Semilir angin malam yang dingin disertai turunnya embun dan kabut tipis mulai mencekam di tlatah Tanah Perdikan Menoreh yang memang berada di sebuah daerah dataran tinggi jika dibandingkan dengan daerah di sekitarnya.
Hewan-hewan malam tampak berkeliaran mencari makan dan menjalani garis hidupnya dari Yang Maha Agung, dari hewan yang melata, hewan yang berjalan, hingga hewan yang memiliki kemampuan untuk terbang di luasnya angkasa.
Yang Maha Pencipta begitu sempurnanya mengatur segala apa yang ada di jagad ini beserta isinya tanpa ada terjadinya tumpang suh antara satu dengan yang lainnya, semuanya berjalan sesuai dengan garis hidupnya masing-masing.
Sementara itu Nyi Lurah Glagah Putih yang sempat sekilas melihat wajah Ki Agung Sedayu tidak mendapatkan kesan apapun, dan terlihat hanya terlihat datar setelah dirinya mengungkapkan kegelisahan yang membuat hatinya kurang mapan.
“Aku dapat mengerti apa yang kau rasakan, Rara Wulan. Karena sekarang suamimu sedang terlibat dalam sebuah perang yang besar dan garang. Sehingga kau pasti memiliki sebuah kekhawatiran, karena dalam perang segalanya dapat terjadi. Tapi alangkah lebih baiknya jika kita sama-sama nenuwun, semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita semua”.
“Semoga ini hanya kekhawatiranku yang tidak mendasar. Kakang benar, sebaiknya kita tidak henti-hentinya nenuwun kepada Yang Maha Agung untuk keselamatan kita semua”.
“Untuk sementara sebaiknya kau singkirkan dulu perasaanmu itu, karena mbokayumu dan yang lain sudah menunggu di sanggar. Alangkah deksuranya jika kita berlama-lama disini”.
Seakan baru tersadar dari mimpinya, Nyi Lurah Glagah Putih agak tergagap menyadari keadaan setelah mendengar ucapan ayah Bagus Sadewa yang masih berdiri di hadapannya.
“Maaf kakang, karena aku terlalu terbawa perasaan yang kurang mapan sehingga melupakan keadaan”.
“Tidak apa-apa, aku bisa memakluminya. Marilah kita segera menyusul yang lain, agar tidak membuat mereka menunggu lebih lama lagi”.
Kemudian keduanya segera bergegas untuk menyusul yang lain yang sudah lebih dahulu memasuki sanggar tertutup yang terletak di sekitar halaman belakang.
Ternyata mereka yang sudah lebih dahulu memasuki sanggar masih menunggu sedikit persiapan dari Ratri, selaku orang yang akan menunjukkan kemampuannya di hadapan beberapa orang yang berilmu sangat tinggi, sebagai salah satu pewaris ilmu dari jalur Perguruan Menoreh.
***
Semetara itu Panembahan Hanyakrakusuma bersama pasukan kecilnya yang berusaha memasuki Istana Kadipaten Wirasaba malam itu juga, telah mulai memasuki gerbang yang terbuat dari tumpukan batu yang berdiri dengan kokoh dan megahnya.
Wirasaba memang telah kalah dalam peperangan melawan Mataram, namun Istana Kadipaten masih mendapatkan penjagaan dari para prajurit yang bertugas, meskipun hanya terdiri dari beberapa prajurit saja.
Para prajurit yang bertugas sudah mendapatkan laporan bahwa pepunden mereka telah kalah dalam perang, sehingga pada saat Panembahan Hanyakrakusuma akan memasuki istana, para prajurit Wirasaba hanya bisa pasrah tanpa ada perlawanan sama sekali.
Kanjeng Sinuhun Mataram yang masih merasa asing dengan tempat yang akan dimasukinya pun segera memanggil dan mengumpulkan para prajurit Wirasaba yang bertugas di sekitar gerbang Istana, untuk meminta keterangan yang diperlukan sebelum benar-benar masuk.
“Siapakah di antara kalian yang bertugas menjadi pemimpin untuk menjaga keamanan disini?”. ucap cucu Panembahan Senopati tersebut, setelah mereka berkumpul.
Para prajurit yang mendapat pertanyaan tersebut tidak segera menjawab, tapi justru mereka saling pandang. Sejenak suasana menjadi hening karena masih belum ada yang membuka suara.
“Jika kalian tidak ada yang menjawab, maka kalian semua akan mendapatkan hukuman dariku”.
Jika dilihat dari ciri-ciri yang mereka sandang, di antara mereka tidak ada yang memiliki gelar kepangkatan. Dengan wajah gelisah dan mulai ketakutan, akhirnya salah satu dari mereka berusaha memberanikan diri untuk menjawab.
Dengan menghaturkan sembah terlebih dahulu, salah satu prajurit yang duduk di atas tanah yang berdebu tersebut memberanikan diri untuk mewakili kawan-kawannya.
“Ampun Kanjeng Panembahan, yang bertugas memimpin keamanan disini selama terjadi perang adalah Ki Tumenggung Gagak Saba”.
“Dimana dia? tolong panggilkan dia sekarang!”.
“Sekali lagi ampun Kanjeng Panembahan, setelah kami yang berada disini mendapatkan keterangan bahwa Wirasaba telah kalah, Ki Tumenggung Gagak Saba bersama keluarga Istana Wirasaba segera menyingkir dari Kotaraja. Kini hanya tinggal kami, para prajurit rendahan saja yang tersisa”.
“Apakah ucapanmu dapat dipercaya?”.
Prajurit yang mewakili kawan-kawannya itu menjadi sangat terkejut mendapatkan pertanyaan tersebut karena tidak pernah menduga sebelumnya. Dengan wajah yang semakin ketakutan sembari menghaturkan sembah dengan tangan agak gemetar dia pun kemudian menjawab.
“Ampun Kanjeng Panembahan, hamba berkata yang sebenarnya sejauh yang hamba tahu. Jika Kanjeng meragukannya, silahkan bertanyalah kepada kawan-kawan hamba”.
“Ampun Kanjeng Panembahan, apa yang diucapkan kawan kami itu adalah benar adanya, lagipula kami tidak akan pernah berani berbohong di hadapan Kanjeng Panembahan”. sahut salah satu kawan prajurit Wirasaba sembari dengan wajah ketakutan.
“Baiklah… kali ini aku akan mempercayai kata-kata kalian, Namun jika nanti di lain waktu kalian terbukti berbohong, maka kalian akan mendapat hukuman yang setimpal”.
Hampir semua para prajurit Wirasaba yang berkumpul di tempat itu menjadi semakin ketakutan setelah mendengar jawaban dari pepunden seluruh kawula Mataram tersebut.
“Kemanakah Ki Tumenggung Gagak Saba membawa Keluarga Istana untuk menyingkir?”. kali ini Pangeran Pringgalaya lah yang bertanya.
“Ampun Kanjeng, kami benar-benar tidak tahu kemanakah Ki Tumenggung Gagak Saba pergi. Karena baru tadi pagi kami yang bertugas disini menyadarinya bahwa dia dan Keluarga Istana sudah tidak berada di tempatnya”.
“Menurut perhitungan kalian, kapankah mereka pergi?”.
“Menurut perhitungan hamba, jika tidak salah hitung mereka menyingkir dari tempat ini adalah tadi malam. Karena kemarin sore di antara kami ada yang masih melihatnya”.
“Siapa saja orang penting Wirasaba yang terdapat dalam rombongan itu selain Ki Tumenggung Gagak Saba itu sendiri?”.
“Setahu hamba, ada ibu Kanjeng Adipati dan adik Kanjeng Adipati itu sendiri. Selain itu hanya beberapa emban terpercaya dan para prajurit Pengawal Khusus Keluarga Istana Wirasaba di bawah pimpinan Ki Tumenggung Gagak Saba”.
Mendengar jawaban tersebut ketiga Priyagung Mataram itu tanpa sadar menjadi saling pandang dengan tanggapannya masing-masing menghadapi keadaan.
“Sekarang aku ingin mendapatkan keterangan tentang siapa sebenarnya Ki Tumenggung Gagak Saba? sehingga dia mendapatkan kepercayaan yang begitu tinggi dari pepunden kalian untuk menjaga keamanan keluarga Istana Kadipaten Wirasaba yang tersisa”. bertanya Kanjeng Sinuhun Mataram kemudian.
“Ampun Kanjeng Panembahan, sebagai prajurit rendahan kami tidak mengetahui banyak tentang siapakah Ki Tumenggung Gagak Saba. Dari sedikit yang hamba tahu adalah dia dianggap adik seperguruan Ki Patih Rangga Permana meskipun tidak pernah berguru pada guru yang sama, namun mereka sama-sama pernah ngangsu kawruh pada jalur yang sama meskipun itu bukan satu-satunya tempat mereka ngangsu kawruh kanuragan”.
Keterangan tentang siapakah sebenarnya Ki Tumenggung Gagak Saba dari prajurit Wirasaba itu cukup mengejutkan bagi ketiga Priyagung Mataram. Mereka tidak pernah menduga bahwa Ki Patih Rangga Permana masih memiliki saudara seperguruan.
“Sepertinya ada yang telah terlepas, Paman”.
“Angger Panembahan benar, tapi ini bukan semata-mata kesalahan kita. Karena ternyata mereka lebih cepat mendapatkan laporan tentang tanda-tanda kekalahan Wirasaba sebelum kita benar-benar dapat menyelesaikannya di medan”.
“Paman benar, sepertinya ini memang di luar kemampuan kita. Semoga saja tidak akan menjadi batu sandungan bagi tegaknya bumi Mataram di kemudian hari”.
“Semua kemungkinan memang dapat saja terjadi, Angger Panembahan. Dengan demikian akan membuat kita semakin berhati-hati dalam menghadapi keadaan. Tapi sebaiknya sekarang kita pikirkan dulu pekerjaan di hadapan kita agar segera rampung”.
“Adimas Pringgalaya benar. Selain itu, dengan menyingkirnya Keluarga Istana sepertinya akan mempermudah pekerjaan kita dalam penyelesaian tahap akhir”.
“Paman Pangeran Puger benar, aku akan segera memerintahkan kepada semua prajurit Wirasaba yang tersisa untuk berkumpul di halaman ini”.
Sejenak kemudian perintah dari Kanjeng Sinuhun Mataram itu segera diteruskan kepada para prajurit yang mengawalnya agar dapat segera pula dilaksanakan.
Karena sepertinya Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma juga tidak ingin menunda-nunda lagi pekerjaan yang hampir sudah tidak mengalami hambatan yang berarti.
Tidak lama kemudian, pepunden seluruh kawula Mataram itu pun telah mampu menduduki dampar kencana Kanjeng Adipati Wirasaba yang selama ini menjadi singgasana kebangggaannya dalam waktu yang begitu lama.
Dengan demikian kini menjadi lengkaplah kemenangannya dalam usaha untuk menaklukkan Kadipaten Wirasaba di bawah panji-panji Mataram.
Perasaan penuh gelora kebanggaan dari Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma karena telah berhasil merintis gegayuhan pepundennya terdahulu yang selama ini belum pernah kasembadan hingga akhir hayat mereka.
“Aku harap Kanjeng Eyang Panembahan Senopati dan Kanjeng Rama Panembahan Hanyakrawati akan tersenyum melihatku mampu melanjutkan gegayuhan seluruh kawula Mataram yang belum kasembadan selama ini”. membatin orang yang waktu mudanya lebih dikenal dengan nama Raden Mas Rangsang tersebut.
Dalam duduknya di dampar kencana Kanjeng Adipati Wirasaba tersebut, sejenak Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma memejamkan matanya untuk tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur kepada Yang Maha Agung atas segala apa yang telah digayuhnya bersama seluruh kawulanya.
Karena semuanya itu tidak akan pernah dapat digayuhnya jika tidak adanya kemurahan dari Yang Maha Welas Asih kepadanya dan kepada seluruh kawula Mataram yang ikut terlibat.
Sementara Pangeran Puger dan Pangeran Pringgalaya yang melihat apa yang dilakukan kemenakannya tersebut sengaja membiarkannya. Keduanya sengaja memberikan waktu Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma untuk menikmati kemenangan yang baru saja mereka raih bersama.
***
Sementara itu di sebuah rumah yang terlihat cukup bagus dari rumah kebanyakan yang berada di Kotaraja Mataram namun agak jauh dari Istana yang terlihat cukup bagus dari rumah kebanyakan.
Rumah tersebut tampak dijaga oleh beberapa orang di pintu regolnya, meskipun malam itu rumah terlihat sepi. Karena orang-orang yang bertugas pun sepertinya menjaga mulut mereka agar tetap bersuara lirih.
“Kenapa hingga malam ini, kang Karta dan kang Parta belum juga kembali dari tugasnya?”. bertanya salah satu diantaranya.
“Aku juga tidak tahu, jika kita menghitung perjalanan mereka, seharusnya mereka telah kembali”. sahut salah satu kawannya.
“Apa jangan-jangan mereka menemui hambatan di sepanjang perjalanan?”.
“Kemungkinan itu bisa saja terjadi, tapi aku rasa mereka akan dapat mengatasinya jika hanya bertemu dengan gerombolan anak-anak nakal atau perampok”.
“Aku tahu maksudmu, kang Karta dan kang Parta memang memiliki kemampuan yang tinggi, tapi semoga saja mereka tidak menemui hambatan di luar kemampuannya”.
“Kau benar, di luar sana kita tidak akan pernah tahu akan bertemu dengan siapa dan seberapa tinggi ilmunya. Sebaiknya kita sama-sama nenuwun untuk keselamatan mereka”.
Baru saja orang-orang yang bertugas di luar rumah tersebut terdiam, dari ruang dalam muncul seorang laki-laki yang sudah lebih dari separuh baya namun masih terlihat gagah dengan kumis dan jambang lebat yang menghiasi wajahnya tapi sudah semakin banyak yang memutih.
Sebuah kegelisahan dan kekhawatiran yang mendalam karena menghadapi keadaan yang sedang dialaminya tergambar jelas di wajahnya yang sudah mulai berkerut di beberapa tempat.
Dengan sebuah isyarat, orang tersebut memanggil salah satu orang yang sedang bertugas, dengan langkah tergopoh-gopoh orang yang dipanggil pun mendekat.
“Apakah belum ada tanda-tanda kepulangan kawanmu yang aku utus ke Tanah Perdikan Menoreh?”.
“Belum Ki. Jika nanti mereka kembali, aku akan segera melapor kepada Ki Purbarumeksa”.
Tanpa sadar ayah dari Nyi Rara Wulan itu menengadahkan wajahnya ke langit untuk beberapa saat yang kebetulan malam itu memang sedang cerah.
“Sudah semakin malam. Semoga perjalanan mereka tidak mendapatkan hambatan berarti”. gumam Ki Purbarumeksa.
Sejenak suasana menjadi hening karena tidak ada yang membuka suara. Ki Purbarumeksa diam karena sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan orang yang berdiri di hadapannya bingung harus berkata apa untuk menanggapi.
“Maaf Ki, bagaimana dengan perkembangan keadaan Ki Lurah Branjangan?”. bertanya orang tersebut berusaha mencairkan suasana di malam yang semakin dingin.
“Berdasarkan keterangan dari Tabib yang aku mintai tolong untuk merawatnya, mengingat umur ayah Branjangan yang sudah sangat sepuh keadaannya memang tidak mudah”.
“Maaf Ki, aku hanya bisa bantu untuk nenuwun bagi kesembuhan Ki Lurah Branjangan”.
Mendengar itu Ki Purbarumeksa menoleh ke arah orang yang berdiri di hadapannya. Lalu katanya, “terima kasih”.
“Baiklah, lanjutkan saja tugas kalian. Aku akan mengawani ayah Branjangan di dalam, mungkin saja Tabib yang merawatnya membutuh sesuatu tiba-tiba”. berkata Ki Purbarumeksa dengan wajah yang terlihat murung.
“Silahkan Ki, silahkan”.
***
Sementara itu Ratri yang mendapat kesempatan menunjukkan kemampuannya di hadapan gurunya dan para sesepuh dari keluarga Ki Agung Sedayu telah memasuki tahap akhir.
Tubuh putri semata wayang Ki Gede Matesih itu tampak bermandikan keringat dan kotornya debu dalam balutan pakaian khususnya pada waktu yang semakin malam dan hawa dingin yang semakin mencekam.
Dalam suara nafas yang masih terdengar memburu, Ratri pun akhirnya benar-benar telah menyelesaikan pameran ilmu yang dipelajari dari gurunya, yaitu Nyi Pandan Wangi.
Tidak lupa Ratri menghaturkan hormat kepada semua orang yang menyaksikan pertunjukannya, kemudian dengan perasaan yang berdebar-debar dia menunggu penilaian dari gurunya dan para sesepuh kanuragan yang hadir.
Tapi sebelum Ratri membuka mulutnya, Ki Agung Sedayu memberikan sebuah isyarat, ibu Sekar Wangi yang tanggap akan isyarat tersebut pun segera berdiri.
“Aku minta maaf jika berani deksura di hadapan kalian. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyombongkan diri dengan kemampuanku yang tidak seberapa ini, terutama kepada Ki Gede Matesih, kakang Untara dan Ki Agahan. Karena menurut kakang Agung Sedayu, sepertinya Ratri memerlukan kawan berlatih meskipun hanya barang sebentar”. berkata Nyi Pandan Wangi setelah berdiri di hadapan semua orang yang hadir.
Ki Gede Matesih yang mendengar, justru menjadi tertawa berkepanjangan untuk beberapa saat. Setelah tertawanya reda, dia pun baru membuka suara.
“Jika Nyi Pandan Wangi masih saja bersikap demikian, justru akan membuat aku dan Ratri merasa semakin sungkan. Aku harap kalian bersikaplah secara wajar, agar tidak terbentang jarak yang semakin jauh di antara kita”.
“Aku mengerti maksud Ki Gede, tapi mungkin karena ini adalah pesan orang tua dan guru-guru kami yang berusaha kami ingat selalu, sehingga lama kelamaan menjadi kebiasaan kami. Aku harap Ki Gede tidak berprasangka”. sahut ayah Bagus Sadewa.
“Baiklah Ki Agung Sedayu, aku dan anakku akan berusaha mengerti semua itu”.
“Tapi Ki Gede tidak perlu memaksakan diri”. sahut Ki Untara, lalu tersenyum.
Sejenak kemudian perhatian semua orang yang hadir di sanggar itu mulai terpusat kepada Nyi Pandan Wangi dan Ratri yang akan menunjukkan kemampuannya.
Berlatih bersama ini dilakukan karena tadi Nyi Pandan Wangi menyadari selama Ratri menunjukkan kemampuannya, masih ada beberapa bagian yang menunjukkan kekurangannya. Dengan demikian dia akan menunjukkan secara langsung dimana letak kekurangan muridnya tersebut, kemudian untuk pengembangannya akan diserahkan kepada Ratri seutuhnya.
“Apakah kau mengerti maksudku untuk berlatih bersama, Ratri?”
“Iya mbokayu, ada beberapa kesalahan dan kekurangan yang telah aku lakukan. Sehingga mbokayu merasa menunjukkan kekuranganku itu secara langsung”.
“Tapi dengan aku menunjukkan kekuranganmu itu jangan kau kira ilmuku ini sudah paling sempurna, kau salah jika berpikiran demikian. Meskipun aku adalah gurumu tapi aku pun menyadari masih banyak kekurangan. Dan perlu kau ingat, bahwa setinggi apapun kemampuan manusia itu pasti memiliki kelemahan dan kekurangannya, karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Agung semata”.
“Aku mengerti mbokayu”.
“Sekarang kau tunjukkanlah kemampuanmu yang sebenarnya dan tidak ada yang perlu kau tutupi agar aku dan yang hadir disini mampu membuat penilaian yang benar”.
“Baik mbokayu”.
“Nanti kau tidak perlu ragu atau sungkan ketika menyerangku, keluarkanlah kemampuan terbaikmu. Untuk sementara kau lupakanlah hubungan kita sebagai guru dan murid, dan anggap saja kita sedang dalam pertarungan yang sebenarnya”.
“Baik mbokayu, aku mengerti”.
“Tapi sebelum mulai, aku perlu memanaskan diri lebih dulu agar nanti tubuhku lebih mapan”.
Tanpa menunggu jawaban, sejenak kemudian Nyi Pandan Wangi mulai pemanasannya dengan bergerak ringan, lalu dengan perlahan mulai ditingkatkannya.
Ibu Bayu Swandana tersebut mulai dengan diawali gerakan-gerakan pendek, Kemudian dilanjutkan dengan berloncat-loncatan. Tapi semua itu masih dilakukan dengan unsur kewadagan dan belum merambah ke tenaga cadangan.
Sementara Ratri memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dilakukan oleh gurunya tersebut. Meskipun yang terlihat di depan matanya hanyalah gerakan-gerakan sederhana, namun jika itu dilakukan oleh orang yang berilmu sangat tinggi memang terlihat perbedaannya.
Meskipun kini Ratri telah tumbuh menjadi perempuan perkasa, tapi dalam penglihatannya, setiap gerakan yang ditunjukkan oleh Nyi Pandan Wangi terkesan lebih luwes dan berbobot meskipun masih dalam tataran rendah kanuragan.
Setelah ibu Sekar Wangi merasa cukup pemanasannya, kemudian dia memberikan isyarat kepada muridnya untuk segera mulai latihan bersama.
“Untuk menyingkat waktu, marilah kita segera mulai, Ratri”.
“Marilah, mbokayu”.
Keduanya terlihat menggunakan kuda-kuda yang sama dalam memulai latihan. Sepertinya mereka memang ingin menunjukkan ciri-ciri dari Perguruan Menoreh, terutama Nyi Pandan Wangi yang jalur ilmunya sudah terpengaruh oleh jalur perguruan suaminya.
Tapi di hadapan muridnya, Nyi Pandan Wangi ingin menunjukkan kemurnian jalur Perguruan Menoreh yang diwarisinya langsung dari ayahnya yang kini telah dipanggil Yang Maha Agung.
Latihan bersama itu dimulai dari tataran yang rendah, meskipun bukan yang paling rendah. Ibu Bayu Swandana yang menyadari masih ada rasa segan di hati muridnya, dia mencoba menyerangnya lebih dahulu.
Ratri sudah siap menghadapi segala kemungkinan, diawali dengan lompatan pendek, tangan kanan gurunya itu mencoba menyerang dada. Putri Ki Gede Matesih itu mampu berkelit pada saat serangan hampir menyentuh sasaran.
Nyi Pandan Wangi yang sudah menduga, segera melibatnya dengan serangan yang bertubi-tubi, awalnya Ratri sempat terkejut dengan serangan tersebut. Namun semua itu tidak membuatnya menjadi gugup.
Perlahan tapi pasti, Ratri mulai memperbaiki keadaannya yang tadi sempat terdesak dengan menghindar ke samping kanan dan kiri. Setelah kedudukannya menjadi mapan, kemudian dia mencoba untuk membalas menyerang.
Dalam setiap gerakan yang mereka lakukan, keduanya tidak pernah melupakan ciri-ciri dari jalur Perguruan Menoreh yang telah mereka pelajari selama ini.
Orang-orang yang hadir pun memperhatikan dengan seksama setiap gerakan yang ditunjukkan guru dan murid tersebut. Terutama Ki Agahan yang baginya ini adalah pengalaman untuk pertama kalinya mendapat kesempatan perbandingan ilmu dari jalur perguruan lain dalam suasana latihan.
Pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu merasa beruntung sekali diperkenankan ikut menyaksikan, sehingga akan memberikan pengalaman yang sangat berharga baginya.
Karena selama ini waktunya hampir semuanya dihabiskan di padepokan saja, apalagi setelah Kyai Gringsing dipanggil Yang Maha Agung dan dirinya diangkat menjadi pemimpin padepokan setelah diadakan pembicaraan dengan semua pihak yang berkepentingan, dirinya semakin tenggelam di padepokan.
Sementara Nyi Lurah Glagah Putih yang ikut hadir di dalam sanggar, masih saja merasa hatinya kurang mapan meskipun perhatiannya tidak pernah lepas dari latihan bersama antara guru dan murid di depan matanya.
Perasaannya seakan telah menuntunnya kepada suaminya yang sedang bertugas di bang wetan. Tapi menurut perasaannya, sepertinya telah terjadi sesuatu yang kurang baik.
Dirinya merasa entah itu hanya diselimuti perasaannya saja yang tidak mendasar ataukah memang sebuah isyarat yang perlu mendapatkan perhatian.
Tapi baginya apapun yang akan dilakukannya serba salah, karena di satu sisi dia hanya bisa bicara atas dasar perasaannya yang tidak mendasar, sedangkan di sisi yang lain dia tidak mampu untuk membuktikan sendiri kebenarannya.
“Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada kakang Glagah Putih”. membatin Nyi Rara Wulan yang pada akhirnya hanya bisa pasrah kepada Yang Maha Welas Asih setelah merasa penalarannya menjadi buntu karenanya.
Nyi Sekar Mirah yang kebetulan duduk di sebelahnya menyadari ada sesuatu yang sedang dirasakan oleh muridnya tersebut, namun dirinya harus menahan diri untuk sekedar bertanya karena merasa waktunya belum tepat.
Sementara Nyi Pandan Wangi dan Ratri semakin merambah ke tataran ilmu yang semakin tinggi, bahkan kini mereka sudah mulai mengetrapkan tenaga cadangan dan daya tahan tubuh, agar nanti jika terjadi benturan ilmu dapat mengurangi akibat yang mungkin dapat ditimbulkan.
Ratri yang pada awalnya masih ada rasa keseganan, apalagi setelah sekian lama tidak bertemu dengan gurunya, kini sudah mulai mencair perasaan itu.
Sekarang Ratri benar-benar memusatkan kemampuannya untuk menyerang dan berusaha menembus pertahanan gurunya, karena dirinya pun menyadari bahwa setinggi apapun dia meningkatkan kemampuannya, tataran ilmunya masih belum mampu untuk mengalahkan gurunya.
Latihan bersama dalam balutan sebuah pertarungan antara dua orang perempuan perkasa itu semakin sengit dan menegangkan dengan tataran ilmu yang semakin tinggi.
Benturan demi benturan pun tidak dapat dihindari lagi. Ratri yang merasa tubuhnya tergetar setelah terjadi benturan, segera meningkatkan kemampuannya lebih tinggi lagi untuk mengimbangi kemampuan gurunya.
Dengan segenap kemampuannya, Ratri pun menyerang gurunya dengan serangan yang membadai. Tapi Nyi Pandan Wangi yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi tidak menjadi gugup dengan serangan muridnya tersebut meski sempat terdesak untuk beberapa saat.
Ibu Bayu Swandana tersebut seperti sengaja memberikan kesempatan kepada Ratri untuk menyerangnya dengan segenap kemampuannya sembari mengamati dengan seksama.
Serangan tangan dan kaki yang silih berganti memang sempat menggetarkan pertahanan Nyi Pandan Wangi, namun itu hanya berlangsung sesaat, karena pengalamannya yang luas membuat dirinya dapat segera mengambil sikap untuk mengatasi keadaan.
Setelah Ratri semakin meningkatkan kemampuannya, pada akhirnya telah sampailah pada puncak kemampuannya. Dan kini setiap serangannya semakin berbahaya.
Dengan wajah yang semakin menegang disertai cucuran keringat yang semakin deras pada tubuh yang berbalut pakaian khususnya, Ratri sepertinya benar-benar berusaha keras untuk dapat menembus pertahanan gurunya yang masih sulit di tembusnya, meskipun sudah beberapa kali dapat dilakukannya.
Suatu ketika Ratri tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghindari serangan Nyi Pandan Wangi yang datang dengan kecepatan tinggi menerjang dada, mau tidak mau dirinya menangkis serangan tersebut dengan menyilangkan kedua tangannya.
Ternyata serangan yang datang itu sangat kuat, sehingga membuat Ratri bergetar surut beberapa langkah ke belakang dengan tubuh yang agak gontai.
Tapi serangan tersebut tidak sampai membuat tubuh putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu terjatuh ke tanah. Dengan cepat Ratri segera memperbaiki keadaanya untuk menghadapi segala kemungkinan selanjutnya.
Nyi Pandan Wangi sebenarnya sudah ingin memberikan sebuah isyarat karena merasa sudah cukup latihan yang mereka lakukan. Tapi dirinya melihat sorot mata Ratri yang sepertinya masih belum ingin mengakhirinya. Agar tidak membuat kecewa, maka dia pun akan melanjutkan untuk beberapa saat lagi.
Dengan lompatan panjang, Ratri pun kembali menyerang ibu Bayu Swandana itu dengan dilambari tataran puncak ilmu yang dikuasainya. Karena menurutnya, gurunya memang sengaja menunggu serangan yang datang darinya.
Tidak ada waktu lagi untuk membuat pertimbangan bagi Nyi Pandan Wangi kecuali mengatasi serangan yang sangat berbahaya tersebut dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
Sebenarnya sempat terbesit dalam benak ibu Sekar Wangi untuk membenturkan serangan itu, namun tidak dilakukannya karena penalarannya yang jernih masih menyadari bahwa itu hanyalah sebuah latihan bersama, sehingga tidak perlu terlalu keras seperti pertempuran yang sebenarnya.
Dengan berkelit ke samping, Nyi Pandan Wangi membebaskan dirinya dari serangan yang sangat berbahaya itu. Ratri yang sudah menduga segera melancarkan serangan berikutnya secara bertubi-tubi untuk terus menekan gurunya.
Namun apa yang dilakukan putri semata wayang Ki Gede Matesih itu lebih banyak mengenai tempat kosong, karena gurunya masih mampu menghindari hampir setiap serangannya.
Sementara orang-orang yang berada di sanggar, menyaksikan perbandingan ilmu antara guru dan murid tersebut dengan seksama. Bahkan hampir setiap gerak dan lambaran ilmu yang ditunjukkan oleh dua perempuan perkasa itu tidak luput dari pengamatan mereka, terutama Ki Gede Matesih yang matanya hampir tidak berkedip menyaksikan semua itu.
“Benar-benar luar biasa, ilmu yang sudah dalam tataran sangat tinggi. Beruntunglah Ratri mendapatkan seorang guru yang seperti itu, ditambah lagi dengan kepribadian yang luar biasa pula”. membatin Ki Gede Matesih tanpa sadarnya setelah melihat sendiri secara langsung kemampuan guru putrinya.
“Perempuan-perempuan yang luar biasa kemampuannya, aku merasa beruntung mendapat kesempatan menyaksikan pertunjukan ilmu dari jalur Perguruan Menoreh ini, sehingga menambah wawasanku yang selama ini lebih banyak berada di padepokan”. membatin Ki Agahan.
Beberapa saat kemudian, Nyi Pandan Wangi pun memberikan sebuah isyarat kepada muridnya untuk mengakhiri latihan. Baginya apa yang ditunjukkan malam ini sudah lebih dari cukup.
Ratri yang tanggap pun segera menuruti perintah gurunya tanpa ada pertanyaan untuk mengakhiri latihan. Kemudian dua perempuan perkasa tersebut segera duduk bersila dan di atas tanah berdebu lama sanggar guna memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki tubuhnya setelah mengungkapkan ilmu masing-masing hingga tataran puncak.
Sementara Ki Gede Matesih yang sedari tadi tampak tegang melihat putrinya dalam menunjukkan kemampuannya, kini dapat sedikit bernafas lega. Meskipun dia menyadari bahwa putrinya tersebut masih akan menerima hasil penilaian dari gurunya dan beberapa orang sesepuh kanuragan.
Hampir dalam setiap debar jantungnya, Ki Gede Matesih yang sudah semakin sepuh itu merasa bersyukur bahwa kini putri satu-satunya tersebut telah tumbuh menjadi perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan kebanyakan.
Karena selama ini dalam kehidupan bebrayan, kebanyakan perempuan hanyalah tahu dapur dan sumur. Sehingga seorang perempuan yang belajar kanuragan itu masih dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa itu menyalahi kodrat sebagai seorang perempuan.
Tapi dengan berjalannya waktu, pandangan orang-orang yang awalnya kurang baik secara perlahan mulai terkikis dengan apa yang mereka katakan selama ini setelah melihat kenyataan yang ada.
Karena dalam ngangsu kawruh kanuragan itu tidak semata-mata hanya belajar kanuragannya saja, namun disisi lain ada pula kawruh kajiwan yang menyertai.
Dengan bekal kawruh kajiwan tersebut, seseorang akan memiliki perimbangan dalam melakukan sesuatu. Jadi tidak akan berbuat semaunya sendiri tanpa mempertimbangkan benar dan salah.
Selain seseorang akan dibekali dengan kawruh kajiwan, maka dirinya pun harus mematuhi segala wewaler sebuah perguruan. Karena jika berani melanggar pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
Sementara Nyi Pandan Wangi dan Ratri telah selesai memperbaiki keadaannya setelah mengungkapkan ilmunya yang sudah sangat tinggi. Kemudian mereka mulai membenahi pakaian mereka yang kotor dan penuh keringat.
Dengan diakhiri sebuah penghormatan kepada semua yang hadir, guru dan murid tersebut segera duduk dan menunggu penilaian yang akan segera mereka dengarkan secara bergantian.
“Aku minta maaf kepada mbokayu Pandan Wangi selaku guruku dan semuanya yang hadir disini, jika tadi apa yang aku tunjukkan baru sejauh itu dan membuat kalian semua kecewa. Tapi memang itulah yang baru mampu aku gapai, dan aku akan berlapang dada jika aku akan dimarahi karena kebodohanku itu”. ucap Ratri kepada semua yang hadir dengan kepala tertunduk.
Ratri benar-benar menguatkan hatinya sekuat tenaga untuk mampu mengungkapkan semua itu, karena sebenarnya jantungnya benar-benar berdebar dengan kencangnya, sehingga dia tidak berani menatap siapapun.
“Ratri… kau jangan berkecil hati dulu. Kami belum memberikan penilaian apapun tentang segala jerih payahmu dalam ngangsu kawruh kanuragan dari jalur Perguruan Menoreh”.
“Tapi sebelum kalian semua memberikan penilaian, aku sangat berharap bahwa kalian tidak segan-segan untuk memarahinya jika memang ada yang kurang apalagi jika berbuat salah, agar bisa menjadi pelajaran baginya untuk kemudian hari”.
Ki Agung Sedayu yang mendengar ucapan pepunden seluruh kawula Tanah Perdikan Matesih itu justru menjadi tertawa untuk beberapa saat. Sontak saja hal itu membuat Ki Gede Matesih dan putrinya kebingungan.
“Apakah ada yang salah dengan ucapanku?”.
“Tidak Ki Gede, tidak ada yang salah. Hanya saja membuatku merasa aneh”. sahut ayah Bagus Sadewa setelah tertawanya reda.
Ki Gede Matesih mengernyitkan keningnya.
“Ki Gede dan Ratri jangan terlalu tegang, bukankah Ratri tidak berbuat salah, lalu kenapa aku harus memarahinya? bukankah justru akan lebih aneh jika aku memarahi Ratri ketika dia tidak membuat kesalahan?”.
“Apa yang telah dikatakan adikku itu benar, Ki Gede. Sepertinya kau terlalu tegang dalam menanggapi keadaan ini, sehingga membuatmu gugup”. sahut Ki Untara, lalu tersenyum.
“Kalian benar, aku memang terlalu tegang berada di hadapan kalian semua. Ini semua karena semata-mata aku selaku ayah Ratri tidak ingin mengecewakan kalian, karena kedunguannya dalam ngangsu kawruh kanuragan”. sahut Ki Gede Matesih.
“Aku kira Ratri adalah seorang perempuan yang lantip dalam ngangsu kawruh kanuragan, dan kita semua disini telah melihatnya sendiri secara langsung. Meskipun kita semua bukan berasal dari jalur yang sama, namun aku kira kita sama dapat mengetahui sejauh mana tataran yang telah digapainya”.
“Aku selaku ayah Ratri hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan kalian semua kepada keluarga kami yang tidak mungkin kami dapat membalas semua itu. Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melimpahkan anugerahnya kepada kalian semua”.
“Ki Gede tidak perlu berlebihan, karena apa yang kami lakukan ini hanya sebatas usaha bagi kepentingan sesama, selebihnya kita pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Agung”.
“Aku sependapat denganmu, Ki Agung Sedayu. Untuk selanjutnya aku persilahkan kepada kalian semua untuk memberikan petunjuk kepada putriku”.
“Baiklah Ki Gede, kita akan segera memulainya. Pada kesempatan pertama aku persilahkan kepada Ki Agahan untuk memberikan petuahnya kepada muridku”.
Sontak saja Ki Agahan yang namanya disebut dan mendapat giliran pertama untuk memberikan penilaian dan petunjuknya kepada Ratri menjadi terkejut dan agak tergagap, sedangkan yang lain hanya bisa tersenyum menyadari tingkah laku pemimpin Padepokan Orang Bercambuk tersebut.
“Apakah Ki Agahan merasa keberatan?”. bertanya Nyi Pandan Wangi sembari tersenyum.
“Maaf Nyi Pandan Wangi, bukan maksudku demikian. Namun aku tidak mau dianggap deksura kepada yang lebih dituakan disini dengan mendahului mereka”.
“Ki Agahan tidak perlu berprasangka demikian karena akulah yang meminta. Bukankah begitu, kakang Untara?”.
“Pandan Wangi benar, Ki Agahan. Kau tidak perlu merasa sungkan jika mendapat giliran pertama, karena gurunya Ratri lah yang memintamu secara langsung”.
“Baiklah, tapi aku yang bodoh ini tolong dimaafkan jika nanti apa yang aku sampaikan tidak sesuai dengan harapan Nyi Ratri dan Ki Gede Matesih”. sahut Ki Agahan, kemudian memperbaiki tempat duduknya lebih dulu sebelum melanjutkan.
“Apapun yang nanti Ki Agahan sampaikan, aku sangat berterima kasih sekali”. sahut Ratri yang dari tadi lebih banyak terdiam.
“Menurutku, Nyi Ratri sudah memiliki kemampuan yang luar biasa tinggi, namun aku lihat perhatiannya masih terpaku pada keinginannya tetap memperlihatkan ciri-ciri dari jalur Perguruan Menoreh, sehingga terkadang membuatnya terlambat dalam menanggapi keadaan dalam pertarungan. Hanya itu saja menurut pendapatku”.
“Lalu bagaimana menurut kakang Untara?”. bertanya Nyi Pandan Wangi, yang seperti menjadi pranatacara.
“Pencapaiannya sudah bagus, tapi harus diimbangi dengan kepercayaan diri dalam sebuah pertarungan. Atau mungkin tadi yang aku lihat karena kau berhadapan dengan gurumu sendiri, sehingga membuatmu tidak dapat melepaskan bayang-bayang kesegananmu dalam bertarung”.
“Bagaimana menurutmu Rara Wulan?”.
Nyi Lurah Glagah Putih yang namanya merasa disebut menjadi tergagap, karena sebenarnya penalarannya sedang melayang ke suatu tempat.
Sontak saja orang-orang yang hadir langsung menoleh ke arah orang yang namanya disebut Nyi Pandan Wangi, tapi tidak ada yang membuka suara. Karena dalam hati mereka lalu menyadari bahwa Nyi Lurah Glagah Putih pasti sedang memikirkan keadaan kakeknya yang sedang sakit.
“Rara Wulan, jika kau sedang merasa kurang baik, biarlah diwakili oleh gurumu saja”. berkata Nyi Pandan Wangi yang dapat meraba apa yang sedang dirasakan oleh Nyi Lurah Glagah Putih.
“Baik mbokayu, biarlah aku diwakili oleh mbokayu Sekar Mirah”.
“Baiklah, Rara Wulan”. sahut Nyi Sekar Mirah yang tanggap.
“Aku rasa Ratri telah bekerja dengan sangat keras untuk mampu menggapai tataran yang sekarang ini, mungkin Ratri memerlukan pengalaman juga untuk lebih mematangkan ilmunya selain jangan pernah bosan dalam ngangsu kawruh kanuragan”.
“Sekarang giliran kakang yang harus menilai dan memberikan petunjuk kepada Ratri”. ucap Nyi Pandan Wangi yang ditujukan kepada suaminya.
“Ratri… kemampuanmu sudah sangat tinggi, tapi aku harap kau jangan pernah bosan dalam mengembangkan kemampuanmu. Kenalilah watak dari ilmumu sendiri, maka dengan begitu kau akan lebih mudah untuk mengembangkannya. Tadi dalam latihan bersama telah ditunjukkan beberapa kelemahan oleh gurumu, untuk selanjutnya terserah kepadamu bagaimana cara mengembangkan sejauh kemampuanmu”.
“Selain kau sudah ngangsu kawruh di jalur ilmu Perguruan Menoreh kau juga diperbolehkan untuk mempelajari ilmu dari jalur yang lain, salah satunya adalah dari jalur ayahmu, selama itu tidak bertentangan dengan watak ilmu yang sudah kau kuasai”.
“Benarkah demikian, Ki Agung Sedayu?”. bertanya Ki Gede Matesih yang merasa heran.
“Benar Ki Gede, yang penting Ratri tetap harus mematuhi segala wewaler perguruan dan yang tidak kalah pentingnya adalah hidupnya harus berguna bagi kepentingan sesama dan bukan malah kebalikannya. Karena pada dasarnya, apalah arti kita memiliki kemampuan yang sundul langit sekalipun jika hanya untuk merugikan orang lain atau bahkan membuat kerusakan?”.
“Kau dengar sendiri, nduk? kurang baik apalagi Keluarga Menoreh kepadamu?”.
Ratri yang mendengar ucapan ayahnya tersebut tidak menjawab, tapi kepalanya sempat diangkat sejenak memandang ke arah ayahnya yang duduk di hadapannya sedikit menyamping.
“Kita benar-benar beruntung nduk, telah mengenal Keluarga Menoreh yang begitu luar biasa. Baik secara kemampuan maupun secara kepribadian. Karena tidak akan mudah dalam kehidupan bebrayan kita dapat menemukan sebuah keluarga yang seperti ini”.
“Kami pun merasa beruntung dapat mengenal keluarga Ki Gede Matesih yang begitu luar biasa. Seorang pemimpin tanah perdikan yang pantas menjadi panutan”. sahut Ki Agung Sedayu.
“Ratri… apakah ada yang ingin kau tanyakan?”. berkata Nyi Pandan Wangi yang berusaha mengalihkan pembicaraan.
Putri Ki Gede Matesih itu mengangkat wajahnya ketika namanya disebut, sembari mengerutkan keningnya karena memikirkan apa yang perlu akan ditanyakan.
“Jika aku cermati dari ucapan Ki Agung Sedayu tadi, bukankah aku diizinkan jika mempelajari ilmu dari jalur perguruan lain? bukankah dengan demikian kedepannya akan ada kemungkinan bahwa jalur ilmuku akan berbaur dengan jalur perguruan lain? apakah dengan demikian aku tidak akan dianggap bersalah jika jalur dari Perguruan Menoreh tidak akan murni lagi?”.
“Ternyata penalaranmu benar-benar lantip”.
“Maafkan aku mbokayu, jika aku berani menanyakan akan hal itu”. sahut Ratri yang merasa salah bertanya.
“Kau jangan salah paham, Ratri. Justru aku salut akan penalaranmu yang sudah memikirkan hal tersebut sejak sekarang. Karena kemungkinan itu hampir pasti terjadi jika kau mempelajari ilmu lebih dari satu jalur”.
“Ketahuilah Ratri, bahwa selama kau berusaha menjaga kemurnian jalur ilmu Perguruan Menoreh dan berusaha mematuhi wewaler perguruan, itu sudah cukup. Jika memang suatu saat jalur ilmu yang kau kuasai dari Perguruan Menoreh itu sudah tidak murni lagi, itu bukan kesalahanmu. Tapi anggap saja itu anugerah dari Yang Maha Agung yang dilimpahkan kepadamu”.
Ratri yang mendengar keterangan gurunya tersebut hanya bisa menganggukkan kepala beberapa kali dan berusaha mengerti setiap apa yang telah disampaikan.
“Setinggi apapun ilmu yang kita kuasai itu pasti memiliki kelemahan, tapi kita diperkenankan untuk berusaha mengurangi kelemahan itu sejauh kemampuan kita. Karena kesempurnaan yang sejati hanyalah milik Yang Maha Agung”.
“Tidak menjadi soal setinggi apapun ilmumu dan dari manapun sumbernya, karena yang paling penting adalah sejauh mana semua itu bisa berguna bagi sesama?”. sahut ayah Bagus Sadewa.
“Aku sependapat dengan Ki Agung Sedayu. Meskipun dalam kehidupan yang sebenarnya tidak akan mudah untuk melaksanakan semua itu, namun kita harus tetap berusaha dan harus selalu bersandar kepada Yang Maha Agung agar kita selalu diingatkan pula melalui lantaran-Nya jika membuat sebuah kesalahan”.
“Ki Gede benar, karena hanya kepada Yang Maha Welas Asih lah tempat yang paling tepat untuk bersandar dan berserah diri atas segala yang terjadi pada kita semua, baik dalam keadaan bungah maupun dalam keadaan susah”. sahut Ki Untara.
“Lagipula menurutku, sangatlah disayangkan jika nanti jalur ilmu yang dimiliki oleh Ki Gede Matesih itu tidak memiliki penerus”.
Mendengar ucapan ayah Bagus Sadewa itu Ki Gede Matesih tiba-tiba hanya bisa terdiam sembari menundukkan wajahnya, seperti ada sesuatu yang kurang mapan telah mengusik jantungnya yang selama ini hampir tidak pernah diungkapkannya.
“Maaf Ki Gede, bukan maksudku untuk menggoreskan sebuah luka pada hatimu. Aku hanya bermaksud agar jalur ilmu yang kau kuasai itu ada yang ikut nguri-uri”.
“Aku mengerti maksudmu, Ki Agung Sedayu. Memang selama ini aku hampir tidak pernah berniat mencari seorang murid, namun setelah aku menginjak umur yang semakin senja ini baru merasa, apakah ilmu yang aku kuasai ini akan hilang bersama dengan tubuhku yang akan dipanggil Yang Maha Agung?”.
“Maka dari itu akan menyarankan kepada Ratri agar mau ikut menjaga kelestarian ilmumu, Ki Gede”.
“Tapi sepertinya tidak akan mudah bagiku untuk melakukannya, Ki Agung Sedayu”. sahut Ki Gede Matesih dengan wajah murungnya.
“Apakah karena Ratri adalah seorang perempuan? sehingga kau merasa kesulitan?”.
“Begitulah kira-kira”.
“Aku rasa memang tidak mudah untuk melakukannya, karena ada beberapa hal yang harus saling menyesuaikan diri. Tapi bukan berarti itu tidak dapat dilakukan. Jika kalian berdua mau membicarakannya, aku kira kalian pasti akan dapat mengatasi kendala-kendala yang merintangi”.
Tanpa sadar pemimpin Tanah Perdikan Matesih itu memandang ke arah putri semata wayangnya, tapi pada saat yang sama ternyata Ratri masih menundukkan wajahnya.
“Aku secara pribadi mengucapkan terima kasih atas saran ini, nanti aku akan membicarakannya dengan Ratri. Semoga saja nanti kami dapat menemukan kesesuaian yang dicari”.
“Aku yakin bahwa kalian pasti akan berhasil mengatasi kendala itu jika mau saling mengerti. Jika kalian membutuhkan bantuan, datanglah kemari. Kami disini akan berusaha membantu sejauh kemampuan yang kami miliki”. sahut Ki Agung Sedayu.
Tapi pembicaraan di dalam sanggar itu tidak berlangsung lebih lama lagi, apalagi mengingat bahwa besok pagi-pagi sekali mereka akan melakukan perjalanan yang cukup panjang. Ki Gede Matesih akan langsung pulang ke Menoreh, sedangkan yang lain akan ke Mataram guna menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit sekaligus pulang ke Padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom.
Kemudian mereka keluar dari dalam sanggar secara bersama-sama, yang lain segera menuju gandok dan bilik masing-masing kecuali Nyi Pandan Wangi dan Ratri yang harus membersihkan diri lebih dulu di pakiwan sebelum benar-benar beristirahat.
Sementara Ki Untara yang akan beranjak dari dalam sanggar seperti termangu-mangu, sudah beberapa lama hatinya merasa kurang mapan, tapi dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuatnya seperti demikian.
Apa yang terjadi pada Ki Untara itu tidak luput dari perhatian Ki Agahan yang secara kebetulan hampir selalu dekat dengannya selama berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun untuk waktu beberapa lama dalam pengamatannya, Ki Agahan merasa segan untuk menegur atau bahkan menanyakan apa yang sedang mengusik hatinya.
Tapi setelah beberapa lama Ki Untara masih saja berbuat demikian, dirinya mencoba memberanikan diri untuk sekedar bertanya, dan mungkin saja ayah Bagaskara tersebut memerlukan kawan berbincang.
“Maaf Ki Untara”.
“Ada apa, Ki Untara?”. sahut Ki Untara agak tergagap menanggapi ucapan pemimpin Padepokan Orang Bercambuk itu.
“Maaf Ki, aku ingin bertanya sesuatu. Tapi tidak perlu dijawab jika nanti, Ki Untara merasa keberatan untuk menjawabnya”.
“Katakanlah, Ki Agahan”.
“Aku perhatikan, dalam beberapa waktu terakhir sepertinya ada sesuatu yang telah mengusik hati Ki Untara. Mungkin Ki Untara memerlukan kawan untuk sekedar berbincang”.
Hanya suara tarikan nafas yang dalam terdengar dari lubang hidung anak pertama Ki Sadewa tersebut. Raut wajahnya masih terlihat termangu-mangu untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan kepadanya.
“Lupakan saja jika Ki Untara merasa keberatan”.
“Bukan itu masalahnya, Ki Agahan. Namun aku masih bingung apa yang harus aku katakan”.
“Tidak apa-apa Ki, mungkin di lain waktu saja kita akan membicarakannya. Jika nanti hatimu sudah lebih mapan, justru itu lebih baik”.
Mendengar ucapan itu, Ki Untara jadi menunda tubuhnya untuk bangkit berdiri guna meninggalkan sanggar. Justru dirinya memperbaiki letak duduknya yang kini hanya tinggal bersama dengan pengganti Ki Widura sebagai pemimpin Padepokan Orang Bercambuk karena telah dipanggil Yang Maha Welas Asih. Sebab yang lain pun telah pergi agar dapat segera beristirahat.
“Begini Ki Agahan, entah beberapa waktu terakhir hatiku merasa kurang mapan, bahkan terkadang jantungku berdebar lebih kencang. Jika dari penalaranku, sepertinya ini adalah sebuah isyarat tentang sesuatu yang telah terjadi. Atau ini hanya sekedar firasatku saja yang tidak berdasar?”.
“Aku rasa jika seperti Ki Untara yang mendapat isyarat, tidak mungkin hanya sebuah firasat yang tidak berdasar. Kemungkinan besar memang telah terjadi sesuatu”.
“Tapi aku merasa baik-baik saja. Mungkinkah sesuatu telah terjadi kepada orang-orang terdekatku? keluarga, misalnya?”.
“Mungkin saja Ki Untara”.
Ayah Bagaskara itupun menjadi terdiam sesaat. Berbagai pertimbangan menjadi hilir-mudik di kepalanya. Dalam diamnya itu dirinya mulai mereka-reka kemungkinan yang paling mungkin terjadi pada dirinya sendiri atau bahkan kepada orang-orang terdekatnya selama ini.
Melihat orang yang duduk di hadapannya terdiam, dirinya menjadi ikut terdiam. Seakan Ki Agahan sengaja memberikan kesempatan untuk sedikit merenung, selain dirinya pun mencoba ikut menduga-duga.
Setelah beberapa saat merenung, Ki Untara pun mulai mendapat gambaran tentang apa yang telah mengusik hatinya. Meski dirinya pun masih belum benar-benar yakin.
“Seingatku… hanya Glagah Putih dan Umbara lah yang sedang ikut melawat ke bang Wetan bersama Mataram yang sedang berusaha menaklukkan Kadipaten Wirasaba. Mungkinkah terjadi sesuatu yang kurang baik dengan salah satu dari mereka? atau bahkan kedua-duanya?”. gumam Ki Untara dengan penuh keraguan dalam ucapannya.
“Meskipun aku percaya bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, namun sebaiknya kita tetap jangan lupa untuk nenuwun bagi keselamatan mereka, Ki Untara. Semoga Yang Maha Welas Asih selalu melindungi mereka. Karena dalam perang, apalagi dalam perang besar semua kemungkinan dapat terjadi”.
“Kau benar, Ki Agahan. Seharusnya kita memang tidak lupa untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Kasih dalam keadaan yang bagaimanapun. Meskipun kita memiliki kelebihan, tapi disisi lain kita juga pasti memiliki kekurangan. Karena seberuntung-beruntungnya manusia, adalah lebih beruntung lagi manusia yang selalu memasrahkan dirinya kepada Yang Maha Tunggal dalam keadaan apapun seutuhnya”.
“Ki Untara benar sekali”.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok, sebagai pertanda bahwa malam sudah semakin jauh melewati puncaknya dengan udaranya yang semakin dingin.
“Sebaiknya kita segera beristirahat, Ki Agahan. Masih ada cukup waktu, meski hanya sekejap untuk memejamkan mata sebelum kita berangkat ke Mataram”.
“Marilah Ki Untara”.
Sementara tadi pada waktu Ki Untara dan Ki Agahan masih berada di dalam sanggar dan yang lain keluar lebih dulu, hampir tidak ada lagi yang membuka suara ketika mereka membubarkan diri, terutama Nyi Lurah Glagah Putih yang wajahnya masih terlihat dihiasi raut muram.
Nyi Sekar Mirah yang memiliki panggraita yang sangat tajam, sembari berjalan dirinya mencoba mendekati muridnya tersebut untuk mencoba mengajaknya berbagi kegelisahan.
“Rara Wulan?”. ucap ibu Bagus Sadewa itu lirih.
“Ada apa mbokayu?”. sahut ibu Arya Nakula lesu.
“Barangkali kau membutuhkan kawan untuk sekedar berbincang? itupun jika kau tidak keberatan”.
Nyi Lurah Glagah Putih itu sejenak menatap ke arah gurunya. Lalu katanya, “tidak mbokayu, aku tidak merasa keberatan. Lagipula tidak ada yang pantas aku sembunyikan dari mbokayu”.
“Baiklah, jika demikian kita beristirahat di bilik yang sama agar kau dapat bercerita panjang lebar”.
Nyi Lurah Glagah Putih yang agak terkejut sempat memandang ke arah gurunya dengan sebuah pertanyaan yang tidak berani diungkapkannya langsung.
“Kau tidak perlu khawatir dengan kakang Agung Sedayu”.
Ternyata Nyi Sekar Mirah dapat meraba apa yang dipikirkan oleh ibu Arya Nakula tersebut, sehingga kemudian suasana sudah semakin mencair ketika mereka telah sampai di depan bilik.
Sementara Nyi Pandan Wangi yang telah selesai membersihkan diri pun segera pergi ke biliknya untuk beristirahat, yang ternyata di dalam bilik ayah Sekar Wangi sudah merebahkan diri, tapi matanya masih belum terpejam.
“Kakang masih belum tidur rupanya”. ucap Nyi Pandan Wangi yang sudah terduduk di bibir pembaringan, sembari tangan kanannya mengusap perlahan pipi suaminya.
Ki Agung Sedayu yang mendapat pertanyaan itu tidak menjawab. Namun karena mendapat perlakuan itu dari istrinya, dirinya justru menjadi bangkit duduk di depannya.
Tatapan mata suami istri itupun tidak dapat dihindarkan ketika mereka sama-sama duduk berhadapan, entah apa yang ada di kepala mereka karena keduanya menjadi terdiam untuk beberapa saat tanpa sepatah katapun yang terucap.
Nyi Pandan Wangi yang tidak kuasa terlalu lama untuk beradu pandang dengan suaminya itu kemudian menundukkan wajahnya yang mulai terlihat semburat memerah.
“Pandan Wangi”.
Ibu Sekar Wangi mengangkat wajahnya kembali ketika suaminya menyebut namanya, namun kini wajahnya sudah tidak terlihat bersemu merah.
“Aku minta untuk sementara kau rahasiakan dulu yang telah aku sampaikan, sampai saatnya nanti”.
“Aku akan berusaha kakang”.
Tanpa menanggapi lagi ucapan ibu Bayu Swandana, Ki Agung Sedayu kemudian mencium kening istri yang sangat dikasihinya tersebut dengan lembut.
***
Sementara itu di suatu tempat yang jauh dari padukuhan sekitarnya, tampak masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang seakan mengelilingi tempat tersebut, sehingga menambah suasana menjadi semakin sunyi. Tapi pada malam hari akan sangat ramai dengan suara hewan-hewan malam yang berkeliaran sembari mencari mangsa masing-masing.
Di malam yang semakin larut, tempat itu sudah semakin banyak dikelilingi kabut putih yang turun sejak wayah sepi bocah menandakan bahwa di tempat itu telah dicengkam hawa dingin yang seakan mampu menembus hingga ke tulang.
Apalagi kabut itu membawa titik-titik embun yang sangat dingin, sehingga siapapun akan enggan untuk keluar rumah jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
Meskipun tempat itu hawanya sangat dingin jika malam hari, tapi ternyata masih ada saja yang tinggal di tempat itu. Karena di salah satu tempat itu terdapat sebuah padepokan kecil, tapi terlihat seperti bukan seperti padepokan kebanyakan.
Tempat itu terlihat sangat sepi, bahkan tidak terlihat para cantrik bertugas menjaga keamanan di sekitar padepokan. Dari depan hanya terlihat beberapa oncor yang terbuat dari potongan bambu wulung dan minyak kelapa yang ditancapkan di tiang bangunan utama dan depan pintu regol.
Beberapa puluh tombak dari bangunan utama padepokan itu, tampak pusara yang masih terlihat merah karena taburan bunga. Sepertinya belum lama ada seseorang yang telah meninggal dan dimakamkan di tempat tersebut karena masih terdapat beberapa orang yang berdiri di dekatnya.
Terlihat ada beberapa orang yang berada di tempat itu, tapi yang lain tampak agak jauh lebih muda dari seseorang yang sudah lebih dari paruh baya namun masih terlihat gagah dan tegar.
Dia memandangi pusara itu hampir tidak berkedip, tanpa sepatah katapun hingga dirinya tidak menyadari sudah berapa lama berdiri dan berdiam diri di tempat itu.
Sementara beberapa orang yang lain sepertinya hanya menunggu apa yang dilakukan orang yang paling sepuh tersebut. Tapi mereka tidak pernah berani mengusiknya, meskipun mereka sudah mulai dicengkam hawa dingin yang sangat.
Entah untuk waktu berapa lama hanya terdengar hewan-hewan malam yang berada di sekitarnya, karena orang-orang yang berada di tempat itu benar-benar tidak ada yang membuka suara.
Dari sorot matanya, orang yang paling sepuh itu sepertinya sedang menahan gejolak kemarahan yang sangat, itu dapat dilihat dari hampir seluruh tubuhnya yang semakin lama terlihat semakin membara dan menimbulkan hawa panas pada lingkungan sekitar tempat dirinya berdiri.
Jika melihat ciri-cirinya, orang tersebut memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Mungkin karena saking menahan gejolak kemarahan, tanpa sadar dirinya membangkitkan kemampuannya yang sangat nggegirisi.
Sementara di malam yang semakin larut, bulan yang hampir sempurna di langit sinarnya tidak mampu menerangi tempat itu karena tertutup awan dan tebalnya kabut yang membawa titik-titik embun di tempat itu.
Tiba-tiba orang yang paling sepuh itu menarik nafas panjang bahkan panjang sekali, sepertinya dirinya ingin melonggarkan segala kepepatan yang ada di dalam jantungnya. Bersamaan dengan itu ilmunya yang sangat nggegirisi itu telah dilepaskannya.
Kemudian dia mulai bergerak. Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya, orang tersebut mulai melangkahkan kakinya dengan perlahan meninggalkan pusara yang masih merah itu untuk menuju ke padepokan kecil yang hanya berjarak beberapa puluh tombak.
“Jika Kyai membutuhkan sesuatu, panggil saja kami”. berkata salah satu cantrik memberanikan diri untuk membuka suara setelah tiba di padepokan.
Orang yang dipanggil Kyai itu memandang sejenak ke arah orang yang bicara. Lalu katanya, “buatkan saja wedang jahe tanpa gula, aku tunggu di pendapa”.
“Apakah ada yang lain, Kyai?”.
“Tidak”. sahutnya dengan raut wajah yang masih murung.
“Baik Kyai”.
Kemudian cantrik itupun segera meninggalkan tempat itu. Tidak lama kemudian dia telah kembali sembari membawa pesanan yang diminta pada sebuah nampan dengan kedua tangannya, sementara yang lain telah menunggu di pendapa.
“Kalian semua kawani aku disini”.
“Baik Kyai”. jawab para cantrik hampir berbarengan.
Tapi sejenak suasana menjadi sunyi karena orang yang dipanggil Kyai itu masih belum membuka suara, sementara para cantriknya tidak berani bertanya lebih dulu.
Mereka semua menyadari bahwa orang yang ada di hadapan mereka itu sedang dilanda kesedihan yang sangat, karena baru saja kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya.
“Orang-orang Mataram harus membayar semua ini”.
Para cantrik yang duduk di pendapa itu masih belum berani menanggapi, mereka masih menundukkan kepalanya sembari menunggu dengan penuh pertanyaan masing-masing tentang apa yang akan dikatakan kemudian.
“Aku akan memberikan pekerjaan kepada kalian, apakah ada yang keberatan?”.
“Tidak Kyai. Kyai tinggal katakan saja perintah itu, maka akan kami laksanakan”.
“Meskipun jika tugas itu membahayakan jiwa kalian sendiri?”.
“Benar Kyai, apapun yang Kyai perintahkan akan kami laksanakan dengan sepenuh hati meskipun harus mempertaruhkan nyawa kami sendiri”. sahut salah satu cantrik.
Mendengar jawaban tersebut, orang yang dipanggil Kyai itu memandang ke arah orang yang menjawabnya, dirinya ingin memastikan bahwa jawaban itu sungguh-sungguh dan bukan sebuah jawaban karena ketakutan.
“Itu hanya jawabanmu atau kalian semua?”.
“Kami pun bersedia, Kyai”. sahut beberapa cantrik yang lain hampir berbarengan.
Cantrik yang berjumlah lima orang itu ternyata adalah para cantrik yang sangat patuh dan setia kepada pepundennya. Meskipun selama ini mereka tidak benar-benar diangkat menjadi murid padepokan yang menerima segala ilmu kanuragan, namun mereka memiliki alasan masing-masing kenapa hingga sepatuh dan sesetia itu kepada pemimpin padepokan.
Meskipun kedatangan mereka tidak dalam waktu yang sama, namun mereka sudah cukup lama tinggal di padepokan itu, bahkan ada yang paling lama sudah lebih dari dua puluh warsa. Maka dari itu padepokan tersebut sudah seperti rumahnya sendiri.
Sehingga membuat para cantrik sangat mengenal setiap lingkungan padepokan beserta para penghuninya, dan para tamu yang sesekali datang berkunjung. Jadi semua itu semakin mempererat ikatan batin di antara mereka.
“Aku ada tugas untuk kalian. Tapi kali ini tugas yang aku berikan sangatlah berat dan penuh resiko, bahkan sangat mungkin bisa membahayakan nyawa kalian”.
“Apapun tugas yang diberikan, kami akan selalu siapa melaksanakannya dan berusaha dengan sebaik-baiknya. Semoga kami yang dungu ini tidak mengecewakan Kyai”.
“Tapi aku rasa malam ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberikan tugas ini, karena kita sekarang ini masih dalam keadaan berkabung”.
“Kapanpun Kyai memberikan perintah, kami akan selalu siap. Jika memang Kyai memerintahkan malam ini juga, kami tidak pernah merasa keberatan”.
Mendengar jawaban itu, Kyai tersebut menarik nafas dalam beberapa kali. Seperti ada sesuatu yang telah menggores hatinya yang datang secara tiba-tiba.
“Kalian justru membuatku merasa bersalah”.
“Maafkan kami Kyai. jika kami memang berbuat salah, Kyai jangan segan-segan untuk menghukum kami”.
“Kau salah, bukan itu maksudku”.
“Lalu maksud Kyai?”. sahut salah satu cantrik cepat, mewakili perasaan kawan-kawannya yang merasa kebingungan pula.
“Selama ini kalian nyantrik disini sekian lama tapi aku justru kurang memperhatikan kalian dan aku lebih banyak sibuk dengan keperluanku sendiri. Tapi dalam keadaan seperti sekarang ini justru kalianlah yang paling setia mendampingiku. Bahkan aku hampir tidak pernah memperhatikan seberapa jauh kemajuan kalian dalam ngangsu kawruh kanuragan di padepokan ini”.
“Hal itu tidak menjadi soal bagi kami, Kyai”.
“Nah… itulah yang justru sekarang membuat aku merasa bersalah kepada kalian. Seharusnya kalian mendapatkan sesuatu yang pantas dibanggakan, atau paling tidak bisa menjadi pegangan kalian dalam menghadapi kehidupan bebrayan yang keras ini”.
“Bagi kami, Kyai sudah memperkenankan nyuwita di padepokan ini saja kami sudah sangat berterima kasih sekali”.
“Ya… aku mengerti maksudmu, kalian tentu tidak akan pernah berani menuntutku apapun selama kalian disini, karena sebelumnya kita tidak pernah saling mengenal dan baru sejak disini saja kita saling mengenal satu sama lain. Akan beda ceritanya jika sebelumnya kita sudah lebih dulu saling mengenal atau bahkan memiliki hubungan kekadangan”.
Para cantrik yang mendengar tidak berani menanggapi, karena apa yang mereka dengar itu memang benar adanya, tapi mereka tidak berani membenarkan atau menyalahkan.
“Nasi telah menjadi bubur, jadi sia-sia saja kita menyesalinya. Karena hal itu tidak akan merubah keadaan. Tapi memang akulah yang salah, mengapa dulu aku tidak memberikan bimbingan sebagaimana seharusnya kepada kalian”.
Sejenak suasana menjadi sunyi, hanya sesekali saja terdengar hewan malam dari kejauhan. Hanya hawa dingin sajalah yang semakin mencekam tubuh, karena kebetulan tempat itu memang berada di salah satu kaki Gunung Welirang.
“Baiklah… sekarang kalian beristirahtlah! karena aku akan beristirahat pula, masih ada waktu untuk memejamkan mata. Aku akan memberikan tugas itu kepada kalian besok malam”.
“Baik Kyai”. sahut para cantrik yang tidak berani membantah dengan hampir berbarengan.
Kemudian mereka pun membubarkan diri dari pendapa untuk menuju tempat peristirahatan masing-masing. Kyai pemimpin padepokan itu menuju bilik khususnya, sedangkan para cantrik menuju barak yang terletak di belakang di waktu yang sudah jauh lewat tengah malam.
***
Sementara itu di tempat yang jauh dari Gunung Welirang, yang berada di sebuah tempat yang terpencil pula karena jauh dari padukuhan-padukuhan sekitarnya, tapi kali ini bukanlah berupa sebuah padepokan, tapi sebuah rumah yang sangat sederhana.
Sebuah rumah yang berada di salah satu puncak gunung yang jauh ke utara dari Kotaraja Mataram. Pemandangannya pun banyak berselimutkan kabut tebal dengan membawa titik-titik embun yang sangat dingin.
Dari luar pemandangan yang terlihat hanyalah penerangan yang berada di dalam, karena sepertinya yang di luar obornya telah mati kehabisan minyak.
Di malam yang sangat gelap, samar-samar terlihat seseorang sedang berjalan bolak-balik dengan penuh kegelisahan di pendapa yang tidak begitu besar.
Jika dilihat dari apa yang sedang dilakukannya, sepertinya dia sedang menunggu sesuatu atau seseorang, tapi entah apa. Karena dalam kegelisahannya, dia lebih banyak menundukkan wajahnya.
Dalam sesekali pandangan matanya memandang jauh ke depan dengan tatapan kosong sembari tangan kanannya memegangi janggutnya, hanya untuk sekedar mengurangi kegelisahan yang sangat mengganggu hatinya.
Namun tetap saja hatinya tidak bisa dibohongi, karena ternyata dirinya masih tetap saja belum mampu mengusir kegelisahan yang sangat mengganggu hatinya meskipun entah sudah berapa lama dirinya berbuat demikian.
Suara-suara hewan malam yang terdengar dari kejauhan ternyata masih belum mampu untuk menghibur hatinya yang semakin lama semakin merasa gelisah.
Tanpa sadar orang yang sedang berdiri di luar itu menjadi terkejut ketika mendengar suara pintu yang dibuka dari ruang gandok kiri karena saking tegangnya, lalu dia pun segera mendekat.
“Bagaimana kakang? bagaimana keadaannya sekarang?”. berkata perempuan itu tidak sabar.
“Aku merasa betapa kerdilnya kemampuan dan kawruh yang selama ini aku pelajari, Anjani”.
“Lalu apa yang harus kita lakukan kakang?”.
“Aku belum tahu, Anjani. Aku merasa sudah melakukan segala usaha yang bisa aku lakukan sejauh pengetahuanku, namun keadaannya masih hampir tidak ada perubahan”. sahut Ki Agung Sedayu dengan wajah lesu.
“Aku akan ambilkan minuman hangat dulu untuk kakang, mungkin itu bisa sedikit mengurangi ketegangan”.
“Terima kasih”.
Lalu Nyi Anjani pun segera pergi ke dapur untuk menghidangkan kepada suaminya. Tidak lama kemudian dia telah kembali dengan membawa sebuah nampan beserta isinya.
Sembari menikmati minuman hangat, Ki Agung Sedayu masih saja berpikir keras bagaimana untuk berusaha mengobati adik sepupunya yang terluka parah setelah perang tanding melawan Ki Patih Rangga Permana di Wirasaba.
“Ternyata ajian Seribu Bungamu belum mampu mematik kerja syaraf dalam tubuh Glagah Putih dari masa-masa sulitnya, meskipun kau sudah mengetrapkannya dalam waktu yang cukup lama. Itu menandakan bahwa luka yang dideritanya sangat parah. Bahkan tadi denyut jantungnya pun sudah hampir tidak terdengar”.
“Apakah jika aku mengetrapkannya lebih lama lagi bisa sedikit membantunya?”.
“Sejauh pengetahuanku yang aku pelajari dari kitab Windhujati, jika itu memang bisa pasti sudah ada tanda-tandanya, tapi itu tidak sama sekali. Saat ini belum ada yang bisa kita lakukan selain kita hanya bisa memberikan pertolongan sementara”.
Suasana menjadi hening untuk beberapa saat karena mereka disibukkan dengan penalarannya masing-masing. Antara kegelisahan dan kebingungan yang sangat bercampur menjadi satu.
“Jika melihat keadaannya, seandainya hingga besok siang pada saat matahari mencapai puncaknya Glagah Putih masih belum melewati masa-masa sulitnya, maka….”. berkata Ki Agung Sedayu tapi tidak dilanjutkannya.
“Kakang tidak boleh berkata demikian, kita harus selalu berusaha sejauh kemampuan kita”.
“Bukankah kau tahu, bahwa aku juga sudah berusaha sejauh kemampuanku? tapi nyatanya masih belum ada tanda-tanda keadaannya membaik”.
“Iya kakang, aku tahu. Tapi kita jangan pernah berputus asa dan jangan lupa pula kita untuk selalu nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih agar keadaan Glagah Putih segera membaik”.
Mendengar ucapan istrinya tersebut, seketika kedua tangan Ki Agung Sedayu menutup seluruh wajahnya untuk beberapa saat lamanya, dan tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Nyi Anjani yang tanggap apa yang sedang dirasakan suaminya segera mendekat, lalu memeluknya dari belakang dengan penuh perasaan kelembutan dan semerbak bau harum yang hampir selalu terpancar dari tubuhnya.
“Aku mengerti apa yang sedang kakang rasakan, tapi jangan sampai penalaran kita diburamkan oleh hati yang kalut hingga melupakan untuk selalu nenuwun dan berpasrah diri kepada Yang Maha Agung”. ucap Nyi Anjani dengan penuh kelembutan.
Mendengar itu Ki Agung Sedayu menurunkan kedua tangan yang menutupi wajahnya, kemudian memegangi tangan yang sangat halus yang melingkar di perutnya.
“Terima kasih, Anjani”.
Kemudian Ki Agung Sedayu membalikkan badannya, dan kini mereka berdua saling berhadapan sembari tangannya memegangi kedua sisi pinggang istrinya. Tapi Nyi Anjani tidak berani mengangkat kepalanya untuk sekedar memandang wajah suaminya yang hampir saling bersentuhan.
“Anjani”.
Mendengar namanya disebut, mantan selir kinasih Raden Mas Rangsang itupun mengangkat wajahnya dengan menyimpan sebuah pertanyaan di kepalanya.
“Tiba-tiba saja aku teringat akan Begawan Mayangkara yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi untuk mengobati orang sakit dan terluka. Tapi sudah beberapa waktu selama aku disini aku tidak pernah melihatnya. Seandainya saja dia ada, mungkin aku bisa meminta pertolongannya”.
“Kakang benar, aku saja hampir melupakannya. Mungkin karena aku merasa bahwa kakang sudah memiliki kawruh pengobatan yang tinggi sehingga sejenak telah melupakan Eyang Mayangkara yang juga memiliki kemampuan dalam kawruh kanuragan”.
“Tapi percuma saja, Anjani. Karena sekarang orang yang kita cari sedang tidak berada disini”.
“Aku pernah diajarkan sebuah kemampuan oleh Eyang Mayangkara, sebuah kemampuan untuk memanggilnya meskipun dia sedang berada entah dimana”.
“Benarkah?”.
“Benar kakang”.
“Jika demikian, tolong panggilkan dia”.
“Meskipun aku pernah diajarkan kemampuan itu, tapi selama ini aku belum pernah mencobanya. Semoga saja aku tidak mengalami kegagalan, kakang”.
“Tidak menjadi soal jika nanti memang gagal, yang paling penting adalah kita sudah mencobanya, Anjani”.
“Baiklah kakang, aku akan mencobanya”.
Kemudian Ki Agung Sedayu pun melepas kedua tangan yang sejak beberapa saat tadi berada di pinggang istrinya, lalu mundur selangkah ke belakang untuk memberikan kesempatan kepada orang yang berada di hadapannya itu untuk memusatkan nalar budinya.
Sejenak kemudian Nyi Anjani mulai terlarut dalam pemusatan nalar budinya guna mengetrapkan sebuah ajian yang berguna untuk memanggil Eyang Mayangkara dari jarak jauh.
Setelah beberapa saat lamanya mengetrapkan nalar budi, Nyi Anjani mulai mengurainya. Tarikan nafas yang sangat dalam terdengar dari kedua lubang hidungnya yang terlihat mungil sebagai pertanda berakhirnya pemusatan nalar budinya.
Ki Agung Sedayu yang memiliki panggrahita yang sangat tajam, sempat mengerutkan keningnya setelah melihat apa yang dilakukan istrinya tersebut.
“Maaf kakang, sepertinya aku tidak berhasil. Karena setelah beberapa kali aku mencoba menyampaikan pesan kepada Eyang Mayangkara, aku tidak menerima tanda-tanda bahwa dia menyambut pesanku”. berkata Nyi Anjani dengan wajah lesu.
Sebuah harapan yang tadinya sempat membumbung tinggi di hati anak Ki Sadewa tersebut, kini seperti dibanting ke tanah yang keras hingga hancur berkeping-keping.
Wajahnya kembali murung menghadapi keadaan adik sepupunya yang masih dalam masa-masa sulit. Kini yang dapat dilakukannya hanya berpasrah diri kepada Yang Maha Agung seutuhnya, serta tidak putus-putusnya untuk nenuwun agar mereka dapat melewati semua itu dengan hasil yang paling baik. Karena segala masih mungkin terjadi jika Yang Maha Welas Asih ingin berkehendak tanpa ada yang bisa menghalangi.
“Sabar kakang. Kita harus percaya bahwa Yang Maha Kasih tidak akan pernah kekurangan cara untuk menolong kita yang sedang dalam kesulitan yang bagaimanapun sulitnya”.
“Kau benar, Anjani. Memang tidak ada lagi tempat yang pantas untuk kita jadikan tempat berserah diri, selain hanya kepada Yang Maha Welas Asih yang menguasai seluruh jagad ini”.
“Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?”.
“Yang bisa kita lakukan sementara ini tidak ada lagi selain hanyalah mengganti ramuan yang aku balurkan di tubuh Glagah Putih dalam beberapa waktu sekali untuk menjaga tubuhnya agar tetap dalam keadaan hangat. Karena Aji Seribu Bunga milikmu dan tenaga cadangan yang coba aku salurkan pada tubuhnya sudah hampir tidak memberikan akibat apapun. Bahkan detak jantungnya sudah hampir tidak terdengar lagi”.
“Selain karena pertolongan dari Yang Maha Agung, beruntunglah Glagah Putih memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa, sehingga membuatnya mampu bertahan hingga sekarang”.
“Beruntunglah dulu dia sempat mendalami ilmu kebal hingga matang, sehingga itu sangat membantu mengurangi akibat dari goncangan saat beradu ilmu puncak dengan lawannya”.
“Sampai sekarang aku tidak habis pikir, mengapa Glagah Putih lah yang mendapat perintah untuk melawan Ki Patih Rangga Permana dalam perang tanding”.
“Akupun demikian, padahal lawannya adalah salah satu tokoh kanuragan dari golongan tua, sehingga sudah hampir bisa dipastikan kemampuannya sangat tinggi. Tapi itulah resiko sebagai seorang prajurit, kami harus selalu sendika dawuh dan tidak mengenal adanya penolakan atas segala perintah yang diberikan pepunden, meskipun nyawa menjadi taruhannya”.
“Aku dapat mengerti dan merasakan bagaimana sulitnya menjadi seorang prajurit, apalagi menjadi seorang prajurit yang baik”.
“Aku ingin melihat Glagah Putih dulu, Anjani. Apakah kau ingin ikut melihatnya?”.
“Marilah kakang, aku juga ingin melihatnya”.
Kemudian suami istri itu bergegas menuju ke gandok kiri, tempat dimana Ki Lurah Glagah Putih yang sedang terluka parah dan belum sadarkan diri di pembaringan.
Setelah pintu terbuka, maka terlihatlah sesosok tubuh yang terbaring diam di atas amben bambu yang tidak begitu besar dengan berselimutkan kain panjang. Sebuah lampu sentir yang ditempatkan di sudut ruangan cukup menerangi seisi gandok yang memang tidak begitu besar.
Setelah mereka berdua berdiri lebih dekat dengan sosok Ki Lurah Glagah Putih yang belum mampu sadarkan diri, maka terlihatlah tubuhnya yang dibaluri ramuan khusus oleh kakak sepupunya.
Namun ramuan obat itu hanya bersifat sementara dan tidak mampu menjadi lantaran kesembuhan secara keseluruhan, karena sepertinya luka yang bersemayam dalam tubuh salah satu lurah prajurit Mataram itu tidak cukup hanya diberi obat dengan ramuan obat kebanyakan.
Ki Agung Sedayu kembali memeriksa adik sepupunya tersebut dengan seksama, tapi apa yang dilakukannya itu masih saja belum mampu menyembuhkannya selain hanya mampu membantunya tetap bertahan.
Tapi keadaan yang demikian itu tidak dapat dilakukan secara terus menerus, karena kemampuan manusia itu ada batasnya pula dalam bertahan, meskipun seseorang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa sekalipun.
“Sejauh pengetahuan yang pernah aku pelajari tentang kawruh pengobatan, karena luka yang begitu parah pada Glagah Putih sehingga membuat sukmanya oncat dari tubuhnya. Dan itulah yang aku belum mampu”. ucap Ki Agung Sedayu dengan wajah lesu.
“He…”.
Nyi Anjani benar-benar menjadi terkejut mendengar keterangan itu dari suaminya. Penalarannya seketika menjadi tidak habis mengerti karena ini adalah sebuah hal baru didengarnya. Karena menurut penalarannya secara wajar, jika sukma seseorang itu telah oncat dari tubuhnya, maka tentu saja tubuhnya tidak akan mampu bertahan lagi.
“Jika kakang sudah mengetahui bahwa sukma Glagah Putih itu sudah oncat dari tubuhnya, mengapa kakang masih bisa berkata dia masih bertahan”.
Mendengar pertanyaan itu, Ki Agung Sedayu menarik nafas dalam beberapa kali untuk sedikit melonggarkan kepepatan hatinya sebelum menjawab.
“Aku juga tidak tahu mengapa bisa terjadi demikian, karena aku pun baru kali ini menemukan kejadian seperti ini terjadi pada Glagah Putih”.
“Maaf kakang, apakah dasar kakang bisa berkata bahwa Glagah Putih masih bertahan hingga sekarang meskipun sukmanya telah oncat dari tubuhnya?”.
“Aku bisa berkata demikian karena setelah aku memeriksa tubuhnya beberapa kali, aku masih menemukan tanda-tanda kehidupan meski betapapun samarnya pada tubuhnya”.
“Apakah tandanya bahwa Glagah Putih masih memiliki tanda-tanda kehidupan itu, kakang?”.
“Sejak tubuhnya aku bawa kemari, memang sudah hampir tidak terdengar lagi suara detak jantungnya dan denyut nadinya. Tapi tubuhnya belum benar-benar dingin seperti orang yang telah gugur, karena tubuhnya masih dapat bereaksi pada obat yang aku balurkan di sekujur tubuhnya.
“Lalu harus dengan cara apa kita mengobati Glagah Putih?”.
“Berdasarkan kawruh pengobatan yang telah aku pelajari, jika sebelum tiga hari sejak dia beradu ilmu puncak kita dapat mencari dan mengembalikan sukmanya pada tubuhnya, kemungkinan dia masih bisa terselamatkan. Jadi… jalan satu-satunya adalah dengan cara kita harus mencari dan mengembalikan sukma Glagah Putih yang telah oncat entah kemana”. sahut Ki Agung Sedayu yang raut wajahnya semakin lesu.
“Benar-benar sebuah pekerjaan yang sulit dan hampir mustahil dapat kita lakukan, kakang”.
“Selama ini aku hanya pernah mendengarnya pengobatan dengan cara demikian dari guruku, Swargi Kyai Gringsing. Tapi aku sendiri belum pernah dapat kesempatan untuk mempelajarinya atau bahkan melakukannya. Karena guru juga pada waktu itu belum dapat melakukannya”.
“Tapi menurut kakang sendiri, apakah cara pengobatan dengan cara demikian benar-benar dapat dilakukan?”.
“Swargi Kyai Gringsing pernah berkata, bahwa pada ilmu puncak Windhujati tersirat sebuah ilmu yang ngedap-edapi, baik dalam olah kanuragan maupun kawruh pengobatannya, tapi untuk mempelajari semua itu dibutuhkan pemahaman yang sangat lantip, sebab semua itu hanya ada dalam bahasa tersirat dan pembaca kitab itu harus mencarinya sendiri yang terdapat dalam Kitab Windhujati”.
“Luar biasa… ternyata ilmu dari jalur Perguruan Windhujati begitu ngedap-edapi. Pantas saja kakang memiliki kemampuan yang sangat luar biasa pula”.
“Jika aku tidak salah ingat, Swargi Kyai Gringsing pernah menyebut bahwa inti dari ilmu puncak Windhujati disebut pula dengan nama Kidung Windhujati”.
“Apakah kakang sendiri telah mencapai tataran itu?”.
“Belum… aku masih belum mampu memahami dengan baik bahasa yang tersirat dari seluruh inti ilmu puncak Windhujati yang pernah disebutkan oleh guru”.
“Aku yakin jika kakang suatu hari nanti akan mampu memahaminya dan menguasainya”.
“Semoga saja, Anjani”.
Meskipun mereka berdua terlarut dalam pembicaraan, tidak lupa Ki Agung Sedayu sembari membersihkan obat dan kemudian menggantinya dengan yang baru pada tubuh adik sepupunya tersebut dengan penuh kehati-hatian.
“Sebenarnya pada awalnya aku sempat berpikir untuk membawa Glagah Putih ke rumahnya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, namun setelah aku pikir kembali lebih matang nanti justru akan membuat aku kesulitan sendiri dalam merawatnya”.
“Aku mengerti maksud kakang, tentu jika kemudian ada yang mengetahuinya maka akan membuat orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh menjadi gempar. Dan itu yang tidak kakang inginkan, maka kakang lalu membawanya kemari”.
“Ya… begitulah kira-kira”.
“Beruntunglah aku bukanlah termasuk orang penting di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga dapat menghindari segala pertanyaan dan kecurigaan dari orang-orang yang sedang berkumpul di rumah mbokayu Pandan Wangi ketika kakang mengajakku kembali kemari untuk membantu merawat Glagah Putih”.
“Aku juga baru sempat memberitahukan kejadian ini kepada mbokayumu Pandan Wangi, dan tadi aku juga minta kepadanya untuk merahasiakan kejadian ini untuk sementara waktu”.
“Apakah kakang belum memberitahukan kejadian ini kepada mbokayu Sekar Mirah?”.
“Aku belum ada kesempatan”.
“Aku khawatir nanti akan timbul perasaan kurang mapan pada mbokayu Sekar Mirah, karena merasa dibeda-bedakan. Sebab aku dan mbokayu Pandan Wangi telah mengetahui akan hal ini”.
“Nanti aku yang akan menjelaskan kepadanya”.
“Semoga saja mbokayu Sekar Mirah tidak akan menjadi salah paham karenanya”.
“Semoga saja. Oh iya… aku tadi sempat mendapati Rara Wulan sedang merasakan firasat yang kurang baik kepada suaminya, tapi aku tidak sampai hati untuk memberitahukannya”.
“Aku mengerti maksud kakang. Kakang pasti tidak ingin Rara Wulan semakin terlarut dalam kesedihan, apalagi ditambah ada kabar terbaru bahwa kakeknya sedang sakit keras pula. Lagipula dia pasti akan merasa kebingungan jika mengetahui kejadian ini dengan sebenarnya, dan aku yakin jika kakang akan kebingungan pula untuk menjelaskannya”.
“Kau benar, Anjani”.
“Tapi sebagai sesama perempuan, aku pun dapat ikut merasakan apa yang sedang dirasakan Rara Wulan meskipun sekarang dia belum dapat melihat keadaan suaminya secara langsung, tapi pasti dia mendapat getaran-getaran firasat itu”.
Bersamaan dengan berhentinya ucapan Nyi Anjani, berakhir pula Ki Agung Sedayu yang membersihkan dan mengganti ramuan obat baru yang dibalurkan pada tubuh Ki Lurah Glagah Putih.
Di waktu yang semakin menjauhi lewat tengah malam, terlihat semakin banyak kabut yang turun disertai membawa titik-titik embun menambah suasana dingin yang semakin mencekam. Tapi sesekali masih terdengar hewan-hewan malam yang berkeliaran di sekitar tempat itu.
“Aku jadi teringat pada waktu perang tanding dulu saat melawat ke Padepokan Sapta Dahana, melawan Kyai Damar Sasangka. Dan pada waktu itu aku terluka cukup parah”.
“Jika aku tidak salah, pada waktu itu kakang ditolong oleh Kanjeng Sunan Muria?”.
“Kau benar, Kanjeng Sunan Muria lah yang telah menolongku”.
“Lalu maksud kakang?”.
“Seandainya saja Kanjeng Sunan Muria masih sugeng, pasti aku sudah membawa Glagah Putih kesana untuk meminta pertolongan. Tapi apa mau dikata, kini Kanjeng Sunan sudah Swargi”.
“Kakang benar, tapi apakah kakang tidak mengenal seseorang yang lain, selain Swargi Kanjeng Sunan tapi yang sekiranya akan dapat membantu untuk merawat Glagah Putih?”.
Tapi sebelum Ki Agung Sedayu menjawab pertanyaan itu, panggrahitanya yang sangat tajam telah menangkap sesuatu yang kurang mapan telah mengusiknya. Sepertinya sumber itu berasal dari luar rumah.
Nyi Anjani yang belum menyadari keadaan, hanya dapat mengerutkan keningnya melihat gelagat yang ditunjukkan oleh suaminya secara tiba-tiba.
Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri untuk mengamati keadaan, tapi apa yang mereka tunggu ternyata tidak kunjung datang seperti yang mereka harapkan.
Tapi sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, Ki Agung Sedayu masih merasa ada sesuatu yang kurang mapan di sekitar depan rumah mereka.
Setelah memberikan isyarat agar istrinya tetap berdiam diri, dengan mengetrapkan ilmu yang dapat menyerap segala bunyi, Ki Agung Sedayu dengan langkah perlahan dan penuh kehati-hatian mulai bergegas keluar untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi di luar rumahnya.
Kebetulan pintu gandok itu tidak diselarak dan sudah sedikit terbuka, sehingga lebih memudahkannya untuk membuka tanpa menimbulkan suara.
Tiba-tiba berbagai dugaan mulai muncul di benak Nyi Anjani setelah melihat apa yang sedang dilakukan suaminya itu. Sebenarnya dia sudah akan memberikan sebuah isyarat, tapi diurungkannya kembali karena dia tidak mau mengganggu suaminya yang sedang memeriksa keadaan karena khawatir buruan yang dicari suaminya tersebut akan lepas dari tangkapan.
Ki Agung Sedayu yang baru membuka pintu gandok lalu mengeluarkan kepalanya lebih dahulu menjadi terkejut dengan apa yang telah dilihatnya.
“Benar-benar seorang yang pilih tanding”.
Setelah menyadari siapakah orang yang baru saja datang tersebut, Ki Agung Sedayu segera menyambutnya dengan hangat dan tanpa ada rasa permusuhan sama sekali.
“Maafkan aku yang sangat deksura dalam menyambut kedatangan Resi Mayangkara”. ucap Ki Agung Sedayu setelah berhadapan dengan orang yang baru saja datang.
Mendengar itu, orang yang baru saja datang yang memang adalah Resi Mayangkara justru menjadi tertawa, justru itu membuat raut wajah ayah Bagus Sadewa menjadi memerah.
“Justru aku hargai sikap kehati-hatianmu, Ki Agung Sedayu. Sebagai seorang yang pilih tanding, kau tidak pernah meninggalkan kewaspadaan pada keadaan lingkungan di sekitarmu”.
“Tapi ternyata aku telah membuat kesalahan”.
“Itu bukan sebuah kesalahan, tapi itu bagian dari sebuah sikap hati-hati yang kita pegang teguh”.
“Tapi itu menjadi sebuah kesalahan jika yang datang ternyata adalah Resi Mayangkara”.
“Itu bukan sebuah kesalahan, karena kau belum mengetahui siapa yang datang, karena mungkin saja salah satu seorang musuhmu yang tiba-tiba datang ke tempat ini. Kau bisa dianggap bersalah jika sebelumnya kau sudah mengetahui siapakah yang datang dan kau masih bersikap demikian”.
“Terima kasih atas pengertian Resi Mayangkara”.
“Ternyata Eyang yang datang”. ucap Nyi Anjani yang kemudian keluar dari gandok setelah mengetahui siapa yang datang, lalu menyambutnya.
“Ada apa kau memanggilku, Anjani?”.
“Aku mau meminta pertolongan Eyang”.
“Pertolongan? pertolongan apa yang kau minta dariku, Anjani?”. bertanya Begawan Mayangkara.
“Benar Eyang, aku minta tolong kepada Eyang untuk membantu merawat Glagah Putih yang sedang terluka parah”.
Mendengar keterangan Nyi Anjani tersebut, Resi Mayangkara mengerutkan keningnya. Tanpa sadar kemudian dia memalingkan wajahnya kepada ayah Bagus Sadewa.
Ki Agung Sedayu yang memiliki panggrahita yang sangat tajam segera tanggap apa yang dimaksud Resi Mayangkara, maka dengan segera dia menjelaskan secara singkat apa yang terjadi dan seberapa parah luka yang sedang diderita oleh adik sepupunya.
Resi Mayangkara pun mendengarkan keterangan tersebut dengan teliti, dan sempat mengerutkan keningnya ketika mendengar keadaan Ki Lurah Glagah Putih yang sedemikian parahnya.
“Begitulah Resi keterangan yang dapat aku sampaikan, selanjutnya silahkan Resi lihat sendiri keadaannya. Glagah Putih kami tempatkan di gandok kiri itu”. ucap Ki Agung Sedayu mengakhiri keterangannya.
“Benar-benar keadaan yang sulit”.
“Itulah yang terjadi, Eyang. Aku harap Eyang dapat segera membantu mengobati Glagah Putih yang semakin dalam keadaan sulit”. rengek Nyi Anjani kepada orang yang dianggap sebagai sesepuh di Gunung Kendalisada oleh orang-orang sekitarnya.
“Aku belum bisa berkata apa-apa sekarang, sebaiknya aku melihatnya secara langsung lebih dulu”.
“Silahkan Resi, silahkan”.
Kemudian sosok yang tinggi besar dan badannya yang dipenuhi dengan bulu itu mulai melangkahkan kakinya ke tempat Ki Lurah Glagah Putih dibaringkan. Setelah masuk ke dalam gandok, didekatinya sosok yang masih terbaring diam itu yang tubuhnya berselimutkan kain panjang. Dengan perlahan dan hati-hati dia mulai memeriksanya.
“Apa yang dikatakan Ki Agung Sedayu benar, jalan satu-satunya untuk kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih adalah dengan kita memburu sukmanya yang telah oncat entah kemana dan mengembalikan ke tubuhnya sebelum lewat waktunya”.
“Maaf Eyang, bukankah dengan demikian sebaiknya Eyang segera melakukannya agar kita tidak terlambat”. berkata Nyi Anjani berusaha mengingatkan.
“Itu masalahnya, Anjani”.
“Maksud Eyang?”.
“Perlu kalian ketahui, bahwa aku memang memiliki kemampuan Aji Ngrogoh Sukma. Tapi aku tidak yakin akan mampu mencarinya dan bahkan membawa kembali sukma Ki Lurah Glagah Putih yang oncat ke alam gung liwang-liwung. Karena di alam itu sangat luas, rumit, dan sangatlah sukar untuk dijelaskan dengan penalaran wajar manusia meskipun seseorang itu sudah lantip atau bahkan kemampuannya sudah sundul langit sekalipun jika Yang Maha Tunggal tidak mengizinkan, maka akan mustahil”.
“Lalu bagaimana, Eyang? apakah yang harus kita lakukan sekarang Eyang? apakah Eyang sampai hati melihat keadaan Glagah Putih seperti ini?”. ucap Nyi Anjani sembari mengguncang-guncang lengan kiri Begawan Mayangkara karena saking tidak sabarnya menunggu jawaban .
“Bukan itu maksudku, Anjani. Aku akan tetap berusaha mencoba sejauh kemampuanku, aku berkata demikian itu adalah dengan maksud bahwa agar aku tidak mengecewakan harapan kalian yang terlalu tinggi kepadaku. Karena jika seandainya aku gagal maka kalian tidak menjadi terkejut”.
“Aku mengerti. Apapun nanti hasilnya, aku akan tetap berterima kasih kepada Resi Mayangkara”. sahut ayah Bagus Sadewa cepat mendahului istrinya yang sudah akan menyahut.
“Baiklah, aku akan mencobanya”.
Kemudian Resi Mayangkara menjatuhkan tubuhnya di atas tanah sebelah amben tempat Ki Lurah Glagah Putih dibaringkan. Dengan duduk bersila dan kedua tangannya diletakkan di kedua kakinya, dia pun mulai memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan Aji Ngrogoh Sukmo yang dikuasainya.
Sejenak suasana menjadi hening, karena Resi Mayangkara sedang terlarut dalam pengetrapan nalar budinya, sedangkan Nyi Anjani dan suaminya menunggu dengan harap-harap cemas.
Ki Agung Sedayu mulai menjadi semakin gelisah menghadapi keadaan tersebut, selain karena Ki Lurah Glagah Putih adalah adik sepupu dan sekaligus muridnya, pengenalan mereka berdua yang sudah berlangsung dalam waktu yang sangat lama menjadikan ikatan batin keduanya begitu eratnya.
Tapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh ayah Bagus Sadewa itu selain hanya menunggu hasil dari bantuan dari Resi Mayangkara yang sedang berusaha.
Setelah beberapa saat mengetrapkan Aji Ngrogoh Sukmo, wajah Begawan Mayangkara menegang, bahkan mulai keluar titik-titik keringat dingin membasahi wajahnya. Sesekali tarikan nafasnya menjadi berat dan terkadang terdengar cepat.
Ki Agung Sedayu dan istrinya melihat itu hanya bisa meningkatkan nenuwun mereka kepada Yang Maha Welas Asih agar Resi Mayangkara dapat membantu kesembuhan Ki Lurah Glagah Putih yang masih saja terbaring diam.
Setelah beberapa lama mengetrapkan Aji Ngrogoh Sukmo, Resi Mayangkara tiba-tiba mulai membuka matanya dengan wajah penuh keringat meskipun pada saat itu di tempat tersebut hawanya sangat dingin seakan menembus tulang.
“Bagaimana, Eyang”. bertanya Nyi Anjani yang merasa sudah tidak sabar untuk menunggu hasilnya.
Mendengar pertanyaan tersebut, Begawan Mayangkara tidak segera menjawab. Hanya tarikan nafasnya yang dalam saja yang terdengar dari kedua lubang hidungnya sembari tubuhnya mengurai pengetrapan ilmu Aji Ngrogoh Sukmo.
“Eyang”. ucap Nyi Anjani yang merasa semakin tidak sabar.
“Sabarlah sedikit, Anjani. Resi Mayangkara baru saja selesai melepaskan ilmunya, kau jangan memaksanya. Kau jangan berlaku deksura kepadanya”.
Begawan Mayangkara yang mendengar ucapan suami istri itu hanya bisa tersenyum. Tapi disisi lain dia masih kebingungan untuk merangkai kata untuk menyampaikan hasil yang didapatnya setelah mengetrapkan Aji Ngrogoh Sukmo.
“Maafkan aku, kakang. Aku merasa sudah tidak sabar dengan hasil yang dibawa Eyang Resi”.
“Baiklah, aku akan memberitahukan hasilnya kepada kalian”. berkata Begawan Mayangkara yang kali ini dengan wajah datar.
“Marilah Eyang, aku sudah tidak sabar”.
“Sebelum aku menyampaikan keterangan dari hasil yang aku bawa, aku minta maaf kepada kalian jika yang akan aku sampaikan tidak sesuai dengan harapan kalian berdua. Ketahuilah… bahwa aku sudah benar-benar berusaha sejauh kemampuanku. Tapi ternyata aku masih belum mampu membantu seperti yang kalian harapkan, karena oncatnya sukma Ki Lurah Glagah Putih yang ke alam gung liwang-liwung sudah diluar batas kemampuanku”.
Suami istri yang berada di hadapan Begawan Mayangkara itu seketika wajahnya menjadi layu seperti tanaman yang sedang kekurangan air beberapa waktu lamanya.
“Sebelumnya aku kira, Eyang Resi akan mampu membantu mengobati Glagah Putih”.
“Kau lupa, Anjani. Bahwa setiap manusia yang ada di dunia ini memiliki keterbatasannya masing-masing. Dan jangan pernah mengira bahwa meskipun aku dianggap memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, tapi bukan berarti aku dapat melakukan segalanya. Ingat Anjani, aku pun memiliki keterbatasan pula”.
“Maafkan atas keterlanjuranku, Eyang. Mungkin semua ini karena harapanku yang terlalu tinggi kepada Eyang, sehingga aku kehilangan penalaran yang wening. Semua itu semata-mata adalah karena perasaan kekhawatiranku yang sangat akan keadaan Glagah Putih yang masih dalam masa-masa sulit hingga sekarang. Tapi kita masih belum bisa menemukan cara untuk membantunya”.
“Aku mengerti perasaanmu, Anjani. Tapi jangan sampai penalaran kita itu buram karena terbawa perasaan karena menghadapi keadaan yang bagaimanapun sulitnya”.
“Memang harus aku akui, bahwa aku memang harus banyak belajar untuk mengendalikan perasaanku agar tidak mudah terlarut pada perasaan yang dapat memburamkan penalaran dalam menghadapi keadaan yang bagaimanapun sulitnya”.
“Memang seharusnya demikian, Anjani”. sahut Ki Agung Sedayu menanggapi ucapan istrinya.
Sejenak suasana menjadi hening karena menjadi sibuk karena pemikirannya masing-masing. Terlebih lagi ayah Bagus Sadewa yang masih sangat gelisah karena keadaan adik sepupunya yang masih dalam masa-masa sulit.
“Sebaiknya kita berbincang di luar, sembari menikmati minuman hangat agar dapat sedikit melonggarkan kepepatan penalaran kita”.
Tampaknya gagasan yang disampaikan Nyi Anjani itu disepakati yang lain, sehingga mereka bertiga kemudian mulai melangkahkan kakinya menuju pendapa, sedangkan istri Ki Agung Sedayu itu kembali menyiapkan minuman hangat.
Tidak lama kemudian, Nyi Anjani pun bergabung dengan suaminya dan Begawan Mayangkara di pendapa. Meskipun pada saat itu hawanya begitu dingin, tapi bagi mereka yang berilmu sangat tinggi seperti tidak begitu berpengaruh.
“Meskipun aku sangat menyadari bahwa kemampuan manusia itu pasti ada batasnya, tapi berdasarkan pengalamanku selama ini, baru kali aku benar-benar merasa kebingungan dan merasa kerdil kemampuanku pada saat merawat orang yang sedang sakit ataupun terluka parah”. gumam Ki Agung Sedayu setelah menyeruput minuman hangat yang dihidangkan istrinya.
“Itulah sebabnya kita selalu dianjurkan untuk jangan pernah merasa bosan untuk nenuwun kepada Yang Maha Welas Asih, kakang. Baik kita dalam keadaan bungah ataupun susah”.
“Kau benar, Anjani. Kita jangan sampai ingat kepada Yang Maha Agung hanya pada saat susah saja, dan lupa pada saat kita bungah. Karena pada dasarnya kita memang harus selalu ingat kepada Yang Maha Kasih tanpa mengenal batas waktu maupun keadaan”.
Sementara Begawan Mayangkara sembari menikmati minuman hangat yang baru saja dihidangkan, tampak masih berdiam diri serta kepalanya lebih sering menunduk, pada wajahnya memperlihatkan ketegangan. Seperti sedang memikirkan sesuatu, tapi entah apa yang sedang dipikirkannya.
“Semoga saja Glagah Putih mendapatkan keajaiban dari Yang Maha Welas Asih atas luka yang dideritanya”.
“Kita sama-sama nenuwun, Anjani”.
“Apakah kakang tidak memiliki seorang kawan atau mengenal seseorang yang dapat membantu Glagah Putih?”. bertanya Nyi Anjani tiba-tiba kepada suaminya dengan penuh harapan.
“Jika seorang Tabib aku memiliki beberapa kawan, Anjani. Tapi jika tabib yang mampu membantu mengobati luka Glagah Putih itu yang sulit. Karena apa yang dialami Glagah Putih itu dibutuhkan seseorang yang benar-benar mumpuni tidak hanya pengobatan secara lahir saja, tapi pengobatan secara batin pula”.
Nyi Anjani kembali menundukkan wajahnya dengan lesu mendengar keterangan itu. Meskipun dirinya belum lama menjadi bagian keluarga Ki Sadewa, tapi perhatiannya kepada keluarga besar Ki Agung Sedayu benar-benar besar.
Kehidupan masa lalunya yang begitu kelam menjadikan dirinya seperti sekarang ini. Dalam kehidupan barunya, dia seperti menemukan arti sebuah keluarga yang sebenarnya. Meskipun dulu dia pernah mendapat kamukten dengan diangkat menjadi salah satu selir kinasih Raden Mas Rangsang, tapi dia tidak pernah menemukan arti sebuah keluarga yang sebenarnya, yang kini dapat dirasakannya bersama dengan keluarga Ki Agung Sedayu.
“Kakang benar, memang tidak mudah untuk mencari seseorang yang mampu menolong keadaan Glagah Putih yang sedang terluka sedemikian parahnya. Orang tersebut harus sudah pupus kawruh lahir dan batinnya, atau bahkan lebih dari itu. Karena yang terjadi pada Glagah Putih sekarang adalah sudah memasuki alam gung liwang-liwung yang sudah diluar penalaran kita”.
“Aku baru ingat, sepertinya aku mengenal seseorang”. ucap Begawan Mayangkara tiba-tiba, membuat suami istri itu terkejut, lalu saling pandang.
“Maksud Eyang?”.
“Ya… aku mengenal seseorang yang mungkin dapat membantu mengobati Ki Lurah Glagah Putih yang sedang terluka itu”.
“Benarkah Eyang? siapakah dia? dan dimana rumahnya?”. pertanyaan Nyi Anjani seketika datang bertubi-tubi keluar dari bibirnya yang mungil.
“Tapi dia adalah orang yang sangat aneh dan sulit ditebak keberadaannya, sehingga aku ragu untuk dapat menemukannya sebelum waktu yang seharusnya”.
“Tapi bukankah lebih baik kita mencoba untuk mencarinya dulu, daripada kita hanya berpangku tangan disini dan tidak dapat berbuat apa-apa, Eyang?”.
“Kau benar, Anjani”.
“Jika demikian antarkan kami kesana, Eyang. Biarlah kami dapat meminta pertolongannya”.
“Aku rasa tidak perlu, Anjani”.
“Maksud Eyang?”. bertanya Nyi Anjani dengan penuh keheranan sembari mengerutkan keningnya. Tanpa sadar dia menoleh ke arah suaminya yang duduk di dekatnya.
“Biarlah aku saja yang akan mencarinya sendiri, semoga saja aku dapat menemukan orang aneh itu sebelum lewat waktunya. Karena kita sekarang harus berkejaran dengan waktu yang semakin lama semakin sempit”.
“Baiklah jika memang demikian maumu, Resi Mayangkara. Apapun itu, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bantuanmu”.
“Sama-sama, Ki Agung Sedayu. Aku hanya bisa berusaha membantu apa yang mungkin bisa aku lakukan. Dan semoga saja bantuanku kali ini membawa hasil yang baik, sesuai yang kita semua harapkan. Karena pada dasarnya kita hanya bisa berusaha dan nenuwun kepada Yang Maha Kasih”.
Tapi sebelum Begawan Mayangkara berangkat, dari kejauhan sudah mulai terdengar suara ayam jantan berkokok yang bersahut-sahutan, itu sebagai pertanda bahwa tidak lama lagi matahari akan terbit.
“Semoga saja aku tidak terlambat. Karena menurut perhitunganku setelah melihat keadaannya yang terakhir, jika sudah lewat matahari terbit, maka kemungkinan Ki Lurah Glagah Putih akan tetap mampu bertahan akan semakin kecil”.
“Aku percayakan masalah ini kepada Resi Mayangkara. Semoga saja Yang Maha Agung masih memberikan kekuatan kepada Glagah Putih untuk bertahan hingga Resi Mayangkara berhasil membantu mengeluarkannya dari kesulitan”. sahut Ki Agung Sedayu.
“Sebaiknya aku segera berangkat, agar semuanya tidak menjadi terlambat karenanya. Karena jika aku terlambat, maka akan sia-sia saja perjuangan kita semua”.
“Baiklah Resi Mayangkara, selamat jalan”.
“Hati-hatilah Eyang”. sahut Nyi Anjani pula.
Begawan Mayangkara lalu memberikan isyarat kepada kedua suami istri tersebut untuk meninggalkan tempat itu. Kemudian dengan langkah perlahan namun pasti, orang yang sudah kawentar karena kemampuan dan kewaskhitaannya mulai meninggalkan pendapa yang terdapat di Gunung Kendalisada.
Tapi baru beberapa langkah dia melangkahkan kakinya, tubuhnya kemudian tiba-tiba lenyap seperti kabut yang telah tertiup semilirnya angin pagi.
***
Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, orang-orang sudah mulai terbangun di pagi yang masih dingin mencekam. Bahkan beberapa orang diantara mereka telah selesai menjalankan kewajiban sebagai hamba yang taat kepada Sang Penciptanya.
Terutama di rumah Nyi Pandan Wangi yang masih terdapat banyak tamu, dan pagi ini mereka akan melakukan perjalanan panjang menuju Mataram, guna menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit sekaligus setelah itu akan kembali ke tempat masing-masing.
Tapi sepertinya Ki Gede Matesih tidak akan ikut ke Mataram dan akan langsung pulang ke Tanah Perdikan Matesih bersama putrinya dan beberapa pengawal yang menyertainya.
Bagi orang-orang yang akan bepergian, maka mereka bangun lebih pagi dari biasanya dan kemudian bersiap-siap dengan segala perbekalan yang akan mereka bawa masing-masing.
Maka pada saat terdengar panggilan kewajiban dari kejauhan, hampir semua orang telah siap. Tapi sebelum berangkat mereka semua telah mendapat pesan, bahwa bagi semua para tamu dipersilahkan lebih dulu untuk makan pagi oleh Nyi Pandan Wangi yang sedang disiapkan oleh para pembantunya.
Sementara Nyi Pandan Wangi yang baru saja selesai membersihkan diri di pakiwan telah kembali ke biliknya untuk bersiap, karena dirinya pun akan ikut menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit keras.
“Kakang belum bersiap rupanya?”. bertanya Nyi Pandan Wangi ketika sudah memasuki biliknya dan mendapati suaminya masih terlihat merebahkan dirinya di pembaringan.
Ki Agung Sedayu yang mendengar ucapan istrinya itu kemudian bangkit, lalu duduk di bibir pembaringan dengan tetap berusaha menyembunyikan raut wajah penuh kegelisahannya.
Nyi Pandan Wangi yang memiliki panggrahita yang sangat tajam segera tanggap dengan apa yang sedang mengganggu pikiran suaminya tersebut segera mendekatinya, lalu duduk di sebelahnya dan berkata dengan penuh kelembutan.
“Aku yakin jika Glagah Putih pasti akan mampu melewati masa-masa sulitnya”.
“Tapi masalahnya tidak sesederhana itu, Pandan Wangi”.
“Maksud kakang?”.
Ki Agung Sedayu kemudian menjelaskan secara singkat apa yang sebenarnya sedang terjadi dan bagaimana keadaan yang sedang menimpa adik sepupu sekaligus muridnya tersebut.
“Aku ikut prihatin atas apa yang sedang dialami Glagah Putih, kakang. Semoga saja Resi Mayangkara membawa kabar baik untuk kita semua”.
“Semoga saja, tapi Resi Mayangkara harus berpacu dengan waktu. Karena menurut perhitungannya, jika Glagah Putih belum mendapat pertolongan hingga matahari terbit nanti, maka kemungkinannya untuk bisa bertahan sangat kecil sekali. Bukankah kau tahu sendiri, matahari terbit hanya tinggal beberapa saat lagi, sedangkan Resi Mayangkara masih harus mencari orang yang dianggap akan dapat membantu”.
“Benar-benar sebuah pekerjaan yang sulit”. berkata Nyi Pandan Wangi yang menjadi ikut berprihatin. Lalu katanya, “Sementara ini kita hanya bisa berharap kepada Resi Mayangkara”.
“Kau benar, Pandan Wangi. Saat ini memang itulah satu-satunya cara yang dapat kita lakukan, selebihnya kita hanya bisa nenuwun dan meminta kawelasan kepada Yang Maha Kasih”.
“Lalu bagaimana dengan para tamu kita yang sebentar lagi akan ke Mataram, kakang? bukankah akan terlihat deksura sekali jika kita tidak ikut menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit?”.
“Itulah yang masih dalam pertimbanganku”. ayah Sekar Wangi itu terdiam sejenak untuk menarik nafas dalam. Lalu katanya lagi, “memang akan terlihat sangat aneh jika aku tidak ikut dalam rombongan, tapi disisi lain aku harus menjaga Glagah Putih yang dalam masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Tapi beruntunglah Anjani dapat membantuku”.
“Bukankah kakang dapat mengetrapkan Aji Pengangen-angen?”.
“Kau benar, tapi bukankah kau tahu sendiri ilmu itu memiliki kelemahan bahwa aku tidak dapat seleluasa seperti jika tubuhku asli yang hadir secara langsung, karena biar bagaimanapun itu hanya wujud semu”.
“Lalu apakah kakang tidak akan ikut ke Mataram?”.
“Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, akan sangat terlihat aneh dan deksura jika aku tidak ikut. Dan alangkah lebih deksura lagi jika hanya wujud semuku yang ikut dalam rombongan”.
“Sebaiknya kakang memang ikut ke Mataram bersama kami. Sedangkan untuk keperluan di Kendalisada, kakang bisa mengetrapkan Aji Pengangen-angen dan minta tolong kepada Resi Mayangkara serta Anjani”.
“Sebenarnya aku merasa kurang mapan dengan meminta bantuan Resi Mayangkara, tapi tubuh asliku malah justru pergi ke Mataram. Bukankah itu juga salah satu sikap yang deksura?”.
“Tapi aku rasa Resi Mayangkara mengerti alasannya, mengapa kakang berbuat demikian”.
“Semoga saja aku tidak dianggap deksura olehnya”.
“Sebaiknya kakang segera bersiap, karena yang lain sudah bersiap. Jangan sampai mereka menunggu terlalu lama”.
“Baiklah, aku akan segera bersiap”.
Sementara di pendapa rumah Nyi Pandan Wangi, orang-orang yang akan melakukan perjalanan sudah hampir semuanya bersiap, termasuk anak-anak yang akan ikut pula dalam rombongan meskipun langit masih terlihat gelap.
Bayu Swandana, Arya Nakula, dan Bagus Sadewa sudah terlihat rapi pula setelah mereka membersihkan diri di pakiwan bergantian dengan orang-orang yang akan ikut dalam rombongan.
Dan mereka semua hanya tinggal menunggu Nyi Pandan Wangi dan suaminya yang masih belum terlihat keluar di pendapa, sekaligus menunggu makan pagi yang sedang disiapkan oleh para pembantu yang bertugas di dapur.
Sementara Ki Gede Matesih yang akan melakukan perjalanan pula tapi dengan tujuan yang berbeda, menyempatkan diri untuk membicarakan sesuatu dengan putrinya karena merasa masih ada yang mengganjal di hatinya.
“Nduk… setelah Ayah pikir-pikir, sepertinya kita terlihat sangat deksura jika kita langsung pulang ke Tanah Perdikan Matesih tanpa ikut menjenguk kakeknya Nyi Rara Wulan terlebih dahulu di Mataram”. berkata Ki Gede Matesih setengah berbisik, karena merasa sungkan jika ada yang mendengarnya.
Mendengar ucapan ayahnya tersebut, Ratri sempat tertegun sejenak. Sepertinya dia mulai membuat pertimbangan apa yang sebaiknya dilakukan.
“Aku ikut saja kata Ayah”.
“Meskipun kepulangan kita harus tertunda karena ini dan dengan ke Mataram kita harus ke selatan dulu, lalu nanti kembali lagi ke arah utara, tapi sepertinya itu tidak menjadi soal. Daripada kita dianggap deksura jika tidak ikut menjenguk Ki Lurah Branjangan yang sedang sakit keras”.
“Baiklah… aku ikut saja dengan Ayah. Lagipula memang sepertinya lebih baik demikian”.
“Syukurlah jika kau tidak keberatan”.
Ki Untara, Ki Agahan dan dua putut padepokan yang menyertai, yaitu Putut Darpa dan Putut Darpita juga sudah bersiap pula. Sembari menunggu, mereka masih sempat berbincang tentang apa saja yang menarik bagi mereka di pendapa.
Adik-adik angkat Nyi Rara Wulan yang tidak mau ditinggal untuk sementara waktu pun akan ikut pula dalam rombongan yang berangkat ke Mataram. Tapi berhubung ketiganya pada saat berangkat hanya berjalan kaki, maka mereka telah dipinjami kuda oleh Nyi Pandan Wangi yang kebetulan memiliki kuda lebih.
Pada awalnya mereka merasa sungkan untuk menerima kebaikan Nyi Pandan Wangi, namun pada akhirnya mereka tidak dapat berbuat lain, selain menerima kebaikan tersebut jika ingin ikut ke Mataram. Karena dalam rombongan, semuanya telah membawa kuda masing-masing.
Jadi nanti rombongan yang akan berangkat terlihat sangat besar jika dilihat dari jumlah orang yang akan ikut, termasuk anak-anak yang akan ikut pula. Sehingga kemungkinan rombongan itu akan dibagi menjadi beberapa kelompok agar tidak menarik perhatian banyak orang di sepanjang perjalanan.
Karena jika dihitung-hitung, jumlah orang yang akan berangkat ke Mataram, sekitar lebih dari dua puluh orang termasuk para pengawal yang menyertai.
Bayu Swandana dan Bagus Sadewa ikut dalam rombongan karena tentu saja untuk melanjutkan nyantriknya kembali di Padepokan Orang Bercambuk, setelah selesai keperluannya di Tanah Perdikan Menoreh.
Hanya Arya Nakula saja dari anak-anak yang belum diizinkan oleh kedua orang tuanya untuk ikut nyantrik karena pertimbangan umurnya yang dianggap masih belum cukup.
Selain itu karena kedua orang tuanya sebagai orang yang memiliki kelebihan dalam olah kanuragan memiliki pertimbangan, ingin memberikan bekal lebih dulu sebelum mengizinkan anaknya belajar kanuragan dari jalur Padepokan Orang Bercambuk.
Sepertinya pagi itu di rumah Nyi Pandan Wangi menjadi sangat sibuk, karena akan melepas para tamunya yang akan berangkat ke Mataram, kemudian para tamu tersebut akan melanjutkan ke tujuan masing-masing yang berbeda.
Nyi Sekar Mirah akan kembali ke Kademangan Sangkal Putung, Ki Untara dan rombongan akan kembali ke Jati Anom, sedangkan Ki Gede Matesih dan kelompoknya yang tadinya akan langsung kembali pulang, ternyata akan menyempatkan diri lebih dulu untuk ke Mataram sebelum kembali ke Tanah Perdikan Matesih.
Tidak lama kemudian muncullah Nyi Pandan Wangi dan suaminya di pendapa. Ternyata dia mempersilahkan para tamunya untuk segera makan pagi yang sudah disiapkan oleh para pembantunya di ruang dalam.
“Maafkan aku jika kalian semua harus menunggu. Tapi sebelum kita berangkat, aku persilahkan kepada kalian semuanya untuk makan pagi lebih dahulu”. berkata Nyi Pandan Wangi setelah menemui para tamunya yang berada di pendapa.
“Jika aku terlalu lama disini, maka jika nanti aku kembali ke Tanah Perdikan Matesih tubuhku akan terlihat membengkak. Karena disini kerjaku hanya makan dan tidur saja tanpa berbuat apa-apa”. celetuk Ki Gede Matesih.
“Jika demikian, sebaiknya nanti Ki Gede sudah berada di rumah langsung menjalani laku pati geni empat puluh hari empat puluh malam, agar kembali kurus”. sahut Ki Untara.
Ki Gede Matesih pun hanya bisa tertawa mendengar tanggapan ayah Bagaskara, yang lain pun tidak bisa menahan tawa mereka mendengar kelakar dua orang tua tersebut.
Setelah tertawa mereka reda, lalu mereka pun mulai beranjak dari tempat duduk masing-masing guna memasuki ruang dalam, tempat dimana hidangan makan pagi telah disiapkan.
Meskipun sebenarnya waktu masih terlalu pagi untuk makan pagi, namun karena mereka akan melakukan perjalanan yang cukup jauh, maka tidak ada pilihan lagi bagi mereka.
Ruang dalam di rumah peninggalan Ki Gede Menoreh yang cukup besar itu seketika seakan menjadi sempit, karena banyaknya orang yang memasuki ruangan itu secara bersama-sama.
Nasi putih yang masih mengepul, sayur daun ketela pohon, ayam goreng, lele goreng, udang, urap daun-daun hijau, ikan asin yang digoreng menggunakan tepung jagung dan tidak ketinggalan adalah sambal goreng rawit ijo, semua itu benar-benar begitu menggugah selera makan setelah melihatnya, meskipun pada awalnya karena masih terlalu pagi kurang berselera.
“Aku persilahkan kepada semuanya saja, meskipun hanya makanan yang sangat sederhana yang dapat aku hidangkan, tapi kalian tidak perlu sungkan. Anggap saja makan di rumah kalian sendiri, silahkan kalian pilih saja lauk yang kalian suka yang ada di meja”. ucap Nyi Pandan Wangi kepada para tamunya.
Tiba-tiba Ki Gede Matesih ingat akan sesuatu, tanpa sadar dia pun memandang berkeliling, seperti ada yang sedang dicarinya. Tapi setelah sesaat mengamati dengan seksama, seperti dia tidak menemukan apa yang dicarinya.
“Sepertinya ada yang kurang”. berkata pemimpin seluruh kawula Tanah Perdikan Matesih tersebut.
“Apakah Ki Gede memerlukan lauk lain, tapi tidak ada di meja?”. sahut Nyi Pandan Wangi yang merasa sebagai tuan rumah, merasa bersalah karena sepertinya tamunya itu menghendaki lauk yang lain, tapi mungkin dia belum menghidangkannya di meja.
“Bukan itu maksudku, Nyi Pandan Wangi”.
“Lalu… apa maksud Ki Gede?”. sahut Nyi Pandan Wangi yang menjadi penasaran.
“Aku tidak melihat Nyi Anjani”.
Mendengar itu, tiba-tiba raut wajah Ki Agung sedayu berubah. Namun itu hanya berlangsung sesaat saja. Dan ketika dia akan menanggapi pertanyaan Ki Gede Matesih, Nyi Pandan Wangi telah mendahuluinya.
“Oh… tadi aku kira, Ki Gede menginginkan lauk lain. Anjani sedang ada keperluannya sendiri, dan dia minta untuk sementara waktu jangan diganggu dulu, Ki Gede”.
“Oh… maafkan aku Nyi, bukan…”. sahut Ki Gede Matesih yang jadi merasa tidak enak hati karena terlanjur menanyakan istri yang paling muda dari Ki Agung Sedayu tersebut.
“Tidak apa-apa, Ki Gede. Aku mengerti”. potong Nyi Pandan Wangi sembari tersenyum, untuk berusaha sedikit mengurangi kesungkanan ayah Ratri.
Kemudian mereka kembali menikmati hidangan yang ada dengan penuh kenikmatan. Sebuah kenikmatan yang bukan hanya sekedar karena apa yang sedang mereka makan, tapi dalam suasana kebersamaan itulah yang menambah kenikmatan yang tidak dapat diukur dengan apapun juga.
Bayu Swandana yang sedang dalam masa pertumbuhan terlihat berbeda selera makannya dengan yang lain. Makannya lebih banyak jika dibandingkan dengan orang kebanyakan memang sesuai dengan tubuhnya yang agak gemuk. Hal itu mengingatkan akan Swargi ayahnya pada waktu masih muda.
Secara wadag, bentuk tubuh anak Swargi Ki Swandaru Geni itu memang sangat mirip dengan ayahnya. Tapi yang membedakan dengan ayahnya adalah wataknya, karena dia lebih pendiam dan ayahnya lebih suka berkelakar dan periang, meskipun disisi lain mudah pula tersulut kemarahannya.
Setelah beberapa saat mereka menikmati makan pagi, maka satu persatu dari mereka mulai ada yang sudah selesai lebih dulu. Bagi yang sudah selesai langsung meninggalkan tempat itu, dengan menunggu yang belum selesai di pendapa, terlebih yang merasa sudah tidak memiliki keperluan lagi.
Semakin lama ruang dalam yang tadi penuh dengan orang-orang yang menikmati makan pagi, secara perlahan mulai menyusut. Hingga akhirnya sudah dapat ditebak siapakah yang makannya selesai paling terakhir.
Meskipun kini hanya tinggal sendiri, namun Bayu Swandana masih saja sibuk menyuapi mulutnya dan seakan tak acuh orang-orang disekitarnya, bahkan dia pun tidak memperdulikan tubuhnya yang terlihat semakin berkeringat karena makanan yang masih mengepul, di pagi yang masih dingin di luar rumah.
“Semakin kau besar, kau semakin mirip dengan Swargi ayahmu ngger”. berkata Nyi Sekar Mirah sembari berjalan menghampiri Bayu Swandana dengan senyum yang tersungging di bibirnya, melihat tingkah laku kemenakannya tersebut.
Namun cucu Ki Gede Menoreh itu seakan tidak memperdulikan ucapan bibinya yang mulai mendekatinya, karena mulutnya masih sibuk mengunyah makanan yang masih terlihat penuh.
“Tubuhmu memang sesuai dengan selera makanmu yang banyak, ngger. Justru akan terkesan aneh jika badanmu kecil, sebab perutmu dapat menyimpan banyak makanan”. ucap Nyi Sekar Mirah sembari mengusap punggung kemenakannya.
“Apa sebaiknya kau membawa beras sendiri, selama nyantrik di Padepokan Orang Bercambuk, ngger? agar lumbung Ki Agahan tidak cepat menyusut?”. Nyi Pandan Wangi menimpali.
“Ibumu benar, Bayu Swandana. Sebaiknya kau membawa beras sendiri”. sahut Nyi Sekar Mirah, lalu tertawa.
“Akan sangat merepotkan jika aku harus membawa banyak beras dari rumah ini, Ibu. Dan sebenarnya ada cara yang lebih mudah yang dapat aku lakukan dibandingkan dengan aku harus membawa beras, jika Ibu sependapat”. sahut Bayu Swandana yang sudah hampir selesai makannya.
“Apa itu, ngger?”. sahut Nyi Pandan Wangi penasaran.
“Ibu bekali saja aku dengan uang yang banyak untuk membeli beras selama aku nyantrik”.
“Ah… macam kau”. cetus Nyi Pandan Wangi.
Kali ini Bayu Swandana lah yang menjadi tertawa mendengar jawaban ibunya, lalu menyudahi makannya yang memang tinggal suapan terakhir setelah tertawanya reda.
“Ibu tenang saja, nanti aku akan rajin-rajin ikut matun para cantrik yang lain selama disana. Aku bukan anak kecil lagi yang harus selalu dinasehati”.
“Kau harus tahu mengapa Ibu berbuat demikian, semua itu Ibu lakukan agar kau selalu mengingatnya. Karena jika Ibu hanya menasehatimu sekali atau dua kali saja, maka kau akan dengan mudah melupakannya. Apalagi nanti selama kau berada di padepokan tidak akan ada yang akan menasehatimu seperti ini, karena kau tidak lagi bersama Ibu”.
“Aku selalu berusaha mengingat semua nasehat-nasehat Ibu, Jika tidak lupa”. berkata Bayu Swandana sembari berusaha kabur dari hadapan ibunya.
“Ah… macam kau”. sahut Nyi Pandan Wangi sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, saat melihat anak laki-lakinya itu sudah lari dari hadapannya.
“Benar-benar mirip Swargi Ayahnya pada waktu masih muda”. gumam Nyi Sekar Mirah melihat tingkah laku kemenakannya yang sudah semakin besar tersebut.
***
Sementara itu di pagi yang masih dingin dan berkabut, pasukan Mataram segelar sepapan yang masih berada di Kadipaten Wirasaba sudah memulai kesibukan dengan tugas mereka masing-masing, setelah terbangun beberapa saat tadi.
Kali ini Juru Dang dan petugas dapur saja yang terlihat paling sibuk dengan tugasnya, karena sepertinya perang telah usai sehingga para prajurit yang biasa bertugas turun ke medan sudah kehilangan pekerjaan utamanya.
Tapi meski perang telah selesai, bukan berarti mereka dapat bermalas-malasan. Karena mereka tetap mendapatkan tugas dari pepunden mereka untuk menjaga para tawanan dan harus selalu bersiap untuk menerima perintah kapanpun.
Sementara Ki Rangga Sabungsari yang sudah bangun sejak beberapa saat tadi, segera menjenguk Umbara yang sedang mendapatkan perawatan di perkemahan khusus perawatan.
Jantung salah satu Senopati Mataram yang berkedudukan di Jati Anom tersebut seakan menjadi berdetak semakin kencang karena melihat anak muda yang masih terbaring diam dengan luka yang cukup parah.
“Bagaimanakah perkembangan Umbara, Kyai?”. bertanya Ki Rangga Sabungsari setelah mendapati seorang Tabib keprajuritan yang merawat.
“Meskipun lambat, tapi telah menunjukkan perkembangan yang lebih baik, Ki Rangga”.
“Syukurlah jika demikian”.
“Karena lukanya cukup parah, maka kita harus sangat telaten untuk menunggu perkembangannya. Karena jika memaksanya untuk lebih cepat mengobatinya, justru akan sangat berbahaya karena tubuhnya akan menjadi terkejut”.
“Aku percaya padamu, Kyai. Kau pasti lebih tahu bagaimana cara merawat Umbara dengan sebaik-baiknya”.
“Semoga Ki Rangga, kita hanya bisa sama-sama nenuwun”.
“Lalu bagaimana dengan keadaan Ki Prastawa, Kyai?”.
“Aku kira dia belum bisa lebih baik dari Umbara, karena lukanya pun sangat parah. Bahkan ada tubuh bagian dalamnya yang mengkhawatirkan. Tapi kami tetap selalu berusaha merawatnya dengan sebaik-baiknya”.
“Maaf Kyai, apakah masih ada kemungkinan dia untuk dapat bertahan?”. bertanya Ki Sabungsari memberanikan diri.
“Bukankah sudah aku katakan, Ki Rangga. Aku ini hanya sebatas lantaran, sehingga aku tidak berani memberikan keterangan yang mungkin dapat menyesatkan, karena segala-galanya tergantung atas kemurahan dari Yang Maha Welas Asih”.
“Maafkan atas keterlanjuranku, Kyai”. berkata Ki Rangga Sabungsari cepat setelah menyadari kesalahannya.
Tabib keprajuritan pasukan Mataram yang lahir dan batinnya sudah mengendap itu pun hanya tersenyum mendengar tanggapan seorang rangga yang sedang berdiri di hadapannya tersebut.
Kemudian Ki Rangga Sabungsari menyempatkan diri untuk menjenguk putra Ki Argajaya yang masih terbaring diam di pembaringan sejak tubuhnya dibawa oleh para pengawal setelah perang tanding terjadi.
Matanya memandang dari ujung kaki hingga ujung rambut Ki Prastawa, hatinya tidak dapat menyembunyikan rasa prihatin yang sangat dalam melihat keadaan tersebut.
Kemenakan Ki Gede Menoreh yang mendapat kepercayaan menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu kini terbujur diam karena luka dalam yang dideritanya setelah berperang tanding melawan pemimpin perguruan Maruta Sungsang yang sepertinya masih dalam keadaan lebih baik.
Keadaan itu tidak lepas karena kemampuan Kyai Maruta yang sepertinya masih setengah lapis tipis lebih tinggi dari Ki Prastawa pada saat beradu ilmu puncak masing-masing.
Ki Rangga Sabungsari sendiri telah mendengar laporan dari para prajurit penghubung, bahwa lawan anak Ki Argajaya itu meskipun terluka parah pula, namun sepertinya masih selamat pada saat ditandu oleh para prajurit Wirasaba kemarin.
Setelah sekian kali Ki Prastawa menjadi bagian Mataram untuk memasuki medan perang, tapi sepertinya baru kali ini dirinya mendapatkan luka yang sangat parah. Justru keadaan ini terjadi pada saat ilmunya sudah semakin meningkat jika dibandingkan dengan perang-perang sebelumnya.
Perang memang seperti sebuah misteri, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi. Semua kemungkinan dapat saja terjadi kepada siapapun dan kapanpun. Tidak dapat menjadi sebuah jaminan bahwa orang yang semakin tinggi tataran ilmunya akan terhindar dari malapetaka.
Sementara Panembahan Hanyakrakusuma yang sedang berada di perkemahan Mataram bersama dengan tiga pangeran Mataram sedang membicarakan langkah-langkah apa saja yang akan diambil selanjutnya setelah Kadipaten Wirasaba jatuh.
“Aku ingin mendengar pendapat paman bertiga sehubungan dengan kita yang sudah mampu menaklukkan Wirasaba, lalu langkah-langkah apa yang sebaiknya kita ambil lebih dulu?”.
Ketiga pangeran Mataram itu saling pandang sejenak, sepertinya mereka saling mempersilahkan yang lain dulu untuk menyampaikan pendapatnya, namun akhirnya.
“Begini Angger Panembahan. Jika menurutku, perang kali ini sudah bisa katakan selesai dan kita hanya memiliki pekerjaan untuk pembersihan. Dan kemarin Angger Panembahan sendiri sudah bisa menduduki dampar kencana Kadipaten Wirasaba sebagai pertanda bahwa kini sudah benar-benar menjadi bagian dari Mataram untuk seterusnya, dan kita hanya tinggal membuat acara peresmian serta ubo rampenya saja”.
“Paman Pangeran Pringgalaya benar”.
“Dengan demikian aku rasa dalam waktu yang sesegera mungkin kita harus membuat acara peresmian itu. Ini bukan bicara kepentingan Angger Panembahan secara pribadi saja, namun kita bicara tentang wibawa Mataram secara keseluruhan”.
“Aku sependapat”.
“Tapi berhubung kita masih dalam suasana berduka dan berprihatin atas banyaknya prajurit yang telah gugur, aku hanya bisa menyarankan bahwa, jika nanti kita membuat acara itu dibuat sesederhana mungkin tapi jangan sampai mengurangi kesakralan dan wibawa acara tersebut”.
“Terima kasih atas gagasan Paman Pangeran Pringgalaya, apakah masih ada gagasan yang lain?”.
“Sebaiknya kita segera menentukan waktu acara peresmian tersebut, karena itu adalah inti dari semua yang telah kita lakukan ini. Baru selanjutnya kita dapat memikirkan yang lain”.
“Baiklah Paman Pangeran Puger, aku sependapat. Dan untuk penentuan waktunya, aku percayakan kepada Paman Pangeran bertiga”.
“Menurut perhitunganku, sebaiknya acara itu kita laksanakan tiga hari lagi sejak sekarang. Selain kita harus menyiapkan acara itu dengan sebaik-baiknya, kita juga harus menghormati para prajurit yang telah gugur. Tapi kita juga tidak dapat menunggu lebih lama lagi, karena waktu kita disini terbatas pula”.
“Aku sependapat dengan Kakang Mas Pangeran Puger, karena jika kita terlalu cepat dalam menggelar acara tersebut, seakan kita tidak merasa ikut berduka dan berprihatin atas banyaknya para prajurit yang telah gugur selama perang terjadi”.
Para Pepunden Mataram yang sedang bertukar pendapat itu ternyata hampir tidak menemukan perbedaan yang berarti dalam mencapai kesepakatan bersama. Meskipun Kanjeng Panembahan Hanyakrakusuma adalah pemimpin tertinggi Mataram, namun dirinya tidak merasa menang sendiri, justru dia lebih banyak mendengarkan orang-orang yang dianggap sebagai penasehatnya.
“Selain itu, sebaiknya kita harus mulai memikirkan apa yang akan kita lakukan selanjutnya, setelah acara peresmian itu selesai. Bukankah tidak mungkin Angger Panembahan akan tetap berada di Wirasaba dalam waktu yang lama?”.
“Paman Pangeran Puger benar, kita harus mulai memikirkan hal itu sejak sekarang. Lalu apa pendapat paman bertiga?”.
“Sembari kita menunggu acara peresmian itu datang, sebaiknya kita mulai mengurangi pekerjaan kita. Dimulai dari langkah apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap Adipati Wirasaba, kepada para tawanan, dan siapakah yang akan mendapat tugas mengisi kepemimpinan di Wirasaba ini untuk sementara waktu? karena yang jelas, tidak akan mungkin jika Angger Panembahan yang akan mendudukinya sendiri”.
“Kemungkinan aku akan memasukkannya dulu ke ruang tahanan, karena sekarang aku masih belum memiliki gambaran yang paling tepat untuk menentukan sikap terhadap Adipati Wirasaba. Terhadap para tawanan aku kira kita tidak menemukan kesulitan. Dan terakhir, siapakah dari paman bertiga yang bersedia untuk tinggal disini dan menjadi pemimpin Wirasaba untuk sementara waktu?”.
Ketiga Pangeran Mataram itu menjadi saling pandang mendapat pertanyaan tersebut, mereka saling memberikan isyarat satu dengan yang lain.
“Pada dasarnya siapapun yang akan Angger Panembahan tunjuk, kami tidak pernah merasa keberatan. Jadi sebaiknya Angger Panembahan tunjuk saja daripada kami harus mengajukan diri”.
“Baiklah Paman Pangeran Pringgalaya. Aku rasa paman saja yang menduduki jabatan itu untuk sementara waktu”.
“Baiklah, segala titah Angger Panembahan akan aku selalu junjung tinggi”.
“Terima kasih, Paman. Semoga Paman Pangeran Pringgalaya tidak menemukan hambatan berarti selama disini”.
“Mari kita sama-sama nenuwun untuk keselamatan dan kelancaran dalam mengemban tugas masing-masing”.
“Aku juga telah mengirimkan prajurit penghubung ke Mataram dan memberikan laporan kepada Ki Patih Singaranu dan yang lain pada perkembangan terakhir kita disini”.
“Apakah Angger Panembahan juga telah memerintahkan Ki Patih Singaranu untuk berusaha mencari keberadaan Ki Lurah Glagah Putih?”. sahut Pangeran Pringgalaya.
“Sudah Paman, dan aku kira jika tidak mendapat hambatan berarti selama di perjalanan, maka prajurit penghubung yang mendapat tugas itu akan tiba di Mataram kira-kira siang nanti”.
***
Sementara itu pada pagi yang cerah di Tanah Perdikan Menoreh, sudah banyak terdengar suara burung-burung pagi yang berkicau dengan riangnya meskipun masih berselimutkan kabut dan hawa dingin, tapi hawa dingin yang menyegarkan dan menyejukkan di sekitaran rumah Nyi Pandan Wangi.
Matahari di langit sebelah timur memang masih belum menampakkan diri dari balik gunung, tapi cahaya kemerahan sudah mulai terlihat di angkasa sebagai pertanda bahwa tidak lama lagi hari baru telah berganti.
Kini semua orang yang akan pergi ke Mataram telah bersiap di pendapa, bahkan kuda-kuda yang akan dibawa telah disiapkan pula oleh para pekatik yang dibantu para pengawal karena jumlahnya kali ini cukup banyak kuda yang akan dibawa.
Tapi mereka semua hanya tinggal mengatur keberangkatan, yang akan dibagi menjadi beberapa kelompok karena jumlah orangnya yang cukup banyak agar tidak menjadi pusat perhatian orang di sepanjang perjalanan.
Meskipun dalam rombongan yang akan berangkat terdapat cukup banyak perempuan, namun mereka adalah perempuan-perempuan perkasa yang telah menguasai ilmu kanuragan, bahkan kemampuan mereka bisa dikatakan memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Secara penalaran wajar, kebanyakan perempuan akan menjadi beban dalam perjalanan, namun kali ini sangat berbeda sekali. Karena selain mereka dapat melindungi diri mereka sendiri, beberapa di antara mereka justru mampu melindungi orang lain.
Sementara para perempuan yang akan ikut dalam rombongan pergi ke Mataram telah bersiap sepenuhnya dengan mengenakan pakaian khususnya, lengkap dengan senjata andalan masing-masing yang hampir selalu mereka bawa. Meskipun mereka adalah perempuan, namun mereka adalah perempuan-perempuan yang sudah terbiasa dengan pakaian khususnya, baik pada saat sedang berlatih kanuragan atau ketika akan bepergian.
Karena dengan berpakaian khusus, akan memudahkan mereka dalam menunggangi kuda. Selain itu sedikit banyak akan dapat mengurangi perhatian orang di sepanjang perjalanan. Sebab jika orang hanya melihat sekilas, kebanyakan orang tidak akan menyadari bahwa sebenarnya mereka adalah perempuan.
“Sebaiknya kakang Untara saja yang membagi kelompoknya”. ucap Nyi Pandan Wangi mempersilahkan kakak iparnya.
“Ah… kenapa harus aku? bukankah kalian semua sudah bisa membuat kelompok sendiri?”. sahut Ki Untara, lalu tertawa pendek.
“Tapi bukankah akan lebih baik jika ada yang mengaturnya, Ki Untara?”. sahut Ki Gede Matesih yang mendukung gagasan ibu Bayu Swandana, sembari tersenyum menggoda.
“Berhubung Ki Gede Matesih adalah yang paling sepuh diantara kita, aku persilahkan Ki Gede saja yang mengaturnya”. sahut ayah Bagaskara sembari tersenyum.
“Alangkah deksuranya jika aku yang mengaturnya, Ki Untara. Karena aku disini hanya sebagai seorang tamu”.
“Kita semua disini itu adalah keluarga, Ki Gede. Jadi sudah tidak ada tamu ataupun tuan rumah”.
“Kalian malah seperti anak kecil yang seperti sedang disuruh mandi oleh orang tuanya”. sahut Nyi Sekar Mirah yang berusaha menengahi, lalu tak dapat menahan tawanya.
Orang-orang yang mendengar pembicaraan dua orang tua itu pun tidak dapat menahan tawa pula. Ternyata dalam diri orang yang sudah tua pun, terkadang masih ada sisi kekanak-kanakannya.
Akhirnya Ki Untara lah yang membagi kelompok yang akan berangkat ke Mataram. Setelah dihitung jumlah orang yang akan berangkat, maka rata-rata setiap kelompok akan berisikan enam orang, dan sisanya akan menyesuaikan.
Sementara yang lain sibuk dengan persiapannya masing-masing, Ki Agung Sedayu waktunya lebih banyak dihabiskan untuk berdiam diri. Sepertinya ada sesuatu hal yang sangat mengganggu hatinya, tapi dia merasa tidak dapat menceritakannya kepada sembarangan orang yang dijumpainya.
“Glagah Putih masih dalam keadaan sulit, dan sekarang Resi Mayangkara sedang berusaha membantunya. Tapi selama menunggu hasil dari perjalanan Resi Mayangkara, tubuh Glagah Putih harus selalu dijaga kehangatannya agar dapat membantunya untuk tetap bertahan. Jika terlambat mengganti ramuan obat yang dibalurkan pada tubuhnya, maka akan sangat berbahaya sekali”. membatin Ki Agung Sedayu.
“Di Kendalisada hanya ada Anjani, yang tidak akan mungkin mengganti baluran ramuan obat yang aku buat pada seluruh tubuh Glagah Putih. Sedangkan wujud asliku sekarang berada disini, dan aku tidak akan mampu membalurkan obat itu dengan wujud semuku lewat Aji Pengangen-angen”.
Penalaran Ki Agung Sedayu berputar-putar semakin cepat, namun dirinya masih saja merasa kebingungan untuk menemukan jalan keluarnya.
“Jika aku ikut ke Mataram, tentu saja aku tidak dapat mengetrapkan Aji Pangrupak Jagad sewaktu-waktu. Karena itu pasti akan menggemparkan orang banyak, dan itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Sedangkan Glagah Putih masih membutuhkan ramuan obat yang harus dibalurkan pada tubuhnya dengan cara harus diganti dengan yang baru setiap beberapa waktu. Lalu bagaimana aku harus menggantinya?”.
Berbagai pertimbangan Ki Agung Sedayu semakin membuat kepalanya pening. Langkah apa yang seharusnya dilakukannya untuk mengatasi semua masalah tersebut dalam waktu yang bersamaan, sedangkan dirinya hanya satu orang.
“Perjalanan Resi Mayangkara belum dapat diketahui akan memakan waktu berapa lama, dan sampai kapan akan kembali. Tapi jika aku tidak ikut rombongan ini ke Mataram, lalu alasan apa yang dapat aku katakan kepada mereka agar aku dapat melepaskan dari mereka semua?”.
“Sedangkan sekarang Glagah Putih lebih membutuhkan aku dibandingkan dengan mereka, karena keselamatannya benar-benar sedang dipertaruhkan”.
“Agung Sedayu”.
Namun ayah Umbara itu tidak segera mendengar jawaban orang yang dipanggilnya tersebut karena yang bersangkutan masih disibukkan dengan pikirannya sendiri.
“Agung Sedayu”. panggil Ki Untara untuk kedua kalinya.
“Ada apa, kakang?”. sahut Ki Agung Sedayu dengan tergagap.
“Apakah aku mengganggumu?”. bertanya Ki Untara yang tanggap akan gelagat adik kandungnya tersebut.
“Tidak kakang, tidak sama sekali”.
“Dalam rombongan, kau mau di depan atau di belakang?”.
“Dimanapun bagiku sama saja, terserah kakang Untara”.
“Baiklah kalau begitu…”.
“Maaf kakang Untara”. Ki Agung sedayu memotong cepat. karena tiba-tiba ingat akan sesuatu.
“Ada apa? mengapa kau memotong ucapanku?”. bertanya Ki Untara heran, karena bukan menjadi sebuah kebiasaan Ki Agung Sedayu hal demikian.
“Sebelumnya aku minta maaf, jika apa yang akan aku sampaikan ini membuat kalian merasa tidak berkenan”.
“Katakanlah! Agung Sedayu”.
–o-O-o–
bersambung ke
Djilid
13
Padepokan Tanah Leluhur
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar