PdTL 17

 



* * *


Entah sudah berapa lama Nyi Pandan Wangi berada dalam pelukan suaminya tersebut untuk melepaskan segala beban hidup yang baginya dirasa begitu berat susul menyusul dalam waktu yang sangat berdekatan.

“Menangislah jika kau memang ingin menangis, jika memang itu dapat melepaskan segala beban yang ada di hatimu”.

Mendengar ucapan suaminya tersebut, Nyi Pandan Wangi justru melepaskan pelukannya, lalu ditataplah mata suaminya. Dia melihat sebuah pancaran kedamaian yang begitu dalam dari sorot mata suaminya.

Sebuah sorot mata yang seakan tidak pernah berubah sejak pertama kali dia mengenalnya ketika keduanya masih sama-sama muda, pada saat masih sebagai seorang anak gembala dan memperkenalkan dirinya dengan nama Gupita.

“Ternyata hati kecilku selama ini tidak pernah salah, dan semoga saja akan tetap demikian”. desis ibu Bayu Swandana.

“Apa maksudmu, Pandan Wangi?”.

“Hati kakang penuh dengan kedamaian, sehingga hatiku merasa tenang dan nyaman ketika berada disisi kakang. Berbeda sekali ketika aku bersama…”.

Seketika mulut itu terdiam dan tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba jari telunjuk suaminya sudah menempel di bibirnya. Dan secara naluriah ibu Sekar Wangi kembali memeluk suaminya.

“Jangan kau lanjutkan, Pandan Wangi. Lupakanlah semua itu agar hatimu tidak tergores kembali luka lamamu, tidak ada gunanya kau membuat sebuah perbandingan, dan tidak ada gunanya lagi untuk kau ingat-ingat”.

“Maafkan aku kakang”.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, apakah kau sekarang sudah merasa lebih baik?”.

Nyi Pandan Wangi menjawabnya hanya dengan menganggukkan kepalanya secara perlahan dalam suasana yang semakin malam di bawah cahaya keremangan di atas bukit kecil.

“Apakah kau ingin melihat makam Prastawa?”.

Sebelum menjawab, Nyi Pandan Wangi mengangkat wajahnya.

“Apakah tidak ada prajurit Mataram yang bertugas di sekitar pemakaman?”.

“Ada, tapi agak jauh. Lagipula tempat itu tidak diberi penerangan, sehingga jika kita datang ke tempat itu kemungkinan sangat kecil akan mendapat perhatian”.

“Jika demikian aku ingin melihatnya, kakang”.

“Baiklah, tapi kita tidak dapat berlama-lama”.

“Aku mengerti”.

Kemudian sepasang suami istri yang sudah tidak muda lagi itu segera meninggalkan tempat tersebut untuk mendatangi tempat dimana Ki Prastawa dimakamkan.

Nyi Pandan Wangi yang masih mengenakan pakaian khususnya segera mengusap-usap sebuah gundukan tanah yang masih tampak merah ketika tiba di tempat tujuan.

Kali ini sepertinya air matanya sudah tidak lagi membasahi pipinya, mungkin karena dia baru saja telah menumpahkannya semua beberapa saat yang lalu dalam pelukan suaminya.

Dengan duduk bersimpuh di sebelah makam adik sepupunya tersebut, kemudian Nyi Pandan Wangi segera memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih.

Sementara Ki Agung Sedayu yang selalu memiliki sikap waspada dimanapun berada, menunggui apa yang sedang dilakukan istrinya sembari mengawasi keadaan sekitar.

Nyi Pandan Wangi segera memanjatkan panuwunan kepada Yang Maha Welas Asih, guna memintakan segala ampunan atas segala dosa selama hidupnya dan berharap bahwa kebaikan yang betapapun kecilnya dapat menjadi penerangan dalam alam kelanggengan adik sepupunya tersebut.

Setelah selesai ibu Sekar Wangi segera bangkit.

“Sepertinya ada yang mengawasi kita dari kejauhan”. desis ayah Bagus Sadewa.

“He.. apakah mereka berniat buruk?”. sahut Nyi Pandan Wangi terkejut mendengar keterangan suaminya.

“Sepertinya mereka hanya mengawasi saja”.

“Apakah kita perlu mendatangi mereka?”.

“Sepertinya tidak perlu, sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini, agar mereka tidak dapat mengawasi kita lagi”.

“Baiklah, aku ikut kakang saja”.

Maka keduanya segera meninggalkan tempat itu dengan dilandasi kemampuan yang mereka miliki, sehingga dapat bergerak dengan sangat cepat, lalu menghilang di balik gerumbul.

Sementara orang yang mengawasi mereka tidak ingin kehilangan jejak segera berusaha mengejar perginya sepasang suami istri itu dengan landasan kemampuan yang tinggi pula.

Tapi setelah beberapa saat mengejar, sepertinya mereka telah kehilangan jejak ketika memasuki semak-semak. Bahkan mereka tidak dapat melacak kemana arah perginya buruan mereka.

“Kita telah kehilangan jejak, kakang”. ucap salah satunya.

“Benar adi, ternyata selisih waktu yang hanya sekejab sangat berarti sekali bagi kita”.

“Aku rasa ini bukan salah kita kakang, tapi aku kira mereka memang adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga kita tidak dapat mengejar mereka atau bahkan mengikuti jejaknya meskipun hanya selisih waktu sekejap”.

“Aku rasa ada benarnya pula ucapanmu, di. Untuk sementara kita lupakan dulu mereka yang belum kita tahu siapakah sebenarnya dan apa kepentingannya. Dan sebaiknya kita lanjutkan saja tugas kita”.

“Aku sependapat kakang, marilah…”.

***

Sementara itu di tempat lain, setelah kepergian Ki Agung Sedayu keempat Priyagung Mataram masih menyempatkan diri untuk berbincang sehubungan dengan perkembangan keadaan yang terjadi berdasarkan para prajurit sandi.

“Apa pendapat Paman bertiga setelah mengetahui perkembangan yang ada?”. bertanya Panembahan Hanyakrakusuma.

“Seperti yang sudah aku sampaikan, Angger Panembahan. Sepertinya dengan sangat terpaksa kita harus menarik diri dari Wirasaba ini jika Surabaya benar-benar menyiapkan pasukan segelar sepapan. Sebab menurut pendapatku, kekuatan Surabaya sangatlah besar dan kita pasti akan menemui kesulitan jika memaksakan diri untuk menghadapi mereka”.

“Aku sependapat dengan Kakangmas Pangeran Pringgalaya, selain kekuatan Surabaya yang sangat besar, kekuatan kita sudah jauh berkurang setelah berbenturan dengan kekuatan Wirasaba. Sehingga kemungkinan kita dapat memenangkan pertempuran melawan Surabaya sangat kecil sekali”.

“Apakah ada kemungkinan mereka akan mengejar kita?”.

“Aku kira kemungkinan itu tetap ada, tapi itu lebih baik jika dibandingkan dengan kita menunggu kedatangan mereka disini. Sebab itu artinya kita membunuh diri”.

“Lalu apa yang harus kita lakukan jika Surabaya benar-benar dapat mengejar pasukan kita?”.

“Aku kira itu sudah pilihan terakhir bagi kita. Maka dari itu kita harus memperhitungkan secara cermat perkembangan keadaan yang terjadi, sebab perhitungan waktu juga sangat menentukan sekali dalam pengambilan keputusan”.

“Berdasarkan laporan, kemungkinan paling cepat untuk pasukan Surabaya berangkat kemari adalah dua atau tiga hari lagi. Lalu apa pendapat paman bertiga?”.

“Sebaiknya kita segera memerintahkan pasukan Mataram untuk segera berkemas sebelum kita semua terlambat. Sebab pasukan kita tidak dapat bergerak cepat karena dalam pasukan kita masih banyak para prajurit yang terluka, dan itu juga harus kita pertimbangkan pula”.

“Bukankah sama artinya kemenangan yang kita landasi dengan pengorbanan jiwa dan raga yang tak terhitung seakan menguap begitu saja jika kita tinggalkan tempat ini, Paman Pangeran Pringgalaya?”.

“Angger Panembahan benar, tapi tidak sepenuhnya benar”.

“Maksud Paman?”.

“Kemenangan yang kita raih dengan dilandasi jiwa raga yang tak terhitung itu memang seakan menguap, tapi sepertinya Angger Panembahan lupa bahwa dengan demikian kita telah berhasil mengurangi kekuatan Surabaya secara keseluruhan. Dan bukankah tujuan utama kita semua adalah menaklukkan Surabaya?”.

Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma terdiam sejenak untuk mempertimbangkan kembali ucapan Pangeran Pringgalaya yang sepertinya dapat dibenarkan oleh semua orang yang mendengarnya.

“Saat ini kita memang dihadapkan pada pilihan yang serba sulit, tapi aku kira aku sependapat dengan Paman Pangeran Pringgalaya. Sebab biar bagaimanapun aku tidak ingin mengorbankan pasukanku dalam kesia-siaan. Lagipula mereka semua tidak pantas untuk dikorbankan”.

“Aku rasa itu adalah pendapat yang paling bijak yang aku dengar dari seorang Pepunden Mataram”.

“Apakah kita harus menarik diri pagi ini pula?”.

“Aku kira kita memang harus segera, tapi tidak pagi ini pula. Sebab kita membutuhkan waktu untuk mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk perjalanan yang panjang, dan kita harus ingat bahwa dalam pasukan kita masih terdapat banyak prajurit yang terluka, baik luka ringan maupun luka berat”.

“Lalu?”.

“Menurut pendapatku, sebaiknya kita mulai menarik diri setelah matahari terbenam. Selain waktu yang kita butuhkan untuk mempersiapkan diri lebih dari cukup, sedikit banyak kita mengurangi pengawasan dari para telik sandi Surabaya”.

“Aku kurang sependapat dengan Kakangmas Pringgalaya yang bagian itu,  dan aku rasa kita tentu tidak dapat mengelabui para telik sandi Surabaya, sebab Pasukan Mataram terlalu besar untuk dapat melakukannya”.

“Adimas Kedawung benar, tapi paling tidak itu dapat sedikit mengurangi pengawasan mereka pada saat kita mulai menarik diri dari tempat ini. Dan itu dapat sedikit memperlambat laporan mereka kepada pepunden mereka di Surabaya”.

“Ternyata Adimas Pringgalaya cukup cermat pula dalam memperhitungkan setiap langkah yang bakal kita ambil”. sahut Pangeran Puger.

“Aku sependapat pula, Paman. Jika demikian aku akan memberikan perintah untuk pasukan kita untuk segera mempersiapkan diri sesuai dengan hasil pembicaraan kita”.

“Tapi sepertinya ada yang kita lewatkan”.

“Maksud Paman Pringgalaya?”.

“Kita harus memperhitungkan kemungkinan pasukan Surabaya akan mengejar kita pula, dan jika itu benar-benar terjadi maka kita akan benar-benar kesulitan menghadapi mereka dengan pasukan kita yang ada sekarang, jadi aku rasa kita tentu memerlukan bantuan pasukan”.

Mereka semua yang hadir menjadi terdiam mendengar pendapat dari Pangeran Pringgalaya itu sembari mempertimbangkan segala kemungkinan dari penalaran masing-masing.

“Mungkinkah Surabaya akan mengejar kita hingga ke Mataram?”. desis Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

“Kemungkinan itu memang ada, tapi aku rasa kemungkinan itu sangat kecil sekali bakal terjadi. Apalagi jarak yang harus mereka tempuh terlalu jauh, tentu mereka akan berpikir ulang untuk benar-benar melakukannya”.

“Tapi berdasarkan laporan perkembangan terakhir dari prajurit sandi, bahwa Surabaya sedang menyiapkan pasukan segelar sepapan. Jadi aku rasa mereka tidak akan setengah-setengah dalam bertindak. Dan jika mereka tidak menemukan kita disini, tentu mereka akan mengejar pasukan kita. Apalagi mereka tahu bahwa kita tentu banyak membawa para prajurit yang terluka dan para tawanan, sehingga pasukan kita tentu tidak akan mampu bergerak dengan cepat. Dan dengan demikian tentu mereka akan dapat mengejar pasukan kita sebelum tiba di Mataram”.

“Ada benarnya pula pendapat Adimas Pringgalaya. Jadi artinya kita tidak sekedar tinggal gelanggang colong playu, tapi kita tetap waspada dan harus siap kapan pun jika kembali pecah perang pada saat pasukan kita menarik diri”.

“Benar Kakangmas, tapi yang pasti pasukan kita sekarang akan mengalami kesulitan jika Surabaya benar-benar mengejar pasukan kita, sehingga kita membutuhkan bantuan pasukan”.

“Apakah kita harus mengirim pasukan dari Mataram?”.

“Sepertinya memang demikian ngger, tapi berhubung pasukan cadangan yang berada di Mataram saat ini tidak terlalu banyak, sebaiknya kita membuat hubungan pula dengan Pajang”.

“Pajang?”. desis Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

“Benar ngger, sepertinya kita memerlukan bantuan dari Pajang pula. Apalagi Pajang justru letaknya lebih dekat dari sini. Dan menurut perhitunganku, jika Surabaya mengejar kita maka titik pertemuan kedua pasukan sepertinya kurang lebihnya tidak akan jauh dari sekitaran Pajang”.

“Aku sependapat dengan Kakangmas Pringgalaya yang sangat cermat menanggapi setiap perkembangan yang terjadi, jika Surabaya sekarang sedang menyiapkan pasukan segelar sepapan, tentu mereka tidak akan setengah-setengah dalam bertindak. Dan jika itu terjadi maka kita membutuhkan bantuan pasukan”.

“Lalu bagaimana dengan pasukan cadangan, Paman? apakah mereka perlu menyusul kita kemari atau mereka kita perintahkan untuk menunggu saja di Pajang?”.

“Menurut perhitunganku, perintahkan saja pasukan cadangan itu untuk menunggu di Pajang sembari menunggu perintah selanjutnya, sebab kita pun menunggu pula perkembangan yang terjadi. Karena itu bisa terjadi dan tidak, tapi bukankah itu lebih baik daripada kita tidak mempersiapkan diri sama sekali dan itu terjadi? maka itu akan menjadi nasib buruk bagi kita semua”.

“Baiklah… aku mengerti maksud Paman Pringgalaya”.

“Sebaiknya Angger Panembahan segera memerintahkan kepada prajurit penghubung untuk menyampaikan perintah ini agar tidak ada keterlambatan”.

“Baik Paman.. apakah masih ada hal yang lain yang perlu kita bicarakan?”.

Mereka menjadi saling pandang sejenak tanpa sepatah kata pun, dan akhirnya hanya menggelengkan kepala lemah. Sebab memang sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu mereka bicarakan lagi pada saat itu pula.

Sejenak Kemudian Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma pun segera memanggil prajurit yang bertugas, agar dapat segera menyampaikan perintahnya kepada seluruh pasukan.

Selain itu Kanjeng Sinuhun tidak lupa pula untuk memanggil prajurit penghubung untuk segera menghadap, agar dapat segera menyampaikan perintahnya sesuai dengan hasil pembicaraan.

Dalam perintah itu, Kanjeng Sinuhun Mataram tidak lupa memberikan pesan bahwa Pasukan Mataram diperintahkan pula untuk mempersiapkan diri secara diam-diam dan berusaha sejauh mungkin untuk menghindari pengawasan dari para telik sandi Surabaya yang tersebar.

Dengan pesan yang disampaikan tersebut, diharapkan akan dapat sedikit mengurangi pengamatan para telik sandi lawan. Sehingga dengan demikian akan sedikit memperlambat gerakan mereka untuk melaporkan apa yang telah terjadi.

***

Sementara itu di bilik yang tampak sempit, serta hanya diterangi lampu dlupak yang berada di ajug-ajug, sepertinya Ki Lurah Glagah Putih tidak mudah untuk berusaha memejamkan matanya kembali dalam kesendiriannya.

Penalarannya tiba-tiba terbang kesana-kemari karena kejadian beberapa saat tadi, jantungnya pun masih terasa berdegup dengan kencangnya menghadapi kenyataan tersebut.

Sebuah kenyataan yang tidak pernah diduganya selama ini, bahkan untuk membayangkannya saja dia tidak pernah. Maka dari itu, hal tersebut benar-benar telah mengusik hatinya yang kini dalam kesendirian setelah beberapa lama tidak sadarkan diri.

“Aku minta maaf kakang, aku benar-benar tidak pernah berniat deksura kepadamu. Tapi keadaanlah yang membuatku tidak dapat menghindari semua itu”. membatin Ki Lurah Glagah Putih yang merasa sangat bersalah kepada kakak sepupunya.

“Jika nanti aku bertemu, aku akan langsung minta maaf. Dan aku tidak akan ingkar jika kakang Agung Sedayu akan marah kepadaku, apapun yang akan dilakukannya kepadaku, aku siap  menerimanya sebagai wujud pertanggungan jawabku”.

Akhirnya dalam hati Ki Lurah Glagah Putih hanya bisa pasrah dengan apa yang bakal terjadi atas dirinya nanti, yang kemudian dapat membuatnya sedikit bernafas lega.

Setelah rasa bersalah itu hilang dari dalam hatinya, tiba-tiba dirinya teringat akan kejadian yang kini sangat membingungkan penalarannya.

Setelah diingat-ingat kembali apa yang telah dialaminya secara runtut, dirinya mulai merasa ada keanehan atas apa yang dialaminya pada saat-saat terakhir.

“Apakah tidak salah dengan apa yang aku lihat? apakah aku hanya bermimpi? apakah itu hanya mimpi ngayawara pada saat aku pingsan? apalagi berdasarkan keterangan dari mbokayu Anjani aku tidak sadarkan diri selama hampir sepekan. Tapi kejadian itu sangat jelas dan seakan benar-benar nyata bagiku”.

“Meskipun sudah lama sekali tidak melihatnya, namun aku tidak pernah dapat lupa tentang dia. Bahkan dari ujung rambut hingga ujung kakinya pun aku masih ingat hingga sekarang”.

“Tapi kenapa? kenapa aku tiba-tiba memimpikannya? dan kenapa mimpi itu seperti nyata? padahal selama ini aku sudah hampir melupakannya setelah kepergiannya pada waktu itu”.

Pertanyaan yang datang bertubi-tubi dalam isi kepalanya tidak mampu dijawabnya sendiri, sehingga membuatnya hanya semakin tenggelam dalam perenungannya sendiri.

Perenungannya dalam sisa malam itu tetap saja tidak mampu menjawab kegelisahan ayah Arya Nakula tersebut, hingga akhirnya membuatnya tanpa sadar terlelap.

***

Sementara itu di pagi yang masih buta, pasukan Mataram mulai sibuk setelah semalam mendapatkan perintah yang begitu tiba-tiba dari pepunden mereka untuk segera berkemas.

Tapi dalam segala persiapan tersebut mereka telah mendapat pesan pula agar segala persiapan yang mereka lakukan tersebut tidak menarik perhatian, terutama perhatian dari para prajurit sandi lawan yang tersebar hampir di segala penjuru.

“Bukankah dengan kita meninggalkan tempat ini, itu sama artinya dengan membiarkan kemenangan yang kita raih dengan pengorbanan harta, jiwa, dan raga yang tak terhitung jumlahnya menguap begitu saja?”. berkata salah satu prajurit Mataram sembari menjalankan tugas sesuai perintah.

“Aku rasa Kanjeng Sinuhun telah mempertimbangkannya dengan matang sebelum menjatuhkan perintah”.

“Sebenarnya aku kurang sependapat dengan cara ini”. desisnya tanpa sadar.

“Bukankah kau tahu sendiri apa alasannya Kanjeng Sinuhun?”.

“Ya.. aku mengerti, tapi bukankah apa yang aku katakan itu tidak ada salahnya pula?”.

“Kau benar, tapi menurut pendapatku Kanjeng Sinuhun memang tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik dari apa yang telah diputuskan sekarang. Tentu Kanjeng Sinuhun tidak mau mengorbankan kita semua hanya sekedar untuk menjadi bebanten jika Surabaya benar-benar menyerang kita kemari”.

“Aku mengerti maksudmu, tapi aku hanya merasa perjuangan kita seakan menjadi sia-sia”.

“Tentu tidak ada sebuah perjuangan yang sia-sia”.

Pembicaraan itu kemudian harus terputus karena kesibukan akan tugas mereka masing-masing bersama kawan-kawan prajurit yang berada dalam kesatuan lain.

Sementara yang tidak kalah sibuknya adalah para prajurit yang bertugas menyiapkan alat bagi kawan-kawan mereka yang masih terluka, terutama bagi yang masih terluka parah.

Dalam menyiapkan segala sesuatunya tersebut, mereka harus mempertimbangkan keadaan yang terluka, alat yang digunakan, serta seberapa jauh jarak yang bakal mereka tempuh.

Jika dalam jarak yang tidak terlalu jauh, tentu akan lebih nyaman bagi yang terluka jika menggunakan tandu, sebab tidak akan banyak terjadi goncangan pada saat perjalanan jika dibandingkan menaiki pedati, terutama jika harus melewati jalan terjal dan rumpil.

Jarak dari Wirasaba ke Mataram itu bukanlah jarak yang dekat, sehingga perlu dipertimbangkan lagi cara yang bakal digunakan agar tidak menjadi beban bagi kawan-kawannya selama dalam perjalanan yang mereka tempuh.

Beruntunglah para prajurit Mataram sudah tidak terlalu banyak lagi yang masih mengalami luka parah, sebab sejak perang telah berakhir hingga hari ini telah mendapatkan perawatan terbaik dari para Tabib yang merawat mereka.

Selain itu masa tenang setelah perang berakhir telah memberikan waktu kepada mereka kesempatan untuk memulihkan keadaan, seperti Ki Tumenggung Suratani dan Umbara yang sudah mulai berangsur-angsur membaik setelah terluka parah.

Meskipun tubuh mereka masih lemah, namun paling tidak mereka sudah tidak perlu ditandu lagi jika harus melakukan perjalanan panjang, bahkan mereka sudah dapat menaiki kuda meski harus tetap dalam pengawasan.

“Aku rasa kita memang dapat melakukan persiapan ini secara diam-diam, namun tidak secara keseluruhan”. berkata salah satu prajurit Mataram yang bertugas menyiapkan sebuah tandu.

“Maksudmu?”.

“Bukankah kau tahu? jika kita tidak akan mungkin membuat tandu secara sembunyi-sembunyi?”.

“Rupanya itu maksudmu, memang benar tapi paling tidak kita harus berusaha sejauh mungkin untuk melakukannya sesuai perintah Kanjeng Sinuhun. Tentu perintah itu dijatuhkan bukan tanpa alasan”. sahut kawannya.

Selain para prajurit Mataram yang mulai disibukkan dengan tugas masing-masing, perintah itu ditujukan pula kepada seluruh prajurit Mataram, termasuk para prajurit yang masih terluka untuk bersiap pula.

Pada awalnya mereka terkejut dengan perintah tersebut, namun senopati masing-masing kesatuan memberikan keterangan secara singkat kenapa Kanjeng Sinuhun memberikan perintah tersebut, dan akhirnya mereka pun mengerti.

Sementara Ki Rangga Sabungsari tidak lupa menjenguk keadaan Umbara yang masih terluka pada saat-saat terakhir di sela-sela kesibukannya sebagai seorang senopati sementara menggantikan Ki Tumenggung Prayabuana yang telah gugur.

Umbara sudah terlihat duduk di pembaringannya ketika suami Nyi Raras tersebut datang menghampirinya. Namun wajahnya masih terlihat pucat.

“Bagaimana keadaanmu, Umbara?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari ketika sudah berdiri di hadapannya.

“Sudah jauh lebih baik, Paman”.

“Apakah ada bagian tubuhmu yang masih terasa sakit?”.

“Hanya dadaku terkadang masih terasa nyeri, dan tubuhku masih terasa lemah untuk bergerak”.

“Apakah kau sudah mendengar bahwa Kanjeng Sinuhun menarik seluruh pasukannya hari ini kembali ke Mataram?”.

“Baru saja aku mendengarnya dari Tabib yang merawatku”.

“Apakah tubuhmu sudah siap untuk perjalanan jauh? ”.

“Bukankah siap tidak siap aku harus melakukannya pula, Paman? jika itu sudah menjadi perintah Kanjeng Sinuhun”.

“Kau benar, tapi mengingat keadaanmu itu paling tidak kita akan menyiapkan sesuatu yang mungkin akan dibutuhkan dalam perjalanan untuk mendukung daya tahan tubuhmu untuk menjaga dari segala kemungkinan buruk”.

“Terima kasih atas perhatian Paman. Tapi kini aku sudah jauh lebih baik, dan hanya tinggal memulihkan daya tahan tubuhku dan kemampuanku saja, jadi Paman Sabungsari tidak perlu khawatir berlebihan kepadaku”.

“Syukurlah jika demikian. Jika kau memerlukan sesuatu, katakan saja saja kepadaku. Kau tak perlu sungkan”.

“Terima kasih Paman Sabungsari, nanti jika aku memerlukannya aku katakan kepada Paman”.

“Aku hampir lupa, aku mendapat keterangan bahwa semalam pamanmu Agung Sedayu datang kemari, apakah semalam kau sempat berbincang dengannya?”.

“Paman Agung Sedayu?”. ucap Umbara terkejut.

“Benar… semalam Ki Agung Sedayu datang menjengukmu. Aku sendiri pun tidak sempat bertemu dengannya karena pada saat yang bersamaan adalah giliranku untuk beristirahat, sehingga aku tidak sempat melihatnya”.

“Aku justru baru tahu sekarang dari Paman Sabungsari”.

“Berdasarkan keterangan, pamanmu Agung Sedayu memang tidak lama berada di tempat ini, setelah dia selesai menghadap Kanjeng Sinuhun. Tapi setibanya disini, katanya dia tidak sampai hati untuk mengganggu istirahatmu, sehingga dia melarang Tabib yang merawatmu yang sudah akan membangunkanmu”.

Umbara pun hanya dapat menundukkan kepalanya mendengar keterangan tersebut, meskipun dirinya kecewa karena tidak sempat berbincang barang sejenak dengan adik kandung satu-satunya dari ayahnya tersebut setelah sekian lama tidak bertemu, namun apalah daya semua itu sudah terjadi.

“Apakah sudah ada berita tentang paman Glagah Putih?”.

“Aku sendiri belum mendapat keterangan, tapi kau tidak perlu memikirkannya terlalu dalam. Sebab Mataram tentu sudah berbuat sesuatu untuk mencarinya hingga berhasil menemukannya”.

Umbara hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan tersebut, dan sejenak kemudian keduanya menjadi terdiam dengan pikiran masing-masing.

“Sayang sekali aku tidak melihat perang tanding paman Glagah Putih secara langsung”. desis Umbara kecewa.

“Apakah kau kecewa? bukankah kau tentu sudah tahu sejauh mana kemampuan pamanmu itu?”.

“Tidak Paman Sabungsari, selama ini aku tidak pernah tahu sejauh mana kemampuan paman Glagah Putih”.

“Apakah kau berkata sebenarnya? bukankah kalian masih sebuah keluarga? baik secara hubungan darah maupun secara kawruh kanuragan?”.

“Selama ini aku hanya dapat mendengar cerita dari orang-orang tua, dan itupun aku rasa tidak akan diceritakan semuanya. Apalagi dalam perang kali ini paman Glagah Putih sudah mendapat kepercayaan yang begitu tinggi dari para pepunden Mataram untuk menghadapi Ki Patih Rangga Permana, tentu secara penalaran wajar paman Glagah Putih kemampuannya sudah sangat tinggi”.

“Mungkin pada suatu hari nanti kau akan mendapat kesempatan itu untuk menghapus rasa penasaranmu”.

“Semoga saja paman”.

“Aku rasa pembicaraan ini kita lanjutkan di lain kesempatan, kau pergunakanlah sisa waktu ini untuk dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya. Aku pergi dulu, sebab masih ada tugas yang harus aku kerjakan”. ucap Ki Rangga Sabungsari pada akhirnya.

“Baiklah, terima kasih atas perhatian paman Sabungsari”.

Ki Rangga Sabungsari hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibirnya, kemudian dia segera bergegas meninggalkan tempat itu.

***

Sementara itu pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang yang berada di rumah Ki Purbarumeksa tampak sudah terbangun dalam menyambut hari baru sesaat sebelum terdengar panggilan kewajiban kepada Yang Maha Welas Asih.

Selain para tamu yang akan mempersiapkan diri untuk kembali ke tempat masing-masing. Sebagai tuan rumah, Ki Purbarumeksa dan keluarga ingin melayani para tamunya tersebut dengan sebaik-baiknya.

Dengan saling bergantian pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri, sembari menunggu waktu panggilan kewajiban. Sementara tuan rumah, terutama para perempuan lebih banyak disibukkan dengan pekerjaan dapur guna mempersiapkan makan pagi bagi semua orang yang ada di rumah tersebut.

Karena biar bagaimanapun makan pagi harus sudah siap dihidangkan pada saat matahari terbit dibalik gunung, atau sebelum para tamu meninggalkan rumah tersebut.

Setelah selesai menjalankan panggilan kewajiban, guna mengisi waktu untuk menunggu makan pagi siap, para tamu dipersilahkan menikmati minuman hangat dan beberapa potong makanan di pendapa sembari membicarakan apa saja yang menarik bagi mereka dengan sesekali diselingi dengan kelakar.

“Sepertinya kita akan merindukan kebersamaan ini di waktu yang akan datang, sebab jarang sekali kita mendapatkan kesempatan seperti ini karena kesibukan kalian masing-masing. Sebab diantara kita semua yang hadir di tempat ini hanya aku yang pengangguran”. ucap Ki Purbarumeksa lalu tertawa.

“Ki Purbarumeksa lupa bahwa aku pun pengangguran pula?”.

“Sebagai sesepuh Padepokan Orang Bercambuk, mana mungkin Ki Untara adalah  seorang pengangguran?”.

“Tapi tugasku tidak lebih dari hanya mengawani Ki Agahan menghabiskan makanan dan minuman di padepokan”.

Orang-orang yang mendengar kelakar dua sesepuh itu hanya bisa tersenyum dan tertawa. Tapi pembicaraan yang penuh dengan suasana kehangatan itu harus berakhir ketika Nyi Purbarumeksa mempersilahkan mereka untuk bersantap pagi.

Setelah mereka selesai makan pagi, maka mereka kembali lagi ke pendapa sembari mempersiapkan diri untuk kembali ke tempat masing-masing.

Ki Geda Matesih, Ratri, dan beberapa pengawalnya akan kembali ke Tanah Perdikan Matesih yang berada agak ke utara, sedangkan Ki Untara, Ki Agahan, dan rombongannya kembali ke Padepokan Orang Bercambuk yang berada agak ke timur dari Mataram.

“Sebelum aku benar-benar mohon diri, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih kepada semuanya atas kebaikan kalian semua kepada kami, dan aku persilahkan bagi siapa saja yang berkenan mengunjungi kami di Tanah Perdikan Matesih. Pintu rumahku selalu terbuka lebar bagi kedatangan kalian semua”.

“Sama-sama Ki Gede Matesih, dan aku sebagai tuan rumah mewakili semua orang di rumah ini minta maaf jika selama kunjungan kalian semua ada kesalahan”.

“Tidak ada kesalahan Ki Purbarumeksa, justru kami yang meminta maaf jika selama keberadaan kami disini sudah banyak merepotkan seisi rumah ini”.

“Sama-sama Ki Untara, dan semoga perjalanan kalian tidak menemui hambatan yang berarti di sepanjang perjalanan”.

“Mari kita sama-sama nenuwun, agar Yang Maha Agung selalu melindungi kita semua”.

“Apakah Ki Gede Matesih benar-benar tidak ingin mengunjungi tempat kami?”.

“Terima kasih Ki Untara, mungkin di lain kesempatan aku akan menyempatkan diri untuk mengunjungi padepokan itu”.

Akhirnya para tamu Ki Purbarumeksa pun mulai menuruni pendapa dan menghampiri kuda masing-masing pada saat menjelang matahari sepenggalah. Tapi tidak semua tamu meninggalkan tempat itu.

Padmini, Setiti, dan Baruni masih tetap tinggal di rumah itu untuk mengawani kakak perempuan angkatnya, yang memang untuk sementara waktu masih akan tinggal di rumah tersebut.

Seluruh keluarga Ki Purbarumeksa itu berdiri berjajar di halaman untuk melepas semua tamunya, tapi di antara mereka ada satu wajah yang tampak agak kecewa.

Arya Nakula yang akan ditinggalkan kakak sepupunya tidak dapat membohongi dirinya sendiri, namun dirinya tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya dapat melepas kepergiannya.

Setelah semua tamu Ki Purbarumeksa itu melewati regol dan menghilang di ujung jalan, mereka segera kembali ke pendapa bersama dengan ketiga adik angkat Nyi Rara Wulan.

“Kenapa wajahmu tampak murung, ngger?”. bertanya Ki Purbarumeksa kepada cucu kesayangannya.

“Tidak Kek, aku tidak apa-apa”.

“Apakah kau menjadi kecewa sebab kau kehilangan kakak sepupumu yang kembali ke padepokan?”.

“Kau tidak perlu kecewa ngger, pada saatnya nanti kau pasti akan diizinkan oleh ayahmu untuk ikut nyantrik di padepokan bersama kakangmu, Bagus Sadewa”. sahut Nyi Rara Wulan yang dapat menduga jalan pikiran anaknya tersebut.

“Pada saatnya nanti itu kapan, Ibu?”. sahut Arya Nakula dengan wajah sedikit murung.

“Nanti jika Ayahmu pulang, Ibu akan membicarakannya”.

Arya Nakula mengangkat wajahnya dan memandang ke arah ibunya setelah mendengar jawaban dari ibunya tersebut dengan penuh tanda tanya.

“Sampai kapan aku harus menunggu, Ibu? bukankah kita belum tahu sampai kapan Ayah akan kembali?”.

“Maka dari itu bersabarlah, ngger”. sahut Nyi Rara Wulan yang berusaha menenangkan anaknya tersebut sembari mengusap-usap kepalanya dan tersenyum.

“Benar apa yang dikatakan Ibumu itu, ngger. Kau harus bersabar, lagipula kau masih terlalu muda untuk belajar kawruh kanuragan. Jadi kau tidak perlu tergesa-gesa seperti dikejar waktu”.

“Aku sudah besar Kek”. sahut Arya Nakula membela diri.

Ki Purbarumeksa pun hanya dapat tersenyum sembari menarik nafas dalam mendengar jawaban dari cucunya yang kemauannya seakan tidak terbendung lagi.

“Ketahuilah ngger, pada saat Ibumu dulu seusiamu dia justru belum mengenal kawruh kanuragan sama sekali. Jadi kau tidak perlu tergesa-gesa”.

“Ibu adalah perempuan, sedangkan aku adalah laki-laki”. sahut Arya Nakula sembari menundukkan wajahnya.

“Kemauanmu yang keras mengingatkanku pada Ibumu. Dia hampir sama sepertimu jika memiliki keinginan, sulit untuk dibendung. Tapi bagaimanapun juga kau harus tetap dapat menahan diri ngger, sebab kau harus menunggu Ayahmu kembali untuk meminta izin”.

Arya Nakula hanya dapat terdiam mendengar petuah dari ibu dan kakeknya tersebut meskipun keinginannya seakan sudah berada di ubun-ubun.

***

Sementara itu Ki Untara dan rombongan yang sepertinya tidak mendapat hambatan yang berarti selama dalam perjalanan yang tidak begitu panjang.

Rombongan itu tiba di padepokan pada saat matahari telah melewati puncaknya beberapa saat, dan kedatangan mereka pun segera mendapat sambutan kegembiraan dari seisi padepokan.

Para cantrik yang bertugas di depan regol padepokan pun segera menyambut orang-orang penting dari Padepokan Orang Bercambuk dengan langkah tergopoh-gopoh.

“Selamat datang kembali Ki Untara, Ki Agahan, Anakmas Bayu Swandana, Anakmas Bagus Sadewa, kakang Putut Darpa, dan kakang Putut Darpita”. sambut salah satu cantrik dengan wajah penuh kegembiraan.

“Bagaimana dengan padepokan selama aku pergi?”. bertanya Ki Untara kepada salah satu cantrik yang datang menyambut, sembari menuruni kudanya lalu menyerahkan tali kekangnya.

“Atas kemurahan Yang Maha Welas Asih, tidak ada masalah yang berarti selama kepergian Ki Untara dan rombongan meninggalkan padepokan ini”. sahut cantrik tersebut.

“Syukurlah”.

“Apakah ada tamu yang datang kemari untuk mencari salah satu dari kami, selama kepergian kami?”.

“Ada Ki Agahan”.

“Siapa?”. bertanya Ki Agahan dengan kening berkerut.

“Maaf Ki Agahan aku kurang mengetahuinya, silahkan Ki Agahan bertanya langsung kepada kakang Putut Witarsa, sebab dia lah yang lebih tahu”.

“Baiklah, nanti aku akan bertanya kepadanya”. sahut Ki Agahan yang kemudian meninggalkan mereka dan menuju pendapa setelah menyerahkan tali kekang kudanya kepada salah satu cantrik.

Mereka yang baru saja datang segera menuju ke pendapa setelah membasuh wajah, tangan, dan kaki mereka yang sedikit berdebu dan berkeringat.

“Kita semua wajib mengucapkan syukur, karena akhirnya kita telah kembali lagi ke tempat ini tanpa kekurangan suatu apapun”.

“Benar Ki Untara, kita semua wajib mengucapkan Syukur kepada Yang Maha Welas Asih yang selalu melindungi kita semua, dimanapun kita berada”. sahut Ki Agahahan setelah mereka yang baru saja datang duduk di pendapa, kecuali kedua putut yang menyertai perjalanan mereka kemarin. Sebab keduanya langsung pergi ke belakang.

Tidak lama kemudian dua orang cantrik datang sembari membawa sebuah nampan yang berisi minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Apakah kalian ada yang melihat adi Witarsa?”.

“Beberapa saat yang lalu, aku lihat kakang Putut Witarsa pergi ke sawah untuk melihat pekerjaan para cantrik, Jika Ki Agahan memerlukannya sekarang akan aku panggilkan”. sahut salah satu cantrik tersebut.

“Sepertinya tidak perlu, sebab aku tidak tergesa-gesa. Biarlah aku tunggu saja hingga dia kembali”.

“Apakah aku perlu menyiapkan makan siang sekarang?”. salah satu cantrik bertanya lagi.

“Tidak perlu, perut kami masih kenyang. Biarlah nanti sekalian makan malam saja”. sahut Ki Untara yang sengaja mendahului.

Ki Agahan yang sebenarnya ingin memberikan kesempatan untuk makan kepada dua anak muda tersebut menjadi mengurungkan niatnya karena mendengar ucapan ayah Bagaskara.

“Baiklah Ki Untara, apakah masih ada yang lain?”.

“Tolong kalian siapkan dua bilik bagi Anakmas Bayu Swandana dan Anakmas Bagus Sadewa”.

“Maaf Ki Agahan, apakah bilik bagi adi Bagus Sadewa masih sama dengan bilik yang kemarin atau perlu diganti dengan bilik yang baru?”.

“Bilik yang kemarin saja, tapi tolong kalian bersihkan. Sedangkan kau siapkan bilik baru bagi Anakmas Bayu Swandana”.

“Baik Ki Agahan, akan segera kami siapkan”.

“Terima kasih, sepertinya itu saja”.

“Baiklah Ki Agahan, jika tidak ada yang diperlukan lagi kami akan kembali ke belakang”.

“Silahkan”.

Setelah kedua cantrik itu berlalu.

“Aku rasa untuk hari ini kalian berdua beristirahatlah dengan sebaik-baiknya, sebab mulai besok kalian sudah ngangsu kawruh sebagai cantrik Padepokan Orang Bercambuk, bukankah demikian Ki Agahan?”. berkata Ki Untara kepada kedua anak muda di hadapannya tersebut.

“Ah… tidak begitu juga Ki Untara, Anakmas berdua tidak perlu tergesa-gesa. Kalian dapat memulainya kapan saja untuk ngangsu kawruh disini, dan itu tidak harus besok”.

“Kapanpun akan dimulai aku selalu siap, Paman”. sahut Bayu Swandana mantap.

Ki Untara hanya dapat menarik nafas dalam mendengar jawaban anak muda tersebut.

“Tapi yang perlu kalian ingat adalah, bahwa jika kalian sudah memulai ngangsu kawruh disini maka tidak akan ada penilaian dan perlakuan khusus terhadap kalian. Dan kalian akan dianggap sama seperti cantrik yang lain”.

“Aku mengerti, Paman Untara”.

“Jadi kalian pun berkewajiban mematuhi segala paugeran yang berlaku selama kalian nyantrik di tempat ini tanpa kecuali”.

“Baik Paman”.

Tanpa sadar Bayu Swandana melirik ke arah anak Nyi Sekar Mirah yang duduk di sebelahnya, dalam hatinya timbul pertanyaan akan sikap Bagus Sadewa yang sedari tadi lebih banyak diam dan menundukkan kepalanya tanpa menanggapi apapun atas apa yang sedang mereka bicarakan bersama.

“Sombong sekali sikapnya, apa karena mentang-mentang ayahnya adalah murid tertua dari Swargi Kyai Gringsing sehingga dia merasa tidak perlu menanggapi dengan cara apapun yang sedang dibicarakan?”. membatin Bayu Swandana.

“Setiap orang yang masuk ke tempat ini dengan niat untuk ngangsu kawruh maka akan menjadi bagian dari keluarga besar Padepokan Orang bercambuk, tapi dengan demikian orang tersebut memiliki hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh semua orang tanpa kecuali. Dan tidak ada penilaian dan perlakuan khusus meskipun dia adalah anak dari Kanjeng Sinuhun sekalipun”.

Sepertinya Ki Untara benar-benar ingin mempertegas paugeran yang berlaku di padepokan tersebut. Meskipun dirinya bukanlah salah satu murid utama dari Swargi Kyai Gringsing, namun pada perkembangannya dia telah dianggap sebagai salah satu sesepuh Padepokan Orang Bercambuk oleh seisi padepokan.

Karena selain hubungan baiknya dengan Swargi Kyai Gringsing selama masih hidup, dan adik kandungnya adalah murid utama tertua, serta ditambah lagi sebagian tanah yang didirikan menjadi sebuah padepokan itu pun merupakan tanah warisan dari keluarga Ki Untara.

Jadi untuk berbaur dengan seisi Padepokan Orang Bercambuk bukanlah sesuatu yang asing bagi Ki Untara, meskipun semasa hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk mengabdikan diri sebagai seorang prajurit, bahkan sejak Kanjeng Sultan Hadi Wijaya masih bertahta di Pajang.

Dengan kehadiran Ki Untara di padepokan, justru memberikan warna baru. Selain karena kemampuan dan pengalamannya yang sangat luas secara pribadi, ketegasannya dalam bersikap membuat padepokan tersebut menjadi lebih berwibawa, baik bagi para cantrik yang ngangsu kawruh maupun dari  orang luar.

Ki Untara sebenarnya tidak bermaksud untuk merebut peran pemimpin padepokan untuk menyampaikan petuahnya, tapi sebagai orang tua yang memiliki panggrahita yang sangat tajam, sedikit banyak dia mampu membaca jalan pikiran Ki Agahan.

Sehingga dalam keadaan tertentu dia menempatkan diri sebagai pengganti pemimpin tertinggi padepokan, tapi tanpa harus menyinggung perasaan Ki Agahan itu sendiri.

Kebetulan Ki Agahan memang bukanlah orang yang memiliki harga diri terlalu tinggi dan mudah tersinggung, sehingga apa yang dilakukan oleh ayah Bagaskara itu justru sangat disyukurinya.

Memang benar Ki Agahan yang sekarang mendapat kepercayaan untuk memimpin padepokan, tapi sepertinya dia kurang berani bersikap tegas. Terutama kepada para cantrik yang berasal dari anak murid-murid utama Swargi Kyai Gringsing.

Semua itu bukan tanpa alasan, meskipun sekarang dia adalah orang yang dituakan oleh seisi padepokan, namun mungkin karena dia berasal dari hanya sekedar cantrik biasa sehingga membuat ada rasa keseganan jika harus bersikap tegas kepada anak-anak tersebut.

Tapi dengan kehadiran Ki Untara, sangat membantu sekali dalam memberikan petuah kepada anak-anak yang baginya adalah anak-anak khusus. Terutama yang berhubungan dengan wewaler padepokan yang tidak boleh dilanggar.

“Aku bukan anak kecil lagi, Paman Untara. Dan akupun mengerti bahwa setiap tempat memiliki paugerannya sendiri, meskipun pada dasarnya paugeran itu kebanyakan memiliki persamaan tapi pasti ada perbedaannya dalam hal-hal tertentu”.

“Syukurlah jika kau mengerti, Bayu Swandana”.

Sekali lagi Bayu Swandana merasa ada yang kurang mapan dalam hatinya sehubungan dengan sikap Bagus Sadewa yang masih berdiam diri.

“Mungkin karena umurnya yang masih tergolong anak-anak, sehingga membuat penalarannya belum mampu berpikir lebih jauh dalam menanggapi keadaan ketika berbicara dengan orang-orang tua seperti ini”. membatin Bayu Swandana.

Tapi apa yang sempat terlintas di hatinya tersebut hanya dapat disimpannya sendiri, sebab apa yang dirasakannya itu memang tidak seharusnya disampaikan kepada orang lain.

“Sembari berbincang, mari kita nikmati minuman dan ubi jalar ini mumpung masih hangat”. berkata Ki Agahan yang berusaha mencairkan suasana yang sempat hening.

Sejenak kemudian mereka menikmati wedang sereh dan memakan ubi jalar yang memang terlihat masih mengepul asapnya di dalam bakul kecil.

***

Sementara itu di tempat lain, pada saat matahari tidak lama lagi akan tenggelam di sebelah barat. Seluruh pasukan Mataram sedang menikmati jatah nasi ransum untuk yang terakhir kalinya.

Makan malam yang biasanya mereka lakukan setelah matahari tenggelam, sekarang harus mereka lakukan lebih awal dari biasanya, sebab setelah hari benar-benar menjadi gelap mereka harus sudah mulai bergerak.

Tapi pasukan Mataram tetap berusaha menyamarkan atau bahkan disembunyikan jika memang itu memungkinkan, semua itu dilakukan untuk menghindari segala pengamatan dari para prajurit lawan yang tersebar. Apalagi setelah Mataram mendengar laporan, bahwa Surabaya tidak dapat menerima begitu saja atas kekalahan Wirasaba dari Mataram beberapa waktu yang lalu.

Surabaya pun sedang mempersiapkan diri untuk mengumpulkan kekuatan segelar sepapan guna menyerang balik kepada Mataram dalam waktu sesegera mungkin.

Keadaan tersebut semakin diperkuat dengan semakin banyaknya telik sandi yang menyamar dan berkeliaran di sekitar Kademangan Majasanga tempat pasukan Mataram berkemah sementara.

Para prajurit sandi dari Surabaya ternyata adalah para prajurit yang sangat terlatih dalam segala keadaan dan penyamaran, sehingga tidak mudah dapat dikenali oleh siapapun, terutama bagi orang kebanyakan.

Akan tetapi sebagai sesama prajurit sandi, para prajurit Mataram dapat menduganya meskipun tidak mudah. Sebab beberapa kali mereka pun salah menilai.

Sementara para prajurit Mataram telah menyelesaikan makannya sebelum gelap, dan setelah itu mereka kembali memeriksa segala peralatan yang mereka butuhkan dan yang harus mereka bawa.

Dalam hal ini tetap saja prajurit yang bertugas di dapur lah yang paling sibuk dalam segala persiapan, sebab lebih banyak barang-barang yang harus dibawa. Meskipun kali ini apa yang harus mereka bawa sudah jauh berkurang jika dibandingkan dengan pada saat mereka berangkat.

Alat-alat untuk memasak dan bahan makanan yang tersisa mereka angkut dengan menggunakan beberapa pedati untuk meringankan beban mereka di sepanjang perjalanan. Tapi ada juga sebagian lagi yang tidak terlalu berat harus mereka pikul dengan potongan bambu.

Sebab beberapa pedati yang ada, digunakan pula untuk mengangkut para prajurit yang masih terluka parah, selain itu mereka masih membuat tandu dadakan untuk mengangkut prajurit yang terluka parah tapi oleh Tabib yang merawatnya tidak boleh tubuhnya sering terguncang di sepanjang perjalanan.

Beruntunglah bahwa prajurit Mataram yang terluka parah dan harus ditandu dengan menggunakan bambu tidaklah terlalu banyak, karena kemarin sempat ada waktu untuk merawatnya dan banyak diantaranya telah berangsur-angsur membaik.

Sementara Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sedang memanggil para senopati dari setiap kesatuan untuk memberikan pesan bagi seluruh pasukan.

“Ketahuilah kalian semua, aku memberikan perintah ini bukan tanpa alasan. Semuanya sudah aku bicarakan dengan segala akibatnya”. ucap Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma.

“Sekarang ini kita sedang dihadapkan pada keadaan yang serba sulit, dan kita tidak dapat bicara tentang untung rugi. Dan aku disini berbicara tidak hanya atas nama pribadi, tapi aku mewakili atas nama seluruh kawula Mataram”.

Semua yang hadir hanya dapat terdiam dan menundukkan kepala tanpa berani menanggapi, sebelum pepunden mereka memberikan kesempatan untuk berbicara.

“Pada intinya, aku tidak mau kalian semua menjadi bebanten jika pasukan Surabaya benar-benar menyerang kemari. Karena berdasarkan laporan dari para prajurit penghubung, sekarang Surabaya sedang mengumpulkan pasukan segelar sepapan. Dan dengan keadaan pasukan kita sekarang, tentu sama saja artinya kita membunuh diri jika kita berani menghadapi mereka”.

“Oleh sebab itu, aku putuskan untuk menarik diri dari tempat ini. Lalu di kemudian hari baru kita pikirkan lagi apa yang harus kita lakukan untuk menaklukkan bang wetan ini”.

“Dan menurut perhitungan kami, dengan Surabaya mengumpulkan pasukan segelar sepapan maka akan ada kemungkinan pula bahwa Pasukan Surabaya itu akan mengejar kita, jika mereka tidak dapat menemukan kita semua disini. Jadi aku minta kepada kalian semua untuk bergerak lebih cepat”.

“Aku harap kalian semua dapat mengerti, apakah kalian ada pertanyaan atau tanggapan?”.

Dengan memperbaiki letak duduknya lebih dulu, lalu menghaturkan sembah. Ki Tumenggung Suratani menyampaikan pertanyaan kepada pepundennya.

“Ampun Kanjeng, bagaimanakah dengan para tawanan? apakah akan kita tinggalkan disini begitu saja? kita bawa ke Mataram? atau bagaimana? mohon petunjuknya Kanjeng”.

“Dengan sangat terpaksa kita akan membawa para tawanan dari Wirasaba ke Mataram, Ki Tumenggung Suratani”.

“Ampun Kanjeng, bukankah dengan kita membawa para tawanan akan ada kemungkinan memperlambat gerakan kita dalam menarik diri? selain pada pasukan kita sendiri yang harus membawa para prajurit yang terluka?”.

“Aku mengerti maksudmu, Ki Tumenggung Suratani. Tapi kita harus mampu bergerak lebih cepat meskipun kita harus membawa para tawanan dan para prajurit kita sendiri yang terluka”.

“Sekali lagi mohon ampun, Kanjeng”. berkata Ki Tumenggung Suratani sembari menghaturkan sembah. “Hamba hanya berbicara kemungkinan yang paling buruk, tapi semoga saja tidak pernah terjadi. Jika Pasukan Surabaya mampu mengejar kita, bukankah ada kemungkinan pula bahwa para tawanan akan menimbulkan masalah baru bagi kita sendiri? terutama bagi tawanan yang memiliki kemampuan tinggi”.

“Aku mengerti maksudmu, Ki Tumenggung Suratani. Dan aku ucapkan terima kasih atas apa yang telah kau sampaikan itu. Tapi aku pun sudah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya, dan aku membawa mereka itu bukan tanpa alasan. Jadi aku tetap ingin membawa mereka”. sahut Kanjeng Sinuhun yang sepertinya kukuh dengan pendiriannya.

“Sendika dawuh Kanjeng”.

“Apakah masih ada yang lain yang ingin kalian sampaikan?”.

Sejenak suasana di tempat itu menjadi hening karena tidak ada yang membuka suara, setelah beberapa saat barulah Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma kembali bicara.

“Baiklah… jika tidak ada lagi yang ingin kalian sampaikan, pertemuan kali ini aku cukupkan sekian dan silahkan kalian kembali ke kesatuan masing-masing karena sebentar lagi, tepatnya setelah di luar benar-benar gelap kita akan segera berangkat”.

Kemudian mereka semua pun segera membubarkan diri dan kembali ke kesatuan masing-masing guna melanjutkan titah dari Kanjeng Sinuhun Mataram.

Ketika para Senopati Mataram itu kembali pada saat matahari hampir tenggelam, para prajurit pun semuanya telah bersiap dan hanya tinggal menunggu titah saja untuk bergerak kapan pun.

Sementara Ki Rangga Sabungsari yang kembali, mendapati pasukannya telah bersiap pula, baik prajurit yang sehat maupun prajurit yang terluka, termasuk Umbara.

“Apakah tubuhmu sudah lebih baik, ngger?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari setelah berdiri di hadapan anak Ki Untara tersebut.

“Sudah Paman, tubuhku sudah semakin baik. Dan baru saja aku minum obat peningkat daya tahan tubuh dari Tabib yang selama ini telah merawatku”.

“Syukurlah jika demikian”.

“Sebaiknya aku berjalan kaki saja, Paman”.

“Sudah disiapkan kuda untukmu, sebab tubuhmu masih terlalu lemah untuk berjalan kaki. Apalagi jarak yang kita tempuh adalah jarak yang sangat jauh sekali”.

“Tapi aku merasa kurang mapan jika aku harus berkuda, sementara yang lain pada berjalan kaki”.

“Mereka semua mengerti kenapa kau harus berkuda di sepanjang perjalanan kali ini, jadi buanglah jauh-jauh perasaan kurang mapanmu itu. Kecuali jika kau berkuda dalam keadaan baik-baik saja, barulah pantas kau merasa kurang mapan”.

“Baiklah kalau begitu, terima kasih atas perhatian Paman Sabungsari kepadaku”.

“Kau tidak perlu berterima kasih kepadaku, sebab aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang senopati terhadap anak buahnya yang sedang terluka, selain kita memang sudah memiliki hubungan yang sangat dekat sejak lama”.

Kemudian Ki Rangga Sabungsari meninggalkan Umbara bersama kawan-kawannya, guna melihat kembali segala persiapan sembari menunggu hari benar-benar menjadi gelap.

Tanpa sadar timbul rasa kebanggan dalam hati Ki Rangga Sabungsari ketika melihat kesiap-siagaan pasukannya dalam melaksanakan titah Kanjeng Sinuhun Mataram.

Meskipun mereka bukanlah para prajurit yang berasal dari pasukan khusus, namun tetap saja mereka adalah sekumpulan prajurit yang sangat terlatih dan mumpuni.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya tiba pula waktu dimana hari menjadi benar-benar gelap. Dan pasukan Mataram hanya tinggal menunggu perintah kapanpun untuk bergerak.

Sementara Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma berdiri di barisan paling depan bersama ketiga Pangeran Mataram selaku senopati pengapit dan penasehatnya, dan pasukan kecil Pasukan Khusus Pengawal Raja.

Kanjeng Sinuhun memang sengaja memberikan perintah untuk tidak membunyikan isyarat apapun ketika mereka mulai bergerak. Bahkan mereka tidak menyalakan obor sama sekali sebagai penerangan dalam perjalanan dengan maksud untuk mengurangi pengamatan para prajurit sandi lawan.

Selain itu mereka menyembunyikan pula segala pertanda keprajuritan yang mereka bawa pada saat berangkat. Seperti rontek, umbul-umbul, kelebet, dan tunggul-tunggul yang beraneka bentuk dan ukurannya.

Beruntunglah pasukan Mataram memiliki prajurit penunjuk jalan yang sangat terlatih dan telah menguasai medan dengan cepat meski mereka belum lama menginjakkan kaki di Wirasaba.

Sehingga pasukan Mataram tidak akan menemui kesulitan yang berarti meskipun harus berjalan di bawah pekatnya malam tanpa penerangan sama sekali.

Setelah Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma memberikan titah melalui para prajurit penghubung, maka pasukan segelar sepapan itu mulai bergerak dengan para pepunden Mataram itu berada di barisan paling depan bersama rombongan kecilnya, yaitu Pasukan Khusus Pengawal Raja.

Di baris kedua terdapat separuh Pasukan Khusus Berkuda, lalu di belakangnya terdapat pasukan yang berkedudukan di  Jati Anom dibawah pimpinan Ki Rangga Sabungsari sebagai senopati sementara menggantikan kedudukan Ki Tumenggung Prayabuana yang telah gugur.

Selanjutnya terdapat para tawanan dari para prajurit Wirasaba yang tersisa dengan kedua tangan terikat dibelakang dengan tali ijuk sabut kelapa yang sangat kuat, sehingga tidak mudah untuk dapat dilepas begitu saja.

Lalu di barisan belakangnya terdapat pasukan khusus yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh dibawah senopati Ki Tumenggung Suratani yang keadaannya sudah semakin membaik setelah terluka parah.

Dan di barisan paling belakang ditempatkan pula separuh pasukan berkuda, sembari bertugas mengawasi keadaan dan dapat dengan segera bergerak jika ada sesuatu terjadi dengan tiba-tiba.

Pasukan Mataram itu pun mulai bergerak seperti ular raksasa yang memanjang sedang berkeliaran untuk mencari mangsanya di bawah gelapnya cahaya malam.

Ternyata cara ini pun tidak dapat benar-benar menyembunyikan pergerakan mereka dari para telik sandi yang berkeliaran di sekitar tempat tersebut.

Sebab memang sangat sulit untuk benar-benar menyembunyikan pergerakan pasukan segelar sepapan yang begitu besar, meskipun mereka sudah bersembunyi di balik gelapnya malam sekalipun.

Semua itu sudah diperhitungkan dengan matang oleh para pepunden Mataram, cepat atau lambat para telik sandi tentu akan melihat apa yang mereka lakukan. Tapi paling tidak, akan sedikit memperlambat pengamatan telik sandi dari pihak lawan atau siapa pun yang berkepentingan.

***

Sementara itu… 

“Apakah aku tidak salah lihat?”. bertanya seseorang yang sedang bersembunyi di balik bukit kecil.

“Memangnya apa yang sedang kau lihat, kakang?”. sahut seorang kawannya yang masih merebahkan tubuhnya sembari memejamkan matanya di atas rerumputan dengan penasaran.

“Ternyata kau memang adalah seorang pemalas. Bangkitlah dan lihatlah apa yang telah terjadi”. sahut orang pertama dengan wajah agak bersungut melihat kelakuan kawannya.

Dengan perasaan malas orang itu mulai membuka matanya dan berusaha bangkit dari pembaringannya agar dapat melihat apa yang dimaksud oleh kawannya tersebut.

“He…”.

Orang yang baru saja bangkit itu benar-benar terkejut dan seakan tidak percaya jika dia tidak melihatnya dengan mata kepalanya sendiri apa yang terjadi.

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, kakang?”.

“Kau jangan terlalu dungu, kita harus segera melaporkan apa yang telah terjadi di tempat ini”.

“Apakah kita tidak terlambat jika kita laporkan ini sekarang?”.

“Tapi itu lebih baik, daripada kita tidak melaporkannya sama sekali kepada Kyai. Dan jika itu terjadi, maka kepala kita lah yang menjadi taruhannya”.

“Jika demikian marilah, kakang. Agar kita tidak menjadi semakin terlambat karena kebodohan kita”.

“Marilah”.

“Untunglah kita membawa kuda, sehingga dalam keadaan yang gawat seperti ini kita dapat bergerak lebih cepat”.

Lalu kedua orang itupun segera melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat itu dengan langkah tergesa-gesa, bahkan sesekali mereka setengah berlari di antara pohon-pohon gerumbul dan semak-semak.

Dalam pikiran mereka berdua hanyalah bagaimana caranya dapat sesegera mungkin tiba di tempat yang mereka tuju guna melaporkan hasil pengamatan setelah beberapa lamanya.

Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hati mereka timbul rasa ketakutan pada saat nanti telah tiba di tempat tujuan. Sebab mereka lengah, sehingga membuat mereka berdua terlambat melaporkan apa yang telah terjadi.

Namun pada akhirnya mereka hanya dapat pasrah dengan apa yang bakal mereka terima kemudian atas mereka sendiri, karena yang paling penting adalah mereka sudah berusaha yang terbaik.

***

Sementara itu Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya sedang menghadap Ki Patih Singaranu di Kepatihan Mataram sembari menikmati makan malam.

“Setelah mendengar laporanmu, aku jadi sempat berpikir jika Surabaya benar-benar mengejar Pasukan Mataram yang sedang menarik diri dari Wirasaba. Dengan keadaan pasukan yang ada sekarang, tentu itu akan menjadi sebuah bencana bagi mereka. Sebab jika Surabaya telah menyiapkan pasukan segelar sepapan, tentu mereka tidak akan bertindak setengah-setengah”.

“Benar Ki Patih, selain itu yang harus kita ingat adalah bahwa Surabaya tempatnya orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dan ngedap-edapi, terutama dari Padepokan Jalatunda”.

“Kau benar Ki Agung Sedayu, maka dari itu aku sependapat dengan Kanjeng Sinuhun yang menarik pasukannya dari Wirasaba sebelum benar-benar terjadi benturan dengan Surabaya”.

“Tapi menurut perhitunganku, meskipun Pasukan Mataram telah berusaha menarik diri, namun sepertinya tidak akan mampu bergerak dengan cepat. Sebab dalam pasukan itu harus membawa para prajurit yang terluka dan para tawanan dari Wirasaba”.

“Apakah Kanjeng Sinuhun membawa para tawanan?”.

“Demikianlah Ki Patih”.

“Aku tidak mengerti dengan sikap Kanjeng Sinuhun kali ini, bukankah itu akan menjadi beban bagi kita sendiri? selain itu jika Pasukan Surabaya berhasil menyusul pasukan kita, bukankah itu justru akan menimbulkan masalah baru bagi kita sendiri?”.

“Aku pun tidak mengerti, Ki Patih. Mungkin Kanjeng Sinuhun memiliki alasannya sendiri dengan keputusannya kali ini, sehingga dalam keadaan seperti ini Kanjeng Sinuhun tetap berkeras hati untuk membawa para tawanan”.

“Jika menurut perhitungan, Pasukan Surabaya akan mampu mengejar Pasukan Mataram, berarti sama artinya pasukan itu sedang ditunggu bahaya”.

“Demikianlah Ki Patih”.

“Apakah Kanjeng Sinuhun tidak memberikan perintah apapun sehubungan dengan kedatangan Pasukan Surabaya?”.

“Belum Ki Patih”.

“Aneh… kenapa Kanjeng Sinuhun tidak memerintahkan pasukan cadangan yang ada untuk menyusul? meskipun pasukan cadangan yang tersisa tidak terlalu banyak, tapi aku rasa itu sangat membantu daripada tidak sama sekali”.

“Aku juga tidak tahu, Ki Patih”.

“Tapi jika dilihat dari segala laporan yang sampai kepadaku, sepertinya Pasukan Mataram yang sedang menarik diri itu akan membutuhkan bantuan pasukan cadangan, jadi sebaiknya aku akan memberikan perintah kepada pasukan cadangan yang berada disini untuk bersiap, sehingga jika ada perintah dari Kanjeng Sinuhun kapanpun maka pasukan disini hanya tinggal berangkat”.

“Aku rasa itu adalah gagasan yang sangat baik, Ki Patih. Karena kemungkinan besar memang pasukan Kanjeng Sinuhun itu akan memerlukan bantuan. Dan jika Pasukan Surabaya mengurungkan pengejarannya pun tidak menjadi soal, daripada nanti pasukan itu terlanjur mengalami nasib buruk tanpa kita berbuat sesuatu”.

“Kau benar Ki Agung Sedayu, alangkah lebih baik kita sedikit berkorban daripada kita harus kehilangan semuanya”.

Sembari berbincang, tidak lupa mereka masih menyuapi mulut mereka masing-masing, sementara Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah yang merasa tidak diajak bicara menyibukkan diri dengan makanan yang berada di hadapan mereka, sehingga selesai lebih dulu.

“Setelah aku pikir-pikir lagi, sebaiknya Kanjeng Sinuhun harus mengambil sikap sejak sekarang untuk berjaga-jaga jika Surabaya benar-benar mengejar. Sebab jika sekali mereka bertindak demikian, tentu mereka berpikir harus sampai mendapatkan buruannya, bahkan mungkin hingga kemari”.

“Itu sangat mungkin sekali, Ki Patih”.

“Mataram harus memikirkan sebuah cara agar dapat mengatasi Pasukan Surabaya yang sangat kuat”.

“Aku sependapat, Ki Patih. Aku rasa memang demikian seharusnya, sebab Mataram pun tidak dapat terus melarikan diri dari Surabaya tanpa berbuat sesuatu”.

“Lalu cara apa yang menurutmu paling baik?”.

Ki Agung Sedayu terdiam sejenak mendapat pertanyaan tersebut. Kepalanya segera berpikir untuk mencari sebuah cara yang paling baik bagi Mataram.

Setelah beberapa saat berpikir, ayah Bagus Sadewa itu menyampaikan gagasannya kepada Ki Patih Singaranu, Dan pepunden Mataram itu pun mendengarkan gagasan tersebut dengan sungguh sungguh.

Sesekali keningnya tampak berkerut ketika mendengarkan penjelasan dari gagasan itu, namun pada saat yang lain dia sempat mengangguk-anggukkan kepalanya sembari menyangga dagunya yang sebenarnya tidak terasa berat.

“Aku sependapat dengan gagasanmu itu, tapi aku rasa itu adalah sebuah cara yang sangat berbahaya, Ki Agung Sedayu. Apakah kau tidak memiliki gagasan lain yang tidak terlalu berbahaya?”.

“Ada Ki Patih, tapi aku rasa bukan cara yang paling baik untuk dapat meredam Pasukan Surabaya. Sebab kita tentu akan kehilangan banyak prajurit pula pada saat terjadi benturan dari kedua belah pihak”.

“Ya.. ya.. aku mengerti, tapi…”.

“Sebenarnya hati kecilku pun menentang cara itu, Ki Patih. Tapi demi kepentingan yang lebih besar aku tidak dapat melihat cara lain lagi yang paling baik”.

Ki Patih Singaranu masih saja terdiam untuk mempertimbangkan gagasan tersebut dari segala sisi, antara hati nurani atau sebuah pengorbanan sebuah gegayuhan.

“Jika dasar alasan kita berbuat demikian adalah hati nurani, maka aku sendiri pun menentang cara ini Ki Patih, tapi yang perlu kita pikirkan adalah jika kita tidak berbuat demikian, maka kita sendirilah yang menjadi korbannya”.

“Aku mengerti Ki Agung Sedayu, ada kalanya kita memang dapat saja terjebak dalam sebuah keadaan yang serba salah. Antara makan atau dimakan oleh lawan kita”.

“Demikianlah Ki Patih”.

“Aku sangat hargai gagasanmu itu, Ki Agung Sedayu. Karena ternyata penalaranmu sangat cemerlang meskipun selama ini kau lebih dikenal sebagai seorang yang peragu”.

“Aku hanya sekedar menyampaikan gagasan sejauh apa yang aku mampu, tidak lebih dan tidak kurang, Ki Patih”.

“Tapi gagasan itu menurutku adalah sebuah gagasan yang sangat cemerlang, karena selain kita harus berbuat dengan sebaik-baiknya pada saat melaksanakannya, orang-orang yang terlibat didalamnya pun harus memiliki bekal kawruh kejiwaan yang sangat kuat”.

“Ki Patih benar, karena gagasan itu mengharuskan kita untuk sementara waktu mengesampingkan hati nurani”.

“Begitulah kira-kira”.

Ki Patih Singaranu yang terlalu terpusat pembicaraannya dengan Ki Agung Sedayu kemudian sempat melihat sekilas ke arah lain.

“Kalian jangan sungkan-sungkan makan bersamaku, Nyi. Tambahkan saja isi piring kalian lagi agar kita selesai berbarengan”.

“Terima kasih Ki Patih, tapi perutku sudah terasa penuh”. sahut Nyi Sekar Mirah yang memang sudah merasa kenyang dan tidak ingin nambah lagi makannya.

“Nyi Pandan Wangi”.

Ibu Bayu Swandana itu pun agak tergagap ketika Ki Patih Singaranu memanggil namanya, sebab dirinya memang sedang makan sembari melamun.

“Ya… Ki Patih”.

“Sekali lagi aku turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas gugurnya Ki Prastawa, Nyi Pandan Wangi. Tapi aku harap kau tidak berlarut-larut dalam kesedihan”.

“Terima kasih Ki Patih, tapi kini secara perlahan aku sudah mulai dapat keluar dari kesedihanku itu setelah mendapat banyak petuah dari kakang Agung Sedayu”.

“Syukurlah jika demikian, Aku hanya tidak ingin kau terlarut dalam kesedihan terlalu lama sehingga kau lupa dengan keadaan yang harus kau hadapi sekarang”.

“Terima kasih atas peringatan Ki Patih Singaranu”.

“Ki Agung Sedayu, untuk gagasanmu itu, aku percayakan kepadamu sekalian, termasuk siapa saja orang-orang yang harus terlibat didalamnya”.

“Baik Ki Patih, semoga aku dapat melaksanakan gagasan itu dengan sebaik-baiknya”.

“Kau menghadaplah kepada Kanjeng Sinuhun, dan sampaikanlah hasil pembicaraan kita disini. Lalu aku tunggu laporanmu selanjutnya untuk mengambil sikap dari perkembangan yang ada dan titah dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Baik Ki Patih, tapi jika aku diperbolehkan aku memiliki sebuah permintaan”.

“Permintaan? apa itu?”.

“Aku punya permintaan bahwa nanti pada saat aku menyampaikan gagasan itu kepada Kanjeng Sinuhun, aku ingin menyampaikan bahwa gagasan itu berasal dari Ki Patih Singaranu, dan bukan gagasanku”.

“Kenapa harus demikian?”.

“Sebab menurut perhitunganku, gagasan tersebut akan lebih mendapat perhatian  jika itu atas nama Ki Patih Singaranu, daripada atas namaku”.

“Ternyata penyakit lamamu kambuh lagi, Ki Agung Sedayu”. sahut Ki Patih Singaranu lalu tertawa.

Ki Agung Sedayu hanya dapat terdiam mendengar jawaban tersebut sembari wajahnya sedikit bersemu merah sesaat”.

“Baiklah jika itu kemauanmu”.

“Terima kasih Ki Patih”.

“Lalu bagaimana dengan tugasmu sendiri? apakah kau sudah mendapat keterangan tentang orang yang bakal kau bayangi? atau mungkin sedikit keterangan tentang apapun yang berhubungan dengan orang tersebut?”.

“Maaf Ki Patih, aku belum mendapat keterangan apapun serta gambaran harus mulai mencari keterangan dari mana untuk mendapatkan keterangan tentang orang itu, sebab aku sendiri belum tahu siapakah orang tersebut. Sebab sejauh ini yang kita ketahui hanyalah dugaan-dugaan dan bukan sebuah kepastian”.

“Ya.. aku mengerti akan kesulitanmu itu, Ki Agung Sedayu. Jangankan untuk mencari keterangan tentang orang itu, namanya saja kita belum tahu sama sekali”.

“Demikianlah Ki Patih”.

“Tapi menurut dugaanku, cepat atau lambat orang tersebut akan muncul ke permukaan untuk melampiaskan dendamnya kepada salah satu pepunden Mataram. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Pasukan Mataram yang berada di Wirasaba telah menarik diri pada malam ini”.

“Kemungkinan itu sangat mungkin dapat terjadi, Ki Patih. Sebab jika mengingat ucapannya pada saat terakhir sebelum dia pergi, secara tersirat kata-katanya itu ditujukan kepada salah satu pepunden Mataram”.

“Tapi apakah mungkin…?”. sahut Ki Patih Singaranu dengan penuh keraguan, sehingga tidak melanjutkan ucapannya.

“Maksud Ki Patih?”.

“Jika dia hanya seorang diri, apakah mungkin dia akan berani mencegat pasukan segelar sepapan Mataram?”.

“Aku rasa dia akan berpikir berulang kali untuk melakukannya jika hanya seorang diri atau hanya dengan membawa kawan beberapa orang saja. Meskipun kemungkinan itu tetap ada, namun sangat kecil sekali”.

“Ya.. ya.. aku sependapat. Tapi tidak salahnya pula jika kita memperhitungkan segala kemungkinan agar kita tidak tergagap jika mendapati sebuah kenyataan yang justru dari kemungkinan paling kecil sekalipun”.

“Aku mengerti, dan aku pun sependapat dengan Ki Patih Singaranu. Sebab ada kalanya dalam kenyataan hidup ini tidak pernah kita duga sebelumnya”.

Sejenak kemudian suasana menjadi hening karena mereka menjadi sibuk menyuapi mulut masing-masing dengan makanan di piring yang tidak banyak lagi, sementara Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah sudah selesai lebih dulu.

Setelah mereka menyelesaikan makannya, maka mereka segera pindah ke serambi kiri untuk melanjutkan pembicaraan meskipun tidak banyak lagi yang perlu mereka bicarakan sembari menikmati minuman hangat yang disuguhkan oleh Pelayan Kepatihan.

“Sepertinya tugas berat memang sudah menunggumu, Ki Agung Sedayu. Dan semoga saja Yang Maha Welas Asih selalu melindungi kita semua atas setiap langkah yang kita ambil”.

“Kita sama-sama nenuwun, Ki Patih”.

“Jangan lupa aku tunggu laporanmu atas perkembangan keadaan Ki Lurah Glagah Putih”.

“Baik Ki Patih, dalam setiap perkembangan Glagah Putih nanti akan aku laporkan dengan segera. Semoga saja sekarang dia sudah semakin membaik keadaannya”.

“Lalu apa langkahmu selanjutnya?”.

“Untuk sementara aku akan memantau Pasukan Mataram yang sedang menarik diri dari Wirasaba, selain itu juga aku akan berusaha mencari keterangan tentang orang yang mendendam kepada Mataram”.

“Aku percaya bahwa kau akan dapat mengemban tugas ini dengan sebaik-baiknya, apalagi jika nanti kau benar-benar bertemu dengan orang itu aku yakin kau dapat mencari penyelesaian dengan cara terbaik”.

“Semoga saja aku tidak membuat kesalahan lagi, Ki Patih”.

“Ah… kau tentu dapat menilai kembali, mana yang baik dan mana yang tidak sesuai dengan perintah dari Kanjeng Sinuhun, sehingga kau tidak akan terjerumus pada kesalahan yang sama”.

“Semoga saja Ki Patih”.

“Aku hanya dapat mengatakan selamat menjalankan tugas, dan aku tunggu laporannya”.

“Baik Ki Patih”.

“Guna memperlancar menjalankan tugasmu, untuk sementara pergunakanlah bilik Kepatihan yang kemarin itu. Sebab bilik itu memang sengaja dipersiapkan untukmu”.

“Terima kasih Ki Patih, dan sebaiknya aku segera mohon diri agar tidak terlambat dalam tugasku”.

“Baiklah”.

Kemudian Ki Patih Singaranu pun segera memanggil Pelayan Dalam untuk mengantarkan Ki Agung Sedayu bersama kedua istrinya ke bilik yang kemarin.

“Jika kalian memerlukan sesuatu panggil saja kami Ki, dan kami akan selalu berjaga di sekitar bilik ini untuk melayani segala keperluan kalian bertiga”. berkata Pelayan Dalam itu setelah mereka tiba di depan pintu bilik yang dituju.

“Terima kasih, nanti kami akan memanggil kalian jika memang memerlukan sesuatu”. sahut ayah Bagus Sadewa.

Sejenak kemudian Ki Agung Sedayu pun segera memasuki bilik, lalu menutup pintu dengan selarak dari dalam setelah Pelayan Dalam yang mengantarnya telah berlalu dan menghilang di ujung lorong ruangan tersebut.

“Lalu sekarang apa rencana kakang?”. bertanya ibu Bagus Sadewa yang sudah terduduk di amben jati dengan ukiran yang sangat rumit dan indah dipandang mata.

“Seperti apa yang tadi sudah aku sampaikan kepada Ki Patih Singaranu, untuk permulaan aku akan mengawasi Pasukan Mataram yang sedang menarik diri sembari mengawasi keadaan sekitar. Barangkali aku akan mendapatkan keterangan yang aku cari sehubungan dengan tugasku”.

“Apakah kakang membutuhkan tenaga kami?”.

Ki Agung Sedayu terdiam sejenak.

“Aku rasa memang ada baiknya kita berangkat bersama, sehingga kita dapat berbagi tugas atau bergantian untuk mengawasi keadaan. Lagipula kita tidak pernah tahu sampai kapan akan mengawasi keadaan”.

“Baiklah, kali ini kita berangkat bersama-sama”.

“Apa kau tidak ingin bermimpi lagi menjadi Nyi Patih disini?”.

“Aduh…”.

Terdengar keluhan tertahan Nyi Pandan Wangi yang tiba-tiba mendapat sebuah cubitan dari ibu Bagus Sadewa karena merasa diganggu dengan ucapannya.

“Tapi setelah aku pikir-pikir, sepertinya aku memang tidak pantas jika menjadi seorang Nyi Patih, Mbokayu”.

“Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran?”.

“Bukankah akan terlihat aneh jika ada seorang Nyi Patih yang kaki dan tangannya keras dan kasar penuh dengan kapalan seperti diriku ini?”.

Mereka pun kemudian tertawa mendengar kelakar murid dari Swargi Ki Sumangkar tersebut, tapi setelah mereka menyadari sedang berada di Kepatihan segera menutup mulut dengan kedua tangan masing-masing.

“Bersiaplah, kita harus segera berangkat”. berkata Ki Agung Sedayu memperingatkan, setelah tertawa mereka reda.

***

Sementara itu terdengar derap kaki kuda yang sedang dipacu dengan cukup kencang membelah dinginnya malam yang sudah hampir mendekati puncaknya. Wajah dari penunggang kuda itu pun tampak dalam kegelisahan dan ketegangan.

Dan sepertinya orang itu sedang berpacu dengan waktu, sehingga tidak begitu memperhatikan lagi jika kuda yang dipacu dengan cukup kencang itu akan mengundang perhatian banyak orang, terutama bagi orang-orang yang berada di jalur perjalanannya.

Semakin lama kuda itu menuju ke sebuah kaki gunung yang jauh dari padukuhan di sekitarnya, dan jalan yang semakin rumpil membuat dua penunggang kuda itu tidak dapat memacu kudanya lebih kencang.

Bahkan semakin mereka mendekati tempat yang dituju, maka mereka harus turun dari punggung kudanya lalu berjalan kaki sembari menuntun kuda masing-masing.

“Semoga saja kita tidak mendapat murka dari Kyai karena keterlambatan ini”. berkata salah satu orang tersebut.

“Benar kakang, tapi jika itu terjadi pun kita hanya dapat pasrah akan nasib buruk kita”. sahut kawannya sembari terus berjalan.

Ternyata mereka menuju sebuah bangunan yang sepertinya adalah sebuah padepokan namun kecil, tapi entah kenapa padepokan itu sepertinya sepi.

Tidak terlihat pula penjagaan oleh para cantriknya seperti layaknya sebuah padepokan kebanyakan. Bahkan di depan regol pun tidak terlihat pula adanya penerangan.

“Ternyata kalian yang datang”. ucap orang yang sedang duduk di pendapa sendirian sembari menikmati minuman hangat, setelah mengenali siapakah yang datang ke tempatnya tersebut.

“Benar kakang, kamilah yang datang. Apakah Kyai sudah beristirahat di dalam?”.

“Aku tidak tahu pasti, tapi Kyai belum lama masuk ke dalam. Tapi jika apa yang kau bawa itu sangat penting, aku akan mencoba memberitahukannya. Semoga saja Kyai mau menerima kalian sekarang juga”.

“Aku rasa sangat penting, sebab aku ingin melaporkan bahwa tadi setelah matahari terbenam seluruh Pasukan Mataram meninggalkan tempatnya. Dan setelah aku perhatikan, arah yang mereka tuju adalah Mataram”.

“He…”

Bagai disengat ribuan lebah, orang yang mendapat keterangan tersebut benar-benar terkejut.

“Bagaimana bisa kalian baru melaporkannya sekarang? apakah kalian tidak melihat tanda-tanda itu sebelumnya? lalu apa saja kerja kalian selama mengamati keadaan?”.

Dua orang yang baru saja datang itu seketika menundukkan kepala tanpa berani menatap apalagi menanggapi sebab mereka telah menyadari kesalahan yang telah mereka buat sendiri.

“Kalian tunggulah disini, aku akan mencoba memberitahukannya kepada Kyai, semoga saja kalian tidak mendapat murkanya karena kedunguan kalian ini”.

Namun baru saja orang yang duduk di pendap itu akan bangkit, mereka semua dikejutkan oleh suara yang datang tiba-tiba dan tidak mereka sadari kedatangannya.

“Aku sudah mendengar semuanya”.

Seketika ketiga orang itu menoleh ke arah sumber suara, yang berasal dari depan pintu menuju ke ruang dalam.

“Kami mohon ampun atas kebodohan kami, Kyai”.

“Lalu keterangan apa yang kau dapatkan yang berhubungan dengan orang yang aku cari itu?”.

“Kami mendapat keterangan bahwa namanya adalah Ki Lurah Glagah Putih, dia adalah salah satu senopati dari prajurit sandi. Namun karena kemampuannya dia mendapat kepercayaan dari para pepunden Mataram”.

“Siapakah gurunya?”.

“Berdasarkan keterangan yang kami dapat dia tidak hanya ngangsu kawruh kanuragan hanya pada seorang guru, tapi ada beberapa. Salah satunya adalah Ki Jayaraga dan Ki Agung Sedayu murid dari Swargi Kyai Gringsing, atau yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Orang Bercambuk”.

“Orang Bercambuk katamu?”.

“Benar Kyai”.

Orang tua itu terdiam sejenak sembari berjalan untuk menggabungkan diri dengan ya lain di pendapa, sepertinya ada yang sedang dipikirkannya dan seketika dalam kepalanya terlintas kembali bayangan akan masa lalu beberapa dasa warsa yang lampau.

Ketiga orang yang ada di hadapan orang tua itu hanya dapat terdiam dan menunggu apa yang terjadi, terutama bagi dua orang yang baru saja datang dan masih dicengkam ketakutan akan nasib mereka selanjutnya setelah selesai menyampaikan laporan.

“Pantas saja aku sempat melihat dia mengungkapkan ilmu dari aliran Perguruan Windhujati yang sudah sangat langka pada masa sekarang ini. Namun pada saat dia mengungkapkan ilmu puncaknya aku tidak melihat bahwa dia mengetrapkan ilmu puncak dari aliran Perguruan Windhujati, tapi sepertinya aku pun tidak merasa asing dengan ilmu puncak itu”. gumam orang tua itu, seperti ucapannya hanya ditujukan pada dirinya sendiri.

“Maaf Kyai, apakah hubungannya Orang Bercambuk dengan Perguruan Windhujati?”.

“He…”.

Orang tua itu benar-benar terkejut, dan tidak pernah menduga akan mendapat pertanyaan tersebut. Sehingga menatap cantriknya itu dengan mata melotot.

“Apakah kau benar-benar dungu, Wiramba? apa kau tidak pernah mendengar sedikit pun cerita tentang Perguruan Windhujati?”.

“Ampun Kyai, aku yang seperti katak dalam tempurung ini memang terlalu dungu untuk sekedar mengetahui tokoh-tokoh besar dalam dunia kanuragan yang sangat luas di sepanjang tanah ini”.

Sebelum menjawab, orang tua itu menarik nafas dalam untuk sedikit melonggarkan kepepatan hatinya mendapati salah satu cantriknya yang dungu.

“Ketahuilah kalian semua, bahwa Orang Bercambuk itu adalah salah satu murid dari Perguruan Windhujati. Selain itu dia adalah salah satu cucu Pangeran Handayaningrat dari Majapahit atau dikenal juga dengan nama Empu Windhujati”.

“Perguruan Windhujati memang adalah perguruan golongan tua, dan salah satu perguruan yang sangat disegani pada masanya karena kemampuan murid-muridnya. Tapi selain itu juga karena pendiri perguruan itu adalah Trah Rembesing Madu dari keturunan Majapahit”.

“Berarti lurah prajurit yang Kyai cari itu adalah murid Perguruan Windhujati?”.

“Sejauh pengetahuanku, cucu Empu Windhujati itu sudah tidak menggunakan nama itu lagi meskipun jalur ilmunya dari Perguruan Windhujati. Jika aku  tidak salah, dia mendirikan sebuah padepokan di sekitar kaki Gunung Merapi dengan menggunakan nama Padepokan Orang Bercambuk”.

“Lalu dimanakah sekarang guru-gurunya tinggal?”.

“Ki Jayaraga dan Ki Agung Sedayu tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, sebelah utara dari Kotaraja Mataram, Kyai. Dan untuk Ki Agung Sedayu, dia adalah seorang bekas prajurit Mataram yang dipecat dari keprajuritan setelah Raden Mas Rangsang naik tahta. Penyebabnya adalah karena dia sempat ikut campur atas penobatan Raden Mas Wuryah”.

“Tunggu.. tunggu.. apakah dengan demikian yang kau maksud itu adalah dia  orangnya yang pernah diburu oleh orang-orang Panaraga setelah disayembarakan oleh Ratu Lung Ayu?”.

“Aku tidak tahu Kyai, tapi mungkin saja”.

“Aku memang ingin membalas dendam kepada guru dari lurah prajurit itu, terutama murid orang bercambuk. Sebab ada luka lama yang masih aku pendam kepada Orang Bercambuk dan seluruh murid-muridnya. Tapi nanti setelah urusanku dengan Panembahan Hanyakrakusuma selesai”.

“Maaf Kyai, lalu apa rencana Kyai sekarang?”.

“Aku akan mengejar Pasukan Mataram”.

“Apakah Kyai akan berangkat malam ini juga?”.

Orang tua itu tampak terdiam sejenak untuk membuat pertimbangan sembari menatap ke arah hamparan langit yang luas dan tak seakan tak terbatas berhiaskan bintang-bintang malam di hadapannya.

“Jika Kyai berangkat sekarang juga, menurut perhitunganku maka Kyai akan bertemu dengan Pasukan Mataram itu jika berjalan terus sepanjang malam paling cepat baru tiba di sekitar daerah Maja Agung”.

“Aku akan bersiap sekarang”. ucap orang tua itu, lalu segera bangkit dan masuk ke ruang dalam tanpa menunggu tanggapan dari para cantriknya.

Tidak lama kemudian dia kembali keluar dengan pakaian yang berbeda dari yang dia kenakan tadi.

“Aku berangkat sekarang”. ucap orang itu sembari berjalan menghampiri salah satu kuda yang ditambatkan.

“Apakah Kyai tidak mengajak kami serta?”.

“Terserah kepada kalian”. sahutnya sembari melompat ke atas punggung kuda, lalu memacunya.

Mendengar jawaban tersebut, ketiga cantrik itu segera bersiap pula untuk berangkat, meskipun mereka tidak ditunggu oleh pepundennya karena sudah meluncur lebih dulu.

“Lalu bagaimana dengan kita, kakang?”.

“Maksudmu?”.

“Bukankah disini hanya tinggal dua kuda yang ada, sedangkan kita sekarang bertiga?”.

“Kuda yang sedikit lebih besar itu kalian naiki berdua”.

“Baiklah”.

“Sebaiknya kita segera menyusul agar kita tidak tertinggal terlalu jauh dengan Kyai, sehingga kita akan kehilangan jejak kemana Kyai memacu kudanya”.

***

Sementara itu Pasukan Mataram yang meninggalkan Wirasaba tetap berjalan terus di bawah kegelapan malam, sehingga pada sisa malam tersebut akan memasuki daerah Trowulan.

Beruntunglah mereka adalah para prajurit yang sangat terlatih, sehingga tidak masalah dan bukan menjadi sebuah pekerjaan yang berat bagi mereka jika harus berjalan sepanjang malam bahkan jika harus tanpa istirahat sama sekali.

Bagi mereka yang bertugas membawa barang bawaan atau menandu kawannya yang masih terluka parah dengan penuh kesadaran bertugas secara bergantian dengan kawannya yang lain di sepanjang perjalanan. Namun perjalanan yang sepertinya tidak menemui hambatan berarti tersebut tetap mendapatkan pengawasan yang ketat dari para pepunden Mataram melalui para prajurit yang bertugas.

Ketika pasukan itu tidak jauh lagi akan memasuki daerah Trowulan, Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma memerintahkan untuk beristirahat sejenak, sembari memberikan kesempatan kepada seluruh prajuritnya untuk menikmati makan pagi.

Kanjeng Sinuhun memerintahkan kepada seluruh pasukan untuk beristirahat di sebuah Padang Perdu sebelum memasuki daerah Kademangan Trowulan di bawahnya langit gelap pada sisa malam.

“Aku persilahkan kalian semua untuk beristirahat dulu disini dan perintahkan pula kepada prajurit petugas dapur untuk menyiapkan makan pagi”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma memberikan perintahnya melalui prajurit penghubung.

“Sendika dawuh Kanjeng”.

Setelah menerima perintah, prajurit penghubung itu pun segera berlalu untuk kemudian meneruskan perintah tersebut kepada seluruh pasukan.

Para prajurit merasa bersyukur karena akhirnya mereka dapat beristirahat pula setelah hampir sepanjang malam harus tetap terus berjalan.

Dengan pasukan tersebut beristirahat, tapi bukan berarti seluruh pasukan dapat beristirahat pula. Terutama para prajurit yang bertugas di dapur justru menjadi sibuk, sebab harus menyiapkan makan pagi dengan segera mungkin.

Namun dengan adanya banyak kawan, kesibukan itu menjadi jauh lebih ringan karena mereka dapat berbagi tugas dengan kelompok-kelompok kecil. Ada yang bertugas mencari sumber air bersih, mencari kayu bakar untuk membuat perapian, racik-racik bumbu untuk memasak, menanak nasi, dan tugas yang lainnya.

Sementara yang kebetulan tidak mendapat tugas, mereka dapat sedikit melepas lelah dengan duduk-duduk saja atau bahkan membaringkan tubuhnya di atas tanah yang masih berembun, terutama bagi mereka yang di sepanjang perjalanan mendapat tugas membawa barang-barang bawaan atau menandu kawannya yang masih terluka.

“Baru kali ini aku berjalan sepanjang malam tanpa penerangan sama sekali”. ucap salah satu prajurit.

“Aku pun demikian, ini adalah pengalaman pertamaku. Tapi dengan banyaknya kawan selama perjalanan, tidak membuat kita menjadi khawatir”. sahut salah satu kawannya.

“Tapi tetap saja tubuhku terasa panas dingin dan jantungku berdetak sangat kencang ketika kita melintas di tempat-tempat yang gelap gulita”.

“Dasar kau saja yang penakut”.

“Kau mengatai aku?”.

“Kau sendiri merasa penakut atau tidak?”.

“E… ya takut”.

“Jika demikian berarti namanya aku bukan mengatai, tapi aku berkata yang sebenarnya”.

Prajurit yang merasa memang dirinya penakut itu tidak dapat berkata apa-apa lagi untuk menanggapi, selain hanya wajahnya yang dapat bersungut-sungut.

Di hamparan langit yang sangat luas di atas mereka masih tampak gelap, tapi sepertinya tidak akan lama lagi karena sudah nampak Lintang Panjer Rina di sisi sebelah timur, dan semakin banyak pula terdengar ayam berkokok serta sekumpulan burung pagi yang sudah mulai berkicau dengan riangnya.

Keindahan alam di pagi hari yang penuh dengan kedamaian ternyata mampu sedikit menentramkan hati orang-orang yang mudah panas karena benturan gejolak gegayuhan dari manusia yang beraneka macam keinginannya.

Hanya orang-orang yang tidak peka akan isyarat alam sajalah yang tetap bergejolak hatinya karena hatinya telah tertutupi oleh dorongan gegayuhan atas dasar kebenarannya sendiri sehingga melanggar hak orang lain.

Padahal alam sudah memberikan isyaratnya kepada kita semua akan kedamaian hidup bebrayan dalam hubungannya dengan sesama, dengan alam sekitar kita, bahkan dengan Yang Maha Agung penguasa jagad raya ini.

Sementara para prajurit Mataram yang baru saja dapat menikmati waktu beristirahatnya telah dikejutkan oleh sesuatu yang muncul begitu tiba-tiba di hadapan mereka. Beberapa prajurit yang sedang bertugas pun seakan tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya tersebut.

Menyadari ada sesuatu yang tidak wajar, para prajurit Pengawal Khusus Raja itu pun dengan sigap segera bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Bahkan kemudian beberapa orang telah melihat ke arah sumber suara yang seperti sedang menerobos semak-semak di sebelah padang perdu yang tidak begitu luas yang sedang mereka tempati.

“Apakah ada orang yang kesasar kemari?”.

Pertanyaan yang hampir sama tiba-tiba terbersit dari para Prajurit Mataram dengan wajah penuh ketegangan sembari menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tidak lama kemudian.

“He… kau kah itu? apa yang sedang kau lakukan di pagi buta begini tempat ini?”. ucap salah satu prajurit setelah mengetahui siapakah yang telah muncul dari balik semak-semak dan pohon gerumbul perdu.

“Maafkan aku jika aku telah mengejutkan kalian semua”. sahut orang yang baru saja datang.

“Kau datang kemari karena kesasar atau memang ada keperluan, Ki Agung Sedayu?”.

“Aku ada keperluan, Ki Lurah”.

“Apa keperluanmu? mungkin aku dapat membantu”.

“Aku ingin menghadap Kanjeng Sinuhun”.

“Pantas saja jika itu yang menjadi keperluanmu, sampai kau rela mengorbankan diri menerobos semak-semak di waktu begini. Marilah aku antarkan kau”.

“Terima kasih, Ki Lurah”.

“Turunkanlah senjata kalian, ternyata kita tidak sedang menghadapi musuh”. ucap prajurit itu kepada kawan-kawannya.

Akhirnya para prajurit yang belum mengetahui siapakah yang baru saja datang, menurunkan senjatanya pula dengan wajah penuh tanda tanya, tapi hanya mereka pendam dalam hati.

“Kami memang mendapatkan pesan dari Kanjeng Sinuhun, siapa pun yang akan menghadap dengan ciri-ciri khusus, maka harus segera diantarkan langsung menghadap Kanjeng Sinuhun”.

“Begitu rupanya? syukurlah.. jika demikian aku tidak akan mengalami kesulitan lagi ketika harus menghadap Kanjeng Sinuhun sewaktu-waktu”.

“Aku hanya sekedar menjalankan kewajiban sebagai seorang prajurit, Ki Agung Sedayu”.

Kemudian ayah Sekar Wangi itu pun segera diantar untuk dapat segera menghadap Pepunden Mataram di antara para prajurit Pengawal Khusus Raja.

Setelah melewati beberapa penjagaan, akhirnya dia pun dapat menghadap, meskipun pada awalnya Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma sempat terkejut dengan kedatangan salah satu bawahannya yang ingin menghadap.

“Aku tidak menduga kau akan menghadap lagi secepat ini. Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, aku rasa kau tidak akan berbuat demikian, Ki Agung Sedayu”. berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma setelah mereka berhadapan bersama tiga Pangeran Mataram.

“Ampun Kanjeng Sinuhun, menurut hamba memang demikian”.

“Katakanlah”.

Kemudian Ki Agung Sedayu segera menyampaikan hasil pembicaraannya bersama dengan Ki Patih Singaranu beberapa saat yang lalu di Kepatihan.

Dan dia menyampaikannya secara runtut dan jelas, termasuk sebuah gagasan yang dia utarakan sebelumnya kepada Ki Patih Singaranu. Tapi berdasarkan kesepakatan mereka berdua, Ki Agung Sedayu menyampaikan bahwa gagasan itu bukan berasal darinya, tapi dari Ki Patih Singaranu.

“Terima kasih atas laporanmu ini, Ki Agung Sedayu. Dan ternyata Ki Patih Singaranu pun telah jauh memikirkan cara yang paling baik untuk menghadapi Surabaya”.

“Jika demikian aku pun sependapat dengan Ki Patih Singaranu yang menyerahkan penyelesaiannya kepadamu dengan cara yang telah kita sepakati bersama dan kau atur siapa saja kah yang harus dilibatkan dalam gagasan tersebut”.

“Sendika dawuh Kanjeng Sinuhun, hamba akan selalu menjunjung tinggi segala titah yang dibebankan kepada hamba. Dan hamba akan selalu berusaha dengan sebaik-baiknya dalam setiap melaksanakan titah tersebut”. sahut Ki Agung Sedayu sembari menghaturkan sembahnya.

“Tapi selain itu, kau jangan lupakan tugas utamamu”.

“Sendika dawuh, Kanjeng”.

“Jika tidak ada lagi yang akan kau sampaikan, aku persilahkan kau untuk melaksanakan tugasmu”.

“Sendika dawuh, Kanjeng. Dan sepertinya memang sudah tidak ada lagi yang dapat aku sampaikan, sekalian hamba mohon diri dan minta tambahan pangestu”.

“Baik Ki Agung Sedayu pangestuku akan selalu menyertaimu”.

Sejenak kemudian Ki Agung Sedayu pun segera meninggalkan tempat tersebut dengan membawa tambahan tugas  di pundaknya dari Pepunden Mataram.

***

Sementara itu di waktu yang hampir bersamaan, namun di tempat yang jauh dari hiruk-pikuknya sebuah hidup bebrayan dengan orang-orang di sekitarnya.

Ki Lurah Glagah Putih tampak sudah terbangun dari tidurnya sejak beberapa saat yang lalu, namun tubuhnya yang masih terasa lemah membuatnya tidak tergesa-gesa untuk bangkit.

Sementara di luar gandok, Nyi Anjani dan Begawan Mayangkara tampak sudah duduk di pendapa sembari menikmati minuman hangat sembari berbincang kesana-kemari.

“Sebagai orang yang memiliki bekal kawruh pengobatan, bagaimana menurut Eyang tentang keadaan Glagah Putih?”.

“Aku rasa sudah tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi, Anjani. Sejauh pengetahuanku, keadaan tubuh Ki Lurah Glagah Putih sekarang sudah berkembang sangat pesat sejak pertama kali dia datang kemari, bahkan jauh lebih cepat dari penalaranku”.

“Apakah Glagah Putih sudah tidak membutuhkan obat lain lagi, Eyang? selain hanya air Mustika Warih yang telah diminumnya beberapa hari yang lalu”.

“Aku sendiri pun belum dapat memastikan, Anjani. Tapi sebaiknya kita lihat saja perkembangannya secara terus menerus. Sebab ini pun adalah pengalaman pertamaku mendapati seseorang yang terluka parah diobati hanya dengan meminum air khusus, yaitu air Mustika Warih”.

“Apakah sebelumnya Eyang sama sekali belum pernah mendengar tentang air Mustika Warih? meskipun hanya sekilas ceritanya saja?”.

“Jika air Mustika Warih itu sendiri aku belum pernah tahu sama sekali, tapi cerita yang mungkin masih hampir serupa aku pernah mendengarnya dari cerita-cerita Babad Pewayangan, yaitu Tirta Kamandanu dan Banyu Perwitasari”.

“Begitu rupanya”.

“Aku rasa kau tidak perlu mempersoalkan itu, sebab bisa kita cari tahu di kemudian hari. Dan yang paling penting sekarang adalah bahwa air itu ternyata atas izin dari Yang Maha Welas Asih mampu menjadi lantaran bagi kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih”.

“Eyang benar, mungkin karena aku yang terlalu ingin mengetahui hal itu, sebab masih terasa asing di telingaku”.

Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh suara bambu yang berderit, yang berasal dari arah samping, tepatnya dari gandok pembaringan Ki Lurah Glagah Putih.

Keduanya menjadi saling pandang setelah mendengar suara tersebut, lalu Nyi Anjani pun segera bangkit untuk melihat apa yang telah terjadi di dalam gandok.

“Ternyata kau sudah mampu bangkit dari pembaringanmu sendiri, Glagah Putih?”. ucap Nyi Anjani setelah membuka pintu gandok, dan melihat adik sepupu dari suaminya itu sudah terduduk di bibir pembaringannya.

“Aku sedang berusaha, mbokayu”.

“Syukurlah.. aku ikut senang melihat perkembanganmu yang sudah semakin jauh membaik, dan bahkan jauh lebih cepat dari perkiraan kami semua”.

“Semua itu terjadi semata-mata atas kemurahan Yang Maha Welas Asih, mbokayu. Dan aku pun tidak henti-hentinya bersyukur atas semua ini”.

“Kau benar Glagah Putih, kita memang wajib mengucapkan syukur yang tak terhingga atas segala kemurahan dari Yang Maha Welas Asih atas semua ini”.

“Aku ingin keluar, mbokayu”.

“Apakah kau benar-benar sudah mampu berjalan?”.

“Aku akan mencobanya, mbokayu. Sebab aku sudah jemu berada di tempat ini sepanjang waktu. Lagi pula sekujur tubuhku sudah terasa kaku karena terlalu lama hanya di pembaringan saja”.

“Baiklah kalau begitu”.

Kemudian Nyi Anjani segera mendekat untuk menjaga ayah Arya Nakula yang tubuhnya masih lemah dan baru pertama kali akan mencoba berjalan setelah sekian lama hanya berdiam diri di dalam gandok yang sempit.

Tapi Ki Lurah Glagah Putih yang merasa sungkan akan bantuan dari istri kakak sepupunya tersebut menjadi mengurungkan niatnya untuk bangkit berdiri dan sempat terdiam sejenak, penalaranya yang sudah mulai dapat bekerja dengan baik tiba-tiba terbesit sebuah gagasan.

“Maaf mbokayu, bisakah aku minta tolong?”.

“Apa itu? katakanlah”.

“Tolong carikan sebuah tongkat kayu yang agak panjang untuk membantuku belajar berjalan kembali, karena sepertinya tubuhku masih terasa lemah”.

“Baiklah, tunggu sebentar”.

Lalu Nyi Anjani pun segera keluar dari ruangan itu, dan tidak lama kemudian dia datang kembali sembari membawa tongkat kayu seperti yang diminta.

“Terima kasih mbokayu”.

“Jika kau tidak memerlukan bantuan lagi, maka aku akan menyiapkan bubur halus untukmu, agar tenagamu segera kembali. Tubuhmu masih lemah tentu karena kau sudah terlalu lama perutmu tidak terisi apa-apa”.

“Terima kasih, mbokayu”. sahut Ki Lurah Glagah Putih, sembari dalam hati merasa lega karena rencananya untuk menghindari kedekatan dengan istri kakak sepupunya tersebut berhasil.

Akhirnya Ki Lurah Glagah Putih pun mulai bangkit dari duduknya dengan dibantu sebuah tongkat kayu setelah Nyi Anjani berlalu dan menuju dapur.

Tapi sebelum dia benar-benar bangkit, Begawan Mayangkara datang menghampirinya.

“Apakah kau yakin dapat melakukannya sendiri, Ki Lurah?”. bertanya Resi Mayangkara.

“Aku akan mencobanya, Begawan”.

“Baiklah, tapi biarlah aku tetap mengawanimu”.

“Terima kasih”.

Ki Lurah Glagah Putih pun mulai bangkit dengan bantuan tongkat kayu dalam genggaman kedua tangannya, meskipun terasa berat, namun tetap dipaksakannya.

Akhirnya berkat usaha dan tekadnya yang kuat, ayah Arya Nakula itu pun dapat berdiri tegak. Lalu dengan perlahan dia mulai melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan tersebut.

Segala usaha yang dilakukan Ki Lurah Glagah Putih itu pun tidak luput dari perhatian Begawan Mayangkara yang mengawani berjalan di sebelahnya.

“Apakah kau ingin duduk di pendapa?”.

“Tidak Begawan, aku ingin berjalan-jalan di halaman sembari menikmati udara pagi yang sangat menyejukkan, selain itu agar otot-otot dan aliran darahku tidak kaku”.

“Baiklah”.

Kemudian dengan langkah perlahan-lahan mereka pun menuruni pendapa dan turun ke halaman, awalnya Begawan Mayangkara ingin membantu, tapi Ki Lurah Glagah Putih menolak dengan alasan agar tubuhnya tidak terlalu manja. Akhirnya hanya sekedar dikawani berjalan-jalan saja.

Meskipun Ki Lurah Glagah Putih masih merasakan tubuhnya masih lemah, namun dia tidak ingin dibatasi oleh kekurangannya tersebut.

Wataknya yang tidak mudah menyerah pada keadaan, telah sedikit banyak membuatnya mampu mempercepat kesembuhannya daripada dia hanya berdiam diri dan berpangku tangan akan keadaan yang sedang dialaminya.

“Apakah kau masih merasakan sakit di bagian tubuhmu, Ki Lurah?”. bertanya Begawan Mayangkara sembari mereka berjalan secara perlahan.

“Dadaku kadang masih terasa sedikit nyeri, tapi secara perlahan aku rasakan semakin lama semakin berkurang”.

“Syukurlah jika demikian”.

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih kepada kalian semua yang telah bersedia merawatku, terutama kepada Begawan Mayangkara dan kawan Begawan itu”.

“Ki Lurah tidak Perlu berterima kasih, kami hanya sekedar menjalankan kewajiban bagi sesama”.

“Tapi sudah sepantasnya bahwa aku harus tetap mengucapkan terima kasih, meskipun semuanya semata-mata atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih, tapi tetap saja melalui lantaran kalian semua lah kesehatanku kembali”.

Keduanya menjadi terkejut ketika tiba-tiba ada yang datang, tidak jauh dari mereka berdiri. Bahkan orang itu seperti mahkluk yang tak kasat mata, karena kedatangannya tidak diawali dengan tanda-tanda.

“Kakang Agung Sedayu?”. desis Ki Lurah Glagah Putih, setelah menyadari siapakah yang baru saja datang.

“Kau sudah sembuh Glagah Putih?”. sahut Ki Agung Sedayu sembari mengangguk hormat kepada Begawan Mayangkara.

“Demikianlah kakang”.

“Apakah ada bagian tubuhmu yang masih terasa sakit?”.

“Hanya tinggal sedikit terasa nyeri di dadaku, kakang. Tapi yang paling aku rasakan adalah hampir sekujur tubuhku terasa kaku dan berat ketika digerakkan”.

“Ternyata obat Mustika Warih yang berasal dari kawan Begawan Mayangkara itu benar-benar luar biasa, aku tidak pernah menduga akan memberikan akibat secepat ini untuk mengobati seseorang”.

“Sebelumnya aku pun tidak pernah menduga bahwa akan secepat ini pula, Ki Agung Sedayu”.

“Dan untuk tubuhnya yang masih lemah itu jika menurutku hanyalah karena perutnya sudah beberapa lama terisi makanan”.

“Aku sependapat”.

“Seiring dengan berjalannya waktu, jika nanti sudah semakin banyak makanan yang masuk ke perutmu maka akan semakin cepat pula kembalinya daya tahan tubuh dan tenagamu, Glagah Putih”.

“Iya kakang”.

“Dan jika melihat keadaanmu sekarang, sepertinya kau tidak memerlukan obat lain lagi untuk membantu kesembuhanmu selain air Mustika Warih yang telah kau minum beberapa hari lalu”.

“Sepertinya memang demikian”.

“Apakah kau ingin segera menemukan kembali kesehatanmu?”.

“Kalau itu tidak perlu ditanyakan lagi, kakang. Sudah pasti aku ingin sesegera mungkin untuk sehat kembali”.

“Meskipun harus menjalani laku berat?”.

“Aku siap  menjalani laku seberat apapun agar dapat segera mungkin sembuh, kakang. Lalu laku apakah yang harus aku jalani?”.

“Nanti pada tengah malam kau harus kungkum”.

“Apakah hanya sekedar kungkum?”.

“Aku tahu, jika kau dalam keadaan baik-baik saja tentu bukan menjadi pekerjaan yang berat bagimu, tapi dalam keadaan kau yang sekarang, tentu itu akan menjadi sebuah laku yang jauh lebih berat jika dibandingkan dalam keadaan wajar”.

“Maaf kakang, aku tidak bermaksud menyepelekan arti dari sebuah laku kungkum itu sendiri, tapi aku bermaksud menanyakan apakah selain aku harus menjalani laku kungkum, masih ada hal lain yang harus aku lakukan?”.

“Kau hanya menjalani laku kungkum, sebab yang lain aku yang akan mengurus”.

“Terima kasih kakang”.

“Maaf Begawan, apakah aku dapat meminta bantuan?”.

“Selama bisa aku usahakan, akan aku bantu Ki Agung Sedayu”.

“Begini Begawan, jika nanti malam aku tidak dapat datang kemari karena terhalang oleh tugas yang sedang aku emban, aku minta tolong gantikan kedudukanku untuk mengawani Glagah Putih selama menjalani laku serta membantunya untuk dapat segera menemukan kembali kesehatannya seperti sedia kala”.

“Baiklah Ki Agung Sedayu, aku mengerti maksudmu”.

“Apakah Begawan memiliki saran tentang tempat di sekitar tempat yang dapat digunakan untuk menjalani laku kungkum oleh Glagah Putih?”.

“Sebenarnya di dekat sini ada tempat, tapi mengingat keadaan Ki Lurah Glagah Putih yang masih lemah, sebaiknya kita mencari tempat yang lain saja. Bagaimana jika di Rawa Pening?”.

“Rawa Pening?”. berkata kakak adik sepupu itu mengulangi, hampir berbarengan.

“Apakah ada yang salah dengan Rawa Pening? lagi pula tempat itu tidak jauh dari tempat ini”.

“Tidak Begawan, aku sedikit hanya terkejut saja mendengar nama itu setelah sekian lama, dan baru kini mendengarnya lagi”.

“Selain tempatnya luas, aku kira tempat itu akan meninggalkan kesan tersendiri bagi Ki Lurah Glagah Putih sebagai orang yang pernah menjalani sebuah laku di tempat itu”.

“Tidak menjadi soal bagiku dimanapun tempatnya, aku percaya bahwa Begawan tentu sudah memiliki pertimbangan tersendiri kenapa harus memilih tempat di Rawa Pening, dan bukan di tempat lain”. sahut Ki Agung Sedayu.

Setelah memandang berkeliling, sepertinya ayah Bagus Sadewa itu tidak menemukan apa yang dicarinya.

“Kemanakah mbokayumu, Glagah Putih?”.

“Tadi bilang akan membuatkan bubur halus untukku”.

“Oh.. ya sudah, aku tidak dapat berlama-lama lagi disini dan aku hanya ingin menyampaikan pesan ini kepadamu, Glagah Putih. Tolong sampaikan saja kepada mbokayumu bahwa aku tidak memiliki banyak waktu dan harus segera pergi”.

“Baik kakang, terima kasih”.

Kemudian sosok ayah Bagus Sadewa itu pun perlahan-lahan mulai memudar hingga seperti asap tipis yang tersapu angin pada saat yang bersamaan di sisi sebelah timur telah terlihat pancaran semburat merah.

“Benar-benar kemampuan yang sudah semakin di luar nalar”. desis Ki Lurah Glagah Putih tanpa sadarnya, melihat bayangan semu kakak sepupunya hilang dari pandangan.

“Begitulah kakak sepupumu, Ki Lurah. Kemampuannya memang sudah ngedap-edapi”. sahut Begawan Mayangkara yang ikut memandangi bayangan semu itu memudar.

“Kalian sedang apa?”. terdengar sebuah suara lembut tiba-tiba mengejutkan keduanya.

“Kakang Agung Sedayu baru saja pergi”.

“Kakang Agung Sedayu?”. ucap Nyi Anjani mengulangi.

“Benar mbokayu, tapi katanya dia tidak memiliki banyak waktu karena tugasnya, sehingga tidak sempat menemui mbokayu Anjani yang sedang sibuk di dapur”.

“Oh.. aku kira ada apa, aku sudah tahu pula jika kakang Agung Sedayu memang sibuk karena sedang mengemban tugas dari Kanjeng Sinuhun untuk membayangi orang yang telah membawa Ki Patih Rangga Permana setelah perang tanding denganmu”.

“Membawa Ki Patih Rangga Permana?”.

“Benar Glagah Putih, sebenarnya orang itu pada awalnya telah menyambar tubuhmu. Namun pada saat yang sama kakangmu mendapatkan tubuh Ki Rangga Permana pula, sehingga pada akhirnya mereka sepakat untuk saling bertukar. Dan semua itu terjadi dengan begitu cepatnya”.

“Ternyata telah banyak yang terjadi selama aku tidak sadarkan diri setelah benturan perang tanding itu”. sahut Ki Lurah Glagah Putih dengan suara lemah.

“Tidak perlu kau pikirkan dulu semua itu, Glagah Putih. Sebab sekarang yang paling utama untuk kau pikirkan adalah bagaimana caranya agar kau segera sembuh seperti sedia kala”.

“Baru saja kakang Agung Sedayu datang kemari karena ingin memberikan pesan kepadaku, bahwa nanti malam aku harus menjalani laku kungkum”.

“Apakah harus secepat itu, Eyang?”.

“Aku rasa apa yang telah dikatakan suamimu itu benar, karena dengan demikian akan memacu kerja seluruh tubuh Ki Lurah Glagah Putih lebih cepat”.

“Tapi ada yang terlewatkan”.

“Apa itu Eyang?”.

“Sebaiknyanya Ki Lurah perbanyaklah makan sejak sekarang, agar memiliki tenaga yang cukup pada saatnya nanti menjalani laku, karena sejak matahari terbenam nanti hingga selesai menjalani laku kau tidak diperbolehkan untuk makan dan minum”.

“Terima kasih atas segala bimbingan Begawan Mayangkara”.

“Kebetulan bubur halus yang aku buat telah matang, jadi sebaiknya segeralah kau makan dulu, Glagah Putih”.

“Terima kasih mbokayu”.

Sejenak kemudian, Ki Lurah Glagah Putih pun segera berjalan secara perlahan-lahan dengan bantuan tongkat kayu di tangannya menuju pendapa, tempat makan paginya telah disiapkan oleh istri kakak sepupunya.

***

Sementara di tempat lain dalam waktu yang hampir bersamaan, terlihat tiga orang yang sedang menunggangi kudanya. Namun dengan terpaksa mereka tidak dapat memacu kudanya lebih kencang lagi karena satu kuda yang lain harus ditunggangi oleh dua orang secara bersamaan.

“Sepertinya kita semakin jauh tertinggal dari Kyai”. berkata salah satu dari mereka, yang menunggangi kuda sendiri.

“Tapi apalah daya kita, kakang? sebab kita pun tidak dapat memacu kuda ini lebih kencang lagi. Yang penting kita jangan sampai kehilangan jejaknya, kemanakah arah Kyai telah memacu kudanya”.

“Jika berdasarkan melihat jejak kudanya, sepertinya Kyai tidak mengambil jalan ke arah Maja Agung, tapi telah berbelok ke arah Kademangan Trowulan”.

“Aku pun berpikir demikian, kakang. Mungkin Kyai memiliki perhitungannya sendiri dalam mengejar Pasukan Mataram yang tiba-tiba  menarik diri”.

“Semoga saja orang-orang Mataram bersikap jantan”.

“Maksud kakang?”.

“Bukankah kalian sudah tahu apa yang telah terjadi, karena ternyata para Pepunden Mataram telah bersikap licik kepada Wirasaba? dengan melemparkan tanggung jawab kepada seorang lurah prajurit untuk berperang tanding”.

“Kakang Wiramba benar, ternyata di dalam Pasukan Mataram itu terdapat sekumpulan orang-orang licik, dan bukanlah para pepunden yang pantas dihormati oleh kawulanya, sebab tidak dapat memberikan teladan sikap  jantan”.

“Itulah yang aku khawatirkan jika Kyai benar-benar mencegat Pasukan Mataram yang berjumlah segelar sepapan itu. Sebab jika sudah begitu, segala kemungkinan dapat terjadi. Tapi secara penalaran wajar, Kyai yang hanya seorang diri tidak akan pernah berada di pihak yang diuntungkan”.

“Apakah itu sama artinya dengan Kyai sedang membunuh diri?”.

“Tidak.. tapi pada akhirnya hampir sama”.

“Maksud kakang?”.

“Aku kira Kyai masih dapat berpikir dengan wajar, sehingga tidak pernah berniat sama sekali untuk membunuh diri. Tapi jika dia tetap saja memaksakan diri untuk melampiaskan dendam dan sakit hatinya, mungkin saja hal itu dapat terjadi”.

“Tapi menurut penalaranku, jika Pepunden Mataram bersikap jantan. Maka tidak akan ada yang mampu mengalahkan Kyai yang memiliki kemampuan sangat tinggi”.

“Apa dasarmu dapat berkata demikian?”.

“Bukankah Swargi Ki Patih Rangga Permana saja masih murid kakak seperguruannya? dengan kata lain, Kyai itu masih paman gurunya. Meskipun kita belum pernah mendapat kesempatan untuk menyaksikan secara langsung seluruh kemampuan dari Kyai yang sebenarnya, tapi setelah melihat kemampuan dari Swargi Ki Patih Rangga Permana, apakah kakang masih meragukannya?”.

“Apakah kau lupa bahwa Ki Patih Rangga Permana hanya dikalahkan oleh seorang lurah prajurit?”.

“Apakah menurut kakang, semua lurah prajurit dari Mataram memiliki kemampuan yang sama seperti itu?”.

“Maksudku, lurah prajuritnya saja memiliki kemampuan yang sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan kemampuan para pepundennya? sebab sangat mustahil sekali jika para Pepunden Mataram tidak memiliki kemampuan lebih tinggi”.

“Kakang benar, tapi aku rasa Kyai tetap memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari para Pepunden Mataram”.

“Semoga saja”.

“Aku ingin melihat Kyai mengakhiri kesombongan Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Tapi menurut pendapatku, jika harus berperang tanding dengan Kyai, maka tidak akan melawan Panembahan Hanyakrakusuma”.

“Lalu?”.

“Aku kira salah satu dari paman pangerannya itu yang akan dimajukan sebagai lawan Kyai. Sebab secara penalaran wajar kemampuan dari Panembahan Hanyakrakusuma itu sendiri tentu masih dibawah salah satu dari ketiga pamannya tersebut”.

“Kakang benar, aku justru baru menyadarinya”.

Sementara langit di sisi sebelah timur sudah semakin terang, sebab pertanda hari baru telah tiba dengan matahari sudah mulai muncul dari balik gunung.

Jalan yang rumpil dan naik turun membuat ketiga orang itu tertinggal semakin jauh dengan orang yang disusulnya. Selain waktu keberangkatan yang berselisih, mereka juga tidak dapat berpacu lebih kencang dengan keadaan salah satu kuda harus ditunggangi dua orang.

Tapi hal itu tidak lantas membuat ketiganya mengurungkan niatnya, sebab yang ada dalam pemikiran mereka adalah bagaimana caranya harus tetap dapat menyusul pepunden yang sangat mereka hormati tersebut.

***

Sementara itu di Padepokan Orang Bercambuk pagi itu terlihat cerah sekali meskipun masih ada kabut tipis sisa penghujung malam menyelimuti. Sebuah padepokan yang terlalu besar namun dijaga dan dirawat dengan sangat baik oleh seluruh penghuninya.

Di sekitar padepokan sekumpulan burung-burung pagi tampak berterbangan kesana kemari mencari mangsanya masing-masing sembari berkicau dengan riangnya, terasa sekali suasana dalam hidup penuh dengan kedamaian dan tanpa beban.

Terdengar pula suara aliran air hampir di setiap parit-parit yang ajeg menambah suasana asri, gemah ripah loh jinawi. Ditambah lagi tanaman padi yang tampak ijo royo-royo hampir di setiap kotak-kotak sawah.

Pancaran keindahan dan kedamaian alam ini di antara prahara di tanah leluhur yang seakan tidak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu meskipun sudah berbeda jaman dan telah silih berganti pula pemimpinnya.

Namun mengapa prahara itu tetap saja ada pada setiap jamannya? dan semua itu hanya berganti para pelakunya saja. Dan jika kita amati gejolak-gejolak yang ada itu tidak jauh dipicu oleh harta, tahta, dan asmara dari setiap manusianya itu sendiri.

Harta, tahta, dan asmara dapat memicu terjadinya gejolak pertumpahan darah dari sesama manusia atau bahkan masalah yang lebih besar lagi. Dan jika semua itu terjadi maka nyawa manusia seakan sudah tidak berharga lagi, baik dari yang berselisih secara langsung maupun orang-orang yang menjadi korban atau dikorbankan dalam perselisihan.

Mungkin semua itu memang sudah pepesthen dari Yang Maha Agung bagi setiap makhluknya dan seluruh alam raya ini, dan kita semua hanya dapat menjalani tanpa dapat meminta ataupun menolak Kuasa-Nya.

Kebetulan pagi itu adalah hari pertama dimana Bayu Swandana resmi menjadi cantrik Padepokan Orang Bercambuk, meskipun sebenarnya dari beberapa waktu yang lalu dia sudah datang, tapi karena suatu hal dia belum dapat diresmikan menjadi cantrik.

Meskipun sebenarnya hampir seluruh penghuni padepokan tersebut sudah mengenalnya, namun secara adat tata cara yang berlaku di tempat itu tetap harus diadakan acara perkenalan kepada seisi padepokan.

Maka pada pagi itu seisi padepokan telah dikumpulkan di halaman belakang untuk melaksanakan acara, lalu akan dilanjutkan dengan acara makan pagi bersama.

“Dengan mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung, hari ini keluarga besar Padepokan Orang Bercambuk akan bertambah satu cantrik lagi. Meskipun aku percaya bahwa dari kalian tentu sudah hampir semua telah mengenalnya, namun kita tetap melaksanakan tradisi yang berjalan di tempat ini”. berkata Ki Agahan membuka acara di hadapan seisi penghuni padepokan.

“Kepada Bayu Swandana aku persilahkan tempat dan waktunya untuk memperkenalkan diri dan dilanjutkan dengan sesorah singkat kepada saudara-saudara kita yang lain”.

“Pertama-tama aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Ki Agahan selaku pemimpin Padepokan Orang Bercambuk ini, yang telah mengizinkanku untuk ikut ngangsu kawruh di tempat ini. Dan tidak lupa aku ucapkan terima kasih pula kepada Ki Untara dan semua seluruh saudara baruku di tempat ini yang mau menerima kedatanganku dengan sambutan yang sangat baik”.

Baru saja Bayu Swandana selesai menyampaikan sesorah singkatnya, langsung disambut oleh semua orang yang hadir dengan memberikan tepuk tangan yang sangat meriah.

“Aku persilahkan kepada Ki Untara untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada kita semua”.

“Baiklah Ki Agahan. Aku harap dengan bertambahnya anggota dari keluarga besar Padepokan Orang Bercambuk maka akan semakin mempererat pula tali persaudaraan kita semua. Kita semua disini sama semua kedudukan dan tanggung jawabnya tanpa ada penilaian atau perlakuan khusus terhadap salah satu orang atau kelompok meskipun dia adalah keluarga keraton sekalipun”.

Semua orang yang hadir hanya terdiam dan menundukkan kepalanya masing-masing sembari mendengar dan meresapi setiap kata yang keluar dari sesepuh padepokan.

“Di dalam kawruh kanuragan, kita tidak dapat hanya bicara tentang belajar bertempur saja, namun jauh lebih luas dari itu. Sebab dalam kawruh kanuragan itu sendiri terdapat pula olah raga, olah rasa, olah karsa, seni, dan yang paling utama adalah kawruh kejiwaan yang kemudian dipadukan menjadi satu”.

“Jika seseorang hanya tahu cara bertempur saja, maka dia belum dikatakan belajar kawruh kanuragan, tapi hanya kanuragan saja. Karena jika bicara kanuragan atau bela diri saja, maka semua orang sudah memilikinya sejak dia dilahirkan, mungkin hanya tatarannya saja yang berbeda”.

“Sebab bagi orang yang sudah belajar kawruh kanuragan, seharusnya dia sudah mampu menempatkan diri dan mampu mengendalikan hawa nafsunya serta tidak mudah terpancing kemarahannya hanya karena hal-hal yang sepele”.

“Karena sebenarnya ilmu kanuragan itu sendiri adalah alat terburuk untuk menyelesaikan sebuah masalah. Dan aku tidak perlu memberikan contohnya pun kalian semua pasti sudah tahu akibat apa saja yang terjadi jika kita menyelesaikan sebuah masalah dengan menggunakan ilmu kanuragan dan bukan menggunakan kawruh kanuragan”.

“Pada dasarnya kawruh kanuragan dan ilmu kanuragan adalah sesuatu yang hampir sama tapi berbeda arti dan pelaksanaannya secara keseluruhan, jadi kalian semua harus tahu bedanya”.

Semua orang yang hadir semakin tenggelam dalam penalaran masing-masing untuk dapat mencerna setiap kata dari sesepuh Padepokan Orang Bercambuk yang sangat mereka hormati tersebut dengan kemampuan sejauh yang mereka mampu.

“Aku rasa hanya itu yang dapat aku sampaikan pada kesempatan kali ini, dan semoga sesorahku ini ada gunanya betapapun kecilnya”. akhirnya Ki Untara mengakhiri sedikit sesorahnya.

“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kepada Ki Untara yang sudah berkenan memberikan petuah-petuahnya yang sangat berarti sekali bagi kami semua, dan semoga kami semua akan selalu mengingatnya”. sahut Ki Agahan.

“Lalu untuk acara berikutnya adalah bagian tanya jawab, dan aku persilahkan bagi siapapun yang ingin bertanya atau sekedar ingin menyampaikan sebuah gagasan demi kebaikan dan kemajuan padepokan ini”.

Sejenak kemudian dari sekumpulan para cantrik terlihat ada yang mengangkat tangannya untuk meminta kesempatan untuk menyampaikan uneg-unegnya.

“Silahkan”. sahut Ki Agahan memberikan kesempatan.

“Maaf Ki Untara, aku tertarik dengan apa yang telah disampaikan Ki Untara tadi. Dan yang menjadi pertanyaanku adalah, lalu apa gunanya kita belajar ilmu kanuragan setinggi-tingginya jika pada akhirnya kita harus menyelesaikan masalah tanpa menggunakan ilmu kanuragan?”.

Sebelum menjawab, Ki Untara tampak menarik nafas dalam.

“Jadi begini.. kita memang dianjurkan untuk belajar kanuragan setinggi-tingginya, namun bukan berarti setiap masalah harus kita selesaikan dengan mengadu ilmu kanuragan. Penyelesaian masalah dengan membenturkan ilmu kanuragan harus menjadi jalan terakhir yang akan kita ambil, jika cara lain yang lebih baik sudah kita upayakan tapi tetap saja menemui jalan buntu”.

“Lalu bagaimana jika sebelum kita mendapat cara lain, tapi kita sudah diserang lebih dulu oleh orang lain?”.

“Dalam keadaan demikian, maka ilmu kanuragan sudah menjadi pilihan terakhir. Selain itu, dalam kehidupan bebrayan ini kita sering menemukan orang yang memiliki bekal kanuragan tapi bertindak sewenang-wenang, nah.. disitulah bekal kanuragan yang kita miliki berguna untuk membela orang-orang yang lemah”.

“Maaf Ki Untara, aku ingin bertanya”. ucap salah satu cantrik lain sembari mengangkat tangannya.

“Silahkan”.

“Apa perbedaan kawruh kanuragan dengan ilmu kanuragan?”.

“Ilmu kanuragan adalah dimana kita belajar tentang cara membela diri atau cara bertarung saja sedangkan kawruh kanuragan itu jauh lebih luas, karena mencakup olah raga, olah rasa, olah karsa, seni kanuragan, dan kejiwaan”.

“Dan secara penalaran wajar, jika seseorang sudah belajar kawruh kanuragan dengan sebaik-baiknya, maka orang tersebut lebih menep tindak tanduknya. Berbeda sekali dengan orang yang hanya belajar ilmu kanuragan saja, sebab dia hanya belajar bagaimana menjadi petarung yang paling baik tanpa memikirkan nilai-nilai kehidupan bebrayan”.

“Apakah ada yang mau bertanya lagi?”. bertanya Ki Agahan setelah sejenak tidak ada lagi yang membuka suara.

Kemudian ada seorang cantrik lain lagi yang mengangkat tangan.

“Silahkan”. sahut Ki Agahan memberi kesempatan.

“Apakah padepokan ini mengharuskan setiap cantriknya untuk dapat belajar kawruh kanuragan setinggi-tingginya? selain itu, apakah setiap orang yang nyantrik di tempat ini akan selamanya harus tinggal disini?”.

“Ketahuilah.. bahwa padepokan ini tidak pernah menuntut kepada setiap cantriknya untuk diharuskan belajar kawruh kanuragan setinggi-tinggi, semua itu tergantung pada batas kemampuan masing-masing, sebab kemampuan orang itu tidak bisa di sama ratakan dan pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing”.

“Lagi pula yang paling penting itu bukan setinggi apa ilmu kanuragan yang mampu kita kuasai, tapi yang paling utama adalah seberapa besar kemampuan yang kita miliki itu berguna bagi sesama dalam kehidupan bebrayan”.

“Buat apa kita memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, tapi hanya dipergunakan untuk merugikan orang lain, membuat kerusakan,  berbuat sewenang-wenang kepada yang lemah, atau bahkan digunakan untuk membunuh”.

“Di padepokan ini memiliki paugeran dan wewalernya sendiri yang harus dipatuhi oleh setiap orang yang mengaku menjadi bagian Keluarga Besar Padepokan Orang Bercambuk tanpa kecuali. Jadi.. akan ada sanksi bagi siapapun yang melanggar, disesuaikan menurut tataran kesalahannya masing-masing”.

“Di padepokan ini tidak mengharuskan bagi setiap cantriknya untuk selamanya tinggal disini. Dan kami mempersilahkan bagi kalian semua jika ingin keluar dari sini kapanpun jika kalian sudah merasa cukup ngangsu kawruh disini tanpa sebuah paksaan. Karena cepat atau lambat pada akhirnya kita akan kembali pula pada kehidupan bebrayan”. berkata Ki Agahan menjelaskan.

“Apakah masih ada yang ingin kalian tanyakan?”. ucap Ki Agahan setelah melihat para cantriknya hanya terdiam.

Berbagai tanggapan muncul dari para cantrik mendapat pertanyaan tersebut, ada yang saling pandang dekat kawan di sebelahnya, ada yang mencolek tubuh kawannya, tapi tidak ada yang membuka suara untuk menanggapi pertanyaan dari pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu.

“Baiklah.. jika tidak ada pertanyaan lagi, maka acara kita lanjutkan dengan makan pagi bersama di tempat ini. Bukankah begitu Ki Untara?”.

“Benar Ki Agahan, lagipula sepertinya kita sudah lama tidak ada acara seperti ini. Jadi akan terasa nikmat sekali makan pagi kali ini karena dilakukan secara serempak di tempat yang sama dengan dihadiri oleh seluruh anggota keluarga besar padepokan”.

Kemudian Ki Agahan pun segera memberikan isyarat kepada cantrik yang bertugas di dapur, untuk segera menyiapkan segala perlengkapan makan pagi yang akan segera dimulai.

Cantrik itupun segera mengajak kawan-kawannya yang kebetulan mendapat giliran bertugas di dapur untuk menyuguhkan makanan dan minuman bagi seisi penghuni padepokan.

Mereka pun lalu berbagi tugas, ada yang menyiapkan daun pisang sebagai alas makanan yang bakal disantap, ada yang membawa nasi yang masih mengepul dalam tenggok bambu yang belum lama diangkat dari dandang, ada pula yang bertugas membawa segala lauk pauknya, dan yang terakhir membawa kendi-kendi yang berisi air minum.

Kali ini memang sengaja acara makan pagi bersama dengan cara makanan dan segala lauk pauknya digelar di atas daun pisang yang berada di halaman belakang padepokan.

Itu adalah salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mempererat tali persaudaraan bagi seluruh penghuni padepokan, karena hal yang demikian dapat menciptakan rasa kebersamaan tanpa membedakan antara satu dengan yang lain.

Sebab apa yang mereka makan dan apa yang mereka minum adalah sama, bahkan Ki Agahan dan Ki Untara pun ikut makan dan minum serupa dengan apa yang para cantrik makan dan minum.

“Sebelum kita mulai makan, aku ingatkan bahwa seluruh makanan yang telah ditumpahkan di atas daun pisang ini harus dihabiskan tanpa sisa sedikitpun, jika ada yang menyisakan makanan maka akan mendapat hukumannya sendiri”. berkata Ki Agahan memperingatkan seluruh cantriknya.

“Baik Ki”. jawab hampir seluruh cantrik.

“Dan jika semuanya sudah siap, maka kita segera mulai”.

Sejenak kemudian mereka pun menikmati santap pagi dengan penuh kenikmatan dalam kebersamaan, terlihat sekali bahwa di tempat itu tidak ada yang mendapat perlakuan khusus, bahkan Ki Agahan dan Ki Untara tidak segan-segan memberikan teladan bagi mereka semua.

***

Sementara itu di tempat Pasukan Mataram sedang beristirahat, mereka baru saja selesai menikmati makan pagi dengan nasi ransum yang disiapkan oleh prajurit petugas dapur.

“Sebuah pengalaman baru bagiku, perang yang sudah kita perjuangkan dengan susah payah untuk memenangkannya, akhirnya harus kita tinggalkan begitu saja”. berkata salah satu prajurit yang sepertinya kecewa dengan sikap pepundennya.

“Bukankah kau sudah tahu alasannya? kenapa Kanjeng Sinuhun harus menarik seluruh pasukannya dari Wirasaba?”. sahut salah satu kawan yang duduk di dekatnya.

“Ya.. aku tahu, tapi seakan sia-sia saja perjuangan kita”.

“Aku percaya bahwa Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma tentu sudah memperhitungkan semuanya matang-matang sebelum mengambil keputusan ini, dan aku percaya bahwa tidak ada namanya perjuangan yang sia-sia”.

“Apakah bukan sia-sia namanya jika kita tinggalkan begitu saja?”.

“Mungkin Kanjeng Sinuhun telah memikirkan sebuah siasat, dan di kesempatan lain kita akan merebutnya kembali”.

“Bagaimana jika Wirasaba telah dikuasai Surabaya? bukankah kau tahu bahwa Pasukan Surabaya memiliki pasukan yang sangat kuat? karena kita pun sudah membuktikannya sendiri, dan kita telah gagal beberapa kali ketika membentur kekuatan Surabaya”.

“Ya.. aku tahu jika Surabaya adalah kekuatan yang sulit dikalahkan, tapi bukan berarti mereka tidak memiliki kelemahan meskipun Surabaya terkenal dengan orang-orangnya yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi”.

“Aku juga tahu jika Surabaya tentu memiliki kelemahan pula, tapi masalahnya hingga sekarang pun kita belum dapat mengalahkan mereka meskipun sudah beberapa kali menyerang”.

Sementara di sela-sela waktu istirahatnya, Ki Rangga Sabungsari menyempatkan diri untuk dapat menemui Umbara yang kebetulan ada di dalam kesatuan pasukannya.

“Bagaimana keadaanmu, Umbara?”.

“Aku sudah semakin baik, Paman Sabungsari”.

“Apakah kau masih merasakan sakit di dalam tubuhmu?”.

“Nyaris sudah tidak ada lagi sakit yang kurasakan, hanya tinggal tubuhku saja yang masih lemah dan belum bertenaga seperti sedia kala”. sahut anak Ki Untara itu menjelaskan.

“Apakah perjalanan kali ini yang berlangsung sepanjang malam dan hampir tanpa henti telah mempengaruhi keadaan tubuhmu yang belum benar-benar sehat?”.

“Mungkin sedikit banyaknya ada, Paman. Tapi tidak begitu banyak pula pengaruhnya”.

“Syukurlah kalau begitu, tadinya aku sempat khawatir hal itu akan mengganggu perkembanganmu dalam menemukan kembali kesehatanmu setelah terluka”.

“Tidak Paman Sabungsari”.

“Syukurlah kalau begitu, atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih keadaanmu sudah semakin membaik melalui lantaran bantuan dari para tabib yang membantu merawatmu”.

“Benar Paman, semua itu adalah semata-mata atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih. Dan aku merasa bersyukur atas apa yang telah terjadi”.

“Segala apa yang terjadi di dunia ini memang tidak akan pernah lepas dari campur tangan dari Yang Maha Agung. Suka duka, sakit sehat, bejo apes dan masih banyak lagi. Tapi dari semua itu kita tetap diwajibkan berusaha dengan sebaik-baiknya atas apa yang harus kita jalani selama hidup ini”.

“Benar Paman”.

“Dalam hidup ini kita tidak bisa lepas dari beberapa kewajiban, yaitu netepi kewajiban hidup secara pribadi, netepi kewajiban hidup bebrayan, dan netepi kewajiban sebagai hamba Yang Maha Agung. Dan semua itu tergantung pada pribadi masing-masing dalam menyikapinya”.

“Terima kasih atas semua petuah Paman Sabungsari, semoga saja aku dapat selalu mengingatnya”. sahut Umbara yang berusaha mencerna apa yang telah didengarnya tersebut.

“Aku dapat berkata demikian itu karena aku merasa kita memiliki hubungan yang dekat, bahkan sudah aku anggap seperti keluarga sendiri, sehingga aku berani menasehatimu lebih jauh, itupun jika kau mau menganggapku pula”.

“Justru aku merasa berterima kasih jika Paman Sabungsari sudah menganggapku seperti keluarga Paman sendiri, lagi pula aku yang muda ini memang masih banyak membutuhkan nasehat-nasehat dari orang tua seperti Paman Sabungsari”.

“Syukurlah jika kau dapat menerima semua itu dengan penalaran yang terbuka, sebab sak beja-bejane wong urip iku luwih bejo wong sing eling lan waspodo”.

“Benar Paman”.

Sementara Pasukan Mataram yang baru saja selesai menikmati makan pagi masih memanfaatkan waktu istirahat mereka untuk sedikit bermalas-malasan sebelum mereka harus melanjutkan perjalanan yang sangat panjang.

Ada yang hanya duduk-duduk sembari berbincang dengan kawan-kawannya sembari sesekali berkelakar tentang apa saja yang menarik bagi mereka.

Ada pula yang masih menyempatkan waktunya untuk merebahkan diri di atas tanah berdebu barang sejenak untuk sekedar melepas lelah, sembari menunggu perintah dari pepunden mereka untuk melanjutkan perjalanan.

Namun waktu istirahat yang sedang mereka rasakan dalam penuh ketenangan itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba ada sebuah kejadian yang menggetarkan setiap jantung semua orang yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Tiba-tiba di salah satu sudut padang perdu yang mereka tempati itu telah berhembus angin yang entah dari mana asalnya, pada awalnya angin itu berhembus biasa saja.

Tapi semakin lama angin tersebut mulai mengangkat apa saja yang dilaluinya. Seketika debu-debu, tanaman perdu, dan apa saja telah terangkat oleh angin tersebut.

Semakin lama angin itu semakin kencang berhembus dan membentuk angin puting beliung yang berputar dan membuat pemandangan seketika menjadi gelap.

Kejadian ini sontak saja membuat gempar seluruh Pasukan Mataram yang sedang menikmati sisa waktu istirahat. Seketika mereka berlarian kesana kemari untuk menyelamatkan diri sembari berteriak-teriak mengingatkan kawan-kawannya yang masih terlena dengan keadaan.

“Awas.. ada angin puting beliung”.

Terdengar teriakan yang hampir serupa dari para prajurit Mataram, yang tidak bosan-bosannya memberikan peringatan kepada kawan-kawannya.

Bahkan angin puting beliung itu semakin lama seakan menjadi kekuatan raksasa yang siap menelan apa saja sebagai korbannya, itu dapat dilihat dari beberapa orang prajurit Mataram yang telah ikut tersapu karena terlambat menyelamatkan diri.

Kejadian ini pun tidak luput dari perhatian orang-orang berilmu tinggi dari Pasukan Mataram yang berada di tempat itu, termasuk Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma dan ketiga Pangeran Mataram itu sendiri.

Jantung para Pepunden Mataram pun seketika bergejolak dengan kencangnya menghadapi kejadian yang sangat menegangkan secara tiba-tiba tersebut.

“Apa yang telah terjadi, Paman?”. bertanya Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma kepada ketiga Paman Pangerannya penasaran dan dalam rasa penuh ketegangan.


– o - 0 - o –

bersambung ke

Djilid

18



Padepokan Tanah Leluhur


Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar