ke alam yang sangat mengerikan tersebut, dan tanpa dapat dicegah lagi.
Namun dalam keadaan yang sudah semakin menegangkan itu, ada sebuah kejadian yang sangat mengejutkan yang tidak pernah diduga sebelumnya.
“Tunggu”.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat keras dan entah dari mana sumber datangnya dan entah apa pula kepentingannya, tapi sepertinya tidak menghendaki semua itu terjadi.
***
Sementara di waktu yang hampir bersamaan, di sebuah tempat yang sangat sepi dan masih gelap karena memang matahari belum terbit dari balik gunung.
Apalagi di sekitar tempat itu masih banyak terdapat pohon-pohon besar menjulang, menambah suasana menjadi gelap. Namun suara sekumpulan burung pagi sudah terdengar dengan merdunya, sembari terbang dan hinggap kesana kemari.
Akhirnya Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya telah sampai di tempat itu. Dan tidak jauh dari tempat kedatangannya, terdapat sebuah bangunan yang berdiri, yaitu sebuah rumah sederhana.
Nyi Sekar Mirah yang masih menyimpan perasaan penasaran yang tinggi terhadap ajakan suaminya karena belum mendapat keterangan apapun tentang apa yang sebenarnya terjadi, akhirnya sampai pula di tempat yang dituju.
“Bukalah mata kalian”. ucap Ki Agung Sedayu kepada kedua istrinya yang menyertai.
Dengan serta merta Nyi Sekar Mirah segera membuka kedua matanya, dan alangkah terkejutnya dia setelah mengamati dan menyadari keadaan di sekitarnya, karena tempat itu masih sangat asing baginya.
Sementara Nyi Pandan Wangi yang belum pernah datang ke tempat itu sempat terkejut pula, namun karena dirinya sudah mendapatkan keterangan dari suaminya sebelumnya tidak membuat dirinya dipenuhi dengan tanda tanya.
Hawa dingin yang terasa mencekam, bahkan terasa lebih dingin dari Tanah Perdikan Menoreh seketika merasuk ke seluruh tubuh ketiga orang linuwih tersebut sejak mereka menginjakkan kaki pertama kali. Namun sebagai orang yang berilmu tinggi, keadaan itu tidak menjadi masalah yang berarti bagi mereka, sebab dengan segera mereka akan mampu mengatasinya.
“Kita ada dimana, kakang?”.
“Kendalisada, marilah”. jawab ayah Bagus Sadewa singkat.
“Kendalisada? ada keperluan apa kita datang kemari”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang menjadi semakin heran dan kebingungan akan sikap suaminya.
Tapi pertanyaan itu tidak mendapat jawaban karena Ki Agung Sedayu yang masih di cengkam oleh kegelisahan yang sangat, sudah lebih dulu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu untuk dapat segera memasuki sebuah rumah tempat dimana Ki Lurah Glagah Putih sedang dirawat.
Nyi Pandan Wangi yang tanggap akan keadaan, segera menghampiri ibu Bagus Sadewa tersebut lalu merangkulnya dan diajaknya untuk segera mengikuti langkah suaminya.
“Nanti kau akan tahu sendiri, Sekar Mirah. Mungkin ada hal yang lebih penting, sehingga dia telah mengabaikan pertanyaanmu. Sebab tidak mungkin kakang Agung Sedayu berbuat demikian dalam keadaan wajar”.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi mbokayu?”.
“Sebaiknya kita segera menyusul kakang Agung Sedayu agar kau tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi”.
Sebenarnya Nyi Sekar Mirah masih akan berbicara, namun di depan rumah itu sudah terlihat Nyi Anjani yang keluar dari pintu butulan untuk menyambut kedatangan mereka semua.
“Selamat datang kakang, dan mbokayu berdua. Dan aku minta maaf jika belum dapat menjadi tuan rumah yang baik”. berkata Nyi Anjani ketika jarak mereka sudah semakin dekat.
“Bagaimana dengan Begawan Mayangkara, Anjani?”.
“Aku masih belum melihat ada tanda-tanda dia akan kembali sejak kepergiannya beberapa waktu yang lalu, kakang”.
Setelah menanggapi sambutan istri ketiganya, Ki Agung Sedayu segera memasuki rumah dan menuju ke bilik tempat Ki Lurah Glagah Putih terbaring tak berdaya.
Kemudian Nyi Anjani lah yang mendampingi marunya itu untuk masuk ke dalam dan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi hingga mampu sangat menggelisahkan Ki Agung Sedayu yang selama ini tidak mudah gelisah dalam menghadapi apapun.
“Anjani, apakah yang sebenarnya telah terjadi?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang sudah semakin tidak dapat menahan rasa penasarannya.
“He…?”.
Hanya suara penuh dengan rasa terkejut yang mampu terucap dari bibir manis Nyi Anjani, sebab dia tidak menduga jika suaminya itu belum memberikan keterangan apapun kepada ibu Bagus Sadewa tentang apa yang telah terjadi.
“Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, Anjani?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang semakin tidak dapat menahan lagi kesabarannya setelah beberapa ditahannya.
“Maafkan aku mbokayu Sekar Mirah, bukan maksudku untuk berlaku deksura. Tapi aku sangat terkejut karena ternyata kakang Agung Sedayu dan mbokayu Pandan Wangi ternyata belum memberikan keterangan apapun”.
“Sekarang jawab saja pertanyaanku!”.
“Glagah Putih, mbokayu”. tiba-tiba tenggorokan Nyi Anjani seakan tercekat untuk melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa dengan Glagah Putih?”. bertanya Nyi Sekar Mirah setengah berteriak karena sudah saking tidak sabarnya.
“Glagah Putih terluka”.
“He…”.
Bagaikan disengat ribuan lebah dalam waktu yang bersamaan, Nyi Sekar Mirah seketika memburu suaminya yang sudah lebih dulu menuju bilik adik sepupunya tersebut.
Meskipun secara hubungan kekeluargaan Ki Lurah Glagah Putih tidak lebih hanyalah adik sepupu dari suaminya, namun pengenalan mereka dalam waktu yang lama telah menguatkan ikatan batin keduanya, bahkan terkadang Nyi Sekar Mirah memperlakukan Ki Lurah Glagah Putih itu seperti anaknya sendiri, sehingga jika terjadi sesuatu yang buruk pada adik sepupu suaminya itu akan membuatnya sangat gusar.
“Glagah Putih”. ucap Nyi Sekar Mirah setengah berteriak sembari berlari menuju bilik yang baru saja dibuka oleh suaminya.
“Kenapa kakang tidak memberitahukan kepadaku jika Glagah Putih terluka? kenapa kakang diam saja waktu ada di Tanah Perdikan Menoreh? kenapa kakang tidak segera mengajakku kemari? apakah karena aku tidak dapat mengobatinya? apakah aku hanya akan mengganggu pekerjaan kakang dalam mengobati Glagah Putih? lalu bagaimana keadaannya sekarang?”.
Pertanyaan yang bertubi-tubi seketika keluar tanpa dapat dibendung lagi dari mulut Nyi Sekar Mirah yang sudah sekian lama menahan kesabaran.
“Tenangkanlah dirimu Sekar Mirah, sekarang keadaan Glagah Putih masih dalam masa-masa paling gawat dalam hidupnya, nanti akan aku jelaskan. Tapi sekarang tolong tinggalkan dulu bilik ini, sebab aku akan mengganti baluran obat pada sekujur tubuhnya.
Tanpa sadar, dari kedua ujung mata Nyi Sekar Mirah telah melelehkan cairan yang tak kuasa dibendungnya. Nyi Pandan Wangi dan Nyi Anjani yang tanggap akan keadaan segera menghampiri dari sisi kanan dan kirinya, lalu merangkul dan mengajaknya untuk meninggalkan tempat itu, sembari memberikan pengertian secara perlahan dan dengan bahasa yang mereka anggap paling halus.
“Tenangkanlah dirimu, Sekar Mirah. Aku juga merasakan apa yang kau rasakan, tapi aku berusaha sekuat tenaga agar tetap tenang dan tidak mengganggu pekerjaan kakang Agung Sedayu yang sedang berusaha merawat Glagah Putih”.
“Bagaimanapun jantung mbokayu Sekar Mirah bergejolak, tapi tolong berikanlah waktu kepada kakang Agung Sedayu untuk merawat Glagah Putih, dan kita semua disini sedang berusaha membantu kesembuhannya”.
Karena saking bingungnya harus berbuat apa? Nyi Sekar Mirah hanya dapat terdiam dalam rangkulan kedua marunya tersebut, air matanya pun tak kuasa dapat ditahan melintas di pipinya sembari berjalan keluar bilik perlahan-lahan.
Perempuan yang begitu perkasa di medan perang, ternyata begitu rapuh ketika menghadapi orang yang dikasihinya sedang dalam keadaan menderita, apalagi menderita karena luka yang cukup parah dan sangat membahayakan keselamatannya.
“Tenangkanlah hati mbokayu Sekar Mirah disini, aku akan menyiapkan minuman hangat dulu bagi kita semua”. ucap Nyi Anjani setelah mereka sampai di pendapa.
“Baiklah Anjani, aku yang akan mengawani Sekar Mirah disini”. sahut Nyi Pandan Wangi.
Nyi Anjani hanya mengangguk mendengar jawaban ibu Sekar Wangi, sementara ibu Bagus Sadewa masih terdiam dengan pipi masih berlinang air mata.
Kejadian yang benar-benar membuat jantung Nyi Sekar Mirah bergejolak dengan hebatnya, namun dirinya kemudian menyadari bahwa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Dan hal itulah yang membuat perasaannya menjadi sangat terpukul.
“Glagah Putih”. gumam ibu Bagus Sadewa dengan suara yang sangat perlahan dengan kepala tertunduk.
“Tenangkanlah perasaanmu, Sekar Mirah. Sebaiknya kita bantu kakang Agung Sedayu dengan banyak-banyak nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar Glagah Putih segera sembuh dari segala luka yang dideritanya”. sahut Nyi Pandan Wangi sembari mengusap-usap punggungnya.
“Aku percaya bahwa Glagah Putih adalah orang yang kuat dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi segala keadaan yang bagaimanapun sulitnya, sehingga aku yakin jika Glagah Putih pasti akan mampu melewati semua ini”.
“Dan tadi kakang Agung Sedayu sempat memberitahukan kepadaku bahwa tidak hanya dia yang sedang berusaha membantu merawatnya, namun telah dibantu pula oleh Begawan Mayangkara dan seseorang yang dikenalnya”.
“Begawan Mayangkara?”. ucap Nyi Sekar Mirah mengulangi dengan kening berkerut dan keheranan.
“Kau benar, Sekar Mirah. Karena keadaan Glagah Putih yang sangat parah sehingga membuat kakang Agung Sedayu telah terbentur oleh keterbatasannya, sebab sukma Glagah Putih telah oncat dari tubuhnya. Maka dari itu Anjani meminta bantuan dari Begawan Mayangkara”.
“He… sukma Glagah Putih oncat dari tubuhnya?”.
“Benar Sekar Mirah, tapi Begawan Mayangkara yang sudah berusaha membantu pun ternyata terbentur pula dengan keterbatasannya, sehingga kemudian dia pergi meninggalkan tempat ini untuk mencari orang yang dikenalnya tersebut”.
“Pantas saja sejak kedatanganku tadi, aku tidak melihat Begawan Mayangkara sama sekali, ternyata aku yang tidak mengetahui perkembangan yang terjadi. Jika mbokayu sudah tahu semua ini, lalu kenapa mbokayu tidak memberitahukannya kepadaku sejak tadi?”. bertanya Nyi Sekar Mirah yang kini sudah mulai mampu mengendalikan perasaannya setelah bergejolak dengan hebatnya.
“Kakang Agung Sedayu telah berpesan agar aku menahannya lebih dulu, terutama waktu kita masih di Tanah Perdikan Menoreh. Karena menurut perhitungannya, pasti kau akan jadi waringuten setelah mengetahui keadaan Glagah Putih, dan itu pasti akan mengundang perhatian banyak orang dan sangat mungkin sekali jika ada yang mengetahui tentang hal ini di Tanah Perdikan Menoreh pasti akan gempar, terutama Rara Wulan. Dan itu yang ingin dihindari kakang Agung Sedayu”.
“Kini aku mengerti”.
“Sebenarnya pada awalnya kakang Agung Sedayu sempat ingin membawa tubuh Glagah Putih ke rumahnya di Tanah Perdikan Menoreh yang sekarang jarang ditinggali, namun jika demikian maka akan menyulitkan dalam merawatnya. Karena jika tiba-tiba ada Glagah Putih disana pasti akan membuat gempar. Maka dari itu, kakang Agung Sedayu membawanya kemari setelah diperhitungkan kembali dengan masak”.
“Kakang Agung Sedayu memang adalah seorang yang peragu, namun dalam keadaan yang genting dan mendesak, dia mampu membuat pertimbangan yang masak dan cepat dibandingkan dengan aku sendiri”.
“Ya.. begitulah kakang Agung Sedayu”.
“Lalu bagaimana dengan keadaan Glagah Putih sekarang? dan sampai kapan dia akan mampu bertahan jika sukmanya tidak dapat segera ditemukan?”.
“Berdasarkan keterangan yang aku dengar, jika sampai nanti lewat matahari terbit sukma Glagah Putih belum kembali ke tubuhnya, maka akan semakin kecil kemungkinan dia akan mampu bertahan, kecuali jika Yang Maha Welas Asih masih memberikan kesempatan”.
“Bukankah Begawan Mayangkara hingga kini belum terlihat tanda-tanda akan kembali?”.
“Itulah yang membuatku menjadi semakin berdebar-debar menghadapi keadaan ini, mungkin Begawan Mayangkara tidak dapat segera menemukan orang yang dicarinya tersebut, sehingga membuat dia harus mencarinya lebih dulu kemanapun”.
“Benar keadaan yang sulit”.
“Demikianlah, tapi kita tidak dapat berbuat lain selain hanya menunggu Begawan Mayangkara sedang berusaha mencari orang yang dianggapnya akan mampu untuk membantunya, tapi aku sendiri tidak tahu Begawan Mayangkara itu akan mencarinya kemana? karena dia sendiri tidak mengatakannya”.
“Bagaimana jika Begawan Mayangkara tidak dapat segera menemukan orang yang dicarinya itu, mbokayu? sedangkan tadi kau bilang jika lewat matahari terbit sukma Glagah Putih belum kembali, maka…”. ucap Nyi Sekar Mirah yang tiba-tiba tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
“Entahlah… sebab aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa”. sahut Nyi Pandan Wangi dengan lesu.
Sejenak keduanya menjadi terdiam karena bingung apa yang harus mereka lakukan. Sementara langit yang luas di sebelah timur sudah mulai terlihat cahaya keremangan, sebagai pertanda tidak lama lagi matahari akan terbit.
Sementara Nyi Anjani telah kembali ke pendapa dengan membawa nampan yang berisi minuman hangat dan beberapa potong ketela rambat wulung yang dikukus.
Tidak lama kemudian Ki Agung Sedayu pun telah terlihat memasuki pendapa yang tidak begitu luas itu, setelah pekerjaannya mengganti baluran obat pada tubuh adik sepupunya itu selesai. Tanpa sadar dirinya memandang ke langit sebelah timur, yang mulai terlihat cahaya keremangan.
“Apakah Begawan Mayangkara tidak dapat segera menemukan orang yang dicarinya?”.
“Bagaimana keadaan Glagah Putih, kakang?”. bertanya Nyi Sekar Mirah setelah melihat suaminya duduk di hadapannya.
“Masih dalam keadaan yang sulit, bahkan sekarang menjadi saat-saat yang paling menentukan baginya”.
“Apakah Begawan Mayangkara belum ada kabar beritanya?”.
“Belum… bahkan karena dia tidak kunjung ada tanda-tanda telah kembali, aku sempat berpikir bahwa sepertinya Begawan Mayangkara menemui kesulitan untuk menemukan orang yang dicarinya itu, tapi semoga hanya perasaanku saja. Tapi masalahnya kita sedang dikejar waktu, bahkan waktu yang hanya sak kedeping netra pun akan sangat berarti sekali dalam keadaan seperti ini”.
“Aku mengerti kakang, semoga saja Begawan Mayangkara dapat membantu kesulitan yang sedang dialami Glagah Putih”. sahut Nyi Pandan Wangi.
“Sejauh pengenalanku terhadap Eyang Mayangkara, dia adalah orang yang dapat dipercaya. Dan dia tidak pernah main-main dengan kesanggupannya”. sahut Nyi Anjani.
“Masalah itu akupun percaya, Anjani. Namun yang menjadi masalah sekarang adalah apakah dia menemui kesulitan dalam menemukan orang yang dicarinya? sehingga dia akan kehilangan waktu yang sudah semakin sempit ini. Karena jika dia baru dapat menemukan orang yang dicarinya itu setelah matahari terbit, maka sangat kecil sekali kemungkinan Glagah Putih untuk tetap bertahan”. sahut Ki Agung Sedayu.
Nyi Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya setelah menyadari keterlanjurannya. Dirinya pun menjadi heran, kenapa Eyang Mayangkara tak kunjung kembali bersama orang yang dimaksudnya, dalam hati dia pun mulai membenarkan kata-kata suaminya, mungkin Eyang Mayangkara tidak dapat segera menemukan orang tersebut sehingga mungkin harus mencarinya dulu entah kemana.
“Untuk mengurangi segala kegelisahan, sebaiknya kita gunakan waktu ini untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, agar segala kesulitan yang kita alami segera dapat terselesaikan dengan cara yang paling baik”.
“Mbokayu Pandan Wangi benar, lagipula sekarang ini tidak ada yang dapat kita lakukan selain nenuwun dan berpasrah diri seutuhnya kepada Yang Maha Welas Asih”. sahut Nyi Anjani.
Kemudian mereka mulai meneguk minuman hangat dan menikmati ketela rambat wulung yang masih mengepul di pagi yang dingin, dapat sedikit membantu menghangatkan tubuh mereka walau sesaat, sembari tak henti-hentinya dalam hati mereka untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih.
Dengan berpasrah diri seutuhnya kepada Yang Maha Welas Asih memang telah sedikit banyak dapat mengurangi kegelisahan dan ketegangan mereka. Namun hati kecil mereka tetap tidak dapat dibohongi, karena tetap saja hati mereka kurang mapan, apalagi dalam waktu yang semakin sempit.
“Karena sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan, bagaimana jika kita panjatkan panuwun kita kepada Yang Maha Welas Asih di dekat Glagah Putih, sembari kita menjaganya?”. berkata Nyi Pandan Wangi tiba-tiba.
“Aku sependapat”. sahut Ki Agung Sedayu.
Sepertinya yang lain pun sependapat pula dengan gagasan ibu Sekar Wangi tersebut, kemudian mereka pun segera beranjak dari tempat duduknya masing-masing menuju bilik pembaringan Ki Lurah Glagah Putih.
Hampir tidak ada yang membuka suara ketika mereka memasuki bilik hingga duduk di atas dingklik kayu di samping amben bambu, Namun Ki Agung Sedayu menjadi heran karena tiba-tiba ketiga istrinya memandangnya.
“Kenapa kalian memandangku seperti itu?”.
“Kakang pimpinlah pemanjatan panuwun ini!”. sahut Nyi Sekar Mirah yang menyadari suaminya belum tanggap arti dari pandangan matanya tersebut.
“Oh… aku kira kenapa dengan kalian. Baiklah”.
Dengan dipimpin oleh Ki Agung Sedayu kemudian keempat orang tersebut mulai terhanyut dalam pemanjatan nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih dalam kepasrahan yang utuh.
Sekumpulan burung dan hewan-hewan lain yang berada di sekitar tempat itu yang mengetahui maksud baik mereka pun seakan ikut mengiringi nenuwun keempat orang linuwih tersebut dengan caranya masing-masing.
***
Sementara itu di waktu yang hampir bersamaan, tampak ada beberapa orang yang sedang tergesa-gesa jalannya menyusuri jalan setapak menuju sebuah rumah yang agak jauh terpisah dengan rumah kebanyakan.
Dari beberapa orang tersebut tampak ada satu orang yang umurnya lebih tua dari yang lain, sekitar paruh baya. Dan terlihat berwajah garang sembari membawa pedang yang agak besar dibanding dengan yang lain dan dilekatkan di samping lambung.
Wajah-wajah penuh kegelisahan terpancar dari orang-orang tersebut, ternyata mereka sedang menyusuri jalan setapak yang sangat rumpil menuju ke arah rumah seorang dukun tua yang sudah sangat kawentar kemampuannya dalam mengobati, meskipun terkadang terkesan aneh cara yang digunakan.
Biasanya memang mereka yang datang memiliki suatu keperluan yang berhubungan dengan untuk meminta pertolongan untuk mengobati seseorang yang sedang sakit atau sejenisnya, sebab memang demikianlah kebanyakan orang yang jauh-jauh datang mencari Kyai Pujangkara.
Di sekitar tempat itu, Kyai Pujangkara memang dikenal sebagai seorang dukun yang sering menolong orang sakit, bahkan bisa dibilang dukun yang memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan dukun lain di sekitar tempat tersebut.
Meskipun dia tidak pernah mau disebut sebagai orang yang memiliki kelebihan, dan yang semakin membuat orang-orang sekitarnya semakin kagum adalah Kyai Pujangkara tidak pernah mau menerima imbalan dalam bentuk apapun dari setiap orang yang ditolongnya meskipun orang tersebut adalah orang yang melimpah harta bendanya sekalipun.
Berdasarkan dari mulut ke mulut itulah, kemampuan Kyai Pujangkara itu semakin dikenal luas. Bahkan banyak orang-orang yang datang dari tempat yang jauh sekalipun tidak segan-segan untuk meminta pertolongannya.
“Kyai.. Kyai Pujangkara…”. berkata orang yang berwajah kasar itu setengah berteriak sembari menggedor-gedor pintu, setelah sampai di rumah yang dituju.
“Kyai Pujangkara, aku mau minta tolong. Anakku sedang sakit keras”. berkata orang itu lagi sembari masih menggedor-gedor pintu karena saking tidak sabarnya menunggu.
“Kyai…”.
Belum lagi orang tersebut menyelesaikan kata-katanya, dirinya sangat terkejut ketika ada seseorang yang bertubuh tinggi besar dan hampir seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu halus berwarna putih membuka selarak pintu dari dalam.
Seketika orang-orang yang baru saja datang untuk mencari Kyai Pujangkara itu mundur beberapa langkah surut, setelah melihat orang yang sangat aneh telah menyambut kedatangan mereka dengan kening berkerut penuh tanda tanya.
“Apakah kalian tidak tahu subhasita bertamu?”. bertanya orang yang baru saja keluar dengan suara berat.
Mendapat pertanyaan itu mereka tidak segera menjawab, namun menjadi saling pandang dengan penuh arti, kecuali orang berwajah garang yang kebetulan berdiri paling depan.
Awalnya perasaan mereka yang dipenuhi dengan semangat pada waktu akan berangkat. Namun ketika disambut orang yang aneh dan sangat berwibawa, seakan semangat keberanian mereka tiba-tiba layu, seperti kerupuk yang tercebur ke dalam air.
“Maaf Ki Sanak, aku tidak bermaksud deksura. Namun keadaanlah yang membuatku berbuat demikian, sebab aku sedang berpacu dengan waktu”.
“Apa maksudmu?”.
“Anak semata wayangku sekarang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan segera, sebab tiba-tiba tubuhnya panas dan kejang-kejang sejak dini hari tadi, aku datang kemari dengan maksud untuk meminta pertolongan kepada Kyai Pujangkara untuk dapat segera mengobatinya”.
“Tapi maaf Ki Sanak, Kyai Pujangkara sedang pergi dan aku tidak tahu kapan dia akan kembali. Sebelum dia pergi sempat berpesan kepadaku, jika ada tamu datang dan mau sabar menunggu maka dipersilahkan, tapi jika tidak dapat menunggu ya terserah”.
“Kau jangan mencoba untuk membohongiku, Ki Sanak. Kyai Pujangkara pasti ada di dalam”.
“Apakah kau tidak mempercayai aku?”.
“Aku dapat mempercayaimu jika aku sudah memeriksa seluruh rumah ini dan tidak dapat menemukannya”.
“Apakah kau akan menggeledah seluruh isi rumah ini?”.
“Benar Ki Sanak”.
“Tapi aku keberatan”.
“Apa hakmu dapat merasa keberatan? bukankah kau hanyalah seorang tamu di rumah ini? jadi kedudukan kita adalah sama, kita adalah sama-sama tamu disini. Jadi kau tidak punya hak untuk melarangku. Tapi jika kau berusaha menghalang-halangi langkahku, berarti kau memang berusaha menyembunyikan Kyai Pujangkara di dalam, apapun alasanmu”.
“Aku tidak berusaha menghalangi siapapun, namun aku hanya berusaha melaksanakan apa yang menjadi pesan Kyai Pujangkara dengan sebaik-baiknya sebelum dia pergi. Lagipula apakah pantas jika sebagai seorang tamu kau berani memasuki rumah orang lain tanpa seizin tuan rumah?”.
“Jika dia memang pergi, seharusnya kau tidak keberatan jika aku memeriksa rumahnya. Tapi jika kau keberatan, berarti ada yang kau sembunyikan dariku”.
“Kau jangan kehilangan akal, Ki Sanak”.
“Aku memang telah kehilangan akal karena polah tingkahmu yang menghalangi aku yang sedang berusaha mencarikan pertolongan untuk mengobati anakku yang sedang sakit keras”.
“Maaf Ki Sanak, jika itu masalahnya aku akan mencoba untuk membantumu”.
“Apa maksud Ki Sanak?”.
“Jika kau percaya, aku akan berusaha membantu mengobati anakmu itu, meskipun aku tidak dapat menjanjikan bahwa pasti dapat menyembuhkannya, karena kesembuhannya itu tergantung atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih. Tapi bukankah akan lebih baik jika kita mencobanya lebih dulu”.
“Baiklah, jika demikian marilah kau ikut aku!”.
“Maaf Ki Sanak, aku tidak dapat meninggalkan rumah ini sebelum Kyai Pujangkara kembali. Jika kau tidak keberatan, bawalah anakmu itu kemari agar aku dapat mencoba membantu”.
“Sepertinya kau sengaja mempersulit usahaku, karena membawa anakku kemari itu tidak mudah. Kau pasti tahu bahwa jalan menuju rumah ini hanya ada jalan setapak dan sangat rumpil, dan tidak dapat dilewati oleh pedati. Apalagi jika membawa orang yang sakit, bisa-bisa justru akan memperburuk keadaannya sebelum dia benar-benar mendapatkan pertolongan”.
“Aku tidak berusaha mempersulit usahamu, ini adalah sebuah penawaran yang dapat aku lakukan saat ini. Jika kau ingin aku mendatangi rumahmu, aku minta waktu hingga Kyai Pujangkara kembali. Baru aku bersedia”.
“Jika harus menunggu Kyai Pujangkara, bukankah lebih baik aku minta tolong langsung kepadanya. Lagipula aku sudah tahu sejauh mana kemampuannya, tidak seperti dirimu yang baru aku lihat kali ini. Atau jangan-jangan kau memang sengaja berbuat demikian karena ingin meminta upah yang tinggi?”.
“Aku tidak seburuk seperti yang kau bayangkan, Ki Sanak. Perlu kau tahu, bahwa aku tidak pernah mengharap pamrih apapun jika aku dapat membantu sesama”.
“Siapa yang dapat mempercayaimu, Ki Sanak? apalagi baru kali ini kita bertemu. Apakah aku akan dengan mudahnya langsung mempercayaimu untuk menolong anakku?”.
“Terserah kau saja, yang penting aku sudah berusaha membantu. Jika kau tidak mau, itu menjadi urusanmu bukan urusanku”.
“Kakang sudah terlalu banyak bicara, sekarang bagaimana dengan anakmu? bisa-bisa anakmu terlanjur sekarat karena terlalu lama menunggu ayahnya banyak bicara disini tanpa membawa hasil apapun ketika kembali ke rumah”. ucap kawannya mengingatkan.
“Kau benar, hampir saja aku melupakannya”. sahut orang berwajah garang itu yang sepertinya menjadi pemimpin kelompok, seakan tersadar setelah mendengar peringatan kawannya.
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?”.
“Mencari Kyai Pujangkara hingga ketemu, bagaimanapun caranya”. sahut orang yang berwajah garang.
Sementara Begawan Mayangkara yang memiliki panggrahita yang sangat tajam, dapat segera menduga apa yang akan mereka lakukan. Namun dia seperti sengaja hanya mendengarkan pembicaraan orang-orang yang baru saja datang itu sembari bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Minggirlah Ki Sanak, aku akan memeriksa seluruh isi rumah ini, kau jangan menghalangi pekerjaanku. Karena aku tidak ada waktu bermain-main”.
“Aku tidak akan menghalangimu, tapi aku hanya melaksanakan pesan Kyai Pujangkara sebelum pergi. Dan kau telah menjadi tamu yang tidak tahu diri dan melupakan segala subhasita dalam bertamu ke rumah orang”.
“Jangan sampai aku memaksamu dengan kekerasan”.
“Endapkanlah perasaanmu! kita masih dapat membicarakan ini secara baik-baik untuk mencari jalan keluar masalahmu”.
“Aku sudah terlalu sabar, bersiaplah!”.
“Terserah padamu saja, aku sudah memperingatkanmu”.
Begawan Mayangkara masih tetap tenang dalam menghadapi tamu yang sebenarnya mencari Kyai Pujangkara yang sudah semakin marah tersebut, tapi dirinya tidak pernah meninggalkan kewaspadaan pada segala kemungkinan. Karena dia pun tidak mau terjerumus dalam kesulitan karena meremehkan kemampuan orang yang baru dilihatnya.
Dengan lompatan pendek dan kecepatan tinggi, kemudian orang berwajah garang itu langsung menyerang dada yang terlihat terbuka dengan penuh keyakinan bahwa orang yang diserangnya akan merasakan kesakitan.
Orang berwajah garang merasa memiliki bekal kawruh kanuragan yang bisa dibanggakan di daerah tempat tinggalnya itu menjadi sangat terkejut ketika tangan kanannya telah mengenai sasarannya, namun tidak pernah menduga apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Tangan itu bagaikan menghantam potongan wesi gligen yang sangat keras, lalu dengan serta merta dia menarik tangannya yang kini merasa kesakitan dan mundur beberapa langkah surut untuk menilai kembali apa yang sebenarnya terjadi.
“Setan Alas, Genderuwo, Tetekan”.
Hanya sumpah serapah yang sejadi-jadinya dan sangat kotor keluar dari mulut orang yang menyerang Begawan Mayangkara, namun kemudian justru dia sendiri lah yang menjadi kesakitan tangannya yang dipergunakan untuk menyerang.
“Apa yang terjadi, kakang?”. bertanya kawannya heran.
“Tubuhnya seperti potongan wesi gligen”.
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang? apakah kakang Waru menyerah begitu saja?”.
“Kau jangan banyak bicara! segera cabut senjata kalian dan serang orang aneh itu”.
Tanpa mengulangi perintah, kawan-kawannya yang berjumlah empat orang itu segera mencabut senjatanya masing-masing, lalu membentuk lingkaran untuk mengitari Begawan Mayangkara yang kini telah memasuki halaman.
“Kalian jangan kehilangan akal! senjata yang kalian bawa itu sangat berbahaya. Apakah kita sudah tidak dapat bicara baik-baik? aku tahu bahwa sebenarnya kalian adalah orang baik, mungkin karena keadaanlah yang membuat kalian berubah sikap”.
Mendengar ucapan Begawan Mayangkara itu, hati mereka mulai terusik. Penalaran mereka mulai menimbang-nimbang tentang apa yang telah mereka lakukan.
“Kalian jangan dengarkan kata-katanya! kita sedang dikejar waktu untuk mengobati anakku yang sakit keras”.
“Aku peringatkan kepada kalian, jangan sampai kalian menolong orang lain tapi dengan mengorbankan nyawa kalian sendiri. Apakah menurut kalian itu setimpal dengan pengorbanan kalian?”.
“Semakin kalian mendengarkan kata-katanya, maka pekerjaan kita akan semakin tertunda. Dan aku akan membunuh kalian semua jika sampai anakku tidak terselamatkan karena kebodohan kalian”.
Setelah mendengar ancaman dari Ki Waru yang menjadi pemimpin mereka, salah satu dari mereka segera menyerang orang yang sangat aneh di depannya dengan kecepatan yang sangat tinggi tanpa peringatan sama sekali.
Tapi hal yang tidak pernah diduga kembali terjadi, karena pedang yang diayunkan itu dapat ditangkap dengan tangan kosong oleh Begawan Mayangkara.
Kemudian dengan sebuah hentakan yang berlangsung dengan cepatnya pula, pedang itu telah berpindah tangan. Bahkan pemilik pedang itu tidak menyadari bahwa dirinya telah kehilangan senjata kebanggaannya.
Dengan wajah kebingungan, orang itupun segera melompat surut beberapa langkah ke belakang untuk menilai kembali apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Ki Waru yang sedang dicengkam dengan kegelisahan yang sangat mengingat keadaan anak semata wayangnya itupun menjadi semakin tegang ketika melihat kenyataan yang terjadi di depan matanya tersebut. Tanpa sadar, dirinya mulai menilai kembali apa yang mereka lakukan dengan pertimbangan yang lebih baik.
Ki Waru yang selama ini terkenal sebagai orang yang baik namun berhati keras, akhirnya menyadari kenyataan. Namun hal yang tak pernah diduga oleh kawan-kawannya pun terjadi.
“Ampun Ki Sanak. Aku menyerah. Aku mohon ampun”. berkata Ki Waru sembari melemparkan pedang yang baru saja dicabutnya dan menjatuhkan diri ke tanah.
***
Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, di tempat yang dipenuhi dengan kegelapan dimana Ki Lurah Glagah Putih masih berada di alam Gung Liwang-Liwung pada tataran paling bawah sedang mengalami kejadian yang sangat mendebarkan.
“Sudah sekian lama aku menunggu kedatanganmu, Glagah Putih. Akhirnya kau datang pula ke tempat ini”. berkata orang yang baru saja datang tersebut.
Ki Lurah Glagah Putih yang masih belum mampu berbicara sekaligus menggerakkan bagian tubuhnya karena masih dalam cengkeraman kekuatan yang tak kasat mata itu hanya bisa terkejut dan keheranan.
Di alam yang dipenuhi dengan tabir kegelapan, Ki Lurah Glagah Putih tidak mampu melihat orang yang baru saja datang itu seutuhnya karena keterbatasan pandangannya, kecuali hanya dalam pandangan sekilas dan sama-samar.
Jika melihat ciri-cirinya, dalam hati dia merasa belum pernah bertemu, apalagi mengenal orang yang baru saja datang tersebut selama ini, tapi dia merasa tidak asing dengan orang tersebut.
“Siapakah dia? dan dari mana dia dapat mengenali aku? tapi hati kecilku merasa bahwa sepertinya aku tidak asing dengannya”. membatin ayah Arya Nakula.
“Kau tak perlu heran apalagi kebingungan, Glagah Putih. Nanti kau juga akan mengetahui sendiri siapakah aku sebenarnya”. berkata orang itu yang sepertinya mampu mendengar suara hati anak Ki Widura tersebut.
Belum hilang rasa terkejutnya, Ki Lurah Glagah Putih kembali terkejut sekali lagi ketika sosok di hadapannya ternyata dapat mendengar suara hatinya yang penuh dengan tanda tanya.
“Yang jelas kau tidak perlu takut kepadaku karena aku tidak bermaksud jahat kepadamu, justru kedatanganku kemari adalah untuk menyelamatkanmu dari alam ini. Alam kesasar, alam penasaran, dan alam penuh tipu daya”.
“Kau siapa berani mengganggu pekerjaanku? jika kau berani mengganggu pekerjaanku maka jangan salahkan aku jika aku juga akan melemparkanmu ke alam penyiksaan pula bersamaan dengan Glagah Putih”. ucap Danyang alam itu yang masih belum menampakkan dirinya.
“Aku tidak perlu menjelaskan kepadamu siapakah aku, karena kau pasti tahu siapa aku”.
“Ya.. aku tahu siapa dirimu, tapi kenapa kau datang kemari? apa keperluanmu? jangan sampai kau mengganggu pekerjaanku”.
“Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu, aku hanya meminta Glagah Putih ikut bersamaku, itu saja”.
“Jika demikian maumu, sama saja artinya kau mengganggu pekerjaanku. Apakah kau tidak takut jika nanti aku lempar ke alam penyiksaan?”.
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar pembicaraan aneh itu, kecuali hanya dapat berdebar-debar. Namun penalarannya mulai menduga-duga apa yang bakal terjadi setelah itu.
“Apakah kau lupa siapakah aku? hingga kau masih berani berkata demikian?”. sahut orang yang baru saja datang.
“Aku tidak pernah lupa siapa dirimu, tapi jika kau berusaha mengganggu pekerjaanku maka aku tidak segan-segan melemparmu ke alam penyiksaan”.
“Jika kau tidak lupa siapakah diriku, seharusnya kau tidak pernah berkata demikian atau kau segera menarik kata-katamu itu sebelum kau menyesal karena telah berani mengancamku”.
“Baiklah.. aku menyerah, dan aku tarik kembali kata-kataku”.
“Nah.. bukankah itu lebih baik. Sekarang aku akan membawa Glagah Putih, sebab aku ada keperluan dengannya dan yang telah aku nantikan sekian lama”.
“Baiklah… terserah kau saja”.
Ki Lurah Glagah Putih menjadi sangat heran dengan apa yang didengarnya, dan seakan tidak dapat mempercayai apa yang didengarnya sendiri tentang hasil akhir pembicaraan tersebut, namun dirinya masih tetap saja belum dapat berbuat apa-apa.
Setelah itu orang tersebut segera menghampiri Ki Lurah Glagah Putih yang masih dengan wajah penuh kebingungan, lalu meraih salah satu lengannya.
“Tutuplah matamu! aku akan membawamu ke suatu tempat, dan disanalah kau akan mengetahui siapakah sebenarnya diriku yang telah membuatmu penasaran”.
Ki Lurah Glagah Putih yang telah dibebaskan dari malapetaka yang paling mengerikan itu hanya dapat mengikuti perintah orang tersebut, sebab memang tidak ada yang dapat dilakukannya selain hanya mengikutinya. Dan karena pada kenyataannya memang orang itulah yang telah menyelamatkan dirinya.
Meskipun ayah Arya Nakula tidak tahu akan dibawa kemana dan akan diperlakukan seperti apa nantinya, namun jika melihat sikap orang asing itu dirinya sepertinya memiliki harapan bahwa nasibnya akan lebih baik.
Menghadapi semua itu Ki Lurah Glagah Putih tak henti-hentinya nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar nasibnya di alam Gung Liwang-liwung selalu mendapat perlindungan-Nya.
Syukur-syukur nasibnya mendapatkan tempat yang paling baik, meskipun dirinya menyadari bahwa dirinya adalah orang yang bergelimang dosa selama hidupnya di alam padang.
Tapi bukankah Yang Maha Welas Asih adalah Maha Pemurah serta Maha Penolong pula? jadi tidak ada salahnya jika dirinya sebagai hambanya memiliki panuwun yang demikian.
Untuk diterima atau tidaknya panuwun yang dia panjatkan kepada Yang Maha Welas Asih adalah urusan nanti, karena yang paling penting adalah dia sudah berusaha sejauh yang dia tahu dan sejauh yang dia dapat upayakan dalam kepasrahan yang utuh secara lahir dan batin.
Alam Gung Liwang-Liwung memang tempat yang begitu rumit dan pelik untuk dijelaskan, selain itu sukar pula untuk dinalar dengan penalaran kebanyakan orang. Hanya atas kemurahan Yang Maha Welas Asih lah manusia dapat memecahkan segala teka-teki dan misteri di dalamnya.
Orang yang telah memiliki bekal kawruh kanuragan sundul langit sekalipun tidak pernah ada gunanya jika telah memasuki alam Gung Liwang-Liwung, karena segala kemampuan yang dipelajari selama hidup di alam padang seakan memudar begitu saja dan tak berbekas sama sekali jika sudah memasuki alam tersebut.
Sebagai contoh adalah Ki Lurah Gagah Putih yang telah mengalami sendiri kenyataan itu, ternyata kawruh kanuragan yang pernah dipelajari hingga tataran yang sangat tinggi pun tak mampu menolongnya ketika berhadapan dengan Danyang Alam Gung Liwang-Liwung beberapa saat tadi.
“Bukalah matamu, Glagah Putih”.
Secara perlahan-lahan Ki Lurah Glagah Putih mulai membuka matanya. Namun betapa terkejutnya setelah itu, sebab apa yang dilihatnya kini adalah sebuah pemandangan yang belum pernah dilihatnya selama ini.
Dengan wajah penuh kebingungan dan penuh tanda tanya, ayah Arya Nakula itu berusaha meyakinkan apa yang sedang dilihatnya dengan membuka kedua matanya lebar-lebar sembari mengedarkan pandangan matanya terhadap keadaan di sekitarnya.
Selain itu dirinya ternyata memang belum mampu mengenali siapakah gerangan orang yang berada di hadapannya, sebab selama dalam pengenalannya di alam padang sejauh ingatannya dia merasa belum pernah bertemu apalagi mengenalnya.
“Aku sudah menduga bahwa kau pasti akan merasa keheranan dan kebingungan jika melihat aku dan pemandangan yang seperti ini, karena kau pasti masih merasa asing denganku dan semua ini”. berkata orang yang telah membawa menantu Ki Purbarumeksa ke tempat tersebut.
Bagaimana Ki Lurah Glagah Putih tidak merasa heran dan terkejut terhadap apa yang telah dilihatnya, karena kini dia sedang berada di sebuah tempat yang sangat terang benderang, dan tidak terdapat benda ataupun mahkluk lain selain mereka berdua dan tubuhnya seakan melayang di udara.
Sangat berbeda sekali dengan apa yang dilihat dan dialaminya di alam sebelumnya, tempat dimana penuh dengan tabir kegelapan dan misteri yang sangat mengerikan.
Dan kini Ki Lurah Glagah Putih pun dapat melihat dengan sangat jelas siapakah yang membawanya ke tempat itu, namun tetap saja dirinya merasa tidak dapat mengenalinya. Meskipun dalam hati kecilnya dia merasa tidak asing dengan orang yang berdiri di hadapannya.
Orang yang terlihat sangat bersih dan hampir seluruh tubuhnya memancarkan cahaya, dan tatapan matanya pun tidak terlihat kegelisahan, kecurigaan, ketakutan, dan gambaran watak buruk lainnya sama sekali. Tapi tatapan kedua matanya itu selalu penuh dengan ketenangan dan kepasrahan kepada Yang Maha Welas Asih seutuhnya, yang tidak dapat dilihat pada orang di alam padang.
“Kau tidak perlu merasa heran, Glagah Putih. Ini adalah alam Gung Liwang-Liwung pada tataran paling tinggi, atau tempat dimana semua titah alam padang dapat menggapai pintu gerbang alam Kasuwargan Jati jika sudah mampu menggapai tataran alam ini dengan caranya masing-masing”.
“Kasuwargan Jati?”. gumam Ki Lurah Glagah Putih kebingungan dan penuh tanda tanya.
Karena entah apa yang terjadi padanya, setelah dirinya memasuki alam tersebut, segala belenggu kekuatan yang telah mencekeram seluruh tubuhnya seakan telah menguap begitu saja. Bahkan Ki Lurah Glagah Putih pun kini dapat merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan untuk digerakkan.
“Benar Glagah Putih, tapi tidak mudah untuk dapat memasuki alam Kasuwargan Jati, sebab ada syarat-syarat yang harus dipenuhi lebih dulu sebelum kita diizinkan Yang Maha Welas Asih untuk memasukinya, dan setiap orang memiliki cara dan jalannya sendiri untuk menggapainya. Dan untuk aku pribadi, salah satunya adalah aku harus menunggumu”.
Menantu Ki Purbarumeksa itu berusaha mencerna setiap apa yang telah dialami dan didengarnya selama memasuki alam Gung Liwang-Liwung, sebab semua itu masih asing baginya.
“Aku? kenapa harus menunggu aku? lalu siapakah Ki Sanak sebenarnya? karena aku masih belum mampu mengenalimu”.
“Ketahuilah Glagah Putih bahwa aku adalah sahabat baikmu waktu kita sama-sama berada di alam padang”.
“Sahabat? sahabat dari mana?”.
“Dulu kita di alam padang pernah mengembara bersama dengan menyusuri jalan-jalan setapak, menyusuri panjangnya aliran sungai, keluar masuk hutan yang bagaimanapun lebatnya. Dan kita pernah pula menjalani laku prihatin bersama di tempat-tempat sepi dan wingit yang jarang dijamah orang.
“Apakah..? apakah…? kau adalah….”.
“Ya.. kau benar Glagah Putih, di alam padang aku adalah putra dari Kanjeng Rama Panembahan Senopati yang menjadi penguasa di Mataram”.
Bagaikan disambar petir di teriknya matahari, Ki Lurah Glagah Putih benar-benar terkejut dan tak pernah menduga sebelumnya. Setelah dirinya menyadari berhadapan dengan siapa, lalu dia berusaha menjatuhkan dirinya, namun segera dicegah.
“Maaf Raden, jika aku telah bersikap deksura kepadamu. Semua itu karena kebodohanku yang tidak dapat mengenali dengan siapakah aku berhadapan saat ini”.
“Glagah Putih… mulai sekarang kau tidak perlu lagi bersikap demikian kepadaku”.
“Mengapa demikian? apa maksud Raden?”.
“Ketahuilah Glagah Putih.. bahwa harta, tahta, dan asmara hanya berlaku di alam padang. Jika kita telah memasuki alam ini semua itu tidak berlaku sama sekali meskipun kau di alam padang menjadi rajanya para raja yang paling dihormati sekalipun”.
Ki Lurah Glagah Putih yang masih dalam kebingungan, berusaha mengerti apa yang telah didengarnya. Sebab kini dirinya harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan barunya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Raden?”.
“Sebenarnya kau sudah tidak perlu lagi menyebutku dengan sebutan raden, karena itu hanyalah gelar yang berlaku selama aku berada di alam padang. Sekarang kau dapat langsung menyebut namaku, tanpa tambahan gelar Kusuma Rembesing Madu yang aku warisi dari ayahku”.
“Tapi aku belum bisa, sebab sudah menjadi kebiasaanku sebagai Trah Pidak Pidarakan bersikap terhadap pepunden yang aku pundi-pundi, kapanpun dan dimanapun”.
“Jika demikian keputusanmu, terserah kau saja. Sebab yang paling penting adalah aku telah memberitahukannya kepadamu, sehingga nanti aku tidak dipersalahkan”.
“Maaf Raden, tadi kau sempat bilang bahwa telah menungguku sekian lama. Sebenarnya ada keperluan apa kau menungguku?”.
“Begini Glagah Putih. Karena kau adalah satu-satunya orang yang telah mewarisi ilmuku di alam padang, dan kebetulan ilmu yang aku wariskan itu kau manfaatkan bagi kepentingan sesama, maka kau adalah satu-satunya orang yang bisa mengantarkan aku untuk memasuki alam Kasuwargan Jati, sebagai penebusan atas segala dosa-dosa yang pernah aku lakukan di alam padang”.
“Kenapa harus aku? kenapa bukan sanak kadang atau keluarga terdekat yang Raden Tunggu?”.
“Bukankah kau tahu sendiri Glagah Putih selama kita sama-sama berada di alam padang, aku tidak mudah dekat dengan siapapun meskipun itu keluargaku sendiri, maka dari itu dulu aku sering meninggalkan Istana untuk mencari apa yang aku cari yang pada waktu itu entah dimana tempatnya, secara kebetulan setelah aku melihatmu beberapa kali, aku merasa bahwa kita ada kecocokan sehingga kemudian kita dapat bersahabat baik. Dan akhirnya menjelang saat-saat terakhir waktuku di alam padang, aku dapat mewariskan sisa-sisa ilmuku karena aku berpikir ilmuku akan jauh lebih bermanfaat jika kau yang memilikinya”.
“Oh.. begitu rupanya. Sekarang aku mulai dapat mencerna kenapa Raden harus menungguku sekian lama di alam ini. Sebuah tempat atau alam yang masih membuatku bingung dengan segala misteri dan teka-tekinya”.
“Ilange Yakso Katon Gapurane Noto”.
“Maksud Raden?”.
“Itulah nama lain dari alam ini, karena tataran alam yang paling bawah tadi yang penuh dengan tabir kegelapan itu dapat pula disebut sebagai alam Yaksa atau alam hawa nafsu yang dapat menjegal siapapun yang tidak mampu melewatinya, karena berbagai alasannya masing-masing”.
“Meskipun aku masih bingung dengan semua ini, namun aku akan berusaha mengerti. Semoga saja pengertianku tidak salah akan kebenaran yang sebenarnya. Sebab dengan pengertianku yang salah maka akan dapat menyesatkan diriku sendiri”.
“Harusnya memang demikian, maka dari itu kau harus dapat mengerti semua ini dengan pengertian yang sejatinya kebenaran. Lalu apakah penyebab yang membuatmu memasuki alam ini, Glagah Putih? sebab tidak mungkin jika kau tidak sengaja, kesasar, atau hanya sekedar sedang bermain-main”.
“Sebenarnya aku sedang mengemban tugas dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma yang saat ini menjadi pepunden di Mataram untuk ikut dalam perang di Wirasaba, sehubungan dengan gegayuhannya untuk mempersatukan seluruh Tanah Jawa di bawah panji-panji Mataram”.
“Lalu apa yang terjadi?”.
“Kebetulan di saat-saat terakhir perang aku mendapat tugas untuk berperang tanding melawan Ki Patih Rangga Permana, yang sebenarnya sebelumnya telah menantang Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma. Namun Pangeran Pringgalaya keberatan, sebab dianggap tidak seimbang kedudukannya”.
“Lalu kau lah yang kemudian ditugaskan untuk melawan Ki Patih Rangga Permana itu? pada akhirnya kau saling beradu ilmu puncak, dan kau kalah?”.
“Untuk kalah dan menangnya aku tidak tahu, Raden. Karena begitu ilmu puncak kami saling beradu, aku langsung kehilangan kesadaran. Dan tahu-tahu aku sudah berada di alam yang penuh dengan kegelapan, tempat kita bertemu tadi”.
“Begitu rupanya”.
“Tapi ada kejadian aneh yang aku rasakan pada saat aku melepaskan ilmu puncakku”.
“Kejadian aneh? kejadian apa itu?”.
“Karena aku merasa bahwa lawanku berperang tanding itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga penalaranku hanya dapat berpikir untuk mengetrapkan ilmu puncakku setinggi-tingginya dan hidup dan matiku aku pasrahkan seutuhnya kepada Yang Maha Agung. Tapi pada saat pelepasan ilmu puncak yang aku kuasai itu, pada saat-saat terakhir aku menyadari bahwa tubuhku sempat bergejolak karena dorongan kekuatan yang tidak aku mengerti berusaha keluar dari dalam tubuhku dan menambah kekuatan ilmu puncak yang aku lepaskan tersebut”.
“Dorongan kekuatan dari dalam tubuhmu?”.
“Benar Raden”.
“Apakah kau benar-benar tidak mengetahuinya?”.
“Aku benar-benar tidak tahu Raden, karena selama aku ngangsu kawruh kanuragan, sebelumnya aku tidak pernah mendengar atau bahkan mengalaminya sendiri kejadian yang demikian. Atau mungkin karena kebodohanku sehingga tidak mengetahui itu?”.
“Ketahuilah Glagah Putih, jika dilihat dari ceritamu itu aku dapat menyimpulkan bahwa kekuatan itu adalah kekuatan yang bersumber dari ilmu yang kau warisi dariku dulu”.
“Ilmu dari Raden?”.
“Benar Glagah Putih, itu adalah ilmu yang kau warisi dariku. Ilmu itu seakan mubal dan mendorong kemampuanmu lebih tinggi tatarannya karena kau berusaha mengetrapkan ilmu puncakmu itu setinggi-tingginya dalam keadaan kepasrahan yang utuh kepada Yang Maha Welas Asih atas dasar kepatuhanmu dalam mengemban tugas dari pepundenmu dan bukan karena hawa nafsumu pribadi. Jika apa yang kau lakukan itu karena dorongan dari hawa nafsumu secara pribadi, maka dapat aku pastikan kau akan mengalami nasib yang sebaliknya”.
“Oh.. begitu rupanya. Kini aku baru mengerti kenapa terjadi hal yang demikian pada diriku waktu itu, Raden. Sebab jika tidak terjadi demikian maka tubuhku pasti akan lumat melawan kemampuan ilmu puncak dari Ki Patih Rangga Permana yang sangat tinggi dan nggegirisi”.
“Begitulah kehidupan bebrayan di alam padang, dapat diibaratkan seperti cakra manggilingan yang selalu berputar dan berputar saja dan seakan tidak pernah ada habisnya, mungkin hanya berganti orang dan masanya saja. Tapi pada intinya, hidup bebrayan itu tidak lepas dari harta, tahta, dan asmara”.
“Raden Benar”.
“Dalam hidup bebrayan itu kita memang membutuhkan harta, tahta, dan asmara. Namun jangan sampai kita pengendalian atas semua itu. Karena jika kita terbuai di dalamnya, maka justru akan menjerumuskan kita dalam kesulitan”.
“Aku sependapat, Raden. Selama kita menjalani hidup bebrayan di alam padang memang kita diwajibkan untuk selalu berusaha mengendalikan diri dari hawa nafsu kita sendiri yang senantiasa nggiri goda terhadap setiap langkah laku kita dari segala harta, tahta, dan asmara”.
“Itulah garis dari Yang Maha Agung yang harus kita jalani”.
“Demikianlah, Raden”.
“Harta, tahta, dan asmara itu bukan tujuan hidup manusia, namun hanya bagian dari perjalanan hidup manusia. Tapi kebanyakan orang lupa akan semua itu jika sudah masuk di dalam lingkaran tersebut, karena kebanyakan orang akan menjadi terbuai dan terhanyut dalam kenikmatan yang berlangsung ibarat hanya sekedar mampir ngombe, sebelum kita semua diminta mempertanggung jawabkannya di hadapan Yang Maha Agung”.
“Itulah yang sering kita lupa sebagai manusia ketika masih hidup di alam padang dalam kehidupan bebrayan, Raden. Baik dalam bebrayan alit maupun bebrayan agung. Sebab kita lebih sering terbuai dalam kenikmatan yang semu daripada harus melakukan suatu pekerjaan yang menjauhkan diri dari itu semua”.
“Tapi sekarang kita sudah tidak dapat mengubah apapun akan semua itu, karena kini kita sudah tidak berada di alam padang. Dan sekarang yang dapat kita lakukan hanyalah menunggu kemurahan dari Yang Maha Welas Asih atas nasib kita”.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Raden?”.
“Sekarang yang dapat kita lakukan hanyalah meminta ampunan atas segala dosa yang pernah kita perbuat dan memanjatkan panuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar dapat menerima kita. Jika kita beruntung, panuwun kita diterima, maka Gapura Nata yang menghalangi langkah kita untuk memasuki alam Kasuwargan Jati menjadi terbuka”.
“Butuh berapa lamakah kita melakukan semua itu, Raden?”. bertanya Ki Lurah Glagah Putih tanpa sadarnya.
“Kita tidak akan pernah tahu berapa lamanya. Jika beruntung tidak akan lama, namun jika keberuntungan belum berpihak kepada kita, maka dapat sepanjang waktu kita melakukannya disini. Semua itu tergantung atas segala panuwun kita diterima atau tidaknya oleh Yang Maha Welas Asih”.
“Aku percaya kepada Raden, sebaiknya kita segera melakukannya dan semoga Yang Maha Welas Asih segera mengabulkan panuwun kita berdua. Jika tidak, maka kita pasrahkan segalanya kepada Yang Maha Agung atas nasib kita ini”.
Ki Lurah Glagah Putih dan Raden Rangga segera mengambil sikap untuk memohon ampunan atas segala dosa yang pernah mereka perbuat masing-masing selama mereka mendapat kesempatan hidup di alam padang dan kemudian dilanjutkan untuk memanjatkan panuwunnya agar dapat diizinkan untuk memasuki alam Kasuwargan Jati.
Mereka berdua berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh dalam meminta segala ampunan kepada Yang Maha Welas Asih, selain itu pula mereka benar-benar dalam kepasrahan yang utuh secara lahir dan batin.
Dalam panuwunan itu mereka berusaha menyatukan antara hati, pikiran, dan ucapan. Sebab jika mereka tidak menyatukan semua itu maka itu artinya pemusatan nalar budi yang mereka lakukan itu belum benar-benar memusat, sehingga tidak akan pernah dapat mencapai titik puncak yang mereka cari.
Kemudian mereka berdua mulai terhanyut dalam pengetrapan nalar budi hingga ke tataran puncak dalam kepasrahan utuh kepada Yang Maha Welas Asih.
Mereka sudah tidak memperdulikan lagi apa yang bakal terjadi kepada diri mereka dan apa yang bakal terjadi di sekitar tempat mereka berada jika mereka sudah mencapai tataran puncak pemusatan nalar budi.
Di dalam panuwunan itu tidak ada yang lain, selain hanya meminta ampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan masing-masing selama hidup di alam bebrayan dan agar sesambat mereka segera disembadani oleh Yang Maha Welas Asih selaku penguasa seluruh alam. Karena jika tanpa itu, niscaya semua hanyalah sebuah kemustahilan semata.
Tekad mereka sudah sangat bulat, bahkan jika seandainya sukma mereka disambar petir sekalipun mereka sudah tidak peduli dengan segala akibatnya. Karena yang mereka cari adalah ampunan dari Yang Maha Welas Asih semata dan mereka berharap agar dapat memasuki alam Kasuwargan Jati.
Entah sudah berapa lama keduanya terhanyut dalam sikap pemusatan nalar budi hingga tataran puncak, sehingga mereka berdua tidak menyadari keadaan sekitar.
Ternyata apa yang mereka lakukan itu disaksikan oleh seseorang yang sejak beberapa saat tadi, dia seperti sengaja membiarkan segala tingkah laku keduanya untuk menggapai sebuah gegayuhan yang didamba-dambakan.
Orang yang mengawasi itu sepertinya sengaja menunggu saat yang tepat untuk menjalankan tugasnya, yang belum disadari sama sekali kehadirannya oleh Ki Lurah Glagah Putih dan Raden Rangga, putra dari Kanjeng Panembahan Senopati.
bersambung ke
Djilid
14
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar