PRAHARA
di
TANAH LELUHUR
Djilid
2
oleh :
MD. Prastiyo
cover :
M Faruk
Editing dan profreading Adiwaswarna & Satpam Pelangi
KATA PENGANTAR
Cerita ini disusun bukan bermaksud untuk menyamai atau bahkan mensejajarkan diri dengan sang maestro pujangga. Karena penulis yang sedang belajar sangat menyadari jika masih jauh dari semua itu
Karya ini murni dibuat, atas dasar kekaguman penulis kepada sang maestro pujangga yang telah mendahului kita menghadap Yang Maha Agung.
Penulis menyadari sepenuhnya jika penulis masih sedang belajar dan perlu bimbingan dari ki dan nyi sanak semua. Penulis sangat berterima kasih jika ki dan nyi sanak semua berkenan memberikan pencerahan kepada penulis, agar tulisan semakin berkembang lebih baik.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini mungkin tidak bisa memenuhi keinginan semua pembaca. Hal ini semata karena kurangnya referensi dan pengalaman menulis. Jika di dalam cerita silat ini masih banyak kejanggalan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
TERIMA KASIH
Padepokan Tanah Leluhur
Agustus , 2022
*****
Pagi itu di Kademangan Sangkal Putung terlihat sangat cerah meskipun matahari baru sepenggalah. Suara burung-burung yang hinggap di pepohonan menambah keindahan segala ciptaan Yang Maha Agung.
Rombongan penunggang kuda yang dibagi menjadi dua kelompok berangkat dari Kademangan Sangkal Putung itu dengan gembira, apalagi bagi yang belum lama bisa menunggang kuda sendiri.
Setelah rombongan yang pertama telah melewati daerah Lemah Cengkar, maka tidak butuh waktu lama lagi untuk sampai tujuan, yaitu Padepokan Orang Bercambuk. Karena sepertinya tidak ada gangguan yang berarti selama di perjalanan.
Tidak lama kemudian rombongan yang pertama, rombongan yang terdapat perempuan-perempuan perkasa dengan pakaian khususnya serta dengan senjata khususnya pula, mulai melihat bangunan Padepokan Orang Bercambuk dari kejauhan. Meskipun mereka berkuda tapi mereka tidak tergesa-gesa dengan memacu kudanya.
"Sebentar lagi kita akan sampai tujuan, apa kau lelah nggér, Arya Nakula?". bertanya Nyi Pandan Wangi sembari menoleh ke belakang.
"Tidak, Bibi". jawab Arya Nakula singkat
Setelah mereka berkuda beberapa puluh tombak lagi, maka sampailah mereka di depan pintu regol Padepokan yang sudah disambut oleh dua orang Cantrik yang masih sangat muda yang sedang bertugas. Rombongan itu kemudian turun dari kudanya tepat di di depan pintu regol.
"Senang sekali rasanya Padepokan ini sering dikunjungi tamu-tamu besar". berkata salah seorang Cantrik.
Meskipun kedua cantrik itu belum pernah mengenal mereka secara pribadi, kecuali Nyi Sekar Mirah. Tapi mereka dapat mengenali tamu-tamunya itu dari ciri-ciri yang disandang, karena mereka sering disebut para pemimpin padepokan.
"Kami bukanlah tamu". jawab Nyi Pandan Wangi sambil tersenyum.
"Silahkan kalian tunggu sebentar, Kami akan memberitahukan kedatangan kalian kepada Ki Untara". berkata cantrik yang satu lagi yang bertubuh sedikit lebih tinggi.
Lalu mereka menuntun kuda-kuda mereka menuju ke tempat penambatan kuda yang telah disediakan. setelah itu bergantian pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri, baru kemudian menunggu di pendapa.
Tidak beberapa lama rombongan itu menunggu di pendapa, Ki Untara keluar dari bangunan utama Padepokan untuk menyambut tamu-tamunya yang baru saja tiba. Tidak lupa mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing.
"Kedatangan kalian cukup mengejutkanku, bukankah tidak ada kepentingan yang mendesak?". bertanya Ki Untara memulai pembicaraan.
"Maafkan kami kakang, jika kedatangan kami mengejutkan seisi Padepokan. Tapi kakang tidak perlu khawatir karena kami hanya berkunjung". jawab Nyi Pandan Wangi yang membuat Ki Untara lega.
“Kakang Untara, apakah Ki Agahan sedang sibuk?” bertanya Nyi Sekar Mirah.
Namun sebelum Ki Untara menjawab, pembicaraan mereka terputus ketika dari bangunan induk keluar seseorang yang berperawakan sedang, yang terlihat masih lemah tubuhnya, ingin pula menyambut tamunya yang baru saja tiba.
"Sepertinya Ki Agahan sedang kurang sehat?". bertanya Nyi Sekar Mirah setelah mereka saling berhadapan.
"Aku tidak apa-apa Nyi Sekar Mirah, hanya perlu sedikit istirahat saja". jawab Ki Agahan sembari tersenyum.
"Ki Agahan masih dalam masa pemulihan setelah terluka dalam". berkata Ki Untara menjelaskan.
"Terluka dalam? apa Ki Agahan baru saja bertempur?". bertanya Nyi Sekar Mirah terkejut dan tidak sabar.
Tetapi sebelum pembicaraan mereka berlanjut, dari kejauhan samar-samar terdengar derap kaki kuda, sepertinya beberapa ekor kuda. Ki Untara dan Ki Agahan sejenak terdiam.
"Itu pasti rombongan Glagah Putih, kakang". Nyi Pandan Wangi menjelaskan.
Sejenak kemudian munculah dua orang cantrik yang menyajikan minuman dan beberapa potong makanan yang terbuat dari singkong, dan pada waktu yang hampir bersamaan rombongan Ki Lurah Glagah Putih memasuki pendapa.
"Nggér, apa aku boleh minta wedang jahe panas tanpa gula?". bertanya Ki Jayaraga kepada seorang cantrik di dekatnya.
"Baik Ki, akan segera aku buatkan". jawab Cantrik sambil setengah membungkuk.
"Terima kasih". jawab Ki Jayaraga sembari menepuk salah satu pundak cantrik itu.
Setelah beberapa saat mereka menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan, bersama rombongan Ki Lurah Glagah Putih yang baru saja tiba. Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat terputus.
Ki Untara menjelaskan kejadian di Padepokan Orang Bercambuk dua hari yang lalu secara runtut, hingga Ki Agahan yang mengalami luka dalam. Orang-orang yang mendengarkan menganggukkan kepalanya.
"Sepertinya aku tidak pernah mengenalnya secara pribadi. Tapi sejauh pengetahuanku dia adalah seorang Panji yang belum lama mendapatkan anugerah kenaikan pangkat. Dan dia beberapa kali telah menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi". berkata Ki Lurah Glagah Putih setelah berusaha mengingat lawan Ki Agahan.
“Setelah aku ingat-ingat, sepertinya aku juga belum pernah mengenalnya selama menjadi prajurit, apalagi sekarang aku sudah purna tugas. Mungkin saja jika dia dulu lebih banyak bertugas jauh dari Mataram sehingga aku tidak pernah mendengar namanya” Ki Untara ikut menanggapi.
“Jika aku tidak salah, dia belum lama diwisuda menjadi seorang Panji setelah dia menyelesaikan tugasnya di bang wetan, kakang Untara”
“Pantas saja jika aku tidak mengenalnya, Glagah Putih” ucap Ki Untara.
"Kamuktén memang sering membuat manusia melupakan keseimbangan hidup bebrayan, baik bebrayan alit maupun bebrayan agung". Ki Jayaraga menanggapi. Lanjutnya, "padahal hidup ini seperti cakra manggilingan, ada kalanya kita diatas ada saatnya pula kita berada dibawah".
"Benar sekali Ki Jayaraga". ucap Ki Untara. sejenak kemudian suasana menjadi hening karena disibukkan dengan pikiran masing-masing.
* * *
Sementara Bagus Sadewa sedang menikmati kesenangan barunya dengan menemani beberapa cantrik yang bekerja di sawah yang tidak jauh dari Padepokan Orang Bercambuk.
Bagus Sadewa memang adalah cantrik yang paling kecil, baik secara umur dan tubuhnya, tapi dia sangat bersemangat sekali membantu beberapa cantrik yang bekerja di sawah meskipun hasil kerjanya belum seberapa tapi dia sangat senang sekali bisa membantu.
Dengan cangkul di tangannya dan berada di tengah sawah, dia berusaha mengayunkan cangkulnya sekuat tenaga. Meskipun di bawah teriknya sinar matahari yang menyengat tidak menyurutkan semangatnya.
“adi Bagus Sadewa, Jika kau lelah beristirahatlah ke gubuk” berkata salah satu cantrik.
“Iya kakang, tapi aku sekarang belum lelah”
Beberapa cantrik yang melihatnya hanya menarik nafas dalam-dalam. Hati mereka menyatakan kekaguman pada cantrik yang paling kecil di Padepokan orang bercambuk itu. Meskipun Ayahnya adalah orang terbesar kedua setelah Kyai Gringsing, tapi tidak membuatnya menjadi manja dan gila hormat.
Sementara matahari semakin bergeser ke sisi barat. Dan mereka mulai membereskan alat-alat kerja mereka lalu menyimpannya di gubuk yang berada di pinggir sawah. Tapi sebelum mereka benar-benar pulang, mereka menyempatkan mencari ikan di sepanjang pematang untuk nanti bisa dijadikan lauk.
“Kakang, liang ini ada ikannya” berkata Bagus Sadewa sembari merogoh sebuah liang di pinggir sawah mereka hingga hampir seluruh tangannya terbenam.
Bagus Sadewa kemudian berusaha mengeluarkan ikan itu dari liang dengan susah payah, dan akhirnya dia berhasil. Tapi di luar dugaan ikan gabus itu terlepas kembali ke air persawahan, secara naluriah dia langsung menubruknya, sehingga mendapatkan ikan itu kembali.
Tapi Bagus Sadewa lupa jika saat dia menubruknya, bajunya menjadi berlumuran lumpur dan para cantrik yang melihatnya tidak bisa menahan tawa mereka.
Setelah beberapa lama mereka mencari ikan dan keong sawah, setelah dirasa cukup. Mereka memutuskan untuk segera pulang karena tidak lama lagi matahari akan tenggelam.
* * *
"Maaf Nyi Sekar Mirah". berkata Ki Agahan memecah keheningan. Lalu "sepertinya anakmas Bagus Sadewa sedang ikut ke sawah bersama beberapa cantrik".
"Ah..tidak mengapa Ki Agahan, aku malah senang mendengarnya, jangan karena dia adalah anak kakang Agung Sedayu lalu kalian manjakan. Lagipula Ayahnya ingin Bagus Sadewa tumbuh dengan sewajarnya, justru jika kalian manjakan dia, kalianlah yang akan dimarahi kakang Agung Sedayu". jawab Nyi Sekar Mirah yang membuat Ki Agahan lega.
"Akan aku suruh seorang cantrik untuk memberitahukan kedatangan Nyi Sekar Mirah". ucap Ki Agahan.
"Tidak perlu Ki Agahan, biarkan aku tunggu saja kepulangannya tanpa mengganggu kesenangan barunya".
"Baiklah kalau begitu".
"Kakang Untara dan Ki Agahan" Nyi Pandan Wangi berhenti sejenak ketika kedua orang yang disebut kemudian memperbaiki letak duduknya. Lalu, "maksudku datang kesini selain memang ingin berkunjung, tapi aku ada keperluan lain".
Ki Untara yang tanggap, lalu memberikan isyarat kepada Ki Agahan. "katakan saja Nyi Pandan Wangi, aku akan berusaha menjalankan perintah dengan sebaik-baiknya".
"Ah , jangan begitu Ki Agahan. Aku tidak berhak memerintah kalian, tapi aku ingin minta tolong".
"Bagi kami seisi padepokan, permintaan dari keluarga murid-murid utama Swargi Kyai Gringsing, adalah perintah. Nyi Pandan Wangi masih saja sungkan rupanya. Tapi baiklah, katakan saja".
Kemudian Nyi Pandan Wangi menyampaikan maksud kunjungannya ke Padepokan Orang Bercambuk, serta menyampaikan wasiat mendiang suaminya untuk menitipkan Bayu Swandana di Padepokan Jati Anom.
"Kami sangat senang mendengarnya, tapi sebelum anakmas Bayu Swandana memulai nyantrik disini, aku mewakili seisi padepokan untuk menyampaikan permintaan maaf jika pada nantinya tidak seperti yang diharapkan".
"Maksud Ki Agahan ?".
Sebelum menjawab, Ki Agahan meminum wedang jahénya dengan gula kelapa beberapa teguk, "aku rasa bekal yang kami miliki tidak seberapa jika dibandingkan dengan murid-murid utama, maka dari itu aku minta maaf".
"Ah, jangan begitu Ki Agahan. Aku percaya jika Ki Agahan sudah mendekati tataran ilmu murid-murid utama, apalagi sejauh pengetahuanku, kau adalah salah satu murid yang sangat dekat dan dikasihi oleh Swargi Kyai Gringsing".
"Aku rasa Swargi Kyai Gringsing mengasihi semua murid-muridnya, dan aku hanya berusaha berbakti sejauh aku mampu". ucap Ki Agahan dengan sedikit membungkuk.
"Kakang Agahan, mumpung disini ada salah satu orangnya, siapa tahu kita dapat tambahan kawruh". ucap Putut Darpa yang sedari tadi diam saja meskipun duduk di dekat Ki Agahan.
"Ah, kita tidak boleh deksura kepada saudara seperguruan yang lebih tua adi Darpa, kecuali yang bersangkutan berkenan dengan sendirinya".
"Ah, kalian pandai sekali untuk menggodaku agar ikut urun rembug". Ki Lurah Glagah Putih menanggapi, lalu tertawa pendek.
"Maaf Ki Lurah Glagah Putih, bukan maksud kami untuk menggoda, tapi memang sangat berharap jika Ki Lurah berkenan memberikan tambahan kawruh kepada kami yang masih bodoh ini" kali ini Putut Darpita yang berkata.
"Ah, kalian jangan menggodaku begitu, meskipun aku di ijinkan menyadap ilmu dari Padepokan Orang Bercambuk yang bersumber dari kitab Windhujati, serta oleh Swargi Kyai Gringsing direstui menjadi salah satu murid utamanya, tapi aku baru mengenal dasar-dasarnya saja sejauh ini. Sangat berbeda dengan kalian, apalagi kakang kakang Agung Sedayu. Karena dasar ilmuku bukan berasal dari ilmu Windhujati".
"Adi berdua mendengar sendiri, mungkin kita belum beruntung". ucap Ki Agahan yang di tujukan kepada Putut Darpa dan Darpita.
"Maaf nggér, jika aku diperkenankan ikut urun rembug. Sejauh pengenalanku terhadap Swargi Kyai Gringsing, dia tidak pernah membatasi murid-muridnya untuk ngangsu kawruh dari manapun, tapi yang paling utama adalah jangan sampai mengganggu watak ilmu yang sebelumnya". berkata Ki Jayaraga.
"Benar sekali Ki Jayaraga. Karena dulu aku juga pernah mendengarnya sendiri Kyai Gringsing berkata demikian".
"Karena bagi Kyai Gringsing itu bukan sumber ilmunya dan setinggi apa ilmunya, tapi seberapa jauh ilmu itu berguna bagi sesama".
Mereka yang mendengar ucapan Ki Jayaraga hanya mengangguk membenarkan tanpa jawaban apapun yang terucap, meskipun murid-murid Padepokan Orang Bercambuk belum begitu mengenalnya, tapi mereka sering mendengar namanya disebut oleh sesepuh.
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu ketika mereka membicarakan hal-hal yang menarik bagi mereka, dan mereka baru menyadarinya saat langit di ufuk barat mulai nampak kemerah-merahan karena sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Bagus Sadewa yang pada hari itu ikut pergi ke sawah bersama beberapa cantrik sudah terlihat mulai memasuki padepokan dengan pakaian kotor terkena lumpur, membawa satu kepis yang hampir penuh berisi ikan gabus dan lele serta setengah kepis keong sawah yang ditangkapnya sebelum pulang bekerja di sawah.
“Adi Bagus Sadewa, segeralah bersihkan dirimu! karena Ibumu sudah menunggu di pendapa” berkata seorang cantrik yang lebih tua saat Bagus Sadewa memasuki dapur.
“ibuku datang? apakah dia sendiri kakang?”
“Tidak, Nyi Sekar Mirah bersama keluarga dari Tanah Perdikan Menoreh”
“Tanah Perdikan Menoreh?”
“Benar adi Bagus Sadewa, bersiaplah! nanti kau akan mengetahuinya sendiri”.
“Baiklah kakang, aku akan membersihkan diri dulu ke pakiwan”.
Setelah Bagus Sadewa selesai membersihkan diri, dia segera menemui Ibunya beserta keluarga dari Tanah Perdikan Menoreh di pendapa.
Tanpa terasa air mata menetes dari pelupuk mata Nyi Sekar Mirah saat memeluk anaknya yang baru saja datang. Tapi itu hanya berlangsung sesaat saja karena Nyi Pandan Wangi sudah berdiri di sebelahnya, yang juga ingin menyalami dan memeluk Bagus Sadewa.
Entah apa yang ada didalam hati Nyi Pandan Wangi, tapi dia merasa bahwa Bagus Sadewa seperti anaknya sendiri. Meskipun Bagus Sadewa dibesarkan di Sangkal Putung dan sekarang di Jati Anom, tapi dia dulu di lahirkan di Tanah Perdikan Menoreh, tepatnya di rumah Nyi Pandan Wangi.
Karena dulu saat menjelang kelahiran Bagus Sadewa, Ayahnya harus pergi meninggalkan ibunya karena tugas keprajuritan untuk melawat ke timur. Atas pertimbangan keamanan dan kerepotan saat kelahiran, maka dulu Nyi Sekar Mirah sementara harus mengungsi ke rumah Nyi Pandan Wangi.
“Kau sudah besar ngger” ucap Nyi Pandan Wangi sembari memeluk Bagus Sadewa dengan eratnya.
Bagus Sadewa hanya diam dan pasrah saja diperlakukan seperti itu oleh Nyi Pandan Wangi, dan itu hanya beberapa saat saja.
“Ngger Bayu Swandana, kemarilah! ini adalah Bagus Sadewa anak bibi Sekar Mirah yang dulu lahirnya di rumah kita, mungkin kau samar-samar masih ingat?”
“Aku tidak ingat Ibu”. jawab Bayu Swandana singkat.
“Kau memang dulu masih terlalu kecil ngger, jadi wajar jika kau sekarang lupa”.
“Bayu Swandana, meskipun kau lebih tua dari Bagus Sadewa, tapi secara silsilah kau harus menyebutnya dengan sebutan kakang. Karena Swargi Ayahmu adalah adik seperguruannya Ayah Bagus Sadewa”.
“Mengapa bisa begitu ibu? bukankah Ayah adalah kakak iparnya paman Agung Sedayu?’.
“Benar ngger, tapi Ayahmu lebih dulu menjadi adik seperguruannya daripada menjadi kakak iparnya”.
Bayu Swandana yang mendengar keterangan ibunya hanya diam saja, tanpa berani menjawab lagi meskipun ada yang kurang mapan di hatinya.
Kemudian Bagus Sadewa menyalami Ki Lurah Glagah Putih dan anak istrinya, “apa aku tidak salah lihat, jika diperhatikan Bagus Sadewa dan Arya Nakula seperti ada kemiripan” celetuk Nyi Lurah Glagah Putih sembari memperhatikan keduanya dengan seksama.
Orang-orang yang mendengarnya pun tanpa mereka sadari ikut memperhatikan kedua anak tersebut.
“Kau benar juga Rara Wulan, aku justru tidak begitu memperhatikannya” jawab Nyi Sekar Mirah sembari mengerutkan keningnya, lalu tertawa.
“Meskipun Bagus Sadewa sedikit lebih tinggi, tapi memang keduanya banyak kemiripan, seperti anak kembar” Ki Lurah Glagah Putih yang ikut menimpali, lalu tertawa.
Sejenak kemudian suasana menjadi riuh karena kedua anak yang beda Ayah dan beda Ibu itu, seakan-akan seperti anak kembar, meskipun masih ada pula beberapa perbedaannya, seperti hidung Bagus Sadewa yang sedikit lebih mancung.
Suasana yang riuh itu terputus karena pada waktu yang hampir bersamaan ada dua anak muda keluar dari ruang dalam yang juga ingin menyambut tamu-tamunya.
“Ini adalah anak-anaknya kakang Untara, Umbara dan Bagaskara”. berkata Nyi Sekar Mirah yang menyadari siapa yang datang menyambut tamu.
Setelah beberapa saat pembicaraan mereka terputus ketika terdengar suara panggilan kewajiban kepada Yang Maha Agung. Dan setelah makan malam, baru mereka melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat terputus.
“Bayu Swandana, disini kau harus menghormati dan mematuhi Ki Agahan, para sesepuh, dan semua penghuni padepokan ini”. berkata Nyi Pandan Wangi memulai pembicaraan di bawah cahaya bulan menjelang purnama penuh.
“Iya Ibu”
“Nyi Pandan Wangi tidak perlu khawatir, karena aku percaya jika anakmas Bayu Swandana adalah anak yang baik”. Ki Agahan menimpali.
“Semoga Bayu Swandana tidak merepotkan kalian disini, dan aku serahkan purba wasesa kepada Ki Agahan dan kakang Untara jika Bayu Swandana melanggar wewaler padepokan ini”. berkata Nyi Pandan Wangi yang terlihat bersungguh-sungguh.
“Ah, Nyi Pandan Wangi sepertinya berpikir terlalu ngaya-wara”.
“Aku bersungguh-sungguh Ki Agahan”. Nyi Pandan Wangi cepat memotong dan Bayu Swandana yang merasa dibicarakan hanya diam saja tanpa berani menimpali.
“Baiklah Pandan Wangi, aku dan Ki Agahan akan berusaha membantu apa yang menjadi keinginanmu” berkata Ki Untara yang berusaha menengahi pembicaraan, karena Ki Agahan terlihat merasa segan.
“Ki Agahan tidak perlu bimbang dalam bertindak jika nantinya selama Bayu Swandana berada disini melanggar paugeran, karena sudah mendapat purba wasesa langsung dari Ibunya. Dan mbokayu Pandan Wangi bisa berkata demikian pasti punya alasannya”. ucap Nyi Sekar Mirah ikut menimpali.
“Baiklah jika demikian. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semuanya yang sudah memberi kepercayaan kepadaku”. jawab Ki Agahan pada akhirnya.
“Kita semua patut bersyukur kepada Yang Maha Agung, karena kita semua telah dipertemukan dan selanjutnya bisa menjadi sebuah keluarga besar dan bisa dikatakan melebihi keluarga sendiri dengan penuh rasa kepercayaan yang begitu tinggi”. ucap Ki Jayaraga yang sedari tadi lebih banyak diam.
“Benar sekali Ki Jayaraga, dan untuk mendapatkan sebuah kepercayaan itu tidak mudah, apalagi jika kita belum saling mengenal” berkata Ki Agahan Menanggapi.
“Arya Nakula, apa kau juga ingin nyantrik disini?” berkata Ki Untara mengalihkan pembicaraan.
“Bolehkah Ayah?’”
“Kau masih terlalu kecil ngger, pasti Ibu belum mengijinkanmu” jawab Ki Lurah Glagah Putih.
Arya Nakula yang mendapat jawaban seperti itu lalu menoleh ke arah Ibunya. Nyi Lurah yang melihat sikap anaknya itu hanya tersenyum.
“Ibu tidak berkata apa-apa Ayah” berkata Arya Nakula sembari menoleh kembali ke Ayahnya.
“Itu tandanya Ibumu belum mengijinkanmu ngger” jawab Ki Lurah Glagah Putih yang di balas raut wajah murung sang anak.
“Sabarlah ngger, jika nanti kau sudah waktunya, Ayah dan Ibu pasti akan mengijinkanmu”. berkata Nyi Lurah Glagah Putih sembari mengusap-usap kepala anak kesayangannya itu.
“Benarkah Ibu?”
“Iya ngger”
Arya Nakula pada awalnya tampak gembira mendengar jawaban dari ibunya, tapi sesaat kemudian dia terlihat memikirkan sesuatu.
“Waktunya kapan Ibu?”
“Ayah dan Ibu belum bisa memastikan kapan waktunya ngger, karena itu juga tergantung dengan perkembanganmu kedepannya, bisa cepat tapi bisa juga lambat”
“Perkembangan apa yang Ibu maksudkan?’” bertanya Arya Nakula yang belum mengerti.
“Ya perkembangan wadagmu juga perkembangan penalaranmu, karena untuk belajar kanuragan itu kau harus siap semua itu”.
“Bukankah jika aku terlalu lama menunggu, aku akan semakin tertinggal dengan yang lain?”
Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar jawaban anak kesayangannya tersenyum lalu katanya, “tidak ada yang mengejarmu ngger”.
“Tapi Ayah, aku tidak mau kalah dengan yang lain”.
“Namanya ngangsu kawruh itu bukan bagaimana cara kita untuk memulai, tapi bagaimana cara kita untuk mengakhiri. Bahkan sampai saat ini Ayah dan semua yang ada disini tidak pernah berhenti untuk ngangsu kawruh”.
Arya Nakula yang mendengar keterangan Ayahnya tidak menjawab tapi mulai bisa mencerna sedikit demi sedikit untuk dimengerti.
“Anakmas Arya Nakula tidak perlu tergesa-gesa, kami akan selalu sabar menunggu” Ki Agahan menambahkan.
Semakin malam, pembicaraan semakin gayeng saja hingga tanpa terasa waktu telah memasuki madya ratri dengan ditandai suara kentongan yang dipukul dua kali.
“Berhubung waktu sudah memasuki tengah malam, silahkan untuk semua para tamu beristirahat. Biarlah kalian diantar para cantrik” berkata Ki Agahan.
Beberapa saat kemudian, orang-orang yang berkumpul di pendapa satu persatu mulai memasuki bilik yang telah disiapkan. Meskipun awalnya para tamu dipersilahkan untuk menempati bilik masing-masing, akan tetapi mereka rupanya lebih senang mengajak kawan.
Sudah barang tentu Ki Lurah Glagah Putih bersama istrinya berada di dalam satu bilik, lalu Nyi Sekar Mirah lebih senang berada satu bilik dengan Nyi Pandan Wangi, entah mengapa Arya Nakula tertarik ingin berada satu bilik bersama Bagus Sadewa, sementara Ki Jayaraga dan Bayu Swandana saja yang menempati bilik masing-masing.
Ketika Bagus Sadewa dan Arya Nakula memasuki bilik, Arya Nakula sangat terkejut ketika melihat sesuatu yang nyalawadi dari dalam bilik dalam cahaya keremangan lampu dlupak yang diletakkan di ujung bilik.
“Apa itu kakang Bagus Sadewa?” tanya Arya Nakula setengah berteriak sembari menunjuk ke arah dalam bilik, hingga membuat orang-orang yang sudah akan memasuki bilik masing-masing datang menghampirinya.
“Tidak apa-apa adi Arya Nakula, itu hanya kucing peliharaanku” jawab Bagus Sadewa sembari tersenyum dan masih berdiri di depan pintu biliknya.
“Apa Ibu tidak salah lihat ngger?” bertanya Nyi Sekar Mirah dari belakang.
“Tidak Ibu”
“Darimana kau mendapatkannya?”
Kemudian Bagus Sadewa menceritakan secara singkat awal mula dia mendapatkan Lodra, lalu atas ijin tapi dengan syarat oleh Ki Agahan dipeliharanya di padepokan.
Ki Agahan yang sudah berdiri di depan bilik Bagus Sadewa pun lalu menjelaskan mengapa dia berani memberikan ijin kepada Bagus Sadewa untuk memelihara seekor anak macan kumbang di padepokan. Ternyata orang-orang yang mendengarnya bisa mengerti alasan KI Agahan, Lalu mereka pun menuju bilik masing-masing.
Sedangkan Arya Nakula yang kebetulan akan berada di dalam bilik yang sama dengan Bagus Sadewa memiliki perasaan yang campur aduk, antara senang tapi ada juga rasa takut, tapi kakak sepupunya itu meyakinkannya bahwa Lodra tidak berbahaya.
Lodra yang melihat majikannya memasuki bilik hanya sedikit menggeram dan melihatnya sesaat lalu memejamkan matanya kembali dalam pembaringannya di atas tanah.
“Kakang Bagus Sadewa luar biasa mempunyai peliharaan anak macan kumbang yang penurut”.
“Ah, kebetulan saja dia mau mengikutiku adi Arya Nakula. Mungkin karena induknya telah mati terkena jebakan entah oleh siapa pembuatnya”
“Kakang Bagus Sadewa menghabiskan berapa banyak daging setiap harinya, untuk memberinya makan?” bertanya Arya Nakula.
“Aku tidak pernah memberinya makan”
“Lalu bagaimana Lodra makan, kakang?” bertanya Arya Nakula semakin penasaran.
Setelah Bagus Sadewa membaringkan badannya di atas amben, baru dia menjawab, “jika dia merasa lapar, dia akan keluar padepokan sendiri, dan kembali lagi setelahnya”
Arya Nakula yang kemudian ikut berbaring di sebelah kakak sepupunya itu lalu membayangkan sesuatu.
“Tidurlahlah, adi! Waktu sudah melewati madya ratri”
Tidak butuh waktu yang lama, keduanya pun mulai tertidur pulas di atas amben yang sama.
* * *
Sementara di tempat lain yang jauh dari keramaian di saat langit di sisi sebelah timur tampak mulai kemerah-merahan, ada sesosok orang yang tinggi besar, tampak berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya didepan dada, sedang termenung sembari memandangi langit yang mulai kemerah-merahan menjelang matahari terbit.
Karena dari tempat dia berdiri, dapat dengan sangat jelas jika melihat matahari terbit atau matahari tenggelam, karena dia berada di salah satu sisi puncak gunung Kendalisada.
Orang itu pun tidak menyadari sudah berapa lama dia berdiri mematung sendirian di tempat itu karena disibukkan dengan angan-angannya sendiri.
Beberapa saat sebelum matahari terbit tadi, dirinya terbangun karena masih saja terusik oleh permasalahan yang sama.
“Mimpi-mimpi itu begitu menggangguku, tapi apa arti dari semua mimpi-mimpi itu?” tanyanya kepada dirinya sendiri, lalu menarik nafas dalam beberapa kali.
“Aku yakin jika mimpi-mimpi itu saling berkaitan, tapi apa?” katanya lagi di dalam hati.
Pertanyaan itu berulang-ulang dikatakan pada dirinya sendiri, sembari mengingat-ingat semua mimpinya, tapi tak kunjung juga dia mendapatkan jawaban yang memuaskan dirinya.
“Dalam beberapa waktu terakhir ini, aku perhatikan Eyang sering termenung sendirian”
Sebuah suara yang lembut dari seorang perempuan yang sangat cantik dengan badan sintalnya dari arah belakang membuyarkan angan-angan orang yang panggil Eyang itu.
“Anjani” jawab orang itu tanpa menoleh ke arah belakang.
“Jika Eyang mau berbagi kesulitan itu, mungkin aku bisa membantu, atau paling tidak bisa menjadi pendengar yang baik” berkata Anjani.
Orang yang dipanggil Eyang itu menarik nafas dalam beberapa kali sebelum menjawab.
“Anjani, beberapa waktu terakhir ini aku seperti dihantui oleh mimpi-mimpiku sendiri”
“Jika Eyang Mayangkara berkenan berbagi cerita padaku, aku akan berusaha menjadi pendengar yang baik. Mungkin saja aku bisa membantu, meskipun Eyang sudah kawentar kesaktian dan kewaskhitaannya” berkata Anjani dengan senyum menggoda.
“Ah, kau sengaja menyindirku”
Anjani yang mendengar jawaban Eyang Mayangkara tidak menanggapi, tapi hanya tersenyum menggoda yang tersungging di bibir manisnya.
Sesuatu yang terjadi diluar kebiasaan, Eyang Mayangkara yang memang sudah terkenal akan kesaktian dan kewaskitaannya, tetapi ketika dia mempunyai masalahnya sendiri merasa kebingungan untuk memecahkan masalah tersebut.
“Mungkin saat ini aku belum bisa menceritakannya kepadamu Anjani, mungkin lain waktu akan aku ceritakan” berkata Eyang Mayangkara yang tetap dalam posisinya berdiri dan tanpa menoleh.
“Baiklah, itu terserah Eyang saja”
Rara Anjani kemudian mulai meninggalkan Begawan Mayangkara itu dengan langkah lemah gemulai dan meninggalkan wewangian yang sangat harum.
Setelah Rara Anjani telah pergi dari tempat itu, Begawan Mayangkara pun masih merenung untuk beberapa lama, hingga suatu ketika dia mempunyai sebuah gagasan.
“Sepertinya aku mengenal seseorang yang bisa membantu memecahkan permasalahanku ini, semoga saja dia berada di tempatnya. Karena dia adalah orang sangat sulit diduga keberadaannya” katanya dalam hati.
“Ya..semoga saja”
* * *
Dalam pada itu, di pagi yang cerah disaat matahari sepenggalah, di Padepokan Orang Bercambuk yang sedang kedatangan tamu dari keluarga murid-murid utama Kyai Gringsing melanjutkan pembicaraan di pendapa dengan minuman wedang sereh yang masih hangat dan singkong yang dikukus.
“Apakah Ki Agahan sudah semakin sehat?” berkata Nyi Sekar Mirah memulai pembicaraan.
“Sudah Nyi Sekar Mirah, setelah aku meminum obat yang diramu sendiri, keadaanku semakin membaik” jawab Ki Agahan.
“Sepertinya Ki Agahan juga mempelajari ilmu tentang pengobatan rupanya” ucap Nyi Pandan Wangi menanggapi.
“Ah, aku hanya baru tahu ilmu dasarnya saja Nyi Pandan Wangi, karena dulu Swargi Kyai Gringsing adakalanya berkenan aku dampingi disaat meramu obat”
“Tetapi sepertinya Ki Agahan berbakat pula di dalam ilmu pengobatan, dan selanjutnya bisa mengembangkannya sendiri, apalagi sejauh pengetahuanku, di dalam kitab Windhujati tertulis pula ilmu yang mempelajari tentang pengobatan”
“Benar sekali Nyi Pandan Wangi, karena dulu aku pernah sekali waktu diperkenankan melihat kitab itu oleh Swargi Kyai Gringsing, dan mungkin satu-satunya cantrik disini yang mendapat kesempatan itu. Tapi….”
“Tapi kenapa Ki Agahan?” kali ini Nyi Sekar Mirah Yang bertanya.
“Sekarang aku tidak tahu, kitab itu berada dimana” berkata Ki Agahan yang kemudian menarik nafas beberapa kali.
“Glagah Putih, apa kitab itu memang sengaja dirahasiakan keberadaannya?” kali ini Nyi Sekar Mirah bertanya kepada adik sepupu suaminya itu.
Ki Lurah Glagah Putih yang mendapat pertanyaan itu tidak langsung menjawab, sembari mengerutkan keningnya dia pun mengingat-ingat sesuatu.
“Maaf mbokayu, meskipun aku adalah salah satu murid utama, tapi aku juga sudah lama tidak mengetahui keberadaannya. Mungkin kakang Agung Sedayu mengetahuinya”
“Sejauh ingatanku, kitab itu seperti seakan-akan menghilang saat di Tanah Perdikan Menoreh terjadi ontran-ontran, dan entah ada hubungannya atau hanya kebetulan saja, kitab itu menghilang bersamaan dengan perginya Sukra dari rumah yang tanpa pamit waktu itu” Nyi Sekar Mirah menjelaskan kepada orang-orang yang mendengarnya sembari mengingat-ingat kejadian beberapa waktu yang lampau.
“Nyi Sekar Mirah benar, waktu itu di Tanah Perdikan Menoreh banyak kedatangan tamu yang tidak diundang yang memburu kitab Windhujati, bahkan rela hingga mempertaruhkan nyawa mereka” ucap Ki Jayaraga yang kali ini ikut menanggapi.
“Jika aku tidak salah hitung, sepertinya kejadian waktu itu bersamaan dengan tugasku melawat ke timur, setelah belum lama di wisuda menjadi prajurit” ucap Ki Lurah Glagah Putih.
“Baiklah, mungkin masalah ini bisa kita bicarakan kembali lain waktu, apalagi jika ada kakang Agung Sedayu yang kemungkinan mengetahui keberadaannya” berkata Nyi Sekar Mirah.
“Benar Nyi Sekar Mirah, apalagi jika Ki Agung Sedayu berada di antara kita akan menjadi lebih jelas” jawab Ki Agahan.
“Lalu apa rencanamu Pandan Wangi?” kali ini Ki Untara bertanya yang sedari tadi lebih banyak diam saja.
“Kakang Untara, jika Ki Agahan mengijinkan, sepertinya lusa aku akan kembali ke Menoreh”
“Ah, Nyi Pandan Wangi menggodaku saja” berkata Ki Agahan sembari tersenyum. Lalu, “Nyi Pandan Wangi tidak perlu meminta ijin kepadaku, silahkan saja Nyi Pandan Wangi berkenan menginap disini hingga kapanpun sangat di persilahkan, karena bagi kami Nyi Pandan Wangi adalah keluarga sendiri”
“Terima kasih atas kemurahan hati Ki Agahan” ucap Nyi Pandan Wangi sambil tersenyum.
“Ah, jangan bersikap seperti itu Nyi Pandan Wangi, karena hanya akan membuatku sungkan saja” ucap Ki Agahan, yang disambut tawa pendek oleh orang-orang yang mendengarnya.
Orang-orang yang berada di pendapa itu kemudian membicarakan hal-hal yang menarik bagi mereka, hingga pembicaraan itu terputus saat terdengar suara panggilan kewajiban hambaNya kepada Yang Maha Agung, setelah makan siang, Ki Agahan mengajak tamu-tamunya itu berkeliling padepokan.
Arya Nakula yang mendengar hal itu sangat gembira sekali, apalagi ini adalah hal baru baginya. Meskipun ini adalah kedatangannya untuk yang kedua kalinya, tapi dulu dia masih terlalu kecil dan masih sama-samar untuk dapat mengingatnya. Maka sejak dia datang kemarin dia sebenarnya sudah merasa penasaran dengan seisi padepokan tersebut.
“Kakang Bagus Sadewa, kau sudah belajar kawruh apa saja selama berada disini?” tanya Arya Nakula penasaran ketika mulai berjalan berkeliling di sebelah kakak sepupunya iu.
“Disini aku hanya makan tidur saja adi, karena aku dianggap masih terlalu kecil untuk jadi cantrik yang sesungguhnya”
“Ah, kakang pandai berkelakar rupanya”
“Aku bersungguh-sungguh adi”
Arya Nakula yang mendengar jawaban kakak sepupunya itu terdiam tapi seperti memikirkan sesuatu.
“Tak perlu kau pikirkan adi Arya Nakula”
Arya Nakula yang mendengar ucapan kakak sepupunya itu tertawa pendek sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal.
Mereka yang mulai berkeliling dari samping kanan bangunan utama telah disuguhkan dengan pemandangan bangunan suci tempat melaksanakan kewajiban kepada Yang Maha Agung, lalu mereka berjalan semakin ke belakang bangunan induk, terdapat bilik-bilik ala kadarnya bagi para Cantrik padepokan.
Terlihat empat kolam ikan yang sepertinya dirawat dengan baik oleh para Cantrik, lalu sanggar terbuka yang cukup luas untuk latihan para Cantrik yang masih belum lama berada di padepokan.
Lebih ke belakang lagi, terdapat pembatas pagar setinggi orang dewasa dan terdapat sebuah pintu yang terbuat dari bambu di salah satu sisinya, ternyata di balik pagar itu terdapat hewan ternak yang juga di kembangkan di padepokan itu, seperti sapi, kambing, ayam, serta bebek.
Di bagian belakang terdapat pula bangunan sanggar tertutup, tempat yang dipersiapkan untuk para Cantrik yang sudah memasuki tataran tinggi atau bahkan untuk para pemimpin padepokan itu sendiri.
“Apakah kalian berminat untuk memasuki sanggar tertutup?” bertanya Ki Agahan kepada para tamunya.
“Boleh saja Ki Agahan, jika kami semua diijinkan untuk melihat-lihat isinya” jawab Nyi Pandan Wangi.
Ki Agahan yang mendengar jawaban Nyi Pandan Wangi tersenyum. Lalu katanya, “tidak ada pantangan untuk memasuki sanggar tertutup Nyi Pandan Wangi, kecuali sedang dipergunakan”
Ki Agahan yang berjalan paling depan kemudian memimpin yang lain untuk memasuki sanggar tertutup itu. Ketika pintu sanggar tertutup itu terbuka lebar, terlihatlah segala isi yang ada di dalamnya.
Sanggar tertutup yang cukup luas itu terdapat banyak jenis senjata yang tergantung, dari senjata pendek, senjata panjang dan senjata lentur, bahkan senjata senjata pelontar pun ada.
Pada salah satu sisi terdapat tanah berpasir, tonggak-tonggak dari bambu yang dengan sengaja dipasang tidak sama tinggi rendahnya, serta ada beberapa batu sebesar kepala kerbau bahkan ada pula yang besarnya beberapa kali lipatnya.
“Kakang Bagus Sadewa, mengapa amben yang sudah reyot itu berada disini, mengapa tidak dibuang saja?” bertanya Arya Nakula.
Sebelum orang yang ditanya menjawab, Nyi Lurah Glagah Putih yang ada di sampingnya tersenyum mendengar pertanyaan anaknya itu. Lalu, “suatu hari nanti kau pasti akan mengerti sendiri ngger”
Nyi Sekar Mirah yang mendengar ucapan muridnya itu menoleh, “pertanyaanmu sama dengan Ibumu waktu dulu dia akan memulai ngangsu kawruh kanuragan ngger”
Nyi Rara Wulan yang mendengar ucapan gurunya itu wajahnya sedikit memerah, “mbokayu masih ingat saja rupanya”
“bukankah segala sesuatu jika pertama atau sejenisnya, akan sulit dilupakan?”
Tiba-tiba hati Nyi Pandan Wangi berdesir mendengar ucapan itu, meskipun hanya berlangsung sesaat saja. tapi tidak terucap sepatah kata pun untuk menanggapi.
Kemudian mereka melanjutkan untuk berkeliling, untuk mengetahui seisi padepokan, baik yang sudah sering datang ke padepokan atau bahkan ada yang masih sama sekali baru melihatnya.
“Jika kalian berkenan, nanti malam aku ingin memperlihatkan tataran para Cantrik. Maaf, bukan maksudku untuk deksura tapi aku ingin kami dapat tambahan wejangan untuk perkembangan kedepannya setelah kalian melihat sendiri tataran yang kami kuasai”
Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah hampir berbarengan memberikan isyarat kepada Ki Lurah Glagah Putih.
“Kenapa harus aku mbokayu?”
“Karena kau adalah pengganti kakang Agung Sedayu” jawab Nyi Sekar Mirah.
“Ah, jangan begitu mbokayu, yang lain pun bisa menjadi pengganti kakang Agung Sedayu”
“Ki Lurah Glagah Putih masih merasa sungkan rupanya”
“Maafkan aku Ki Agahan, aku tidak bermaksud apa-apa, hanya saja kawruhku tentang jalur Windhujati masih sangatlah dangkal. Jadi aku justru takut salah menilai tataran para Cantrik, kemungkinan yang bisa aku berikan hanya sebatas penguatan kawruh jiwani saja”
“Apapun yang akan Ki Lurah Glagah Putih Berikan, kami seisi padepokan hanya bisa mengucapkan terima kasih”
Ketika malam datang, setelah makan malam seisi padepokan telah berkumpul di sanggar terbuka, kecuali para Cantrik yang sedang bertugas, untuk menyaksikan para Cantrik untuk menunjukkan kemampuan masing masing yang sudah diatur sesuai dengan tingkatannya.
Mereka memulai dari tataran cantrik yang paling dasar, lalu tingkatan diatasnya dan seterusnya hingga para Cantrik utama atau tataran para Putut padepokan yang masing-masing diwakili dua orang pada setiap tingkatannya.
“Aku minta maaf kepada semuanya jika yang kami suguhkan ini sangat membosankan bahkan bisa tidak menarik sama sekali”
“Jangan begitu Ki Agahan, aku yang masih hijau dalam kawruh kanuragan saja sangat tertarik melihatnya” berkata Ki Jayaraga.
“Ah, Ki Jayaraga suka berkelakar rupanya”
Para Cantrik yang mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuanya, berusaha memberikan yang terbaik. Dan orang-orang yang menyaksikan dengan sungguh-sungguh memperhatikan, dari permainan tangan kosong hingga bagaimana mempergunakan senjata.
Hingga akhirnya sampai saatnya pada tataran Cantrik utama yang akan menunjukkan kemampuannya. Orang-orang yang melihatnya semakin bersungguh-sungguh untuk memperhatikan, mereka tidak ingin melewatkan suguhan yang jarang sekali mereka dapatkan.
Kebetulan yang mewakili untuk tataran cantrik utama adalah Putut kakak-beradik yaitu Putut Darpa dan Putut Darpita. Setelah mereka menghaturkan hormat kepada para penonton sekaligus sesepuh padepokan dan salah satunya adalah salah satu murid utama Kyai Gringsing, guru besar Padepokan Orang Bercambuk.
Diawali dengan tataran tataran dasar, kedua Putut itu mulai menunjukkan ciri-ciri Perguruan Orang Bercambuk yang bersumber dari kitab Windhujati. Semakin lama mereka semakin meningkatkannya selapis demi selapis dengan runtut dan jelas.
Setelah beberapa lama, mereka mulai merambah pada tataran ilmu puncak. Gerakan-gerakan mereka pun semakin cepat dan rumit. Kini terlihatlah jalur ilmu yang sangat nggegirisi dan ngedap-edapi.
“Ternyata tingkat kemampuan para cantrik utama sudah menguasai tataran setinggi itu, apalagi Ki Agahan dan kakang Untara” Nyi Pandan Wangi membatin.
“Aku minta maaf kepada semuanya, jika hanya permainan anak-anak saja yang mampu kami tunjukkan di hadapan kalian”
“Ah, jangan begitu Ki Agahan. Aku rasa jika kakang Agung Sedayu melihatnya pun pasti ikut berbangga atas pencapaian kalian” berkata Ki Lurah Glagah Putih.
“Meskipun aku hanya sedikit mengetahui tentang jalur ilmu Padepokan Orang Bercambuk, tapi menurut penilaianku secara pribadi, itu sudah pencapaian yang luar biasa Ki Agahan” ucap Nyi Pandan Wangi.
“Pada tataran Cantrik utama saja sudah sangat ngedap-edapi seperti itu apalagi tataran pemimpinnya?” celetuk Ki Jayaraga.
Ki Agahan yang namanya disindir, mukanya sedikit memerah sesaat. Lalu, “hanya kebetulan saja aku yang dituakan disini Ki Jayaraga. Tapi untuk perbandingan ilmu, aku masih kalah jika dibandingkan dengan para cantrik utama”
“Benar-benar murid Kyai Gringsing” celetuk Ki Untara yang sedari tadi lebih banyak diam saja, dan orang-orang yang mendengarnya hanya tertawa.
Sementara kedua cantrik yang mendapat kesempatan menunjukkan tataran ilmunya, sudah memasuki bagian akhir pertunjukan. Dengan menghaturkan hormat kepada para sesepuh yang menyaksikan, kemudian mereka kembali ke tempatnya dan bergabung dengan para cantrik yang lain.
Pada kesempatan yang jarang sekali terjadi itu, para sesepuh mulai memberikan sedikit tambahan kawruh secara bergiliran. Tapi yang para sesepuh berikan lebih banyak untuk penguatan secara jiwani, karena pada dasarnya mereka berasal dari jalur yang berbeda.
Meskipun para cantrik lebih banyak mendapat kawruh jiawani, tapi mereka tetap bergembira, karena mereka menyadari jika kawruh kanuragan dan kawruh jiwani itu sama pentingnya.
“Ki Agahan, apakah kau sudah sembuh benar?” berkata Ki Lurah Glagah Putih setelah mereka pindah ke pendapa karena keperluan dengan Cantrik telah selesai
“Untuk sakitnya tinggal sedikit lagi Ki Lurah Glagah Putih, tapi tenagaku yang masih belum pulih, mungkin dua atau tiga hari lagi kemungkinan aku sudah sembuh benar, jika terus dibantu dengan ramuan obat secara teratur”
“Syukurlah kalau begitu” ucap Ki Lurah Glagah Putih lalu meneguk wedang jahe yang masih hangat itu. Lalu, “mbokayu Pandan Wangi, kapan kita akan kembali ke Menoreh?”
Setelah terdiam sesaat, Nyi Pandan Wangi pun menjawab, “bagaimana kalau lusa?”
“Mbokayu Pandan Wangi begitu tergesa-gesa” ucap Nyi Sekar Mirah.
“Selain Glagah Putih yang tidak bisa meninggalkan tugasnya terlalu lama, aku juga tidak sampai hati jika meninggalkan Ayah sendiri terlalu lama”
Nyi Sekar Mirah yang awalnya sedikit kecewa, tapi pada akhirnya dapat memaklumi. Tidak lama kemudian mereka membubarkan diri untuk beristirahat, karena waktu memang sudah melewati madya ratri.
Arya Nakula yang pada malam itu tidur bersama Bagus Sadewa lagi, tampak terkejut saat terbangun pagi-pagi sekali ketika mendapati dirinya tidur sendirian di dalam bilik itu.
“apakah aku kesiangan” tanyanya dalam hati, sembari masih berbaring di atas amben bambu.
Tanpa berpikir panjang, dia pun ingin segera bangun. Tapi ketika salah satunya menjejak tanah, ada suara yang sangat mengejutkannya, secara naluriah dia menariknya kembali kakinya dengan cepat ke atas amben.
“gggrrr” suara Lodra yang sedikit menggeram, saat mendengar sebuah kaki menjejak tanah.
Arya Nakula yang sempat terkejut masih terdiam dengan wajah penuh kegelisahan di atas amben bambunya sembari memikirkan sesuatu.
“Kemarin kakang Bagus Sadewa sudah memberitahuku jika Lodra tidak berbahaya” membatin Arya Nakula yang membuatnya sedikit lebih tenang.
Lalu dengan mencoba memberanikan diri, Arya Nakula mulai menuruni amben itu secara perlahan-lahan. Meskipun terdengar kembali Lodra menggeram pendek tapi dia mencoba menguatkan tekadnya untuk keluar dari dalam bilik secara perlahan-lahan.
“Jika nanti Lodra menyerangku, maka aku akan berteriak sekeras-kerasnya” pikir Arya Nakula nekad.
Dengan berjalan perlahan-lahan, akhirnya Arya Nakula berhasil mendekati pintu bilik, dengan perlahan-lahan pula dia mengangkat selarak pintu itu lalu membukanya sembari memperhatikan Lodra.
Ternyata Lodra yang sedang berbaring di atas tanah itu tidak berusaha mengejar adik sepupu tuannya itu, bahkan dia membiarkan saja.
Arya Nakula yang sudah berada di luar bilik merasa hatinya lega.
“Kau kenapa adi Arya Nakula?”
“Kakang Bagus Sadewa”
Setelah Arya Nakula menyadari jika Bagus Sadewa yang menghampirinya, lalu dia menceritakan kejadiannya.
“Lodra tidak apa-apa, asal kau tidak mengganggunya”
“Bagi kakang Bagus Sadewa memang tidak apa-apa karena sudah terbiasa, sedangkan aku?”
“Ya sudah, tenangkanlah dirimu”
Setelah menarik nafas dalam-dalam beberapa kali, Arya Nakula merasa tenang, apalagi sudah ada pemilik Lodra yang sempat membuat hatinya cemas.
“Kakang sudah mandi rupanya, tapi aku lihat di luar masih tampak gelap sekali” ucap Arya Nakula setelah menyadari keadaan kakak sepupunya itu.
“Kau benar adi, saat ini memang masih pagi-pagi sekali, bahkan waktu panggilan Kewajiban pun masih beberapa saat lagi”
“Tadi aku pikir, aku kesiangan” ucap Arya Nakula yang kemudian tertawa.
Tidak berapa lama kemudian, penghuni Padepokan Orang Bercambuk mulai terbangun satu persatu. Lalu mereka menjalankan kewajiban kepada Yang Maha Agung secara bersama-sama.
Mereka kemudian melanjutkan kerjanya masing-masing, setiap orang mempunyai tugas sendiri tetapi saling melengkapi. Ada yang mengisi jambangan, membelah kayu bakar, dan juga bertugas di dapur.
“Maaf Nyi, biar kami saja yang mengerjakan, silahkan Nyai bertiga menunggu matangnya saja”
“Kalian tidak perlu sungkan, lagipula kami sudah terbiasa bekerja di dapur” jawab Nyi Sekar Mirah, yang membuat para Cantrik yang tidak mampu mencegah dan hanya bisa pasrah saja.
Ketiga perempuan perkasa itu ternyata masih sangat cekatan saat bekerja di dapur. Karena ketiganya adalah perempuan-perempuan yang berilmu sangat tinggi, namun tidak pernah meninggalkan kodratnya sebagai perempuan.
“Aku lihat cara menyapu kakang Bagus Sadewa sama dengan yang diajarkan Ayahku”
“Mungkin kebetulan saja”
“Tidak kakang, tapi Ayahku berkata jika itu karena menirukan kebiasaan paman Agung Sedayu” jawab Arya Nakula yang hanya dibalas senyum oleh kakak sepupunya itu.
Ketika malam telah memasuki wayah sepi bocah, di pendapa Padepokan Orang Bercambuk sedang ada pembicaraan yang menarik, apalagi besok pagi Nyi Pandan Wangi dan rombongan dari Tanah Perdikan Menoreh akan kembali.
Malam yang terlihat begitu cerah apalagi secara kebetulan pada malam itu bulan sedang dalam purnama puncaknya, dengan suguhan minuman hangat dan beberapa potong makanan menambah kenikmatan suasana pada malam itu.
“Pandan Wangi, apakah kau jadi berangkat besok pagi?” bertanya Ki Untara suatu ketika.
“Jadi kakang Untara”
“Bagaimana dengan kau, Sekar Mirah?”
“Aku akan kembali ke Sangkal Putung bersama dengan rombongan mbokayu Pandan Wangi, kakang”
“Bayu Swandana, apakah kau sudah mempersiapkan lahir dan batinmu untuk berada disini”
“Sudah Paman” jawab Bayu Swandana singkat.
“Semoga Bayu Swandana tidak merepotkan kalian disini” ucap Nyi Pandan Wangi.
“Itu sudah menjadi tugas kami, Nyi Pandan Wangi. Dan semoga kami, bisa menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya”
“Meskipun sebenarnya aku sendiri merasa berat untuk melepasnya, tapi aku harus menjalankan wasiat Swargi Ayahnya. Lagipula itu semua demi masa depannya”
“Mbokayu Pandan Wangi tidak perlu khawatir, aku juga melepas Bagus Sadewa disini” Nyi Sekar Mirah menanggapi.
“Ibu, aku tinggal disini saja ya” ucap Arya Nakula yang kebetulan duduk di sebelah Ibunya.
“Boleh” jawab Ibunya yang membuat Arya Nakula gembira. Tapi lanjut Ibunya, “jika sudah waktunya ngger”
Arya Nakula yang tadi sudah sempat bergembira terlihat lesu kembali. “kakang Bagus Sadewa saja masih kecil, tapi sudah diperbolehkan oleh Bibi Sekar Mirah”
Orang-orang yang mendengar ucapan anak Ki lurah Glagah Putih tersenyum. Mereka bisa memaklumi keinginan anak itu dan mengapa Ayah dan Ibunya belum mengijinkannya.
“Arya Nakula, ibumu pasti kesepian jika kau tinggal disini” celetuk Nyi Sekar Mirah.
“Karena itu Arya Nakula harus segera memiliki adik, agar Ibunya tidak merasa kesepian saat ditinggal bertugas” Ki Untara menanggapi.
“Seperti mbokayu Pandan Wangi” ucap Nyi Sekar Mirah yang kemudian mendapat hadiah sebuah cubitan di lengan sebelah kirinya.
Orang-orang yang melihat tingkah laku kedua perempuan linuwih itu hanya bisa tertawa, kecuali Nyi Pandan Wangi yang justru wajahnya sedikit memerah.
Semakin malam suasana di pendapa itu semakin gayeng saja, hingga waktu memasuki wayah sepi wong. Karena masih ada saja pembicaraan yang menarik bagi mereka.
Pada saat mereka masih riuh berbincang dan berkelakar, samar-samar dari kejauhan terdengar suara yang menarik perhatian. Mereka pun terdiam sejenak.
“Ada apa Ibu?” bertanya Arya Nakula, tapi Ibunya memberikan isyarat untuk diam sejenak.
Semakin lama suara itu terdengar semakin jelas, bahkan Arya Nakula pun mampu mendengarnya dengan jelas.
“Sepertinya suara itu menuju ke tempat ini” berkata Ki Lurah Glagah Putih sembari mengerutkan keningnya.
“Sepertinya begitu” berkata yang lain hampir berbarengan.
Setelah menunggu beberapa lama, beberapa orang penunggang kuda itu sudah semakin mendekati pintu regol Padepokan Orang Bercambuk.
Sebenarnya orang-orang yang sedang berkumpul di pendapa itu sudah akan beristirahat ke biliknya masing-masing, tapi karena ada tamu yang tak diundang, mereka mengurungkannya.
Mereka menunggu terlebih dahulu untuk memastikan apa yang terjadi, karena bagi orang-orang linuwih panggraita mereka mengatakan ada sesuatu yang kurang mapan menilik waktu kedatangannya.
Orang-orang berkuda itu kemudian turun dari kudanya masing-masing setelah sampai di depan pintu regol yang disambut Cantrik yang bertugas.
“Ki Sanak, tolong panggilkan pemimpinmu, aku ada keperluan” berkata salah satu orang yang baru datang itu.
“Maafkan aku Ki Sanak, aku rasa kedatangan kalian untuk bertamu tidak tepat pada waktunya, aku sarankan sebaiknya Ki Sanak semua kembali lagi besok pagi” jawab salah satu Cantrik yang bertugas.
Orang yang baru saja datang itu membelalakan matanya setelah mendengar jawaban dari salah satu Cantrik yang bertugas.
“Aku sudah berusaha bersikap baik sebagai tamu, kau jangan mencoba menguji kesabaranku, jika aku marah, kau akan menyesal seumur hidupmu”
“Maaf Ki Sanak, bukan maksudku untuk deksura, aku hanya menjalankan tugas”
“Jika kau berusaha menghalang-halangiku, akan aku patahkan batang lehermu” berkata orang yang agak sepuh itu yang semakin marah.
Salah satu Cantrik itu memberikan isyarat kepada kawannya, dan Cantrik yang mendapat isyarat itu tanggap segera meninggalkan mereka.
Tidak lama kemudian Cantrik itu kembali bersama pemimpin dan sesepuh Padepokan Orang Bercambuk.
“Selamat malam Ki Sanak, maafkan kami atas sambutan yang kurang menyenangkan ini. Silahkan Ki Sanak memperkenalkan diri dan apa keperluannya” berkata Ki Agahan setelah berhadapan dengan tamunya bersama Ki Lurah Glagah Putih.
“Kau tidak usah basa-basi di hadapanku”
“Jangan garang begitu Ki Sanak” jawab Ki Lurah Glagah Putih.
“Aku ingin bertanya, siapa diantara kalian pemimpin padepokan ini?”
Ki Agahan dan Ki Lurah Glagah Putih tidak segera menjawab, tapi justru mereka saling pandang mendapat pertanyaan itu.
“Cepat jawab pertanyaanku! karena aku ingin segera membuat perhitungan”
Panggraita Ki Lurah Glagah Putih memang sejak awal mengatakan, akan terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan. Dan mengingat keadaan Ki Agahan yang belum sembuh benar dia pun menggantikan perannya.
“Aku” jawab Ki Lurah Glagah Putih singkat.
“Jadi kau yang telah membunuh muridku?”
“Bukan”
“Kau jangan coba-coba mempermainkan Ki Waja Kencana, jika aku sudah marah, seluruh isi padepokan ini bisa ku jadikan karang abang”
“Aku tidak mempermainkanmu Ki Sanak, karena orang yang berdiri di sebelahku ini adalah orang yang kau cari. Tapi karena dia masih belum sembuh benar setelah bertarung dengan muridmu, maka aku yang menggantikan posisinya”
“Kau siapa?” bentak Ki Waja Kencana.
“Aku saudaranya”
“Menilik dari wajahmu, kau terlihat lebih muda dari sebelahmu, apakah kau adiknya?”
“Benar Ki Sanak” jawab Ki Lurah Glagah Putih.
“Siapa namamu, karena aku tidak ingin membunuh seseorang tanpa nama”
Meskipun Ki Lurah Glagah Putih sudah terbiasa berada di medan pertempuran, baik perang kecil maupun perang besar, tetapi berdesir pula hatinya saat mendengar ancaman itu.
“Glagah Putih”
“Tunggu..tunggu, sepertinya aku tidak asing dengan namamu itu” kata Ki Waja Kencana sembari mengerutkan keningnya.
Ki Wirajaya lalu mendekati guru kakaknya itu, dengan suara perlahan katanya, “Kyai, kalau aku tidak salah, dia adalah adik sepupunya murid utama Orang Bercambuk” ucap Ki Wirajaya memberitahu.
Ki Waja Kencana yang mendengar keterangan adik Ki Panji Surajaya mengerutkan keningnya. Lalu, “Oh, kau benar Wirajaya, aku baru ingat”
“Ki Waja Kencana, aku hanya seorang cantrik di padepokan ini, jika tadi aku tidak salah dengar namamu”
“Kau jangan mencoba mengelabuhi aku, Ki Sanak” berkata Ki Waja Kencana dengan tatapan mata yang tajam.
“Jika aku tidak salah, dia adalah seorang prajurit dengan pangkat lurah, yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh, Kyai”
“Apa yang kau maksud itu di kesatuan pasukan khusus?”
“Benar Kyai” jawab Ki Wirajaya singkat.
“Aku ingin menyampaikan maksud kedatanganku, Ki Lurah Glagah Putih. hutang wirang dibayar wirang, hutang pati harus dibayar pati” berkata Ki Waja Kencana.
“Lalu apa yang ingin kau lakukan Ki Waja Kencana?”
“Aku menuntut kematian orang yang telah membunuh muridku. Dugaanku, tidak mungkin muridku itu terbunuh dalam perang tanding melawan seorang cantrik, jika dilakukan secara jantan”
“Jadi Ki Waja Kencana menuduhku berbuat licik?” bertanya Ki Agahan yang berdiri di samping agak belakang Ki Lurah Glagah Putih.
Sementara orang-orang yang tadi berada di pendapa mulai berdatangan ke depan pintu regol, termasuk beberapa Cantrik utama untuk menyambut tamu-tamunya yang nampak kurang bersahabat itu.
“Ah, rupanya kalian lebih suka main keroyokan, berarti tepat dugaanku jika kemarin muridku itu dibunuh dengan cara dikeroyok, karena tidak masuk akal jika muridku itu terbunuh hanya melawan seorang Cantrik” ucap Ki Waja Kencana.
“Terserah atas segala tuduhanmu itu Ki Waja Kencana, yang jelas aku tidak pernah merasa berbuat licik terhadap muridmu itu” berkata Ki Agahan yang membela diri.
“Jika kau memang tidak berbuat licik terhadap muridku, sekarang aku ingin kau buktikan di hadapanku” bentak Ki Waja Kencana dengan tatapan mata yang tajam.
“Jika kau ingin menuntut balas atas kematian muridmu, aku minta waktu untuk memulihkan dulu kesehatanku sebelum memasuki arena perang tanding” berkata Ki Agahan pada akhirnya.
“Kau pikir kau siapa yang bisa mengaturku, lagipula aku tidak mempunyai banyak waktu, sehingga mau menunggu” berkata Ki Waja Kencana yang tidak mau mengalah.
“Jika seperti itu, maaf Ki Waja Kencana aku tidak bisa melayanimu sekarang”
“Siap tidak siap, aku ingin menuntut kematian muridku sekarang juga”
“Jangan kehilangan penalaran yang bening Ki Waja Kencana” kali ini Ki Lurah Glagah Putih yang menanggapi.
“Aku tidak peduli, dan tidak ada yang bisa melarangku atau menghalangiku”
“Jika itu kemauanmu, dengan sangat terpaksa aku yang akan menghalangimu Kyai” jawab Ki Lurah Glagah Putih.
“Aku tidak peduli siapa yang akan menghadapiku, karena aku akan menjadikan padepokan ini menjadi karang abang”
Ki Lurah Glagah Putih yang mendengar jawaban calon lawannya itu menjadi lebih berhati-hati, karena dia tidak mungkin berani berkata demikian jika tidak mempunyai bekal yang cukup.
Kemudian Ki Waja kencana memberikan isyarat kepada orang-orang yang menyertainya, yaitu Ki Wirajaya dan ketiga muridnya untuk mencari lawannya masing-masing.
Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari keadaan sudah tidak dapat dihindarkan lagi lalu mendekati Ki Agahan dan membisikkan sesuatu, “maafkan aku Ki Agahan, bukan maksudku untuk deksura, tapi sebaiknya sekarang kau cukup menjadi penonton saja”
“Aku mengerti”
Ki Untara yang segera tanggap akan keadaan, segera memberikan isyarat kepada beberapa cantrik utama untuk mendampingi adik sepupunya yang sepertinya sudah mendapat lawan.
Tetapi sebelum para cantrik itu melangkahkan kakinya, dari sebelah kanan Ki Untara, seseorang telah mendahului langkah para cantrik yang ditunjuk.
“Jangan gegabah ngger” berkata Nyi Pandan Wangi yang menyadari Bayu Swandana sudah melangkah maju.
“Aku ingin membuktikan mulut besar mereka sesuai dengan kenyataan atau tidak Ibu” jawab Bayu Swandana tanpa menoleh.
“Tapi kau sendiri belum saatnya ngger”
Tapi larangan Nyi Pandan Wangi itu sepertinya tidak digubris oleh anaknya yang terus melangkah mencari lawan.
“Kakang Untara, biarlah aku mendampinginya” berkata Nyi Pandan Wangi pada akhirnya.
“Aku akan ikut mbokayu” Nyi Sekar Mirah menimpali.
“Aku juga” ucap Nyi Lurah Glagah Putih yang tidak mau kalah.
Sembari memasuki arena, ketiga perempuan linuwih itu menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang terlihat adalah pakaian khususnya.
Ki Untara yang mengetahui akan hal itu hanya bisa menarik nafas dalam beberapa kali, meskipun sebenarnya dia lebih yakin akan kemampuan perempuan-perempuan itu jika dibandingkan para cantrik utama, tapi sebenarnya ada rasa segan untuk menempatkan mereka pada posisi itu.
Tapi karena semua itu atas dasar kemauan mereka sendiri, Ki Untara yang meskipun ada rasa segan, tapi di sisi lain merasa lega pula.
“Lalu apa tugas kami Ki Untara” bertanya Putut Witarsa yang berada di sebelah Ki Untara.
“Kita cukup mengawasi pertempuran, dan tetap dalam tingkat kewaspadaan tertinggi, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi” jawab Ki Untara kepada orang-orang yang berada didekatnya.
“Apakah Padepokan Orang Bercambuk telah kehabisan murid laki-laki sehingga sekarang ini berubah menjadi perguruan perempuan?” berkata Ki Waja Kencana dengan nada mengejek lalu tertawa.
“Kalian datang kemari untuk bertempur atau hanya untuk sesorah?” bertanya Bayu Swandana dengan lantang sehingga membuat orang-orang yang mendengarnya terkejut.
“Setan alas, kau siapa he? anak kemarin sore sudah berani bermulut besar dihadapan Ki Waja Kencana?” bentak Guru Ki Panji Surajaya marah.
“Kau tak perlu dengarkan dia Kyai, karena aku lawanmu” berkata Ki Lurah Glagah Putih yang berusaha mengalihkan perhatian.
“Baiklah, meskipun anak itu telah menggelitik tapi, bersiaplah Ki Lurah” ucap Ki Waja Kencana yang kemudian bergeser untuk segera bersiap untuk menyerang.
Ki Lurah Glagah Putih yang pancingannya mengenai sasaran bernafas lega, kemudian telah bersiap pula untuk menyambut serangan lawannya. Pada serangan pertama yang bisa dihindarinya dengan memiringkan tubuhnya saat kaki lawan mengarah ke dada.
Memang pada serangan pertama itu baru serangan penjajagan, yang kemudian disusul dengan serangan berikutnya yang semakin berbahaya. Ki Waja Kencana Yang menyadari lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, segera dia meningkatkan ilmunya selapis demi selapis.
Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari lawannya meningkatkan tataran ilmunya dengan sangat cepat, hanya berusaha mengimbanginya saja.
Semakin lama pertempuran itu semakin cepat dan rumit, tapi masih terlihat berjalan seimbang. Sesekali Ki Waja Kencana mampu mendesak lawannya, begitu pula sebaliknya.
Sementara pada arena yang lain, Bayu Swandana yang tidak sabar langsung menyerang lawannya tanpa banyak basa-basi. lawannya yang pada awalnya agak terkejut, secara perlahan-lahan mampu mengimbangi lawannya.
Murid Ki Waja Kencana yang terlihat jauh lebih tua dari Bayu Swandana itu sepertinya juga adalah orang yang berilmu tinggi serta sudah berpengalaman di dunia kanuragan, terbukti pada saat serangan yang pertama tidak menjadi gugup meskipun agak terlambat, bahkan untuk beberapa saat kemudian mampu berbalik mendesak lawannya.
Bayu Swandana yang masih berjiwa muda sangat menggebu-gebu dalam menyerang lawannya tapi kurang didasari penalaran yang bening. Sehingga kemenangan-kemenangan kecil membuat dia merasa diatas angin.
Ketika Bayu Swandana merasa sedikit terdesak, maka dengan segera dia meningkatkan ilmunya selapis lebih tinggi, lalu dia bisa berbalik mendesak lawannya.
“Siapa namamu Nyi Sanak?” bertanya Ki Wirajaya ketika menghadapi salah satu dari tiga perempuan yang tampil di medan pertempuran.
“Apakah penting namaku untukmu Ki Sanak?” yang ditanya malah balik bertanya.
“Sangat penting Nyi, karena kau adalah perempuan pertama yang menjadi lawanku, jika aku bisa mengalahkanmu atau bahkan membunuhmu, maka aku ingin mengenangnya sepanjang hidupku”
“Baiklah, namaku Sekar Mirah”
“Nyi Sekar Mirah, istri dari murid utama Orang bercambuk? yang dulu pernah menggemparkan di perang Demak dengan membunuh Ki Saba Lintang pemimpin perguruan besar Kedung Jati?” berkata Ki Wirajaya yang menjadi terkejut bukan kepalang.
“Ah, kau terlalu berlebihan Ki sanak, kau sendiri, siapa namamu?”
“Aku Wirajaya, aku adalah adik dari kakang Panji Surajaya yang terbunuh beberapa hari yang lalu disini”
“Oh, pantas saja aku perhatikan sejak kedatanganmu, kau sangat berkepentingan sekali”
“Kau benar Nyi Sekar Mirah, karena bagiku hutang wirang dibayar wirang hutang pati harus dibayar pati”
“Apa kau tidak mempunyai pekerjaan lain, selain hanya membalas dendam?”
“Aku tidak akan merasa tenang hidupku jika kematian kakang Panji Surajaya belum terbalaskan, bersiaplah Nyi !”
Setelah Ki Wirajaya memberikan peringatan kepada lawannya langsung menyerang dengan garangnya. Nyi Sekar Mirah yang mendapat serangan itu tidak menjadi gugup, karena dia sudah bersiap dengan segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.
Meskipun Ki Wirajaya yang hatinya diselimuti api dendam hingga sundul langit, tetapi dia tetap berusaha untuk tidak kehilangan penalaran.
Karena Ki Wirajaya sudah mengetahui dengan siapa dia berhadapan merasa tidak perlu menjajaki lagi ilmu lawannya, langsung saja dia dengan cepat meningkatkan ilmunya.
Nyi Sekar Mirah yang menyadari lawannya ingin segera mengakhiri pertempuran itu tidak menjadi terkejut. Dengan pengalamannya yang sangat luas di dunia kanuragan dia berusaha selalu mengimbangi lawannya.
Sedangkan Nyi Pandan Wangi dan Nyi Lurah Glagah Putih yang mendapatkan lawan murid-murid Ki Waja Kencana tidak menjadi jumawa, dan mereka tetap menghormati lawan mereka dengan bersungguh-sungguh menghadapinya.
Tapi lawan-lawan merekalah yang belum mengenal keduanya yang justru berani mengganggunya.
“Apakah aku tidak salah lawan Nyi?” bertanya lawan Nyi Rara Wulan.
“Memangnya apa yang salah Ki Sanak? jawab Ibu Arya Nakula itu.
“Sebenarnya aku merasa kurang mapan jika menghadapi seorang perempuan”.
“Kalau begitu, anggap saja aku ini laki-laki”
“Tetap saja tidak bisa Nyi, tapi berhubung aku menjalankan tugas dari guruku, apa boleh buat”
“Apakah kau juga merasa seperti saudara seperguruanmu itu Ki Sanak?” bertanya Nyi Pandan Wangi kepada lawannya yang kebetulan berada di sebelah Nyi Lurah Glagah Putih.
“Jangan samakan aku dengan adik seperguruanku itu Nyi, dia memang hatinya lemah jika bertempur menghadapi perempuan” jawab lawan Nyi Pandan Wangi.
“Setan Alas, kalian jangan hanya membual saja!” teriak Ki Waja Kencana yang menyadari kedua muridnya yang tersisa masih saja berbicara.
Perintah itu tidak perlu diulangi lagi, sejenak kemudian kedua murid Ki Waja Kencana itu langsung menggebrak lawannya masing-masing.
“Biarkan saja Kyai, mungkin kedua muridmu itu memang tidak menyukai kekerasan” Ki Lurah Glagah Putih menimpali disela-sela dia menahan serangan lawannya.
“Aku tidak suka main-main terhadap perintahku, Ki Lurah”. jawab Ki Waja kencana dengan lantang, yang sejenak kemudian melompat untuk mengambil jarak. Lawannya yang menyadari, tidak memburunya.
“Jangan garang begitu Kyai, apalagi kau sudah semakin sepuh, seharusnya sudah bisa menep dan menjadi panutan anak cucumu”
“Kau tak perlu menggurui aku Ki Lurah” baru saja dia berkata demikian langsung menyerang kembali lawannya dengan peningkatan ilmu yang semakin tinggi.
Sebenarnya Ki Waja Kencana pun tidak menjadi terkejut dengan kemampuan lawannya yang pada tataran itu masih mampu bertahan, bahkan masih sangat sulit ditembus pertahanannya.
Ki Waja Kencana yang menyadari hal itu kemudian mulai merambah ilmunya, yaitu ilmu meringankan tubuh. dengan begitu dia bisa bergerak seakan-akan tanpa bobot.
Dengan sekali lompatan panjang, dia menyerang dengan kaki kanannya sembari melayang di udara. Ki Lurah Glagah Putih yang sedikit terkejut akan kecepatan lawannya tidak mempunyai banyak waktu untuk menghindar, tapi beruntung masih sempat berguling ke samping.
Tapi baru saja berdiri tegak, sudah mendapat serangan susulan yang membadai, Ki Lurah Glagah Putih yang kemudian menyadari jika lawannya telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh, dia pun mencoba mengimbanginya dengan ilmu yang sama.
Dengan keduanya telah mengetrapkan ilmu yang sejenis, maka benturan-benturan pun lebih sering terjadi, dan disaat yang lain keduanya hanya seperti bayang-bayang yang saling berlompatan bahkan terkadang seolah-olah menghilang di dalam kegelapan malam yang hanya dibantu berapa oncor jarak di sekitar tempat itu.
Untuk melindungi tubuhnya dari kemungkinan buruk atas benturan ilmu, suami Nyi Rara Wulan itu mulai mengetrapkan ilmu kebalnya, meskipun belum sampai tataran puncak.
Ki Waja Kencana yang beberapa kali bisa menembus pertahanan Ki Lurah Glagah Putih menjadi agak heran dengan keadaan lawannya yang sepertinya tidak merasakan akibat sama sekali.
“Iblis manakah yang telah memberimu ilmu kebal kepadamu Ki Lurah?” bertanya Ki Waja Kencana setelah menyadari apa yang terjadi sembari mengambil jarak.
Ki Lurah Glagah Putih yang mendapat pertanyaan itu tersenyum, “aku tidak pernah berguru pada Iblis manapun Kyai”
“Baiklah, tapi aku yakin tetap bisa mengalahkanmu”
“Kalah atau menang itu adalah akibat yang wajar dari sebuah peperangan Kyai, tapi yang paling penting adalah pihak yang manakah yang tetap berada dijalan Yang Maha Agung”
“Sesorahmu itu seakan-akan menempatkan dirimu pada pihak yang benar”
“Jangan terlalu berpandangan sempit Kyai, aku tidak pernah merasa begitu”
Tanpa menjawab Ki Waja Kencana kembali menyerang lawannya yang mulai merambah ke tataran puncak ilmunya yang nggegirisi, mau tidak mau Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari ilmu lawannya pun meningkatkan ilmunya hingga ke puncaknya pula.
Pada tataran ilmu puncak keduanya justru tidak bergerak secepat kilat seperti pada saat mereka beradu ilmu meringankan tubuh, justru lebih lamban. Tapi setiap terjadi benturan pada keduanya sangat mengejutkan orang-orang disekitarnya.
Getaran benturan dari dua orang yang berilmu sangat tinggi itu membuat udara di sekitarnya terguncang, bahkan tanah tempat mereka berpijak seakan-akan dibajak kerbau.
Pada suatu ketika Ki Lurah Glagah Putih tampak bergetar beberapa langkah surut karena lawannya telah mampu mengenai dadanya.
“Setan Alas, ilmu kebalmu ternyata telah mendekati sempurna rupanya”
Sementara di arena yang lain, Nyi Sekar Mirah pun sudah mulai merambah pada tataran ilmu puncaknya untuk menghadapi Ki Wirajaya.
Pada dasarnya Ki Wirajaya memang adik Ki Panji Surajaya tetapi keduanya tidak pernah berguru pada orang yang sama, sehingga jalur ilmu keduanya pun sangat berbeda.
Ki Wirajaya yang masih merasa kesulitan untuk menembus pertahanan lawannya itu kemudian mengeluarkan senjata andalannya, yaitu sepasang tongkat baja pendek yang ujungnya berduri.
“Aku mengakui jika kau adalah perempuan yang berilmu tinggi Nyi, tapi jangan harap kau dapat berbuat lebih banyak jika aku sudah mengeluarkan senjata andalanku”
Nyi Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam saat melihat lawannya yang sudah memegang sepasang senjata di kedua tangannya, “Apakah tidak ada jalan yang lebih baik, selain kita mempertaruhkan nyawa, Ki Sanak?”
“Ada, serahkan saja orang yang telah membunuh kakang kandungku itu, dan aku akan melupakan perselisihan diantara kita” jawab Ki Wirajaya dengan suara tinggi.
“Baiklah”
“Jika kau akan menyerahkan orang itu, kenapa tidak dari tadi saja kau lakukan?”
“Jangan salah Ki Sanak, maksudku itu baiklah jika kau tetap berkeras hati, kita lanjutkan pertarungan ini” selesai berkata demikian Nyi Sekar Mirah pun mengeluarkan senjata andalannya pula.
Ki Wirajaya yang sudah pernah mendengar nama Nyi Sekar Mirah beserta ciri-cirinya, tapi ketika melihat sendiri secara langsung senjata lawannya itu masih merasa ada kengerian pula di hatinya. Tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang diterima langsung dari Gurunya, Ki Sumangkar.
Dengan senjata andalannya, Ki Wirajaya kembali menyerang lawannya. Serangan yang dilambari dengan tenaga cadangan yang begitu tinggi membuat suara berdesing di udara.
Nyi Sekar Mirah yang menyadari kemampuan lawannya tidak mau terlena sedikitpun, segera saja dia menangkis senjata lawannya itu dengan tongkat baja putihnya yang mengarah ke kepala.
Sebuah benturan pertama dari dua senjata yang dilambari ilmu dari kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu membuat udara disekitarnya seakan-akan meledak, tanpa sadar kedua tangan mereka pun bergetar.
“Luar biasa” desis Ki Wirajaya, sembari bergerak surut satu langkah ke belakang, tapi dengan cepat dia kembali menyerang secara membadai.
Untuk beberapa saat Nyi Sekar Mirah masih mampu bertahan dalam pertarungan jarak pendek, bahkan pertahanannya masih sulit ditembus.
Tapi untuk beberapa saat orang-orang yang melihatnya sempat terkejut, karena pundak sebelah kiri Ibu Bagus Sadewa itu telah tersambar ujung senjata lawannya yang berduri.
Dengan melompat beberapa langkah surut, Nyi Sekar Mirah memeriksa pundaknya, tampak pakaian khususnya robek tak beraturan karena terkena sambaran ujung senjata lawan.
Ki Wirajaya yang melihat lawannya mengambil jarak tidak memburu tapi justru tertawa, “ternyata aku mampu melukai pemilik tongkat baja putih yang dulu pernah menggemparkan Pajang dan Mataram, hanya menunggu waktu saja aku dapat mengalahkanmu Nyi Sekar Mirah”
“Kita akan membuktikannya, Ki Wirajaya”
Jawaban lawannya yang masih tetap dalam sikap yang tenang membuat Ki Wirajaya sedikit heran, lalu dia melihat kembali pundak lawannya itu dengan seksama.
“Benar-benar perempuan Iblis, aku tidak pernah menduga jika kau menguasai ilmu kebal” berkata Ki Wirajaya yang menyadari keadaan lawannya yang ternyata hanya pakaian khususnya saja yang robek, tapi tidak dengan kulit dagingnya.
Sebenarnya Nyi Sekar Mirah sudah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya sejak beberapa saat tadi, meskipun belum sampai ke puncak. Kini dia baru menyadari seberapa pentingnya mempelajari ilmu kebal dalam pertarungan yang sebenarnya.
Orang-orang yang melihat pertarungan beberapa arena di depan Padepokan Orang Bercambuk itu sangatlah tegang, apalagi para Cantrik yang belum mencapai tataran ilmu yang mereka lihat, terkadang hanya melihat bayangan yang berterbangan hanya dapat menduga-duga saja.
Ki Untara pun tidak kalah merasakan ketegangan yang sama dengan para Cantrik, hanya saja bekas senopati besar Mataram itu bisa menilai dengan sangat jelas apa yang terjadi di arena.
Sementara pada arena Nyi Pandan Wangi telah menapaki tataran ilmu puncak pula, mereka saling menekan dan bertahan dengan sama baiknya hanya sesekali saja bisa menembus pertahanan lawan.
Ternyata murid-murid Ki Waja Kencana adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga tidak mudah untuk ditaklukkan lawan-lawannya.
“Aku tidak pernah menduga jika kemampuanmu sangat tinggi Nyi” berkata lawan Nyi Pandan Wangi, ketika melompat mengambil jarak.
“Terima kasih atas pujian Ki Sanak”
“Jangan senang dulu Nyi Sanak, kita akan buktikan hingga akhir, apakah ilmumu itu mampu melindungi dirimu” setelah lawan Nyi Pandan Wangi mengeluarkan senjata andalannya, yaitu sebilah pedang yang terlihat lebih panjang dan besar dari pedang kebanyakan.
“Pedang yang sangat berbahaya dan beracun” desis Nyi Pandan Wangi setelah melihat senjata lawannya yang nampak hitam kelam karena dilapisi warangan yang sangat beracun.
“Apakah kau menjadi ketakutan?”
“Senjata yang mengerikan, jika dilihat dari watak senjatanya, pemiliknya adalah orang yang kejam dan tidak segan-segan untuk membunuh lawannya”
“Hahaha…tak perlu kau ratapi nasibmu yang malang Nyi”
“Tidak ada yang perlu aku ratapi Ki Sanak, karena memang tidak terjadi apa-apa”
“Sekarang memang belum terjadi apa-apa, tapi sebentar lagi kau akan terkapar di halaman ini”
“Kau tidak mempunyai kuasa menentukan umur seseorang Ki Sanak, jika Yang Maha Agung masih welas asih kepadaku, aku tentu masih diberi umur panjang” jawab Nyi Pandan Wangi yang kemudian mengeluarkan sepasang pedang tipisnya.
“Apakah kau adalah putri Ki Gede Menoreh” bertanya lawan Nyi Pandan Wangi yang sedikit terkejut.
“Ya..begitulah kira-kira Ki Sanak”
“Pantas saja kau mempunyai kemampuan yang sangat tinggi” ucap murid Ki Waja Kencana yang baru menyadari siapa yang menjadi lawannya. Lalu, “bersiaplah Nyi Pandan Wangi, setelah aku tahu dengan siapa aku berhadapan, aku tidak akan main-main lagi”
Sementara murid Ki Waja Kencana yang berhadapan dengan Nyi Lurah Glagah Putih yang sejak tadi merasa kesulitan untuk menembus pertahanan lawannya, telah mengeluarkan senjatanya pula, sama seperti senjata lawan Ibu Bayu Swandana hanya saja sedikit lebih kecil.
Nyi Rara Wulan yang berusaha mengimbangi lawannya pun segera mengeluarkan senjatanya yang diwarisi langsung dari Gurunya, yaitu sebuah selendang panjang yang kedua ujungnya berkarah baja.
Lawannya yang melihatnya justru menjadi tertawa. Lalu katanya, “kita sedang dalam arena pertempuran Nyi, bukan berada di arena pertunjukan Tayub”
“Maaf Ki Sanak, aku hanya mempunyai ini yang bisa aku jadikan senjata”
“jika kau tidak membawa senjata, aku beri waktu kau untuk meminjam senjata apapun pada Cantrik padepokan Nyi”
“Tidak perlu Ki Sanak, karena memang inilah senjataku”
“Baiklah, aku sudah memperingatkan, jadi jangan menyesal jika nanti kau akan mengalami nasib buruk”
“Bernasib baik atau buruk itu bukan karena senjata yang dibawa, tapi tergantung kepada kemampuan seseorang mempergunakan senjatanya”
Lawan Nyi Rara Wulan yang tidak mau bicara lebih banyak lagi segera menyerang dibarengi dengan sebuah teriakan. Dengan senjata di tangannya, dia menjadi semakin garang.
Tetapi untuk beberapa saat dia sepertinya kesulitan untuk menembus pertahanan lawan yang bersenjata lebih panjang dan lentur.
Ketika pedang itu meluncur deras ke arah dada, dengan tangkasnya Nyi Rara Wulan menepis dengan ujung selendangnya, lalu dengan sedikit berputar, menyerang ke arah punggung. Lawan yang menyadari keadaan segera menjatuhkan diri sembari berguling ke depan.
Sementara di arena murid Ki Waja Kencana yang lain pun sudah mulai memainkan senjata, keduanya sama-sama bersenjatakan pedang, tapi pedang Bayu Swandana hanya terbuat dari besi baja pilihan sedangkan lawannya berlapiskan warangan yang sangat kuat dan mengandung racun yang sangat berbahaya seperti milik kedua seperguruannya.
Bayu Swandana yang sudah menggunakan senjata semakin meningkatkan kemampuan ilmunya hingga ke puncak jalur Perguruan Menoreh yang terlihat semakin cepat dan rumit.
Tetapi lawannya bukanlah anak kemarin sore yang menjadi gugup dan kebingungan, tapi justru dengan tangkasnya mampu menepis dan menghindar setiap serangan.
“Hati-hati dengan segala seranganmu anak muda, jika nanti tubuhmu tergores ujung pedangku sedikit saja, maka nyawamu menjadi taruhannya” ucap lawan Bayu Swandana di sela-sela pertarungan yang semakin sengit.
“Buktikan saja jika kau mampu” jawab Bayu Swandana lantang.
Murid Ki Waja Kencana yang mendengar jawaban itu menjadi merah padam menahan amarah, tapi tetap waspada dalam menghadapi segala serangan lawannya yang masih sangat muda itu.
Dengan meningkatkan ilmunya hingga ke puncak, dia pun menyerang Bayu Swandana seperti angin prahara, bahkan tidak mau memberikan kesempatan sedikitpun untuk lawan membalas menyerang.
Semakin lama Bayu Swandana merasakan tekanan yang semakin berat, bahkan sesekali dia harus melompat untuk mengambil jarak, tapi lawannya terus memburunya.
Sementara Nyi Pandan Wangi yang sesekali dapat melihat pertarungan anak laki-lakinya itu menjadi semakin gelisah, dan tidak ada jalan lain selain dia segera menyelesaikan lawannya. Dengan meningkatkan tataran ilmunya hingga ke puncak, dia segera menekan lawannya.
“Setan Alas” umpat lawannya ketika menyadari lengan kirinya mulai meneteskan darah segar.
Dengan wajah keheranan lawan Pandan Wangi itu mengambil jarak untuk mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi dengan lengan kirinya, karena tadi dia merasa mampu menepis serangan pedang lawannya itu.
“Apakah Ki Sanak memerlukan waktu untuk mengobati luka itu?” bertanya Nyi Pandan Wangi.
“Mulutmu seperti Iblis betina”
“Kau harus membayar dengan nyawamu karena sudah berani melukaiku” berkata murid Ki Waja Kencana itu dengan lantang, lalu kembali menyerang lawannya dengan sangat garang.
Sebenarnya inilah yang memang diharapkan oleh Nyi Pandan Wangi, dengan begitu dia bisa berusaha mempercepat pertarungannya karena sejak tadi sudah sangat digelisahkan pertarungan Bayu Swandana.
Tidak beberapa lama, Nyi Pandan Wangi mampu menggores paha sebelah kanan lawannya, yang disambut teriakan dan sumpah serapah yang sangat kotor.
Murid Ki Waja Kencana yang terluka itu justru menjadi semakin marah dan kehilangan penalaran yang bening. Seperti orang yang waringuten, dia kemudian kembali menyerang dengan membabi-buta.
Justru Keadaan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Nyi Pandan Wangi. Semakin lama dia berhasil meninggalkan lebih banyak goresan.
Orang yang banyak terdapat luka di tubuhnya itu semakin melemah, karena semakin banyak dia bergerak maka semakin banyak pula darah yang keluar dari tubuhnya.
Nyi Pandan Wangi yang memang bukan seorang pembunuh, hanya berusaha mengimbangi lawannya saja yang sudah mulai melemah, sembari memperhatikan arena pertempuran anaknya yang semakin lama semakin menggelisahkan.
Bayu Swandana yang berada dalam tekanan lawannya suatu ketika lengah juga, pada saat dia melompat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, ternyata lawannya terus memburunya.
Bayu Swandana yang tidak menduga, terlambat menyadari saat pedang lawannya menjulur lurus ke arah dada, dengan memiringkan tubuhnya dia berusaha mengelak, tapi naas pedang murid Ki Waja Kencana itu masih sempat menyerempet lengan kanan.
Memang hanya sebatas luka kecil, tapi karena pedang yang mengenai tubuhnya mengandung warangan yang sangat kuat, sejenak kemudian tubuhnya mulai bergetar.
Murid Ki Waja Kencana sepertinya membiarkan saja lawannya yang mulai diserang racun warangan dari pedangnya.
“Bayu Swandana” teriak Nyi Pandan Wangi yang mengejutkan orang-orang yang berada di tempat itu, tanpa berpikir panjang dia pun berlari menghampiri anaknya itu.
Kebetulan lawan Nyi Pandan Wangi yang mulai melemah karena terlalu banyak darahnya yang keluar mulai jatuh sempoyongan ke tanah, tapi masih dalam keadaan sadar.
Pertempuran di halaman Padepokan Orang Bercambuk itu sejenak seakan-akan terhenti. Nyi Pandan Wangi segera meletakkan kepala anaknya yang semakin lemah itu di pangkuannya.
Ki Agahan dan beberapa orang Cantrik segera mendekati Bayu Swandana pula, lalu mencoba memeriksa keadaan anak Swargi Ki Swandaru.
“Maaf Nyi Pandan Wangi, biarkan aku mencoba memeriksanya” berkata Ki Agahan setelah berjongkok di depan Nyi Pandan Wangi yang masih mendekap anaknya dengan sangat erat.
Tanpa menjawab, Nyi Pandan Wangi segera meletakkan kepala anaknya itu diatas tanah perlahan-lahan sembari memperhatikan lawan Bayu Swandana, siapa tahu berbuat licik pada keadaan seperti itu. Ternyata lawan Bayu Swandana membiarkan saja dan memberikan kesempatan lawannya untuk dirawat lukanya.
Ki Agahan mencoba memeriksa keadaan Bayu Swandana dengan sangat hati-hati. Dari mulai memeriksa urat nadi di pergelangan tangannya, bagian leher, dan kedua matanya.
“Ambilkan aku air panas, mangkuk kecil dan sendok” perintah Ki Agahan kepada Cantrik yang berada didekatnya.
“Jangan kalian sesali, karena ini adalah hasil dari perbuatan kalian sendiri, sebentar lagi anak muda itu akan pergi ke alam kelanggengan, dan itulah yang aku rasakan saat aku kehilangan muridku” berkata Ki Waja Kencana yang memperhatikan keadaan Bayu Swandana.
“Jangan begitu Kyai, karena hanya Yang Maha Agunglah yang mempunyai kuasa untuk memanggil hambaNya kembali ke alam kelanggengan” Ki Lurah Glagah Putih menimpali.
“Tidak ada yang akan mampu bertahan terhadap racun warangan itu Ki Lurah”
Orang-orang yang mendengar ucapan Ki Waja Kencana menjadi berdebar-debar, apalagi Nyi Pandan Wangi sebagai ibunya, diluar sadarnya air mata mulai menetes di pipinya.
Kekhawatiran yang sangat akan keadaan anaknya itu mengingatkannya pada saat-saat terakhir mendiang suaminya.
Tanpa pikir panjang Ki Agahan melepas ikat kepalanya untuk mengikat lengan kanan tepat di atas bekas goresan pedang, yang gunanya untuk menghambat laju racun menyebar ke seluruh tubuh anak muda itu, serta tidak lupa menekan beberapa titik urat nadi di pangkal lengan dengan kedua jarinya.
Setelah itu Ki Agahan menebarkan obat berbentuk serbuk di atas bekas luka. Bayu Swandana yang sejak tadi sudah keadaannya melemah bahkan hampir pingsan, menjadi terkejut dan berusaha menggeliat.
Saat Cantrik yang tadi mengambil air kembali, Ki Agahan segera mengeluarkan dua butir obat seukuran biji kopi yang berwarna coklat kehitaman, lalu dicampur dengan sedikit air panas.
Ternyata dua butir obat yang dicampur dengan air panas cepat larut menjadi satu, tapi keadaan Bayu Swandana tidak memungkinkan untuk meminumnya, maka Ki Agahan mencoba meminumkan obat itu dengan menyuapinya dengan sendok secara perlahan-lahan.
Apa yang dilakukan Ki Agahan itu menjadi perhatian orang-orang yang berada di tempat itu, khususnya Nyi Pandan Wangi. Segala gerak-geriknya mengingatkannya pada sosok Swargi Kyai Gringsing dan Ayah Bagus Sadewa yang menguasai ilmu tentang pengobatan.
“Tenangkanlah dirimu mbokayu, mari kita sama-sama nenuwun untuk kesembuhan Bayu Swandana” ucap Nyi Sekar Mirah yang berada di sebelahnya sembari memegang kedua pundak Ibu Bayu Swandana.
Setelah Ki Agahan selesai meminumkan seluruh ramuan obat di mangkuk, lalu memerintahkan beberapa Cantrik untuk membawanya ke biliknya.
Keadaan Bayu Swandana yang semakin lemah dan dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar hanya bisa pasrah saat dipapah masuk ke biliknya yang diikuti oleh Ibunya dari belakang.
“Siapa lagi yang mau menyusul anak muda itu” teriak Ki Waja Kencana dengan lantangnya.
Guru Ki Panji Surajaya itu bermaksud untuk mengguncang ketahanan jiwani pihak lawan, meskipun salah satu muridnya ada yang sudah tidak berdaya tapi tidak membahayakan keselamatan.
“Apakah seperti ini sikap seorang pemimpin padepokan Kyai?” bertanya Ki Lurah Glagah Putih.
“Kau tidak perlu menggurui aku Ki Lurah” bentak Ki Waja Kencana sembari matanya menatap dengan tajamnya.
“Aku tidak bermaksud menggurui…”
“Setan Alas, aku tidak mau mendengar sesorahmu lagi Ki Sanak” sergah Ki Waja Kencana dengan cepat.
Baru saja selesai bicara, Ki Waja Kencana kembali menyerang dengan dengan senjatanya, yang berupa keris yang berukuran lebih besar dan panjang dari keris kebanyakan.
Keris yang berwarna hitam kelam karena berlapiskan warangan yang sangat kuat dan tentu saja sangat beracun memang sangat mendebarkan bagi siapa saja lawannya, apalagi jika senjata itu berada di tangan orang yang berilmu sangat tinggi seperti Ki Waja Kencana.
Ki Lurah Glagah Putih pun berusaha menghindar ke samping saat keris lawan akan menghujam jantungnya, Ki Waja Kencana yang sudah menduga segera menebas ke samping.
Ki Lurah Glagah Putih yang belum mengeluarkan senjata andalannya hanya bisa menghindar ke samping, belakang, bahkan beberapa kali harus melompat beberapa langkah surut untuk menyelamatkan dirinya.
Meskipun dia berbekal ilmu kebal yang sangat nggegirisi, tapi Ki Lurah Glagah Putih belum mengetahui secara pasti kemampuan lawannya untuk mengguncang ilmu kebalnya.
Ilmu kebal yang mengeluarkan hawa panas jika sudah berada di tataran puncak, tidak membuatnya terlena dengan hanya mengandalkan ilmu kebalnya.
Ketika Ki Waja Kencana menekan dengan semakin garangnya, Anak Ki Widura itu pun melompat beberapa langkah surut untuk mencari kesempatan menarik senjata andalannya yang berupa ikat pinggang.
Ki Waja Kencana yang sudah pernah mendengar siapa lawan beserta ciri-cirinya itu tidak menjadi terkejut saat lawannya menggunakan senjata khusus.
Kemudian yang terjadi adalah pertunjukan ilmu yang sangat tinggi dan ngedap-edapi dari dua orang yang berilmu sangat tinggi, bahkan beberapa orang yang melihatnya hanya bisa mengagumi tanpa bisa mengikuti kemana arah pertarungan.
Ki Untara yang sejak tadi selalu mengawasi pertarungan itu menjadi semakin tegang, tapi ada kebanggaan pula di hatinya bahwa adik sepupunya itu memang adalah orang yang berilmu sangat tinggi, bahkan tataran ilmunya jauh dari dugaan.
Ikat pinggang adalah senjata yang berwatak lentur, tapi jika dikehendaki bisa menjadi keras seperti wesi gligen, bahkan bisa setajam pedang yang sangat tajam.
Benturan demi benturan senjata semakin sering terjadi, bukan saja sekedar senjata secara wadag tapi yang sudah dialiri tenaga dalam. Maka dari itu hampir setiap benturan yang terjadi seperti mengeluarkan percikan api.
Pertarungan yang sudah beberapa lama terjadi itu masih saja menegangkan meskipun sudah berkurang satu arena pertempuran. Tanpa terasa sudah semakin jauh melewati wayah madya ratri.
Nyi Pandan Wangi yang tadi ikut mengantar anaknya ke bilik tidak lama kembali lagi ke halaman untuk menghadapi orang yang tadi melukai Bayu Swandana dengan pedang beracunnya.
“Maaf Ki Sanak, aku yang sekarang menjadi lawanmu”
“Aku tidak peduli siapa pun lawanku, karena aku ingin segera menyelesaikan tugasku” jawab lawan Nyi Pandan Wangi.
Berdesir hati Ibu Bayu Swandana yang mendengar jawaban itu lalu menarik nafas dalam-dalam. Terbayang dihatinya kekelaman hati orang yang berdiri di hadapannya.
“Baiklah jika itu kemauanmu”
Baru saja Nyi Pandan Wangi selesai berbicara, lawannya yang masih memegang senjata sudah menyerang dengan berusaha menebas leher, dibarengi dengan sebuah teriakan.
Tapi lawannya kini bukanlah anak muda yang telah dikalahkannya tadi. Sekarang sepertinya lawan yang dihadapi adalah orang yang mempunyai bekal lebih baik.
Meskipun lawannya menyerang dengan tiba-tiba, tapi Nyi Pandan Wangi tidak menjadi gugup, karena sedari tadi dia selalu dalam tingkat kewaspadaan tertinggi untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dengan terlukanya Bayu Swandana sudah cukup menjadi peringatan bagi Nyi Pandan Wangi bahwa lawannya adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
“Segera selesaikan lawan-lawan kalian” teriak Ki Waja Kencana kepada orang-orang yang menyertainya.
Pihak lawan yang mendengarnya menjadi semakin berhati-hati, karena dengan adanya perintah itu pasti lawannya akan semakin berbahaya.
Setelah mendengar perintah itu ternyata mereka bersiap memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu pamungkas masing-masing.
Nyi Sekar Mirah dan yang lain kecuali Ki Lurah Glagah Putih segera menyadari apa yang akan dilakukan lawan mereka tidak mau terlambat.
Nyi Rara Wulan yang belum mengetahui seberapa tinggi ilmu pamungkas lawan tidak mau meremehkan. Dipusatkanlah nalar budinya hingga ke puncak untuk melepaskan ajian pamungkasnya yang diberi nama Aji Namaskara.
Begitu pula Nyi Sekar Mirah yang tidak mau ketinggalan segera mempersiapkan dirinya dengan memusatkan nalar budi untuk melepaskan ilmu pamungkas dari jalur ilmu Perguruan Kedung Jati.
Pada saat yang hampir bersamaan Nyi Pandan Wangi telah memusatkan nalar budinya pula untuk melepaskan ilmu puncak dari jalur Perguruan Menoreh.
Sejenak kemudian terjadilah tiga benturan dari orang-orang yang berilmu sangat tinggi dalam waktu yang hampir bersamaan di halaman Padepokan Orang Bercambuk.
Diawali dari Nyi Rara Wulan yang membenturkan ilmunya dengan salah satu murid Ki Waja Kencana, seakan-akan udara di tempat itu meledak dengan dahsyatnya saat kedua ilmu saling berbenturan.
Yang kedua terjadi pada Nyi Pandan Wangi yang telah membenturkan ilmunya pula pada salah satu murid Ki Waja Kencana. Dan yang terakhir adalah Nyi Sekar Mirah yang mengadu ilmu pamungkas dengan Ki Wirajaya.
Pemandangan yang sangat jarang terjadi di sebuah arena pertempuran telah terjadi di halaman Padepokan Orang Bercambuk, tiga benturan ilmu yang hampir bersamaan dari orang-orang linuwih meskipun tiga orang yang berada dipihak yang sama adalah perempuan.
Nyi Rara Wulan bergetar beberapa langkah surut tapi masih tetap bisa menguasai keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh, sedangkan lawannya terlempar beberapa langkah ke belakang lalu jatuh berguling diatas tanah.
Nyi Pandan Wangi juga bergetar beberapa langkah surut dengan tubuh sempoyongan tapi masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya sebelum jatuh terduduk, lawannya terlempar beberapa langkah dan jatuh di atas tanah dengan kepalanya dahulu lalu diam tak bergerak.
Berbeda dengan Nyi Sekar Mirah yang sempat terlempar beberapa langkah, begitu pula yang terjadi pada lawannya.
Sejenak pertempuran di tempat itu seakan-akan terhenti. Orang-orang yang berada di tempat itu segera berlari menghampiri orang-orang yang baru saja membenturkan ilmu pamungkas, Kecuali Ki Waja Kencana yang berada di pihak lawan yang masih berdiri sendirian.
Ki Waja Kencana kemudian menghampiri orang-orang yang menyertainya satu persatu untuk melihat keadaan mereka.
Dua orang muridnya sudah nampak diam tak bergerak diatas tanah, sedangkan Ki Wirajaya masih nampak menggeliat dan memuntahkan darah segar dari mulutnya, saat Ki Waja Kencana mendekatinya.
“Maafkan aku Ki Waja Kencana, aku sudah tidak bisa menemanimu..lagi” berkata Ki Wirajaya dengan lemahnya dan hampir tidak terdengar jika saja Ki Waja Kencana tidak mendekatkan telinganya.
Tidak berapa lama kemudian Adik Ki Panji Surajaya itu pun menghembuskan nafas terakhirnya. Lalu Ki Waja Kencana menutup kedua mata adik muridnya itu dengan tangan kanan.
Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari keadaan segera berlari menghampiri istrinya, yang mulai duduk bersila dan menangkupkan kedua tangannya didepan dada untuk memperbaiki keadaan setelah terjadi benturan ilmu.
Ki Untara yang melihat kejadian itu memerintahkan kepada para Cantrik untuk waspada, terutama Cantrik utama agar tidak terbawa suasana sehingga mereka lupa menyadari keadaan.
Nyi Pandan Wangi yang tadi setelah terjadi benturan ilmu pamungkas sempat terhuyung-huyung, telah duduk bersila dan menangkupkan kedua tangannya pula didepan dada untuk memperbaiki keadaan setelah terjadi guncangan pada tubuhnya.
Ki Untara yang melihat Nyi Sekar Mirah dalam paling mengkhawatirkan segera menghampirinya, karena tadi ketika terjadi benturan hanya Nyi Sekar Mirah lah yang sempat terlempar beberapa langkah surut dan terbanting diatas tanah.
“Tolong ambilkan dua butir obat di pinggang kananku”
Ki Untara yang mendengarnya segera melaksanakan permintaan Nyi Sekar Mirah yang tubuhnya masih nampak bergetar dengan ujung bibirnya sempat meneteskan darah.
“Tolong ambilkan air” perintah Ki Untara kepada orang yang didekatnya.
Lalu Ki Untara membantu adik iparnya itu untuk meminum obat yang dibawa, setelah seorang Cantrik menyerahkan sebuah kendi berisi air, karena keadaan Nyi Sekar Mirah yang masih lemah.
“Apakah kau perlu bantuan Sekar Mirah?” bertanya Ki Untara.
“Kakang, tolong bantu aku duduk” jawab Nyi Sekar Mirah dengan suara sangat perlahan.
Kemudian dengan dibantu kakak iparnya itu, Nyi Sekar Mirah mampu duduk bersila dan menangkupkan kedua tangannya didepan dada. Setelah itu dia berusaha memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki keadaan tubuhnya yang terguncang di bagian dalam.
“Kalian telah membunuh semua orang-orangku” teriak Ki Waja Kencana dengan penuh kemarahan.
“Bukankah itu akibat yang wajar dari sebuah pertempuran Kyai?” Ki Lurah Glagah Putih menimpali, dengan masih berjongkok di sebelah istrinya.
“Apa? kau bilang wajar?” jawan Ki Waja Kencana dengan penuh keheranan. Lalu, “sekarang kalian akan menerima akibat dari perbuatan kalian”
Ki Lurah Glagah Putih yang masih berjongkok di sebelah istrinya yang baru saja selesai memperbaiki keadaan, selalu memperhatikan gerak-gerik Ki Waja Kencana yang masih berdiri di samping mayat Ki Wirajaya.
Tidak lama kemudian Nyi Pandan Wangi selesai pula memperbaiki keadaan, lalu segera berdiri untuk memperhatikan apa yang terjadi.
Yang pertama-tama dilihatnya setelah berdiri adalah Nyi Rara Wulan yang sudah berdiri pula tak jauh darinya, kemudian diputarlah pandangannya.
“Sekar Mirah” seru Nyi Pandan Wangi sedikit terkejut. Lalu segera menghampirinya.
Setelah Nyi Pandan Wangi berada di sebelah adik mendiang suaminya itu sengaja membiarkan saja dan memberikan kesempatan Nyi Sekar Mirah untuk memperbaiki dirinya yang sepertinya terluka dalam.
“Sekarang kalian bersiaplah, aku sudah tidak akan mengekang diriku lagi” teriak Ki Waja Kencana yang mengejutkan orang-orang yang mendengarnya.
Lalu dari balik bajunya, Ki Waja Kencana mengeluarkan sesuatu. Ternyata sebuah topeng yang berwarna hitam kelam dengan bentuk seperti topeng kebanyakan.
Tetapi sepertinya dibuat dari baja pilihan dan harus menjalani sebuah laku tertentu karena mengeluarkan pamor yang sangat nggegirisi.
Orang-orang yang melihatnya menjadi tegang. Dan mereka belum bisa menduga apa yang akan dilakukan oleh pemilik topeng tersebut.
Ki Waja Kencana kemudian memegang topeng itu dengan kedua tangannya di depan wajah, sembari merapalkan sebuah mantra, lalu dengan perlahan-lahan mulai menempelkan topeng waja ke wajahnya.
Tanpa ada yang menduga topeng waja itu secara perlahan seakan-akan mulai menyatu dengan wajah Ki Waja Kencana.
“Siapa yang mau menjadi orang pertama yang mau menjajal kesaktian topeng pusakaku ini?” berkata Ki Waja Kencana yang seperti orang sedang mengetrapkan ilmu gelap ngampar.
Orang-orang yang mendengarnya seakan-akan dada mereka dihimpit oleh batu besar yang menyesakkan. Apalagi bagi orang yang mempunyai bekal kanuragan yang belum mumpuni akan berlipat rasanya.
“Menjauhlah dari arena” teriak Ki Untara yang menyadari keadaan.
Para cantrik padepokan yang seakan tersadar segera menjauhi arena seperti yang diperintahkan oleh bekas senopati Mataram itu.
“Jika perlu masuklah ke dalam padepokan” Ki Lurah Glagah Putih menambahkan dengan berteriak pula.
“Tidak ada yang akan aku biarkan lolos dari tempat ini” berkata Ki Waja Kencana dengan suara yang menggelegar menyesakkan dada.
“Jangan dengarkan dia!” teriak Ki Untara.
Kemudian para cantrik yang dipimpin Ki Jayaraga segera masuk ke ruang dalam padepokan, termasuk Bagus Sadewa dan Arya Nakula yang sedari tadi hanya ikut menyaksikan pertarungan di halaman padepokan.
Tapi sebelum mereka mendekati pintu bangunan induk padepokan sudah dikejutkan oleh suara teriakan yang sangat keras.
“Aaa…” sebuah teriakan yang tiba-tiba mengejutkan, keluar dari mulut salah satu cantrik Padepokan Orang Bercambuk.
Semua orang yang mendengarnya lalu melihat apa yang terjadi. Dengan perasaan yang bercampur aduk, mereka tertegun saat melihat keadaan cantrik yang berteriak itu.
Cantrik yang berteriak kesakitan itu ternyata sedang ditatap dengan tajamnya oleh Ki Waja Kencana. Semakin lama suara teriakannya melemah hingga hilang sama sekali.
Ternyata tatapan mata Ki Waja kencana setelah memakai topeng waja sangat nggegirisi, karena tubuh cantrik itu seperti dipanggang diatas api yang sangat besar sebelum akhirnya tubuhnya menjadi benar-benar terbakar.
“Cepat menyingkir” teriak Ki Lurah Glagah Putih yang masih terkejut dan seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri.
Segera saja orang-orang yang berada di halaman itu berhamburan untuk menyelamatkan diri kecuali beberapa orang linuwih.
Bahkan Nyi Sekar Mirah yang baru saja selesai memperbaiki keadaannya segera dipapah masuk ke dalam oleh Ibu Arya Nakula dan Ibu Bayu Swandana untuk berusaha menghindari kemungkinan buruk.
Tapi kembali mereka dikejutkan oleh sebuah teriakan yang nyaring dari seorang cantrik. Yang kemudian berakhir secara mengenaskan seperti cantrik yang menjadi korban pertama tadi.
“Aku sengaja mengincar cantrik lebih dahulu, agar menjadi peringatan bagi kalian semua yang berada di tempat ini, bahwa aku tidak main-main dengan ucapanku” berkata ki Waja Kencana yang masih dengan suara menggelegar menyesakkan dada.
“Tapi bukan berarti kau dapat membunuh orang sesukamu secara keji, bahkan orang yang tidak berdosa” jawab Ki Lurah Glagah Putih yang mampu mengatasi serangan lawan dari suara.
“Apa yang kau lakukan sudah melewati batas paugeran Ki Waja Kencana, sudah saatnya kau dihentikan” teriak Ki Untara dengan lantang.
“Lakukanlah jika kau mampu Ki Sanak”.
Sementara Ki Agahan yang tadi ikut ke dalam untuk merawat Bayu Swandana sudah nampak lagi di halaman, bersama dengan Ki Untara dan Ki Lurah Glagah Putih, karena yang lain mencoba bersembunyi ke ruang dalam.
Ki Waja Kencana yang kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun sepertinya tidak lagi mengekang diri lagi. Ketika dia beradu pandang dengan Ki Untara, lawannya menjadi sangat terkejut.
Dengan melompat ke samping Ki Untara mencoba menghindari tatapan mata lawan. Karena pada saat dia beradu tatapan mata, seketika wajahnya langsung merasakan panas yang sangat menyengat.
Sembari mencoba menghindari tatapan mata lawan dengan melompat kesana-kemari, Ki Untara mencoba mengurai kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi lawan.
Ki Lurah Glagah Putih pun kemudian merasakan pula tatapan mata Ki Waja Kencana yang sangat menyengat di sekitar wajah, secara naluriah dia pun mencoba menghindar dengan cepat.
Ki Waja Kencana yang menyadari jika di tempat itu telah berdiri orang yang telah membunuh muridnya menjadi geram, lalu menyerangnya dengan tatapan mata yang sangat nggegirisi.
Ki Agahan yang belum menyadari sepenuhnya kemampuan lawan menjadi sangat terkejut, karena tiba-tiba saja mukanya terasa panas menyengat saat beradu pandang dengan Ki Waja Kencana.
“Ki Agahan, hindarilah tatapan matanya” teriak Ki Untara memperingatkan.
Pemimpin Padepokan Orang bercambuk yang mendengar peringatan itu secara gerak naluriah segera melompat menghindar dan mencari tempat persembunyian terdekat.
Ketiga orang linuwih yang menghadapi Ki Waja Kencana itu dibuat seperti anak-anak kemarin sore yang baru belajar kanuragan, yang mencoba bersembunyi dari balik tempat yang sedapatnya.
“Apakah hanya ini kebesaran nama Perguruan Orang Bercambuk yang pernah menggemparkan jaman Demak, Pajang dan Mataram” berkata Ki Waja Kencana dengan suara yang menggelegar. Lalu, “sekarang tidak ubahnya seperti seekor tikus yang lari ketakutan saat melihat seekor ular?”
Tiga orang yang mendengarnya hanya diam tanpa menjawab di tempat persembunyiannya masing-masing. Ki Untara berada dibalik tiang pendapa, Ki Lurah Glagah Putih di tiang pendapa pula yang berada di ujung bangunan, sedangkan Ki Agahan berada di balik tiang bangunan induk berusaha memberikan isyarat untuk saling mendekat.
“Jika tidak ada yang keluar, aku akan memaksa kalian untuk keluar dengan caraku” teriak Ki Waja Kencana yang merasa dirinya dipermainkan.
Sejenak kemudian bangunan di dekat pintu regol tiba-tiba meledak lalu terbakar. Semakin lama api itu membesar dan menghanguskan bangunan itu.
Ki Untara dan yang lain hanya bisa menggeretakkan gigi menahan kemarahan, tanpa bisa mencegah.
Dengan susah payah, akhirnya Ki Untara, Ki Lurah Glagah Putih dan Ki Agahan berada di satu tempat persembunyian.
“Glagah Putih, aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya agar memberi kesempatan padamu untuk menyerangnya dengan ilmu pamungkasmu, dan Ki Agahan tunggu apa yang terjadi lebih dahulu sebelum bertindak” berkata Ki Untara dengan suara setengah berbisik.
Kedua orang orang itu tidak menjawab, hanya mengangguk sekali.
Lalu Ki Untara memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu dari jalur Ayahnya, yaitu Ki Sadewa.
Ki Lurah Glagah Putih yang tanggap dengan apa yang dilakukan kakak sepupunya segera pula memusatkan nalar budinya untuk mengungkapkan ilmu pamungkasnya yaitu Aji Namaskara.
“Ki Waja Kencana, hentikanlah perbuatanmu” teriak Ki Untara yang berusaha memancing perhatian, tapi dengan kesiapan melepaskan ilmu puncaknya yang dapat dilepaskannya lewat sorot mata.
Seketika Ki Waja Kencana memandangi orang yang memanggilnya dengan tajam. Ki Untara yang telah bersiap dengan ilmu pamungkasnya segera melepaskan ke arah lawan saat mereka beradu pandang.
Tetapi ternyata ilmu yang dilepaskan oleh Ki Untara itu seperti memudar saat beradu tatapan mata dengan Ki Waja kencana yang memakai topeng waja yang sangat nggegirisi.
Bahkan kekuatan topeng waja lawannya yang ngedap-edapi itu mampu menembus ilmu sorot mata lawan dan tetap meluncur lurus dengan cepatnya.
Pada saat yang hampir bersamaan Ki Lurah Glagah Putih melepaskan ilmu pamungkasnya pula, yang langsung mengarah ke dada lawan.
Ki Untara berteriak sangat keras ketika tatapan mata lawan langsung menyengat wajahnya, bahkan seakan-akan panas itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ki Waja Kencana yang menyadari ada serangan dari arah lain segera mengalihkan pandangan matanya ke sumber serangan itu.
Aji namaskara yang pada tataran puncak itu seperti memudar ketika berbenturan dengan kekuatan sorot mata Ki Waja Kencana yang bersumber dari topeng waja.
Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari keadaan segera melompat menghindar untuk menyelamatkan diri.
Beruntunglah Ayah Arya Nakula itu tidak terlambat, jika terlambat sekejap saja maka hampir dipastikan dia akan mengalami nasib yang buruk.
Ki Untara yang tadi sempat merasakan kekuatan topeng waja sekejap lawan, masih merasakan hawa panas hampir di sekujur tubuhnya, terutama bagian wajah.
Waktu yang semakin lama telah bergeser menjelang matahari terbit, tapi di Padepokan Orang Bercambuk keadaan menjadi semakin mengkhawatirkan.
Seisi padepokan menjadi tegang menghadapi keadaan ini, tidak hanya yang berada di luar tapi yang di dalam pun berusaha mengetahui keadaan di luar dengan cara mengintip dari celah-celah kayu bangunan.
Mereka sangat kebingungan untuk menghadapi orang yang sangat ngedap-edapi dengan topeng wajanya. mereka berusaha untuk selalu terhubung dengan cara berbisik bahkan dengan isyarat untuk menemukan cara mengatasi Ki Waja Kencana.
Dalam ketegangan yang sangat, samar-samar terdengar derap kaki kuda dari kejauhan, semakin lama suara derap kaki kuda itu semakin jelas dan sepertinya menuju ke Padepokan Orang bercambuk.
“Ki Rangga Sabungsari, hati-hati! hindarilah tatapan matanya” teriak Ki Lurah Glagah Putih memperingatkan, setelah mengenali salah satu orang dari tiga orang yang datang.
Ki Rangga Sabungsari yang hendak melewati pintu regol padepokan seketika melompat ke samping, dan bersembunyi di balik dinding kayu.
Tapi salah satu kawannya yang terlambat harus mengalami nasib buruk, sekejap kemudian seakan-akan tubuhnya mulai terbakar dibarengi dengan teriakan kesakitan.
Ki Rangga Sabungsari yang menyaksikan kejadian itu terkejut bukan kepalang. Karena beberapa saat kemudian kawannya itu benar-benar terbakar.
“Apakah Padepokan Orang Bercambuk hanya berisi orang-orang pengecut?” bertanya Ki Waja Kencana dengan suara yang masih menggelegar dan menyesakkan dada.
Ki Rangga Sabungsari yang mendengar suara itu menjadi peringatan baginya, bahwa orang yang sekarang menyambangi Padepokan Orang Bercambuk bukanlah orang sembarangan, bahkan bisa dikatakan ngedap-edapi.
Dia pun menjadi sangat berhati-hati dalam bertindak, sejenak kemudian dia tampak termenung memikirkan sesuatu.
Sementara itu di ruang dalam padepokan.
“Kakang Bagus Sadewa, aku tidak tahan ingin ke pakiwan, tapi aku takut sendirian”
Bagus Sadewa yang melihat wajah adik sepupunya pucat masam menjadi kasihan.
“Marilah aku kawani” lalu Bagus Sadewa mendekati Ibunya yang masih terbaring lemah di amben biliknya untuk memberitahu.
“Kalian berhati-hatilah ngger, jika terjadi sesuatu segera berikan isyarat”
“Baik Ibu” jawab Bagus Sadewa yang kemudian mengajak Arya Nakula yang ketakutan untuk ke pakiwan yang berada di belakang bangunan induk.
Dengan berjalan perlahan-lahan, kedua anak itu menyusuri longkangan sebelum sampai tempat yang dituju.
“Masuklah, aku akan menunggumu disini”
Arya Nakula yang sudah tidak bisa menahan perutnya segera masuk ke pakiwan, dan kakak sepupunya itu dengan setia menunggu di luar.
Saat Bagus Sadewa menunggu sembari dia melihat-lihat sekitarnya, tapi perasaannya menangkap sesuatu yang kurang mapan, nalurinya mengatakan bahwa seperti ada yang mengawasi.
Karena merasa penasaran, dia pun berjalan mendekati dinding dengan penuh kewaspadaan. Tapi setelah mendekati dinding, dia tidak melihat siapa pun.
Untuk beberapa saat dia berdiam diri sembari memastikan kebenaran yang dia rasakan.
Karena merasa tidak ada kejanggalan yang terjadi, dia memutuskan kembali lagi. Tapi baru saja kakinya bergerak dia mendengar suara yang aneh dan sangat perlahan sekali seperti orang setengah berbisik.
Bagus Sadewa yang tadi sudah akan meninggalkan tempat itu menjadi diurungkan kembali. Dengan berdiam diri dia berusaha menangkap suara itu.
Meskipun suara itu terdengar sangat perlahan, tapi dia mampu menangkap suara itu dengan jelas.
“Benarkah itu?” tanya Bagus Sadewa setelah mendengar suara itu.
Tapi sepertinya pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban, yang membuatnya menjadi diam termenung sejenak memikirkan sesuatu.
Lamunannya menjadi buyar ketika dia mendengar pintu pakiwan dibuka, dan muncullah adik sepupunya. Kemudian dia segera menghampirinya untuk segera ke ruang dalam.
Sesampainya di ruang dalam dia segera kembali ke bilik tempat ibunya berbaring yang dikawani oleh Ibu Arya Nakula, sementara Nyi Pandan Wangi menunggui Bayu Swandana yang sedang dalam keadaan mengkhawatirkan akibat tadi terkena racun yang sangat ganas dari lawannya.
“Apa Ibu mempunyai sebuah cermin?”
“Tidak ngger, untuk apa?” Nyi Sekar Mirah bertanya heran.
“Aku memerlukannya Ibu”
“Bibi punya ngger, jika kau memerlukannya. Tapi hanya sebesar ini” jawab Nyi Lurah Glagah Putih sembari mengeluarkan sebuah kaca cermin berukuran telapak tangan orang dewasa dari bungkusan kain yang dibawanya.
“Itu sudah cukup Bibi” jawab Bagus Sadewa yang kemudian mendekat untuk menerima cermin itu.
Setelah menerima cermin itu, dia bergegas ke luar bilik dengan meninggalkan tatapan keheranan orang yang melihatnya.
Ketika Bagus Sadewa akan keluar dari bangunan induk, ada yang mendekatinya.
“Kau mau kemana adi Bagus Sadewa”
“Aku mencoba membantu paman Glagah Putih, kakang Bagaskara”
“Tapi apa yang kau lakukan itu sangat berbahaya”
“Benar Bagus Sadewa, itu akan membahayakan dirimu” ucap Umbara menimpali.
“Kalian cobalah percaya padaku”
Umbara dan Bagaskara saling pandang mendengar jawaban adik sepupunya itu. Mereka tidak tahu jalan pikiran Bagus Sadewa yang akan memasuki bahaya bahkan bisa mengancam jiwanya.
“Biarkan saja ngger, aku percaya padanya” kedua pemuda yang masih kebingungan itu menoleh ke arah sumber suara di belakang mereka.
“Ki Jayaraga” berkata kedua anak Ki Untara itu hampir berbarengan.
Ki Jayaraga yang merasa di perhatikan kedua pemuda itu dengan penuh tanda tanya, hanya mengangguk kecil.
Bagus Sadewa yang merasa mendapat ijin, segera keluar dari bangunan induk, meninggalkan dua kakak sepupunya yang masih nampak kebingungan.
“Kau mau apa Bagus Sadewa?” bertanya Ki Untara yang melihat pertama kali keponakannya itu akan keluar dari pintu bangunan induk.
“Aku akan berusaha membantu paman”
“Jangan, ini sangat berbahaya” jawab Ki Untara tegas.
Ki Agahan dan Ki Lurah Glagah Putih yang berada tidak jauh dari tempat itu merasa kebingungan.
“Apa yang akan kau lakukan Bagus Sadewa?” bertanya Ayah Arya Nakula itu.
“Paman percayalah padaku, aku hanya berusaha membantu”
“Mana nama besar Padepokan Orang bercambuk itu? sekarang aku hanya melihat sekumpulan orang-orang pengecut yang ketakutan untuk beradu dada” teriakan Ki Waja Kencana yang mengguncang sekitar tempat itu.
Bagus Sadewa yang belum mempunyai bekal kanuragan merasakan dadanya seperti dihimpit batu besar yang menyesakkan dada.
“Jika kalian masih saja bersembunyi, aku akan memaksa kalian keluar dengan caraku” lanjut Ki Waja Kencana.
“Percayalah padaku paman” berkata Bagus Sadewa setengah berbisik.
Ketiga orang linuwih dari Padepokan Orang Bercambuk itu hanya bisa saling pandang karena kebingungan terhadap Bagus Sadewa.
“Ki Waja Kencana, aku menyerah” teriak Bagus Sadewa.
“Apa? kau siapa anak ingusan?”
“Aku cantrik baru disini”
“Apa aku tidak salah dengar, kau menyerah?” bertanya Ki Waja Kencana keheranan.
“Benar Kyai, silahkan jika kau akan membunuhku, tapi tolong lepaskanlah mereka” berkata Bagus Sadewa sembari memegangi dadanya karena merasa sesak saat mendengar Ki Waja Kencana berbicara dibalik tempatnya bersembunyi.
“Aku hargai keberanianmu”
“Tapi sebelum Ki Waja Kencana bener-benar membunuhku, aku mempunyai permintaan”
“Apa itu?”
“Aku ingin menitipkan pemberian orang tuaku yang sangat berharga ini padamu”
“Baiklah, aku sangat menghargai keberanianmu meskipun sekarang umurmu masih sangat muda, kau telah berani bicara padaku pada keadaan seperti ini. Jadi aku akan mengabulkan permintaanmu”
“Terima kasih Ki Waja Kencana, aku akan melemparnya dari sini”
“Lemparlah, aku akan menangkapnya”
Bagus Sadewa mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya yang dibungkus kain hitam, Lalu dilemparkan ke tempat Ki Waja Kencana berdiri.
Bungkusan itu dilempar setinggi-tingginya, tapi karena Bagus Sadewa belum mempunyai bekal kanuragan, lemparannya tidak sampai ke tempat yang dituju.
Ki Waja Kencana yang melihatnya dengan sangat jelas segera melompat beberapa langkah untuk menyambutnya. Dan berhasil ditangkapnya dengan baik.
Setelah barang itu berada di tangannya, Ki Waja Kencana yang penasaran segera membuka bungkusan kain hitam itu, karena di satu sisi tangannya terasa empuk sedangkan sisi yang lain terasa benda keras.
Selah bungkusan itu terbuka semua, terlihat jelaslah apa isinya. untuk beberapa saat Ki Waja Kencana memperhatikan kaca cermin itu dengan seksama.
“Aaa…Setan Alas” teriak Ki Waja Kencana disusul dengan sumpah serapah yang sangat kotor keluar dari mulutnya.
Orang-orang yang mendengarnya menjadi terkejut akan teriakan Ki Waja Kencana yang nampak kesakitan. Mereka berusaha mengintip apa yang terjadi.
Alangkah terkejutnya mereka yang melihat apa yang terjadi pada orang yang telah menggemparkan Padepokan Orang Bercambuk itu.
Ki Waja Kencana mulai terbakar saat dia memandangi kaca cermin itu beberapa lama. Semakin lama api itu menjalar keseluruh tubuhnya, serta menghanguskan seluruh pakaian yang dikenakannya.
Apa yang terjadi padanya itu sama yang terjadi pada korban-korbannya beberapa saat tadi. Tubuhnya terbakar secara mengerikan, hingga api itu padam dengan sendirinya saat tubuh orang tersebut telah habis.
Ketika tubuh Ki Waja Kencana telah habis terbakar oleh pusakanya sendiri, orang-orang yang melihatnya masih tertegun seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Mereka masih berdiam diri dalam kebingungan, karena harus berbuat apa.
“Ki Waja Kencana gugur” berkata Ki Lurah Glagah Putih yang seakan menyadarkan orang-orang yang berada di tempat itu.
Sejenak Kemudian seisi padepokan menjadi riuh karena merasa telah keluar dari bencana yang sangat menakutkan. hampir semua orang kemudian mendekati tempat Ki Waja Kencana terbakar oleh pusakanya sendiri.
Ki Lurah Glagah Putih yang merasa ada keanehan tampak mengerutkan keningnya.
“Tadi aku lihat topeng waja itu tidak ikut terbakar, tapi sekarang tidak terlihat, apakah Ki Agahan melihat kemana perginya?” bertanya Ayah Arya Nakula yang berada di sebelah Ki Agahan.
“Aku juga tidak melihat kemana perginya Ki Lurah Glagah Putih”
“Benar-benar aneh”
Pada bekas Ki Waja Kencana terbakar itu memang hanya tinggal tumpukan abu sisa pembakaran.
“Dengan gugurnya Ki Waja Kencana bencana ini telah berakhir, kita wajib bersyukur kepada Yang Maha Agung”
“Benar sekali Ki Lurah Glagah Putih”
“Ah..Ki Rangga Sabungsari rupanya, maafkan kami jika kami sebagai tuan rumah tidak bisa menyambut tamu dengan baik” ucap Ki Lurah Glagah Putih ketika menyadari siapa yang berbicara kepadanya.
“Aku dapat mengerti Ki Lurah, karena keadaanlah yang membuat kita untuk sementara melupakan sedikit subhasita”
“Marilah Ki Rangga Sabungsari, kita lanjutkan perbincangan di pendapa”
Ki Agahan yang tanggap akan isyarat anak Ki Widura itu sebelum pergi, segera mengatur para cantrik untuk mengumpulkan para korban dan menyiapkan segala ubarampe, agar bisa segera diselenggarakan pemakaman.
“Kedatanganku kemari adalah karena tadi aku mendapat laporan dari prajurit yang bertugas nglanglang, karena kebetulan malam ini aku yang memimpin prajurit yang bertugas. Sehingga aku berpikir untuk memerlukan datang sendiri kemari” berkata Ki Rangga Sabungsari setelah duduk di pendapa.
“Ternyata prajurit Mataram yang berada di Jati Anom bergerak sangat cepat, pasti itu karena petunjuk pemimpinnya” ucap Ki Lurah Glagah Putih menimpali.
“Ah..aku hanya menjalankan tugas Ki Lurah” jawab Ki Rangga Sabungsari dengan wajah sedikit memerah.
“Aku mewakili seisi padepokan ini minta maaf kepada Ki Rangga dan prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, karena kedatangan kalian mengakibatkan jatuh korban” berkata Ki Lurah Glagah Putih sembari badannya sedikit membungkuk.
“Kita sama-sama prajurit Ki Lurah, kita selalu menyadari segala akibat saat kita bertugas, kapanpun dan dimanapun. Tapi kali ini aku merasa menyesal karena tidak bisa membawakan jasadnya kembali kepada keluarganya” ucap Ki Rangga Sabungsari yang kemudian hanya bisa menarik nafas dalam beberapa kali.
“Sejauh pengetahuanku, aku juga baru kali ini bertemu dengan orang yang mempunyai ilmu yang sangat aneh”
“Benar Glagah Putih, ini seperti ilmu dongeng dalam babad pewayangan” ucap Ki Jayaraga yang baru saja datang ikut menimpali.
“Ki Jayaraga” sambut Ki Rangga Sabungsari saat menyadari siapa yang datang, tidak lupa kemudian mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing setelah beberapa lama tidak bertemu.
“Dan yang membuatku tidak habis pikir, orang yang begitu ngedap-edapi ilmunya, hanya dikalahkan oleh Bagus Sadewa” ucap Ki Lurah Glagah Putih sembari geleng-geleng kepala.
“Tadi sewaktu Bagus Sadewa akan keluar dari ruang dalam sebenarnya dia sempat dicegah oleh kedua anak Ki Untara, tapi beberapa saat setelah aku mendengar percakapan mereka, panggraitaku mengatakan sepertinya aku bisa mempercayainya. Maka aku sampaikan kepada mereka, baru Bagus Sadewa dipersilahkan keluar” ucap Ki Jayaraga.
“Anak itu mengingatkan kita akan siapa Ayahnya, keanehan dan jangkauan penalarannya di luar dugaan kita semua” ucap Ki Rangga Sabungsari.
“Kau benar Ki Rangga, sepertinya keanehan dan kelebihan Ayahnya menurun padanya”
“Aku yang sudah mengenal kakang Agung Sedayu dalam waktu yang sangat lama saja terkadang masih merasa aneh dan penalaranku belum mampu menjangkaunya” Ki Lurah Glagah Putih menimpali.
“Bagus Sadewa memiliki bakat untuk menjadi orang linuwih, bahkan bisa melebihi Ayahnya sendiri”
“Guru benar, karena dulu kakang Agung Sedayu pada umur Bagus Sadewa yang sekarang masih menjadi anak penakut”
Pada saat di pendapa itu sedang ada perbincangan yang menarik, dari kejauhan samar-samar terdengar suara panggilan kewajiban kepada Sang Pencipta.
“Ternyata waktu begitu cepat berlalu, dan sepertinya sudah waktunya aku mohon diri, tolong sampaikan salam maafku yang tidak bisa ikut penyelenggaraan pemakaman dan salam hormatku kepada Ki Untaradira”
“Baiklah Ki Rangga, tapi apakah kami perlu membuat laporan sendiri tentang apa yang terjadi disini kepada prajurit yang bertugas di Jati Anom?” bertanya Ki Lurah Glagah Putih yang melihat Ki Rangga Sabungsari berpamitan.
Orang yang mendapat pertanyaan itu sejenak termenung memikirkan sesuatu. Lalu, “sepertinya tidak perlu Ki Lurah, karena sekarang aku yang bertugas, nanti biar aku sekalian saja yang membuat laporan kepada Ki Tumenggung Prayabuana”
“Baiklah kalau begitu Ki Rangga, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih, dan tolong sampaikan salam hormatku kepada Ki Tumenggung Prayabuana”
Setelah Ki Rangga Sabungsari pergi, hampir seisi padepokan disibukkan oleh persiapan penyelenggaraan pemakaman yang akan dilakukan setelah matahari terbit yang dipimpin langsung oleh Ki Agahan. Di sela-sela kesibukan, mereka membicarakan apa yang terjadi malam itu.
Dari kedatangan tamu yang tidak diundang yang ingin membalas dendam, ilmu orang yang sangat ngedap-edapi sehingga mampu memporak-porandakan padepokan, hingga yang membuat mereka tidak habis pikir adalah Bagus Sadewa yang mampu menaklukkan orang itu.
“Kau tak perlu heran, karena dia adalah anak Ki Agung Sedayu” berkata salah satu cantrik.
“Aku memang sering mendengar keanehan dan kelebihan Ki Agung Sedayu, tapi aku sendiri belum pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri”
“Apakah kau meragukan kemampuan Ki Agung Sedayu?” bertanya cantrik satunya.
“Ya antara percaya dan tidak percaya kakang, karena aku hanya mendengar ceritanya saja”
“Apakah kau tidak pernah mendengar cerita kakang Witarsa yang dulu sangat ingin membuktikan kehebatan Ki Agung Sedayu, tapi pada akhirnya harus mengakui jika kemampuan Ki Agung Sedayu memang jauh di atas penalaran kita”
“Ya..aku pernah mendengarnya”
Pembicaraan mereka kemudian terputus karena harus melanjutkan tugas mereka masing-masing.
Sementara di ruang dalam, Nyi Pandan Wangi wajahnya nampak buram yang menunggui anak laki-lakinya karena masih dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan dan belum sadarkan diri akibat terkena racun yang sangat ganas pada pertarungan semalam. Perasaan penuh kecemasan seorang ibu yang melihat anaknya dalam keadaan gawat tidak bisa disembunyikannya.
Lamunan Nyi Pandan Wangi seketika buyar saat terdengar pintu biliknya diketuk dari luar. Segera saja dia berdiri dan berjalan untuk membukakan pintu yang diselarak dari dalam.
“Bagaimana keadaan Bayu Swandana, mbokayu?” bertanya orang yang baru saja datang itu.
“Masih seperti itu Glagah Putih”
Kemudian Ki Lurah Glagah Putih memasuki bilik itu bersama anak dan istrinya untuk melihat keadaan Bayu Swandana dengan lebih jelas.
“Racun yang merasuki tubuhnya benar-benar kuat, beruntunglah tadi Ki Agahan telah bertindak dengan cepat” ucap Nyi Pandan Wangi memberitahu. Lanjutnya, “ meskipun tadi Ki Agahan berkata bahwa dia belum benar-benar menguasai ilmu pengobatan, tapi sejauh ini aku lihat dia sudah menunjukkan kemampuannya”
“Syukurlah mbokayu, mari kita sama-sama nenuwun” jawab Nyi Lurah Glagah Putih sembari memperhatikan keadaan tubuh Bayu Swandana yang terbaring di atas amben bambu.
Sebenarnya memang keadaan Bayu Swandana masih mengkhawatirkan, karena apa yang dilakukan Ki Agahan baru bisa mengurangi racun secara keseluruhan, tapi belum bisa benar-benar hingga membersihkan pada seluruh tubuh, mungkin juga karena membutuhkan waktu.
“Kakang Untara juga terluka, akibat menghadapi Ki Waja Kencana tadi sempat sekejap beradu pandang dengan Ki Waja Kencana, tubuhnya masih merasakan hawa panas terutama di bagian sekitar wajah, tapi setelah diberi ramuan obat oleh Ki Agahan sudah jauh lebih baik keadaannya” ucap Ki Lurah Glagah Putih.
“Aku tidak pernah mengira jika Ki Agahan mempelajari ilmu tentang pengobatan pula, beruntunglah Padepokan Orang Bercambuk dengan kehadirannya. Lalu bagaimana keadaan Sekar Mirah Sekarang?”
“Sudah jauh lebih baik mbokayu, karena kebetulan dia membawa obat sendiri yang diracik oleh kakang Agung Sedayu” berkata Ayah Arya Nakula menjelaskan.
“Apakah Sekar Mirah masih ada obatnya?”
“Aku kurang tahu mbokayu, nanti akan aku tanyakan jika mbokayu Pandan Wangi memerlukannya”
“Tolong tanyakan padanya, jika masih ada bawakan kemari dan sekalian jika Ki Agahan sudah tidak sibuk tolong suruh datang kemari, aku memerlukannya”
“Baiklah mbokayu”
Lalu Ki Lurah Glagah Putih segera keluar dari bilik untuk melaksanakan permintaan Nyi Pandan Wangi. Tidak lama kemudian dia kembali lagi ke bilik itu bersama dengan Ki Agahan.
“Apakah Nyi Pandan Wangi memanggil aku?” bertanya Ki Agahan setelah berada di dalam bilik.
“Benar Ki Agahan, aku ingin bertanya apakah obat yang dibawa Sekar Mirah itu bisa membantu Bayu Swandana?”
Ki Lurah Glagah Putih yang merasa membawa obat itu segera menyerahkannya kepada Ki Agahan yang masih di dalam bumbung kecil. Lalu Ki Agahan memeriksa obat itu dengan seksama.
“Obat itu racikan dari kakang Agung Sedayu” ucap Nyi Pandan Wangi menjelaskan saat Ki Agahan terlihat memeriksa obat itu sembari menduga-duga.
“Sejauh pengetahuanku, obat ini adalah obat luka dalam yang sangat kuat”
“Apakah obat itu bisa membantu kesembuhan anakku?”
Ki Agahan yang merasa mendapat pertanyaan berat itu kemudian mengerutkan keningnya sembari berpikir keras untuk menjawab pertanyaan itu dengan tepat.
“Seingatku, dulu Swargi Kyai Gringsing pernah memberikan petunjuk jika obat luka dalam dan obat racun yang menjalar ke seluruh tubuh itu saling berkaitan, karena dengan obat luka dalam dan ditambahkan satu bahan ramuan penawar racun akan bisa mengobati racun yang sangat kuat sekalipun” berkata Ki Agahan yang berusaha mengingat-ingat dengan keras.
“Syukurlah jika seperti itu, kami sangat mengharapkan bantuanmu Ki Agahan” berkata Nyi Pandan Wangi dengan wajah penuh harap-harap cemas.
“Nyi Pandan Wangi, aku hanya sebagai lantaran dan hanya bisa berusaha. Marilah kita sama-sama nenuwun untuk kesembuhan anakmas Bayu Swandana, karena Yang Maha Agung lah yang mempunyai kuasa atas segala hambaNya. Dan perlu kalian tahu, jika kawruhku tentang pengobatan masih sangat terbatas”
“Aku mengerti”
“Baiklah, akan segera aku siapkan ramuan obatnya agar anakmas Bayu Swandana segera sehat kembali” berkata Ki Agahan lalu melangkah keluar bilik untuk menyiapkan obat yang dibutuhkan.
“Jika Ki Agahan mau mengembangkan tentang kawruh pengobatannya, bukan tidak mungkin suatu hari nanti akan menyamai bahkan melebihi kemampuan kakang Agung Sedayu” ucap Nyi Pandan Wangi setelah Ki Agahan keluar bilik.
“Sangat mungkin sekali mbokayu, apalagi Ki Agahan mempunyai lebih banyak waktu jika dibandingkan dengan kakang Agung Sedayu yang hampir tidak bisa lepas dari tugas-tugasnya” jawab Ki Lurah Glagah Putih.
“Kau benar Glagah Putih” ucap Nyi Pandan Wangi lalu memperhatikan anaknya yang berbaring di atas amben. Lanjutnya, “kemana Arya Nakula?”
“Di bilik mbokayu Sekar Mirah bersama Bagus Sadewa” jawab Nyi Lurah Glagah Putih yang sedari tadi lebih banyak diam.
“Menurut panggraitaku kedua anak itu seperti mempunyai getaran batin yang sama, sehingga meskipun baru bertemu seperti tidak bisa terpisahkan”
“Ada benarnya juga mbokayu, mungkin pula sifat Ayahnya menurun padanya, karena Ayahnya sangat dekat dengan kakang Agung Sedayu”
Ki Lurah Glagah Putih yang merasa namanya disebut tersenyum, lalu katanya “aku juga tidak tahu mengapa begitu nyaman di dekatnya, aku merasa seperti diayomi”
“Kau benar Glagah Putih, kakang Agung Sedayu memang keberadaannya bisa mengayomi orang-orang di sekitarnya”
Pembicaraan mereka terputus saat Ki Agahan masuk ke bilik mereka dengan membawa obat yang dibutuhkan untuk kesembuhan Bayu Swandana.
Ki Agahan yang menyadari jika Bayu Swandana belum sadarkan diri, maka obat yang dibawanya itu telah dicairkannya lebih dahulu ke dalam sebuah mangkuk yang terbuat dari tanah liat.
“Maaf Nyi Pandan Wangi, tolong Bayu Swandana dibantu dalam posisi duduk, karena aku tidak bisa meminumkan obat ini jika dia dalam keadaan berbaring” berkata Ki Agahan.
“Terus bagaimana cara dia meminumkannya?” bertanya Nyi Pandan Wangi sedikit heran.
“Aku akan menyuapinya dengan sendok secara perlahan-lahan agar tidak mengganggu pencernaannya”
Kemudian secara perlahan-lahan Nyi Pandan Wangi mengangkat tubuh bagian atas anaknya itu dan menahannya agar tetap dalam keadaan duduk.
“Biarlah aku bantu menyuapi obatnya” berkata Nyi Rara Wulan yang merasa canggung jika hanya melihat.
Lalu Ki Agahan menyerahkan obat yang dibawanya kepada Nyi Rara Wulan, untuk kemudian menyuapkannya kepada Bayu Swandana sesuai petunjuk dari Ki Agahan.
“Aku benar-benar terkejut dengan Bagus Sadewa” ucap Nyi Pandan Wangi sembari menahan tubuh Bayu Swandana.
“Bukan hanya Nyi Pandan Wangi saja yang terkejut, tapi kami semua sangat terkejut pula dan tidak habis mengerti dengan apa yang dilakukan anakmas Bagus Sadewa” ucap Ki Agahan menanggapi.
“Sejak kejadian tadi pagi, aku juga belum sempat berbicara dengan bagus Sadewa” ucap Ki Lurah Glagah Putih.
“Penalarannya tidak pernah kita duga sebelumnya dan seperti di luar penalaran kita”
“Benar sekali Nyi Lurah, aku juga masih tidak habis mengerti apa yang telah dilakukannya tadi pagi”
“Sepertinya dia akan mengikuti jejak Ayahnya. Bahkan jika dilihat kemampuannya sekarang, bukan mustahil jika suatu hari nanti bisa melewati kemampuan Ayahnya” ucap Nyi Pandan Wangi yang kemudian terdiam karena tiba-tiba dia teringat akan masa mudanya.
Masa-masa muda yang membuat Nyi Pandan Wangi merasa bahagia saat mendengar suara seruling yang ditiup dengan merdunya oleh seorang anak gembala.
Nyi Pandan Wangi terkejut saat anaknya sempat menggeliat sejenak dalam dekapannya, sehingga membuyarkan lamunan indahnya.
“Maaf Nyi Pandan Wangi, tolong tubuh Bayu Swandana sedikit di miringkan dan mulutnya sedikit dibuka, agar Nyi Rara Wulan bisa memasukkan sendok yang berisi obat kedalam mulutnya. Tapi biarkan saja sendok itu digigitnya sembari membiarkan obat itu tertelan dengan sendirinya secara perlahan-lahan, supaya tubuhnya tidak menjadi terkejut”
Dengan hati-hati Nyi Pandan Wangi dan Nyi Rara Wulan melakukan apa yang dikatakan oleh pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu.
Dengan sangat sabar dan telaten, kedua perempuan perkasa itu meminumkan obat kepada Bayu Swandana perlahan-lahan.
Sementara para cantrik yang mendapat tugas menyelenggarakan pemakaman bagi semua korban yang dipimpin beberapa cantrik utama telah terlihat kembali ke padepokan satu persatu setelah selesai menjalankan tugas.
Tidak lama setelah para cantrik itu kembali, Padepokan Orang Bercambuk kembali kedatangan tamu.
Tamu-tamu yang datang itu telah disambut dengan baik oleh cantrik yang bertugas, yang ternyata adalah prajurit Mataram yang bertugas di Jati Anom berjumlah empat orang dan salah satunya adalah Ki Rangga Sabungsari.
Jika dilihat dari cara berpakaiannya, salah satu dari prajurit yang datang bersama ki Rangga Sabungsari adalah berpangkat Tumenggung.
“Silahkan Ki Sanak semua menunggu di pendapa” berkata salah satu cantrik dengan ramah, lalu dia masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan tamu mereka kepada pemimpin padepokan.
Tidak Perlu menunggu lama, Ki Lurah Glagah Putih yang mewakili sebagai tuan rumah menyambut tamu-tamunya dengan ramah. Setelah mereka bertemu tidak lupa mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, apalagi dengan prajurit yang menyertai Ki Rangga Sabungsari yang jarang sekali bertemu.
“Ternyata Ki Tumenggung Prayabuana berkenan datang ke padepokan kecil ini, aku mewakili tuan rumah minta maaf jika kami tidak bisa menyambut tamu dengan baik ” berkata Ki Lurah Glagah Putih yang menyadari dengan siapa dia berhadapan.
“Ah..itu tidak menjadi soal Ki Lurah, aku bisa memaklumi keadaannya. Pertama-tama keperluanku datang kemari adalah aku ingin menyampaikan belasungkawa baik secara pribadi maupun atas nama prajurit dengan apa yang terjadi disini tadi pagi. Dan yang Kedua adalah aku ingin melihat secara langsung keadaan disini untuk melengkapi bahan laporanku ke Mataram” berkata orang yang tinggi dan gagah itu yang ternyata adalah Ki Tumenggung Prayabuana, senopati baru mataram yang berkedudukan di Jati Anom menggantikan Ki Untara yang purna tugas karena umurnya.
Kemudian Ki Tumenggung Prayabuana bertanya secara lengkap apa yang terjadi di padepokan tadi pagi. Lalu Ki Lurah Glagah Putih pun menjelaskan seperti apa adanya tanpa ada yang ditambahi ataupun dikurangi.
Setelah Senopati Mataram itu merasa keperluannya sudah selesai, sejenak kemudian dia mohon diri, karena masih banyak pekerjaannya yang sudah menunggu.
“Begitu tergesa-gesa Ki Tumenggung?”
“Aku masih banyak tugas yang harus diselesaikan Ki Lurah. Tolong sampaikan salamku pada seluruh penghuni padepokan ini Khususnya salam hormatku kepada Ki Untara”
“Baiklah, sekali lagi aku mewakili tuan rumah hanya bisa mengucapkan terima kasih atas segala perhatian Ki Tumenggung Prayabuana pada padepokan ini dan tidak lupa meminta maaf jika Ki Untara tidak dapat menyambut kedatangan Ki Tumenggung Prayabuana karena sedang beristirahat setelah meminum obat” berkata Ki Lurah Glagah Putih.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung Prayabuana benar-benar meninggalkan padepokan itu bersama para prajurit yang menyertainya termasuk Ki Rangga Sabungsari.
Sementara Ki Untara yang tidak menyambut tamu-tamunya berada di biliknya, dia sedang beristirahat di biliknya meskipun matanya terpejam, tapi tidak dapat benar-benar tidur karena masih merasa sakit akibat hawa panas saat beradu tatap mata dengan Ki Waja Kencana.
“Beruntunglah kejadian itu hanya berlangsung sekejap, jika tidak maka aku tentu mengalami nasib buruk pula” membatin Ki Untara.
“Tapi yang masih membuatku tidak habis pikir, Bagus Sadewa tiba-tiba mengejutkan semua orang, mengalahkan Ki Waja Kencana dengan caranya. Benar-benar diluar penalaranku” membatin Ki Untara lagi.
“Apakah Ayah memerlukan sesuatu?” bertanya Umbara yang menunggui ayahnya di dalam bilik dengan duduk di atas dingklik kecil.
“Sediakan saja air untuk minum di sebelah amben, Umbara” jawab Ki Untara yang masih tetap berbaring dengan mata terpejam.
“Air dalam kendi yang tadi aku bawa masih ada, Ayah”
* * *
Sementara di tempat lain pada waktu matahari beberapa saat lagi akan terbenam, yang jauh dari Padepokan Orang Bercambuk.
Di sebuah lereng Gunung yang pemandangannya begitu asri, tanah-tanah garapan yang nampak subur dengan hasil buminya. Yaitu hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari hasil persawahan hingga hasil dari pategalan sebagai pendukung kesejahteraan kawulanya semakin menggambarkan kehidupan yang gemah ripah loh jinawi.
Sebuah padukuhan kecil di lereng Gunung kecil, sebelah Utara yang jauh dari Kotaraja Mataram. Tempat itu sangat kawentar karena seseorang yang waskitha dan sering dimintai tolong oleh banyak orang, karena banyak sekali yang merasa cocok dan sembuh setelah berobat ke tempat itu, meskipun caranya terlihat aneh dan tidak seperti orang kebanyakan.
Seseorang yang sangat sepuh dan terlihat sangat gemuk bahkan bisa dikatakan gemuknya melebihi orang kebanyakan, sedang duduk di kursi jatinya yang dibuat secara khusus karena menyesuaikan ukuran tubuh yang memakainya sembari melayani tamu yang datang ke rumahnya.
Sebuah rumah yang sebenarnya sudah tidak layak dikatakan sebagai rumah, karena keadaan rumah yang terbuat dari kayu dan bambu itu terlihat sudah mulai usang, bahkan terlihat miring di beberapa bagian, bahkan lebih pantas jika disebut gubuk.
Meskipun keadaan rumahnya sangat memprihatinkan, tapi tidak menyurutkan orang-orang untuk meminta pertolongan untuk kesembuhan keluarga atau sanak kadang mereka. Bahkan dia bersikap selalu ramah kepada siapa saja yang datang kepadanya.
Di sela-sela orang meminta tolong, terkadang dia suka berkelakar untuk menghibur tamunya yang sedang kesusahan tapi tidak pernah menyinggung perasaan tamu-tamunya.
Meskipun dia sering dimintai pertolongan oleh banyak orang, tapi dia sama sekali tidak mau menerima imbalan dalam bentuk apapun. Semua itu dilakukannya atas dasar membantu sesama semata.
“Sepertinya akan datang tamu dari jauh” gumam orang itu perlahan yang seakan hanya ditujukan pada dirinya sendiri.
“Ada apa Kyai?” tanya seorang tamunya yang penasaran karena tidak mendengar dengan jelas.
“Ah..bukan apa-apa, aku hanya merasa akan ada tamu dari jauh karena beberapa hari ini aku mendengar burung prenjak berkicau dengan nyaringnya di depan gubukku”
“Oh..aku kira Kyai ada apa. Baiklah Kyai, berhubung keperluanku sudah selesai, aku dan keluargaku mohon pamit”
“Begitu tergesa-gesa?”
Tamu yang memang sudah menyelesaikan keperluannya itu segera berpamitan bersama rombongan keluarganya yang berasal dari kademangan sebelah. Tapi sebelum meninggalkan tempat itu dia memberikan sesuatu yang dibungkus kain kecil, sepertinya beberapa keping uang kepada orang yang telah menjadi lantaran kesembuhan keluarganya.
“Ki Sanak tidak perlu memberiku imbalan dalam bentuk apapun. Meskipun hidupku melarat tapi bukan hakku untuk menerima itu” berkata orang gemuk itu sembari berusaha menolak pemberian.
“Ini hanya ungkapan rasa syukur kami atas kesembuhan keluarga kami, tolong jangan ditolak Kyai”
Mendengar jawaban orang yang ditolongnya seperti itu menjadikan dia terdiam sesaat sembari menarik nafas dalam-dalam beberapa kali.
“Baiklah, aku menerimanya tapi dengan syarat”
“Apa syaratnya Kyai?”
“Aku terima pemberianmu itu, tapi aku minta tolong padamu. Tolong Ki Sanak berikan itu kepada orang yang membutuhkan yang kau jumpai”
Orang-orang yang mendengarnya hanya terdiam pasrah. Ternyata sesuatu yang mereka berikan sebagai ungkapan rasa terima kasih itu tetap ditolak, tapi secara halus.
Ternyata benar kata tetangganya yang pernah memberitahunya beberapa waktu yang lalu, jika meminta pertolongan kepada Kyai Pujangkara tidak akan pernah mau menerima imbalan dalam bentuk apapun.
Setelah para tamu itu benar-benar pulang, rumah itu nampak sepi, hanya suara binatang-binatang malam saja yang terdengar dari pategalan di sekitar rumah itu.
Lampu dlupak yang setiap sore dinyalakan oleh anak tetangga Kyai Pujangkara hanya menerangi ruang dalam saja, meskipun ada pula cahayanya yang menembus keluar karena pagar yang terbuat dari bambu itu ada yang sedikit berlubang di beberapa bagian.
Kyai Pujangkara yang mendapat isyarat akan kedatangan tamu dari jauh, menunggunya di ruang dalam sembari melantunkan tembang-tembang macapat untuk menghibur dirinya dari rasa kesunyian.
“Sepertinya tidak akan lama lagi” katanya dalam hati.
Benar saja apa yang dikatakan Kyai Pujangkara. tidak berapa lama kemudian, dia mendengar suara yang sangat halus dan nyaris tidak terdengar di depan rumahnya. Jika saja orang kebanyakan yang mendengarnya, tentu tidak akan menyadari jika ada seseorang yang datang,
Cara kedatangan orang itu memberikan isyarat bahwa dia adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Meskipun Kyai Pujangkara sudah mengetahui kedatangannya, tapi sengaja membiarkan saja dan tetap melantunkan tembang macapat, sembari menunggu tamunya mengetuk pintu.
“Selamat malam Kyai” ucap tamunya itu setelah mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Selamat malam Ki Sanak, silahkan masuk” Kyai Pujangkara menjawab tamunya lalu perlahan-lahan bangkit berdiri dengan tubuh yang sangat gemuk itu untuk membukakan pintu yang diselarak dari dalam.
“Rupanya tamu dari jauh yang berkenan datang ke gubukku ini, pantas saja beberapa hari terakhir ini burung-burung prenjak nyaring sekali berkicaunya di depan gubukku ini ” berkata Kyai Pujangkara setelah mengenali siapa yang datang.
- - - 0-0-0 - - -
Bersambung ke
Djilid
3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar